Anda di halaman 1dari 17

Film Pendek “On Friday Noon”: Dimensi Religiusitas dan Marginalisasi Terhadap Stereotip

Waria

Hafizhoh Dwi Pramesti


19/439508/SA/19652
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada

Marginal adalah pembatasan suatu kelompok yang jumlahnya sangat kecil, biasa
disebut masyarakat kecil yang identik dengan kaum terpinggir. Konsep marginalitas pada
awalnya dikenalkan oleh Robert pada esainya yang berjudul Human Migration and Marginal
Man, yang menjelaskan adanya tumpang tindih antara dua budaya atau adanya tekanan
terhadap budaya baru. Robert (2005: 885) menegaskan bahwa perlunya jarak yang tegas
untuk menentukan suatu kelompok masyarakat yang termarginalisasi. Pada konsep jarak ini,
marginalisasi dapat dipahami sebagai hasil eksklusi dari pusat-pusat, baik pusat sosial
maupun pusat yang berada di tingkat lokal. Di sisi lain, pengertian marginalisasi sendiri
adalah tindakan membatasi sekelompok orang ke tingkat sosial yang lebih rendah di luar
batas atau tepi masyarakat. Secara keseluruhan tindakan ini adalah sebuah bentuk dari
proses pengecualian.

Marginalisasi selalu menjadi polemik di pelbagai negara dalam sistem permasalahan


sosial yang ada di masyarakat. Permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat tersebut
salah satunya adalah fenomena keberadaan kelompok waria yang termasuk dalam salah
satu kategori kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender atau biasa disingkat
menjadi LGBT. Fenomena keberadaan kelompok waria ini telah tumbuh di berbagai negara
yang dikenal dengan istilah fenomena LGBT. LGBT sendiri menurut sebuah istilah merujuk
pada sekelompok orang yang memiliki kondisi gender tidak konvensional atau tidak pada
umumnya dan memiliki orientasi seksual. Sinyo (2014: 46) mengemukakan pendapatnya
mengenai LGBT berawal dari perkembangan pada abad ke-11. Sedangkan istilah LGBT mulai
muncul pada sekitar tahun 1960-an dengan tidak adanya kepastian mengenai istilah khusus
untuk menyatakan homoseksual. Kata yang paling mendekati dengan orientasi selain
heteroseksual adalah istilah “third gender” yang tercetus pada sekitar tahun 1860-an.
Jika di Indonesia fenomena keberadaan LGBT terutama waria dianggap sebagai
polemik yang selalu sama dari tahun ke tahun, ternyata beberapa negara telah melegalkan
keberadaan kaum LGBT ini. Menurut berita Negara yang Telah Akui Gender Ketiga Selain
Pria dan Wanita yang ditulis oleh Neneng Pratiwi terdapat sepuluh negara yang mengakui
gender ketiga selain pria dan wanita atau yang disebut dengan “third gender” diantaranya
Nepal, India, Pakistan, Bangladesh, Australia, New Zealand, Jerman, Denmark, Thailand, dan
Malta. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, terdapat 30
negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis yaitu Argentina, Australia, Austria, Belgia,
Brasil, Kanada, Colombia, Denmark, Ekuador, Inggris dan Wales, Finlandia, Perancis, Jerman,
Greenland, Islandia, Irlandia, Luxemburg, Malta, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Portugal,
Skotlandia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Taiwan, Amerika Serikat, Uruguay, dan Meksiko.

Fenomena keberadaan waria dari sepuluh negara diatas tentunya berbeda dengan
fenomena waria yang ada di Indonesia yang tentunya masih dianggap sebagai sesuatu yang
sangat tabu dalam keberadaannya. Keberadaan waria di Indonesia masih dipandang sebagai
permasalahan sosial yang terjadi dilingkungan masyarakat. Hal tersebut dikarenakan
keberadaan waria selalu mendapatkan tindakan diskriminasi dan menyalahi kodratnya
sebagai pria. Di Indonesia pria biologis yang percaya bahwa mereka terlahir dengan jiwa
wanita dikenal sebagai "waria" istilah ini adalah perpaduan dua kata bahasa Indonesia:
"wanita" ("wanita") dan "pria" ("pria”). Fenomena kelompok waria yang termasuk kedalam
kategori LGBT ini sudah bisa hidup begitu terbuka disamping masih banyaknya tindakan
diskriminasi atau penolakan terhadap kelompok waria yang terjadi di Indonesia. Melihat
fakta sosial di Indonesia yang merupakan negara dengan mayoritas masyarakatnya
beragama muslim, tetapi dengan banyaknya jumlah kelompok transgender atau waria yang
berkeliaran di Indonesia ini masih menjadi polemik tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Dengan adanya keberadaan kelompok-kelompok waria ini menimbulkan berbagai argumen
pro dan kontra di Indonesia.

Seorang waria atau sering dianggap sebagai transgender masih sering dinilai sebagai
seseorang yang memiliki gangguan jiwa dan disebut sebagai pelaku dari perilaku
menyimpang. Namun, jika kita melihat lebih dalam sebenarnya apa yang dapat
menyebabkan seseorang bisa menjadi waria atau transgender?. Hal ini tentu melibatkan
penelitian dari sisi medis dan lingkungan sosial. Yang pertama adalah variasi bentuk otak,
bagian anterior cingulate cortex dan temporal otak sebelah kiri memiliki dinding yang lebih
tebal dibandingkan dengan seorang heteroseksual. Kedua, faktor genetik yang
dimungkinkan dengan adanya gangguan pada hormon androgen. Yang ketiga adalah adanya
trauma masa lalu, adanya penelitian yang menyebutkan bahwa trauma psikologis pada
masa anak-anak akan berpengaruh terhadap orientasi seksual seseorang. Meski begitu,
orang yang tergolong sebagai LGBT tidak dipengaruhi dengan adanya gangguan mental.

Penilaian masyarakat terhadap fenomena waria memberikan pandangan stereotip


negatif yang didasarkan pada penilaian terhadap perilaku dan penampilan pada waria yang
bertentangan dengan kodratnya sebagai seorang laki-laki. Adanya stereotip negatif
membuat waria mendapatkan sanksi sosial berupa cemooh dari masyarakat sekitar tempat
tinggalnya, sehingga tidak jarang para waria keluar dari lingkungan keluarga dan rumahnya
untuk mendapatkan kenyamanan dalam menjalankan hidupnya dengan peran sebagai
waria. Biasanya mereka yang tidak diterima di dalam keluarganya cenderung membuat
kelompok dengan waria lain dan tinggal dalam satu wilayah, biasanya di kos-kosan atau
kontrakan yang penduduknya relatif jarang. Dampak dari stereotip negatif dari masyarakat
menimbulkan marginalisasi terhadap kelompok waria dalam berbagai aspek, seperti sosial,
budaya, ekonomi, bahkan agama.

Setelah diuraikan pandangan secara umum dalam masyarakat mengenai waria,


bagaimanakah dengan pandangan agama?. Menurut kaca mata religiusitas, tindakan atau
pilihan hidup untuk menjadi waria atau LGBT bukanlah jalan yang tepat dan dianggap tidak
sesuai dengan ajaran serta norma dan nilai-nilai religiusitas pada agama apapun. Hal
tersebut dikarenakan menjadi waria itu berarti ia telah menyalahi kodrat yang telah Tuhan
berikan kepada seorang hambanya sebagaimana ia diciptakan. Pada tulisan ini akan dibahas
mengenai keterkaitan dimensi religiusitas dalam hubungannya dengan stereotip waria di
dalam masyarakat. Menggunakan objek sebuah film berjudul On Friday Noon karya seorang
sutradara bernama Luhki Herwanayogi, tulisan ini akan mengungkapkan mengenai
bagaimana agama memandang seorang LGBT melalui dimensi religiusitas terutama waria
yang tetap menjalankan ibadahnya ditengah stereotip negatif masyarakat terhadap dirinya.
Luhki Herwanayogi seorang sutradara film yang berkebangsaan Indonesia. Luhki
telah menjalankan rumah produksinya sendiri bernama Catchlight Pictures Indonesia dan
rumah produksi berbasis komunitas dengan nama Cre8pictures sejak tahun 2009. Karya-
karyanya yang berjudul On Friday Noon dan Don’t Play Alone. Salah satu karyanya yang kita
bahas pada tulisan ini adalah film pendek yang berjudul On Friday Noon.

Film On Friday Nooon merupakan sebuah karya rekaan dari Luhki Herwanayogi. On
Friday Noon dipublikasikan pada 20 Mei 2018 di Youtube dan laman Viddsee. Film pendek
yang berdurasi sekitar tiga belas menit ini membawa sudut pandang baru dengan
permasalahan yang polemik melalui sebuah film dengan menyajikan stereotip masyarakat
terhadap seorang waria, banci, atau transgender. Mengusung tema konten yang cukup
sensitif, yaitu transgender (waria) dan agama, film ini berhasil memikat hati penonton dan
memberikan pandangan tersendiri bagi para penonton terhadap seorang transgender.

Gambar 1

On Friday Noon dimulai dengan cerita penangkapan dua waria bernama Wina dan
Nur oleh satuan Polisi Pamong Praja. Wina dalam film ini berperan sebagai tokoh protagonis
serta turut menjadi tokoh utama. Konflik yang dialami Wina adalah kegelisahan mengenai
hari ini yang merupakan hari Jumat, dimana para laki-laki muslim berkewajiban untuk
menjalankan ibadahnya yaitu shalat Jumat. Ia bingung bagaimana caranya agar ia bisa
menunaikan ibadah shalat Jumat sementara mobil yang membawanya dan Nur terus
berjalan. Kegelisahan itu bertambah ketika ia mengingat bahwa minggu lalu ia juga lupa
tidak menunaikan ibadah shalat Jumat sehingga ia tidak ingin kesalahan dan dosanya
bertambah karena meninggalkan kewajibannya yang kesekian kali. Wina berusaha untuk
memohon kepada petugas Polisi untuk mengizinkannya berhenti sejenak, namun petugas
tersebut tidak percaya dengan Wina karena takut Wina dan Nur kabur.

Gambar 2
Tiba-tiba mobil berhenti di tengah jalanan yang gersang dan sepi karena mesinnya
mogok. Wina langsung gencar berlari sekencang mungkin dengan pakaiannya yang terkesan
ribet. Keberaniannya untuk kabur dari penangkapan dan bersembunyi di dalam komplek
pemakaman menunjukkan kegigihannya untuk menunaikan shalat Jumat. Petugas Polisi
yang mengejar pun menyerah untuk mencari di mana keberadaan Wina. Konten jenaka
berbasis ironi ditampilkan pada scene ini, di mana seorang waria atau banci yang biasanya
memiliki stereotip “laki-laki lemah gemulai yang tidak memiliki nyali dan cenderung
penakut” ternyata lebih berani untuk masuk ke dalam komplek pemakaman dibandingkan
dengan polisi yang dikenal dengan stereotip “bertubuh kekar dan memiliki jiwa pemberani”.

Gambar 3
Dengan latar belakang yang gersang, kering, sepi, jauh dari keramaian, sunyi, dan
seolah-olah di wilayah terpelosok yang jarang didatangi oleh orang lain selain warga sekitar,
latar pada film ini memberikan gambaran secara simbolik dan implisit mengenai gambaran
cerita yang ingin disampaikan. Tokoh Wina digambarkan sebagai seorang yang gigih dan
tidak patah semangat, ia berlari ke arah pemukiman warga dengan pakainnya yang seksi.

Gambar 4
Pada cuplikan tersebut merupakan saat Wina berdialog dengan penduduk di wilayah
pemukiman tempatnya kabur mengenai letak rumah ibadah masjid, dan mendapat
gunjingan dari penduduk tersebut. Saat melanjutkan perjalanannya dalam mencari masjid,
kembali lagi latar yang disajikan berupa kesunyian, kegersangan, dan matahari yang bersinar
terik. Dari penggambaran latar tersebut memberikan kesan segersang, sepanas, dan
sekering apapun tempat itu, tidak ada batas yang dapat menghalangi seseorang yang
hendak menjalankan ibadah kepada Tuhannya. Penggambaran latar ini menggunakan
perspektif masyarakat secara umum di mana seorang waria merupakan bentuk dari anomali
ajaran agama.
Gambar 5
Ditambah dengan adanya adegan gambar di atas, pada sebuah rumah tua yang
sudah terbengkalai mungkin sebentar lagi roboh untuk mencari sebuah sarung atau kain
agar dapat ia kenakan untuk menunaikan ibadah shalat Jumat. Dalam scene ini terdapat
pesan simbolik yang dapat diterima melalui penggambaran rumah tua yang sebagian sudah
hampir roboh namun ternyata tokoh Wina dapat menemukan sehelai kain lebar yang dapat
ia gunakan untuk menunaikan ibadah shalat Jumat. Pesan tersebut adalah meskipun sebuah
tempat itu sudah ditinggalkan dan dianggap sudah tidak lagi terpakai ternyata ia meyimpan
sesuatu yang berguna bagi orang lain.

Gambar 6

Ketika sampai pada adegan tokoh Wina yang terlambat untuk mengikuti ibadah.
Dengan penuh penyesalan dan mata yang berkaca-kaca ia bersimpuh sujud di depan pintu
masuk masjid. Orang-orang yang telah selesai menunaikan ibadah shalat Jumat pun melalui
Wina tanpa memperhatikan dan memandang Wina sebagai seorang waria yang bisa
menjadi objek pertontonan. Dibanding memperlihatkan penolakan seorang waria yang
datang ke masjid oleh masyarakat setempat, pada scene itu lebih memperlihatkan siapapun
orangnya ia berhak untuk mengunjungi bahkan menjalankan ibadah di rumah Tuhan.
Rupanya sutradara ingin memberikan kesan bahwa seorang waria pun berhak untuk
melakukan ataupun menjalankan ibadah shalat Jumat. Sebagian orang akan beranggapan
bahwa Wina telah gagal dalam melaksanakan shalat Jumat, namun dengan adegan ketika ia
sedang uduk bersimpuh memberikan gambaran bahwa masalah antara seorang hamba
dengan Tuhannya biarlah menjadi urusan diantara mereka dan Tuhanlah yang menentukan,
dan manusia tidak berhak memberikan penilaian terhadap keimanan orang lain.

Gambar 7
Diakhir penggambilan gambar dengan siluet si Wina yang masih bersujud di antara
jamaah shalat Jumat yang menyebar keluar dari masjid, para jamaah tidak
mengindahkannya. Dari hal ini terlihat insight yang bisa didapatkan selain mendukung
asumsi dan persepsi terkait ekslusifitas penilaian akan hubungan manusia dengan Tuhan
sebatas pada dirinya dan Tuhan. Para jamaah ini merupakan bentuk dari entitas kondisi
masyarakat saat kini yang kebanyakan kurang peduli dan tak acuh pada keadaan sekitar.

Karya film yang baik adalah karya yang membawa kisah dan jalan cerita dengan tema
tertentu tanpa memberikan pembatas bagi para penontonnya untuk menginterpretasikan
seperti apa tokoh, jalan cerita, dan latar yang terdapat dalam cerita. Film On Friday Noon ini
memberikan kebebasan dalam menginterpretasikan tersebut pada penontonnya tanpa
mengesampingkan kenyamanan penonton dalam menyaksikan film tersebut terkait isu yang
sangat sensitif. Film ini dihadirkan di tengah masyarakat yang telah memiliki penilaian atau
perspektif tersendiri mengenai seorang waria. Melalui film ini sutradara ingin menunjukkan
bahwa sebagai masyarakat kita harus menghilangkan stereotip negatif mengenai waria
sebagai seorang transgender. Topik yang dibawa sangat relevan dengan kehidupan saat ini
yaitu pendosa yang ingin berubah dengan cara melakukan ibadah dan kembali padaNya
agar dikembalikan ke jalannya yang benar. Ironi, keberadaan waria sebagai transgender
yang ingin menunaikan ibadah dibenarkan, namun kembali lagi bahwa segala sesuatu yang
kita lakukan dengan tujuan ibadah itu semua adalah urusan hamba dengan Tuhannya.
Penilaian baik buruk dan salah benarnya sesuatu yang dilakukan oleh seseorang adalah
keputusan Tuhan, kita sebagai masyarakat yang merupakan sesama manusia tidak berhak
untuk memberikan penilaian atau berspekulasi mengenai apa yang dilakukan oleh orang
lain.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, selanjutnya kita akan
membahas bagaimana tokoh Wina yang berperan sebagai waria menurut dimensi
religiusitas dari tindakan dan keputusan yang ia lakukan untuk menunaikan ibadah shalat
Jumat. Sebelumnya akan kita bahas secara lebih lanjut mengenai religiusitas.

Religiusitas berasal dari kata religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio (Latin)
dan ad-Dien (Arab). Drikarya (dalam Widiyanta 2005: 80) kata Religi merupakan kata yang
berasal dari bahasa latin religio yang merupakan turunan dari kata religare yang memiliki
arti mengikat. Maksud dari mengikat tersebut adalah suatu kewajiban-kewajiban atau
aturan-aturan yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang sudah ditentukan
Tuhan. Kewajiban dan aturan tersebut secara keseluruhan memiliki fungsi untuk mengikat
dan memperkuat iman dari diri seseorang atau sekelompok orang mengenai hubungannya
dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam serta lingungan sekitarnya.

Hawari (dalam Ancok dan Suroso, 1995: 76) menyatakan bahwa religiusitas
merupakan salah satu bentuk dari penghayatan keagamaan atau kedalaman kepercayaan
yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, memanjatkan doa, dan membaca
kitab suci. Religiusitas dapat diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan berupa aktivitas
yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, serta aktivitas yang tidak tampak yang terjadi
dalam hati seseorang. Religiusitas dan agama memang merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.

Mangunwidjaya (dalam Andisti & Ritandiyono 2008: 172) bila dilihat dari sisi yang
tampak pada agama lebih menunjukkan pada sebuah kelembagaan yang mengatur tata cara
penyembahan yang dilakukan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih
menunjuk mengenai aspek yang ada di dalam diri atau lubuk hati manusia. Kualitas dari diri
manusia adalah hal yang dipengaruhi oleh aspek religiusitas. Agama dan religiusitas sama-
sama saling menyokong dan saling melengkapi karena keduanya merupakan konsekuensi
yang cukup logis dari kehidupan manusia yang mempunyai dua sisi dalam kehidupannya,
yaitu sisi kehidupan pribadi dan sisi kebersamaannya di tengah-tengah lingungan
masyarakat. Nashori (2002: 69) menyatakan pada umumnya dalam religiusitas terdapat
sesuatu yang dirasakan secara mendalam dan berkaitan dengan keinginan seseorang,
membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam suatu
masyarakat.

Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 1995: 76) agama merupakan
sebuah sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai, dan sistem perilaku yang
terlambangkan yang semuanya itu berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai
yang paling maknawi (ultimate meaning).

Dimensi Religiusitas
Glock dan Stark membagi dimensi religius kedalam lima aspek, diantaranya religious
belief (the ideological dimension), religious practice (the ritual dimension), religious feeling
(the experiental dimension), religious knowledge (the intellectual dimension), dan religious
effect (the consequential dimension). Penjelasan mengenai aspek dimensi religiusitas dapat
dipahami dalam uraian berikut.

1) Religious Belief (The Ideological Dimension)


Religious belief atau dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang
menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan terhadap
keberadaan Tuhan, malaikat, surga, dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama
tentu memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama
lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak
jarang berlawanan. Dimensi keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam
pengakuan (syahadat) dengan membaca dua kalimat syahadat, Bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, dan nabi Muhammad itu utusan Allah.

2) Religious Practice (The Ritual Dimension)


Religious practice yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-
kewajiban ritual dalam agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup
pemujaan, budaya, serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam
agama yang dianutnya. Dimensi praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan
menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya.

3) Religious Feeling (The Experiental Dimension)


Religious Feeling atau bisa disebut dimensi pengalaman, adalah perasaan-perasaan
atau pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan
Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan, diselamatkan oleh
Tuhan, dan sebagainya. Ancok dan Suroso (1995:87) menyatakan bahwa dalam Islam
dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah ketika
melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau
ayat-ayat Al-Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan
atau pertolongan dari Allah.

4) Religious Knowledge (The Intellectual Dimension)


Religious Knowledge atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang
menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya,
terutama yang ada di dalam kitab sucinya atau dimensi pengetahuan agama adalah
dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran
agamanya. Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat pengetahuan
dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama mengenai ajaran
pokok agamanya, sebagaimana yang termuat di dalam kitab sucinya.

5) Religious Effect (The Consequential Dimension)


Religious effect yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana prilaku seseorang
dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia
mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan,
mendermakan hartanya, dan sebagainya.

Berdasarkan dimensi-dimensi yang telah diuraikan di atas, mari kita telusuri dimensi
religiusitas yang dilakukan oleh tokoh utama bernama Wina sebagai waria pada film On
Friday Noon dengan stereotip yang diterimanya sebagai waria.

1. Dimensi Keyakinan
Dari tindakan yang dilakukan Wina sebagai seorang muslim pada film
tersebut menunjukkan bahwa terdapat dimensi keyakinan. Hal tersebut
ditunjukkan pada scene bahwa secara sadar ia mengetahui keberadaan Allah
SWT, surga, dan neraka itu benar adanya. Sehingga ia merasa takut dan gelisah
untuk meninggalkan kewajibannya sebagai laki-laki untuk menunaikan ibadah
shalat Jumat. Maka dengan berbagai cara Wina berusaha untuk menjalankan
ibadah tersebut yang ditunjukkan dari proses pelarian dirinya dari penangkapan
Satuan Polisi Pamong Praja demi dapat mengikuti ibadah shalat Jumat. Kemudian
menolak ajakan penjaga toilet umum untuk melakukan aktivitas seksual berupa
menghisap kemaluan penjaga toilet, karena ia tahu bahwa hal tersebut adalah
kesalahan dan mendadpat hukuman di akhirat apabila ia melakukan adalah
masuk neraka maka ia menolaknya dengan lari kabur begitu saja. Selanjutnya
adalah mencari sarung sebagai alat untuk menunaikan ibadah shalat Jumat yang
merupakan perwujudan dari kesadarannya akan ibadah harus memenuhi syarat
menutup aurat. Lalu pada sujud terakhirnya yang sekan-akan ia memohon
ampun atas segalanya adalah kesadaran bahwa Allah ada untuk mendengar
hambanya karena dengan suara sepelan apapun seseorang berbisik di tanah,
suaranya akan terdengar hingga ke langit ketujuh.
2. Dimensi Praktik

Pada dimensi ini diperlihatkan dengan kesadaran Wina yang merupakan


seorang waria dengan jenis kelamin laki-laki memiliki kewajiban untuk
menunaikan ibadah shalat Jumat. Melalui ibadah shalat Jumat unsur-unsur
seperti syarat wajib yang harus dilakukan diantaranya wudhu, gerakan-gerakan
yang dilakukan dalam shalat seperti sujud dan rukuk, serta mendengarkan kajian
berupa khotbah yang terdapat pada rangkaian ibadah shalat Jumat adalah
dimensi praktik. Hal tersebut karena dengan melakukan praktik yang telah
diuraikan maka dapat menunjukkan komitmen seseorang dalam menjalankan
agamanya. Jika pada Islam praktik tersebut terkait dengan pengerjaan
kewajiban-kewajiban dalam ibadah. Seperti yang diperankan pada tokoh Wina,
komitmen tersebut diwujudkan dalam beberapa scene terakhir dimana ia
berakting sedang bersujud. Dimensi praktik pada scene tersebut merupakan
bentuk dari kesadarannya bahwa ia adalah seorang hamba Allah yang telah
melakukan kesalahan yaitu meninggalkan shalat Jumat pada saat minggu lalu,
keterlambatan datang ke masjid, dan pada scene pertengahan secara implist dia
menyadari bahwa ia adalah seorang laki-laki tulen yang menyamar menjadi
waria. Padahal secara kodrati ia adalah seorang laki-laki dengan tubuh yang
berpostur sebagai laki-laki.

3. Dimensi Pengalaman

Pengalaman yang dialami tokoh Wina yaitu ketika ia mengingat Allah, ia


selalu merasa bahwa Allah berada disekitarnya. Melalui pengalamannya dari
meninggalkan shalat Jumat pada seminggu yang lalu, Wina merasakan gelisah
sehingga ia takut untuk mengulang dosa yang sama. Ketika azan dan puji-pujian
dikumandangkan melalui TOA atau pengeras suara yang terdapat di masjid Wina
merasakan ketentraman dan merasakan adanya getaran di dalam hatinya
sehingga ia terketuk untuk segera bergegas menuju ke arah dari mana sumber
suara tersebut, karena dalam scene tersebut digambarkan bahwa Wina sedang
kebingungan untuk mencari keberadaan masjid untuk menunaikan ibadah shalat
Jumat yang terletak di desa tersebut. Kemudian pada scene terakhir ketika Wina
bersujud di depan pintu masjid menunjukkan bahwa ia merasa sedih dan gagal
untuk menunaikan ibadah shalat Jumat.

4. Dimensi Pengetahuan
Pada dimensi pengetahuan menurut agam islam terdapat sesuatu hal yang
dianggap bertolak belakang. Dalam islam hanya dikenal dengan dua jenis kelamin
yaitu laki-laki dan perempuan. Namun seperti yang telah diuraikan pada
pemaparan dalam Book Chapter bahwa Wina adalah seorang waria atau bisa
disebut sebagai transgender. Dalam Al-Quran terdapat firman yang mana pada
Q.S. Al- Hujurat: 13 Allah berfirman yang inti dari surat tersebut adalah tidak
boleh mengganti ketentuan yang sudah Allah berikan dan harus menjalaninya
dengan sepenuh hati. Kemudian dalam sebuah hadits riwayat Bukhari, Rasulullah
melaknat kaum laki-laki yang menyerupai perempuan dan kaum perempuan
yang menyerupai laki-laki. Dapat dikatakan bahwa dengan menjadi waria adalah
sebuah tindak penyimpangan terhadap kodrati manusia yang secara asli berjenis
kelamin laki-laki. Namun di sisi lain, meskipun Wina merupakan seorang
transgender ia tidak melupakan kewajibannya sebagai laki-laki yang memiliki
tubuh Dan jiwa yang utuh untuk menjalankan ibadah shalat Jumat.

5. Dimensi Efek

Dimensi efek didasarai dengan tindakan atau perilaku seseorang yang


didorong oleh ajaran agamanya mengenai kehidupan sosial. Dalam film On
Friday Noon dimensi efek ini terlihat pada penolakan yang telah disampaikan di
atas, yaitu mengenai ajakan untuk menghisap kemaualuan yang dilakukan oleh
penjaga toilet umum. Dengan adanya ajaran-ajaran yang diterima oleh Wina
selama hidupnya ia memilih untuk lari dan kabur dari petugas toilet lalu memilih
kencing di sembarang tempat yaitu disekitar wilayah tanah pekarangan. Hal
tersebut ia lakukan karena adanya motivasi dari ajaran agamanya yang secara
tidak langsung menyadarkan Wina bahwa tindakan tersebut adalah sesuatu yang
menyimpang dan tidak etis jika dilakukan dengan dua orang dengan jenis
kelamin yang sama atau homogen.

Kesimpulan
Setelah diuraikan mengenai pembahasan marginalisasi waria terhadap stereotip
dengan kaitannya dimensi religiusitas, dapat diketahui bahwa setiap dimensi memiliki ciri
tertentu dan menghasilkan motif tertentu pula. Jika kita melihat mengenai fenomena
marginalisasi pada waria, hal ini merupakan akibat dari stereotip negatif yang diterima
masyarakat secara mentah-mentah. Kesimpulan lain yang didapatkan dari pembahasan
tersebut adalah semua orang berhak untuk menjalankan ibadahnya, karena agama tidak
membatasi siapa saja untuk menjalankan syariat serta ajaran-ajaran di dalamnya. Disisi lain
mengenai diterima dan tidaknya ibadah yang dilakukan oleh umat manusia tak terkecuali
waria merupakan hak prerogatif Tuhan, yang terpenting agama ada untuk mengayomi
umatnya bukan sebagai wadah untuk menghakimi maupun menghukumi.
Daftar Pustaka

Ancok dan Suroso. 1995. Psikologi Islami, Solusi Islam Atas Problem-problem
Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Andisti, M. A., & Ritandiyono. 2008. Religiusitas dan Perilaku Seks Bebas Pada
Dewasa Awal. Jurnal Psikologi, 1(2), 170-176.

Dunne J, Robert. 2005. Marginality A Conceptual Extension dalam Rutledge M.


Dennis (ed) Vol.12 Research In Race and Ethnic Relations : Elsevier JAI.

Glock, C. & Stark, R. 1966. Religion and Society In Tension. Chicago: University of
California.

Nashori Fuad. 2002. Mengembangkan Kreativitas Dalam Perspektif Psikologi Islam.


Yogyakarta. Menara Kudus

Pratiwi, Neneng. 2016. Negara yang Telah Akui Gender Ketiga Selain Pria dan
Wanita. Diakses pada laman hipwee.com

Sinyo. 2014. Anakku Bertanya Tentang LGBT. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Widiyanta, Ari. 2005. Sikap Terhadap Lingkungan Dan Religiusitas. Psikologi Volume
I, No. 2, Desember 2005.

Laman Web
https://www.youtube.com/results?search_query=on+friday+noon
https://www.jstor.org/stable/2765982
https://ejournal.gunadarma.ac.id/index.php/psiko/article/view/298
https://www.hipwee.com/feature/bukan-as-atau-negara-barat-kebanyakan-lho-cek-deh-
daftar-7-negara-yang-akui-adanya-gender-ketiga/

Anda mungkin juga menyukai