Anda di halaman 1dari 4

Ruwatan Sengkolo:Pensucian Anak Tunggal dari Malapetaka

Sandra Sri Pramono

spsandra066@gmai.com

Pendahuluan

Sebagian besar masyarakat Jawa sekarang ini menganut agama Islam. Sebagian lain beragama
Nasrani, baik Kristen maupun Katholik. Meski demikian, masih banyak di antara mereka masih
mempertahankan tradisi nenek moyang yang berakar dari ajaran Hindhu dan Budha. Khusus
yang menganut agama Islam,masyarakat Jawa bisa dikelompokkan menjadi dua golongan
besar,golongan yang menganut Islam murni sering disebut Islam santri dan golongan yang
menganut Islam Kejawen sering disebut Agama Jawi atau disebut juga Islam abangan.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam santri biasanya tinggal di daerah pesisir, seperti
Surabaya, Gresik, dan lain-lain, sedang yang menganut Islam Kejawen biasanya tinggal di
Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelen.1

Masyarakat Jawa memiliki karekter religius, nondoktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik.
Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat
Jawa seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sangkan Paraning
Dumadi, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu
yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati supernatural
serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan
ritual; 4) mengutamakan cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5)
percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6) bersifat konvergen dan universal; 7)
momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong-royong,
guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi. 2

Tradisi merupakan sesuatu fenomena kebudayaan, karena tradisi adalah praktek kebudayaan
dari suatu komunitas. Praktek kebudayaan memperlihatkan makna dari nilai–nilai sesuatu
kebudayaan, dimana nilai–nilai kebudayaan merupakan tujuan dari manusia untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya3.Ada satu upacara yang sedikit banyak berhubungan dengan kepercayaan
yang sumbernya berasal dari sebelum islam memengaruhi kebudayaan otang Jawa,terutama
pada waktu lampau,yaitu upacara ruwat atau yang biasa disebut dengan ruwatan. 4Sebagai
1
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa (Jakarta: Balai Pustaka,1984),

2
Suyanto, Pandangan Hidup Jawa (Semarang: Dahana Prize,1990), h 144

3
Bernard. T. Adeney, 2000, Etika Sosial Lintas Budaya, Yogyakarta:PustakaTeologi dan Gandum Mas,hal 159-162

4
Darmoko, “Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka Tinjauan
Sosiokultural Masyarakat Jawa”, dalam MAKARA: Sosial Humaniora, Vol. 6,
tradisi kuno, ruwatan telah melewati sejarah panjang dalam sistem kepercayaan masyarakat
Jawa. Sebagaimana diketahui, masyarakat Jawa telah dilalui oleh berbagai sistem kepercayaan
dunia, seperti Hinduisme, Buddhisme, Islam, dan Kristen. Masuknya sistem kepercayaan Hindu,
Buddha, Islam dan Kristen menurut Simuh tidak mematikan corak kepercayaan asli masyarakat
Jawa yang bercorak animisme-dinamisme tetapi justru semakin memperkaya sistem
kepercayaan Jawa karena religi ini telah mengakar kuat dalam dunia batin masyarakat Jawa
sehingga ia mempunyai kemampuan yang adaptatif dan elastis.5

Ruwatan mempunyai asal-usul yang akar ceritanya berasal dari dongeng Hindu-Budha yang
bersifat mitos. Konon, Bathara Guru dan permaisurinya yang bernama Dewi Uma ketika
bercengkerama di atas laut Pemancingan dengan mengendarai lembu Andhini. Suatu ketika,
Bathara Guru berkeinginan untuk bersatu rasa. Tetapi Dewi Uma tidak mengizinkan, sehingga
benih Bathara Guru tumpah ke lautan. Benih yang tumpah itu kemudian berubah wujud
menjadi raksasa yang sangat besar dan sakti yang dinamakan Bathara Kala. Raksasa ini
selanjutnya naik ke tempat bersemayamnya para Dewa yang disebut Suralaya. Sesampainya di
sana, raksasa meminta makanan dari manusia-manusia. Manusiamanusia ini dijadikan
mangsanya Bathara Kala yang oleh Bathara Guru disebut manusia Sukerta dan Jalma Aradan
(inilah yang nantinya akan diruwat).6

Menurut kepercayaan orang Jawa yang melakukan ruwatan mengatakan bahwa Ruwatan
adalah upacara yang dilakukan seseorang untuk membebaskan (sekerto) dari nasib dan
ancaman malapetaka. Sukerto atau sesuker (rereged) adalah kelemahan tertentu yang
dipercaya dapat mengundang datangnya malapetaka yang mengancam keberadaan dan
kebahagiaan. Orang yang termasuk penyandang sukerto atau pembawa sial harus dihilangkan
dengan cara diruwat. Jika tidak maka ia akan menjadi mangsa Bahthara Kala, sehingga hidupnya
selalu diliputi kesialan.Jika sudah diruwat maka Sukerta akan terbebaa dari malapetaka itu dan
terhindar dari para dahyang.7Dalam ruwatan tersebut terdapat peralatan, sajen, mantera
yang dijadikan sarana untuk menjembatani komunikasi antara manusia dengan
kekuatan penyelamat, untuk memelihara keseimbangan kosmos ini, orang Jawa melakukan
upacara selamatan pada perististiwa-peristiwa tertentu yang dianggap penting. 8

5
Yanti, F. (2017). Pola Komunikasi Islam Terhadap Tradisi Heterodoks (Studi Kasus Tradisi Ruwatan). Analisis: Jurnal Studi
Keislaman, 13(1), 201-220.

6
Agustin, V. N. (2016). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Eksistensi Pelaksanaan Ruwatan (Studi Kasus Di Desa Wotgalih
Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq
Jember).

7
Harjo Marmo (2023)Wawancara dengan sesepuh yang pernah melakukan tradisi Ruwatan di Desa Jerukan Juwangi.

8
Setiawan, E. (2018). Tradisi Ruwatan Murwakala Anak Tunggal dalam Tinjauan Sosiokultural Masyarakat Jawa. Asketik: Jurnal
Agama dan Perubahan Sosial, 2(2).
Tradisi ini hingga sekarang masih mengundang permasalahan dan tak jarang menimbulkan
pertentangan antara kalangan Islam dengan masyarakat Jawa pada umumnya. Dari kalangan
Islam sendiri meyakini tradisi ini terkesan sangat erat dengan aura kemusyrikan lantaran
terdapat beberapa amalan yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam, sehingga dengan
mudah memvonis bahwa tradisi ini adalah suatu yang baru dan diada-adakan yang tidak boleh
dilakukan oleh umat Islam. Oleh karena itu, seakan timbul tanda tanya besar tentang hukum
pelaksanaan ruwatan ini.

Maka dari permasalahan yang timbul,diperlukannya pembahasan yang lebih mendalam


mengenai hukum tradisi ruwatan menurut hukum syariat islam,maka penulis ingin meneliti
dengan tema "RUWATAN SENGKOLO:PENSUCIAN ANAK TUNGGAL UNTUK MENGHINDARI
MALAPETAKA"

Anda mungkin juga menyukai