Anda di halaman 1dari 37

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM

MAKALAH INI DIBUAT UNTUK MEMENUHI TUGAS AKADEMIK


MATA KULIAH: ISLAM DAN BUDAYA JAWA
DOSEN PENGAMPU: JIYANTO, M. Pd. I

Disusun oleh:
1. Alya Rohanifa
2. Ridwan Saputra
3. Rama Yusuf Ardiyansah

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2018/2019
BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah


Dalam penyebaran islam di Jawa terdapat dua pendekatan tentang
bagaiman cara yang ditempuh agar nilai-nilai Islam diserap menjadi bagian dari
bagian dari budaya Jawa. Pendekatan yanag pertama disebut Islamisasi Kultur
Jawa. Melalui pendekatan ini budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak
Islam, baik secara formal mamupun secara substansial. Upaya ini ditandai
dengan penggunaan istilah- istilah Islam, nama- nama Islam,pengambilan peran
tokoh Islam pada berbagai cerita lama,sampai kepada peranan- peranan hukum,
norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pedekatan yang
kedua disebut Jawanisasi Islam,yang biasa disebut upaya penginternalisasian
nilai- nilai Islam melalui cara peam budaya penyusupan kedalam budaya Jawa.
Melaluui cara pertama, islamisai dimulai dari aspek formal terlebih dalulul
terutama simbol-simbol keislaman nampak secara nyata dalam budaya Jawa,
sedangkan pada cara kedua, meskipun nama-nama dan istilah-istilah dalam
budaya Jawa tetap dipakai, tetapi nilai yang dikandungnya adalah nilai- nilai
sehingga Islam menjadi men-Jawa. Berbagai menunjukkan bahwa produk-
produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada
polarisasi Islam kejawaan atau Jawa yang keislaman sehingga timbul istilah
Islam Jawa atau Islam Kejawen.Sebagai cotoh pada nama-nama orang banyak
dipakai nama seperti Abdul Rahman, Abdul Razak meskipun orang jawa
menyebutnya Durahman,Durajak,dan lain-lain.
Sebagai suatu cara pendekatan dalam proses akulturasi,kedua
kecenderungan itu merupakan strategi yang serig diambil ketika kedua
kebudayaan saling bertemu. Apalagi pendekatan itu sesuai dengan watak orang
Jawa yang cenderung bersikap moderat dan cenderung mengutamakan

1
keselarasan. Namun, persoalan yang sering muncul dan menjadi bahan
perbincangan dikalangan adalah makna ynag terkandung dari percampuran
kedua budaya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah interelasi nilai budaya jawa dan Islam dalam Aspek
Kepercayaan dan Ritual ?
2. Bagaimanakah Korelasi Islam dan Jawa dalam Sastra?
3. Bagaimanakah Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Perwayangan?
4. Apakah Interelasi Islam dan Arsitektur Jawa?
5. Bagaimanakah Hubungan budaya Jawa dan Islam,Pengaruhnya terhadap
politik di Indonesia?
6. Bagimanakah interaksi pendidikan walisongo dari pesantren yang di
bangun?
7. Bagaimanakah Interelasi Nilai Jawa dan Prespektif Ekonomi?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan
Ritual
1. Interelasi Nilai Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tenetu memiliki aspek fundamental,
yakni aspek kepercayaan atau keyakinan,tetutama kepercayaan terhadap
sesuatu yang sacral, yang suci, atau yang ghaib.Dalam agama Islam aspek
fundamental itu terumuskan dalam aspek aqidah atau keimanan sehingga
terdapatlah rukun iman,yang didalamnya terangkum hal-hal yang harus
dipercayai atau diimani oleh orang muslim. Yang termasuk dalam rukun iman
adalah percaya kepada Allah,para malaikat-Nya, para nabi-Nya, kitab- kitab-
Nya, hari akhir (hari kiamat, surga, dan neraka) dan percya kepada qadha dan
qodar,yakni ketentuan tentang nasib baik atau buruk dari Allah SWT. Unsur-
unsur keimanan itu karena berjumlah enam disebut dengan rukun iman yang
keenam.
Sementara itu, dalam budaya jawa pra islam ynag bersumberkan dari ajaran
agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata seperti Dewa
Brahmana, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa, serta masih banyak lagi para dewa.
Demikian juga ada kepercayaan tentang kitab-kitab suci, orang-orang suci (para
resi), roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara). Hukum karma,dan hidup
bahagia abadi (moksa).Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat
kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab
penderitaan), nirodha(pemadaman keinginan), dan marga (jalan kelepasan).
Kelepasan yang dimaksud adalah Nirwana, dan untuk sampai ke Nirwana harus
menempuh delapan jalan kebenaran,semacam rukun iman juga dalam agama

3
Budha.meskipun semula agama ini tidak jelas ketuhanannya,tetapi dalam
perkembangannya agama Budha juga percaya kepada Tuhan atau Sang Hyang
Adi Budha. Dari Sang Hyang Adi Budha memanifestasikan diri dalam berbagai
tingkatan Budha sehingga terdapat Budha Surga. Demikian juga Budha Dunia
(Manusyi Budha) seperti Budha Gautama selaku penganjur agama ini.1 Adapun
pada agama “Primitif” sebagai “agama” orang Jawa sebelum kedatangan agama
Hindu ataupun agama Budha,inti kepercayaannya adalah percaya kepada daya-
daya kekuatan ghaib yang menenpati pada setiap benda (dinamisme), serta
percaya kepada roh-roh ataupun makhluk –makhluk halus yang menempati pada
suatu benda ataupun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, baik
benda hidup maupun benda mati(animisme).2
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindi, Budha, maupun kepercayaan
dinamisme dan animism itulah yang dalam proses perkembangan Islam
berinterelasi dengan kepercayaan kepercayaan dalam islam. Pada aspek
ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelidan dengan berbagai unsure
keyakinan Hindu- Budha maupun kepercayan primitif. Sebutan Allah dengan
berbagai nama yang terhimpun dalam asma’ al husna telah berubah menjadi
Gusti Allah, Gusti Kang Murbeng Dumadi (al- Khaliq ), Inkang Maha Kuwaos
(al- Qadir), Ingkang Maha Esa (al- Ahad),Ingkang Maha Suci,dan lain lain.
Nama-nama itu bercampur dengan nama -agama lain sehingga muncul sebutan
Hyang Maha Agung (Allahu akbar), Hyang Widi, Hyang Jagad Nata (Allah rabb
al- alamin), atau Sang Hyang Maha Luhur (Allah Ta’ala). Kata Hyang berarti
Tuhan atau lebih tepatnya dewa, sehingga ka-Hyang-gan diartikan sebagai
tempat para dewa.
Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme,
kepercayan mengesakan Allah itu sering menjadi tidak murni oleh karena

1
Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Agama Budha,(Jakarta: Badan Penerbit Kristen,
1971), hlm.74-75.
2
A.G. Honig Jr, Ilmu Agama I, ( Jakarta: Badan Penerbit Kristen,1966), hlm. 18-21.

4
tercampur dengan penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat,
baik benda mati maupun benda hidup. Arti keramat disisni bukan hanya sekedar
berrati mulia, terhormat,tetapi memiliki daya magis,sebagai sesuatu yang sakral
yang bersifat illahiyah. Dlam tradisi jawa terdapat jenis barang yang
dikeramatkan. Ada yang disebut azimat, pusaka dalam bentuk tombak,keris, ikat
kepala, cincin, batu akik,dan lain- lain. Barang- barang peninggalan para raja
Jawa yang disebut benda pusaka dan diberi sebutan “Kyai”, pada umumnya
dipandang sebagai benda benda keramat. Manusia, hewan dan tumbuh –
tumbuhan tertentu dipandang sebagai sesuatu barang yang suci untuk di hormati
atau disembah,keramat dan bertuah. Begitu juga dengan kuburan- kuburan
ataupu petilasaan-petilasan,hari-hari tertentu,dipandang memiliki barokah atau
juga bisa membawa kesialan. Barang-barang,benda- benda ataupun orang-orang
keramat itu dipandang sebagai penghubung atau (wasilah) dengan Allah. Oleh
karena itu, bacaan doa doa tertentu berubah menjadi mantra, ayat-ayat suci al-
Qur’an atau huruf-huruf Arab menjadi rajahan yang diyakini memiliki nilai-
nilai yang sangat berarti,bukan dari makna yang terkandung dari ayat- ayat itu
melainkan dari daya ghaibnya.
Kepercayaan terhadap makhluk jahat tidak saja ada pada agama islam, tetapi
juga ada agama Hindu maupun kepercayaan primitif. Dalam agama Islam
makluk jahat itu di sebut syaithan,yang dalam lidah Jawa di ucapkan setan,dan
pemimpin setan disebut iblis. Pekerjaan setan adalah menggida manusia
sehingga setan dianggap sebagai musuh manusia.sementara itu, pada agama
Hindu jenis makhluk jahat atau roh-roh jahat meliputi roh roh jahat musuh dewa,
antara lain Wrta musuh dewa indra. Roh jahat yang lebih rendah derajatnya dari
musuh dewa disebut Raksa, yang bias menjelma menjadi binatang atau manusia,
dan roh jahat pemakan daging atau jenazah di sebut picasa (Harun Hadi wijono,
1971 :18-19).3

3
Ibid, hlm 18-19

5
Kepercayaan Jawa terhadap makhluk jahat yang berasal dari agama maupun
agama Hindu tampaknya telah saling mengisi.
2. Hubungan antara Budaya Jawa dan Islam dalam Aspek Ritual
Agama Islam mengajarkan pemeluknya melakukan kegiatan kegiatan ritualistik
tertentu. Yang dimaksud dengan kegiatan rituallistik adalah meliputi berbagai
bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam,yakni shahadat,
shalat, puasa, zakat,dan haji. Khusus mengenai shalat dan puasa, disamping
terdapat shalat wajib lima waktu dan puasa wajib dibulan ramahan, terdapat pula
sholat- sholat dan puasa-puasa sunnah.Inti sari dari shalat adalah do’a, oleh
karena arti harfiah shalat juga do’a yang ditunjukan kepada Allah SWT,
sedangkan puasa adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penycian
rohani. Aspek do’a dan puasatampak mempunyai pengaruh yang sangat luas,
mewarnai berbagai bentuk upacara tradisonal orang jawa, hidup ini penuh
dengan upacara,baik upacara-upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup
manusia sejak dari keberadaanya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja,
dewasa, sampai saat kematiannya, atau juga dengan upacar-upacara yang
berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mencari nafkah,
khususnya bagi para petani, pedagan nelayan, dan upacara-upacara yang
berhubungan dengan tempat tinggal,seperti membangu gedung untuk berbagai
keperluan,membangun, dan meresmikan tempat tinggal, pindah rumah dan lain
sebagainya. Upacara-upacara itu semula dilakukan dalam rangka menangkal
pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan
membahayakan bagi kelangsungan kehidupan manusia. Dalam kepercayaan
lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji atau semacam kurban yang
disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib (roh-roh, makhluk halus, dewa-dewa)

6
tertentu. Tentu dengan upacara itu harapan pelaku upacara adalah agar hidup
senantiasa dalam keadaan selamat.4
Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu
dengan sebutan kenduren atau slametan. Di dalam upacara slametan ini yang
pokok adalah pembacaan doa (donga) yang dipimpin oleh orang yang dipandang
memiliki pengetahuan tentang islam, apakah seorang modin, kaum, lebe, atau
kiai. Selain itu, terdapatseperangkat makanan yang dihidangkan bagi para
peserta selametan, serta makanan yang dibawa pulang kerumah masing-masing
peseta slametan yang disebut sebagai berkat. Dalam bentuknya yang khas,
makanan inti adalah nasi tumpeng, ingkung ayam , dan ditambah ubarampe
yang lain.5
Berkaitan dengan lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara, antara
lain :
1. Upacara tingkeban atau mitoni, dilakukan pada saat janin berusia tujuh
bulan dalam perut ibu. Diiringi dengan bacaan perjanjen yang
dibawakan oleh empat orang dan dihapan mereka duduk sekitar 12
orang yang turut menyanyi. Nyanyian perjanjen ini sesungguhnya
merupakan riwayat nabi Muhammad yang bersumber dari kitab
barzanji.
2. Upacara kelahiran, dilakukan pada saat anak diberi nama dan
pemotongan rambut (bercukur), pada waktu bayi masih umur tujuh
hari atau sepasar. Karena itu slametan pada upacara ini disebut
nyepasari. Dalam tradisi islam santri upacara ini disebut korban aqiqah
yang diucapkan dalam lidah jawa kekal, ditandai dengan
penyembelihan hewan aqiqah berupa kambing dua ekor bagi anak laki-
laki dan satu ekor untuk anak perempuan.

4
Clifford Geertz, Abangan, santri, priyayi dalam masyaraka Jawa, terj. Aswab Mahasin, interelasi
islam dan jawa, (Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya, 1981), hlm. 13-18.
5
Ibid, 132-133

7
3. Upacara sunatan, dilakukan pada saat anak laki-laki dikhitan. Namun
pada usia mana anak itu dikhitan pelaksaannya berbeda-beda, ada yang
melaksanakannya antara usia 4-8 tahun, dan ada yang dilaksanakan
tatkala anak berusia antara 12-14 tahun. Sunatan ini merupakan
penyataan pengukuhan sebagai orang islam, karena itu sering kali
sunatan disebut selam, sehingga mengkhitankan dikatakan nyelamaken
yang mengandung makna mengislamkan.
Sementara itu, masih terdapat jenis upacara tahunan antara lain:
a. Muludan, Jenis upacara ini adalah upacara peringatan hari lahir Nabi
Muhammad, tanggal 12 bulan Maulid, berkenaan dengan muludan ini
dibeberapa kraton dirayakan pesta sekaten dan upacara Garebeg
Mulud. Upacara ini terdapat di masjid dan halaman kraton Yogyakarta,
Surakarta, dan Cirebon. Pada Upacara ini dimainkan seperangkat
gamelan sejak dari jam enam pagi hingga 12 malam tanpa henti, dan
menjadi tontonan orang-orang yang datang dari berbagai pelosok desa
maupun kota.6
b. Sadranan, adalah tradisi menziarah kubur para leluhur yang biasa nya
dilakukan dilakuakan pada bulan ruwah(sya’ban. Selain berziarah,
masyarakat juga membersihkan kuburan, lalu membaca doa. Sadranan
sebenarnya sudah ada pada masa masyarakat jawa memeluk agama
Hindhu-Budha yaitu mengirim doa kepada arwah orang mati, tetapi
setelah kedatangan islam ritual ini masih dipertahankan dengan
beberapa perubahan yaitu sadranan dijadikan ritual untuk mendoakan
arwah leluhur agar diberi keselamatan oleh Allah. Sesajen diganti
dengan makanan hasil pertanian dan peternakan. Sadranan biasanya

6
Ibid, 134-135

8
dilakuakan pada tangga 17-24 ruwah (sya’ban), sesuai dengan adat
masing- masing daerah.7

B. Korelasi Islam dan Jawa dalam Bidang Sastra


Keterkaitan antara agama Islam dengan karya sastra jawa adalah
keterkaitan yang bersifat imperatif moral atau mewarnai dan menjiwai
karya-karya sastra baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai
untuk memberikan sarana berbagai petunjuk atau nasihat yang secara
subtansial merupakan petunjuk atau nasihat yang bersumber daripada
ajaran islam. Hal ini dikarenakan para pujangga tersebut beragama islam,
dan tentunya kualitas keislaman pujanggapada saaat itu yakni abad 18-19
pengetahuan islam belum banyak seperti saat ini sehingga dalam
meyampaikan petunjuk atau nasehat para pujangga melengkapi dari
kekurangannya mengenai pengetahuan keislaman dengan mengambil hal-
hal yang dianggap baik dan tidak bertentangan dengan ajaran islam. Juga
semua karya-karya sastra jawa baru yang sering digunakan para pujangga
keratin Surakarta (Sri mangkunegara IV, R. Ngb Ranggawarsita dan
Susuhunan Pakubuwono IV) memakai puisi (tembang/ sekar macapat)
dalam menyusun karya-karya sastranya. Dan puisi jawa inijelas
bermentrum islam, maksudnya munculnya tembang atau sekar macapat ini
bebarengan dengan munculnya islam dipulau jawa, yaitu setelahnya
jatuhnya kerajaan hindu majapahit.8
Walaupun demikian, islam terlihat sekali dalam substansinya yaitu:
1. Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada tuhan yang
maha esa)

7
Drs. Abdullah Faisol, M.Hum. dan Dr. Samsul Bakri, M.S.I, Islam dan Budaya Jawa,
(Kartasura: Pusat Pengembangan Bahasa IAIN Surakarta)
8
Edi Sedyawati, Budaya Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 80-81

9
2. Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk atau nasehat
kepada siapapun)
Contoh karya-karya sastra pujangga yang menggunakan puisi jawa
baru :
1. Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat
piwulang)
 Serat warganya (1784), memakai tembang
dandangula, berisi 10 bait.
 Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (42 bait)
dan tembang pangkur (14 bait)
 Serat sriyatna, memakai tembang dhandanggula (15
bait)
 Serat nayakawara, memakai tembang pangkur (21
bait) dan tembang pangkur (12 bait)
 Serat seloka tama (1799), memakai tembang mijil
(31 bait)
 Serat dharmalaksita (1807) memakai tembang
dhaandangula (12 bait) tembang kinanti (18 bait)
tembang mijil (8 bait)
 Serat wedhatama, memakai tembang pucung (15
bait), gambuh (25 bait), pangkur (14 bait) dan sinom
(18 bait).
2. Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak terkenal) :
 Serat katalida, memakai tembang sinom (2 bait)
 Serat sabjati, memakai tembang megatruh (19 bait)
 Serat sandhatama,memakai tembang gambuh (22
bait)

10
 Serat wedharaga, memakai tembang gambuh (38
bait)
3. Karya sastra Susuhunan pakubuwono IV :
Sastra wulangeh, yang memakai tembang-tembang
dhandanggula (18 bait), kinanti (16 bait), gambuh (17 bait),
pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh (17
bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23
bait), asmaradhana (28 bait),sinom (33 bait) dan girisa (12
bait).9
Sedangkan corak yang mendominasi karya-karya saatra jawa baru
diantaranya masalah jihad, masalah ketauhidan dan masalah moral/perilaku yang
baik.
1) .Masalah jihad, dalam serat wirawiyata (mangkunegara IV) dengan
implementasi bagi setiap umat islam, sifat dan sikap seperti yang dimiliki
prajurit sangat diperlukan dalam menghadapi era globalisasi dan
memebentuk manusia indonesiadari abad millennium baru, yang akan
melahirkan generasi yang handal dan memiliki kemampuan daya saing
tinggi
2) Mendekatkan diri kepada tuhan, dalam sera naya kawara, dengan
implementasi mendekatkan diri kepaada tuhan, apabila selalu
mendekatkan diri kepadanya tentu akan diberikan petunkjuk-Nya
3) Memiliki moral yang baik , dalam serat selokatama dengan implementasi,
setiap muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah, karena
dengan perilaku tersebut seseorang akan terhindar dari perilaku yang jahat.

Pada zaman kemerdekaan karya-karya sastra jawa islami sulit ditemukan, ini
dikarenakan bahwa kebanyakan pembuat puisi masih enggan membuat puisi yang

9
Ibid, hlm. 80-81

11
islami. Kebanyakan mereka membuat karya-karya sastra yang njawani daripada
islami . selain itu, puisi jawa yang islami belum diamggap ngetren, sehingga
kenanyakan mereka menyukai puisi yang njawani.10

C. Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Pewayang


1. Asal-usul wayang
Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan,
yang berarti bayangan. Arti harfiah dari pertunjukan wayang adalah
berarti bayangan-bayangan. Arti filsafat yang lebih dalam adalah
bayangan kehidupan manusia, atau angan-angan manusia tentang
kehidupan manusia masa lalu.
Penulisan yang lengkap tentang asal-usul wayang adalah
disertai Hazeu berjudul Bijdrage tot de kennis van het javaanche
toneel. Disertai akademik ini dipertahankan di Universitas Leiden
pada tanggal 30 Januari 1897. Dalam disertasi ini telah dikomprasikan
beberapa pendapat dari Crawfurt, bahwa orangorang jawa pada masa
pra sejarah telah menemukan drama Polynesia, termasuk oleh Raden
Panji Inu Kerta Pati pada abad XII, sebuah ciptaan yang muncul pada
kejayaan agama hindu. Menurut pendapat Vert, adanya suatu
kenyatan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kesenian wayang dan
gamelan asal jelas terdapat pengaruh dan bantuan hindu. Menurut
pendapat Nieman bahwa orang hindu mempunyai pertunjukan(teater)
yang sama sekali berbeda dengan pertunjukan wayang. Pada
hakekatnya teater India berbeda dari teater jawa. Istilah teknis pada
pertunjukan wayang adalah khas jawa bukan sansekerta, jadi wayang
asal usulnya tidak mungkin dari India.

10
Hj. De Graaf dan Th. G. Th Pigeaud, kerajaan kerajaan islam di jawa, (Jakarta: PT.
Pustaka Graviti Press

12
Dalam disertasinya Hazeu memberikan suatu kesimpulan
bahwa untuk mengetahui asal-usul wayang, haruslah dianalisis dari
sarana pentasnya bukan dari karya kecir, kotak, keprek, ilalang dan
lainnya semua istilah asli jawa, bukan istilah asing atau India. Hazeu
menarik kesimpulan bahwa asal-usul wayang adalah asli jawa,
tentang pengaruh budaya asing sesudah masa itu tentunya pasti ada.
Pengaruh ini membuat wayang semakin berkembang dimasa
selanjutnya.11
Menurut Ir. Sri Mulyono pada masa 2000 tahun SM, nenek
moyang orang jawa telah mengenal budaya melayu-polynesia. Salah
satu bagian kebudayaan ini adalah pertunjukan baying-bayang.
Pertunjukan ini berisi Shamanisme kan berfungsi sebagai pemujaan
Hyang. Dalam kurun waktu yang cukup lama dan secara evolusi
pertunjukan ini berubah bentuk menjadi pertunjukan wayang kulit
yang masih sederhana. Barulah kira-kira 600 tahun sebelum masehi
mulai berkembang agama Hindu di Indonesia. Wayang kulit yang
belum mencapai bentuknya terpengaruh dan digunakan oleh
kepentingan agama Hindu dan Budha sebagai pertunjukan yang
bersifat ritual, magis relegius dan pendidikan moral. Pertunjukan
wayang kulit dari masa prahindu yang masih lestari fungsinya adalah
pertunjukan wayang kulit untuk upacararawatan upacara-upacara
penyembelihan roh nenek moyang di masa sekarang diketahui dari
beberapa fungsi ritual wayang kulit yang masih sering
diselenggarakan adalah pertunjukan upacara bersih desa dan ruwetan.
Kembali tentang asal-usul wayang kecuali untuk
kepentingan penelitian ilmiah, sebenarnya kita tidak perlu terlalu
mempersoalkan apakah wayang itu asli ciptaan orang jawa ataukah

11
Suharyo Bagyo, Wayang Beber Wonosari, (Wonogiri: Bima Citra Pustaka. 2005), hlm. 89

13
contekan dari kebudayaan lain. Yang penting sekarang adalah
bagaimana kita memanfaatkan dan membina serta mengembangkan
kekayaan budaya jawa ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat
bukan hanya jawa tapi Indonesia bahkan dunia, bagaimana kita
mengembangkan wayang ini untuk umat manusia untuk memayu
hayuning bawana.12
2. Jenis-jenis wayang
Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar
di pulau-pulau jawa, bali, Lombok, Kalimantan, Sumatra dan lain-
lainnya, baik yang masih popular maupun yang hamper atau sudah
punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan atau dimuseumkan,
menjelang akhir abad yang lalu seseorang Belanda yang menjadi
Direktor Museum Etnografi di Leiden, yaitu Prof Dr. L. Serrurior
mengadakan peenelitian angket tentang jenis-jenis wayang dipulau
jawa, dan hasil penelitian itu diterbitkan berupa buku yang berjudul
De Wajang Poerwa. Dalam buku itu disebut jenis-jemis wayang yang
pada masa itu dikenal di pulau jawa, yaitu wayang beber, wayang
golek, wayang gedog, wayang jumbling, wayang (kelethik) wayang
keruai(kruai) wayang langendaria, wayang pegon, wayang porwo,
wayang puwara, wayang sasak, wayang topeng, dan wayang wong
atau wayang orang. Dari semua jenis wayang itu yag paling terkenal,
tersebar luas dan diketahui sejarah perkembangannya adalah wayang
purwa yaitu jenis pertunjukan wayang kulit, dengan lakon-lakon yang
mula-mula bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India yaitu
Ramayana dan Mahabarata meskipun jenis pertunjukan ini berasal
dari jawa dan telah terkenal di jawa timur pada masa pemerintahan
Raja Airlangga dalam abad 11.

12
Ibid, hlm. 89

14
3. Pewayangan Jawa
Kitab Mahabarata sansekerta yang digubah sekitar 600-700
tahun SM merupakan sumber utama dan pengiring bagi timbulnya
kesastraan jawa kuno berkembang dari kitab induk ini seperti
Adiparwa wirataparwa, bisparwa dan lainnya yang oleh Zoetmulder
disebut sebagai kelompok sastra parwa.
Sebagai fenomena budaya wayang merupakan sinkretisme
dan mozaikisme dari berbagai budaya yang mempengaruhi nya. Hal
ini menunjukkan bahwa budaya pewayangan bersifat pluralistic dan
elektik, sebagai akibat budaya jawa yang terbuka dan bertoleransi
terhadap berbagai budaya lain. Pada zaman pra sejarah nenek moyang
animisme dan dinamisme mereka percaya kepada adanya kekuatan
roh itu dipuja untuk dimintai restu atau pertolongan dalam sebuah
upacara religious.13
Pemujaan itu dilakukan dalam bentuk”pentas bayangan”
yang dilakukan di malam hari oleh orang sakti yang disebut Syahm,
karena pada malam hari itulah roh-roh mengembara. Pentas bayangan
ini kemudian menjadi pertunjukan wayang yang dilakukan oleh
dalang. Sumber acuan para dalang di jawa tentu saja bukan kitab
Mahabarata sansekerta, tetapi karya yang muthakir seperti pustaka
raja karya Rangga Wasito, Serat Baratha Yudha karya Yasadipura dan
sebagainya. Ada juga karya lain seperti Surat Kanaha yang
mencampuradukkan silsilah nabi sejak nabi Adam dengan silsilah
tokoh wayang, termasuk para dewa dan punakawan. Bahkan dalam
serat Manikmaya yang jelas-jelas merupakan refliksi dari proses
pertemuan berbagai tata nilai yang berlangsung selama beberapa

13
Guritno Pandam, Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, (Jakarta: Universitas
Indonesia, 1988), hlm 65

15
waktu seperti islam, hindu, dan budaya jawa yang asli, pertunjukan
wayang yang jalan cerita nya banyak diubah dari kitab asalnya, yaitu
kitab mahabarata, semuanya mempunyai tujuan utama yaitu memberi
petunjuk kepada manusia ke jalan yang benar dan baik ke jalan yang
dikehendaki oleh Tuhan yang Maha Esa untuk memacu cipta rasa dan
karsa manusia agar tergugah untuk memperindah bebrayan agung,
untuk ikut mehayu hayuning bawana. Dengan demikian pertunjukan
wayang tidak hanya sebagai tontonan dan alat penghibur, tetapi juga
memuat tuntunan kehidupan manusia.14
4. Wayang dan Islam
Prof. K. MZ. Machfoel pernah menguraikan tentang makna
punakawan yakni Semar, Nala Rareng dan Bagong ke 4 figur nama-
namanya sama sekali tidak terdapat dalam epos hindu Ramayana dan
Mahabarata sebagai sumber cerita pewayangan aslinya. Muncul nya
figur punakawan tersebut merupakan hasil Wali songo untuk
memperagakan serta mengabdikan fungsi wathak, tugas konsepsional
Walisongo dan para mubaligh islam menurut pendapat nya nama
Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong bukan merupakan sebutan
bahasa jawa kuno, tetapi berasal dari bahasa arab sebagaimana nama:
a. Semar dari Ismar
b. Nala Gareng dari Naala Quran
c. Petruk dari Fatruk
d. Bagong dari Baghao
Kata Islam oleh orang jawa diucapkan Semar dari “is”
berubah menjadi “se” contohnya Istanbul menjadi setanbul. Ismar
adalah paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyah. Ibarat ajaran
islam didakwahkan para walisongo di seluruh kerajaan Majapahit,

14
Ibid, hlm. 65

16
yang ada pada waktu itu sedang ada pergolakan dengan
berakhirnya didirikan kerajaan Demak oleh Raden Patah. Hal
senada sesuai dengan hadits al-islamu Ismarudd nya yang berarti
islam adalah pengokoh keselamatan dunia. Nala Qoriin oleh
pengucapanya lidah jawa menjadi Nala Gareng yang berarti
memperoleh banyak teman dan tugas konsepsional para walisongo
sebagai juru dakwah ialah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya
kawan untuk kembali kejalan Tuhan dengan sikap arif dan harapan
yang baik.15
Fatruk oleh pengucapan lidah jawa menjadi Petruk, kata
tersebut merupakan kata pangkal kalimat pendek dari sebuah
wejangan tasawuf tinggi yang berbunyi Fat-ruk kaila maa
siwallahi, yang artinya tinggalkan semua apapun yang selain Allah
wejangan tersebut kemudian menjadi watak pribumi para Wali dan
mubaligh pada waktu itu baghao pengucapan lidah jawa menjadi
Bagong yang berarti berontak yaitu berontak terhadap kebatilan
atau kemungkaran suatu tindakan anti kesalahan. Dalam kata
Bago’(arab) yang berarti kekal. Ditinjau dari makna serta isi nilai
wayang jelas nahwa punakawan adalah bentuk lambing visualisasi
dari ide masyarakat jawa. Masyarakat penggemar wayang mengerti
bahwa manusia sebetulnya memerlukan pemomong dalam
perjalanan hidup.
Bukan kekuatan manusia yang menyelamatkan dan
mendekatkan diri pada Tuhan, melainkan bimbingan yang pada
akhirnya berasal dari Tuhan jugs. Manusia harus menyadari bahwa

15
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, (Semarang: Dahara Prize, 1992), hlm. 76

17
masing-masing dirinya lemah dan memerlukan perlindungan tanpa
bimbingan Tuhan manusia akan tersesat.16

D. Interelasi Islam dan Arsitektur Jawa


1.Interelasi Islam dan Jawa dalam Arsitektur Masjid
a. Adanya menara yang mirip dengan meru pada bangunan Hindu
Kata menara dari perkataan manara yang berasal dari bahasa arab
yang berarti api atau nur yang berarti bahaya. Awalan kata ma
menunjukkan tempat. Jadi menara berarti tempat menaruh api atau
cahaya diatas. Akan tetapi kemudian memiliki manfaat yang lain, yakni
untuk mengumandangkan adzan guna menyeru orang melaksanakan
sholat. Sugeng Haryadi menyatakan bahwa menara dalam pandangan
ulama sufi di kategorikan manaru yaitu suatu bangunan yang puncaknya
digunakan untuk memancarkan cahaya Allah Swt(agama islam). Seperti
contohnya masjid Kudus (masjid al-aqsha) yang memiliki menara
bercorak Hindu.
b. Adanya lawang kembar, pintu gapura dan pagar bercorak Hindu
c. Penggunaan bentuk atas bertingkat/tumpang dan pondasi persegi
Bentuk bangunan masjid dengan model atas tingkat tingkat tiga
diterjemahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh
tiga aspek, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Adapun Nurcholis Madjid
menafsirkannya sebagai lambang tiga jenjang penghayatan manusia yaitu
tingkat dasar(purwa), menengah(madya), tinggi(wusana), yang sejajar
dengan jenjang vertical islam, iman, dan ihsan. Selain itu dianggap pula
sejajar dengan syariat thariqat, dan ma’rifat.
d. Adanya pawastren

16
Urgiantoro Burhan, Transformasi Unsur Pewayangan, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Pres, 1998), hlm. 88

18
Pawastren adalah tempat sholat yang dikhususkan bagi wanita.
Biasanya ditempatkan dibagian selatan ruang utama dan dihubungkan
dengan jendela dan pintu. Namun ada juga pawastren yang letaknya di
sebelah utara, sebagaimana terdapat pada masjid Kudus Kulon. Bahkan
di masjid Mantingan tidak ada pawastrennya.17
e. Adanya bedug dan kentongan
Biasanya di jawa dalam masjid –masjid atau musola terdapat
kentongan yang digunakan untuk pertanda waktu sholat dikarenakan,
belum adanya alat komunikasi yang canggih. Dan kentongan pada saat
Itu dianggap sebagai alat yang paling efektif digunakan sebagai Alat
komunikasi.
2. Interanelasi Islam dan Jawa dalam Arsitektur makam
a. Pengunaan penanda pada makam seperti batu nisan da nada pula yang
diberi cungkup.
Di Jawa, makam merupakan salah satu temapat yang dianggap
sakral, bahkan cenderung dikeramatkan. Dilihat dari corak arsitekturnya
terdapat beberapa bentuk. Ada yang sederhana hanya dengan ditandai
batu nisan seperti makan Fatimah binti maimun , atau makam Malik
Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Ada pila yang diberi cangkup atau
hiasan-hiasan dan kelambu seperti makam sunan Kudus, Raden Patah,
Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan lain-lain.
b. Ditempatkannya makam ditempat yang tinggi
Sesuai denagan hadist Nabi yakni kuburan lebih baik ditinggikan
dari tanah sekitar agar mudah diketahui (H.R Baihaqi ). Contoh makam
yang ditempatkan di punuk bukit adalah komplek neoporole raja-raja
Mataram di imogori, Astara Giribangun Mangadeg di Matesih, dan

17
Seeyed Hosein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kacah Dunia Modern, (Bandung: Pustaka,
1994), hlm. 243.

19
makam Sunan Gunung Muria di gunung Muria. Kondisi ini menyerupai
bangunan pura yang didalamnya terdapat abu pemakaman mayat yang
di letakkan pada tempat tinggi pada tradisi Hindu.18
c. arealnya dikelilingi bangunan yang berlapis-lapis mengingatkan kita
pada bentuk bangunan ketadhon pada bangunan keraton jaman kerajaan
hindu dan lawang korinya.
d. Adanya candi pada beberapa makam di Jawa menunjukkan adanya bukti
adanya budaya Jawa dan Islam dalam bangunan arsitektur makam.
e. Pengunaan istilah pesarean (tempat tidur panjang)
Dalam tradisi pra Islam hamper tidak kematian. Kematian sering
disamarkan atau ditafsirkan dengan “kembali ke alam Dewa”,”sima”
dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan makam tidak di anggap sebagai
kubur sebagaimana konsep Islam, tapi sebagai tempat “tidur panjang”
(pesarean), astana atau tempat ketenangan (kasunyatan).
3. Interelasi Islam dalam arsitektur tata kota
Contoh interelasi yang terjadi antara nilai Islam dan nilai Jawa
dalam arsitektur tata kota Islam sebagai berikut:
a. Biasanya ada alun-alun yang menjadi pusat keramaian kota
b. Didekat alun-alun terdapat bangunan masjid besar
c. Terdapat juga pendopo yang menjadi pusat pemerintahan
d. Tidak jauh dari alun-alun,terdapat pasar yang menjadi pusat
perdagangan.19
E. Hubungan Budaya Jawa dan Islam, Pengaruhnya terhadap Polotik di
Indonesia
Simbol sinkritesme politik Jawa- Islam tampak mencolok pada
gelar Sultan , Kalifatullah, Sayyaidin Panatagama, Tetunggul Kalifah dipakai

18
Ibid., hlm. 243.
19
Seyyed Hosein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern, (Bandung:
Pustaka, 1994), hlm. 243.

20
oleh Sunan Giri ketika menjadi raja pada tradisi antara dari kerajaan Majapahit
dan Kerajaan Islam Demak. Sunan giri berkuasa dalam keadaan vakum.
Pada masa ini tidak ada pemimpin yang berdaulat, baik dari raja
hindu maupun islam. Kerajaan majapahit yang hindu telah runtuh sedangkan
kerajaan yang nantinya Demak belum berdiri. Sunan Giri hanya berkuasa
hanya dalam waktu 40 hari pasca keruntuhan Majapahit pada tahun 1478 M
oleh serangan seorang raja Grindera Wardhanadan Keling Kediri. Setelah masa
peralihan 40 hari ini, sunan giri menyerahkan kedaulatan kepada raja islam
yang permanen yaitu Raden Fatah, dialah raja dari kerajaan Islam Demak.*
F. Pesantren dan Walisongo Interaksi dalam Dunia Pendidikan
1. Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim sering pula dikenal dengan sebutan
Maulana Magribi maupun Syekh Magribi. Disebut demikian karena
kemungkinan dia berasal dari negri Magribi, yaitu tempat marahari
terbenam. Meskipun sekarang nama tersebut merupakan nama lain dari
Maroko, namun tidak ada bukti lain tentang kebenaran kemungkinan
tersebut. Bahkan dia sering dihubungkan dengan Persia dan India. Sejarah
mencatat tokoh dari seberang lautan itu sebagai penyebar pertama Islam di
Jawa.
Yang dilakukan pertama kalinya adalah hidup bersama dengan
anak nergri Jawa tidak pernah menentang agama dan keyakinan penduduk
asli dengan tajam. Adat istiadat mereka pun tidak ditentang secara tidak
tentang secara terbuka. Untuk selanjutnya dia membuka pesantren sebagai
sarana untuk mendidik penduduk asli dalam memahami lebih lanjut agama
Islam.20

20
Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradapan Umat
Manusia), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 125

21
Tinggalan arkeologis Sunan Maulana Malik Ibrahim menurut
J.P.Moquette (1912:214) berdasarkan persamaan bentuk jirat dan nisan,
serta gaya dalam kaligrafinya yang menunjukkan persamaan dengan
kaligrafi nisan-nisan kubur di Cambay (India), diduga bahwa nisan dan
jirat makam Maulana Malik Ibrahim berserta keluarga terdekatnya
didatangkan dari Cambay. Dugaan tersebut juga diperkuat oleh jenis batu
marmer yang digunakan juga sama dengan jenis batu nisan kuno di
Cambay. Selain itu, pada bingkai nisan tertulis surah al-Baqarah ayat 225
(ayat kursi), surat al Imran ayat 185, surat ar Rahman 26-27, dan surat al
Taubah 21-22.21
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) masih keturunan Ali
Zainal Abidin al-Husein. Beliau datang ke Indonesia pada zaman kerajaan
Majapahit tahun 1379 untuk menyebarkan Islam bersama-sama Raja
Cermin. Dan akhinya beliau wafat pada 1419 (882 H) dan dimakamkan di
Gresik.22
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Ampel lahir pada 1401, dengan nama kecil Raden Rahmat, Beliau
adlah putra Raja Campa. Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng
Manila, seorang putri Tuban. Beliau memiliki empat anak : Maulana
Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), putri
Nyai Ageng Maloka dan Dewi Sarah (istri Sunan Kalijaga). Beliau terlibat
pembangunan Masjid Demak (1479). Sunan Ampel merupakan pelanjut
perjuangan Maulan Malik Ibrahim yang sanngan mengat handal. Beliau
terkenal karena kemampuannya berdakwah dengan mengarang syair
dengan ide-ide budaya lokal.

21
Irwan Suhada, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, (Jakarta: Kompas, 2006), hlm. 39.
22
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), hlm.22.

22
Berikut merupakan petikan butir-butir nasihat yang
disampaikannya :
a. Sapa kang mung ngakoni barang kang kasat mata wae, iku durung
weruh jatining pangeran.
b. Yen sira kasinungan ngelmu kang marakke akeh wong seneng, aja
sira malah rumangsa pinter Manawa Gusti mundhut ngelmu kang
marakke sira kaloka iku, sira uga banjur kaya wong sejene, malah
bias aji godhong jati aking.
c. Sapa seng gelem gawe seneng marang liyan, iku bakal oleh wales
kang luwih gede katimbang apa kang wis ditindakake.
Terjemahanya :
a. Barang siapa hanya mengakui barang yang terlihat oleh mata
saja, itu berarti belum mengakui hahikat Tuhan.
b. Jikalau engkau mempunyai ilmu yang membuat banyak orang
suka padamu, janganlah engkau merasa paling pandai, sebab
kalau Tuhan kembali mengambil ilmu yang menyebabkan
engkau tersohor itu, engkau menjadi tidak berbeda dari yang
lain,bahkan nilainya menjadi di bawah nilai daun jati yang
sudah kering.
c. Barang siapa suka membuat senang orang lain, ia akan
mendapatkan balasan yang lebih banyak daripada yang ia
lakukan.23
Tinggalan arkeologis dari Sunan Ampel ialah sebagai beriku :
a. Makam : nisannya berbentuk seperti daun teratai yang
dimaknai dengan simbol bahwa ditempat tersebut
dimakamkan tokoh utama.

23
Ibid., hlm. 48-49

23
b. Gapura : hiasan diambang pintu masuk gapura berupa motif
bunga dan sulur-suluran, yang disusun menjadi stiliran bentuk
kalamakara, sesuai dengan budaya Jawa- islam yang
berekembang pada masa itu.
c. Masjid : dengan unsur kuno yang terdapat pada mimbar
dengan ukiran motif burung garuda. Ragam hias pada mimbar
tersebut merefleksikan nilai-nilai estetika dan simbolisme
local, juga berkait dengan simbol-simbol keislaman. Tema
burung-burung banyak dijumpai pada syair- syair bernafaskan
Islam, terutama syair sufi, dasern juga cerita tentang Nabi
Sulaiman yang dapat memahami ucapan burung. Karena
sering kali motif burung dihubungkan dengan ungkapan
bahwa “burung adalah pancaran dan bisikan halus dari Allah
untuk Nabi Muhammad”. Ia wafat pada tahun 1481 Mahesi di
Ampel dan dimakamkan di kompleks pemakaman Ampel,
Surabaya.24
3. Sunan Bonang (Raden Makhdum Ibrahim)
Nama aslinya adalah Raden Makhdum Ibrahim. Beliau putra
Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu klaam dan tauhid.
Beliau dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam
mengembangkan ajaran Islam dipesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar
belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur,
untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi murudnya
berdatangan dari berbagai daerah.
Dimasa hidupnya Sunan Bonang adalah termasuk penyokong dari
kerajaan Demak dan ikut pula membantu pendirian Masjid Agung di kota
Bintaro Demak. Program dakwah yang dikembangkan adalah :

24
Samsul Munir Amin, Sejarah Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 230.

24
a. Pemberdayaan dan peningkatan jumlah dan mutu kader
Da’I, yaitu dengan mendirikan pendidikan dan dakwah islam.
b. Memasukkan pengaruh Islam kekalangan bangsawan keraton
Majapahit. Sunan Bonang lah yang memberikan didikan Islam
kepada Raden Patah, Sunan Demak pertama, dan putra
bangsawan lainya.
c. Terjun langsung ketengah- tengah masyarkat. Dalam
berinteraksi dengan masyarakat tersebut beliau menciptakan
gending-gending atau tembang-tembang Jawa yang sarat
dengan misi pendidikan dan dakwah Islam, seperti Sinom,
Dandang Gula, Pangkur, dan lain-lain. Selain itu juga,
menganti nama-nama hari naas menurut kepercayaan Hindu
dan nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat-
malaikat dan nabi-nabi menurut Islam.
d. Melakukan kodifikasi atau pembukuan dakwah. Kodifikasi
pesan dakwah atau ajarannya dilakukan oleh murud-muridnya.
Kitab itu ada, yang berbentuk puisi maupun prosa. Kitab inilah
yang kemudian dikenal dengan suluk Sunan Bonang.25dan
pada akhirnya Sunan Bonang wafat di pulau Bawean pada
tahun 1525 M.26
4. Sunan Giri
Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishak dan Nyai Sekardadu
(putri blambangan). Sunan Giri atau Raden Paku adalah seorang yang
dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat
Banjar yang sedang dilanda musibah. Kemudian Raden Paku bertafakur di

25
Wahyu Illahi, Harjani Hefni Polah, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta Kencana, 2012),
hlm. 177.
26
Fatah Syukur, Sejarah Peradapan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010),
hlm. 196

25
goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai
bertafakur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Psai untuk
mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawahi dari
negri Pasai melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah
perbatasan.
Yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang
dinamakan Pesantren Girinya. Tidak berselang lama hanya dalam waktu
tiga tahun pesantren tersebut terkenal di seluruh Nusantara. Sunan Giri
sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa maupun Nusantara
baik dilakukannya sendiri pada waktu muda melalui berdagang atau
bersama muridnya. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan
anak kecil yang bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-
lain.27
Tinggalan arkeologis Sunan Giri antara lain ialah :
Masjid kecil dan Masjid besar. Bentuk atap kedua Masjid ini
adalah atap tumpang. Bentuk atap tumpang merupakan salah satu
ciri masjid-masjid kuno di Indonesia. Pada pintu masuk ke
halaman Masjid terdapat gapura paduraksa yang dibagian atasnya
ditemukan ornament berupa tulisan ayat-ayat suci al Qur’an.
a. Makam : pada teras pertama terdapat sebuah gapura yang
berbentuk candi bentar dan menghadap ke selatan, pada gapura
ini, terdapat patahan-patahan kala. Sunan Giri wafat pada awal
pertengahan abad XVI Masehi dan dimakamkan di Bukit Gresik,
Jawa Timur.
5. Sunan Drajat
Nama asli dari Sunan Drajat adalah Syarifuddin Hasyim,
merupakan putra Sunan Ampel. Dalam kehidupan sehari-harinya beliau

27
Ibid., hlm.196.

26
dikenal sebagai waliyullah yang bersifat social, dimana dalam
menjalankann aktifitas dakwahnya beliau tidak segan-segan untuk
menolong masyarakat bahwa serta untuk merperbaiki kehidupan sosialnya.
Adapun pola dakwah yang telah dikembangkannya adalah :
a. Mendirikan pusat atau pos-pos bantuan yang diatur sedemikian
rupa, sehingga memudahkan dalan pengaturan dan penyaluran bagi
masyarakat yang membutuhkan.
b. Membuat kampong-kampung percontohan. Kampong –kampung
percontohan ini dipilih ditengah-tengah dengan tujuan agar
menjadi pusat rujukan masyarkat dalam kehidupan sehari-hari
mereka dalam segala hal.
c. Mengajarkan ajaran kolektivisme, yaitu ajaran bergotong royong
dimana yang kuat menolong yang lemah, dan yang kaya menolong
yang miskin.
d. Di bidang kesenian beliau menciptakan tembang tembang jawa
yaitu pangkur.28
6. Sunan Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden Sahur putra
Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid sebernarnya anak
muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bias
menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi ketimpangan,hingga dia
mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kepada rakyatnya.
Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya dicambuk 100
kali sampai banyak darahnya dan di usir.
Setelah mengembara ia bertemu seorang bejubah putih, dia adalah
Sunan Bonang. Lalu Raden Sahid diangkat menjadi murid, lallu disuruh

28
Wahyu Illahi, Harjani Hefni Polah, Pengatar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2012),
hlm. 178.

27
menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai
seluruh tubuhnya berlumut. Maka Sunan Sahid disebut Sunan Kalijaga.
Beliau dikenal sebagai seorang yang dapat bergaul dengan segala
lapisan masyarakat. Beliau adalah mubaligh keliling. Dengan
memanfaatkan kesenian rakyat yang ada, beliau dapat mengumpulkan
rakyat untuk kemudian diajak mengenal agama Islam. Beliau adalah
penabuh gamelan, dalang, pecinta tembang yang ahli. Kesemuanya itu
untuk kepentingan dakwah dan beliau secara tidak langsung menentang
adat istiadat rakyat, agar mereka tidak lari dari Islam dan enggan
mempelajari Islam.
Sunan kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah
memeinta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat
syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan
Ramayana, tetapi dalam cerita itu disisipkan ajaran-ajaran agama dan
pahlawan Islam. Kesenian-kesenian lain juga dijadikan media islamisasi,
seperti sastra (hikayat ,babad, dan sebagainya), seni arsitektur, dan seni
ukir.29
7. Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)
Nama lain dari Sunan Kudus adalah Ja’far sadiq, Raden Undung,
atau Raden Untung, dan Rden Amir Haji. Sunan Kudus terkenal sebagai
ulama besar yang menguasai ilmu hadist, ilmu al Qur’an, ilmu sastra, ilmu
mantik,dan terutama sekali ilmu fikih. Dengan ketinggian ilmunya itulah,
maka kemudian beliau dijuluki “waliyul ilmi” yang artinya wali yang
menjadi gudang ilmu. Disamping itu beliau juga merupakan pujangga
besar yang dengan daya kreativitasnya berinisiatif mengarang dongeng-
dongeng pondok yang berjiwa seni Islam.
Adapun cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:

29
Samsul Munir, Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 308.

28
a. Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan
1) Membiarkan adat istiadat lama yang sulit di ubah
2) Menghindarkan konfrontasi secara langsung dan menyiarkan
agama Islam
3) Tut Wuri Hndayani
4) Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah
dengan langsung di ubah.
b. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi
karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
c. Merangkul masyarakat Budha
Setelah Masjid, terus Sunan Kudus memberikan padasan tempat
wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Diatas pancuran
diberi arca kepala Kebo Gumarang di atasnya hal ini disesuaikan
dengan ajaran Budha “ jalan berlipat delapan atau asta sungkika
marga” .
d. Selametan Mitoni
Biasanya sebelum acara selametan diadakan menbacakan sejarah
Nabi.30
Adapun tinggalan arkeologis Sunan Kudus adalah sebagai berikut :
a. Menara : Pijper dan The Minaret In Jawa mengemukakan bahwa
menara itu mengigatkan pada menara kul-kul di Bali.
b. Gapura : keseluhan bahan bangunan gapura adalah bata. Fungsi
gapura adalah penghubung antarruang atau halaman sesuai dengan
sifat halaman, yaitu profane, semi sakral, dan sakral. Bentuk
gapura semacam ini mempunyai korelasi denagan seni bangunan
pada masa Arab-pra Islam. Makna simbolis gapura adalah bala

30
Fatah Syukur, Sejarah Peradapan Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010),
hlm. 198-199.

29
dan simbol dari gunung yang retak yang siap menjepit segala
sesuatu yang jahat yang melaluinya.
c. Makam : nisan terbuat dari batu andesit. Pada bagian nisan diukir
dengan hiasan tumbuh-tumbuhan yang distilir.
d. Tempat wudhu : tempat wudhu disebelah selatan Masjid
mempunyai hiasan pada lubang pancuran dengan ornament
berbentuk kepala arca.31
Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 Masehi dan dimakamkan di
pemakaman Masjid Menara Kudus.32
8. Sunan Muria (Raden Umar Sahid)
Salah seorang walisongo yang banyak berjasa dalam menyiarkan
agama Islam di perdesaan pulau Jawa adalah Sunan Muria. Beliau adalah
putra dari Sunan Kalijaga,dan memiliki nama kecil R. Prawoto. Dalam
perkawinannya dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung, Sunan Muria
memperoleh seorang putra yang bernama Pangeran Santri, yang dijuluki
sebagai Sunan Ngadilangu. Sunan Muria lebih memeilih untuk
menyebarkan agama Islam dikalangan rakyat kecil yang tinggal didaerah
terpencil,seperti di lereng Gunung Muria. Beliau adalah putra dari Sunan
Kalijaga dengan dewi saroh. Dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu
mengunakan cara halus,ibarat mengambil ikan tidak sampai keruh airnya.
Itulah cara yang digunakan disekitar gunung Muria dalam menyebarkan
agama Islam. Sasaran dakwah beliauadalah para pedagang, nelayan, dan
rakyat jelata. Beliau adalah salah satunya wali yang mempertahankan
kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah
yang menciptakan tembang Sinom.beliau banyak mengisi tradisi Jawa

31
Ibid., hlm. 105-108
32
Samsul Munir Amin, Sejarah Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 232.

30
dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, nyatus dini dan
sebagainya.33
9. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati Memiliki nama lain Fathahillah Falatehan,
Syarif Hidayatullah, Syekh Nuruddin Ibrahim Ibnu Maulana Ismail,dan
Sahid Kamil. Beliau dilahirkan di Pasai, Aceh, dan setelah dewasa dia
menuntut ilmu ke Mekkah. Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470
M. Dia berangakat ke tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana
beliau bersama ibunya disambut gembira oleh pangeran Cakra Buana.
Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal di Pasumbangan
Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan
usahanya Syekh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena
itu Syarif Hidayatullah di panggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dinikahkan
dengan putri Cakra Buana Nyai Pakung Wati kemudian ia diangkat
menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 M dengan
diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukanya melalui
diplomasi dengan kerajaan lain.34
Strategi metode pengembangan dakwah yang dilakukan Sunan
Gunung Jati lebih terfokus pada job description atau pembagian tugas
diantaranya adalah dengan melakukan :
a. Melakukan pembinaan intern kesultanan dan rakyat yang masuk
dalam wilayah Demak ditangan wali senior. Dengan program
utamanya adalah masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah harus
segera diislamkan karena mereka merupakan kekuatan pokok.
Sunan Gunung Jati mengorientasikan dakwahnya pada pertahanan
di Jawa bagian Barat dari ekspansi asing.

33
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam Di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar 2010), hlm. 25.
34
Ibid., hlm. 199.

31
b. Melakukan pembinaan terhadap luar daerah dengan menyerahkan
tanggung jawabnya kepada pemuda.35
G. Interelasi Nilai Jawa dan Islam Prespektif Ekonomi
Dalam masyarakat Jawa, prinsip ekonomi dapat dijumpai istilah-
istilah atau konsep-konsep cucuk, pakoleh, ngirit dan lain-lain. Sementara
itu, istilah Jawa yang memiliki arti berlawanan dari istilah diatas antara
lain boros, tanpa pethung, awur-awuran, dan lain-lain. Disampng itu,
dengan mendalami sungguh-sungguh kebudayaan Jawa telah tinggi sifat-
sifat rasional atau prinsip ekonomi dapat ditemukan dalam kata kunci yang
digunakan masyarakat Jawa. Diantaranya ora ilok, kuwalat, buak dasar,
tuna sanak, ora lumrah, ora umum, lali jawane dan sebagainya.
Dalam aspek ekonomi ienterelasi nilai Islam dan Jawa dapat dilihat
dari tradisi seperti pesugihan dan selametan. Pesugihan merupakan
kegiatan untuk mencapaikebutuhan yang biasanya dilakukan ditempat
yang biasanya dikeramatkan dengan tujuan untuk mencari ketenangan agar
mendapatkan inspirasi. Sedangkan selametan merupakan upacara yang
telah disentuh denhan agama Islam, seperti masuknya unsur dzikir,
penentuan waktu dan maksud penyelenggaraan yang dikaitkan dengan hari
besar Islam yang terkadang mampu menimbulkan getaran emosi
keagamaan.
Secara sederhana kata ekonomi diartikan sebagai kegiatan manusia
atau masyarakat untuk mempergunakan unsur-unsur produksi dengan
sebaik-baiknya guna maksud untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Oleh
karenan itu, proses ekonomi meliputi proses produksi barang dan
jasa,penukaranya dan pembagiannya, antara golongan-golongan
masyarakat dan pemakainya (komsumsi)dalam kehidupan sehari-hari.

35
Wahyu Illahi, Harjani Hefni Polah, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: kencana,
2012), hlm. 179.

32
Dalam kegiatan ekonomi manusia mempunyai prinsip-prinsip yang
bersifat universal, yang berarti prinsip ekinomi berlaku dimana-mana.
Prinsip ekonomi harus diberlakukan kapan saja dan dimana saja agar
semua yang diberikan tuhan (preparing pangeran) dapat disyukuri dan
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.36
Dalam masyarakat Jawa, prinsip ekonomi dapat dijumpai dalam
istilah-istilah atau konsep-konsep seperti cucuk, pakoleh, ngirit, ghutuk,
lumayan dan lain-lain. Sementara itu istilah Jawa yang memiliki arti
berlawanan dari istilah-istilah tersebut adalah boros, tanpa petung, awur-
awuran, ya ben, dipangan Benthara kala, dan lain sebagainya. Prinsip
ekonomi yang dapat ditemukan dalam kata kunci diantaranya ora ilok dan
kuwalat.
Ora ilok adalah istilah yang berarti bertentangan dengan prinsip
rasional, akal sehat atau tidak logis. Meludahi sumur dan menduduki
bantal adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip rasional. Hal ini
karena air sumur disediakan untuk kebutuhan minum orang banyak
sedangkan bantal adalah landasan kepala waktu tidur. Kuwalat adalah kata
kunci yang bertentangan dengan moral dan nilai moral yang dijunjung
tinggi dalam masyarakat. Tidak berani terhadap orang tua, melangkahi dan
melompati kuburan orang tua dan tidak merawat benda pusaka akan
dikatakan kuwalat oleh pendukung dan penganut budaya Jawa.
Dengan pemahaman mendalam terhadap kenyataan tersebut secara
mendasar, kita bias mengetahui bahwa masyarakat Jawa telah memilki
prinsip-prinsip ekonomi rasional yang cukup tinggi dan telah
37
menunjukkan salah satu prinsip ekonomi yaitu efisien.

36
Endang Saifudin Anshari, Kuliah Al Islam, Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi,
(Jakarta: Rajawali, 1980), hlm. 165-168.
37
Ibid., hlm. 43.

33
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan pembahasan dapat disimpulkan


sebagai berikut:
1. Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan dan
ritual. Dari aspek kepercayaan yang di tunjukkan dengan adanya
kepercayaan selain islam yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan
Budha. Dari aspek ritual ditunjukkan dengan adanya ritual-ritual
Jawa seperti selametan, tahlilan, sekaten, nyadran dan lain-lain.
2. Dibidang sastra yaitu keterkaitan antara Islam dan Jawa dapat
memberikan warna dalam bidang sastra, munculnya tembang-
tembang dan syair-syair dipulau Jawa.
3. Sebagai kesenian yang berasal dari pengaruh kepercayaan Hindu,
wayang memiliki jenis-jenis wayang yaitu wayang beber, wayang
gedog, wayang golek, wayang keruai, wayang sasak, wayang
topeng, wayang wong dan lain-lain. Wayang dalam Islam
hbiasanya dijadikan media penyebaran Islam oleh walisongo.
4. Hubungan Islam dan Jawa dengan bangunan Jawa adanya
pengaruh Hindu-Budha dalam arsitertur Jawa.
5. Hubungannya dengan pengaruh politik di Indonesia budaya Jawa
dan islam berpengaruh dalam susunan dan istilah gelar dalam
politik.
6. Walisongo berpengeruh dalam pendidikan diJawa melalui
pesantren yang didirikan para wali
7. Memunculkan kosep-konsep dan istilah-istilah ekonomi di Jawa.

34
DAFTAR PUSTAKA

Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Agama Budha, Jakarta, Badan Penerbit
Kristen, 1971
Honig Jr., Dr.A.G., Ilmu Agama I, Badan Penerbit Kristen, Jakarta,1966
Geertz, Clifford Abangan, santri, priyayi dalam masyaraka Jawa, terj. Aswab
Mahasin, interelasi islam dan jawa, Penerbit Pustaka, Jakarta, 1981
Abdullah Faisol., M.Hum.Drs., dkk, Islam dan Budaya Jawa, Pusat
Pengembangan,Kartasura, Bahasa IAIN Surakarta

Sedyawati, Edi, Budaya Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

De Graaf., Hj., dkk, kerajaan kerajaan islam di jawa, PT. Pustaka, Jakarta,
Graviti,Press

Bagyo,Suharyo, Wayang Beber Wonosari, Bima Citra Pustaka,Wonogiri,2005

Pandam,Guritno, Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, Universitas


Indonesia, Jakarta, 1988

Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Dahara Prize, Semarang, 1992

Burhan, Urgiantoro, Transformasi Unsur Pewayangan, Gadjah Mada


University Pres, Yogyakarta, 1998

Hosein Nasr, Seeyed, Islam Tradisi di Tengah Kacah Dunia Modern, Pustaka,
Bandung, 1994

Su’ud, Abu, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradapan


Umat Manusia), PT Rineka Cipta, Jakarta, 2003

Suhada, Irwan, Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Kompas, Jakarta, 2006

35
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010

Munir Amin, Samsul, Sejarah Dakwah, Amzah, Jakarta,2014

Polah, Wahyu, dkk, Pengantar Sejarah Dakwah, Kencana, Jakarta, 2012

Syukur, Fatah, Sejarah Peradapan Islam, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang,
2010

Saifudin Anshari, Endang, Kuliah Al Islam, Pendidikan Agama Islam di


Perguruan Tinggi, Rajawali, Jakarta, 1980

36

Anda mungkin juga menyukai