Anda di halaman 1dari 3

.

(bersambung ke Solusi Strategis Badan Hulu Migas/Tulisan 2 )

Pemerintah kembali menaikkan harga premium. Kenaikan ini tentunya akan berimbas pada kenaikan tarif angkutan dan harga barang-barang karena hasil pertanian, laut dan industri didistribusikan dengan transportasi yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Hal ini tentu berdampak luas. Dengan cadangan pasti minyak 9,7 miliar barrel, Indonesia sebenarnya mampu mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri. Tulisan ini memberikan solusi berdasarkan sudut pandang Islam. Dasar Kenaikan Harga BBM Dasar pemerintah menaikkan harga BBM adalah bahwa subsidi BBM membebani APBN. Menteri ESDM Jero Wacik menyatakan bahwa dengan menaikkan BBM, akan menghemat APBN sebesar Rp 21 Trilyun. Sebenarnya, apa yang dimaksud subsidi? Sering dibayangkan bahwa subsidi merupakan sejumlah yang harus dikeluaran pemerintah untuk tiap liter BBM yang dikonsumsi rakyat. Ini sejalan dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 03/PMK.02/2009 yang menyatakan bahwa: Subsidi = Kuantitas yang disalurkan x [Harga Patokan (Harga Jual Eceranpajak)] Artinya, subsidi BBM dihitung berdasarkan selisih harga pasar internasional dengan harga jual dalam negeri. Harga Patokan yang dimaksud adalah harga rata-rata MOPS (Mid Oil Platts Singapore) dan margin untuk Pertamina. Dengan cara inilah pemerintah menghitung biaya pokok BBM. Pemerintah memberi harga untuk rakyat Indonesia sebagaimana harga persaingan sempurna dengan BBM sebagaimana yang ada dijual secara internasional. Ini cara perhitungan yang nyeleneh. Padahal tidak ada subsidi sepeserpun karena pemerintah sudah untung dengan biaya pokok pemrosesan minyak mentah menjadi BBM yang tidak lebih dari Rp 600 per liternya. Hanya karena pemerintah memberi harga premium Rp 4500 sedangkan harga dipasar impor sekitar Rp 8500 maka pemerintah mengatakan nombok. Sekali lagi, nombok tersebut, muncul hanya karena ada harga yang dibuat-buat diatas harga pokoknya, lalu pemerintah ingin menyamakannya harga tersebut dengan harga yang ada di pasar internasional. Bila saat ini rakyat makmur dan sejahtera mungkin saja harga BBM dibuat agak mahal, namun dengan kondisi puluhan juta rakyat saat ini terkategori miskin, maka adalah suatu kezaliman bila BBM dijadikan barang dagangan (komoditas) pemerintah kepada rakyat yang rakyat dipaksa untuk membelinya dengan harga mahal. Beban terbesar APBN jika dilihat dari struktur APBN bukanlah subsidi BBM, tapi hutang yang terus ditambah dari tahun ke tahun. Total hutang rakyat Indonesia hingga Januari 2012 saja sudah berjumlah Rp 1.837 triliun dimana hampir 25% setiap tahun anggaran digunakan untuk membayar bunga hutang maupun pokoknya. Mengapa hal ini tidak dianggap memberatkan oleh pemerintah? Untuk tahun 2012, cicilan pokok hutang adalah Rp 139 triliun dan cicilan bunganya Rp 122 triliun. Alasan pemerintah menaikan harga BBM demi menyelamatkan APBN juga tidak realistis mengingat defisit subsidi dapat ditutup dari sisa anggaran yang tidak terserap. Tahun 2012 saja ada sisa Rp 32,7 trilyun. Selain itu, kebocoran APBN sendiri masih perlu dibenahi karena rata-rata APBN bocor 30% tiap tahun. Ini belum dengan berbagai potensi kerugian negara. Sebagai gambaran, potensi kerugian tahun 2006-2009 saja dari harga jual gas ke Cina yang sangat murah (sekitar $3,35/MMBTU, di bawah harga jual gas dalam negeri yang sekitar $7/MMBTU) adalah mencapai 410,4 Trilyun! Dalam kasus gas ini, apakah pemerintah lebih peduli mensubsidi rakyat Cina ketimbang rakyatnya sendiri? Jadi, ada sederet alternatif yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan APBN tanpa harus menaikkan BBM, seperti penghematan belanja negara hingga 20% (minimal Rp 20 triliun bisa dihemat), penjadualan ulang pembayaran hutang, menghentikan kontrak karya yang merugikan negara, dll. Dibalik Kenaikan Harga BBM: Agenda Liberalisasi Migas

Liberalisasi migas Indonesia dirancang sejak penyusunan UU Migas oleh asing. USAID secara terbuka menyatakan, The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. (http:www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-009.html). Karena itu, dapat 'dimengerti' jika arah kebijakan Pemerintah akan 'condong ke pasar'yakni pada kepentingan para pemilik kapital, bukan 'condong ke rakyat'. Ini bentuk penerapan ideologi kapitalisme dimana subsidi itu haram untuk kepentingan rakyat, mis untuk subsidi BBM dan listrik. Sebaliknya, untuk menyelamatkan para kapitalis dari kebangkrutan, hukumnya menjadi wajib. Para pemilik modal besar dunia (kapitalis) yang membagi-bagi blok migas kita mengetahui arah perkembangan ekonomi politik Indonesia ini yang diarahkan pada Pasar Bebas. Demikian juga untuk penguasaan sektor hilir migas, 105 perusahaan sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) di seluruh wilayah Indonesia. UU Migas No 22 Tahun 2001 mengukuhkan pengelolaan migas kepada asing. Kontraktor kontrak bagi hasil migas yang didominasi pemain asing di Indonesia ini boleh menjual sendiri minyaknya. Biaya pencarian, pengembangan operasi dan depresiasi (cost recovery) pun besarnya ditetapkan perusahaan asing. Dalam hal ini Pemerintah tidak mengeluarkan uang tunai untuk mengganti cost recovery tetapi dari hasil produksi minyak atau gas langsung dikurangi cost recovery. Jika cost recovery tidak menyisakan bagian minyak untuk Indonesia maka Indonesia tidak dapat, misalnya pada kasus ekstrim di Blok Natuna. Dalam APBN lalu, nilai cost recovery dialokasikan ini adalah $ 12,3 miliar (Rp 110 Trilyun atau 38.27% dari penerimaan Migas)! BPK pernah mengaudit dengan temuan penggelembungan cost recovery hingga 200%. Produksi minyak Indonesia pernah terus menurun sementara cost recovery terus membengkak tajam mencapai Rp 52 triliun pada tahun 2004. UU Migas No.22/2001 membolehkan kontraktor asing memperpanjang kontrak untuk 20 tahun berikutnya. Ini diperkuat Pasal 28 Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004 dimana pengajuan perpanjangan itu boleh diajukan 10 tahun sebelum sebuah kontrak kerjasama selesai. Harusnya pemerintah tau, jika investasi perusahaan asing sebesar 5 miliar dollar untuk kerjasama selama 30 tahun maka 5 milliar dollar itu akan balik modal selama 5 tahun ke pihak investor termasuk keuntungannya, apalagi untuk kontrak selama 25 tahun! Sebelum 2020 berakhir, ada 26 kontraktor KKS Migas yang akan habis kontraknya. Ironis, Pertamina yang telah berumur 50 tahun lebih masih dianggap belum mampu 100% mengelola ladang-ladang migas di negeri sendiri dan malah dianjurkan untuk mengincar ladang-ladang migas di luar negeri. Akibatnya hampir 90% ladang migas Indonesia dikuasai asing. Padahal Pertamina mampu secara profesional termasuk permodalan. Fakta telah membuktikan saat dikelola British Petroleum, Blok ONWJ Laut Jawa yang tadinya hanya mampu memproduksi 24 ribu bph, setelah Pertamina mengambil alih blok tersebut produksinya meningkat menjadi 30 ribu bph minyak dan 200 juta kubik gas. Begitu juga ketika mengambil alih Blok Migas West Madura dari Kodeco (perusahaan minyak Korea Selatan). Kedua blok lepas pantai ini bukan yang pertama, karena Pertamina sudah memulai di Blok Gebang Sumatera dan Blok Kakap di Natuna. Bahkan Pertamina juga sudah 10 tahun sebagai operator di Luwuk yang melakukan pengeboran laut dalam kedua setelah Unocal. Dari aspek permodalan, fakta telah menunjukkan bahwa sebelum Pertamina mengakuisi Blok ONWJ, Pertamina menilai investasinya hanya 250 juta dolar. Dalam tempo satu tahun, pemasukannya sudah naik 2x lipat menjadi 500 juta dolar. Politik Energi dalam Islam Politik energi tidak terlepas dari pemilikan dan penguasaan sumber-sumber energi. Islam mengatur persoalan kepemilikan secara tegas dengan membedakan kepemilikan menjadi tiga, yakni: milik pribadi; milik umum; dan milik negara. Pribadi/swasta tidak boleh memiliki milik umum atau milik negara. Kepemilikan umum ini lebih lanjut diklasifikasikan sebagai: i) fasilitas umum; meliputi semua fasilitas yang dibutuhkan oleh publik yang jika tidak ada akan menyebabkan kesulitan bagi komunitas atau publik dan dapat menimbulkan persengketaan; ii) barang tambang dalam jumlah sangat besar. Ini haram dimiliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dll. iii) benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh pribadi; meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. Dalilnya adalah bahwa Rasulullah SAW pernah mengambil kebijakan untuk memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hammal Al Mazini. Namun, kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah setelah mengetahui tambang yang diberikan kepada Abyadh bin Hammal laksana air yang mengalir. Jadi, barang tambang yang depositnya sangat besar tidak boleh dikuasai individu karena termasuk harta milik umum dan hasilnya

masuk dalam kas Baitul Mal. Rasulullah bersabda, Kaum Muslim bersekutu dalam tiga hal: air, padang dan api. (HR Abu Dawud). Hadits ini juga menegaskan, yang termasuk harta milik umum adalah sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya. Oleh karena itu, dalam politik energi berdasarkan Islam, BBM mempunyai karakter sebagai energi, dimana: i) energi adalah barang publik, dan ii) energi adalah milik publik. Karena merupakan barang publik, jika energi dikuasai investor, maka ketersediaan dan harga energi ditentukan sekelompok kecil orang yang menciptakan pasar monopoli dengan orientasi laba. Keuntungan dan manfaatnya pun hanya dinikmati investor, bukan negara bukan pula masyarakat luas. Oleh karena itu barang publik harus DIKUASAI NEGARA. Mengapa? Karena ini wajib untuk menjamin pemenuhan seluruh sektor perekonomian dengan kuantitas yang cukup dan harga yang terjangkau. Karena merupakan MILIK PUBLIK, sumber daya energi yang diibaratkan dengan api sebagaimana hadis di atas, adalah kepemilikan bersama atau PUBLIK SEBAGAI PEMILIK sedangkan NEGARA SEBAGAI PENGELOLA. Disini syariat melarang negara menyerahkan pemilikan dan pengelolaan energi kepada swasta dan asing. Dengan demikian kalaupun rakyat perlu membayar BBM, maka biayanya adalah sekedar untuk mendapatkannya agar minyak mentah diproses hingga siap pakai dalam bentuk BBM, pembagiannya harus adil sehingga semua warga terpenuhi sebatas kebutuhan dasarnya. Namun bila negara tidak punya sumber minyak sendiri, maka negara terpaksa membeli BBM dari luar dengan harga pasar dunia, kepada rakyat tetap yang utama menjaga agar kebutuhan pokoknya terjamin. Negara juga wajib mendorong upaya pengembangan teknologi diversifikasi energi atau energi baru dan bila tetap ada rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pokoknya, maka negara turun tangan mencarikan/membantu nafkah dari kerabatnya, memberinya langsung jaminan dari kas zakat, dsb. Inilah sistem politik energi yang adil dan menyejahterakan, yang hanya bisa terwujud dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam, sistem pemerintahan syari yang diwariskan Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Wallaahu alam.

Anda mungkin juga menyukai