Anda di halaman 1dari 18

Perkembangan Remaja dan Hubungannya dengan Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex)

Oleh : Nurhadi Yuwono, SH.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke masa dewasa. Masa-masa remaja adalah
masa-masa yang paling indah. Pencarian jati diri bahkan terjadi pada masa remaja. Banyak orang yang
mengatakan bahwa remaja adalah generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat menggantikan
generasi-generasi terdahulu. Di tangan remajalah tergenggam arah masa depan negara. Namun, pada
kenyataannya situasi yang terjadi pada remaja saat ini cukup berbeda drastis dengan situasi yang
diharapkan. Mengapa demikian?
Dewasa ini, di era teknologi yang modern seperti ini sudah banyak dijumpai berbagai macam
informasi yang dapat dengan mudah diakses oleh siapapun dan dimanapun. Mulai dari dunia politik,
gaya hidup, budaya, bahkan permasalahan seksual sekalipun. Kasus-kasus penyimpangan seksual yang
terjadi malah selalu menjadi trending topic di berbagai pemberitaan, tak terkecuali dengan masalah
pergaulan bebas berupa perilaku seksual pranikah maupun prostitusi di kalangan para remaja. Ironisnya,
tak ada urat malu lagi yang bersembunyi disana. Harapan remaja sebagai penerus bangsa yang
diharapkan mampu meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa agar menjadi lebih baik sungguh
bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Moral remaja semakin merosot hanya karena untuk
memenuhi gairah seksualnya. Berbagai alasan muncul saat pertanyaan “mengapa” dilontarkan pada
mereka. Apa sebenarnya penyebab timbulnya pergaulan bebas dan prostitusi di kalangan remaja?
Apakah hal ini berhubungan dengan pola-pola perkembangan remaja, pola asuh orangtua, teknologi,
maupun lingkungan? Pertanyaan inilah yang mendorong penulis untuk mengkaji lebih lanjut mengenai
kasus-kasus pergaulan bebas (free sex) dan prostitusi yang terjadi pada remaja.

Hurlock (1980) mendefinisikan istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin adolescere (kata
bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah
adolescence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget dalam Hurlock (1980) mengungkapkan bahwa secara
psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia
dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Sedangkan Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia 10-19
tahun, menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah
penduduk dalam rentang usia 10-18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
(BKKBN) rentang usia remaja adalah 10-24 tahun dan belum menikah.

1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN


Adapun rumusan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah kasus pergaulan bebas (free sex) jika ditinjau dari hakikat perkembangan pada
dasarnya?
1.2.2 Bagaimanakah kasus pergaulan bebas (free sex) jika dikaitkan dengan teori perkembangan?
1.2.3 Bagaimanakah perkembangan remaja dan hubungannya dengan kasus pergaulan bebas (free
sex)?

1.3 TUJUAN PENULISAN


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Mengetahui dasar kasus pergaulan bebas (free sex) jika ditinjau dari hakikat perkembangan
1.3.2 Mengetahui kaitan kasus pergaulan bebas (free sex) dengan teori perkembangan
1.3.3 Menegtahui perkembangan remaja dan hubungannya dengan kasus pergaulan bebas (free sex)

1.4 MANFAAT PENULISAN


Adapun manfaat penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut.
1.4.1 Bagi remaja
Sebagai informasi agar menjadi remaja yang bertanggungjawab dalam tugasnya, waspada, dan
mawas diri terhadap segala kondisi yang sewaktu-waktu menjadi persoalan yang menimpa
dirinya
1.4.2 Bagi orangtua
Sebagai bahan pembelajaran untuk meningkatkan pengawasan dengan cara mengajarkan dan
membimbing anak-anak remajanya agar menjadi remaja yang terkontrol dalam segala tingkah
lakunya
1.4.3 Bagi pemerintah
Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk memasukkan program kesehatan reproduksi dalam
kurikulum pendidikan dasar.
2.1 Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex)
2.1.1 Pergaulan Bebas dan Remaja
Salah satu bentuk perkembangan yang menonjol pada masa remaja yaitu terjadi perubahan-
perubahan fisik yang mempengaruhi pula perkembangan kehidupan seksualnya. Ini ditandai masaknya
organ seksual, baik primer maupun sekunder. Perkembangan fisik berjalan sangat cepat, sehingga pada
masa remaja berakhir mereka sudah memiliki organ seksual primer maupun sekunder sebagaimana
halnya orang dewasa. Masalah remaja, hakikatnya bersumber pada perubahan organo-biologik akibat
pematangan organ-organ reproduksi yang seringkali tidak diketahui oleh remaja itu sendiri (Soejoeti,
2001).
Menurut Hall (2008), selama masa pubertas, keingintahuan remaja tentang seks adalah hal yang
lumrah dan sesuai dengan perkembangan mereka. Namun banyak orang dewasa melihat
berkembangnya seksualitas remaja sebagai ancaman, sebagai sikap yang harus selalu diawasi.
Kelompok agama teguh berpendapat bahwa seks sebelum menikah adalah perbuatan dosa. Para
pemimpin menegaskan bahwa kegiatan seksual remaja tidak baik secara moral. Sekolah dihadapkan
dengan dilema tentang bagaimana menempatkan seksualitas dalam kurikulum, dan pelayanan atau
dukungan apa yang harus diberikan untuk siswa. Mereka menentukan mana yang harus didengar, siswa,
orangtua, politisi, atau pimpinan agama.
Dalam era globalisasi sekarang ini, memungkinkan para remaja itu dengan mudah mendapatkan
sajian tontonan, bacaan dan lain sebagainya mengenai seks juga dari luar negeri. Informasi tentang seks
dikalangan remaja yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut ada yang tidak sesuai dengan budaya
atau norma yang berlaku di Indonesia, yang secara tidal langsung mempengaruhi perilaku seksual yang
menyimpang, yaitu karena pengaruh lingkungan yang sangat dominan dan film porno.
Berbicara tentang pergaulan bebas, kita tahu bahwa pergaulan bebas itu adalah salah satu bentuk
perilaku menyimpang. Seks bebas merupakan hubungan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
tanpa adanya ikatan perkawinan. “Bebas” yang dimaksud adalah melewati batas-batas norma ketimuran
yang ada. Masalah pergaulan bebas ini sering kita dengar baik di lingkungan maupun dari media massa.
Pergaulan bebas yang melewati batas seperti dugem, minum-minuman keras dan sebagainya akan
berujung pada seks bebas. Karena pergaulan bebas dapat menyebabkan seseorang lupa diri, merasa
tidak modern jika tidak mengikuti tren yang akan berujung pada seks bebas. Yang pada dasarnya
pemikiran seperti itu sangat salah.
Remaja adalah individu labil yang emosinya rentan dan tidak terkontrol oleh pengendalian diri
yang benar. Masalah keluarga, kekecewaan, pengetahuan yang minim, dan ajakan teman-teman yang
bergaul bebas membuat makin berkurangnya potensi generasi muda Indonesia dalam kemajuan bangsa.
Dampak-dampak dari pergaulan bebas identik sekali dengan yang namanya “dugem” (dunia gemerlap).
Yang sudah menjadi rahasia umum bahwa di dalamnya marak sekali pemakaian narkoba. Ini identik
sekali dengan adanya seks bebas. Yang akhirnya berujung kepada HIV/AIDS. Dan pastinya setelah
terkena virus ini kehidupan remaja akan menjadi sangat timpang dari segala segi.
Dewasa ini, kasus pergaulan bebas di kalangan remaja seolah menjadi harga kacang yang begitu
murah dan sah-sah saja dilakukan. Berbagai penyimpangan seksual terjadi, terutama perilaku seksual
pranikah. Menurut Soetjiningsih dalam Hajar (2015), perilaku seksual pranikah merupakan segala
tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenisnya, yang dilakukan oleh sepasang
kekasih dalam keadaan belum menikah.

Perubahan sosial mulai terlihat dalam persepsi masyarakat yang pada mulanya menyakini seks
sebagai sesuatu yang sakral menjadi sesuatu yang tidak sakral lagi, maka saat ini seks sudah secara
umum meluas di permukaan masyarakat. Ditambah dengan adanya budaya permisifitas seksual pada
generasi muda tergambar dari pelaku pacaran yang semakin membuka kesempatan untuk melakukan
tindakan-tindakan seksual juga adanya kebebasan seks yang sedang marak saat ini telah melanda
kehidupan masyarakat yang belum melakukan perkawinan. Bahkan aktivitas seks pranikah tersebut
banyak terjadi di kalangan remaja dan pelajar yang sedang mengalami proses pembudayaan dengan
menghayati nilai-nilai ilmiah (Salisa, 2010).

2.1.2 Penyebab Pergaulan Bebas (Free Sex)


Banyak diantara kasus-kasus permasalahan seksual yang terjadi disebabkan oleh rasa
keingintahuan yang besar tanpa dilandasi kontrol diri yang kuat. Mereka lebih memilih sumber-sumber
informasi seputar seksualitas yang dapat dengan mudah didapat dibanding dengan sumber-sumber lain
yang lebih tepat, misalnya guru, orangtua, dan petugas medis (Hajar, 2015).
Dalam kehidupannya, remaja tidak akan pernah lepas dari apa yang dinamakan “percintaan”.
Hampir seluruh remaja di dunia, termasuk Indonesia, mempunyai suatu budaya untuk mengekspresikan
percintaan tersebut, yakni dengan apa yang biasa disebut “pacaran”. Pacaran merupakan hal yang sudah
lazim di kalangan remaja saat ini. Cara mereka mengisi pacaran pun bermacam-macam, mulai dari yang
biasa sampai yang luar biasa yang tidak diterima karena telah melanggar ketentuan norma yang ada.
Salah satu cara yang paling tidak diterima di masyarakat adalah seks bebas (Karmila, 2011).
Pacaran adalah salah satu bentuk pergaulan yang ditawarkan dari budaya Barat. Bahkan di Barat
seseorang di usia remaja belum pernah melakukan hubungan seksual akan malu karena diejek teman-
temannya dan masih virgin (Firmiana dalam Hajar, 2015). Berbeda dengan gaya pacaran di Indonesia
khususnya yang hanya sebatas dating (berkencan), namun karena masuknya budaya Barat tersebut maka
gaya berpacaran telah mengalami penyimpangan. Gaya berpacaran di Indonesia yang mengalami
penyimpangan karena disertai dengan aktivitas seksual lainnya yang dapat menjurus pada hubungan
seks sebelum nikah (Nugrahawati dalam Hajar, 2015).
Taufik dalam Hajar (2015) menyatakan bahwa sebagian besar alasan laki-laki melakukan
hubungan seksual merupakan bukti rasa cinta selain juga karena adanya keinginan untuk mencoba.
Kemudian pada perempuan adalah karena terangsang oleh pasangannya dan juga ingin mencoba. Lalu
dengan adanya alasan-alasannya tersebut, mereka cenderung memilih tempat yang dianggap aman
untuk mereka berhubungan seksual tanpa diketahui oleh orang lain. Hubungan seksual sebagian besar
dilakukan pada saat berkencan. Pada umumnya subjek pernah melakukan hubungan seksual selama satu
kali, dan dilakukan subjek bersama pacarnya.

2.1.3 Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex) di Indonesia


Di Indonesia, pornografi telah menjadi hal yang sangat umum karena sangat mudah diakses oleh
setiap kalangan usia. Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia menyatakan bahwa Indonesia selain
menjadi negara tanpa aturan yang jelas tentang pornografi, juga mencatat rekor sebagai Negara kedua
setelah Rusia yang paling rentan pornografi terhadap anak-anak (BKKBN dalam Samino, 2012).
Menurut Anttoney General’s Final Report on Pornography, konsumen utama pornografi adalah remaja
laki-laki berusia 12 sampai 17 tahun. Dampaknya adalah makin aktifnya perilaku seksual pranikah yang
disertai ketidaktahuan yang pada gilirannya bisa membahayakan kesehatan reproduksi remaja
(Wirawan dalam Samino, 2012).
Berdasarkan beberapa data, di antaranya dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
menyatakan sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta,
Surabaya, dan Bandung) pernah berhubungan seks. Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat
remaja Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7 persen remaja
kehilangan perawan saat masih duduk di bangku SMP dan bahkan 21,2 persen di antaranya berbuat
ekstrim, yakni pernah melakukan aborsi. Aborsi dilakukan sebagai jalan keluar dari akibat dari perilaku
seks bebas.
2.1.4 Dampak Pergaulan Bebas (Free Sex)
Pergaulan bebas di Indonesia sudah menjamur. Padahal, begitu banyak dampak-dampak yang
ditimbulkan dari pergaulan bebas antara lain:
1. Pergaulan bebas dapat menyebabkan kehamilan yang tak diinginkan (KTD)
2. Dari KTD dapat menimbulkan aib di masyarakat sehinggga muncullah rasa malu yang dapat
memacu remaja melakukan aborsi
3. Remaja yang mengalami KTD terpaksa putus sekolah sehingga membuat masa depannya suram
4. Perilaku seks pranikah berpeluang terjangkit PMS (Penyakit Menular Seks) seperti HIV/AIDS
yang pada akhirnya menyebabkan kematian

2.1.5 Cara Penanggulangan Seks Bebas di Kalangan Remaja


Seperti yang telah kita bahas di atas bahwa sesungguhnya memang kurang kesadaran baik dari
remaja itu sendiri maupun orang tua. Hendaklah orang tua memperhatikan anak-anaknya tetapi orang
tua jangan terlalu mamanjakan anak mereka, karena bisa mengakibatkan dampak buruk baginya karena
dia sudah terbiasa dengan hal-hal yang enak-enak. Tetapi orang tua juga harus memperhatikan anak-
anaknya dengan mengarahkan ke hal-hal yang positif dengan cara mendukung bakat yang dimiliki oleh
anak tersebut, agar dapat berguna dan berkembang. Tetapi seorang anak juga jangan terlalu egois dalam
memaksakan kehendak. Berikut ini merupakan Pencegahan pencegahan atau Penanggulangan Seks
Bebas.
a. Pencegahan Menurut Agama
 Memisahkan tempat tidur anak
 Meminta izin ketika memasuki kamar tidur orang tua
 Mengajarkan adab memandang lawan jenis
 Larangan menyebarkan rahasia suami-istri

b. Pencegahan Seks Bebas dalam Keluarga


Faktor keluarga sangat menentukan dalam masalah pendidikan seks sehingga prilaku seks bebas
dapat dihindari. Waktu pemberian materi pendidikan seks dimulai pada saat anak sadar mulai seks.
Bahkan bila seorang bayi mulai dapat diberikan pendidikan seks, agar ia mulai dapat memberikan mana
cirri-laki-laki dan mana ciri perempuan. Bisa juga diberikan saat anak mulai bertanya-tanya pada orang
tuanya tentang bagaimana bayi lahir. Peran orang tua sangat penting untuk memberikan
pendidikan seks pada usia dini.
 Keluarga harus mengerti tentang permasalahan seks, sebelum menjelaskan kepada anak-anak
mereka
 Seorang ayah mengarahkan anak laki-laki, dan seorang ibu mengarahkan anak perempuan dalam
menjelaskan masalah seks
 Jangan menjelaskan masalah seks kepada anak laki-laki dan perempuan di ruang yang sama
 Hindari hal-hal yang berbau porno saat menjelaskan masalah seks, gunakan kata-kata yang sopan.
 Meyakinkan kepada anak-anak bahnwa teman-teman mereka adalah teman yang baik.
 Memberikan perhatian kemampuan anak di bidang olahraga dan menyibukkan mereka dengan
berbagai aktivitas
 Tanamkan etika memelihara diri dari perbuatan-perbuatan maksiat karena itu merupakan sesuatu
yang paling berharga
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex) Ditinjau dari Hakikat Perkembangan
Istilah perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari
proses kematangan dan pengalaman (Hurlock, 1980). Van den Daele dalam Hurlock (1980) menyatakan
bahwa perkembangan bukan sekedar penambahan beberapa sentimeter pada tinggi badan seseorang
atau peningkatan kemampuan seseorang, melainkan suatu proses integrasi dari banyak struktur dan
fungsi yang kompleks. Menurut Sunarto (2008), perkembangan diberi makna dan digunakan untuk
menyatakan terjadinya perubahan-perubahan aspek psikologis dan aspek sosial.
Yusuf dalam Syarif (2015) menyatakan bahwa perkembangan dapat diartikan sebagai perubahan
yang progresif dan kontinu (berkesinambungan) dalam diri individu dari mulai lahir sampai mati yang
berlangsung secara sistematis, progresif, dan berkesinambungan, baik menyangkut fisik/jasmaniah
maupun psikis /rohaniah.
Baer dalam Sunarto (2008) mengemukakan perkembangan psikologis adalah perubahan
progesif yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan berinteraksi dengan lingkungan.
Interaksi yang dimaksud disini adalah apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak
tergantung dari perangsang-perangsang yang ada di lingkungannya. Istilah perkembangan lebih dapat
mencerminkan sifat-sifat yang khas mengenai gejala-gejala psikologis yang menampak.
Yang dimaksud dengan sistematis, progresif, dan berkesinambungan adalah sebagai berikut.
1. Sistematis, berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling
mempengaruhi antara bagian-bagian organisme (fisik dan psikis) dan merupakan satu kesatuan
yang harmonis, misalnya kemampuan berjalan anak seiring dengan matangnya otot-otot kaki dan
keinginan remaja untuk memperhatikan lawan jenis seiring dengan matangnya organ-organ
seksualnya.
2. Progresif, berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat, dan mendalam (meluas) baik
secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis). Contohnya seperti terjadinya perubahan
proporsi dan ukuran anak dari pendek menjadi tinggi dan dari kecil menjadi besar; perubahan
pengetahuan dan kemampuan anak dari sederhana menjadi kompleks.
3. Berkesinambungan, berarti perubahan pada bagian atau fungsi organisme itu berlangsung secara
beraturan atau berurutan, tidak terjadi secara kebetulan atau loncat-loncat. Contohnya untuk dapat
berdiri seseorang harus dapat menguasai tahapan perkembangan sebelumnya yaitu kemampuan
duduk dan merangkak.
Ditinjau dari hakikat perkembangan diatas, kasus pergaulan bebas yang marak terjadi pada
remaja dipengaruhi oleh karena adanya perubahan progresif pada remaja. Perkembangan berlangsung
secara sistematis. Ketertarikan remaja pada lawan jenisnya disebabkan karena telah matangya organ-
organ seksualnya. Remaja semakin memiliki rasa ingin tahu yang mendalam untuk menjalin hubungan
dengan lawan jenis dan memutuskan untuk berpacaran atas dasar “suka sama suka”. Akhirnya timbullah
pemikiran yang lain.
Perkembangan berlangsung secara progresif, yang artinya bersifat maju, meningkat, dan
mendalam, dari pengetahuan dan pemikiran yang sederhana menjadi kompleks. Dalam kajian remaja
timbul pemikiran yang lebih kompleks, merangsang rasa ingin tahu remaja untuk mencoba berhubungan
lebih dengan lawan jenisnya. Dorongan seksual yang yang telah matang menjadi pemicu untuk
memikirkan bagaimana caranya memuaskan kebutuhan seksualnya. Hingga akhirnya terjerumus dalam
pergaulan bebas.
Perkembangan berlangsung dari konkret ke abstrak (Yelon dalam Syarif, 2015). Pernyataan
diatas yang merupakan hakikat perkembangan juga turut mendukung dimana remaja sudah mampu
berpikir secara abstrak (tidak tampak), sehingga banyak pemikiran negatif dan khayalan yang timbul
hingga memikirkan cara untuk mewujudkannya.
Selain itu, telah disinggung bahwa perkembangan dapat mencerminkan sifat-sifat yang khas
mengenai gejala-gejala psikologis yang menampak. Pada remaja sering terlihat sifat bosan dan ingin
selalu melakukan atau memperoleh yang baru, baik mengenai benda maupun kegiatan yang
berhubungan dengan kepuasan secara psikis. Mengikuti mode merupakan perwujudan keinginan
mengikuti dan memperoleh sesuatu yang dianggap baru (Sunarto, 2008). Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa selain karena dorongan seksual remaja yang berkembang, mengikuti tren juga salah
salah satu faktor yang dominan. Remaja masa kini banyak yang berasumsi bahwa tidak melakukan hal
yang “begituan” tidak gaul, ketinggalan zaman, kuno, dan lain sebagainya. Pengaruh teman-teman
sebaya yang tidak baik juga menjerumuskan remaja ke dalam pergaulan bebas. Berdalih ingin mencari
sesuatu yang baru yang merupakan salah satu perkembangan psikis yang umum terjadi pada remaja
menjadi bumerang jika tidak dikendalikan.
Fase-Fase perkembangan, Aristoteles menggambarkan perkembangan individu berdasarkan
analisis biologis, yakni keadaan atau proses pertumbuhan tertentu sebagai berikut.
 Tahap 1 : dari 0,0 sampai 7,0 tahun (masa anak kecil atau masa bermain)
 Tahap 2 : dari 7,0 sampai 14,0 tahun (masa anak, masa sekolah rendah)
 Tahap 3 : dari 14,0 sampai 21,0 tahun (masa remaja, pubertas)
Antara tahap 1 dan 2 dibatasi oleh pergantian gigi; antara tahap 2 dan 3 ditandai dengan
berfungsinya organ-organ seksual. Jika dikaitkan dengan kasus pergaulan bebas, maka tahap 3 adalah
tahap yang mendominasi dan rentan dengan seks bebas. Betapa tidak, berdasarkan pemberitaan oleh
Tribunnews (14 Februari 2019), masalah seks pranikah sering kali terjadi pada usia remaja. Tak hanya
mereka yang duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA), tetapi juga mulai terjadi pada anak-anak
sekolah menengah pertama (SMP). Sesuai dengan tahap 3 yang menggolongkan masa remaja dari umur
14 sampai 21 tahun, umur 14 tahun tersebut adalah usia dimana remaja memasuki masa SMP dan pada
masa tersebut remaja telah mengalami pubertas dan organ-organ seksual telah berfungsi. Hal inilah
mengapa seks pranikah juga mulai terjadi pada anak SMP seperti pada pemberitaan Tribunnews, karena
memang pada dasarnya usia mereka telah memasuki masa pubertas.
Menurut Hurlock (1980), ada 9 fakta-fakta yang penting tentang perkembangan, yaitu:
1. Dasar-dasar permulaan adalah sikap kritis
2. Kematangan dan belajar memainkan peranan penting dalam perkembangan
3. Perkembangan mengikuti pola tertentu yang dapat diramalkan
4. Semua individu berbeda
5. Setiap tahapan perkembangan mempunyai pola perilaku yang karakteristik
6. Setiap tahapan perkembangan mempunyai resiko
7. Perkembangan dibantu oleh adanya rangsangan
8. Perkembangan dipengaruhi perubahan budaya
9. Terdapat harapan sosial untuk setiap tahapan perkembangan
Berbicara tentang fakta keempat bahwa semua individu berbeda, Dobzhansky dalam Hurlock
(1980) mengatakan bahwa setiap orang secara biologis dan genetis benar-benar berbeda satu dari yang
lainnya, bahkan dalam kasus bayi kembar. Hurlock (1980) menyatakan bahwa karena semua individu
berbeda, tidak dapat diharapkan bahwa dua orang tertentu akan beraksi dengan cara yang sama terhadap
rangsangan yang sama pula. Dalam kasus pergaulan bebas ini, setiap remaja tidak mungkin akan
memberikan respon yang sama dengan permasalahan yang sama. Misalnya ada sebagian remaja yang
melampiaskan kekecewaan yang dialaminya terhadap orangtua yang broken home dengan cara mencari
kesenangan lain berupa bergaul dengan teman-teman sebaya yang tidak baik hingga berakhir dengan
seks bebas. Ada juga sebagian remaja yang tetap sabar dan menghadapinya dengan cara yang tenang.
Seperti hasil penelitian Soetjiningsih dalam Hajar (2015) dengan judul Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Para Remaja, hubungan orangtua-remaja ternyata
mempunyai pengaruh langsung dan tak langsung terhadap perilaku seksual pranikah remaja. Hal ini
membuktikan bahwa reaksi remaja yang melatarbelakangi perkembangannya dalam menghadapi
permasalahan juga berpengaruh terhadap perilaku yang akan diambil oleh mereka.

3.2 Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex) dan Kaitannya dengan Teori Perkembangan
Teori-teori perkembangan terdiri dari 5, antara lain:
 Teori-teori psikoanalisis, yang mencakup teori Freud dan teori Erickson
 Teori-teori kognitif, yang mencakup teori perkembangan kognitif dari Piaget, teori kognitif sosio-
budaya dari Vygotsky, dan teori pemrosesan-informasi (information processing theory)
 Teori-teori perilaku dan kognitif sosial, yang mencakup teori Behaviorisme Skinner dan teori
kognitif sosial
 Teori kontekstual ekologis
 Orientasi teoritis eklektik
Berbicara tentang teori-teori perkembangan dan kaitannya dengan kasus pergaulan bebas di
kalangan remaja, maka teori Freud sangat cocok dikaitkan. Dalam pandangan Freud terdapat struktur
kepribadian yang menyatakan bahwa kepribadian memiliki tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Id
dan ego tidak mempertimbangkan moralitas. Keduanya tidak mempertimbangkan apakah sesuatu itu
benar ataukah salah. Dalam kasus pergaulan bebas di kalangan remaja, remaja melakukan seks bebas
tanpa mempertimbangkan baik atau benar tindakan yang mereka lakukan. Freud juga berpendapat
bahwa kehidupan remaja dipenuhi dengan ketegangan dan konflik (Syarif, 2015). Menurut Freud,
remaja berusaha meredakan ketegangan yang dialami dengan cara memendam konflik tersebut kedalam
pikiran yang tidak sadar. Freud menyebutnya sebagai mekanisme pertahanan. Menurutnya, ego harus
menyelesaikan konfliknya antara tuntutan realitas, harapan id, dan pembatasan dan superego melalui
mekanisme pertahanan. Konsep mekanisme pertahanan ini merupakan metode yang tidak disadari untuk
mendistorsikan realitas, yang digunakan oleh ego untuk melindungi dirinya dari kecemasan yang
disebabkan oleh adanya konflik anatar ketiga struktur kepribadian. Dalam hal ini, remaja menyibukkan
diri dengan melakukan kesenangan lain, clubbing, dugem, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya.
Dengan kesenangan seperti itulah remaja berusaha meredakan ketegangan dan menyelesaikan konflik
atas masalah yang dialaminya, hingga akhirnya remaja terjerumus kedalam pergaulan bebas dan seks
bebas tak dapat terhindarkan.
Mekanisme pertahanan bersifat tak sadar. Remaja tak menyadari bahwa mereka
menggunakannya untuk melindungi ego dan untuk meredakan kecemasan. Anna Freud dalam Syarif
(2015) menyatakan bahwa mekanisme pertahanan tersebut merupakan kunci untuk memahami
penyesuaian diri remaja. Menurutnya, masalah-masalah remaja tidak bersumber pada id atau kekuatan-
kekuatan instingtual, namun pada love object atau objek cinta di masa lalu, misalnya orangtua yang
berlangsung dari masa bayi. Pada kasus pergaulan bebas remaja, salah satu faktor penyebab yang
mendasari tindakan remaja melakukan seks bebas adalah karena faktor orangtua. Orangtua yang kurang
perhatian menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Anna Freud. Pengabaian
orangtua terhadap anaknya memberikan andil yang besar dalam munculnya perilaku kenakalan remaja
misalnya pergaulan bebas.
Freud membagi tahap-tahap psikoseksual menjadi 5 tahap, antara lain:
 Tahap oral (oral stage) yang berlangsung selama 18 bulan pertama dari kehidupannya
 Tahap anal (anal stage) yang berlangsung dari 1,5 – 3 tahun
 Tahap falik (phallic stage) yang berlangsung dari 3-6 tahun
 Tahap laten (latency stage) yang berlangsung dari 6-masa pubertas
 Tahap genital (genital stage) yang berlangsung dari masa pubertas dan seterusnya.
Ditinjau dari tahap-tahap diatas, maka remaja digolongkan pada tahap genital. Tahap ini
merupakan tahap kebangkitan seksual dan sumber seksual berasal dari luar keluarga. Hal inilah
mengapa pergaulan bebas yang terjadi di kalangan remaja pada akhirnya lebih terjerumus pada seks
bebas, karena pada dasarnya pada saat-saat itulah remaja mulai menaruh minat dalam hal seksualitas.
Berbeda dengan teori Freud, kasus pergaulan bebas di kalangan remaja ini juga dapat dikaitkan
dengan teori Erikson (Erikson’s theory). Teori ini diungkapkan oleh Erik Erikson (1902-1994).
Menurutnya, motivasi utama manusia bersifat sosial dan mencerminkan hasrat untuk bergabung dengan
manusia lain (Syarif, 2015). Remaja dalam kasus ini cenderung ingin berteman, membentuk kelompok
dengan teman sebayanya, makanya ada yang dinamakan geng. Terkadang, pola pertemanan yang pada
dasarnya berlandaskan prinsip sosial berubah menjadi negatif akibat pergaulan yang tidak sehat. Remaja
tersebut ingin dapat diterima dalam kelompoknya, berusaha seiya sekata walau pada akhirnya
melanggar norma-norma yang ada.
Remaja adalah individu labil dengan emosi yang masih bergejolak, terutama pada masa remaja
awal.. Dalam konteks teori perkembangan Erikson, remaja memasuki fase kebingungan. Di masa ini,
individu dihadapkan pada tantangan untuk menemukan siapakah mereka itu, bagaimana mereka
nantinya, dan arah mana yang hendak mereka tempuh dalam hidupnya. Terkadang, pada fase
kebingungan ini remaja keliru dalam mengambil tindakan. Remaja mencari jati dirinya dengan mencari
hal-hal baru.
Menurut Kartono (1977), anak puber cenderung membentuk kelompok-kelompok anak muda
yang terdiri dari anak-anak pubertas yang kebingungan akibat terlalu banyak konflik-konflik batin yang
tak terpecahkan. Dengan mnggerombol ini mereka merasa senasib sepenanggungan, merasa lebih kuat
dan lebih aman, merasa mendapatkan perlindungan dan terjamin sekuritas. Setelah berkumpul menjadi
satu dan merupakan kelompok yang kompak, maka mereka mulai merancang bermacam-macam
kegiatan. Adakalanya kegiatan-kegiatan tersebut bersifat positif dan adakalanya bersifat negatif dan
merugikan masyarakat. Remaja puber yang cenderung labil tersebut ingin mencari sesuatu yang baru.
Kemungkinan saja remaja terjerumus dalam pergaulan bebas karena ingin mencari hal baru, tanpa
mempertimbangkan resiko yang akan didapatkannya.
Adapun teori yang dapat dikaitkan selanjutnya dengan kasus pergaulan bebas remaja adalah
teori perkembangan kognitif dari Piaget yang dikemukakan oleh Jean Piaget (Piaget’s theory) yang
menyatakan bahwa individu secara aktif membangun pemahaman mengenai dunia dan melalui empat
tahap perkembangan kognitif. Empat tahap itu antara lain:

1. Tahap Sensorimotor (dari lahir-2 tahun)


Bayi membangun pemahaman mengenai dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman sensoris
dengan tindakan fisik. Bayi mengalami kemajuan dari tindakan refleks sampai mulai menggunakan
pikiran simbolis hingga akhir tahap.
2. Tahap Praoperasional (dari 2-7 tahun)
Anak mulai menjelaskan dunia dengan kata-kata dan gambar. Kata-kata dan gambar ini
mencerminkan meningkatnya pemikiran simbolis dan melampaui hubungan informasi sensoris dan
tindakan fisik.
3. Tahap Operasional Konkret (dari 7-11 tahun)
Anak saat ini dapat bernalar secara logis mengenai peristiwa-peristiwa konkret dan
mengklasifikasikan objek-objek ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
4. Tahap Operasional Formal (dari 11-dewasa)
Remaja bernalar secara logis, abstrak, dan idealis.
Piaget mengemukakan bahwa setiap tahap yang terkait dengan usia ini mengandung cara
berpikir yang berbeda. Jika dikaitkan dengan teori perkembangan Piaget, maka kasus pergaulan bebas
yang terjadi di kalangan remaja jika dikaji berada pada tahap operasional formal. Dalam tahap ini
individu melampaui pengalaman-pengalaman konkret dan berpikir secara abstrak dan lebih logis.
Santrock (2002) mengemukakan bahwa pada tahap ini remaja telah mampu berpikir secara idealistis.
Remaja semakin mampu menggunakan pemikiran deduktif hipotesis. Remaja dapat membangkitkan
situasi-situasi khayalan.
Telah disinggung bahwa kasus pergaulan bebas yang kerap terjadi pada remaja tak dapat
dipisahkan oleh masa pubertas yang dialaminya sebagai remaja. Kembali pada kasus seks bebas yang
juga mulai merambah pada anak SMP. Kita tahu bahwa masa SMP adalah masa pubertas awal yakni
sekitar usia 14 tahun. Pada masa itu, menurut Kartono (1977) terjadi ketidak mantapan dan kepercayaan
diri pada diri remaja. Akhirnya muncullah banyak kegelisahan, kebimbangan, kecemasan, kebingungan,
kekecewaan, dan lain-lain. Remaja yang labil dan memiliki banyak fantasi abstrak dalam pikirannya
mau tak mau berusaha memecahkan masalahnya. Bentuk pemecahan masalah dilakukuan dengan
bermacam-macam. Misalkan seorang remaja puber yang merasa kurang mendapat perhatian dan kasih
sayang dari orangtuanya karena berbagai macam prasangka negatif yang timbul dari hasil pemikiran
fantasi abstraknya berusaha memecahkan masalahnya dengan mencari kesenangan lain di luar
keluarganya. Bergaul dengan teman-teman yang dianggap senasib hingga terjerumus dalam pergaulan
bebas akibat pertemanan yang tidak sehat.
Adapun selanjutnya adalah kaitan teori kognitif sosio budaya dari Vygotsky terhadap kasus
pergaulan bebas. Syarif (2015) dalam bukunya Perkembangan Peserta Didik menerangkan bahwa Teori
Vygotsky (Vygotsky theory) adalah kognisi sosio-budaya yang menekankan bagaimana budaya dan
interaksi sosial mengarahkan perkembangan kognitif. Dalam pandangan ini, pengetahuan tidak
disimpulkan dari dalam individu namun dibangun melalui interaksi dengan orang lain dan berbagai
objek di dalam budaya tersebut, seperti buku-buku.
Sejalan dengan teori Vygotsky, salah satu faktor maraknya kasus pergaulan bebas di kalangan
remaja juga tak terlepas dari interaksi dengan orang lain dan objek lain. Dalam hal ini yaitu orangtua,
teman sebaya, dan media lain seperti internet, majalah, televisi, dan buku-buku. Perkembangan kognitif
remaja terlebih remaja yang memasuki masa puber terhadap segala hal yang berbau seksualitas
meningkat karena adanya interaksi dengan orang lain dan objek lain.

a. Orangtua
Orangtua memegang peranan penting dan bertanggungjawab terhadap perkembangan anak. Selain
pergaulan bebas disebabkan karena interaksi yang kurang antara si anak dan orangtua (kurang
mendapat perhatian, kasih sayang, dan penanaman moral serta agama), ternyata interaksi negatif
dari orangtua bahkan juga dapat menjerumuskan anaknya, misalnya orangtua yang mengikuti tren
yang malu melihat anak gadis tak “gaul” mengajarkan kepada anaknya untuk berpacaran agar
terkenal di kalangan teman-teman arisannya. Hal inilah yang menjadi pangkal pergaulan bebas pada
anaknya.
b. Teman sebaya
Informasi tentang seks (65%) mereka dapatkan melalui teman, Film Porno (35%), sekolah (19%),
dan orangtua (5%). Dari persentase ini dapat dilihat bahwa informasi dari teman lebih dominan
dibandingkan orangtua dan guru, padahal teman sendiri tidak begitu mengerti dengan permasalahan
seks ini, karena dia juga mentransformasi dari teman yang lainnya. Informasi inilah yang
mendorong rasa ingin tahu remaja puber labil untuk mencoba dan akhirnya tanpa disadari telah
jatuh dalam pergaulan bebas.
c. Media internet
Perkembangan kognitif remaja terhadap seks juga disebabkan karena informasi seks di media
internet. Dewasa ini, video-video porno oleh orang yang tidak bertanggung jawab telah berjamuran
di dunia maya dan dapat diakses dengan sekali klik. Kebebasan media dan pers yang menyertai era
globalisasi, diantaranya menyebabkan materi-materi seks kian mudah didapatkan dan beredar di
masyarakat. Media komunikasi internet yang bebas sensor menjadi lahan subur bagi perkembangan
materi-materi seks, terutama yang berbau porno.
Kemajuan teknologi informasi, dan kebebasan untuk mendapat informasi tidak dapat dibendung,
dan hal itu sesungguhnya merupakan sesuatu yang positif bagi kemajuan kehidupan manusia,
seperti dapat mengakses berbagai ilmu pengetahuan secara luas. Namun juga ada dampak
negatifnya dari teknologi informasi jika disalahgunakan, seperti secara bebas siswa remaja
mengakses informasi; menonton atau membaca gambar atau tulisan porno. Gambar atau tulisan
yang mengandung ponografi, cenderung meningkatkan rangsangan seksual remaja dan
membuatnya tergoda untuk mencoba segala hal yang berkaitan dengan seks.
d. Media cetak dan televisi
Interaksi dengan objek seperti televisi dan media cetak ternyata ikut ambil andil sebagai salah satu
faktor penyebab terjerumusnya remaja dalam pergaulan bebas. Televisi yang mempertontonkan
berbagai aspek termasuk seks umumnya cukup mempengaruhi sikap, pandangan, persepsi, dan
perasaan remaja yang menontonnya. Tontonan yang tidak mendidik berkorelasi secara positif dan
signifikan dalam membentuk perilaku mereka, terutama tayangan film dan sinetron, baik film yang
ditonton di layar kaca maupun film yang ditonton di layar lebar. Acara televisi begitu berjibun
dengan tayangan yang bikin ‘gerah’, Video klip lagu dangdut saja, saat ini makin berani pamer
aurat dan adegan-adegan yang bisa meningkatkan gairah para lelaki. Belum lagi tayangan film
yang bikin otak remaja teracuni dengan pesan sesatnya.
Ditambah lagi maraknya kriminalitas seks yang terpampang di koran-koran dan foto-foto vulgar
artis yang secara terbuka terlihat jelas di majalah cukup mempengaruhi dan menambah rasa ingin
tahu remaja. Lewat televisi, mereka menerima apa yang ditayangkan sebagai norma sosial dan
mereka mengintegrasikannya dalam pola perilaku ketika berhubungan dengan orang lain. Hal inilah
mengapa banyak remaja yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas walaupun pada awalnya hanya
ingin mencoba dan rasa ingin tahu yang tinggi.
Kasus pergaulan bebas yang terjadi pada remaja juga dapat disebabkan karena adanya proses
meniru tanpa sadar. Bandura dalam Syarif (2015) berpendapat bahwa pembelajaran observasi
(observational learning) merupakan aspek penting mengenai kegiatan belajar kita. Melalui belajar
observasional, kita membentuk gagasan-gagasan mengenai perilaku orang lain dan kemudian
mengadopsi perilaku ini kedalam diri kita.
Kartono (1977) menyatakan bahwa tingkah laku yang kriminil dari orangtua atau salah seorang
anggota keluarga itu memberikan impact (pengaruh) yang sangat menular dan infeksius kepada
lingkungannya. Anak seorang pencuri biasanya juga akan menjadi pencuri. Hal ini bukan karena sifat-
sifat mencuri itu diwariskan kepada anak-anaknya sebagai ciri-ciri karakteristik herediter, akan tetapi
karena pencurian itu merupakan satu usaha “home industry,” merupakan satu kegiatan industri rumah
tangga yang mengkondisionir pola-pola tingkah laku sikap anggota keluarga tersebut. Pola kriminil dari
ayah dan ibu, atau salah seorang anggota keluarga itu dapat secara langsung atau tidak langsung
mencetak pola kriminil pada anggota keluarga lainnya. Sehubungan dengan hal ini, tradisi dan pola-
pola hidup satu keluarga itu memegang peranan penting dalam memodifikasikan bentuk tingkah laku
para anggota keluarga tadi. Dengan demikian, tingkah laku kriminil dari orangtua itu sangat mudah
menular, dan sangat mudah ditransmisikan kepada anak-anak muda usia pubertas dan adolesens, yang
belum stabil jiwanya dan banyak mengalami konflik-konflik batin.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kasus pergaulan bebas yang terjerat pada remaja
tak hanya didasarkan pada rasa keingintahuan belaka, namun karena didorong ingin meniru tingkah
laku orangtua atau anggota keluarganya yang juga terjerumus dalam seks bebas. Secara tidak langsung,
orangtua atau anggota keluarganya telah mentransmisikan pola tingkah lakunya yang tidak baik pada
anak yang telah beranjak remaja di lingkungan keluaraganya.

3.3 Perkembangan Remaja dan Hubungannya dengan Kasus Pergaulan Bebas (Free Sex)
Hurlock (1980) mendefinisikan istilah adolescence atau remaja berasal dari kata Latin
adolescere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi
dewasa. Istilah adolescence seperti yang dipergunakan saat ini mempunyai arti yang lebih luas,
mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Piaget dalam Hurlock (1980)
mengungkapkan bahwa secara psikologis, masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan
masyarakat dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua
melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
Menurut WHO (World Health Orgaization), remaja adalah suatu masa dimana:
1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya
sampai saat ia mencapai kematangan seksualnya
2) Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi
dewasa
3) Terjadi peralihan dari ketergantungan social-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif
lebih mandiri
Selanjutnya, WHO menyatakan walaupun definisi diatas terutama didasarkan pada usia
kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga untuk remaja pria dan WHO membagi kurun
usia tersebut dalam 2 bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Dalam pada
itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagi usia pemuda
(youth) (Muangman dalam Sarlito, 2001). Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB
tentang pemuda adalah kurun usia 14-24 tahun (Sarlito, 2001).
Sarlito (2001) mengungkapkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke
dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang
terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan perubahan-
perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari perubahan-perubahan fisik itu.
Diantara perubahan-perubahan fisik itu yang terbesar pengaruhnya pada perkembangan jiwa
remaja adalah pertumbuhan tubuh (badan menjadi panjang dan tinggi), mulai berfungsinya alat-alat
reproduksi (ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki) dan tanda-tanda seksual
sekunder yang tumbuh.
Secara singkat, Hurlock (1980) mengungkapkan ciri-ciri masa remaja adalah sebagai berikut.
 Masa remaja sebagai sebagai periode yang penting
 Masa remaja sebagai periode peralihan
 Masa remaja sebagai periode perubahan
 Masa remaja sebagai usia bermasalah
 Masa remaja sebagai masa mencari identitas
 Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
 Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
 Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Beranjak dari definisi di atas, maka pantaslah kasus pergaulan bebas (free sex) lebih banyak
didominasi oleh kaum remaja. Remaja adalah transisi menuju dewasa. Organ-organ seksual pada remaja
mulai berfungsi dengan baik. Oleh karena itu remaja sudah mulai menyukai lawan jenis dan mengalami
perubahan psikologis. Masa remaja merupakan masa peralihan, dimana remaja dapat mencoba gaya
hidup yang berbeda dan menentukan perilaku, nilai, dan sifat yang paling sesuai bagi dirinya (Hurlock,
1980).
Pada kasus pergaulan bebas, remaja salah langkah dalam mengambil tindakan. Memang
keingintahuan remaja perihal seks adalah hal yang wajar dalam masa perkembangannya mencapai
pubertas. Namun, kurangnya pengendalian diri pada remaja membuatnya terjerumus dalam lubang
hitam yakni seks bebas. Remaja puber yang cenderung labil tak bisa membedakan mana yang baik mana
yang tidak baik. Remaja ingin mencari identitas diri, menjelaskan siapa dirinya pada teman
sekelompoknya. Sikap ini adalah wajar ditinjau dari bagaimana kondisi yang terjadi pada masa remaja
pada umumnya. Namun, seringkali cara yang dilakukan remaja keliru bertindak diluar aturan norma-
norma yang ada dan akhirnya terlibat dalam seks pranikah.
Remaja puber cenderung meniru orang dewasa dan bersikap seperti orang dewasa. Mereka
menganggap bahwa masa puber adalah masa dimana mereka dapat bertindak seperti orang dewasa
dalam hal melakukan hubungan seksual. Seks pranikah, remaja dewasa sebelum waktunya, seperti
kasus-kasus seks pranikah yang marak terjadi pada siswa-siswi SMP. Padahal, usia remaja SMP belum
diperbolehkan menikah menurut Undang-Undang di Indonesia. Sunarto (2008) mengemukakan bahwa
usia minimal untuk suatu perkawinan menurut Undang-Undang disebutkan adalah 16 tahun untuk
wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan).
Masa remaja adalah masa yang tidak realistik. Pada perkembangan remaja menuju masa
pubertas, remaja cenderung menciptakan ketegangan konflik dengan orangtua. Kurangnya perhatian
orangtua dan mendapat kasih sayang menjadi pemicu utama. Menurut Hurlock (1980), remaja
cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan
orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.
Semakin tidak realistik cita-citanya maka semakin ia menjadi marah. Hal ini juga menjadi penyebab
mengapa sering terjadinya konflik antara orangtua dan anak. Si anak yang mulai beranjak remaja
cenderung ingin dianggap dewasa dan tak mau mendengarkan orangtua, ingin mencari kesenangan lain,
hidup bebas dari kekangan orangtua, mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan
status dewasa, dan pada akhirnya bergaul dengan teman-teman yang tidak sebaya hingga tanpa disadari
terjerumus dalam seks bebas tanpa terkendali.
Menyangkut dengan perkembangan emosi, Crow dalam Sunarto (2008) mendefinisikan emosi
yaitu pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan
fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak. Chaplin dalam Syarif (2015) mendefinisikan emosi
sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari
yang mendalam sifatnya dari perubahan tingkah laku. Sarwono (2001) mendefinisikan emosi adalah
warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Menurutnya, masa remaja sebagai
masa yang penuh emosi.
Di satu pihak, emosi yang menggebu-gebu ini memang menyulitkan, terutama untuk orang lain
(termasuk orangtua dan guru) dalam mengerti jiwa di remaja. Tetapi di pihak lain, emosi yang
menggebu ini bermanfaat untuk remaja itu terus mencari identitas dirinya. Emosi yang tak terkendali
itu antara lain disebabkan juga oleh konflik peran yang sedang dialami remaja. Ia ingin bebas, tetapi ia
masih bergantung pada orangtua. Ia ingin dianggap dewasa,sementara ia masih diperlakukam seperti
anak kecil. Dengan adanya emosi-emosi remaja itu remaja secara bertahap mencari jalannya menuju
kedewasaan, karena reaksi orang-orang disekitarnya terhadap emosinya akan menyebabkan si remaja
belajar dari pengalaman untuk mengambil langkah-langkah yang terbaik.
Masalahnya adalah jika seorang remaja tidak berhasil mengatasi situasi-situasi kritis dalam
rangka konflik peran itu karena ia terlalu mengikuti gejolak emosinya. Maka besar kemungkinannya ia
akan terperangkap masuk ke jalan yang salah (Sarwono, 2001). Seperti label “ cinta,” remaja
menumpahkan rasa cintanya dengan melakukan seks pranikah dengan lawan jenisnya. Akhirnya remaja
terjerumus dalam kasus seks bebas.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Remaja adalah masa peralihan dari kanak-kanak ke masa dewasa. bahwa pergaulan bebas itu
adalah salah satu bentuk perilaku menyimpang. Seks bebas merupakan hubungan yang dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan. Remaja pubertas adalah individu labil yang
rentan emosi dan belum mampu mengendalikan diri dengan baik. Pendidikan seks di sekolah perlu
diberikan untuk menginformasikan remaja bagaimana dan apa akibat dari perilaku seksual yang
menyimpang terhadap diri remaja.

4.2 Saran
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu saya
mengharapkan adanya kritik dan saran yang positif dan bersifat membangun demi kesempurnaan
makalah ini di masa yang akan datang.

-dok.noer-
DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Kartini., (1977), Psychologi Wanita: Gadis Remaja dan Wanita Dewasa, Penerbit Alumni,
Bandung
Hurlock, Elizabeth B., (1980), Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan (terjemahan), Erlangga, Jakarta
Sarwono, Sarlito W., (2001), Psikologi Remaja, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Soejoeti, Sunanti Zalbawi., (2001), Perilaku Seks di Kalangan Remaja dan Permasalahannya, Media
Litbag Kesehatan 12(1): 30-35
Samino., (2012), Analisis Perilaku Seks Remaja SMAN 14 Bandar Lampung 2011, Jurnal Dunia Kesmas
Volume 1, Nomor 4:175-183
Anonim., (2015), Anak-anak SMP Terindikasi Seks Bebas, Ancaman Kesehatan Reproduksi dan
Masalah Sosial, Tribunnews.com, edisi 11 Februari 2015
Hajar, Rohdi Pangestu., (2015), Hubungan Antara Sikap Beragama dan Kecenderungan Perilaku
Seksual Pranikah Pada Mahasiswa, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
BKKBN, (2015), Pedoman Pengelolaan Bina Keluarga Remaja, Dit.HanRem BKKBN, Jakarta.
BKKBN, (2018 ), BUKU PANDUAN PELAKSANAAN SOSIALISASI PROGRAM PEMBANGUNAN
KELUARGA BERSAMA MITRA KERJA TAHUN 2019, DitHanRem BKKBN, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai