Anda di halaman 1dari 7

BAB 1

LATAR BELAKANG

Hampir semua orang mengenal waria (wanita pria), waria adalah individu yang memiliki

jenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang wanita. Waria

merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah waria semakin hari

semakin bertambah, terutama di kota-kota besar. Bagi peneliti, waria merupakan suatu

fenomena yang menarik untuk diteliti karena dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat

mengetahui secara pasti dan memahami mengapa dan bagaimana perilaku waria dapat terbentuk.

Secara ekstrim, masyarakat kita seringkali hanya mengakui segala hal pada dua wilayah yang

saling bertentangan, seperti hitam-putih, kaya-miskin, dan pandai-bodoh. Pada wilayah jenis

kelamin dan orientasi seks pun, masyarakat secara diskrit hanya mengakui jenis kelamin laki-laki

dan perempuan, laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan dengan kefeminimannya.

Keduanya dikonstruksikan pada posisi masing-masing, dan tidak boleh saling bertukar ataupun

meramu dua jati tersebut dalam satu tubuh.

Waria, yang secara fisik mereka adalah laki-laki normal, memiliki kelamin yang normal,

namun secara psikis mereka merasa dirinya perempuan layaknya kaum perempuan lainnya,

tentunya kelompok ini, sampai saat ini masih dianggap sebagai suatu kelompok atau kaum yang

menyimpang oleh sebagian besar masyarakat kita. Di zaman modern ini, banyak sekali waria

yang hidup di dalam masyarakat, terlebih di masyarakat perkotaan. Fenomena waria merupakan

suatu paparan nyata yang tidak dapat ditolak eksistensinya di masyarakat. Sayangnya, belum

banyak orang yang mengetahui seluk-beluk kehidupan waria yang sesungguhnya. Perilaku

waria tidak dapat dijelaskan dengan deskripsi yang sederhana. Konflik identitas jenis

kelamin yang dialami waria tersebut hanya dapat dipahami melalui kajian terhadap setiap tahap
perkembangan dalam hidupnya. Setiap manusia atau individu akan selalu berkembang, dari

perkembangan tersebut individu akan mengalami perubahan-perubahan baik fisik maupun

psikologis. Salah satu aspek dalam diri manusia yang sangat penting adalah peran jenis kelamin.

Setiap individu diharapkan dapat memahami peran sesuai dengan jenis kelaminnya.

Keberhasilan individu dalam pembentukan identitas jenis kelamin ditentukan oleh berhasil atau

tidaknya individu tersebut dalam menerima dan memahami perilaku sesuai dengan peran jenis

kelaminnya. Jika individu gagal dalam menerima dan memahami peran jenis kelaminnya maka

individu tersebut akan mengalami konflik atau gangguan identitas jenis kelamin.

Berperilaku menjadi waria memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah:

penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, hingga

dianggap lelucon, dan kekerasan baik verbal maupun non verbal. Penolakan terhadap waria

tersebut terutama dilakukan oleh masyarakat strata sosial atas. Oetomo (2000) dalam

penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat strata sosial atas ternyata lebih sulit memahami

eksistensi waria, mereka memiliki pandangan negatif terhadap waria dan enggan bergaul dengan

waria dibanding masyarakat strata sosial bawah yang lebih toleran. Sehubungan belum

diterimanya waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan waria menjadi terbatas

terutama pada kehidupan hiburan seperti ngamen, ludruk, atau pada dunia kecantikan dan

kosmetik dan tidak menutup kemungkinan sesuai realita yang ada, beberapa waria menjadi

pelacur untuk memenuhi kebutuhan materiel maupun biologis. Waria yang berprofesi sebagai

pekerja seks komersial tentunya melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan

secara tidak aman karena mereka tidak pernah memikirkan efek samping dari perbuatannya

tersebut melainkan karena dorongan ekonomi dan kepuasan batin. Oleh karena itu waria sangat

rentan terhadap penyakit menular seksual yang tidak asing lagi bagi kita contohnya, AIDS,
siphilis, dan masih banyak lagi jenis penyakit menular seksual lainnya. Hal tersebut sangat

membahayakan bagi waria apabila dilakukan secara terus menerus tanpa ada pengarahan dari

masyarakat atau badan yang berkewajiban memberikan penyuluha tentang hal tersebut terhadap

waria. Keberadaan waria seakan penuh dengan nilai-nilai negatif dalam pribadi seseorang dan

segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupannya, karena didalam kehidupan masyarakat

sering mendengar bahkan sering melihat bagaimana sebenarnya kehidupan waria dipenuhi

dengan kekerasan fisik maupun psikis, contohnya waria sering mengalami pelecehan-pelecehan

seksual dan juga penolakan-penolakan yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan tokoh

agama, serta pandangan-pandangan negatif yang tidak berujung dan tidak beralasan dari

masyarakat pada umumnya yang menyebabkan kehidupan waria terganggu secara psikis.

Waria merupakan salah satu bagian dari masyarakat yang mengalami proses sosial

disosiatif yaitu merupakan suatu proses yang ditandai adanya suatu pertentangan atau pertikaian

yang tergantung sekali pada unsur-unsur budaya yang menyangkut struktur masyarakat dan

sistem nilai-nilainya, kehadirannya di tengah-tengah masyarakat belum sepenuhnya diterima.

Keadaan mereka dianggap sebagai perilaku yang menyimpang, yaitu suatu perilaku atau

tindakan di luar kebiasaan, adat-istiadat, aturan, nilai-nilai atau norma-norma sosial yang

berlaku. Tidak jarang mereka diperlakukan seperti orang aneh yang patut ditertawakan,

dicemooh, dikucilkan, dan dianggap tidak normal oleh masyarakat.

Waria atau transgender bukan merupakan fenomena yang baru terjadi, meskipun tidak diketahui

dengan pasti sejak kapan tepatnya aktifitas waria/ transgender bermula, namun fenomena

tersebut telah tercatat dalam litelatur dan dokumen sejarah hingga sebelum zaman masehi. Para

waria juga ingin mendapat perlakuan yang layak seperti orang-orang pada umumnya seperti

halnya mereka dapat bekerja dimanapun mereka inginkan tanpa ada suatu diskriminasi.
Kehidupan masyarakat Indonesia selama ini hanya dikenal dua katergori jenis kelamin,

yakni laki-laki dan perempuan. Keduanya dikonstruk pada posisinya masing-masing dan tidak

boleh ada yang saling bertukar. Laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan dengan

kefeminimannya serta keduanya diposisikan untuk berpasangan. Tidak ada tempat untuk laki-

laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan dan demikian pula laki-laki dengan identitas

penampilan perempuan atau sebaliknya. Masyarakat terkadang menganggap hal tersebut adalah

keabnormalan yang dianggap berada diluar pola pengaturan yang sudah baku. Sebenanrya

normalitas dan abnormalitas itu masih samar-samar batasnya. Kebiasaan dan sikap hidup yang

dirasakan sebagai sesuatu yang normal oleah suatu kelompok, terkadang dianggap abnormal oleh

kelompok masyarakat lainnya. Menurut Ruth Benedict penggolongan kepribadian “normal” dan

“abnormal” berhubungan erat dengan perumusan konfigurasi atau pola kebudayaan dari suatu

masyarakat. Hal tersebut kemungkinan besar tidak berlaku jika keabnormalan tersebut sudah

sangat mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku normal pada umumnya atau

masyarakat dominan berbuat demikian, maka biasanya langsung dinyatakan sebagai abnormal.

Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah waria yang besar. Menurut data statistik

yang dimiliki Persatuan Waria Republik Indonesia, jumlah waria yang terdata dan memiliki

Kartu Tanda Penduduk mencapai 3.887.000 jiwa pada tahun 2007. Saat ini menurut Kementerian

Sosial Republik Indonesia bahwa belum adanya data yang akurat dan mutakhir tentang gambaran

atau profil waria. Hal ini menyebabkan sulit merumuskan kebijakan dan program, serta rencana

kerja bagi lembaga atau instansi terkait melaksanakan koordinasi secara terpadu. Jumlah waria di

Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan terbilang cukup banyak. Perkiraan tersebut didasarkan

atas informasi dari salah satu waria yang sering berada di lokasi tempat dia mangkal selama ini.

Selain itu, bukti lain yang mendukung bertambahnya jumlah waria yaitu adanya festival waria
yang beberapa tahun ini dilaksanakan. Tidak hanya itu, beberapa tahun belakangan sudah ada

tempat yang sering dijadikan “tempat nongkrong” waria. Masyarakat pada umumnya yang

memiliki struktur normatif seperti ‘yang dianggap baik’, ‘yang dianggap seharusnya’ dan ‘yang

menyangkut kepercayaan’. Stigma masyarakat tentang waria sudah menyalahi normatif yang ada

yaitu ‘yang dianggap seharusnya’. Seorang laki-laki seharusnya menjadi laki-laki dengan

kemaskulinannya dan perempuan seharusnya menjadi perempuan dengan kefeminimannya serta

keduanya diposisikan untuk berpasangan. Menyangkut hal tersebut dalam kehidupan ekonomi,

sosial, politik, budaya dan hukum, waria terkadang mendapat perlakuan tidak adil seperti

pengucilan dari masyarakat atau sulitnya mengakses lapangan kerja dalam sektor formal.

Waria bukanlah sesuatu hal yang baru di Indonesia. Estimasi jumlah waria di Indonesia

pada 2011 adalah sekitar 38,000 orang dan mengalami peningkatan hampir 30 persen bila

dibandingkan dengan data yang tersedia satu dekade yang lalu (Kemenkes, 2014). Waria dapat

ditemukan di seluruh wilayah di Indonesia. Data Kementerian Sosial (Kemensos) tahun 2012

menyatakan waria ditemukan di 31 provinsi di kecuali Sulawesi Barat dan Jambi, dengan jumlah

terbanyak berada di Jawa Timur sebesar lebih dari 4000 orang. Istilah waria sendiri diberikan

untuk lelaki yang berpenampilan dan merasa dirinya perempuan, dengan atau tanpa operasi ganti

kelamin. Menurut Boellstorff (2004) waria berbeda dengan gay dalam mengetahui seksualitas

mereka. Istilah „membuka identitas seksual diri‟ (coming out) tidak ditemukan pada kelompok

waria. Kebanyakan mereka mengetahui bahwa mereka berada dalam anatomi lelaki namun

merasa sebagai perempuan sejak kecil, dalam beberapa kasus sedini usia lima tahun. Pada masa

ini ketertarikan terhadap pria tidak menjadi patokan dalam proses identitas seksual waria.

Beberapa orang menyadari dirinya adalah waria karena diberitahukan oleh orang lain. Anaya

(2000) memposisikan waria sebagai gender ketiga selain lelaki dan perempuan. Hal ini sejalan
dengan temuan Hardon, Idrus & Hyman, 2014) yang menyatakan waria merasa nyaman dengan

identitas gender tersendiri tanpa harus diklasifikasikan dalam kategori perempuan atau laki-laki.

Sebagai contoh, kekhususan identitas waria sebagai gender tersendiri dapat ditemukan di

Sulawesi Selatan, Calabai atau waria dalam istilah lokal terbentuk secara budaya menjadi bagian

tersendiri diluar dua jenis kelamin yang ada (Graham, 2003). Walaupun beberapa waria ada yang

mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan (Pisani, et al, 2014). Konsep keperempuanan

dalam diri waria termanifestasi dalam berbagai hal. Karena terlahir dalam badan lelaki, waria

berusaha menjadikan diri untuk menyerupai perempuan dalam berbagai hal. Ada yang

berpenampilan sehari-hari layaknya perempuan dalam hal berdandan dan berbusana. Namun ada

juga yang memilih berpenampilan lelaki pada siang hari namun berubah menjadi perempuan saat

keluar di malam hari. Menurut Safika dan rekan (2014) memberikan pelayanan seks bagi lelaki

di malam hari adalah bagian dari pemenuhan diri sebagai perempuan. Untuk mendukung

perubahan fisik menjadi perempuan, banyak waria menggunakan hormon estrogen untuk

menekan hormon testoteron yang dimilikinya. Menurut Idrus dan Hyman (2014) waria

menggunakan hormon kontrasepsi perempuan untuk membentuk tubuh dengan cara diminum

atau disuntik langsung ke bagian dada untuk membentuk payudara. Dampak tambahan dari

penggunaan hormon adalah melembutkan kulit, menyamarkan urat yang terlihat dan mengurangi

masa otot. Jenis obat hormon yang digunakan didapat dari sesama rekan dengan jumlah dosis

yang diketahui dengan bereksperimen langsung dengan obatnya. Penampilan luar sebagai

perempuan menjadi salah satu bagian penting dalam penerimaan diri waria. Penerimaan

masyarakat terhadap waria di Indonesia mengalami pasang-surut. Pada awal masa Orde Baru

sekitar akhir 1950an dan 1960an. Menurut Boellstorff (2004, 2005) pengaruh Islam yang

menguat di Indonesia ditambah dengan kekerasan massa pada jaman Soeharto menghasilkan
marginalisasi terhadap kelompok waria. Pada masa tersebut, orang yang berpenampilan waria

diluar rumah akan mendapatkan cemoohan publik, bahkan pemukulan karena dianggap sebagai

kutukan. Pengabaian waria di ruang publik dan pasar terjadi secara nyata. Situasi mulai berubah

pada tahun 1980-an ketika waria dapat muncul dalam drama pertujukan ludruk.

Anda mungkin juga menyukai