LATAR BELAKANG
Hampir semua orang mengenal waria (wanita pria), waria adalah individu yang memiliki
jenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang wanita. Waria
merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah waria semakin hari
semakin bertambah, terutama di kota-kota besar. Bagi peneliti, waria merupakan suatu
fenomena yang menarik untuk diteliti karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat
mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk.
Secara ekstrim, masyarakat kita seringkali hanya mengakui segala hal pada dua wilayah yang
saling bertentangan, seperti hitam-putih, kaya-miskin, dan pandai-bodoh. Pada wilayah jenis
kelamin dan orientasi seks pun, masyarakat secara diskrit hanya mengakui jenis kelamin laki-laki
Keduanya dikonstruksikan pada posisi masing-masing, dan tidak boleh saling bertukar ataupun
Waria, yang secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal,
namun secara psikis mereka merasa dirinya perempuan layaknya kaum perempuan lainnya,
tentunya kelompok ini, sampai saat ini masih dianggap sebagai suatu kelompok atau kaum yang
menyimpang oleh sebagian besar masyarakat kita. Di zaman modern ini, banyak sekali waria
yang hidup di dalam masyarakat, terlebih di masyarakat perkotaan. Fenomena waria merupakan
suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum
banyak orang yang mengetahui seluk-beluk kehidupan waria yang sesungguhnya. Perilaku
waria tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang sederhana. Konflik identitas jenis
kelamin yang dialami waria tersebut hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap setiap tahap
perkembangan dalam hidupnya. Setiap manusia atau individu akan selalu berkembang, dari
psikologis. Salah satu aspek dalam diri manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin.
Setiap individu diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya.
Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil atau
tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami perilaku sesuai dengan peran jenis
kelaminnya. Jika individu gagal dalam menerima dan memahami peran jenis kelaminnya maka
individu tersebut akan mengalami konflik atau gangguan identitas jenis kelamin.
Berperilaku menjadi waria memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah:
penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, hingga
dianggap lelucon, dan kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria
tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000) dalam
penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami
eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan
waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Sehubungan belum
diterimanya waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas
terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan
kosmetik dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi
pelacur untuk memenuhi kebutuhan materiel maupun biologis. Waria yang berprofesi sebagai
pekerja seks komersial tentunya melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan
secara tidak aman karena mereka tidak pernah memikirkan efek samping dari perbuatannya
tersebut melainkan karena dorongan ekonomi dan kepuasan batin. Oleh karena itu waria sangat
rentan terhadap penyakit menular seksual yang tidak asing lagi bagi kita contohnya, AIDS,
siphilis, dan masih banyak lagi jenis penyakit menular seksual lainnya. Hal tersebut sangat
membahayakan bagi waria apabila dilakukan secara terus menerus tanpa ada pengarahan dari
masyarakat atau badan yang berkewajiban memberikan penyuluha tentang hal tersebut terhadap
waria. Keberadaan waria seakan penuh dengan nilai-nilai negatif dalam pribadi seseorang dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupannya, karena didalam kehidupan masyarakat
sering mendengar bahkan sering melihat bagaimana sebenarnya kehidupan waria dipenuhi
dengan kekerasan fisik maupun psikis, contohnya waria sering mengalami pelecehan-pelecehan
seksual dan juga penolakan-penolakan yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan tokoh
agama, serta pandangan-pandangan negatif yang tidak berujung dan tidak beralasan dari
masyarakat pada umumnya yang menyebabkan kehidupan waria terganggu secara psikis.
Waria merupakan salah satu bagian dari masyarakat yang mengalami proses sosial
disosiatif yaitu merupakan suatu proses yang ditandai adanya suatu pertentangan atau pertikaian
yang tergantung sekali pada unsur-unsur budaya yang menyangkut struktur masyarakat dan
Keadaan mereka dianggap sebagai perilaku yang menyimpang, yaitu suatu perilaku atau
tindakan di luar kebiasaan, adat-istiadat, aturan, nilai-nilai atau norma-norma sosial yang
berlaku. Tidak jarang mereka diperlakukan seperti orang aneh yang patut ditertawakan,
Waria atau transgender bukan merupakan fenomena yang baru terjadi, meskipun tidak diketahui
dengan pasti sejak kapan tepatnya aktifitas waria/ transgender bermula, namun fenomena
tersebut telah tercatat dalam litelatur dan dokumen sejarah hingga sebelum zaman masehi. Para
waria juga ingin mendapat perlakuan yang layak seperti orang-orang pada umumnya seperti
halnya mereka dapat bekerja dimanapun mereka inginkan tanpa ada suatu diskriminasi.
Kehidupan masyarakat Indonesia selama ini hanya dikenal dua katergori jenis kelamin,
yakni laki-laki dan perempuan. Keduanya dikonstruk pada posisinya masing-masing dan tidak
boleh ada yang saling bertukar. Laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan dengan
kefeminimannya serta keduanya diposisikan untuk berpasangan. Tidak ada tempat untuk laki-
laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan dan demikian pula laki-laki dengan identitas
penampilan perempuan atau sebaliknya. Masyarakat terkadang menganggap hal tersebut adalah
keabnormalan yang dianggap berada diluar pola pengaturan yang sudah baku. Sebenanrya
normalitas dan abnormalitas itu masih samar-samar batasnya. Kebiasaan dan sikap hidup yang
dirasakan sebagai sesuatu yang normal oleah suatu kelompok, terkadang dianggap abnormal oleh
kelompok masyarakat lainnya. Menurut Ruth Benedict penggolongan kepribadian “normal” dan
“abnormal” berhubungan erat dengan perumusan konfigurasi atau pola kebudayaan dari suatu
masyarakat. Hal tersebut kemungkinan besar tidak berlaku jika keabnormalan tersebut sudah
sangat mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku normal pada umumnya atau
masyarakat dominan berbuat demikian, maka biasanya langsung dinyatakan sebagai abnormal.
Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah waria yang besar. Menurut data statistik
yang dimiliki Persatuan Waria Republik Indonesia, jumlah waria yang terdata dan memiliki
Kartu Tanda Penduduk mencapai 3.887.000 jiwa pada tahun 2007. Saat ini menurut Kementerian
Sosial Republik Indonesia bahwa belum adanya data yang akurat dan mutakhir tentang gambaran
atau profil waria. Hal ini menyebabkan sulit merumuskan kebijakan dan program, serta rencana
kerja bagi lembaga atau instansi terkait melaksanakan koordinasi secara terpadu. Jumlah waria di
Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan terbilang cukup banyak. Perkiraan tersebut didasarkan
atas informasi dari salah satu waria yang sering berada di lokasi tempat dia mangkal selama ini.
Selain itu, bukti lain yang mendukung bertambahnya jumlah waria yaitu adanya festival waria
yang beberapa tahun ini dilaksanakan. Tidak hanya itu, beberapa tahun belakangan sudah ada
tempat yang sering dijadikan “tempat nongkrong” waria. Masyarakat pada umumnya yang
memiliki struktur normatif seperti ‘yang dianggap baik’, ‘yang dianggap seharusnya’ dan ‘yang
menyangkut kepercayaan’. Stigma masyarakat tentang waria sudah menyalahi normatif yang ada
yaitu ‘yang dianggap seharusnya’. Seorang laki-laki seharusnya menjadi laki-laki dengan
keduanya diposisikan untuk berpasangan. Menyangkut hal tersebut dalam kehidupan ekonomi,
sosial, politik, budaya dan hukum, waria terkadang mendapat perlakuan tidak adil seperti
pengucilan dari masyarakat atau sulitnya mengakses lapangan kerja dalam sektor formal.
Waria bukanlah sesuatu hal yang baru di Indonesia. Estimasi jumlah waria di Indonesia
pada 2011 adalah sekitar 38,000 orang dan mengalami peningkatan hampir 30 persen bila
dibandingkan dengan data yang tersedia satu dekade yang lalu (Kemenkes, 2014). Waria dapat
ditemukan di seluruh wilayah di Indonesia. Data Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2012
menyatakan waria ditemukan di 31 provinsi di kecuali Sulawesi Barat dan Jambi, dengan jumlah
terbanyak berada di Jawa Timur sebesar lebih dari 4000 orang. Istilah waria sendiri diberikan
untuk lelaki yang berpenampilan dan merasa dirinya perempuan, dengan atau tanpa operasi ganti
kelamin. Menurut Boellstorff (2004) waria berbeda dengan gay dalam mengetahui seksualitas
mereka. Istilah „membuka identitas seksual diri‟ (coming out) tidak ditemukan pada kelompok
waria. Kebanyakan mereka mengetahui bahwa mereka berada dalam anatomi lelaki namun
merasa sebagai perempuan sejak kecil, dalam beberapa kasus sedini usia lima tahun. Pada masa
ini ketertarikan terhadap pria tidak menjadi patokan dalam proses identitas seksual waria.
Beberapa orang menyadari dirinya adalah waria karena diberitahukan oleh orang lain. Anaya
(2000) memposisikan waria sebagai gender ketiga selain lelaki dan perempuan. Hal ini sejalan
dengan temuan Hardon, Idrus & Hyman, 2014) yang menyatakan waria merasa nyaman dengan
identitas gender tersendiri tanpa harus diklasifikasikan dalam kategori perempuan atau laki-laki.
Sebagai contoh, kekhususan identitas waria sebagai gender tersendiri dapat ditemukan di
Sulawesi Selatan, Calabai atau waria dalam istilah lokal terbentuk secara budaya menjadi bagian
tersendiri diluar dua jenis kelamin yang ada (Graham, 2003). Walaupun beberapa waria ada yang
dalam diri waria termanifestasi dalam berbagai hal. Karena terlahir dalam badan lelaki, waria
berusaha menjadikan diri untuk menyerupai perempuan dalam berbagai hal. Ada yang
berpenampilan sehari-hari layaknya perempuan dalam hal berdandan dan berbusana. Namun ada
juga yang memilih berpenampilan lelaki pada siang hari namun berubah menjadi perempuan saat
keluar di malam hari. Menurut Safika dan rekan (2014) memberikan pelayanan seks bagi lelaki
di malam hari adalah bagian dari pemenuhan diri sebagai perempuan. Untuk mendukung
perubahan fisik menjadi perempuan, banyak waria menggunakan hormon estrogen untuk
menekan hormon testoteron yang dimilikinya. Menurut Idrus dan Hyman (2014) waria
menggunakan hormon kontrasepsi perempuan untuk membentuk tubuh dengan cara diminum
atau disuntik langsung ke bagian dada untuk membentuk payudara. Dampak tambahan dari
penggunaan hormon adalah melembutkan kulit, menyamarkan urat yang terlihat dan mengurangi
masa otot. Jenis obat hormon yang digunakan didapat dari sesama rekan dengan jumlah dosis
yang diketahui dengan bereksperimen langsung dengan obatnya. Penampilan luar sebagai
perempuan menjadi salah satu bagian penting dalam penerimaan diri waria. Penerimaan
masyarakat terhadap waria di Indonesia mengalami pasang-surut. Pada awal masa Orde Baru
sekitar akhir 1950an dan 1960an. Menurut Boellstorff (2004, 2005) pengaruh Islam yang
menguat di Indonesia ditambah dengan kekerasan massa pada jaman Soeharto menghasilkan
marginalisasi terhadap kelompok waria. Pada masa tersebut, orang yang berpenampilan waria
diluar rumah akan mendapatkan cemoohan publik, bahkan pemukulan karena dianggap sebagai
kutukan. Pengabaian waria di ruang publik dan pasar terjadi secara nyata. Situasi mulai berubah
pada tahun 1980-an ketika waria dapat muncul dalam drama pertujukan ludruk.