Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak
eksistensinya di masyarakat. Istilah waria dan homo bukan lagi menjadi kata
yang asing pada setiap orang. Istilah homo atau homeseksual diciptakan pertama
kali oleh Dr. K.M Kertbeny pada tahum 1869. Kata homo berasal dari bahasa
Yunani yang berarti sama, dan kata seks yang memiliki arti jenis kelamin. Istilah
ini merujuk kepada ketertarikan seseorang terhadap sesama jenisnya.

Hampir semua orang mengenal waria. Waria adalah individu yang


memiliki jenis kelamin laki laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti
layaknya seorang perempuan. Waria merupakan kelompok minoritas dalam
masyarakat, namun demikian jumlah waria semakin hari semakin bertambah,
terutama di kota-kota besar.

Pada tahun 1920 muncul komunitas homo seksual di kota besar Hindia-
Belanda. Pada tahun 1969, berlangsung pertikaian antara waria dan gay dengan
polisi yang dikenal dengan istilah huru-hara Stonwell, yang terjadi di New York,
Amerika. Kejadian tersebut menjadi langkah awal bagi waria dan gay dalam
mempublikasikan keberadaan mereka. Pada tahun yang sama, mulai muncul
organisasi waria yang bernama Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD). Organisasi
tersebut merupakan organisasi waria pertama di Indonesia yang terletak di
Jakarta dan difasilitasi oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta Raya.

1
Yayasan atau organisasi waria semakin banyak di Indonesia dari tahun ke tahun.
Tidak pernah terdapat catatan pasti mengenai kapan tepatnya muncul
penyimpangan perilaku yang dilakukan kaum waria dimulai. Fenomena
pembangunan kota di Indonesia memnerikan pengaruh yang sangat besar dalam
kehidupan waria, dengan salah satu contoh adalah pembangunan taman-taman
kota yang ramai dikunjungi masyarakat.

Pada tahun 2009, berdasarkan data Yayasan Srikandi Sejati (Hamid,


2011) sebuah lembaga yang mengurusi masalah waria, jumlah waria Indonesia
mencapai 6.000.000 orang. Karena waria menjadi salah satu kelompok
masyarakat yang diindikasi rentan terhadap perlakuan diskriminatif di Indonesia,
sehingga data ini menjadi perlu untuk diperhatikan.

Namun demikian, stigma buruk yang ditempelkan pada sosok seorang


waria selalu saja melekat dan menjadi penilaian negative dari masyarakat. Hal ini
karena norma dan nilai yang berlaku dimasyarakat menolak perilaku yang
ditampilkan oleh sosok waria. Dari sisi agama, ajaran agama manapun tidak
memperbolehkan penampilan dan perilaku yang ditampilkan oleh waria pada
umumnya.

Dalam Kitab Al-Quran menyebutkan,


“sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu
(kepada mereka), bukan kepada wanita, maka kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas” (QS Al-A’raaf 7:81)

Dalam Kitab Injil menyebutkan,


“bila seorang laki laki tidur dengan seorang laki laki secara bersetubuh
dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian …..(Imamat 20;13)

2
Berdasarkan dari paparan ayat-ayat diatas, sudah jelas bahwa perilaku
waria sangat tidak diperbolehkan oleh makhluk ciptaan tuhan dalam ajaran
agama Islam dan Kristen serta agama manapun.

Faktor-faktor terjadinya transeksual disebabkan oleh factor biologis,


factor psikologis dan sosiologis. Dalam factor biologis, terjadi karena dipengaruhi
oleh hormone seksual dan genetic seseorang. Faktor psikologis yaitu motivasi
yang muncul dari dalam individu untuk melakukan sesuatu perilaku tertentu
dengan tujuan-tujuan tertentu. Serta factor sosiologis yaitu pengaruh lingkungan
yang membawa dampak pada perubahan tingkah laku

Selain itu, menurut seorang psikolog dan pemerhati gender Faiz


menegaskan konsep transeksual yakni, seseorang yang normal secara genetik
dan tidak memiliki interseks secara fisik, merasa dirinya anggota gender
berkebalikan dari gender yang dimilikinya, merasa tidak nyaman dengan
tubuhnya, menginginkan menyeseuaikan tubuh dengan jiwanya dan mengganti
genital sesuai dengan yang dimilikinya , menginginkan diakui dan hidup secara
sah (menurut hukum) sebagai anggota gender yang dimiliki.

Dengan stigma masyarakat yang menilai waria negatif, membuat semakin


terpuruknya posisi waria di mata masyarakat yang semakin besar, dimana timbul
kecemasan dalam diri waria, yang pada dasarnya kecemasan waria bukan hanya
berasal dari diri individu saja, melainkan dapat dari diri individu, serta konsep diri
dari seorang waria menjadikan kebingungan akan dirinya sendiri. Kaum waria
cenderung negatif karena masih mengalami kebingungan identitas seks, dalam
kehidupan sehari hari kaum waria merasa nyaman dianggap sebagai perempuan,
berpenampilan, berdandan sebagai perempuan, namun pada kenyataannya
mereka adalah laki laki, serta hal-hal yang dapat mempengaruhi konsep diri
waria adalah peranan citra diri, kematangan seksual orang tua dan keluarga,
teman sebaya, dan pengaruh lingkungan sekitar dan masyarakat.

3
Dalam ranah pekerjaan, kaum waria hanya dapat melakukan pekerjaan-
pekerjaan non-formal, yang dikarenakan dampak dari penolakan dimata
masyarakat, sepeerti: kerja disalon, pengamen, penata rias, perancang busana,
pekerja seks komersial, dan lain sebagainya yang menunjukkan keminoritasan
kaum waria.

Meskipun dalam kehidupan masyarakat luas waria masih dianggap atau


kurang diterima, tetapi keberadaan waria sudah mulai diterima dimata media
bahkan di beberapa daerah kecil. Sekarang banyak berita-berita yang
mengekspose perilaku waria mulai dari sisi baik seorang waria sampai ke sisi
negatifnya, bahkan banyak reality show di pertelevisian yang menggunakan
waria sebagai focus subjek seperti Be A Man, Dorce Show, Kontes Miss Waria,
Penyanyi Tata Dado, bahkan kegiatan social yang dilakukan oleh kaum waria-pun
tidak lewat dari pembicaraan.

Terdapat pandangan budaya di Indonesia yang memosisikan waria secara


unik. Waria yang disebut Bissu yaitu seorang laki-laki yang diberi tugas menjaga
pusaka yang mengenakan perempuan dan menjauhi kontak dengan perempuan.

Berprilaku menjadi waria banyak memiliki resiko. Waria dihadapkan pada


berbagai masalah seperti penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak
diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun
non verbal. Penolakan terhadap waria tersebut terutama dilakukan oleh
masyarakat strata sosial atas. Masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit
memahami eksistansi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria
dan enggan bergaul dengan waria disbanding masyarakat strata sosial bawah
yang lebih toleran. Karena belum diterimanya waria dalam kehidupan
masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas terutama pada kehidupan
hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan kosmetik dan
tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi

4
pelacur untuk memenuhi kebutuhan material maupun biologis. Waria
merupakan kaum yang paling marginal. Penolakan terhadap waria tidak terbatas
rasa “jijik”, mereka juga ditolak untuk mengisi ruang-ruang aktivitas dari pegawai
negeri, karyawan swasta, atau berbagai profesi lain. Bahkan dalam mengurus
KTP, persoalawan waria juga mengundang penolakan dan permasalahan, maka
sebagian besar akhirnya turun dijalan untuk mencari kebebasan.

Perilaku waria tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang sederhana.


Konflik identitas jenis kelamin yang dialami waria tersebut hanya dapat dipahami
melalui kajian terhadap setiap tahap perkembangan dalam hidupnya. Setiap
manusia atau individu akan selalu berkembang, dari perkembangan tersebut
individu akan mengalami perubahan-perubahan fisik maupun psikologis. Salah
satu aspek dalam diri manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin.
Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan
oleh berhasil tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami peran
jenis kelaminnya konflik atau gangguan identitas jenis kelamin.

Perilaku yang tidak adil terhadap waria, tidak lain adalah disebabkan
kurang adanya pemahaman masyarakat tentang perkembangan perilaku dan
dimana dinamika psikologis yang dialami oleh para waria, sebab selama ini
pemberitaan-pemberitaan media, baik media cetak maupun media elektronik,
belum sampai menyentuuh pada wilayah tersebut. berdasar atas realitas
tersebut peneliti menganggap penting untuk memahami lebih dalam mengenai
waria, kebutuhan-kebutuhan atau dorongan yang mengarahkan dan memberi
energi pada waria, tekanan tekanan yang dialami, konflik-konflik yang terjadi,
hingga bagaimana mekanisme pertahanan diri yang akan digunakan oleh waria
tersebut.

5
Berdasarkan Paparan diatas, masalah mengenai sosok waria ini sangat
menarik untuk diteliti secara ilmiah, dan permasalahan waria di Indonesia ini
tidak akan pernah berhenti serta berkesinambungan. Oleh karena itu, peneliti
sangat tertarik dengan topik waria ini.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah


dalam penelitian ini adalah :

1. Mengapa mereka memilih menjadi waria?


2. Bagaimana perilaku waria di tengah masyarakat di Kota Palopo?
3. Bagaimana respon masyarakat terhadap keberadaan waria di Kota
Palopo?
4. Bagaimana waria mampu mengendalikan emosinya?
5. Bagaimana waria menikmati hidup dan bersikap dalam kehidupan sehari-
hari?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui semua permasalahan yang


dirumuskan.

6
1. Untuk mengetahui mengapa mereka memilih menjadi waria
2. Untuk mengetahui bagaimana perilaku waria di Kota Palopo
3. Untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat terhadap waria di Kota
Palopo
4. Untuk mengetahui bagaimana waria mampu mengendalikan emosinya
5. Untuk mengetahui bagaimana waria menikmati kehidupan sehari-hari

1.3 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Manfaat Teoritis
a. Menambah khasanah ilmu pengetahuan, wawasan, serta informasi
terhadap kajian pengembangan teori ilmu-ilmu sosiologi khususnya
tentang interaksi sosial yang berkaitan dengan perilaku waria dengan
masyarakat.
b. Dapat memberikan sumbangan teoritis bagi disiplin ilmu psikologi,
khususnya psikologi social mengenai penerimaan diri dan pemunculan
diri pada waria.
c. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi peneliti lain yang ingin
mengadakan penelitian-penelitian lanjutan mengenai waria, terutama
yang berkaitan dengan penerimaan dan presentasi diri pada waria.

2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai bahan acuan
kalangan yang tertarik dan terlibat dalam kehidupan waria serta
membantu dalam penyusunan pelatihan dan pemberdayaan waria bagi
pemerintah.

7
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ragam Bahasa

Kridalaksana (1993:184) menyatakan ragam bahasa adalah variasi


bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang
dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, dan orang
yang dibicarakan, serta menurut medium pembicaraan. Pendapat lain,
Nababan (1984:14) mendefinisikan ragam bahasa adalah perbedaan-
perbedaan bahasa berdasarkan daerah yang berlainan, kelompok atau
keadaan sosial yang berbeda, situasi berbahasa dan tingkat formalitas
yang berlebihan dan tahun atau zaman yang berlainan. Adapun Suwito
(1996: 29) mengatakan ragam bahasa adalah variasi bahasa berdasarkan
sudut pembicaraan, tempat bicara, pokok pembicaraan, dan situasi
bicara. Chaer dan Agustina (2004: 90) mendefinisikan ragam bahasa
adalah variasi bahasa yang menyangkut bahasa itu digunakan untuk
keperluan atau bidang apa.

Dari rumusan-rumusan di atas, ragam bahasa dapat


diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Kridalaksana (1992:3) membagi
ragam bahasa menjadi tiga macam yaitu ragam bahasa berdasarkan
pokok pembicaraan, ragam bahasa berdasarkan medium pembicaraan,
dan ragam bahasa berdasarkan hubungan antara pembicara. Ragam
bahasa menurut pokok pembicaraan dibedakan atas ragam undang-
undang, ragam jurnalistik, ragam ilmiah, ragam jabatan, dan ragam
sastra.

8
Ragam bahasa menurut medium pembicaraan dibedakan atas
ragam lisan yang dibedakan atas ragam percakapan, ragam pidato dan
sebagainya serta ragam tulis yang dibedakan atas ragam undang-undang,
ragam catatan, ragam surat-menyurat dan sebagainya.

Ragam bahasa menurut hubungan antara pembicara dibedakan


atas beberapa macam, yaitu ragan baku, ragam resmi, ragam usaha,
ragam santai, ragam akrab, ragam formal, dan ragam informal.Moeliono
(1997: 3) mengklasifikasikan ragam bahasa menjadi dua, yaitu ragam
menurut golongan penutur bahasa dan ragam menurut jenis pemakaian
bahasa. Ragam bahasa yang ditinjau dari sudut pandang penutur dapat
diperinci menurut daerah, pendidikan, dan sikap penutur. Ragam bahasa
ditinjau berdasarkan daerah dapat disebut logat atau dialek. Ragam
bahasa menurut pendidikan formal yang menyilangi ragam dialek
menunjukkan perbedaan yang jelas antara kaum yang berpendidikan
formal dengan yang tidak. Ragam bahasa menurut sikap penutur
mencakup sejumlah corak bahasa Indonesia yang masing-masing pada
asasnya tersedia bagi tiap-tiap pemakai bahasa. Ragam ini dapat disebut
langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur
terhadap orang yang diajak berbicara atau terhadap pembacanya.

Selanjutnya, ragam bahasa menurut jenis pemakaiannnya ada tiga


macam yaitu ragam dari sudut pandangan bidang atau pokok persoalan,
ragam menurut sarananya, dan ragam yang mengalami gangguan
pencampuran. Ragam menurut bidang atau pokok persoalan berkaitan
dengan lingkungan yang harus memilih salah satu ragam yang dikuasai
dan cocok dengan bidang atau pokok itu. Bidang yang dimaksud, misalnya
agama, ilmu teknologi, perdagangan, seni, sastra, politik dan sebagainya.
Ragam bahasa menurut sarananya lazim dibagi atas ragam lisan dan
ragam tulisan.

9
Ragam bahasa mengalami gangguan campuran atau interferensi
berkaitan dengan unsur bahasa daerah atau bahasa asing yang masuk
dan kemudian mengganggu kefektifan penyampaian informasi.

Ragam bahasa berdasarkan tingkat formalitas atau fungsiolek


disebut gaya bahasa atau style. Joss via Soeparno (2002: 74-76)
membedakan lima gaya yaitu:

a.Gaya beku (frozen)

Gaya ini disebut gaya beku sebab pembentukkannya tidak


pernah berubah dari masa ke masa oleh siapapun penuturnya.
Contoh gaya baku ialah bahasa dalam bacaan shalat dan doa.

b. Gaya resmi (formal)

Biasa disebut gaya baku. Pola dan kaidahnya sudah


ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar dan
pemakaiannya dirancang pada situasi resmi. Gaya semacam ini
biasa dipergunakan dalam pidato-pidato resmi atau kenegaraan,
rapat dinas, dan laporan pembangunan.

c. Gaya konsultatif

Gaya yang disebut juga setengah resmi atau gaya usaha.


Disebut demikian karena bentuknya terletak antara gaya formal
dan gaya informal, dan pemakaiannya kebanyakan dipergunakan
oleh para pengusaha atau kalangan bisnis.

10
d. Gaya kasual (Casual).

Gaya ini disebut juga gaya informal atau santai. Gaya


bahasa ini biasa dipergunakan oleh para pembicara di warung
kopi, di tempat-tempat rekreasi, di pinggir jalan dan
pembicaraan santai lainnya.

e. Gaya intim (intimate).

Gaya ini disebut juga gaya akrab karena biasa


dipergunakan oleh para penutur dan hubungannya sudah amat
akrab. Gaya intim ini biasa juga dipakai oleh pasangan yang
sedang bermesraan, seorang ibu dengan anak kecilnya, suami istri
dalam situasi khusus, dan lain sebagainya.

Poedjosoedarmo (via Puspitandari 2004:11) membagi variasi


bahasa berdasarkan tingkat keformalan menjadi dua tingkat, yaitu ragam
formal dan ragam informal. Pada dasarnya penggunaan bahasa dalam
SMS dikategorikan dalam bentuk ragam santai (casual) atau biasa disebut
dengan gaya informal. Ragam informal atau ragam santai (casual) yang
digunakan dalam SMS tercermin dalam penggunaan bahasa yang tidak
baku, yang disesuaikan pada konteks, topik dan situasi bicara yang ragam
itu gunakan. Poedjosoedarmo (via Puspitandari 2004:11) memberikan ciri
ragam informal sebagai berikut.

a. Adanya penanggalan-penanggalan baik penanggalan bab ide pokok,


penanggalan kalimat, penanggalan klausa atau frasa, penanggalan kata,
penanggalan suku kata, dan penanggalan fonem. Semakin banyak
penanggalan yang terjadi, semakin santai suasana tuturan yang
menyertai wacana itu.

11
b. Kalimat-kalimat yang terpakai di dalam tipe tutur ini biasanya ditandai
oleh penggunaan kata tunjuk ini dan itu, partikel sih, deh, dong dan kok,
dan juga injeksi, seperti lho, lha, aduh, e dan sebagainya.

c. Istilah sapaan (term of adress) yang dapat digunakan untuk


menunjukkan sifat akrab antara orang satu dengan orang kedua biasanya
juga digunakan di dalam ragam informal ini. Kata-kata yang dipakai
biasanya juga berbentuk ringkas, seperti le, nok, nduk, mas, pak, bu,
jeng,dan sebagainya.

d. Pilihan komponen wacana tidak lugas, artinya boleh dipakai kata-kata,


ungkapan- ungkapan, atau kalimat-kalimat yang mengandung
bermacam-macam konotasi dan menimbulkan berbagai kesan yang
aneh.

e. Adanya bentuk-bentuk campur aduk dari berbagai bahasa, baik bahasa


asing maupun bahasa daerah.

f. Adanya struktur sintaktik yang menyimpang dari kelaziman kebahasaan.


Jadi fungsi gramatikal seperti subjek, predikat, dan objek tidak terpenuhi.

g. Topik pembicaraan yang tidak tentu, berganti topik secara tiba-tiba dari
satu topik ke topik yang lain. Bahkan kadang-kadang bersifat tidak
relevan dengan topik pembicaran.

12
2.2 Definisi Linguistik dan Sosialinguistik

Linguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa. Seperti yang


diungkapkan oleh Sinha (2005) bahwa “linguistic: a sicientific study of
language”. Dengan kata lain linguistik adalah ilmiah yang memepelajari
bahasa. Sedangkan Lyons (1968: 1) mengatakan “Linguistics may be
difined as the scientific study of language.” Dapat disimpulkan bahwa
linguistik dapat didefinisikan sebagai studi ilmiah bahasa.

Kemudian Fromkin (2001:3) menyatakan bahwa “The scientific


study of human language is called linguistics,” yaitu ilmu yang
mempelajari bahasa manusia disebut linguistik. The New Oxford
Dictionary of English (2003), mendefinisikan linguistics yaitu “The
scientific of linguistics include sociolinguistics, dialectology,
psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and
structural linguistics.” Linguistik juga sering disebut linguistik umum
(general linguistik) karena lingustik tidak hanya mengkaji sebuah bahasa
saja, melainkan mengkasi bahasa pada umumnya.

Linguistik bermula dari linguistik traditional. Tata bahasa


traditional menganalisis bahasa berdasarkan filsafat dan semantik,
sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan struktur atau cirri-ciri
formal yang ada dalam suatu bahasa ertentu. Crystal (1987:82) di dalam
bukunya yang berjudul The Cambridge Encyclopedia of Language
membagi jenis linguistik menjadi enam bagian yaitu:

1. Morfologi: cabang tata bahasa yang mempelajari struktur


kata-kata.

2. Fonetik : bentuk pengucapan, seperti yang ditimbulkan oleh


proses artikulasi, transmisi akustik dan audisi.

13
3. Fonologi : cara bahasa yang berbeda mengatur suara untuk
menyampaikan perbedaan makna.

4. Sintak : cara di mana kata-kata disusun untuk menunjukkan


hubungan makna dalam (dan kadang-kadang antara) kalimat.

5. Semantik : studi tentang makna dalam bahasa.

6. Pragmatik : ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang


mengatur pilihan bahasa dalam interaksi sosial dan efek pada
orang lain.

Sosiolinguistik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang


mempelajari atau membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa,
khususnya perbedaan- perbedaan atau variasi yang terdapat dalam
bahasa yang berkaitan dengan faktor- faktor kemasyarakatan.

Menurut Chaer (2003: 16) “sosiolinguistik adalah subdisiplin


linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungan pemakaiannya di
masyarakat. Sosiolinguistik ini merupakan ilmu interdisipliner antara
sosiologi dan linguistik.”

Nababan (1984: 2) menjelaskan bahwa sosiolinguistik terdiri atas


dua unsur, yaitu sosio dan linguistik. Arti dari linguistik, yaitu ilmu yang
mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa
dan hubungan antara unsur- unsur itu (struktur), termasuk hakikat dan
pembentukan unsur-unsur itu. Unsur sosio, adalah seakar dengan sosial,
yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok- kelompok
masyarakat, dan fungsi-fungsi kemasyarakatan.

14
Jadi, sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan
dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat.

Menurut Soeparno (2002: 25), “sosiolinguistik adalah subdisiplin


linguistik yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor
kemasyarakatan atau faktor sosial.” Masalah utama yang dibahas atau
dikaji dalam sosiolinguistik antara lain, mengkaji bahasa dalam konteks
sosial dan kebudayaan, menghubungkan faktor- faktor kebahasaan, ciri-
ciri bahasa, ragam bahasa, situasi, faktor-faktor sosial dan budaya, serta
mengkaji fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang linguistik
yang mempelajari hubungan antara perilaku sosial dan perilaku bahasa.

2.3 Pentingnya Bahasa

Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia


karena bahasa merupakan alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan bahasa, seorang dapat menyampaikan ide, pikiran, perasaan
kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan.

Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf (2004 : 1), bahwa bahasa
adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa symbol bunyi
yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pengembangan bahasa di TK
ialah usaha atau kegiatan mengembangkan kemampuan anak untuk
berkomunikasi dengan lingkungan melalui bahasa.

15
Anak TK ialah individu yang mengalami suatu proses pertumbuhan
dan perkembanga. Pada usia ini anak berada dalam keadaan yang sangat
peka untuk menerima rangsangan dari luar. Rasa ingin tahu dan sikap
yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri yang paling menonjol.

Aspek perkembangan anak meliputi perkembangan fisik, motorik,


intelektual, emosi, bahasa, serta social berlangsung sangat cepat akan
berpengaruh besar terhadap perkembangan selanjutnya.

Menurut Depdiknas, (2003 : 105) fungsi pengembangan bahasa


bagi anak TK adalah : (a) Sebagai alat untuk berkomunikasi dengan
lingkungan. (b) Sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan
intelektual anak. (c) Sebagai alat untuk mengembangkan depresi anak. (d)
Sebagai alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikiran kepada orang
lain.

Bahasa dipergunakan pada sebagian besar aktivitas manusia,


tanpa bahasa manusia tidak dapat mengungkapkan perasaannya,
menyampaikan keinginann, memberi saran dan pendapat, bahkan sampai
tingkat pemikiran seseorang yang berkaitan dengan bahasa. Semakin
tinggi tingkat penguasaan bahasa seseorang, semakin baik pula
penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Manusia dalam
mengungkapkan bahasanyapun berbeda-beda, ada yang lebih suka
langsung membicarakannya da nada juga yang lebih suka melalui tulisan.

16
2.4 Pengertian Waria

Waria (gabungan dari Wanita-pria) adalah laki-laki yang lebih suka


berperan sebagai perempuan dalam kehidupannya sehari-hari.
Keberadaan waria telah tercatat lama dalam sejarah dan memiliki posisi
yang berbeda- beda dalam setiap masyarakat.

Walaupun dapat terkait dengan kondisi fisik seseorang, gejala


waria adalah bagian dari aspek sosial transgenderisme. Seorang laki-laki
memilih menjadi waria dapat terkait dengan keadaan biologisnya
(hermafrodi-tisme), orientasi seksual (homoseksualitas), maupun akibat
pengondisian lingkungan pergaulan. Sebutan bencong atau banci juga
dikenakan terhadap waria dan bersifat negatif. Menurut Atmojo (1986)
waria adalah laki– laki yang berdandan dan berperilaku sebagai wanita,
istilah waria diberikan bagi penderita transeksual yaitu seseorang yang
memiliki fisik berbeda dengan jiwanya.

Secara fisik, mereka adalah laki-laki (memiliki alat kelamin


layaknya laki-laki), tetapi mereka mengekspresikan identitas gendernya
sebagai perempuan. Keberadaan waria telah tercatat sejak lama dalam
sejarah dan memiliki posisi yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat.
Namun demikian, tidak semua waria dapat diasosiasikan sebagai
homoseksual. Pilihan menjadi waria sama sekali tidak berhubungan
dengan kondisi biologis (seksual) mereka, melainkan berhubungan
dengan "kebutuhan" mereka untuk mengekspresikan identitas
gendernya.

Waria merupakan salah satu penyandang masalah kesejahteraan


sosial di Indonesia, baik di tinjau dari segi psikologis, sosial, norma,
maupun secara fisik. Kehidupan mereka cenderung hidup berglamour dan
eksklusif atau membatasi diri pada komunitasnya saja.

17
Mereka sering terjerumus pada dunia pelacuran dan hal-hal lain
yang menurut agama, aturan, dan nilai masyarakat menyimpang. Secara
fisik memang menggambarkan mereka adalah laki-laki tetapi sifat dan
perilaku menggambarkan wanita.

Waria adalah mereka yang merasa tidak nyaman dengan peran


gender yang seharusnya dan hidup dengan peran gender kebalikan,
namun tidak berniat melakukan operasi ganti kelamin.

Waria adalah sebuah kata yang ditujukan untuk menggambarkan


sosok pria dewasa yang berperilaku layaknya seorang perempuan,
mereka masih berjenis kelamin laki-laki, meskipun mereka telah memiliki
payudara layaknya seorang perempuan dewasa. Waria atau banci benar-
benar pria yang menunjukkan dirinya sebagai wanita.

Sebutan bencong atau banci juga dikenakan terhadap waria.


Namun sebutan tersebut bersifat negatif dan terlalu kasar. Sedangkan
terminologi priawan adalah kebalikan dari waria, yaitu pria yang secara
biologis wanita, baik yang melakukan transisi ataupun tidak. Pada tanggal
16 Februari 2015 Para Priawan Indonesia mendeklarasikan Persatuan
Priawan Indonesia, sebagai wadah dan Jaringan kerja antar priawan dan
pusat informasi mengenai priawan Indonesia.

Namun demikian, baik identitas sebagai waria maupun pekerjaan


yang sedang mereka tekuni, sering dianggap negatif oleh masyarakat.
Identitas gender waria dianggap melanggar kodrat Tuhan hingga negara,
melalui MUI, mengeluarkan fatwa bahwa keberadaan waria adalah
haram.

18
Stereotipe negatif yang dialamatkan kepada waria tidak jarang ada yang
berbuah menjadi tindakan kekerasan. Tidak sedikit waria yang pernah
mengalami kekerasan, baik fisik maupun verbal, ketika sedang
menjalankan pekerjaan atau sedang melakukan aktivitas lain seperti
mengikuti seminar.

Masyarakat Indonesia secara umum berada di dalam lingkungan


dengan kerangka heteronormatif yang menjadi pondasinya. Kerangka
tersebut percaya bahwa hanya ada dua identitas seksual berikut
konstruksi gender yang mengikutinya, yaitu laki-laki dan perempuan.
Menurut kerangka tersebut, laki-laki sewajarnya berpasangan dengan
perempuan dan sebaliknya. Ketika muncul identitas gender lain di luar
laki-laki dan perempuan (seperti waria), maka akan dianggap tidak
normal, aneh, dan menyimpang.

Terlebih lagi, ketika waria tersebut juga seorang pecinta sesama


jenis (gay), stereotipe negatif tersebut akan semakin sering dialamatkan
kepada mereka. Frame heteronormatif tersebut menjadi awal mula
munculnya beragam stereotipe negatif berikut perlakuan kasar yang
dialamatkan oleh masyarakat kepada waria.

Pada dasarnya orientasi seksual waria ini tidak banyak berbeda,


mereka tertarik pada sesama jenis. Hanya ada beberapa hal yang
membuat waria atau banci berbeda satu sama lain, yaitu :

a. Banci, mereka berpenampilan fisik sama seperti pria, secara


psikologis mereka mengidentifikasi dirinya sebagai pria.

19
b. Waria, secara fisik ingin berpenampilan seperti wanita dan
secara psikologis mereka mengidentifikasi dirinya sebagai
wanita. Secara biologis, para waria adalah pria dengan organ
reproduksi pria meski ada beberapa waria yang kemudian
berganti kelamin melalui operasi. Namun demikian, organ
reproduksi yang baru tersebut tidak bisa haid seperti organ
reproduksi wanita. Misalnya, tidak bisa haid dan tidak bisa
hamil karena tidak punya sel telur dan rahim. Perlu diketahui
bahwa seorang pria yang berperilaku mirip perempuan, belum
tentu memiliki orientasi seksual homoseks. Banyak juga pria
dengan perilaku seperti itu yang orientasi seksualnya
heteroseks (Junaidi, 2012: 43-44).

Terdapat kemungkinan bahwa kelompok waria dapat disebut


sebagai kelompok transgenderis. Mereka memenuhi ciri-ciri kelompok
tersebut yakni bahwa mereka secara tipikal menginginkan untuk hidup
sebagai anggota jenis kelamin berlawanan dari jenis kelamin berdasarkan
genital mereka, namun tanpa menjalani operasi secara lengkap.
Kelompok ini dapat dianggap sebagai sebuah titik tengah antara gender
motivated transvesit dan transeksual. Ciri lain kelompok waria adalah
bahwa mereka lebih menginginkan dianggap sebagai waria dan bukan
perempuan. Bahkan dalam kartu identitas mereka menginginkan untuk
dicantumkan berjenis kelamin waria.

Hal ini juga sesuai dengan ciri kelompok transgender yang


menginginkan adanya jenis kelamin ketiga. Berbeda dengan transeksual
yang jelas merasa bahwa diri mereka anggota salah satu gender yang ada,
yakni laki-laki, atau perempuan, dan bukan yang lain. Karena alasan-
alasan tersebut, tampaknya tidak semua waria dapat dimasukkan dalam
kelompok transeksual sejati.

20
Paling tidak dapat dikatakan bahwa tidak semua waria adalah
transeksual, atau dengan kata lain terdapat kemungkinan individu-
individu transeksual terdapat di dalam komunitas kelompok waria ini
(Yash, 2003: 36-37).

2.5 Jenis-Jenis Waria

Terdapat beberapa jenis-jenis waria. Waria adalah sebutan bagi


pria yang memiliki sifat-sifat seperti wanita, atau dengan nama lain
“bencong”. Dalam ilmu psikologi, waria masuk dalam golongan
transeksual (pergantian peran jenis kelamin).

Menurut Kemala Atmojo (Nadia, 2005) membagi jenis-jenis waria


sebagai berikut:

 Transsexual yang aseksual


Transsexual yang aseksual, yaitu seorang
transsexual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai
gairah seksual yang kuat.

 Transsexual homoseksual
Transsexual homoseksual, yaitu seorang transsexual
yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang
sama sebelum ia sampai ke tahap transsexual murni.

21
 Transsexual yang heteroseksual
Transsexual yang heteroseksual, yaitu seorang
transsexual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual
sebelumnya. Misalnya pernah menikah.

Adapun penyebab dari waria (transsexual) ini masih menjadi


perdebatan; apakah disebabkan oleh kelainan secara biologis dimana
didalamnya terdapat kelainan secara hormonal dan kromosom atau
disebabkan oleh lingkungan (nurture) seperti trauma masa kecil, atau
sering diperlakukan sebagai seorang perempuan dan lain sebagainya.

Beberapa teori tentang abnormalitas seksual menyatakan bahwa


keabnormalan itu timbul karena sugesti masa kecil. Seseorang akan
mengalami atau terjangkit abnormalitas seksual karena pengaruh luar,
misalnya dorongan kelompok tempat ia tinggal, pendidikan orangtua
yang menjurus pada benih-benih timbulnya penyimpangan seksual, dan
pengaruh budaya yang diakibatkan oleh komunikasi intens dalam
lingkungan abnormalitas seksual.

2.6 Jenis Bahasa Waria

Setiap pengguna bahasa memiliki variasi bahasanya masing-


masing sama halnya dengan para waria.Pembentukkan kosakata bahasa
dan maknanya sangatlah beragam dan semuanya bergantung pada
kreativitas pengguna dan disesuaikan dengan topik pembicaraan.

22
Adapun variasi bahasa yang digunakan oleh kalangan waria dapat
diklasifikasikan ke dalam bentuk jargon, slang, akronim, dan bentuk
plesetan.

1. Jargon
Jargon merupakan kosakata yang khas yang dipakai
dalam bidang kehidupan tertentu,seperti yang dipakai
oleh montir-montir mobil, tukang kayu, guru bahasa,
dan sebagainya, dan yang tidak dipakai dan sering tidak
digunakan oleh orang dari bidang lain (Kridalaksana,
2008:98). Jargon yang digunakan oleh kalangan waria
lebih khusus pada pekerjaan mereka sebagai pengelola
salon, artinya bahwa jargon digunakan oleh sesama
waria pada saat ada pelanggan yang datang ke salon.

2. Slang
Slang adalah variasi bahasa yang dibuat oleh
sekelompok masyarakat tertentu yang dipergunakan
sebagai babahasa dalam pergaulan dengan sesama
komunitas pemakai bahasa tersebut (Padmadewi, Ni
Nyoman; Merlina, P.D.; Saputra, N.P.H, 2014:9). Slang
yang digunakan oleh para waria di Salon Ona
merupakan slang yang digunakan oleh kalangan waria
pada umumnya.

3. Akronim
Akronim adalah kependekan yang berupa gabungan
huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan
dilafalkan sebagai kata yang sesuai dengan kaidah
fonotatik bahasa bersangkuan (Kridalaksana, 2008:5).
Dalam berinteraksi para waria juga menggunakan
akronim dalam berkomunikasi antar sesamanya.

23
4. Bentuk Plesetan
Plesetan merupakan bentuk dalam situasi tidak resmi
yang pembentukannya menggunakan lambang dan
istilah tertentu yang tentu saja ingin memaknakan
sesuatu. Plesetan mengutamakan atau memanfaatkan
secara maksimal pembentukan berbagai pertanyaan
dan aneka makna secara maksimal pembentukkan
berbagai pernyataan dan aneka makna secara
“sewenang-wenang” karena memiliki kaitan dengan
makna sebenarnya.

2.7 Faktor Penyebab Seseorang Menjadi Waria

Social Learning Theory menjelaskan bahwa perilaku manusia


melalui pendekatan dalam arti sebuah interaksi yang berkelanjutan
dan seimbang antara kognitif, behavioural, dan faktor-faktor utama
lingkungan. Ada tiga faktor penyebab seseorang menjadi waria yaitu:

a. Biogenik
Seseorang menjadi waria disebabkan atau dipengaruhi
oleh faktor biologis atau jasmaniah, dimana yang
bersangkutan menjadi waria dipengaruhi oleh lebih
dominannya hormon seksual perempuan dan
merupakan faktor genetik seseorang. Selain itu, neuron
yang ada di waria sama dengan neuron yang dimiliki
perempuan. Dominannya neuron dan hormon seksual
perempuan mempengaruhi pola perilaku seseorang
menjadi feminim dan berperilaku perempuan.

24
a. Psikogenik
Seseorang menjadi waria juga ada yang disebabkan
oleh faktor psikologis, dimana pada masa kecilnya,
anak laki-laki menghadapi permasalahan psikologis
yang tidak menyenangkan baik dengan orang tua, jenis
kelamin yang lain, frustasi hetereseksual, adanya iklim
keluarga yang tidak harmonis yang mempengaruhi
perkembangan psikologis anak maupun keinginan
orang tua memiliki anak perempuan namun
kenyataannya anaknya adalah seorang laki-laki. Kondisi
tersebut, telah menyebabkan perlakuan atau
pengalaman psikologis yang tidak menyenangkan dan
telah membentuk perilaku laki-laki menjadi feminim
bahkan kewanitaan.

b. Sosiogenik
1. Keadaan lingkungan sosial yang kurang kondusif
akan mendorong adanya penyimpangan perilaku
seksual. Berbagai stigma dan pengasingan
masyarakat terhadap komunitas waria
memposisikan diri waria membentuk atau
berkelompok dengan komunitasnya.Kondisi
tersebut ikut mendorong para waria untuk
bergabung dalam komunitasnya dan semakin
matang menjadi seorang waria baik dalam perilaku
maupun orientasi seksualnya.

2. Dalam beberapa kasus, sulitnya mencari pekerjaan


bagi para lelaki tertentu di kota besar
menyebabkan mereka mengubah penampilan
menjadi waria hanya untuk mencari nafkah dan
atau yang lama kelamaan menjadi permanen.

25
3. Pada keluarga tertentu, kesalahan pola asuh yang
diterapkan oleh keluarga terhadap anggota
keluarganya terutama yang dialami oleh anak laki-
lakinya dimasa kecil. Seperti keinginan orang tua
memiliki anak perempuan, sehingga ada sikap dan
perilaku orang tua yang mempersepsikan anak
lelakinya sebagai anak perempuan dengan
memberikan pakaian anak perempuan, maupun
mendandani anak laki-lakinya layaknya seperti anak
perempuan.

2.8 Permasalahan Pelayanan Sosial Terhadap Waria

Ada dua besar permasalahan pelayanan sosial terhadap waria


yaitu permasalahan yang bersifat internal dan eksternal. Berikut
penjelasannya:

a. Permasalahan Internal

1. Merasa tidak jelas identitas dan kepribadiannya


mengakibatkan waria berada dalam posisi
kebingungan, canggung, tingkah laku berlebihan,
dampak lainnya adalah semakin sulitnya mencari
pekerjaan, menjadi depresi bahkan bunuh diri.

2. Merasa terasing, dan merasa ditolak


mengakibatkan para waria meninggalkan rumah,
frustasi, kesepian, mencari pelarian yang seringkali
makin merugikan dirinya.

26
3. Merasa ditolak dan didiskriminasi mengakibatkan
permasalahan terutama dalam kehidupan sosial,
pendidikan, akses pekerjaan baik formal maupun
informal. Implikasinya adalah banyak waria merasa
kesulitan memperoleh pekerjaan, pendidikan,
maupun terhambat dalam proses interaksi sosial.

b. Permasalahan eksternal

1. Permasalahan Keluarga
Dalam konteks integrasi dengan keluarga, para
waria seringkali dianggap sebagai aib dan
mendatangkan kesialan dalam keluarga sehingga
banyak diantara mereka tidak mengakui,
mengucilkan, membuang, menolak, mencemooh
dan bahkan mengasingkan. Selain itu, juga
keluarga menutup atau menarik diri dari
masyarakat.

2. Permasalahan masyarakat
Para waria dan komunitasnya dianggap sebagai
sosok yang melakukan penyimpangan yang
banyak menimbulkan masalah di lingkungan
masyarakat. Terutama dari segi permasalahan
seksual yang dapat mempercepat penyebaran IMS
(Infeksi Menular Seksual) dan HIV/AIDS.

27
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif


dengan menfokuskan penelitian pada “Campur Kode dalam Ragam Bahasa
Khusus Waria di Kota Palopo Suatu Tinjauan Linguistik”. Pendekatan kualitatif
berasumsi bahwa manusia adalah makhluk yang aktif, yang mempunyai
kebebasan kemauan, yang perilakunya hanya dapat difahami dalam konteks
budayanya, dan perilakunya tidak didasarkan pada hukum sebab-akibat. Oleh
sebab itu logis jika penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif tidak
bertujuan untuk membuat hukum-hukum melainkan bertujuan untuk memahami
objeknya.

Alsa (2003), mengatakan bahwa penelitian dengan rancangan studi kasus


dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan
makna sesuatu atau subjek yang diteliti. Penelitian studi kasus lebih
mementingkan proses daripada hasil, lebih mementingkan konteks daripada
variabel khusus, lebih ditujukan untuk menemukan sesuatu daripada kebutuhan
konfirmasi. Pemahaman yang diperoleh dari studi kasus dapat secara langsung
mempengaruhi kebijakan, praktek dan penelitian berikutnya.

Moleong (1996), menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berakar pada


latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian.
Memanfaatkan metode kualitatif mengandalkan analisis data secara induktif,

28
bersifat deskriptif, mementingkan proses daripada hasil, membatasi studi
dengan fokus dan memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan
data, rancangan penelitian bersifat sementara, hasil disepakati kedua pihak yaitu
peneliti dan subjek penelitian.

Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data


deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yangdapat diamati. Penelitian kualitatif dalam konteks penelitian terapan adalah
penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan
dalam keadaan yang sewajarnya atau sebagaimana adanya, dengan tidak
dirubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan.

3.2 Fokus Peneltian

Fokus penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah Campur Kode
dalam Ragam Bahasa Khusus Waria di Kota Palopo Suatu Tinjaun Linguistik.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat bantu bagi peniliti dalam


mengumpulkan data. Instrumen penelitian dalam penelitian ini adalah peneliti
itu sendiri, selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, diharapkan dapat
melengkapi data dan membandingkan dengan data yang telah ditemukan.

29
melalui wawancara dan alat bantu yang digunakan dalam proses wawancara.
Kualitas instrumen akan menentukan kualitas data yang terkumpul.

3.4 Jenis dan Sumber Data Penelitian

Dalam penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder.

1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung
dari sumbernya sehingga dapat memberikan keterangan
secara jelas dan nyata. Cara memperoleh data dilakukan
dengan wawancara/interview yang dilakukan dengan
berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dibuat oleh
peneliti dan juga tanpa menggunakan yang berpedoman
pada daftar pertanyaan karena materi diharapkan
berkembang sesuai dengan jawaban informasi dan situasi
yang berlangsung

2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi
pustaka, dipergunakan untuk mencari konsep-konsep, teori-
teori, pendapat-pendapat yang berhubungan erat dengan
pokok permasalahan dengan mengambil bahan-bahan
kepustakaan, perundang-undangan, yurisprudensi atau
keputusan-keputusan pengadilan yang erat hubungannya
dengan judul penelitian ini.

30
3.5 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian kualitatif cenderung mengumpulkan data melalui kontak


secara terus menerus dengan subjek dalam setting alamiah, seperti rutinitas
mereka sehari-hari. Metode pengumpulan data yang paling mewakili
karakteristik penelitian kualitatif adalah interview dan observasi partisipan.

1. Observasi
Walaupun sudah dilakukan interview, peneliti akan melakukan
observasi untuk memperoleh informasi-informasi mengenai
perasaan-perasaan subjek penelitian. Peneliti juga melakukan
pencatatan tentang perasaan subjektif dan sikap pribadi sebagai
peneliti atas tema-tema yang dibahas. Selain itu tujuan observasi
adalah untuk mendapat data tentang suatu masalah sehingga
diperoleh pemahaman atau sebagai alat rechecking atau pembuktian
terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya.

2. Wawancara
Berdasar taxonomi bentuk pertanyaannya, wawancara dapat
dikelompokkan menjadi beberapa bentuk yaitu verbal dan non verbal.
Ada dua bentuk pertanyaan verbal yaitu pertanyaan langsung dan
tidak langsung; sementara itu untuk yang non verbal juga mempunyai
dua bentuk pertanyaan yaitu overt dan covert. Sementara itu
pertanyaan langsung dari verbal mempunyai dua bentuk yaitu
terbuka dan tertutup.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara partisipan


dan tidak berstruktur, pemilihan model wawancara ini didasarkan
atas kemampuan model ini untuk terhindar dari bias. interview
berdasar cara pengambilan datanya menjadi dua, yaitu interview
partisipatif dan non partisipatif.

31
Wawancara partisipatif pada umumnya berbentuk verbal terstruktur
maupun tidak, terbuka maupun tertutup. Yang membedakan adalah
adanya kecenderungan responden tidak menyadari kalau tengah
diinterview, karena peneliti memanfaatkan momen-momen khusus.

3. Dokumentasi
Dokumentasi ini digunakan dalam upaya melengkapi data-data
yang telah diperoleh berupa gambaran penelitian, keadaan populasi
dan data yang digunakan melalui dokumen-dokumen yang
berhubungan denganpermasalahan atau dengan kata lain sumber
data sekunder.

3.6 Teknik Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, data terdiri dari teks maka setelah


terkumpulnya data base teks, kemudian dilakukan analisis teks dengan
memasukkan kedalam kelompok-kelompok kalimat dan menetapkan arti.
Keseluruhan laporan kualitatif umumnya merupakan deskripsi yang panjang
untuk memberikan gambaran kompleks mengenai fenomena. Dari
gambaran kompleks ini peneliti membuat interpretasi tentang makna data
melalui refleksi. Refleksi berarti bahwa peneliti merefleksikan bias, nilai, dan
asumsi-asumsi personal mereka kedalam penelitiannya.

3.7 Teknik Keabsahan Data

Dalam menguji keabsahan data peneliti menggunakan teknik triangulasi,


yaitu sebagai berikut:

32
1. Sumber

Sumber untuk menguji kredilibitas dilakukan dengan cara


mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber,
dengan cara mengecek kembali data yang telah diperoleh dengan
informasi dokumen lain serta informasi untuk mendapatkan
derajat kepercayaan adanya informasi dan kesamaan pandangan
serta pemikiran sehingga data yang diperoleh langsung dianalisis.

2. Teknik

Teknik untuk menguji krebilitas atau tinggkat kepercayaan


data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber
yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya data yang
diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi dan
dokumentasi. Bila dengan teknik pengujian kredibilitas tersebut
menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan
diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau
yang lain untuk memastikan data mana yang dianggap benar.

33
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Pada bagian ini dikemukakan hasil penelitian berupa data tentang


penggunaan bahasa waria dalam kajian pragmatik dalam interaksi sesama waria.

Data yang diperoleh dari lapangan berbentuk catatan dan rekaman


percakapan waria yang menjadi bahan mentah observasi. Sebelum peneliti
merekam percakapan waria, peneliti melakukan perkenalan. Dari hasil
perkenalan tersebut, waria yangmenjadi objek peneliti berkomunikasi seperti
biasanya dan peneliti menemukan penggunaan bahasa waria dalam percakapan
tersebut.

Selanjutnya, dilakukan proses rekaman percakapan waria, percakapan


dilakukan dengan cara berdampingan atau berpasangan satu sama lain dan
saling melontarkan pembicaraan. Bentuk pembicaraan atau tema yaitu secara
bebas, menghasilkan beberapa kalimat percakapan bahasa waria yang
selanjutnya rekaman tersebut diubah dalam bentuk tertulis. Hasil penelitian
ditemukan beberapa bahasa dalam bentuk kosakata dan kalimat bahasa waria
dalam suatu kajian pragmatik. Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui
bahwa dalam interaksi antarwaria tersebut lebih dominan menggunakan
kosakata bahasa waria ketika bercakap. Data yang ditemukan dalam penelitian
ini sebagai berikut:

34
• Penggunaan Kosakata Bahasa Waria

Berdasarkan temuan penelitian, penggunaan kosakata


bahasa waria yang berhasil dicatat oleh peneliti sebanyak
60 kosakata yang dominan digunakan dalam percakapan
sehari-hari. Jumlah kata tersebut masih sangat minim bila
dibandingkan jumlah kata yang digunakan dalam
berkomunikasi seperti bahasa Indonesia dan diperkirakan
masih terus berkembang sesuai dengan perkembangan
bahasa waria yang akan datang. Keterbatasan jumlah
tersebut dapat dipastikam bahwa bahasa waria belum
dapat mewakili sepenuhnya dalam mengungkapkan semua
ide, gagasan, dan sebagainya kepada orang lain dan tidak
memiliki kontribusi terhadap bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, penggunaan kosakata dalam bahasa waria
hanya digunakan melalu proses penyisipan dalam
berkomunikasi bahasa Indonesia maupun bahasa daerah
sehingga bagi orang yang mendengar tidak langsung dapat
menebak atau mengetahui informasi yang disampaikan.
Sebab, adanya hal-hal yang spesifik dalam bahasa waria
tidak terdapat dalam bahasa waria tidak terdapat dalam
bahasa indonesia. Untuk jelasnya dapat dilihat dalam
paparan berikut.

1. Penggunaan kosakata bahasa waria bersumber


dari penggunaan nama orang (NO). Nama orang
yang digunakan adalah nama yang sudah lazim
dikenal oleh masyarakat seperti:

1. Katty peri artinya bau ketek

2. Pingkan mambo artinya bau mulut

3. Angelina joli artinya anjing

4. Wanda hamida artinya wanita durhaka

35
5. Pembawa sial

6. Mutmainnah artinya bersenggama

7. Pelita artinya pelit

8. Maharani artinya mahal

9. Diana artinya dia

10. Habiba artinya habis

11. Hamidah artinya hamil

12. Lambreta artinya lambat

13. Laila sari artinya lelet

14. Lupita sari artinya lupa

15. Puspita sari artinya pusing

16. Beby artinya bencong bigung

17. Pesona artinya pesek

18. Badriah artinya bodoh

19. Susana artinya susah

20. Vetty vera artinya sedang-sedang

2. Penggunaan kosakata bahasa waria bersumber


dari nama binatang seperti:

1. Belalang artinya belanja

2. Cumi artinya cium

36
3. Penggunaan kalimat tanya pada bahasa waria:

1. Desamu sapose? artinya siapa namamu?

2. Di mandala? artinya mau kemana?

3. Di mandose? artinya kamu dari mana?

4. Langka’di mandose? artinya di mana


rumahmu?

5. Mesong ko le’opo? artinya mau apa?

6. Sapose le’ne ceris? artinya cari siapa?

7. Wang mandai? artinya orang mana?

8. Wes tabo? artinya sudah makan?

4. Penggunaan kosakata yang bersumber dari hal-


hal lain:

1. Akika,kulo artinya aku

2. Apose artinya apa

3. Begindang artinya begitu

4. Bala-bala artinya bayaran

5. Banyu artinya mandi

6. Batari tuir artinya tua rentah

7. Bias kasih artinya biasa-biasa

8. Capcay artinya capek

9. Cap-cus artinya cepat

10. Centong artinya cantik

11. Cuco artinya ganteng

37
12. Dendang artinya elekton

13. Depong artinya dapat

14. Desa artinya nama

15. Dimandai artinya di mana

16. Jali-jali artinya jalan-jalan

17. Kencana artinya kencing

18. Kori artinya uang

19. Kotta artinya jelek

20. Lapangan bola artinya lapar

21. Lekong artinya cowok

22. Lembayu artinya lumayan

23. Lensos artinya salon

24. Longka artinya besar

25. Mabarakatu artinya mabuk

26. Mesong artinya mau

27. Metong artinya mati

28. Onomineka artinya bisa

29. Ojo artinya jangan

30. Ommo artinya marah

31. Ono artinya datang

32. Ora artinya tidak

38
33. Orro artinya tahu

34. Panasonik artinya panas

35. Pecongan artinya pacaran

36. Penjong artinya panjang

37. Rembang artinya rambut

38. Rempong artinya ribet

39. Sampeyang artinya kamu

40. Sapose artinya siapa

41. Sekong artinya sakit

42. Sibollo artinya teman

43. Sikemplang artinya berkelahi

44. Sindang artinya sini

45. Sumpu’ artinya banyak

46. Tabo artinya makan

47. Takama artinya polisi

48. Tamaran artinya tamu

49. Tammi artinya minum

50. Ta’belo artinya tidak baik

51. Tintingan artinya kendaraan

52. Tuladeng artinya duduk

53. Turo artinya tidur

39
54. Wandu artinya waria

55. Wedo artinya perempuan

4.2 Pembahasan

1. Ragam Bahasa Waria sebagai Identitas


Ragam bahasa waria ini dianggap sebagai suatu identitas.
Kemajuan zaman dalam pergaulan sehari- hari. Bahasa waria yang
sering mereka sebut dengan “Bahasa Gaul”. Bahasa waria mulai
muncul pada akhir tahun 1980-an. Awalnya istilah dalam bahasa
waria itu adalah untuk merahasiakan isi obrolan atau pembicaraan
dalam komunitas tertentu. Namun karena sering juga digunakan di
luar komunitas mereka, lama-lama istilah tersebut menjadi bahasa
sehari-hari. Istilah- istilah baru, mereka ciptakan agar orang-orang di
luar komunitas mereka tidak mengerti.

Bahasa waria yang membentuk identitas budaya waria karena


melalui bahasa tersebut keberagaman identitas individu dalam
kelompok waria dapat terikat. Identitas merupakan representasi
untuk menunjukkan jati diri seseorang dalam masyarakat dan untuk
kemudian mendapatkan pengakuan dari masyarakat agar seseorang
bisa diterima keberadaannya.

Ragam bahasa waria di kota Jember memiliki banyak varian atau


variasi bahasa yang digunakan. Adapun manfaat atau fungsi identitas
bahasa waria antara lain: menyegarkan suasana, menciptakan humor,
menyindir atau mengejek, mengintimkan atau mengakrabkan
hubungan,

40
merahasiakan informasi, menghaluskan sesuatu yang dianggap vulgar
atau tabu, mengungkapkan sikap dan perasaan hati, dan
menunjukkan keanggotaan seseorang terhadap kelompok sosial
tertentu.

2. Karakteristik Ragam Bahasa Waria


Karakteristik Ragam Bahasa Waria yang digunakan oleh para waria
yang ada di kota Palopo merupakan suatu sistem yang lengkap, dari
hasil penelitian bahasa yang mereka pergunakan sebagai alat
komunikasi antar waria. Kita dapat mengatakan bahwa kosakata yang
mereka ciptakan digunakan hanya sebatas untuk merahasiakan apa
yang sedang mereka bicarakan tanpa harus mengurangi volume suara
alias berbisik. Sebab bahasa yang digunakan para waria itu bukanlah
bahasa yang secara totalitas yang dapat berdiri sendiri.

Ragam Bahasa waria di kalangan waria di kota jember memiliki


karakteristik yaitu adanya penambahan suku kata dan pergantian kata
bahasa yang mereka gunakan sebagai alat komunikasi tidak sama
dengan bahasa yang terdapat dalam pergaulan sehari-hari.
Karakteristik bahasa adalah peristiwa yang menyangkut bentuk kata
atau kalimat dengan secara macam proses pembentukannya.
Beberapa karakteristik bahasa yang digunakan dalam proses
pembentukan kata dalam bahasa waria adalah pergantian suku kata
dan penambahan suku kata.Pergantian suku kata bisa terdiri dari satu
fonem ataupun lebih. Pada proses pergantian suku kata tersebut suku
kata yang menggantikan suku yang dihilangkan juga tidak mempunyai
aturan tertentu. Pergantian suku kata yang terdapat di awal maupun
diakhir kata tidak berpedoman pada Kamus Bahasa
IndonesiaPenambahan suku kata bisa terdiri dari satu fonem ataupun
lebih. Pada proses penambahan suku kata tersebut suku kata yang
menambahkan suku yang juga tidak mempunyai aturan tertentu.
Penambahan suku kata yang terdapat di awal maupun diakhir kata
tidak berpedoman pada Kamus Bahasa Indonesia. Penambahan suku
kata tersebut adalah hasil ciptaan para waria sendiri yang berdomisili
di Kota Jember, sedangkan pada daerah lain ada sebagian kata tidak
terdapat penambahan ataupun tidak mereka gunakan sebagai alat
komunikasi antar sesama.
41
Jadi penambahan suku kata yang ada di atas hanya dapat di
pergunakan di di Kota Jember karena setiap daerah berbeda makna
kata yang mereka ciptakan.

Ciri khas dari karakteristik ragam bahasa waria di kota Palopo


memiliki banyak variasi bahasa dan penyimpangan makna. Bahasa
waria dapat dinyatakan sebagai hasil variasi atau turunan dari bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah. Penggunaan kata bahasa waria
masih terbatas dan diperkirakan akan berkembang dan terus
bertambah pada masa yang akan datang sesuai dengan kebutuhan
yang diinginkan oleh kaum waria dalam menyampaikan sesuatu.

3. Keunikan Ragam Bahasa Waria


Ragam bahasa waria sangatlah unik ditinjau dari ilmu adalah salah
satu bentuk tuturan. Bahasa waria ini dapat berupa satu kalimat,
tetapi dapat juga terdiri sebuah kata yang tidak lazim di dalam bahasa
nasional Indonesia yang resmi. Bahasa Waria dirumuskan sebagai
ragam bahasa yang tidak resmi digunakan oleh sekelompok kaum
waria untuk komunikasi intern sebagai usaha orang di luar
kelompoknya tidak mengerti, berupa kosa kata yang serba baru dan
berubah-ubah.

Ragam bahasa waria adalah variasi ujaran yang bercirikan dengan


kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah, digunakan oleh
kaum waria.Keunikan bahasa waria yang terdapat dalam kosakata
dapat berupa pergantian suku kata dan penambahan suku kata, jika
tidak ada salah satu antara pergantian maupun penambahan suku
kata bukan termasuk dalam keunikan ragam bahasa waria. Disamping
itu keunikan juga dapat berupa pembalikan tata bunyi, kosakata yang
lazim digunakan di masyarakat menjadi aneh, lucu, bahkan ada yang
berbeda makna sebenarnya, bentuk percakapan dengan nada atau
intonasi tertentu sehingga terasa ringan, lucu, dan ekspresif cocok
untuk suasana santai yang bersifat rahasia. Perbedaan makna
sebenarnya termasuk juga ragam bahasa waria. Pebedaan makna
akan mengakibatkan kesalahpahaman jika melakukan percakapan di
masyarakat.

42
Perbedaan makna tersebut hanya bisa di mengerti oleh sekelompok
atau komunitas waria. Bentuk percakapan menggunakan nada atau
intonasi yang berbeda dari masayarakat. Nada dan intonasi yang di
gunakan dalam melakukan percakapan sangatlah aneh dan lucu.
Keanehan dan kelucuan tersebut membuat percakapan menarik saat
didengar.

Keunikan ragam bahasa waria jika didengar tidak membosankan,


setiap ucapan mereka menciptakan keragaman, merangsang gairah-
gairah (pengucapan) oral mereka selalu aktif menciptakan dan
menciptakan literatur yang lebih terbuka pada kesenangan para
penutur.

4. Pemaknaan Kosakata Bahasa Waria


Proses pemaknaan dalam bahasa waria tidak sama dengan proses
pemaknaan dalam bahasa indonesia. Proses pemaknaan dalam
bahasa waria dilakukan dengan sistem silang, sistem silang yang
dimaksud meliputi antara kata yang dimaknai dengan kata yang
dimaknai : kata yang dimaknai sebagai kata yang digunakan untuk
mengungkapkan maksud, sedangkan kata yang memaknai adalah kata
yang menjadi maksud.

Kosakata bahasa waria di atas, dapat dinyatakan bahwa


penggunaan kosakata bahasa waria bersumber dari kosakata bahasa
Indonesia sebagai asal, kosakata bahasa waria diposisikan secara
integratif sehingga membentuk suatu pembaharuan kosakata yang
dapat menciptakan maksud tertentu. Maksud yang diciptakan dalam
bahasa waria menyimpang dari maksud yang telah lazim diketahui
dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, penggunaan kosakata
bahasa waria hanya komunikatif pada kalangan penggunanya saja
atau kelompok waria yang telah menggunakannya. Kosakata bahasa
waria dalam tinjauan pragmatik dilihat dari konteks tempat, tujuan,
dan penutur. Penggunaan kosakata dilihat dari konteks tempat,
berbeda antara tempat di kawasan perkotaan dan kawasan
pedalaman.

43
Kosakata bahasa waria di kawasan perkotaan cenderung lebih
modern dan lebih bevariasi. Kosakata bahasa waria di daerah
pedalaman banyak meyerap kosakata setempat. Tujuan penggunaan
bahasa waria dalam tinjauan pragmatik yaitu untuk merahasiakan
pembicaraan dari masyarakat umum karena waria cenderung
membahas hal-hal yang di anggap oleh masyarakat umum kurang
sopan. Penutur dalam hal ini yaitu waria memiliki ciri khas dalam
pemakaian kosakata.

Terdapat banyak variasi tuturan yang digunakan dalam


berkomunikasi baik dalam komunikasi langsung maupun ketika
sedangmembicarakan atau menyinggung orang lain.

5. Pemaknaan Kalimat Bahasa Waria


Kalimat “Langka’ di mandose” mengungkapkan pertanyaan di
mana rumahmu, namun ironisnya pertanyaan tersebut menggunakan
bahasa waria yang hanya dipahami oleh kelompok tertentu,
sedangkan dalam bahasa Indonesia kalimat “Langka’ di mandose”
tidak memiliki makna. Misalnya seorang wanita bertemu dengan
seorang laki-laki dan ia bertanya dengan menggunakan bahasa waria
“Langka’ di mandose” yang berarti dimana rumah mu, pasti laki-laki
itu tidak dapat memaknai pertanyaan waria tadi, karena pertanyaan
waria tadi sudah diserap ke dalam bahasa waria yang bahasanya
hanya bisa dipahami oleh sesama kelompoknya dan tidak dapat
dipahami oleh orang diluar kelompok tersebut.

Penggunaan bahasa waria oleh para waria bersumber dari


kosakata bahasa Indonesia yang diplesetkan dan bahasa daerah, baik
dalam bentuk maupun maknanya. Bentuk dan maknanya
menyimpang secara umum dari makna kata yang diketahui dalam
bahasa Indonesia maupun bahasa daerah. Dengan demikian,
penggunaan kosakata bahasa waria tidak harus mutlak ada di dalam
bahasa Indonesia, walaupun bahasa Indonesia sebagai dasar
pembentukan bahasa waria, tetapi kosakata bahasa waria yang
digunakan oleh waria

44
memiliki otonomi tersendiri sebagai suatu bahasa yang dijadikan
sebagai suatu sarana komunikasi.

Bahasa waria tidak memiliki kontribusi terhadap bahasa Indonesia


karena bahasa-bahasa istilah yang digunakan oleh waria sebagian
diambil dari bahasaIndonesia itu sendiri. Ditinjau dari konteks kalimat,
kalimat-kalimat bahasa waria umumnya bernuansa kesetaraan sosial
kepada para pengguna bahasa waria. Bahasa waria tidak
membedakan situasi kapan dan di mana digunaka. Bahasa waria tidak
membedakan stara sosial misalnya antara tua atau muda, dewasa
atau anak-anak dan bidang-bidang lainnya.

Bahasa waria hanya digunakan secara khusus dalam situasi


pergaulan pada kalangan waria. Struktur bahasa waria hampir
dikatakan tidak ada aturan atau pola tertentu seperti atau pola
tertentu seperti halnya dalam bahasa indonesia yaitu subjek,
predikat, objek, dan keterangan. Bahasa waria lebih mementingkan
komunikasi dan makna kerahasiaan kata-katanya dari pada
strukturnya termasuk situasi yang diciptakan tidak formal. Bahasa
waria hanya dapat diperankan dalam komunikasi lisan dari pada
tulisan dan digunakan oleh kalangan waria saja terutaman dikalangan
kota-kota besar.

Dengan demikian, bahasa waria diperuntukkan untuk pergaulan


sesama waria dalam kondisi dan situasi yang tidak resmi serta tidak
perlu dipelajari secara formal dilingkungan masyarakat karena wujud
penggunaanya masih sangat terbatas, bersifat obrolan dan nonilmiah.
Dalam tinjauan pragmatik, kalimat bahasa waria lebih menekankan
pada pembicaraan yang membahas mengenai makna kata sindiran
kepada orang lain.

45
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan bahasa waria di kota Palopo,


merupakan variasi bahasa. Bahasa waria hanya digunakan oleh kelompok waria
saja maupun orang- orang yang bergaul dan akrab dengan waria. Ciri khas
bahasa waria memiliki penyimpangan makna. Bahasa waria dapat dinyatakan
sebagai hasil modifikasi atau turunan dari bahasa Indonesia maupun bahasa
daerah.

Penggunaan kosakata bahasa waria masih terbatas dan diperkirakan akan


berkembang dan terus bertambah pada masa yang akan datang sesuai dengan
kebutuhan yang diinginkan oleh kaum waria dalam menyampaikan sesuatu,
jumlah kosakata yang ditemukan oleh peneliti sebanyak 85, jumlah tersebut
masih minim dan belum dapat mewakili sepenuhnya dalam mengungkapkan
semua ide, gagasan, perasaan, dan sebagainnya kepada orng lain.

Kalimat-kalimat dalam bahasa waria dinyatakan, bahwa kalimat yang


digunakan dalam percakapan tidak terikat pada situasi resmi, melainkan dalam
situasi santai atau rileks. Struktur kalimat bahasa waria tidak terikat atau
berdasarkan pola sintaksis bahasa Indonesia seperti pada subjek, predikat, objek
dan keterangan. Di dalam variasi bahasa waria peneliti tidak menemukan
kontribusinya terhadap bahasa Indonesia.

46
Pada ragam bahasa waria di kota Palopo ditemukan penambahan dan
pergantian suku kata di dalamnya. Penambahan dan pergantian suku kata
tersebut dilakukan untuk menimbulkan efek lucu pada tuturan yang
disampaikan. Peneliti juga menemukan beberapa bentuk identitas, karakteristik,
dan keunikan dari ragam bahasa waria. berikut ini kesimpulannya.

1. karakteristik bahasa yang digunakan dalam proses pembentukan kata


dalam bahasa waria adalah pergantian suku kata dan penambahan
suku kata. Dan memiliki ciri khas variasi bahasa dan penyimpangan
makna
2. Keunikan bahasa waria yang terdapat dalam kosakata dapat berupa
pembalikan tata bunyi, perbedaan makna sebenarnya, dan bentuk
percakapan menggunakan nada atau intonasi yang berbeda.

4.2 Saran

Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, bahasa waria


merupakan bahasa yang digunakan oleh kelompok komunitas tertentu yaitu
waria. Jadi bahasa waria merupakan suatu bahasa hasil modifikasi atau bentuk
variasi dalam hal kreativitas penggunaan bahasa yang dapat dikategorikan
sebagai register dan bagi waria sebagai pengguna utama bahasa. Oleh karena itu,
peneliti menyarankan dalam hal:
1. Hendaknya setiap waria membiasakan diri untuk menggunakan
bahasa indonesia yang baik dan benar.
2. Hendaknya waria selalu berbaur dengan semua orang bukan dari
kalangan kelompoknya saja agar tercipta komunikasi secara utuh
dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
3. Bahasa Indonesia memang sangatlah terbuka terhadap bahasa
lainnya, namun bukan berarti bahasa-bahasa tersebut dapat
mengubah ataupun merusak kaidah-kaidah bahasa indonesia yang
telah ditetapkan. Oleh karena itu, diharapkan kepada pengguna
bahasa indonesia, khususnya pada penutur dwibahasawan untuk
tetap menjaga keutuhan bahasa Indonesia.

47
DAFTAR PUSAKA

http://repository.upi.edu/172/4/S_PSI_0900698_CHAPTER%201.pdf

https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/826-Full_Text.pdf

https://repository.usd.ac.id/2203/2/029114131_Full.pdf

48
RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Gefira Aimar Maulida

TTL : Palopo, 14 September 2005

Alamat : Bua, Perumahan PT.Panply

Nomor Telepon : 089697805491

Hobby : Membaca

Jenis Kelamin : Wanita

Anak ke- :3

Riwayat Pendidikan

SD : SD Negeri 65 Bua

SMP : MTsN Kota Palopo

SMA : SMA Negeri 1 Palopo

Nama Orang Tua

Ayah : Halmar

Ibu : Asmawati

Alamat Tempat Tinggal

Ayah : Bua, jln.Tandi Pau Perum PT.Panply blok b 14

Ibu : Bua, jln.Tandi Pau Perum PT.Panply blok b 14

Pekerjaan Orang Tua

Ayah : Karyawan Swasta

Ibu : IRT

49
Nama Lengkap : Andi Fatimah Azzahra

TTL : Palopo, 23 Agustus 2005

Alamat : H.Hasan No.11

Nomor Telepon : 087854608907

Hobby : Membaca

Jenis Kelamin : Wanita

Anak ke- :2

Riwayat Pendidikan

SD : SDN 7 Ponjalae

SMP : MTsN Kota Palopo

SMA : SMA Negeri 1 Palopo

Nama Orang Tua

Ayah : Yanti

Ibu : Andi Usluhuddin

Alamat Tempat Tinggal

Ayah : H.Hasan No.11

Ibu : Sukaraya, Bone-Bone

Pekerjaan Orang Tua

Ayah : Wiraswasta

Ibu : Sekretaris Desa

50
Nama Lengkap : Andi Ufrayra Divany

TTL : Palopo, 15 Januari 2005

Alamat : Perumahan Graha Jannah blok c 7

Nomor Telepon : 085242489089

Hobby : Menonton

Jenis Kelamin : Wanita

Anak ke- :1

Riwayat Pendidikan

SD : SDN 30 mattirowalie

SMP : MTsN Kota Palopo

SMA : SMA Negeri 1 Palopo

Nama Orang Tua

Ayah : A. Haerul kaimuddin

Ibu : Besse Batari, SE

Alamat Tempat Tinggal

Ayah : Perumahan Graha Jannah blok c 7

Ibu : Perumahan Graha Jannah blok c 7

Pekerjaan Orang Tua

Ayah : Wiraswasta

Ibu : IRT

51
KARYA TULIS ILMIAH

CAMPUR KODE DALAM RAGAM BAHASA KHUSUS WARIA DI KOTA PALOPO


SUATU TINJAUAN LINGUISTIK

Oleh :

Nama : 1. A.UFRAYRA DIVANY

2. A.FATIMAH AZZAHRA

3. GEFIRA AIMAR MAULIDA

Kelas : XI MIPA 1

SMA NEGERI 1 PALOPO

TAHUN PELAJARAN 2021/2022


KARYA TULIS ILMIAH

CAMPUR KODE DALAM RAGAM BAHASA KHUSUS WARIA DI KOTA PALOPO


SUATU TINJAUAN LINGUISTIK

Oleh :

Nama : 1. A.UFRAYRA DIVANY

2. A.FATIMAH AZZAHRA

3. GEFIRA AIMAR MAULIDA

Kelas : XI MIPA 1

SMA NEGERI 1 PALOPO

TAHUN PELAJARAN 2021/2022

i
MOTTO

“Bertakwalah pada Allah maka Allah akan mengajarimu. Sesungguhnya Allah


Maha Mengetahui segala sesuatu”.

(Surat Al-Baqarah ayat 282)

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya


bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah sesuai (dari
sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya
kepada tuhanlah engkau berharap”

(QS. Al-Insyirah: 5-8)

“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari


betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka gagal”.

(Thomas Alva Edison)

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Karya Tulis Ilmiah dengan Judul Campur Kode dalam Ragam Bahasa Khusus Waria
di Kota Palopo Suatu Tinjauan Linguistik, sebagai salah satu syarat Ketuntasan
Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Semester Genap di SMA Negeri 1 Palopo.
Tahun Pelajaran 2021/2022.

Mengetahui,

Guru Pembimbing, Wali Kelas,

Andi Tenri Nyili Nawir, S.Pd Andi Patriani, S.Pd


NIP. 19770815 200604 2 024 NIP.

Kepala Sekolah,

Muhammad Arsyad, S.Pd


NIP. 1970023 199803 1 006

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat serta salam
kita curahkan kepada Rasulullah SAW.

Dalam Karya Tulis Ilmiah ini, kami membahas mengenai “CAMPUR KODE
DALAM RAGAM BAHASA KHUSUS WARIA DI KOTA PALOPO SUATU TINJAUAN
LINGUISTIK” Karya Tulis Ilmiah ini dibuat untuk memaparkan bagaimana cara
bicara waria , serta bagaimana mereka melakukan interaksi di lingkungan
sekitarnya. Karya Tulis ini juga dibuat untuk memenuhi tugas para penulis dalam
pembuatan Karya Tulis Ilmiah (KTI).

Di sini kami para penulis menyadari bahwa hasil KTI ini masih terdapat
banyak kesalahan serta kekurangan yang ada sehingga kami berharap adanya
kritik serta saran yang membangun guna terciptanya hasil yang lebih baik dan
bermanfaat bagi kami para penulis serta pembaca.

Kami para penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada para pihak
yang turut membantu dalam menyelesaikan tugas ini. Dorongan dan bantuan
serta pengertian yang besar kepada para penulis semua pihak yang tidak
dapatkan disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kepada kami
untuk menyelesaikan makalah ini.

Palopo, April 2022

Penyusun

iv
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan ragam bahasa dan


campur kode yang digunakan oleh kaum waria di Kota Palopo. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah ancangan sosiolinguistik. Data
dikumpulkan melalui metode simak (observasi) dan metode cakap (wawancara).
Data yang tersedia dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kaum waria pada umumnya menggunakan ragam bahasa
sendiri dalam suasana yang akrab, asyik, santai, dan bebas. Ragam bahasa yang
digunakan adalah kosakata yang tidak asing lagi karena mereka sudah saling
mengenal. Ekspresi kata-kata yang tidak sopan bagi orang di luar kelompok
merupakan wujud keakraban dan saling mengakui di antara mereka. Dalam
percakapan mereka terdapat unsur leksikal bahasa Indonesia yang tercampur
dengan unsur leksikal bahasa daerah (bahasa Jawa dan bahasa Makassar) berupa
frasa, klausa, dan kalimat sehingga terjadilah peristiwa campur kode. Ragam
bahasa yang digunakan pada umumnya bersifat “rahasia”. Artinya makna ragam
tersebut hanya dapat dipahami di antara kaum waria.

Variasi bahasa merupakan sejenis ragam bahasa yang pemakaiannya


disesuaikan dengan fungsi dan situasinya, tanpa mengabaikan kaidah-kaidah
pokok yang berlaku dalam bahasa yang bersangkutan (Padmadewi 2014:7).
Hubungan antara faktor-faktor sosio-situasional di dalam pemakaian bahasa,
serta terjadinya saling mempengaruhi antara kaidah-kaidah gramatikal dan
norma-norma pemakaian sesuai dengan fungsi dan situasinya.

Salah satu ragam atau variasi bahasa yang kita kenal adalah variasi sosial
atau sosiolek. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan sosiologis. Variasi ini
menyangkut semua permasalahan pribadi penuturnya seperti usia, pendidikan,
seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi, dan
sebagainya. Dalam variasi sosial yang berkenaan dengan tingkat, status,
golongan, dan kelas sosial penuturnya terdapat beberapa varasi bahasa seperti
akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken.

Anda mungkin juga menyukai