BAB I
PENDAHULUAN
Hurlock (1980) mendefinisikan istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata
bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah
adolescence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget dalam Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa secara
psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Sedangkan Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19
tahun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah
penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
(BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.
Perubahan sosial mulai terlihat dalam persepsi masyarakat yang pada mulanya menyakini seks
sebagai sesuatu yang sakral menjadi sesuatu yang tidak sakral lagi, maka saat ini seks sudah secara
umum meluas di permukaan masyarakat. Ditambah dengan adanya budaya permisifitas seksual pada
generasi muda tergambar dari pelaku pacaran yang semakin membuka kesempatan untuk melakukan
tindakan-tindakan seksual juga adanya kebebasan seks yang sedang marak saat ini telah melanda
kehidupan masyarakat yang belum melakukan perkawinan. Bahkan aktivitas seks pranikah tersebut
banyak terjadi di kalangan remaja dan pelajar yang sedang mengalami proses pembudayaan dengan
menghayati nilai-nilai ilmiah (Salisa, 2010).
3.1 Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex) Ditinjau dari Hakikat Perkembangan
Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari
proses kematangan dan pengalaman (Hurlock, 1980). Van den Daele dalam Hurlock (1980) menyatakan
bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang
atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan
fungsi yang kompleks. Menurut Sunarto (2008), perkembangan diberi makna dan digunakan untuk
menyatakan terjadinya perubahan-perubahan aspek psikologis dan aspek sosial.
Yusuf dalam Syarif (2015) menyatakan bahwa perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan
yang progresif dan kontinu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati yang
berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik/jasmaniah
maupun psikis /rohaniah.
Baer dalam Sunarto (2008) mengemukakan perkembangan psikologis adalah perubahan
progesif yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan berinteraksi dengan lingkungan.
Interaksi yang dimaksud disini adalah apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak
tergantung dari perangsang-perangsang yang ada di lingkungannya. Istilah perkembangan lebih dapat
mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai gejala-gejala psikologis yang menampak.
Yang dimaksud dengan sistematis, progresif, dan berkesinambungan adalah sebagai berikut.
1. Sistematis, berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling
mempengaruhi antara bagian-bagian organisme (fisik dan psikis) dan merupakan satu kesatuan
yang harmonis, misalnya kemampuan berjalan anak seiring dengan matangnya otot-otot kaki dan
keinginan remaja untuk memperhatikan lawan jenis seiring dengan matangnya organ-organ
seksualnya.
2. Progresif, berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat, dan mendalam (meluas) baik
secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis). Contohnya seperti terjadinya perubahan
proporsi dan ukuran anak dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar; perubahan
pengetahuan dan kemampuan anak dari sederhana menjadi kompleks.
3. Berkesinambungan, berarti perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara
beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan atau loncat-loncat. Contohnya untuk dapat
berdiri seseorang harus dapat menguasai tahapan perkembangan sebelumnya yaitu kemampuan
duduk dan merangkak.
Ditinjau dari hakikat perkembangan diatas, kasus pergaulan bebas yang marak terjadi pada
remaja dipengaruhi oleh karena adanya perubahan progresif pada remaja. Perkembangan berlangsung
secara sistematis. Ketertarikan remaja pada lawan jenisnya disebabkan karena telah matangya organ-
organ seksualnya. Remaja semakin memiliki rasa ingin tahu yang mendalam untuk menjalin hubungan
dengan lawan jenis dan memutuskan untuk berpacaran atas dasar “suka sama suka”. Akhirnya timbullah
pemikiran yang lain.
Perkembangan berlangsung secara progresif, yang artinya bersifat maju, meningkat, dan
mendalam, dari pengetahuan dan pemikiran yang sederhana menjadi kompleks. Dalam kajian remaja
timbul pemikiran yang lebih kompleks, merangsang rasa ingin tahu remaja untuk mencoba berhubungan
lebih dengan lawan jenisnya. Dorongan seksual yang yang telah matang menjadi pemicu untuk
memikirkan bagaimana caranya memuaskan kebutuhan seksualnya. Hingga akhirnya terjerumus dalam
pergaulan bebas.
Perkembangan berlangsung dari konkret ke abstrak (Yelon dalam Syarif, 2015). Pernyataan
diatas yang merupakan hakikat perkembangan juga turut mendukung dimana remaja sudah mampu
berpikir secara abstrak (tidak tampak), sehingga banyak pemikiran negatif dan khayalan yang timbul
hingga memikirkan cara untuk mewujudkannya.
Selain itu, telah disinggung bahwa perkembangan dapat mencerminkan sifat-sifat yang khas
mengenai gejala-gejala psikologis yang menampak. Pada remaja sering terlihat sifat bosan dan ingin
selalu melakukan atau memperoleh yang baru, baik mengenai benda maupun kegiatan yang
berhubungan dengan kepuasan secara psikis. Mengikuti mode merupakan perwujudan keinginan
mengikuti dan memperoleh sesuatu yang dianggap baru (Sunarto, 2008). Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa selain karena dorongan seksual remaja yang berkembang, mengikuti tren juga salah
salah satu faktor yang dominan. Remaja masa kini banyak yang berasumsi bahwa tidak melakukan hal
yang “begituan” tidak gaul, ketinggalan zaman, kuno, dan lain sebagainya. Pengaruh teman-teman
sebaya yang tidak baik juga menjerumuskan remaja ke dalam pergaulan bebas. Berdalih ingin mencari
sesuatu yang baru yang merupakan salah satu perkembangan psikis yang umum terjadi pada remaja
menjadi bumerang jika tidak dikendalikan.
Fase-Fase perkembangan, Aristoteles menggambarkan perkembangan individu berdasarkan
analisis biologis, yakni keadaan atau proses pertumbuhan tertentu sebagai berikut.
Tahap 1 : dari 0,0 sampai 7,0 tahun (masa anak kecil atau masa bermain)
Tahap 2 : dari 7,0 sampai 14,0 tahun (masa anak, masa sekolah rendah)
Tahap 3 : dari 14,0 sampai 21,0 tahun (masa remaja, pubertas)
Antara tahap 1 dan 2 dibatasi oleh pergantian gigi; antara tahap 2 dan 3 ditandai dengan
berfungsinya organ-organ seksual. Jika dikaitkan dengan kasus pergaulan bebas, maka tahap 3 adalah
tahap yang mendominasi dan rentan dengan seks bebas. Betapa tidak, berdasarkan pemberitaan oleh
Tribunnews (14 Februari 2019), masalah seks pranikah sering kali terjadi pada usia remaja. Tak hanya
mereka yang duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), tetapi juga mulai terjadi pada anak-anak
sekolah menengah pertama (SMP). Sesuai dengan tahap 3 yang menggolongkan masa remaja dari umur
14 sampai 21 tahun, umur 14 tahun tersebut adalah usia dimana remaja memasuki masa SMP dan pada
masa tersebut remaja telah mengalami pubertas dan organ-organ seksual telah berfungsi. Hal inilah
mengapa seks pranikah juga mulai terjadi pada anak SMP seperti pada pemberitaan Tribunnews, karena
memang pada dasarnya usia mereka telah memasuki masa pubertas.
Menurut Hurlock (1980), ada 9 fakta-fakta yang penting tentang perkembangan, yaitu:
1. Dasar-dasar permulaan adalah sikap kritis
2. Kematangan dan belajar memainkan peranan penting dalam perkembangan
3. Perkembangan mengikuti pola tertentu yang dapat diramalkan
4. Semua individu berbeda
5. Setiap tahapan perkembangan mempunyai pola perilaku yang karakteristik
6. Setiap tahapan perkembangan mempunyai resiko
7. Perkembangan dibantu oleh adanya rangsangan
8. Perkembangan dipengaruhi perubahan budaya
9. Terdapat harapan sosial untuk setiap tahapan perkembangan
Berbicara tentang fakta keempat bahwa semua individu berbeda, Dobzhansky dalam Hurlock
(1980) mengatakan bahwa setiap orang secara biologis dan genetis benar-benar berbeda satu dari yang
lainnya, bahkan dalam kasus bayi kembar. Hurlock (1980) menyatakan bahwa karena semua individu
berbeda, tidak dapat diharapkan bahwa dua orang tertentu akan beraksi dengan cara yang sama terhadap
rangsangan yang sama pula. Dalam kasus pergaulan bebas ini, setiap remaja tidak mungkin akan
memberikan respon yang sama dengan permasalahan yang sama. Misalnya ada sebagian remaja yang
melampiaskan kekecewaan yang dialaminya terhadap orangtua yang broken home dengan cara mencari
kesenangan lain berupa bergaul dengan teman-teman sebaya yang tidak baik hingga berakhir dengan
seks bebas. Ada juga sebagian remaja yang tetap sabar dan menghadapinya dengan cara yang tenang.
Seperti hasil penelitian Soetjiningsih dalam Hajar (2015) dengan judul Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Para Remaja, hubungan orangtua-remaja ternyata
mempunyai pengaruh langsung dan tak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja. Hal ini
membuktikan bahwa reaksi remaja yang melatarbelakangi perkembangannya dalam menghadapi
permasalahan juga berpengaruh terhadap perilaku yang akan diambil oleh mereka.
3.2 Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex) dan Kaitannya dengan Teori Perkembangan
Teori-teori perkembangan terdiri dari 5, antara lain:
Teori-teori psikoanalisis, yang mencakup teori Freud dan teori Erickson
Teori-teori kognitif, yang mencakup teori perkembangan kognitif dari Piaget, teori kognitif sosio-
budaya dari Vygotsky, dan teori pemrosesan-informasi (information processing theory)
Teori-teori perilaku dan kognitif sosial, yang mencakup teori Behaviorisme Skinner dan teori
kognitif sosial
Teori kontekstual ekologis
Orientasi teoritis eklektik
Berbicara tentang teori-teori perkembangan dan kaitannya dengan kasus pergaulan bebas di
kalangan remaja, maka teori Freud sangat cocok dikaitkan. Dalam pandangan Freud terdapat struktur
kepribadian yang menyatakan bahwa kepribadian memiliki tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Id
dan ego tidak mempertimbangkan moralitas. Keduanya tidak mempertimbangkan apakah sesuatu itu
benar ataukah salah. Dalam kasus pergaulan bebas di kalangan remaja, remaja melakukan seks bebas
tanpa mempertimbangkan baik atau benar tindakan yang mereka lakukan. Freud juga berpendapat
bahwa kehidupan remaja dipenuhi dengan ketegangan dan konflik (Syarif, 2015). Menurut Freud,
remaja berusaha meredakan ketegangan yang dialami dengan cara memendam konflik tersebut kedalam
pikiran yang tidak sadar. Freud menyebutnya sebagai mekanisme pertahanan. Menurutnya, ego harus
menyelesaikan konfliknya antara tuntutan realitas, harapan id, dan pembatasan dan superego melalui
mekanisme pertahanan. Konsep mekanisme pertahanan ini merupakan metode yang tidak disadari untuk
mendistorsikan realitas, yang digunakan oleh ego untuk melindungi dirinya dari kecemasan yang
disebabkan oleh adanya konflik anatar ketiga struktur kepribadian. Dalam hal ini, remaja menyibukkan
diri dengan melakukan kesenangan lain, clubbing, dugem, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya.
Dengan kesenangan seperti itulah remaja berusaha meredakan ketegangan dan menyelesaikan konflik
atas masalah yang dialaminya, hingga akhirnya remaja terjerumus kedalam pergaulan bebas dan seks
bebas tak dapat terhindarkan.
Mekanisme pertahanan bersifat tak sadar. Remaja tak menyadari bahwa mereka
menggunakannya untuk melindungi ego dan untuk meredakan kecemasan. Anna Freud dalam Syarif
(2015) menyatakan bahwa mekanisme pertahanan tersebut merupakan kunci untuk memahami
penyesuaian diri remaja. Menurutnya, masalah-masalah remaja tidak bersumber pada id atau kekuatan-
kekuatan instingtual, namun pada love object atau objek cinta di masa lalu, misalnya orangtua yang
berlangsung dari masa bayi. Pada kasus pergaulan bebas remaja, salah satu faktor penyebab yang
mendasari tindakan remaja melakukan seks bebas adalah karena faktor orangtua. Orangtua yang kurang
perhatian menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Anna Freud. Pengabaian
orangtua terhadap anaknya memberikan andil yang besar dalam munculnya perilaku kenakalan remaja
misalnya pergaulan bebas.
Freud membagi tahap-tahap psikoseksual menjadi 5 tahap, antara lain:
Tahap oral (oral stage) yang berlangsung selama 18 bulan pertama dari kehidupannya
Tahap anal (anal stage) yang berlangsung dari 1,5 – 3 tahun
Tahap falik (phallic stage) yang berlangsung dari 3-6 tahun
Tahap laten (latency stage) yang berlangsung dari 6-masa pubertas
Tahap genital (genital stage) yang berlangsung dari masa pubertas dan seterusnya.
Ditinjau dari tahap-tahap diatas, maka remaja digolongkan pada tahap genital. Tahap ini
merupakan tahap kebangkitan seksual dan sumber seksual berasal dari luar keluarga. Hal inilah
mengapa pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja pada akhirnya lebih terjerumus pada seks
bebas, karena pada dasarnya pada saat-saat itulah remaja mulai menaruh minat dalam hal seksualitas.
Berbeda dengan teori Freud, kasus pergaulan bebas di kalangan remaja ini juga dapat dikaitkan
dengan teori Erikson (Erikson’s theory). Teori ini diungkapkan oleh Erik Erikson (1902-1994).
Menurutnya, motivasi utama manusia bersifat sosial dan mencerminkan hasrat untuk bergabung dengan
manusia lain (Syarif, 2015). Remaja dalam kasus ini cenderung ingin berteman, membentuk kelompok
dengan teman sebayanya, makanya ada yang dinamakan geng. Terkadang, pola pertemanan yang pada
dasarnya berlandaskan prinsip sosial berubah menjadi negatif akibat pergaulan yang tidak sehat. Remaja
tersebut ingin dapat diterima dalam kelompoknya, berusaha seiya sekata walau pada akhirnya
melanggar norma-norma yang ada.
Remaja adalah individu labil dengan emosi yang masih bergejolak, terutama pada masa remaja
awal.. Dalam konteks teori perkembangan Erikson, remaja memasuki fase kebingungan. Di masa ini,
individu dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapakah mereka itu, bagaimana mereka
nantinya, dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam hidupnya. Terkadang, pada fase
kebingungan ini remaja keliru dalam mengambil tindakan. Remaja mencari jati dirinya dengan mencari
hal-hal baru.
Menurut Kartono (1977), anak puber cenderung membentuk kelompok-kelompok anak muda
yang terdiri dari anak-anak pubertas yang kebingungan akibat terlalu banyak konflik-konflik batin yang
tak terpecahkan. Dengan mnggerombol ini mereka merasa senasib sepenanggungan, merasa lebih kuat
dan lebih aman, merasa mendapatkan perlindungan dan terjamin sekuritas. Setelah berkumpul menjadi
satu dan merupakan kelompok yang kompak, maka mereka mulai merancang bermacam-macam
kegiatan. Adakalanya kegiatan-kegiatan tersebut bersifat positif dan adakalanya bersifat negatif dan
merugikan masyarakat. Remaja puber yang cenderung labil tersebut ingin mencari sesuatu yang baru.
Kemungkinan saja remaja terjerumus dalam pergaulan bebas karena ingin mencari hal baru, tanpa
mempertimbangkan resiko yang akan didapatkannya.
Adapun teori yang dapat dikaitkan selanjutnya dengan kasus pergaulan bebas remaja adalah
teori perkembangan kognitif dari Piaget yang dikemukakan oleh Jean Piaget (Piaget’s theory) yang
menyatakan bahwa individu secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia dan melalui empat
tahap perkembangan kognitif. Empat tahap itu antara lain:
a. Orangtua
Orangtua memegang peranan penting dan bertanggungjawab terhadap perkembangan anak. Selain
pergaulan bebas disebabkan karena interaksi yang kurang antara si anak dan orangtua (kurang
mendapat perhatian, kasih sayang, dan penanaman moral serta agama), ternyata interaksi negatif
dari orangtua bahkan juga dapat menjerumuskan anaknya, misalnya orangtua yang mengikuti tren
yang malu melihat anak gadis tak “gaul” mengajarkan kepada anaknya untuk berpacaran agar
terkenal di kalangan teman-teman arisannya. Hal inilah yang menjadi pangkal pergaulan bebas pada
anaknya.
b. Teman sebaya
Informasi tentang seks (65%) mereka dapatkan melalui teman, Film Porno (35%), sekolah (19%),
dan orangtua (5%). Dari persentase ini dapat dilihat bahwa informasi dari teman lebih dominan
dibandingkan orangtua dan guru, padahal teman sendiri tidak begitu mengerti dengan permasalahan
seks ini, karena dia juga mentransformasi dari teman yang lainnya. Informasi inilah yang
mendorong rasa ingin tahu remaja puber labil untuk mencoba dan akhirnya tanpa disadari telah
jatuh dalam pergaulan bebas.
c. Media internet
Perkembangan kognitif remaja terhadap seks juga disebabkan karena informasi seks di media
internet. Dewasa ini, video-video porno oleh orang yang tidak bertanggung jawab telah berjamuran
di dunia maya dan dapat diakses dengan sekali klik. Kebebasan media dan pers yang menyertai era
globalisasi, diantaranya menyebabkan materi-materi seks kian mudah didapatkan dan beredar di
masyarakat. Media komunikasi internet yang bebas sensor menjadi lahan subur bagi perkembangan
materi-materi seks, terutama yang berbau porno.
Kemajuan teknologi informasi, dan kebebasan untuk mendapat informasi tidak dapat dibendung,
dan hal itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang positif bagi kemajuan kehidupan manusia,
seperti dapat mengakses berbagai ilmu pengetahuan secara luas. Namun juga ada dampak
negatifnya dari teknologi informasi jika disalahgunakan, seperti secara bebas siswa remaja
mengakses informasi; menonton atau membaca gambar atau tulisan porno. Gambar atau tulisan
yang mengandung ponografi, cenderung meningkatkan rangsangan seksual remaja dan
membuatnya tergoda untuk mencoba segala hal yang berkaitan dengan seks.
d. Media cetak dan televisi
Interaksi dengan objek seperti televisi dan media cetak ternyata ikut ambil andil sebagai salah satu
faktor penyebab terjerumusnya remaja dalam pergaulan bebas. Televisi yang mempertontonkan
berbagai aspek termasuk seks umumnya cukup mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan
perasaan remaja yang menontonnya. Tontonan yang tidak mendidik berkorelasi secara positif dan
signifikan dalam membentuk perilaku mereka, terutama tayangan film dan sinetron, baik film yang
ditonton di layar kaca maupun film yang ditonton di layar lebar. Acara televisi begitu berjibun
dengan tayangan yang bikin ‘gerah’, Video klip lagu dangdut saja, saat ini makin berani pamer
aurat dan adegan-adegan yang bisa meningkatkan gairah para lelaki. Belum lagi tayangan film
yang bikin otak remaja teracuni dengan pesan sesatnya.
Ditambah lagi maraknya kriminalitas seks yang terpampang di koran-koran dan foto-foto vulgar
artis yang secara terbuka terlihat jelas di majalah cukup mempengaruhi dan menambah rasa ingin
tahu remaja. Lewat televisi, mereka menerima apa yang ditayangkan sebagai norma sosial dan
mereka mengintegrasikannya dalam pola perilaku ketika berhubungan dengan orang lain. Hal inilah
mengapa banyak remaja yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas walaupun pada awalnya hanya
ingin mencoba dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Kasus pergaulan bebas yang terjadi pada remaja juga dapat disebabkan karena adanya proses
meniru tanpa sadar. Bandura dalam Syarif (2015) berpendapat bahwa pembelajaran observasi
(observational learning) merupakan aspek penting mengenai kegiatan belajar kita. Melalui belajar
observasional, kita membentuk gagasan-gagasan mengenai perilaku orang lain dan kemudian
mengadopsi perilaku ini kedalam diri kita.
Kartono (1977) menyatakan bahwa tingkah laku yang kriminil dari orangtua atau salah seorang
anggota keluarga itu memberikan impact (pengaruh) yang sangat menular dan infeksius kepada
lingkungannya. Anak seorang pencuri biasanya juga akan menjadi pencuri. Hal ini bukan karena sifat-
sifat mencuri itu diwariskan kepada anak-anaknya sebagai ciri-ciri karakteristik herediter, akan tetapi
karena pencurian itu merupakan satu usaha “home industry,” merupakan satu kegiatan industri rumah
tangga yang mengkondisionir pola-pola tingkah laku sikap anggota keluarga tersebut. Pola kriminil dari
ayah dan ibu, atau salah seorang anggota keluarga itu dapat secara langsung atau tidak langsung
mencetak pola kriminil pada anggota keluarga lainnya. Sehubungan dengan hal ini, tradisi dan pola-
pola hidup satu keluarga itu memegang peranan penting dalam memodifikasikan bentuk tingkah laku
para anggota keluarga tadi. Dengan demikian, tingkah laku kriminil dari orangtua itu sangat mudah
menular, dan sangat mudah ditransmisikan kepada anak-anak muda usia pubertas dan adolesens, yang
belum stabil jiwanya dan banyak mengalami konflik-konflik batin.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kasus pergaulan bebas yang terjerat pada remaja
tak hanya didasarkan pada rasa keingintahuan belaka, namun karena didorong ingin meniru tingkah
laku orangtua atau anggota keluarganya yang juga terjerumus dalam seks bebas. Secara tidak langsung,
orangtua atau anggota keluarganya telah mentransmisikan pola tingkah lakunya yang tidak baik pada
anak yang telah beranjak remaja di lingkungan keluaraganya.
3.3 Perkembangan Remaja dan Hubungannya dengan Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex)
Hurlock (1980) mendefinisikan istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin
adolescere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi
dewasa. Istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas,
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget dalam Hurlock (1980)
mengungkapkan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Menurut WHO (World Health Orgaization), remaja adalah suatu masa dimana:
1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya
sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya
2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi
dewasa
3) Terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif
lebih mandiri
Selanjutnya, WHO menyatakan walaupun definisi diatas terutama didasarkan pada usia
kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga untuk remaja pria dan WHO membagi kurun
usia tersebut dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Dalam pada
itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagi usia pemuda
(youth) (Muangman dalam Sarlito, 2001). Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB
tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun (Sarlito, 2001).
Sarlito (2001) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke
dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang
terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-
perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik itu.
Diantara perubahan-perubahan fisik itu yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa
remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi panjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat
reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual
sekunder yang tumbuh.
Secara singkat, Hurlock (1980) mengungkapkan ciri-ciri masa remaja adalah sebagai berikut.
Masa remaja sebagai sebagai periode yang penting
Masa remaja sebagai periode peralihan
Masa remaja sebagai periode perubahan
Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Beranjak dari definisi di atas, maka pantaslah kasus pergaulan bebas (free sex) lebih banyak
didominasi oleh kaum remaja. Remaja adalah transisi menuju dewasa. Organ-organ seksual pada remaja
mulai berfungsi dengan baik. Oleh karena itu remaja sudah mulai menyukai lawan jenis dan mengalami
perubahan psikologis. Masa remaja merupakan masa peralihan, dimana remaja dapat mencoba gaya
hidup yang berbeda dan menentukan perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya (Hurlock,
1980).
Pada kasus pergaulan bebas, remaja salah langkah dalam mengambil tindakan. Memang
keingintahuan remaja perihal seks adalah hal yang wajar dalam masa perkembangannya mencapai
pubertas. Namun, kurangnya pengendalian diri pada remaja membuatnya terjerumus dalam lubang
hitam yakni seks bebas. Remaja puber yang cenderung labil tak bisa membedakan mana yang baik mana
yang tidak baik. Remaja ingin mencari identitas diri, menjelaskan siapa dirinya pada teman
sekelompoknya. Sikap ini adalah wajar ditinjau dari bagaimana kondisi yang terjadi pada masa remaja
pada umumnya. Namun, seringkali cara yang dilakukan remaja keliru bertindak diluar aturan norma-
norma yang ada dan akhirnya terlibat dalam seks pranikah.
Remaja puber cenderung meniru orang dewasa dan bersikap seperti orang dewasa. Mereka
menganggap bahwa masa puber adalah masa dimana mereka dapat bertindak seperti orang dewasa
dalam hal melakukan hubungan seksual. Seks pranikah, remaja dewasa sebelum waktunya, seperti
kasus-kasus seks pranikah yang marak terjadi pada siswa-siswi SMP. Padahal, usia remaja SMP belum
diperbolehkan menikah menurut Undang-Undang di Indonesia. Sunarto (2008) mengemukakan bahwa
usia minimal untuk suatu perkawinan menurut Undang-Undang disebutkan adalah 16 tahun untuk
wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan).
Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Pada perkembangan remaja menuju masa
pubertas, remaja cenderung menciptakan ketegangan konflik dengan orangtua. Kurangnya perhatian
orangtua dan mendapat kasih sayang menjadi pemicu utama. Menurut Hurlock (1980), remaja
cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan
orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.
Semakin tidak realistik cita-citanya maka semakin ia menjadi marah. Hal ini juga menjadi penyebab
mengapa sering terjadinya konflik antara orangtua dan anak. Si anak yang mulai beranjak remaja
cenderung ingin dianggap dewasa dan tak mau mendengarkan orangtua, ingin mencari kesenangan lain,
hidup bebas dari kekangan orangtua, mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan
status dewasa, dan pada akhirnya bergaul dengan teman-teman yang tidak sebaya hingga tanpa disadari
terjerumus dalam seks bebas tanpa terkendali.
Menyangkut dengan perkembangan emosi, Crow dalam Sunarto (2008) mendefinisikan emosi
yaitu pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan
fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Chaplin dalam Syarif (2015) mendefinisikan emosi
sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari
yang mendalam sifatnya dari perubahan tingkah laku. Sarwono (2001) mendefinisikan emosi adalah
warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Menurutnya, masa remaja sebagai
masa yang penuh emosi.
Di satu pihak, emosi yang menggebu-gebu ini memang menyulitkan, terutama untuk orang lain
(termasuk orangtua dan guru) dalam mengerti jiwa di remaja. Tetapi di pihak lain, emosi yang
menggebu ini bermanfaat untuk remaja itu terus mencari identitas dirinya. Emosi yang tak terkendali
itu antara lain disebabkan juga oleh konflik peran yang sedang dialami remaja. Ia ingin bebas, tetapi ia
masih bergantung pada orangtua. Ia ingin dianggap dewasa,sementara ia masih diperlakukam seperti
anak kecil. Dengan adanya emosi-emosi remaja itu remaja secara bertahap mencari jalannya menuju
kedewasaan, karena reaksi orang-orang disekitarnya terhadap emosinya akan menyebabkan si remaja
belajar dari pengalaman untuk mengambil langkah-langkah yang terbaik.
Masalahnya adalah jika seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi-situasi kritis dalam
rangka konflik peran itu karena ia terlalu mengikuti gejolak emosinya. Maka besar kemungkinannya ia
akan terperangkap masuk ke jalan yang salah (Sarwono, 2001). Seperti label “ cinta,” remaja
menumpahkan rasa cintanya dengan melakukan seks pranikah dengan lawan jenisnya. Akhirnya remaja
terjerumus dalam kasus seks bebas.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke masa dewasa. bahwa pergaulan bebas itu
adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang. Seks bebas merupakan hubungan yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan. Remaja pubertas adalah individu labil yang
rentan emosi dan belum mampu mengendalikan diri dengan baik. Pendidikan seks di sekolah perlu
diberikan untuk menginformasikan remaja bagaimana dan apa akibat dari perilaku seksual yang
menyimpang terhadap diri remaja.
4.2 Saran
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu saya
mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif dan bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini di masa yang akan datang.
-dok.noer-
DAFTAR PUSTAKA
Kartono, Kartini., (1977), Psychologi Wanita: Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, Penerbit Alumni,
Bandung
Hurlock, Elizabeth B., (1980), Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (terjemahan), Erlangga, Jakarta
Sarwono, Sarlito W., (2001), Psikologi Remaja, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soejoeti, Sunanti Zalbawi., (2001), Perilaku Seks di Kalangan Remaja dan Permasalahannya, Media
Litbag Kesehatan 12(1): 30-35
Samino., (2012), Analisis Perilaku Seks Remaja SMAN 14 Bandar Lampung 2011, Jurnal Dunia Kesmas
Volume 1, Nomor 4:175-183
Anonim., (2015), Anak-anak SMP Terindikasi Seks Bebas, Ancaman Kesehatan Reproduksi dan
Masalah Sosial, Tribunnews.com, edisi 11 Februari 2015
Hajar, Rohdi Pangestu., (2015), Hubungan Antara Sikap Beragama dan Kecenderungan Perilaku
Seksual Pranikah Pada Mahasiswa, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
BKKBN, (2015), Pedoman Pengelolaan Bina Keluarga Remaja, Dit.HanRem BKKBN, Jakarta.
BKKBN, (2018 ), BUKU PANDUAN PELAKSANAAN SOSIALISASI PROGRAM PEMBANGUNAN
KELUARGA BERSAMA MITRA KERJA TAHUN 2019, DitHanRem BKKBN, Jakarta.