Anda di halaman 1dari 81

SIKAP REMAJA TERHADAP KAUM WARIA

MATA KULIAH METODE PENELITIAN KUALITATIF

DOSEN PEMBIMBING :
Andy Chandra S.Psi M.Psi

OLEH

ADELLA ANGGRAENI NST


178600200
Kelas Reg B2

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2019-2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kaum waria, pada pertenggahan tahun 2005 yang lalu mengadakan hajatan
besar. Tepatnya hari Minggu 26 Juni 2005 yang lalu, di Gedung Sarinah lantai 4 Jakarta
diadakan pemilihan Miss Waria Indonesia. Sebanyak 30 waria dari berbagai daerah di
Indonesia mengikuti kontes ini. Mereka menunjukkan kebolehan masing-masing seperti
bernyanyi, menari, dan tentunya berperilaku serta berdandan seperti wanita. Akhirnya,
kontestan dari Jakarta bernama Olivia terpilih menjadi Miss Waria Indonesia 2005.
Penyematan mahkota langsung dilakukan Miss Waria Indonesia 2004, Megi Megawati.
Ria Irawan, sebagai ketua dewan juri mengatakan bahwa salah satu penilaiannya
adalah kesempurnaan fisik peserta yang menyerupai wanita.
Waria adalah seorang laki-laki yang secara jasmani sempurna dan jelas, namun
secara psikis cenderung bertingkah laku sebagai orang dari jenis kelamin yang berlainan
(Koeswinarno, 1996; dan P. Esty dan Sugoto, 1998). Dari sudut psikologi-ilmiah, waria
digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender identity disoders). Gangguan ini
ditandai dengan adanya perasaan tidak senang terhadap jenis kelamin sehingga ia
berperilaku seperti lawan jenisnya.
Kaum waria tidak begitu saja diterima di masyarakat. Sari (2003)
mengungkapkan bahwa pandangan waria adalah “penyakit kejiwaan”, “aib”, “abnormal”,
“dosa”, “menyalahi kodrat”, dan sebutan lainnya masih diyakini oleh sebagian besar
masyarakat. Hak-hak biologis mereka juga dianggap patologis, anomali, atau abnormal
oleh masyarakat. Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan mereka selalu
diidentifikasikan sebagai tempat maksiat. Hal ini juga terungkap dalam penelitian yang
dilakukan oleh Nastiti (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998) dan Elisabeth (1996) yang
menyatakan bahwa banyak orang yang memandang bahwa waria menentang
kodratnya, dan tingkah laku seksualnya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku
di masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak menyenangi mereka dan sering tidak
menerima serta menolak mereka, bahkan pihak keluarganya sendiri juga menolak
keberadaan mereka.
Kaum waria dalam kehidupan sehari-hari sering didiskriminasi, dimarjinalkan,
serta kurang mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budayanya,
tidak hanya oleh masyarakat luas, aparat keamanan, apparat pemerintah, tetapi juga
oleh keluarganya sendiri. Kaum waria juga sering mendapat cercaan, dipandang sinis,
dilecehkan, ditertawakan, dan menjadi bahan gunjingan. Sebagai contoh, Andrea
menuturkan pengalamannya ketika ia sakit dan datang ke dokter. Dokter yang
seharusnya memeriksa justru sama sekali tidak mau memeriksa dan hanya memberinya
obat serta mengolok-oloknya. Kisah waria yang lain adalah Tiara dari Makasar
menceritakan bahwa saat dirazia polisi mereka ditangkap dan diceburkan ke laut dahulu
sebelum dibawa ke kantor polisi. Lalu ia diperintahkan membuka “bra” dan menunjukkan
alat kelaminnya di depan polisi.
Uraian di atas, jika kita cermati maka akan menimbulkan pertanyaan: Masyarakat
mana yang bersikap negatif terhadap kaum waria? masyarakat yang memandang
negatif waria, mendiskriminasikan, dan memarjinalkan kaum waria yang terungkap
dalam penelitian dan uraian di atas kiranya belum jelas. Kalau kita cermati lebih lanjut,
ternyata ada juga kelompok masyarakat yang bisa menerima kaum waria. Sebagai
contoh adalah Avi dan Dorce. Mereka diterima sebagai penghibur multitalent, bahkan
Avi justru pernah mendapatkan penghargaan sebagai pemeran video klip terbaik
bersama group band naïf. Di perkampungan Kricak Yogyakarta misalnya, banyak waria
yang tinggal di sana. Namun masyarakat sekitar tidak mengucilkan kaum waria di sana.
Kaum waria yang tinggal di Kricak ternyata bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat
sekitar dengan baik (Hariyanti, 2004).
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui sikap remaja terhadap kaum
waria. Hal ini juga menarik digali karena walaupun banyak penolakan, namun kaum
waria tetap ada dan bermunculan di berbagai daerah. Faiz (2002) menyebutkan bahwa
jumlah male-to-female transseksual atau waria adalah 1 dari setiap 18.000 sampai
dengan 33.000 laki-laki. Sedangkan data yang masuk di Direktorat Jenderal Administrasi
dan Kependudukan Departemen Dalam Negeri tahun 2005 menyebutkan bahwa jumlah
waria di Indonesia tercatat sebanyak 400 ribu. Jumlah itu tersebar di berbagai daerah di
Indonesia, dan terbanyak di Pulau Jawa. Diyakini estimasi jumlah tersebut hampir selalu
merupakan fenomena “gunung es”.
Sikap remaja terhadap kaum waria penting digali karena pada masa remaja,
mereka mulai menentukan sikap tanpa bergantung pada orang lain yang lebih dewasa
dari mereka (Mappiare, 1982). Mereka juga mempunyai sikap dan pandangan yang
lebih realistis. Pada masa ini pula mereka mulai mencapai peran sosial sebagai pria
atau wanita dan mencapai hubungan baru yang lebih matang (Havinghurst, dalam
Hurlock, 1996). Lebih lanjut, pada masa ini identitas seksual seseorang mulai terbentuk
dan menetap. Oleh karena itu, pada masa ini seseorang akan menentukan identitas
seksual dan identitas gendernya.
Secara umum, individu memiliki identitas gender sebagai laki-laki dan
perempuan. Individu laki-laki akan mengembangkan kepribadian sebagai laki-laki begitu
pula perempuan. Di Indonesia, individu laki-laki yang mengembangkan kepribadian
sebagai perempuan umunya dikenal dengan sebutan waria. Dalam psikologi, hal ini
disebut dengan transgender atau transseksual. Para transseksual memiliki pemikiran
bahwa jiwa mereka terperangkap dalam tubuh yang salah sehingga mengubah
penampilan dan perilaku mereka sesuai dengan yang mereka inginkan (Durand &
Barlow, 2006).
Identitas gender sebagai waria dapat terbentuk karena faktor biologis maupun
lingkungan. Faktor biologis karena adanya hormon testosteron yang tinggi, sedangkan
faktor lingkungan karena berlebihnya interaksi dengan figure ibu maupun kurangnya
interaksi dengan figur pria pada masa kanak-kanak (Durand & Barlow, 2006).
Waria sering dianggap momok bagi masyarakat karena dianggap tidak
berperilaku seperti seharusnya. Waria sering dikucilkan, dihina maupun ditolak dalam
lingkungan masyarakat (Santoso, 2007). Dalam pandangan masyarakat pada umumnya,
laki-laki seharusnya mengembangkan peran gender maskulin sedangkan perempuan
mengembangkan peran gender feminin. Berbeda dengan waria yang memiliki fisik asli
laki-laki namun berpenampilan dan berperilaku seperti perempuan. Peran gender inilah
yang dianggap akan mempengaruhi bagaimana penilaian dan sikap lingkungan
terhadapnya (Helgeson, 2012). Dalam hal ini tentu mempengaruhi interaksi sosial waria
dengan masyarakat umum. Kehidupan sosial waria menjadi sangat terbatas karena
adanya penolakan seperti dikucilkan dan dilecehkan oleh orang yang dikenal maupun
tidak (Putri, 2009; Herdiansyah, 2007;Stotzer, 2009 (dalam Helgeson, 2012)).
Seperti diungkapkan dalam salah satu artikel mengenai kehidupan waria di
Indonesia yang selalu dikucilkan oleh masyarakat umum (Setiawan, 2015). Salah satu
contoh yang pernah terjadi adalah kasus kekerasan kepada salah satu PSK waria
hingga tewas dan bukan satu-satunya kasus yang pernah terjadi (Kurniawan, 2011).
Selain itu, terdapat pula gagasan bahwa waria di Indonesia sulit mendapat pekerjaan
karena orientasi gender yang mereka pilih belum dapat diterima oleh masyarakat luas
(Oetomo, 2015).
Hidup menjadi waria berdampak pada masalah penerimaan sosial, seperti tidak
diterimanya waria oleh lingkungan mengingat nilai-nilai agama dan sosial di Indonesia
tidak mengizinkan perilaku transeksual. Hal ini dapat mengakibatkan kehidupan sosial
para waria menjadi sangat terbatas hingga peluang kerja menjadi sempit (Putri &
Sutarmanto, 2007). Waria juga sering dianggap sebagai sampah masyarakat, penjaja
seks, dan kurang berpendidikan sehingga menimbulkan kurangnya percaya diri waria
dalam bermasyarakat (Santoso, 2007).
Di samping itu, waria juga memiliki kesulitan dalam penerimaan diri dan
kebingungan identitas. Kebingungan yang umum dialami oleh waria yakni menyangkut
dengan keputusan menjadi diri sendiri atau mematuhi norma-norma yang melarang
menjadi waria (Putri & Sutarmanto, 2007). Hal ini dapat mendorong terjadinya
kecemasan, perasaan tertekan dan ketidakbahagiaan karena adanya inkongruensi
antara diri dengan diri ideal ketika menyadari hal tersebut (Feist & Feist, 2010). Namun
demikian, ketika menyadari realita bahwadirinya memiliki kecenderungan perempuan,
penerimaan diri untuk mengembangkan kepribadian feminin dapat membantu untuk
menuju kongruensi.
Para waria mengalami masalah dan tekanan berupa penolakan dari lingkungan
sekitar bahkan tak jarang dari pihak keluarga. Di satu sisi, mereka ingin menjalani hidup
sesuai dengan keinginannya, yaitu berperilaku seperti wanita. Akan tetapi di sisi lain,
mereka juga mengalami konflik dengan tuntutan lingkungan yang menginginkan mereka
berperilaku dan berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya (Putri & Sutarmanto,
2007). Tindakan masyarakat umum pada keberadaan waria didorong oleh adanya
prasangka yang selanjutnya diwujudkan dalam sikap diskriminasi. Prasangka biasanya
muncul kepada individu atau kelompok individu karena keanggotaannya terhadap
kelompok tertentu (Baron & Birne, 2003; Brown,2005). Prasangka biasanya melibatkan
emosi, keyakinan dan harapan terhadap sikap yang dimiliki anggota kelompok tertentu.
Pada umumnya, individu atau kelompok individu akan memilih mengikuti pandangan
atau norma social yang dimiliki sebagian besar masyarakat. Namun demikian, tidak
menutup kemungkinan untuk memiliki pandangannya sendiri dan memilih mengikutinya
(Baron & Birne, 2003). Sama halnya dengan waria yang ingin mempertahankan identitas
pribadinya tanpa terpengaruh oleh pandangan masyarakat. Mereka merasa kesulitan
untuk mengikuti norma sosial karena akan menyebabkan mereka kehilangan kontrol
terhadap dirinya sendiri. Penolakan yang dialami waria dalam masyarakat juga dianggap
sebagai suatu pelanggaan HAM terhadap identitas seksual waria. Selain itu, media di
Indonesia juga dirasa oleh waria memberikan citra yang salah terhadap kehidupan dan
diri mereka. Lebih banyak hal buruk dan pandangan mengenai ‘penyimpangan’ ketika
hidup sebagai waria lah yang ditampilkan sehingga mempengaruhi penilaian dan
perilaku masyarakat terhadap waria (Ida, 2010). Selain itu, waria juga cenderung
enggan bergabung dengan masyarakat umum karena pandangan dan sikap masyarakat
terhadapnya yang cenderung negatif (Sofiyana, 2013). Hal ini terbukti dengan waria
yang cenderung mengalami kekerasan verbal, fisik dan psikis baik dari pihak keluarga
maupun lingkungan (Arfanda & Sakaria, 2015). Sikap-sikap yang diterima waria inilah
yang membuat mereka cenderung membentuk komunitas dan membangun relasi yang
baik dengan sesama waria. Perasaan diterima lebih muncul di dalam komnitas
dibandingkan dengan masyarakat yang bersikap diskriminatif karena menganggap waria
menyimpang dan abnormal. Stigma, prasangka dan diskriminasi yang diarahkan pada
kaum LGBT cenderung menimbulkan stress karena adanya minoritas seksual, yang
dikenal dengan minority stress (Glassgold, J. et al, 2009). Akibatnya, tak jarang mereka
mengalami kecemasan, depresi, rendah diri, dan menarik diri dari lingkungan bahkan
melakukan bunuh diri (Yuliani, 2006). Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) terdapat 800 ribu kematian di dunia setiap tahunnya yang disebabkan bunuh diri.
Salah satu kelompok yang paling berpotensi melakukan bunuh diri adalah para Lesbian
Gay Bisexual dan Transgender (LGBT) karena adanya tekanan psikis berupa stigma
masyarakat. (Imamsyah,2014).
Penolakan serta gangguan psikologis yang dialami oleh waria menjadi
keprihatinan tersendiri karena mereka juga merupakan manusia yang memiliki hak
setara untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Ditambah lagi kurang
adanya norma tertulis maupun tidak tertulis mengenai hak dan kewajiban waria. Waria
juga merupakan individu yang memiliki hak asasi setara dengan individu lain sehingga
berhak untuk menerima perlakuan yang adil dalam bernegara dan bermasyarakat
(Yuliani, 2006).Pandangan lingkungan sosial terhadap waria merupakan hal yang sulit
untuk diubah namun kemampuan adaptasi waria lebih dimungkinkan untuk dikaji. Waria
membutuhkan kemampuan adaptasi untuk mencapai kebahagiaannya karena setiap
individu memiliki keinginan dasar untuk membangun relasi dengan lingkungan sosialnya
(Batara, 2014).
Penolakan yang dialami waria di lingkungan, tak jarang menyebabkan waria
mengalami keterhambatan kesejahteraan hidupnya. Hal ini membuat mereka perlu
untuk melakukan adaptasi sehingga membutuhkan kemampuan resiliensi. Resiliensi
merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki oleh individu, terutama dalam
menghadapi suatu masalah. Newman (2005) (dalam Rosyani, 2012) menyatakan bahwa
resiliensi merupakan kemampuan adaptasi individu saat menghadapi tragedi, trauma,
kesulitan, serta stressor dalam kehidupan yang bersifat signifikan.
Resiliensi sering dikaitkan dengan menjaga hubungan baik dengan orang lain,
memiliki pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan serta memiliki tujuan hidup
dan berusaha untuk mencapainya. Resiliensi pada dasarnya ada dalam diri setiap
individu hanya saja waktu yang diperlukan untuk melewati hal tersebut bersifat individual
(Poetry, 2013). Semakin terlibat individu dalam satu masalah atau tekanan, maka akan
semakin terlihat kemampuan resiliensinya.
Individu yang memiliki resiliensi yang baik, cenderung berpikir positif dan
menganggap akan ada hal baik yang terjadi selanjutnya sehingga cenderung
menyelesaikan masalah yang dialaminya. Artinya, individu yang memiliki resiliensi yang
baik akan berhasil menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan yang kurang
menyenangkan serta tekanan yang dialaminya di dalam kehidupannya dengan
lingkungan (Desmita, 2005). Waria dianggap perlu memiliki resiliensi untuk melihat
bagaimana mereka menyesuaikan diri terhadap ‘kewariaannya’ di tengah banyaknya
penolakan yang diterima dari lingkungan. Resiliensi diperlukan oleh waria agar waria
dapat lebih melihat hal yang positif dari dirinya sendiri dan lingkungan sehingga dapat
mengembangkan kemampuan tersebut lewat perilaku yang juga positif.

B. Fokus Penelitian
Bagaimana sikap remaja terhadap kaumwaria ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap remaja terhadap kaum waria.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi psikologi social khususnya
mengenai sikap remaja terhadap kaum waria.
b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain untuk memberikan masukan
khususnya mereka yang akan meneliti lebih lanjut mengenai kaum waria.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan
pembaca mengenai sikap remaja terhadap kaum waria.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran bagi kaum
waria mengenai sikap kelompok masyarakat terhadap keberadaan mereka
sehingga mereka dapat membangun strategi konstruktif dalam menghadapi
sikap masyarakat terhadap mereka.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Sikap
Sikap, seperti halnya dengan pengertian-pengertian lain, terdapat beberapa
pendapat diantara para ahli. Tentunya ahli yang satu dengan ahli yang lainnya
memberikan definisi dengan batasan-batasan yang berbeda. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini adalah beberapa penertian sikap menurut beberapa ahli.
Louis Thurstone (dalam Edwards, 1957) mengatakan bahwa sikap adalah suatu
tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan
obyek-obyek psikologis. Afeksi positif yang dimaksud adalah afeksi senang, sedangkan
afeksi negatif yang dimaksud adalah afeksi yang tidak menyenangkan. Thurstone
melihat sikap hanya mengandung komponen afeksi saja.
G.W. Allport (dalam Marie, Jahoda, and Neil Warren, 1966; White, 1982 ; Mar’at,
1982; Sears, dkk., 1988) mengatakan bahwa sikap adalah keadaan mental dan saraf
dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamis atau
terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan
dengannya. Allport (dalam Hall dan Lindzey, 1993) mengatakan bahwa sikap adalah
predisposisi, yang mungkin juga bersifat khas yang bisa memulai atau mengarahkan
tingkah laku dan merupakan hasil dari faktor-faktor genetik dan belajar.
Newcomb (dalam walgito, 1990; Mar’at, 1981) mengatakan bahwa sikap
merupakan suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi
ke dalam pola yang lebih luas.
Krech dan Crutchfield (dalam Jahoda, Marie, and Neil Warren, 1966)
mengatakan bahwa sikap adalah organisasi yang bersifat menetap dari proses
motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia
individu.
Rokeach (dalam Walgito, 1990) juga memberikan pendapatnya mengenai sikap.
Ia mendefinisikan sikap sebagai predisposing untuk merespon, untuk berperilaku. Ini
berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku, sikap merupakan predisposisi untuk
berbuat atau berperilaku.
Myers (dalam Walgito, 1990) mengatakan bahwa sikap adalah suatu
kecenderungan ke arah beberapa obyek; meliputi kepercayaan seseorang, perasaan,
dan kecenderungan perilaku terhadap obyek.
Gerungan (dalam Walgito, 1990) mengatakan bahwa, pengertian mengenai
attitude itu dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap obyek tertentu, yang
dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, yang disertai dengan
kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap terhadap obyek tadi. Jadi attitude itu
lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal.
Saifuddin Azwar (2005) mengatakan bahwa sikap adalah suatu respon evaluatif.
Sedangkan Mar’at (1981) mengatakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek
tersebut.
Banyak sekali pengertian sikap menurut beberapa ahli yang ada. Hal ini
dimungkinkan karena sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam
lapangan psikologi khususnya psikologi sosial. Bahkan ada ahli yang berpendapat
bahwa psikologi sosial menempatkan sikap sebagai problem sentralnya (Crutchfield,
dalam Walgito, 1990).
Dari bermacam-macam pendapat tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa
sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek yang
relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan dasar untuk membuat
kecenderungan berperilaku atau merespon obyek tersebut dengan cara tertentu.

B. Komponen Sikap
Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu :
1. Komponen Kognitif, yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,
pandangan, keyakinan tentang obyek.
2. Komponen Afektif, yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau
tidak senang (emosional) atau penilaian terhadap obyek. Rasa senang
merupakan hal positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.
3. Komponen Konatif, yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan
bertindak terhadap obyek. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu
menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak seseorang terhadap
obyek sikap (Shaver, Kelly, G., 1977; Zanden, and James W. Vander, 1977;
Mar’at, 1981; Sears, dkk., 1988; Walgito, 1990; Azwar, 2005).

C. Ciri-ciri Sikap
Sherif dan Sherif (dalam Walgito, 1984) mengungkapkan bahwa sikap
merupakan suatu pendorong yang menimbulkan tingkah laku tertentu yang memiliki ciri-
ciri, yaitu :
1. Sikap bukan merupakan suatu yang dibawa sejak lahir. Sikap terbentuk dalam
perkembangan individu. Oleh karena itu, sikap dapat dipelajari dan dapat
berubah walau mempunyai kecenderungan agak tetap. Dalam hal ini faktor
pengalaman penting dalam pembentukan dan perubahan sikap.
2. Dapat berlangsung lama maupun sebentar. Jika sikap sudah tertanam menjadi
salah satu nilai dalam kehidupan seseorang, maka akan memerlukan waktu yang
relative lama untuk mengalami perubahan.
3. Selalu ada hubungan yang positif atau negatif antara subyek dengan obyek,
melalui proses pengenalan atau persepsi terhadap obyek. Proses ini
menimbulkan sikap tertentu pada individu.
4. Dapat meliputi satu obyek dan meliputi sekumpulan obyek (kecenderungan untuk
menggeneralisasikan obyek sikap).
5. Mengandung faktor perasaan dan faktor motif. Jadi sikap terhadap obyek
tertentu selalu ada perasaan yang menyertai dan mempunyai motivasi untuk
bertindak tertentu terhadap obyek yang dihadapi individu.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap


Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu
terhadap berbagai obyek psikologis yang dihadapinya. Azwar (2005) mengatakan ada
enam factor yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu:

1. Pengalaman pribadi
Apa yang kita alami akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita
terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap.
Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai
pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Pengalaman pribadi tersebut
akan menjadi dasar pembentukan sikap apabila mempunyai kesan yang kuat. Oleh
karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting


Seseorang yang kita anggap penting bagi kita, seseorang yang kita harapkan
persetujuannya bagi gerak-tindak dan pendapat kita, seseorang yang tidak ingin kita
kecewakan, atau seseorang yang berarti khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi
pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Pada umumnya, individu cenderung untuk
memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan keinginan
untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap kita. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap
kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-
individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian
individu yang kuat yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan
sikap individu.

4. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, media massa mempunyai pengaruh dalam
pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai
tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang
dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-
pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi
dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama


Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai system mempunyai
pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar
pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk,
garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

6. Pengaruh faktor emosional


Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan pengalaman
pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang
didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian merupakan sikap yang
sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang, akan tetapi dapat pula
bertahan lama. Suatu contoh bentuk sikap yang didasari emosi adalah prasangka.
Misalnya prasangka rasialis dalam bentuk perusakan toko-toko milik Cina, dan
penjarahan yang pernah terjadi. Hal ini terjadi karena didasari oleh faktor emosi yang
berawal dari frustasi ketidakberdayaan menyamai atau melawan dominasi orang Cina di
bidang ekonomi.

E. Definisi dan Batasan Remaja


Remaja atau adolescence berasal dari kata kerja latin adolescere yang berarti
tumbuh menjadi dewasa. Piaget (dalam Hurlock, 1996) mengatakan bahwa istilah
adolescence ini mempunyai arti luas, mencakup kematangan mental, emosional dan
sosial.
Gunarsa (1986) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa peralihan
antara masa anak dan masa dewasa, yaitu antara 12 tahun sampai 21 tahun. Masa ini
lebih menunjuk pada masa peralihan dengan semua perubahan psikis yang dialami
seseorang.
Sedangkan Monks (1991) membagi usia remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa
remaja awal (12 – 15 tahun), masa remaja pertengahan (15 – 18 tahun), dan masa
remaja akhir (18 – 21 tahun). Dalam hal ini, penulis lebih mengarahkan kepada Subyek
usia remaja akhir.
Jadi, yang dimaksud remaja dalam penelitian ini adalah seseorang baik laki-laki
maupun perempuan yang berusia 18 – 21 tahun.

F. Ciri-ciri Masa Remaja


Mappiare (1982) mengatakan bahwa ada perubahan yang terjadi dalam diri
seorang remaja. Perubahan itu antara lain adalah mulainya remaja memiliki stabilitas
dalam hal sikap atau pandangan yang menjadi relatif menetap, dan tidak mudah
digoyahkan oleh orang lain. Perasaan senang atau tidak senang terhadap suatu objek
didasarkan pada hasil pemikirannya sendiri. Keinginan mereka dalam menentukan sikap
tidak bergantung pada orang lain yang lebih dewasa. Remaja mempunyai citra diri dan
sikap atau pandangan yang lebih realistis. Mereka mulai menilai dirinya sebagaimana
adanya, dan menghargai orang lain seperti keadaan yang sesungguhnya.
Petro Blos (dalam Sarwono, 1989) mengatakan bahwa pada masa remaja akhir,
remaja mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang lain dan memperoleh
pengalaman baru. Diungkapkan pula bahwa pada masa ini identitas seksual sudah
terbentuk dan tidak berubah lagi.
Sementara itu, Hurlock (1996) mengungkapkan bahwa pada masa remaja,
seseorang mulai mencapai kematangan emosi dengan menilai situasi secara kritis
terlebih dahulu. Selain itu, dalam hal pemilihan teman, remaja mulai berkeras untuk
memilih sendiri teman-temannya tanpa campur tangan orang dewasa.
Havighurst (dalam Hurlock, 1996) mengatakan bahwa seseorang dalam
sepanjang rentang kehidupannya mempunyai tugas perkembangan, termasuk pada usia
remaja. Sebagian dari tugas perkembangan usia remaja adalah menjalin hubungan
yang lebih matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita dan dimulainya
kemandirian emosional dari mereka. Dalam menjalin hubungan ini, remaja bebas
menentukan pilihannya untuk bergaul dengan siapa saja tanpa harus memperoleh
persetujuan dari orang lain. Remaja juga mulai dapat menghargai orang lain sesuai
dengan keadaan yang sesunguhnya. Sedangkan tercapainya kemandirian emosional
pada masa remaja ini berkaitan dengan pambentukan sikap mereka terhadap suatu
obyek sesuai dengan pemikiran mereka sendiri yang realistis dan kritis.
Penulis menggunakan kelompok remaja sebagai Subyek dalam penelitian ini
karena pada usia ini seseorang memulai kemandirian dan kestabilan emosi yang
mempengaruhi bagaimana mereka menyikapi suatu hal sesuai dengan pemikiran
mereka sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain. Selain itu juga karena masa ini
adalah masa mereka mencapai peran jenisnya sebagai laki-laki atau perempuan dan
terbentuknya identitas seksual yang menetap.

G. Heteroseksual Remaja
Pada awalnya, remaja mengelakkan bergaul dengan lawan jenis, dan lebih ingin
ada bersama dengan kawan sejenisnya. Kebersamaan ini memberikan perasaan
kebanggaan, dan kenikmatan tersendiri. Akan tetapi keadaan ini tidak akan terus
demikian. Setelah gejolak sekitar haid dan ejakulasi pertama, mereka mulai merasa
tertarik kepada lawan jenisnya. Inilah tahap perkembangan heteroseksual (Riberu,
1985).
Ketika mereka secara seksual sudah matang, laki-laki maupun perempuan mulai
mengembangkan sikap yang baru pada lawan jenisnya dan mengembangkan minat
pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Minat yang baru ini
bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan
dari lawan jenis (Hurlock, 1996).
Tugas perkembangan berikutnya yang harus dikuasai remaja adalah belajar
memerankan peran seksual yang diakui (Hurlock, 1996). Peran seksual pada hakikatnya
adalah bagian dari peran sosial pula. Sama halnya dengan anak yang harus
mempelajari perannya sebagai anak terhadap orang tua atau sebagai murid terhadap
guru, maka ia pun harus memepelajari perannya sebagai anaksebagai jenis kelamin
tertentu terhadap jenis kelamin lawannya. Jadi, peran seksual ini tidak hanya ditentukan
oleh jenis kelamin yang bersangkutan tetapi juga oleh lingkungan dan faktor-faktor
lainnya. Dengan demikian tidak otomatis seorang laki-laki harus bermain mobil-mobilan
dan robot-robotan sedangkan anak perempuan bermain boneka dan rumah-rumahan.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak anak laki-laki tertarik pada boneka-boneka dan
anak perempuan pada robot-robotan dan akhirnya mereka tetap menjadi orang dewasa
pria atau wanita yang normal atau tidak menjadi banci (Sarwono, 1989).
Pada masa remaja, perkembangan kebutuhan seks dan pembentukan peranan
jenis berjalan sejajar dan menentukan akan menjadi wanita atau pria bagaimanakah
kelak. Pada suatu saat tertentu terlihat bahwa para remaja mengalami keraguan tentang
peranan jenisnya masing-masing. Sering timbul keraguan mengenai bakat kelaki-lakian
atau kewaniaannya. Apakah mereka tertarik pada jenis laki-laki atau wanita. Tambahan
pula pengaguman pada terhadap seorang yang sama jenisnya, akhirnya menyebabkan
timbulnya ikatan dan terbentuknya tingkah laku yang terwujud dalam perilaku seksual
yang menyimpang: wadam, bencong, homoseks dan lesbian (Gunarsa dan
Gunarsa,1984).
Sebagai contoh adalah kasus anak keenam dari enam bersaudara yang
semuanya laki-laki. Pada waktu anak keenam ini lahir ibunya kecewa karena ibunya
sangat menginginkan anak wanita. Sejak masa bayi, ibunya sudah mengeluarkan
pakaian bayi yang telah disiapkan untuk bayi perempuan. Sampai agak besar ia masih
mengenakan baju perempuan hingga saat SD seakan-akan terpaksa memakai celana
dan kemeja laki-laki. Ternyata pada umur 12 tahun, kukunya dipelihara dan diberi
pewarna kuku. Demikian pula matanya diberi make up khusus di mana akhirnya ia
menjadi “korban” homoseksualitas.
Dari contoh di atas terlihat pada mulanya hanya keinginan untuk memakai
pakaian dari lawan jenis, kemudian terjadi peralihan dari tingkahlaku ini ke hal-hal yang
seksual. Bahkan selanjutnya terjadi peralihan peranan jenis yang berganti-ganti sebagai
akibat lingkungan termasuk lingkungan keluarganya. Contoh penyimpangan seperti di
atas ternyata banyak ditemukan. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa
pengalaman seseorang dapat menjadi faktor penyebab timbulnya penyimpangan
perkembangan heteroseksual (Gunarsa dan Gunarsa, 1984).

H. Pengertian Waria
Waria adalah seorang laki-laki namun cenderung bertingkah laku sebagai wanita
(Koeswinarno, 1996; dan P. Esty dan Sugoto, 1998). Misalnya dalam penampilannya, ia
mengenakan busana dan aksesoris seperti halnya wanita. Begitu pula dalam perilaku
sehari hari, ia juga merasa dirinya sebagai wanita yang memilki sifat lemah lembut.
Elisabeth (1996) mengatakan bahwa seorang waria adalah seseorang yang memiliki
fisik laki-laki tetapi psikis wanita yang diperoleh sejak lahir. Mereka terdiri atas dua
golongan, yaitu :
1. Interseksualita dengan organ seksual laki-laki tetapi juga mempunyai hormone
perempuan, dan;
2. Transseksualisme sebagai seseorang yang mempunyai fisik laki-laki tetapi psikis
wanita.

Istilah waria pada dasarnya memang ditujukan pada penderita transseksual atau
seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan jiwanya, yaitu secara fisik laki-laki,
namun jiwanya perempuan. Oleh karena itu, mereka mempunyai keinginan yang kuat
untuk mengubah alat-alat seksnya dengan jalan pembedahan dan penyuntikan hormon
agar tercapai bentuk anatomis serta fisiologisnya sesuai dengan seks yang
diinginkannya (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998).
Kartono (1989) juga mengatakan bahwa waria termasuk dalam kelainan seksual
yang disebut dengan transseksual. Ia menyebutkan bahwa seorang waria mempunyai
keinginan untuk menolak sebagai laki-laki dan merasa memiliki seksualitas yang
berlawanan dengan struktur fisiknya. Implikasi lebih lanjut adalah orientasi seksual
mereka bukan heteroseksual melainkan homoseksual.
Jadi dapat dijelaskan bahwa waria adalah seseorang yang mempunyai fisik
sempurna sebagai laki-laki, namun bersifat, bertingkah laku, serta berperasaan seperti
wanita sehingga cenderung menampilkan diri sebagai wanita dan menolak sebagai laki-
laki, bahkan mempunyai keinginan untuk mengubah alat-alat seksnya menjadi wanita
dengan cara pembedahan dan penyuntikan hormon. Implikasi selanjutnya adalah
orientasi seksual mereka homoseksual.

I. Faktor-faktor Penyebab
1. Lingkungan
Freud mengatakan bahwa sebagian besar penyebab menjadi waria adalah
pengaruh dari luar atau sesudah dilahirkan (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998).
Dalam beberapa teori psikologi disebutkan bahwa kecenderungan orang menjadi waria
salah satunya disebabkan oleh heterophobia, yaitu adanya ketakutan pada hubungan
seks dari jenis kelamin yang lain karena pengalaman yang salah (Davidson dan Neale,
1978 dalam Koeswinarno, 1996).

2. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang memberikan cukup pengaruh adalah pembelajaran
pada masa anak-anak yang biasanya melalui identifikasi terhadap suatu tokoh. Sebagai
contoh, anak laki-laki mengidentifikasi ayah, sedangkan anak perempuan
mengidentifikasi dirinya kepada ibu. Jika terjadi kebalikannya, maka akan terjadi
kekacauan (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998). Pada umumnya para orang tua
tidak menyadari secara lebih dini bahwa anak mereka mengalami kelainan kepribadian.
Mereka kurang menyadari bahwa akibat dari perilaku sehari-hari yang dianggap wajar,
pada akhinya akan menciptakan pribadi-pribadi yang menyimpang. Meskipun tahap-
tahap perkembangan libido ditentukan secara biologis, harus diakui bahwa
perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh reaksi tokoh-tokoh penting, yaitu melalui
cara-cara pengasuhan, sikap orang tua dan sebagainya (Koeswinarno, 1996).

3. Cara Mendidik yang Salah


Stoller mengatakan bahwa waria dapat terjadi karena peran ibu terlalu dominan
dalam diri anak laki-laki (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998). Kelahiran anak yang
“cantik” ini membuat ibu tergugah untuk membentuk ikatan emosional yang erat dengan
anaknya. Selain itu, adanya keinginan-keinginan terpendam dari orang tua untuk
memiliki anak dari jenis kelamin yang berlawanan mengakibatkan cara mendidik anak
yang keliru, dan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan terciptanya pribadi
waria (Koeswinarno, 1996).
4. Biologis
Tim peneliti JN Zhou, MA Hofman, LJ Gooren, DF Swaab dari Belanda telah
menemukan bukti awal bahwa waria mempunyai struktur otak yang berbeda dengan
laki-laki pada umumnya. Paling tidak dalam satu area kunci yang kira-kira 1 – 8 inchi
lebarnya. Mereka meneliti satu bagian dari hypothalamus yang disebut Central Division
of The Bed Nucleus of The Strim Terminalis (BSTc). Area ini yang diperkirakan dapat
meningkatkan perilaku seksual, rata-rata lebih besar 44 % terdapat pada laki-laki dari
pada perempuan. Para ilmuwan dari Institut Penelitian Otak Belanda melaporkan bukti
awal bahwa BSTc pada waria lebih menyerupai BSTc perempuan dari pada laki-laki.
Tapi pada kenyataannya, rata-rata BSTc pada waria sedikit lebih kecil dari pada BSTc
pada perempuan. Para peneliti menemukan bahwa sedikitnya terdapat satu motif
biologis yang menyebabkan waria ingin mengganti alat kelaminnya, walaupun mungkin
hal ini bukan satu-satunya alasan (Yanti dalam Hariyanti, 2004; dan Kompas, 9 Agustus
2004).
Hingga saat ini penyebab seseorang menjadi waria masih terus dipelajari. Teori
yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) teori bawaan; (2) hasil didikan
lingkungan; (3) konsumsi beberapa zat kimia, dan terdapat bukti tentang sejumlah
polutan yang memberikan efek sama. Teori yang semakin sering dibicarakan dan
diyakini kebenarannya saat ini adalah teori pertama, yaitu sehubungan dengan kondisi
hormonal dan otak janin dalam kandungan (Faiz, 2002; dan Kompas, 9 Agustus 2004).

J. Perbedaan Waria dan Homoseksualitas


Waria memang identik dengan homoseksual. Keduanya memang dapat
digolongkan sebagai penyimpangan seksual yang menyukai seseorang dengan jenis
kelamin yang sama. Namun sebenarnya waria dan homoseksual merupakan dua
fenomena yang terpisah.
Homoseksual adalah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama, atau rasa
tertarik dan mencintai jenis seks yang sama. Homoseksual ini dapat mencakup segenap
jajaran tingkah laku dari seksualitas seperti masturbasi timbal balik, memasukkan penis
dalam mulut orang lain lalu menggesek-gesekkannya dengan bibir serta lidah untuk
membangkitkan orgasme (fellatio), atau persenggamaan dubur (anal intercousel)
sampai pada hasrat terhadap lawan jenis yang ditekan kuat-kuat (Chaplin, 2000).
Freud menjelaskan bahwa homoseksual adalah individu yang mengalami
ketertarikan hanya dengan mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama dan timbul
hasrat seksual. Sedangkan orang dengan jenis kelamin yang berlawanan tidak lagi
memberikan daya tarik seksual, bahkan dalam beberapa kasus yang ekstrim dapat
menimbulkan kebencian yang mendalam (Freud, 2002).
Kaum waria merupakan laki-laki yang berpenampilan seperti wanita. Mereka
merasa terjebak dalam tubuh yang salah. Mereka memperoleh kesenangan dan
kenikmatan dengan memainkan peran sosial lawan jenisnya, yaitu perempuan sehingga
secara fisik mereka berusaha mengadakan perubahan sesuai dengan karakteristik khas
seorang perempuan seperti bentuk tubuh yang sintal dan suara yang lembut
(Supratiknya, 1995).
Batasan tegas antara waria dengan homoseksual biasanya diungkapkan lewat
pakaian. Seorang homoseksual tidak perlu menyatakan dirinya dengan berpakaian
wanita karena mereka tidak menganggap dirinya sebagai wanita. Sedangkan waria
memiliki dorongan psikis menjadi seorang wanita sehingga mereka terdorong untuk
berpenampilan layaknya seorang wanita (Koeswinarno, 1996; dan Faiz, 2002).
Atmojo (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998) mengatakan bahwa ada perbedaan
yang hakiki antara homoseksual dengan waria, yaitu:
a. Homoseksual tidak terganggu dengan keadaan fisiknya;
b. Waria merasa bahwa alat kelaminnya, juga ciri-ciri fisiknya tidak pada tempatnya
dan mereka ingin mengubah ciri-ciri fisiknya sesuai dengan jiwanya.

Jadi waria berbeda dengan homoseksual, walaupun pada batas-batas


tertentu keduanya masih dapat digolongkan sebagai penyimpangan seksual.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara waria dan homoseksual, yaitu
homoseksual tidak terganggu dengan keadaan fisiknya, sedangkan waria merasa
bahwa alat kelamin dan ciri-ciri fisiknya tidak pada tempatnya sehingga mereka
mempunyai keinginan untuk mengubah ciri-ciri fisiknya sesuai dengan jiwanya.
Selain itu, seorang homoseksual tidak perlu menyatakan dirinya dengan
berpakaian wanita karena mereka tidak menganggap dirinya wanita, sedangkan
waria memiliki dorongan psikis bahwa dirinya adalah seorang wanita sehingga mereka
terdorong untuk berpenampilan layaknya seorang wanita. Seorang laki-laki yang
berpenampilan kewanitaan tidak bisa disebut sebagai waria jika di dalam dirinya tidak
ada dorongan untuk menjadi wanita.

K. Dinamika Sikap Remaja terhadap Kaum Waria


Sikap sosial adalah masalah yang erat hubungannya dengan norma dan sistem
nilai dalam kelompok masyarakat. Dengan masuknya individu dalam suatu kelompok,
maka akan diperoleh suatu sistem nilai atau norma yang akan menentukan sikap
sosialnya sampai juga pada tingkah laku perbuatannya (Wuryo, dan Saifullah, 1983).
Oleh karena itu, dalam masyarakat terjadi pro dan kontra terhadap kaum waria. Ada
masyarakat yang menolak kaum waria dan ada juga masyarakat yang bisa menerima
kaum waria. Namun, masyarakat mana yang menolak kaum waria dan masyarakat
mana yang bisa menerima kaum waria belum jelas.
Lalu bagaimana dengan sikap remaja? Seperti yang telah diuraikan di atas,
dalam menentukan sikap, remaja tidak bergantung pada orang lain yang lebih dewasa.
Hal ini dikarenakan pada masa remaja seseorang sudah mencapai kemandirian dan
kestabilan emosi. Perasaan senang dan tidak senang terhadap suatu obyek didasarkan
pada hasil pemikirannya sendiri dengan realistis dan kritis. Remaja juga dapat
menghargai orang lain sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.
Selain itu, pada masa ini remaja mempunyai kecenderungan untuk mewujudkan
dirinya sendiri dan berdiri sendiri dengan membebaskan dirinya dari lindungan orang
tuanya. Hal ini tidak hanya berarti bahwa ia mencoba untuk membebaskan dirinya dari
pengaruh kekuasaan orang tua, baik dalam segi afektif maupun dalam segi ekonomi
seperti halnya remaja yang bekerja, namun hal ini juga berarti bahwa remaja secara
mental tidak suka lagi menurut pada orang tuanya. Kewibawaan wakil-wakil generasi tua
seperti orang tua, guru, pemimpin- pemimpin agama dan sebagainya tidak lagi begitu
saja diterima. Remaja akan mengkritisi norma-norma dan nilai-nilai yang berada dalam
masyarakat dan tidak begitu saja menerimanya (Monks, 1991).
Jika demikian yang terjadi pada remaja, maka remaja akan menyikapi kaum
waria berdasarkan pemikirannya sendiri yang realistis dan kritis tanpa dipengaruhi oleh
orang lain. Norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat tidak begitu saja diterima
karena mereka tentu akan mengkritisi norma atau nilai-nilai yang ada di masyarakat dan
akan menyikapi kaum waria secara obyekif dan realistis berdasarkan pemikiran mereka
sendiri.
Jadi, remaja sebagai bagian dari masyarakat bisa bersikap menerima atau
menolak terhadap kaum waria. Oleh karena itu, remaja bisa bersikap positif atau negatif
terhadap kaum waria. Sikap positif ditunjukkan remaja dengan menerima kaum waria
dan sikap negatif ditunjukkan remaja dengan menolak kaum waria. Sikap remaja
terhadap kaum waria juga bisa berubah apabila ketiga komponen sikap, yaitu komponen
kognitif, afektif, dan konatif tidak selaras atau tidak konsisten. Ketiga komponen tersebut
menjadi tidak selaras atau tidak konsisten karena berbagai cara seperti yang telah
dijabarkan di atas.
Penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998) dan
Elisabeth (1996) yang telah dijabarkan di latar belakang di atas, menyatakan bahwa
banyak orang yang memandang bahwa waria menentang kodratnya, dan tingkah laku
seksualnya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Akibatnya,
masyarakat tidak menyenangi mereka, mendiskriminasikan mereka dan sering tidak
menerima serta menolak mereka, bahkan pihak keluarganya sendiri juga menolak
keberadaan mereka.
Remaja adalah bagian dari masyarakat. Oleh karena itu dapat diasumsikan
bahwa remaja juga cenderung akan bersikap negatif terhadap kaum waria. Asumsi ini
juga diperkuat dengan adanya sistem nilai, norma dan agama yang ada di masyarakat
yang juga akan mempengaruhi sikap seseorang terhadap suatu hal. Selain itu, jika kita
cermati informasi yang sering kita dapat baik melalui media cetak dan media elektronik
mengenai waria lebih cenderung menampilkan informasi mengenai kaum waria yang
negatif, seperti razia kaum waria di jalan, demonstrasi penolakan pemilihan miss waria,
dan hal-hal negatif lainnya yang dilakukan oleh kaum waria. Informasi yang ada jarang
sekali yang menampilkan informasi mengenai kaum waria yang berprestasi dan kegiatan
positif mereka lainnya. Padahal informasi ini akan mempengaruhi sikap orang yang
mendapatkan
informasi tersebut termasuk remaja.

L. Penolakan Lingkungan Pada Waria


1. Pengertian Penolakan Lingkungan
Dalam kamus psikologi (Kartono & Gulo, 1987), penolakan diartikan sebagai
proses mengeluarkan seseorang atau sesuatu dari perhatian (kasih sayang) seorang
lainnya atau pun keadaan yang timbul dari proses tersebut; menganggap seseorang
atau sesuatu tidak memiliki arti. Dalam kamus Psikologi (Reber & Reber, 2010),
penolakan diartikan sebagai kegagalan atau ketidakmampuan untuk berasimilasi atau
menerima. Terdapat sebuah sistem atau struktur yang menyangkal atau gagal
memadukan suatu hal. Sama halnya dengan yang dialami oleh waria dengan penolakan
yang ditunjukkan oleh lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa penolakan adalah
ketidakmampuan menerima seseorang atau suatu kelompok sehingga dianggap tidak
memiliki arti dan disangkal oleh lingkungan sekitarnya.
2. Penyebab Penolakan Lingkungan
a. Nilai Budaya Masyarakat Indonesia
Faktor yang menyebabkan terjadinya penolakan terhadap waria dalam masyarakat
adalah nilai budaya yang dianut masyarakat Indonesia bahwa jenis kelamin manusia
hanyalah laki-laki dan perempuan, dengan identitas gender maskulin dan feminin.
Sehingga waria yang memiliki jenis kelamin laki-laki namun memiliki identitas gender
feminin dianggap tidak normal oleh masyarakat. Waria dianggap menyimpang dari nilai
agama dan budaya masyarakat umum karena penampilan fisiknya sehingga
keberadaannya tidak diakui oleh lingkungannya (Yuliani, 2006).

b. Prasangka
Prasangka diartikan sebagai sikap atau pandangan terhadap individu atau kelompok
individu yang terlibat dalam suatu kelompok tertentu. Pada umumnya, prasangka
mengarahkan pada tindakan diskriminasi (Baron & Birne, 2004). Waria sering
dihubungkan dengan prostitusi, seks bebas, penyakit seksual, sampah masyarakat, dan
kurang berpendidikan. Masyarakat cenderung menganggap kaum waria sebagai momok
sehingga cenderung mengucilkan dan menunjukkan sikap diskriminatif. Adapula yang
menganggap bahwa kecenderungan sebagai waria dapat menular sehingga masyarakat
cenderung menarik diri dan takut berdekatan dengan waria (Santoso, 2007; Yuliani,
2006).

3. Bentuk Tindakan Penolakan Lingkungan Pada Waria


Masyarakat luas menganggap waria sebagai lelucon, rendah dan sering dikaitkan
dengan prostitusi. Hal ini memunculkan berbagai tindakan yang mewakili rasa
penolakan terhadap waria diantaranya cemoohan, pengucilan, pengucilan hingga
kekerasan secara fisik maupun verbal (Isniani, 2010; Herdiyansyah, 2007).
Waria juga pada umumnya diperlakukan diskriminatif dan tidak memperoleh
kesetaraan secara hukum dalam hak-hak sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Waria
dianggap menyimpang secara budayadan agama karena berperilaku feminine, memiliki
ketertarikan seksual terhadap sesama jenis sehingga dianggap sebagai cacat sosial
yang patut dikucilkan dan disingkirkan. Waria juga sering dilecehkan di tempat umum,
disingkirkan dari aktivitas sosial, tidak diberi akses untuk mendapatkan fasilitas publik,
tidak diakui identitasnya dan menjadi korban tindak kekerasan aparat (Yuliani, 2006).
Bahkan waria juga sulit diterima dalam pekerjaan umum karena statusnya sebagai waria
sehingga kesempatan kerja baginya sangat terbatas. (Putri & Sutarmanto, 2007; Yuliani,
2006).
Dalam keluarga, waria umumnya ditolak dengan kemarahan dan kesedihan dari
orang tuanya karena anaknya dianggap tidak normal. Orang tua cenderung memukul,
mengusir dari rumah, atau justru mengabaikan anaknya yang memilih hidup sebagai
waria (Atmojo, 1986).

4. Reaksi Waria Terhadap Penolakan Lingkungan


Dengan adanya penolakan terhadap kehadirannya, waria cenderung mengisolasi diri
dan membentuk komunitas sendiri. Hal ini mereka lakukan karena pada saat itulah
mereka merasa bahagia dan diakui. Berkaitan dengan penolakan yang dialaminya di
keluarga, waria
cenderung melarikan diri dari rumah menuju kota-kota besar untuk bergabung dengan
rekan senasib (Atmojo, 1986). Waria juga mengalami rasa rendah diri, kecemasan,
menarik diri, dan depresi (Yuliani, 2006; Herdiansyah, 2007). Dalam bidang pekerjaan,
waria cenderung memilih untuk mempertahankan penampilan fisiknya sebagai waria
daripada mengorbankan identitasnya untuk memperoleh pekerjaan formal. Waria
memiliki identitas gender yang kuat bahwa dirinya memiliki kepribadian feminin sehingga
sulit diubah meskipun dipaksa oleh lingkungannya (Yuliani, 2006).

5. Akibat Penolakan Lingkungan pada Waria


a. Distress
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kross, dkk (2011), orang yang ditolak
mengalami distress yang kuat terutama jika ditolak oleh orang dengan relasi yang lebih
dekat. Waria mengalami berbagai distress berupa kecemasan, depresi, bahkan rendah
diri yang mengarahkan pada psikopatologi bahkan keinginan untuk bunuh diri terutama
berkaitan dengan penolakan yang diterimanya dari lingkungan.

b. Sakit fisik sebagai reaksi Psikologis


Individu yang mengalami penolakan dari lingkungan merasakan sakit yang setara
dengan sakit secara fisik. Hal ini dikarenakan penolakan dan rasa sakit secara fisik
memiliki sistem somatosensori yang sama di area otak sehingga dapat mengarahkan
individu memiliki physical pain disorder (Kross, Berman, Mischel, Smith & Wager, 2011).

c. Numbness (mati rasa)


Dalam hasil penelitian DeWall dan Baumeister (2006), penolakan sosial
menyebabkan perubahan yang signifikan dalam pengukuran rasa sakit, yang
menyebabkan mati rasa secara emosional pada orang yang ditolak. Individu yang
ditolak, mengalami ‘kemacetan’ emosional,
yang mengurangi empati mereka terhadap orang lain (Baumeister, DeWall & Vohs,
2009).

d. Ruang gerak sosial menjadi terbatas


Penolakan dalam lingkungan yang dialami oleh wariamerupakan sikap antipasti
dari masyarakat yang mempengaruhi ruang gerak pergaulan sehari-hari. Tak jarang hal
ini membuat lapangan kerja bagi waria menjadi lebih sempit karena pandangan
masyarakat umum terhadap waria. (Atmojo, 1986). Selain itu, dengan ditolaknya
konstruksi gender waria, mereka dihadapkan pada rumitnya legalitas norma yang
berkaitan dengan hak dan kewajibannya. Kesempatan kerja bagi waria pun menjadi
sangat terbatas karena sulit ditemukan pekerjaan formal yang mau mempekerjakan
waria tanpa memaksanya berpenampilan sebagai laki-laki. Bidang kerja yang identik
dengan waria adalah bekerja atau membuka salom kecantikan atau menjadi PSK (Putri
& Sutarmanto, 2007; Yuliani, 2006).

M. Gambaran Sikap Remaja terhadap Kaum Waria

Sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang terhadap suatu obyek
yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan dasar untuk
membuat kecenderungan berperilaku atau merespon obyek tersebut dengan cara
tertentu. Seperti yang sudah diuraikan dalam bab sebelumnya, sikap terdiri dari tiga
komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif adalah komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan tentang obyek, komponen afektif adalah komponen yang berhubungan
dengan perasaan atau emosional respondentif terhadap obyek tertentu, sedangkan
komponen konatif adalah komponen yang berhubungan dengan kecenderungan
bertindak terhadap obyek (Azwar, 1998).
Tekait dengan hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa keempat subyek
mendapatkan bermacam-macam informasi mengenai waria. Informasi tersebut pun
berbeda-beda karena latar belakang subyek yang berbeda-beda. Akan tetapi, nformasi
yang didapat tidak begitu saja diterima. Keempat subyek tetap menyikapi kaum waria
berdasarkan pemikirannya sendiri secara kritis dan obyektis.
Melihat hasil penelitian ini, sikap remaja terhadap kaum waria bisa dikatakan
positif dan cenderung menerima. Sikap tersebut muncul karena pemikiran dan
pengolahan masing masing subyek sendiri berdasarkan informasi dan pengalaman yang
didapatkan subyek. Perbedaan tempat tinggal subyek yang menyebabkan informasi
yang didapatkan subyek berbeda-beda tidak begitu saja diterima oleh subyek untuk
menyikapi kaum waria. Subyek tetap menyikapi kaum waria bedasarkan pemikirannya
sendiri dan berdasarkan keadaan yang
sesungguhnya. Sebagai contoh, subyek mengetahui bagaimana sikap warga sekitar
tempat tinggalnya, teman-teman sebayanya, dan lembaga pendidikan dan
kemasyarakatan atau sekolah yang berbeda-beda, yaitu ada yang bisa menerima dan
ada yang tidak. Akan tetapi, dari perbedaan tersebut, keempat subyek tetap bersikap
positif dengan menerima kaum waria.
Tidak semua kaum waria disikapi positif dengan diterima oleh remaja. Seperti
yang telah diuraikan di atas, remaja belum bisa menerima kaum waria yang yang suka
mangkal dan menggoda di pinggir-pinggir jalan atau menjadi PSK karena takut, jijik dan
lain-lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa diterima atau tidak kaum waria,
tergantung dari perilakunya sendiri.Untuk meningkatkan kualitas penelitian ini, peneliti
menggunakan validitas komunikatif, yaitu mengkonfirmasikan kembali data dan
analisisnya kepada subyek penelitian. Selain itu, peneliti juga secara terbuka
mendiskusikan proses penelitian dan hasil temuan dari pengumpulan data dengan pihak
lain, yaitu dengan dosen pembimbing, teman, sesama peneliti, dan pihak lain yang
dianggap kompeten sehingga mendapatkan saran dan kritik untuk meningkatkan
kualitas penelitian ini. Selain validitas, peneliti juga menggunakan reliabilitas yang telah
ditempuh dengan cara menggunakan alat perekam saat wawancara,
memberikan uraian deskriptif yang konkret, catatan ucapan, dan percakapan verbatim
sehingga tidak menimbulkan tafsiran yang beragam. Selain itu, peneliti melampirkan
penelitian lain mengenai waria yang hasilnya kurang lebih sama dengan penelitian ini
untuk mendukung kualitas penelitian ini.
Penelitian laintersebut adalah penelitiannya Hariyanti (2004) yang hasilnya
menyebutkan bahwa waria dapat berinteraksi dengan baik di masyarakat sekitar tempat
tinggal waria tersebut.

N. Proses Resiliensi pada Waria terhadap Penolakan Lingkungan


Sebagaimana individu pada umumnya, waria memiliki keinginan untuk dapat diakui
keberadaannya oleh masyarakat umum. Namun demikian, yang sering diterima oleh
waria adalah penolakan berupa cemoohan, pengucilan bahkan tak jarang kekerasan
verbal maupun fisik. Penolakan yang dialami oleh para waria ini tentunya akan
mempengaruhi kondisi psikologis waria yang umumnya berupa distress. Dalam
menghadapi bentuk penolakan dari lingkungan, waria umumnya mengalami kecemasan,
penarikan diri, rendah diri, depresi bahkan keinginan untuk bunuh diri. Tidak hanya
secara psikologis, penolakan yang dialami waria membuat komunikasi sosialnya
menjadi terbatas (Yuliani, 2006; Herdiansyah, 2007).
Selama mengalami penolakan dari masyarakat, waria membutuhkan kemampuan
adaptasi dengan lingkungannya. Dalam hal ini, kemampuan yang dimaksud adalah
kemampuan resiliensi. Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk beradaptasi
secara positif terhadap suatu pengalaman atau keadaan yang dianggap tidak
menyenangkan (traumatis dan sulit). Dalam diri waria, masalah yang sering dihadapi
adalah penolakan dalam masyarakat. Kemampuan ini dibutuhkan agar waria dapat
melihat hal-hal positif dalam dirinya sendiri, terlepas dari penilaian negatif yang diberikan
lingkungan terhadapnya.
Dalam prosesnya mengembangkan kemampuan resiliensi, waria dapat
melakukannya dengan melihat kualitas pribadi yang positif, baik yang bersumber dari
dalam dirinya sendiri maupun yang diperolehnya dari lingkungan. Kualitas pribadi positif
yang bersumber dari diri sendiri terutama berkaitan dengan penilaian yang positif
terhadap diri sendiri. Perasaan tersebut antara lain rasa bangga, perasaan dicintai dan
mencintai, bertanggung jawab, percaya diri dan peduli terhadap orang lain. Ketika dapat
menyadari kemampuan-kemampuan tersebut, individu cenderung akan merasa bahwa
dirinya berarti dan tidak lagi memandang rendah dirinya. Kualitas lain dalam proses
waria mengembangkan kemampuan resilien dapat pula bersumber dari orang lain, yakni
adanya hubungan yang dilandasi kepercayaan, terdapat struktur dan aturan yang
mengontrol tindakannya, serta dorongan untuk mandiri. Ada pula kualitas yang berkaitan
dengan kompetensi sosial dan interpersonal, yakni kemampuan berkomunikasi,
memecahkan masalah, mengelola dan mengukur perasaan serta temperamen diri dan
orang lain, serta menjalin hubungan dengan orang yang dipercaya dapat membantunya
ketika dibutuhkan. Kualitas yang baik dalam suatu relasi juga membuat waria cenderunf
mau membaur dengan masyarakat umum karena memiliki landasan rasa aman dalam
dirinya.
Dalam prosesnya memperoleh kemampuan resiliensi, tidak menutup kemungkinan
bahwa waria memiliki lingkungan yang suportif sehingga membantunya mengatasi
masalah yang dihadapi. Misalnya, ketika ditolak oleh keluarga, waria cenderung
bergabung dengan komunitas waria sehingga merasa keberadaannya diakui. Semakin
memiliki lingkungan yang suportif, waria dapat lebih mengembangkan kemampuan
positif dalam diri. Dukungan sosial dirasa sebagai salah satu factor yang dapat
membantu waria untuk lebih percaya diri dalam lingkungan sosialnya.
Individu dengan kemampuan resiliensi yang baik, pada umumnya memiliki
penerimaan diri, personal growth, memiliki tujuan hidup, otonomi, kemampuan untuk
membuat dirinya merasa nyaman dengan lingkungan, serta relasi yang positif dengan
orang lain. Dengan memiliki kemampuan resiliensi, waria dapat mengembangkan sikap
yang lebih positif terhadap dirinya maupun orang lain.
Kemampuan-kemampuan yang ada pada orang resilien tersebut diperoleh dalam
proses hidupnya ketika mendapat pengalaman buruk atau traumatin. Dalam hal ini,
waria dengan oengalaman mendapat penolakan dari lingkungan. Ketika dapat menerima
diri, waria cenderung nyaman untuk berbaur dengan lingkungan sekitar. Hal ini juga
dapat mendorong waria untuk dapat membangun relasi yang positif. Berbeda dengan
waria yang menolak kondisi diri yang cenderung akan bersembunyi karena takut akan
pandangan dan penilaian masyarakat umum. Waria yang resilien cenderung dapat
menerima pengalaman-pengalaman, yang buruk sekalipun, karena dianggap sebagai
resiko terhadap pilihan-pilihan hidupnya. Selain itu, waria yang resilien juga mandiri dan
memiliki tujuan yang positif dan berakar pada nilai-nilai hidupnya dan mengarah pada
kebahagiaan. Hal ini tentunya dapat dikatakan menjadi pegangan untuk para waria
dalam mencapai resiliensi dan tetap memperoleh kenyamanan dalam hidupnya
meskipun terdapat penolakan dari lingkungan.
Penelitian ini menggunakan metode naratif dengan tujuan agar dapat memberikan
keteraturan dari pengalaman-pengalaman yang dituturkan oleh partisipan sehingga
dapat memperoleh makna dari cerita partisipan tersebut (Smith, 2008). Selain itu,
menurut Ricoeur (1984) (dalam Smith, 2008), menegaskan bahwa penelitian naratif
dapat membantu membuat koneksi antara awal hingga akhir, dengan membuat
keteraturan (order), partisipan tidak dapat langsung menuju pada akhir cerita.
PARADIGMA PENELITIAN

WARIA

Penolakan dan diskriminasi dari lingkungan karena


dianggap abnormal

Mengalami rendah diri, penarikan diri, kecemasan, depresi


bahkan bunuh diri. Relasi dan komunikasi sosial menjadi
terbatas

Mengatasi dengan kualitas pribadi yang positif, yakni :


- Menerima diri
- Personal growth
- Memiliki tujuan hidup
- Otonomi
- Nyaman dengan lingkungan
- Relasi positif dengan orang lain

INDIVIDU RESILIEN
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif-
deskriptif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati Bogdan dan Taylor (dalam
Moleong, 1989). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis,
faktual, dan akurat tentang fakta-fakta atau keadaan tertentu, yaitu sikap remaja
terhadap kaum waria. Sedangkan Travers dan Sevilla (dalam Halida, 2004),
mengatakan bahwa data yang diperoleh bertujuan untuk menggambarkan suatu
keadaan yang sementara berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.

B. Unit Penelitian
1. Sikap
Sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek
yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan dasar untuk
membuat kecenderungan berperilaku atau merespon obyek tersebut dengan cara
tertentu.

2. Remaja
Remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seseorang baik laki-laki
maupun perempuan yang berusia 18 – 21 tahun.

3. Waria
Waria adalah seseorang yang mempunyai fisik sempurna sebagai laki-laki,
namun bersifat, bertingkah laku, serta berperasaan seperti wanita sehingga cenderung
menampilkan diri sebagai wanita dan menolak sebagai laki-laki, bahkan mempunyai
keinginan untuk mengubah alat-alat seksnya menjadi wanita dengan cara pembedahan
dan penyuntikan hormon.

C. Subyek Penelitian
Subyek akan diambil dengan teknik pemilihan yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah empat orang remaja yang
bertempat tinggal di Yogyakarta dengan kriteria sebagai berikut :
1. Pria atau wanita yang sedang menempuh pendidikan di SLTA atau pun yang
sudah di perguruan tinggi.
2. Berusia 18 – 21 tahun dengan rincian satu orang berusia 18 tahun, satu orang
berusia 19 tahun, satu orang berusia 20 tahun, dan satu orang berusia 21 tahun.
3. Tahu apa yang disebut waria sesuai dengan definisi operasional.
4. Jarak tempat tinggal subyek dengan lokasi kaum waria biasa berkumpul.
Keempat subyek yang diambil bertempat tinggal di Yoyakarta, mulai dari yang
bertempat tinggal dekat dengan lokasi kaum waria berkumpul hingga jauh dari
lokasi kaum waria biasa berkumpul, yaitu kurang 1 Km, antara 1 Km – 5 Km,
antara 5 Km – 10 Km, dan lebih dari 10 Km. Sejauh penelusuran peneliti, di
Yogyakarta ada beberapa tempat yang sering digunakan untuk mangkal para
waria, yaitu di Parangkusumo, di Jalan Lingkar Selatan, tepatnya di utara pabrik
gula Madukismo yang dikenal dengan sebutan “Krasil”, di sebelah timur
perempatan terminal Giwangan, di taman kota (depan Bank Indonesia), di sekitar
stasiun Tugu dan stasiun Lempuyangan termasuk di perempatan Pengok,
perempatan Galeria, dan Jalan Kaliurang mulai perempatan mirota kampus
sampai perempatan Barek.

Pengambilan subyek didasarkan pada jarak tempat tinggal subyek dengan lokasi
kaum waria biasa berkumpul karena diasumsikan bahwa subyek yang tempat tinggalnya
dekat dengan lokasi kaum waria biasa berkumpul, akses pengetahuannya tentang waria
lebih banyak karena lebih sering melihat dan memperhatikan kaum waria dan tentu hal
ini akan mempengaruhi sikap mereka. Sedangkan subyek yang tempat tinggalnya jauh
dari lokasi kaum waria biasa berkumpul diasumsikan akses pengetahuannya tentang
waria lebih sedikit dibanding yang dekat sehingga mungkin akan terjadi perbedaan sikap
antara subyek yang dekat dengan subyek yang jauh tempat tinggalnya dengan lokasi
kaum waria biasa berkumpul. Dengan kriteria di atas diharapkan mampu mewakili
populasi remaja yang ada sehingga subyek bisa representatif dan sesuai dengan tujuan
penelitian.

D. Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan teknik wawancara dalam memperoleh datanya.
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu (Banister dkk, dalam Poerwandari 2005). Wawancara ini dilakukan untuk
memeperoleh pengetahuan tentang makna-makna subyektif yang dipahami individu
berkenaan dengan topik yang diteliti, yaitu sikap remaja terhadap kaum waria.
Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan
pedoman umum. Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi dengan pedoman
wawancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa
menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit.
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek
yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek
yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2005).
Secara umum, isi wawancara yang akan ditanyakan kepada subyek ini
mencakup dua hal, yaitu peneliti menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan proses
pemahaman dan interpretasi subyek terhadap obyek yang diteliti. Sedangkan hal yang
kedua adalah pertanyaan mengenai perasaan yang melibatkan proses evaluasi dan
dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang aspek afektif dalam diri subyek,
misalnya tentang respon-respon emosional subyek terhadap pengalaman dan
pemikiran-pemikiran mereka atas sesuatu (Poerwandari,2005). Untuk komponen konatif,
pertanyaan dibuat untuk mengetahui kecenderungan perilaku subyek terhadap obyek
yang diteliti yaitu kaum waria.
Dalam proses wawancara terhadap subyek juga akan dilakukan pengembangan
pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih beragam. Dalam hal ini akan
dipertanyakan pula tentang pengalaman subyek berkaitan dengan kaum waria, apakah
ada pengaruh dari orang lain, ataupun budaya serta media massa dalam proses
pembentukan sikap serta adakah faktor emosional.

E. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti dalam
pelaksanaan penelitian ini. Tahapan tersebut antara lain:
1. Mengumpulkan kajian literatur yang berkaitan dengan data penelitian, yakni
waria, penolakan lingkungan dan resiliensi. Data yang dikumpulkan diperoleh
dari buku, jurnal, artikel serta infomasi lain yang berkaitan dari internet.
2. Peneliti menentukan karakteristik partisipan dan menentukan sampel yang
akan menjadi partisipan.
3. Peneliti bertemu dan membangun rapport dengan partisipan. Selain itu,juga
ditanyakan mengenai kesediaan menjadi partisipan dalam penelitian ini.
4. Menyusun pertanyaan yang akan dijadikan sebagai panduan untuk
melakukan wawancara.
5. Sebelum melakukan wawancara, peneliti juga terlebih dahulu meminta
kesediaan menjadi partisipan penelitian dengan menandatangani inform
consent yang berisi proses pengambilan data, serta akibat dan hak-hak yang
diperoleh partisipan ketika melakukan proses wawancara.
6. Menghubungi partisipan untuk membuat kesepakatan mengenai waktu dan
tempat wawancara.
7. Setelah proses wawancara, hasil wawancara dibuat menjadi data verbatim
oleh peneliti yang diperoleh dengan bantuan sound recorder. Hasil verbatim
juga diberikan keterangan kode-kode.
8. Melakukan analisis sesuai dengan metode yang sudah ditentukan. Tahap ini
juga diawasi dan dikoreksi oleh dosen pembimbing sehingga tercapai
maksud dan tujuan penelitian.
9. Hasil data yang sudah dikonsultasikan kemudian ditarik kesimpulannya
sehingga diperoleh saran bagi waria, masyarakat dan peneliti lain.

F. Teknik Pemantapan Kredibilitas Penelitian


Penelitian fenomenologis ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Yin (2003)
dalam (Mukhtar, 2013) mengajukan empat kriteria keabsahan dan keajegan yang
diperlukan dalam suatu penelitian pendekatan kualitatif. Empat hal tersebut sebagai
berikut:
1. Keabsahan konstruk (construct validity)
Keabsahan bentuk batasan berkaitan dengan suatu kepastian bahwa
yang diukur benar-benar merupakan variabel yang ingin diukur. Keabsahan ini
juga dapat dicapai dengan proses pengumpulan data yang tepat. Salah satu
caranya adalah dengan proses triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Menurut Patton (dalam
Bungin, 2011) ada empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk
mencapai keabsahan, yaitu:
a. Triangulasi data
Menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil
wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu
subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda.

b. Triangulasi pengamat
Adanya pengamat di luar penulis yang turut memeriksa hasil
pengumpulan data.

c. Triangulasi teori
Penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data
yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. Pada penulisan ini, berbagai teori
telah dijelaskan pada bab 2 untuk dipergunakan dan menguji terkumpulnya data
tersebut.

d. Triangulasi metode
Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode
wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi pada saat
wawancara dilakukan.

2. Keabsahan internal (internal validity)


Keabsahan internal merupakan konsep yang mengacu pada seberapa
jauh kesimpulan hasil penelitian menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.
Keabsahan ini dapat dicapai melalui proses-proses analisis dan interpretasi yang
tepat. Aktivitas melakukan penelitian kualitatif akan selalu berubah dan tentunya
akan mempengaruhi hasil dari penelitian tersebut.

3. Keabsahan eksternal (external validity)


Keabsahan eksternal mengacu pada seberapa jauh hasil penelitian dapat
digeneralisasikan pada kasus lain. Walaupun dalam penelitian kualitatif memiliki
sifat tidak ada kesimpulan yang pasti, penelitian kualitatif dapat dikatakan
memiliki keabsahan eksternal terhadap kasus-kasus lain selama kasus tersebut
memiliki konteks yang sama.

4. Keajegan ( reliability)
Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian
berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang
sama. Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan selanjutnya
memperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan
subjek yang sama.
Hal ini menunjukan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain
menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan
pengelolahan data. Dalam penelitian ini menggunakan kredibilitas penelitian
yaitu, keabsahan internal dan eksternal karena mencoba menggambarkan
realitas yang sesungguhnya dan melihat perbedaanya dengan teori.
Alasan lainnya menggunakan kredibilitas penelitian ini karena penelitian ini
kualitatif yang akan terus berubah jika penelitian ini telah selesai dan tidak ada
kesimpulan yang pasti.

G. Analisis Penelitian
Dalam setiap penelitian perlu disertakan standar yang dipakai untuk
mengevaluasi penelitian tersebut. Begitu pula dengan jenis penelitian kualitatif, untuk
dapat menjadi suatu penelitian yang baik harus mampu memenuhi standar-standar
tertentu. Standar-standar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kredibilitas
Kredibilitas dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut
kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005). Kredibilitas studi kualitatif
terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau
mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang
kompleks.
Istilah kredibilitas ini pada dasarnya merupakan pengganti konsep
validitas. Namun, beberapa peneliti tetap menggunakan istilah validitas. Stangl
(1980) dan Sarantakos (1993) menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif,
validitas dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui
orientasinya, dan upayanya mendalami dunia empiris dengan menggunakan
metode paling cocok untuk pengambilan dan analisis data (dalam Poerwandari,
2005). Konsep yang digunakan antara lain validitas kumulatif, validitas
komunikatif, validitas argumentatif dan validitas ekologis. Validitas kumulatif
dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang sama menunjukkan
hasil yang kurang lebih serupa. Validitas komunikatif dilakukan melalui
dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya kepada subyek penelitian.
Validitas argumentatif dapat tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan
dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat
kembali ke data mentah. Sementara itu, validitas ekologis menunjuk pada sejauh
mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari partisipan yang diteliti, sehingga
justru kondisi “apa adanya” dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting
penelitian (Sarantakos, dalam Poerwandari,2005).
Dalam penelitian ini, langkah-langkah peneliti dalam melakukan analisis
adalah sebagai berikut:
1. Membuat verbatim berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan
bantuan tape recorder.
2. Membuat kode-kode atas tema-tema utama yang muncul untuk diberikan
pada proses kategorisasi.
3. Melakukan kategorisasi terhadap tema-tema utama yang muncul dari
verbatim wawancara dengan kode-kode yang telah dibuat sebelumnya;
4. Melakukan cross check dengan subyek untuk mendapatkan validitas atas
data yang diperoleh peneliti.
5. Peneliti juga secara terbuka mau mendiskusikan proses penelitian, hasil
temuan dari pengumpulan data tersebut dengan pihak lain, seperti dengan
sesama peneliti yang sedang melakukan penelitian dan juga dengan dosen
pembimbing, sehingga dimungkinkan mendapatkan saran dan kritik yang
bisa meningkatkan kualitas atau kepercayaan dari penelitian ini.

b. Dependabilitas
Dependabilitas menggantikan istilah reliabilitas. Melalui konstruk
dependabilitas, peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan yang mungkin
terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai
hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti. Yang
dapat dilakukan adalah mengkonsentrasikan diri pada pencatatan rinci fenomena
yang diteliti, termasuk interrelasi aspek-aspek yang berkait. Dengan melakukan
pencatatan rinci tersebut, peneliti mengundang orang lain untuk mempelajari
dengan seksama hasil penelitian tersebut. Akhirnya, dengan data mentah yang
terkumpul lengkap dan diorganisasikan dengan baik, peneliti memungkinkan
pihak lain untuk mempelajari data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis bila
perlu, bahkan melakukan analisis kembali (Marshall dan Rossman, dalam
Poerwandari, 2005).

Langkah-langkah yang dilakukan peneliti untuk mencapaidependabilitas


penelitian adalah sebagai berikut :
1. Pemberian uraian deskriptif yang konkret, catatan ucapan, dan percakapan
verbatim, kutipan yang cermat sehingga tidak memberi kemungkinan tafsiran
yang beragam.
2. Pencatatan info dengan alat mekanis seperti alat perekam sehingga respon dari
subyek dapat ditangkap dengan cermat dan jelas.
3. Port folio, yaitu mencatat hal-hal penting yang muncul saat wawancara
dilakukan. Penyatuan dependabilitas dan konfirmabilitas. Konfirmabilitas
merupakan suatu bentuk obyektifitas dalam penelitian kualitatif. Obyektifitas
disini dalam pengertian transparansi, yaitu kesediaan peneliti untuk
mengungkapkan secara terbuka proses dan elemen-elemen penelitiannya
sehinga memungkinkan pihak lain melakukan penilaian (Sarantakos, dalam
Poerwandari, 2005).
LAMPIRAN PEDOMAN WAWANCARA

1. Apa yang anda ketahui tentang waria?


2. Sepengetahuan anda apa saja kegiatan kaum waria?
3. Apakah anda kenal satu atau lebih waria? (siapa, dimana, bagaimana bisa kenal)
4. Apakah anda tahu satu atau lebih kaum waria yang berprestasi dalam
pendidikan, artis atau yang lainnya?
5. Dari mana anda mendapatkan informasi mengenai waria?
6. Bagaimana perasaan anda terhadap kaum waria yang berprestasi seperti di
pemilihan ratu waria, menjadi artis, dan lain-lain?
7. Apakah anda mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan kaum waria?
8. Setahu anda, bagaimana pendapat atau pandangan warga sekitar tempat tinggal
anda terhadap kaum waria? (mengapa)
9. Setahu anda bagaimana perlakuan warga sekitar tempat tinggal anda terhadap
kaum waria? (menerima / tidak)
10. Bagaimana perasaan anda melihat perlakuan warga sekitar tempat tinggal anda
terhadap kaum waria?
11. Bagaimana perasaan anda jika saat sendirian di suatu tempat, tiba-tiba anda
didatangi oleh seorang waria? (apa yang akan anda lakukan)
Wawancara responden 1 :
Nama : TYS
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 21 tahun

A : Apa yang anda ketahui tentang waria?


TYS : E... apa ya, waria... kalau menurut saya cenderung ke ini, sifat bawaan
seseorang yang, e..., beda, maksudnya nggak wajar gitu ajalah, biasanya kan kalau sifat
bawaan seseorang gitukan yang cowok cowok cewek cewek, tapi kalau waria itu, misal
cowok tapi punya sifat bawaan cewek, maksudnya kurang wajar gitu ajalah, tapi
cenderung ke sifat bawaan, sifat bawaan seseorang.
A : Cuma itu ya?
TYS : he-em he...he...
A : Terus, sepengetahuan anda apa saja kegiatan kaum waria?
TYS : Kegiatan kaum waria paling ya... mengamen gitu ya, ngamen terus e... nggak
tahu sih cuma perkiraan aja kaya m..., kaya yang berhubungan dengan seksual gitu lo,
kaya pemenuhan kebutuhan seksual.
A : Semacam psk gitu?
TYS : Semacam psk ho-o.
A : E... terus apakah anda kenal satu atau lebih waria?
TYS : O belum, sejauh ini nggak kenal, maksudnya nggak, belum pernah kenal waria.
A : E... terus apakah anda kenal satu atau lebih waria?
TYS : O belum, sejauh ini nggak kenal, maksudnya nggak, belum pernah kenal waria.
A : E... kemudian apakah anda tahu satu atau lebih kaum waria yang berprestasi
misalnya dalam pendidikan, artis, atau yang lainnya?
TYS : Siapaya?, itu lo artis... apa, artis itu lo, si...e..., yang malah dia sakit terus
meninggal.
A : Avi?
TYS : Na Avi, ho-o, Avi itu, saya kira dia berprestasi di bidang apa
entertainment ya, di juga m, walaupun dia waria tapi dia mampu memaksimalkan potensi
yang
dimilikinya, yaitu di bidang entertainment itu.
A : Sebagai itu ya, artis video klip itu ya?
TYS : He-em, iya, iya.
A : E, terus, e... itu tadi kan informasi tentang waria, kira-kira dari mana, dari mana
anda mengetahui segala macam informasi itu tadi?
TYS : M... dari temen (sambil tertawa), ho-o dari temen, terus pernah baca buku, tapi
lupa karangannya siapa, tapi pernah lah baca berita itu juga, aktifitas waria biasanya itu,
e...mereka cenderung ke pemenuhan kebutuhan seksual terus di, dia PD banget jadi
waria, kira-kira itulah.
A : Dari buku dan teman?
TYS : he-e, dari buku sama teman.
A : Terus, bagaimana perasaan anda terhadap kaum waria yang berprestasi,
seperti tadi Avi atau kalau ada berita yang terakhir ini tentang pemilihan ratu waria dan
sebagainya?
TYS : Perasaannya biasa aja, tapi kalau untuk waria berprestasi seneng ya,
maksudnya seneng, senengnya tu mereka bisa memanfaatkan potensi yang mereka
miliki jadi nggak, nggak sekedar nongkrong-nongkrong aja maksudnya melakukan hal
yang nggak
berguna gitu, ya sedikit banggalah sama mereka bisa menjadi contoh buat
waria-waria lain, paling nggak, nggak minder, mensyukuri keadaan gitu aja.
A : Terus e... apakah anda mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan
kaum waria?
TYS : Sejauh ini belum (sambil tertawa).
A : Maksudnya diameni atau gimana?
TYS : O iya, kalau, kalau ketemu waria ngamen itu sering, kan sering makan di Jakal
(Jalan Kaliurang) nah, jadinya ketemu waria-waria gitu, ngamen, terus, terus ya cuman
ketemu
pas ngamen aja, tapi kalau kenal gitu nggak.
A : Pengalaman diameni, saat diameni itu apa yang ada di pikiran anda?
TYS : Ya kadang malah takut, takutnya tu kadang kan saya mikirnya gini, jangan-
jangan kalau saya nggak ngasih mereka juga, maksudnya sifat laki-lakinya tu langsung
keluar, takutnya itu deh, tapi kadang juga merasa kasihan, o iya-ya wah mereka itu
dilahirkan dengan sifat bawaan seperti itu, terus mereka harus bekerja, maksudnya kan
ada ya
beberapa kalangan yang tidak bisa menerima, menerima kondisi mereka seperti itu na,
kadang timbul rasa kasihan, wah mereka masih harus berjuang ini, untuk apa ya
istilahnya
mempertahankan eks, eksistensi mereka dengan, ya cuman, bisanya ya cuman apa,
ngamen, terus nongkrong-nongkrong gitu, kasihan juga sih kadang.
A : Terus setahu anda bagaimana pendapat atau pandangan warga sekitar tempat
tinggal anda?
TYS : Kalau pandangan warga sekitar, e... sekarang mau nyeritain yang di rumah ya,
itu di rumah itu kebetulan ada waria gitu mas, nah pandangan masyarakat sekitar itu
kayaknya, mereka yo masih belum bisa menerima sepenuhnya dengan keadaan seperti
itu, kadang mereka mencibir “wah ngapain itu cowok kok suka ama cowok”, pokoknya
nggak wajar gitu, kadang cibiran-cibiran itu sering timbul, jadi belum ada rasa
menghormati terus rasa o ya ya itu kan bukan salah dia kalau dia itu jadi waria, itu tu
cuman, e itu memang takdir gitu, kadang masyarakat tu belum bisa menerima tetangga
saya yang kebetulan waria seperti itu.
A : E... berarti kira-kira masyarakat sekitar tadi masih, apa ya, menganggap itu
tidak normal, jijik dan sebagainya gitu ya?
TYS : He-em, iya-ya, kebanyakan mereka seperti itu, mungkin kurang pendidikan juga
ya mereka, maksudnya warga sekitar tu cuman taunya ya udah cowok suka ma cowok
gitu, nggak nglihat dari sisi apanya, o itu takdir terus itu gimana-gimana gitu, kurang
menyadarilah.
A : Kira-kira anda tadi mengatakan bahwa masyarakat sekitar masih banyak yang
belum bisa menerima dan sebagainya (responden sambil jawab iya), nah kira-kira
kenapa mereka bisa berpandangan seperti itu?
TYS : E... ya itu mungkin, apa ya, kurangnya pendidikan ya bisa, terus ini kadang
masalah agama, kan iya, kebanyakan agama kan menentang ya adanya apa itu waria,
nggak tau kalau tepatnya kenapa alasannya menentang itu kurang tahu, tapi
masyarakat ini-ni cenderung, mereka tu percaya sama agama tanpa tahu sebenarnya
agama tu bener atau salah mengajarkan, kan tidak semua ajaran agama tu bener ya,
mungkin mereka tu, masyarakat cuman patokannya cuma satu agama, nah agama itu
mengajarkan apa, memberitahukan kalau waria tu, sebenarnya tu, gimana ya, kurang
menerima lah, kurang menerima kondisi waria, na mungkin masyarakat, masyarakat kan
cuma patokannya agama, ya udah agama bilang seperti itu, yo wis kae nggak bisa
menerima sepenuhnya tentang waria gitu.
A : OK, terus setahu anda perlakuan warga sekitar tempat tinggal anda terhadap
kaum waria tadi bagaimana?
TYS : Kalau perlakuannya cuman sejauh mencibir gitu kok, tapi nggak, nggak terus
mengasingkan gitu nggak, cuman, cuman ngejek aja kalau pas ada waria lewat,
pokoknya mereka tu sinis gitu tapi nggak sampai terus melakukan, apa tindakan
kekerasan apa apa gitu enggak, tapi yo... cuman, kadang sadis gitu lah, mencibir, ya
sekedar omongan gitu aja, yang nggak ngenakin.
A : Lalu bgaimana perasaan anda melihat perlakuan warga sekitar tempat tinggal
tadi yang seperti itu, mencibirlah, mungkin sadis dan sebagainya?
TYS : Kalau, yo saya malah kasihan ya sama mereka, maksudnya kok nggak adil gitu
lo kalau warga-warga memperlakukan waria tu seperti itu, soalnya seakan-akan kan,
kalau seperti itu kan salahnya si orang itu ya ngapain jadi waria, padahal kalau ditawarin
pun kita nggak mau jadi waria itu kan sudah takdir gitu yo kasihan aja sama mereka, tapi
juga ada salutnya karena dengan kondisi seperti itu si waria itu tetep ya istilahnya dia
mau berkarya ya khususnya di tempat saya itu ya dia tetep mau bekerja, mau inilah
sosialisasi dengan masyarakat sekitar walaupun masyarakat itu kadang nggak
menerima dia sepenuhnya, salut juga.
A : Nah, sekarang pertanyaan terakhir, bagaimana perasaan anda jika di suatu
tempat anda sendirian, nah tiba-tiba didatangi oleh seorang waria?
TYS : Pertama takut, terus, maksudnya takutnya waduh ngapain ini, spontan aja ya,
tapi ya gimana lah caranya mengendalikan, mengendalikan keadaan ajalah,
mengkondisikan keadaan pie ben rasa takut ini bisa... bisa hilang terus malah bisa
menimbulkan apa ya istilahnya komunikasi yang baik sama si waria itu.
A : Jadi cenderung anda akan melakukan komunikasi dengan waria itu?
TYS : Iya, iya, jadi malah tak ajak berkomunikasi gitu biar sama-sama enak, tapi kalau
tasa takut itu mesti langsung secara spontan itu ada ya mas.
A : Jadi setelah rasa takut muncul, diolah lagi, dinetralkan buat berkomunikasi.
TYS : Iya kak.
N : Ok, ok, ya dah terima kasih ya.
Jawab :OK, sama-sama ya kak.

Wawancara informan 1 :

Nama : AD

Usia : 21 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Isi Wawancara :

A : hallo?

AD : hallo juga

A : Gak mengganggu waktunya kan?

AD : enggak kok, lanjut lanjut.

A : hmm apakah kamu kenal dengan TYS?

AD : Iya kenal.

A : sejak kapan kamu mulai mengenal TYS?

AD : Kenalnya sewaktu kuliah ini sih.

A : selama kamu mengenal TYS pernah gak kalian bertemu waria?

AD : HAHAHA (tertawa dengan suara yang besar) pernah-pernah.


A : ketika bertemu dengan waria tersebut apa yang dilakukan oleh TYS?

AD : dia diem aja si, paling dia ketawak aja ngeliat aku sama temen-temen dia yang
lain gangguin waria itu.

A : apa TYS pernah bersikap tidak baik dengan waria tersebut misalnya seperti
membully gitu?

AD : gak pernah si dia lebih ke diam paling cuma ngeliat temen-temennya yang lain
yang lagi ganggui waria itu.

A : hmm jadi menurut kamu gimana perlakuan TYS kepada seorang waria?

AD : Gimana ya dia kayak peduli gak peduli gitu, cemana ya bilang nya, ya kayak
gak open gitu cuma dia memperhatikan gitulah pokoknya susah aku jelasinnya.

A : Terimakasih ya atas waktunya

AD : Iya sama-sama.

Wawancara informan 2 :

Nama : FDY

Usia : 20 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Isi wawancara :

A : Assalamualaikum.

FDY : waalaikumsalam.

A : kalau boleh tau apakah anda mengenal TYS dengan baik?

FDY : ya kenal kalilah.

A : oh gituya, sejak kapan kamu kenal dengan TYS?

FDY : hmm sejak SMP, dulu waktu SMP kami satu sekolah.

A : selama kamu berteman sama TYS pernah gak kalian jumpa sama yang
namanya seorang waria?

FDY : Hmm pernah, waktu itu kami pulang dari tempat les.
A : saat bertemu seorang waria apa yang dilakukan TYS terhadap waria yang ia
temui?

FDY : apaya? Gak ada si cuma ngebereng (melihat dengan tatapan tajam), he..he..

A : apa TYS pernah bersikap tidak baik misalnya seperti membully waria yang ia
temui.

FDY : Kayaknya gak pernah si, paling cuma ngebereng gitu aja kalo lebih dari itu gak
pernah.

A : jadi menurut kamu bagaimana perlakuan TYS terhadap waria yang ditemuinya?

FDY : Ya gitulah hehe (sembari tertawa kecil) gak ada yang mengganggu si dan gak
ada yang menyimpang perlakuannya.

A : Terimakasih sudah meluangkan waktunya.

FDY : Iya sama-sama.


Wawancara responden 2 :
Nama : RBY
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 20 tahun

A : Apa yang anda ketahui tentang waria?


RBY : Waria itu...pria yang suka memakai pakaian wanita dan bertingkah laku seperti
manusi...eh...wanita.
A : Sepengetahuan anda, apa saja kegiatan kaum waria?
RBY : Ya ada yang di salon, ada yang di jalan-jalan gitu. Kebanyakan sih ya gimana
ya, mereka kurang, mereka kurang berpengalaman dan ketrampilan jadinya banyak
yang ini di jalan-jalanan jadi WTS.
A : Apakah anda kenal satu atau lebih waria?
RBY : Ya aku nggak kenal sih Cuma pernah lihat aja.
A : Lihat dimana, bisa diceritain nggak?
RBY : Ya lihatnya itu ada yang di jalan tapi aku lebih sering lihat ini...disalon-salon.
A : Terus apakah anda tahu satu atau lebih kaum waria yang berprestasi, misalnya
dalam pendidikan, jadi artis atau yang lainnya?
RBY : Saya tahu tapi aku lupa namanya sih...ada yang ini...jadi aktivis waria yang
terpilih jadi ini waria...eh apa ya...kejuaraan waria di Singapura.
A : Tapi lupa namanya ya?
RBY : Iya, lupa.
A : Selain itu?
RBY : Udah, nggak tau.
A : Dari mana anda mengetahui informasi tentang waria?
RBY : Ya...saya tau ini dari tv, dan juga media massa juga disebutkan.
A : Hmm bagaimana perasaan anda terhadap kaum waria yang berprestasi seperti
tadi pemilihan ratu waria atau yang jadi artis tadi?
RBY : Ya...gimana ya, ya bangga juga sih karena mereka itu biarpun ada kelemahan
tapi, mereka berusaha untuk kelebihannya.
A : Terus apakah anda mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan kaum
waria?
RBY : Belum, belum punya pengalaman.
A : Belum pernah? Misalnya di jalan digodain atau mungkin tadi anda bilang di
salon, pernah ke salon waria?
RBY : Ya... cuma ini, mbak potong apa? Cuma gitu doang.
A : Tapi berarti pernah mencoba potong rambut di salon waria ya?
RBY : Ya pernah.
A : Kira-kira saat potong dengan waria dulu, apa yang ada dalam pikiran anda saat
itu?
RBY : Ya nggak ada masalah sih, nggak berpikiran apa-apa yang penting rapi, Gitu
aja hehehe...(tertawa).
A : Nggak merasa... apa ya, mungkin takut atau gimana?
RBY : Enggak lah, ngapain takut dia juga manusia kok ditakutin.
A : Berarti nggak masalah ya?
RBY : Nggak masalah.
A : Terus, setahu anda bagaimana pendapat atau pandangan warga sekitar tempat
tinggal anda tentang waria?
RBY : Mereka sih menganggap sama aja dengan masyarakat yang lain, ya cuma
mereka selalu berjaga-jaga agar ini... nggak jadi gossip yang nggak mengenakkan lah.
A : Gosip yang nggak mengenakkan gimana maksudnya?
RBY : Ya dikirain ini, ya nggak normal lah, suka ma waria lah, ya ada yang seperti itu.
A : O... berarti juga dari omongan orang lain gitu?
RBY : Iya.
A : Setahu anda bagaimana perlakuan warga sekitar tempat tinggal anda terhadap
kaum waria?
RBY : Biasa aja, setelah ini..diajak olah raga seperti voli, sepak bola, diajak
pertandingan.
A : Jadi bisa dikatakan mereka menerima kaum waria?
RBY : Ya mereka menerima lah.
A : Bagaimana perasaan anda melihat perlakuan warga sekitar tempat tinggal anda
tadi yang bisa dikatakan menerima?
RBY : Biasa aja sih.
A : Biasa saja dalam arti bagaimana? Bisa dijelaskan lebih lanjut nggak?
RBY : Ya biasa aja lah. Ini bermasyarakat kan tidak harus yang saling mengucilkan.
Kalau ada yang menerima ya udah, berarti masyarakat itu gimana ya...dapat menerima
orang biarpun itu nggak...e...ya dikatakan nggak normal lah. Tapi juga gimana ya...
kalau aku ngatakan normal-normal juga sih (tertawa).
A : Kalau anda mengatakan normal, berarti tadi anda mengatakan nggak normal
berarti masyarakat itu cenderung menganggap waria tidak normal?
RBY : Iya, soalnya ini, pria kan berperilaku seperti wanita, jadinya ya gimana ya...
perilaku seperti wanita kan gini, mereka juga genit-genit kayak cewek kan (sambil
tertawa).
A : Bisa disimpulkan bahwa walaupun masyarakat menganggap tidak normal tapi
seperti yang anda katakan tadi mereka tetap menerima gitu?
RBY : Ya, mereka tetep menerima.
A : Ok, terus e... pertanyaan terakhir, e... jika suatu saat anda sendirian di suatu
tempat, nah tiba-tiba ada waria yang mendatangi anda, kira-kira e... apa yang anda
rasakan.
RBY : Yang saya rasakan sih ada apa kok mendatangi saya jika ada kepentingan,
yang penting ya, ya saya tanya ada apa, kalau nggak ada kepentingan cuma sekedar
deket aja juga nggak masalah, kalau dia nunggu temennya apa gimana.
A : E... itu tadi bisa dibilang yang ada di pikiran anda, na ini sekarang perasaan
anda saat didekati waria tadi?
RBY : Perasaan saya sih ya nggak masalahlah itu kan sama saja dengan didekatai
sama sesama orang, ya nggak masalah itu juga ciptaan Tuhan.
A : Terus kira-kira apa yang akan anda lakukan?
RBY : Ya kalau, aku kan orangnya gini, kalau nggak diajak bicara dulu kan nggak,
nggak bicara, tapi kalau dia mengajak, menyapa saya dulu ya gantian tak sapa, kami
ngobrol juga nggak masalah.
A : Makasih ya...
RBY : Yuk...

Wawancara informan 1 :

Nama : FN

Usia : 20 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Isi Wawancara :

A : hai (sambil tersenyum)

FN : hallo.

A : boleh kan tanya-tanya tentang RBY?

FN : boleh, tanyak aja.

A : hmm apakah kamu kenal dengan RBY?

FN : Kenal.

A : sejak kapan kamu mulai mengenal RBY?

FN : Kami kenal mulai dari SMP sampai SMA.


A : kamu dan RBY pernah gak kalian bertemu waria?

FN : Salon langganan kami pegawainya waria (sambil tertawa)

A : ketika bertemu dengan waria tersebut apa yang dilakukan oleh RBY?

FN : Gak ada, paling cuma bicara-bicara seadanya aja.

A : pernah gak sih RBY bersikap tidak baik dengan waria seperti membully gitu?

FN : Gak pernah, soalnya waria yang kami jumpai ramah dan baik.

A : Jadi menurut kamu gimana perlakuan RBY kepada seorang waria?

FN : Ya baik-baik aja dia.

A : Terimakasih sudah meluangkan waktunya.

FDY : Iya sama-sama.

Wawancara informan 2 :

Nama : AF

Usia : 20 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Isi wawancara :

A : Assalamualaikum ukhti.

AF : waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatu.

A : SubhanAllah

AF : (tersenyum lebar)

A : Udah bisa kita mulai?

AF : bisa kalipun.

A : kalau boleh tau apakah kamu mengenal RBY?

AF : Iya saya kenal.

A : Sejak kapan kamu kenal dengan RBY?


AF : RBY teman saya SMA.

A : apa kamu dan RBY pernah bertemu dengan seorang waria?

AF : waria? Pernahlah pastinya.

A : saat bertemu waria apa yang dilakukan RBY pada waria itu?

AF : Ya diem aja, soalnya kami ketemunya dijalan sedangkan kami didalam mobil.

A : Apa kamu pernah melihat RBY bersikap tidak baik misalnya seperti membully
waria yang ia temui?

AF : Gak pernah sih, mana berani kami ganggu waria soalnya katanya mereka kalo
marah ngerih mau mengancam gitu.

A : jadi menurut kamu bagaimana perlakuan RBY pada seorang waria?

AF : Ya bagus-bagus aja soalnya dia gak pernah mengganggu waria itu.


A : Udah selesai nih, makasih banyak ya.
AF : Iya sama-sama.
Wawancara responden 3 :
Nama : WCK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 20 Tahun

A : Apakah yang anda ketahui tentang waria?


WCK : Waria itu laki menjadi wanita, setengah laki setengah wanita, tapi aslinya
memang laki.
A : Terus, e...sepengetahuan anda apa saja kegiatan kaum waria?
WCK : Wah tegantung sih kalau, kalau, kaum waria kelas ecek-ecek paling ya mangkal
cari om-om, kalau waria dah kelas atas mungkin ada yang jadi desainer, ada yang
jadi...opo, miss waria, bintang film dan lain-lain.
A : Terus apakah anda kenal satu atau lebih waria?
WCK : Kalau kenal sih nggak ya, paling cuma tahu.
A : Siapa kira-kira?
WCK : Avi, almarhum Avi, Bobi, Bobi artis, ya paling itu aja.
A : Tahunya dari mana, informasi tadi tahunya dari mana?
WCK : Tv dong
A : Ok, terus selain dari televisi, kira-kira dari mana lagi anda mendapatkan
informasi mengenai kaum waria?
WCK : Media cetak, koran, majalah dan sebagainya.
A : Terus bagaimana perasaan anda terhadap kaum waria yang berprestasi, ya
seperti tadi anda mengatakan pemilihan ratu waria, artis, dan lain-lain?
WCK : Bangga dan minder ya, bangganya tu ada orang yang bisa punya kemauan
keras untuk bisa mencapai sesuatu, tapi mindernya juga kaum waria aja bisa kenapa
kita nggak gitu.
A : Terus e... apakah anda mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan
kaum waria?
WCK : Pernah sih, paling-paling ya digodain biasa-biasa lah, waria pada umumnya
paling cuma digodain, dicolak-colek gitu, hi... (sambil menunjukkan ekspresi tidak suka).
A : Gimana prosesnya, bisa diceritain nggak prosesnya saat digoda itu?
WCK : Di... tepatnya di depan Bosa, maksudnya di daerah Duta Wacana, gimana ya,
paling ya lagi naik motor itu atau di... godain gitu aja, biasa aja.
A : Saat digodain itu apa yang muncul dalam pikiran anda?
WCK : Takut, panik, pokoknya campur aduk.
A : Terus, kira-kira apa, saat itu apa yang anda lakukan , kan takut, panik?
WCK : Diem, selebihnya diem, dari pada ditanggepin tar jadi masalah ya kan.
A : E... terus setahu anda bagaimana pendapat atau pandangan warga sekitar
tempat tinggal anda terhadap kaum waria?
WCK : Ya mungkin selebihnya malah biasa-biasa aja ya, kita juga sama-sama
manusia, cari makan, mereka nggak ada hak gitu ya untuk mengatur hidup seseorang.
A : Jadi kira-kira nggak masalah ya?
WCK : Nggak masalah.
A : E... bisa dikatakan menerima nggak untuk warga sekitar?
WCK : Mungkin bisa, soalnya warga sini nggak terlalu pusing lah dengan kayak gitu,
itu pribadi seseorang, artinya itu kehidupan pribadi seseorang, orang lain nggak boleh
ikut campur, ya nggak masalah.
A : Nggak masalah ya, terus e...ada kan yang biasanya mengganggap itu jijik, tidak
normal atau gimana berarti warga sekitar sini tidak menganggap seperti itu?
WCK : Saya rasa tidak.
A : Terus bagaimana perasaan anda melihat perlakuan warga sekitar sini terhadap
kaum waria, kalau anda tadi mengatakan menerima, biasa- biasa aja, nah perasaan
anda bagaimana?
WCK : Ya seneng sih kalau misalnya warga sini bisa menerima waria apa adanya, ya
seneng itu tadi.
A : Mengapa senang?
WCK : Ya karena mereka merasa diterima ya kaum waria merasa diterima dan tidak
di..., tidak dikucilkan di masyarakatkan kita juga ikut seneng, kalau kita lihat ada orang
dikucilkan kita tertawa terbahak-bahak kan ya nggak, ya kita merasa seneng kalau
warga tu dianggep lah.
A : Dimanusiakan gitu ya?
WCK : Dimanusiakan kurang lebih.
A : Ok, pertanyaan terakhir, bagaimana perasaan anda jika saat sendirian di suatu
tempat tiba-tiba anda didatangi oleh waria?
WCK : Nah itu pasti waria yang aneh-aneh, pasti saya akan menolak dengan, yah
dengan speak-speak, dengan halus lah, kalau tetep nggak mau gajul, nggak mau pergi
gajul.
A : Itu kan tindakan, perasaannya kira-kira saat didatangi?
WCK : Pastinya panik lah, panik dan bertanya-tanya ini mau ngapain, tapi kalau
misalnya dalam, di malam hari lagi sendirian di suatu tempat itu pasti kan waria yang
aneh-aneh kan, ya aneh bertingkah laku aneh dan mencari kegiatan yang aneh-aneh itu
pasti ya, kabuuur...
Tanya: Ok, thanks ya.
Jawab: Oke kak.
Wawancara informan 1 :

Nama : MA

Usia : 21 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Isi Wawancara :

A : Assalamualaikum, selamat siang.

MA : Waalaikum salam, iya selamat siang.

A : bisa kita mulai bang?

MA : Oh bisa-bisa.

A : hmm apakah kamu kenal dengan WCK?

MA : WCK? Kenal kalilah (sembari mengeluarkan kata-kata umpatan)

A : sejak kapan kamu mulai mengenal WCK?

MA : Kami satu komunitas.

A : Abang pernah gak bertemu dengan waria ketika bersama WCK?

MA : Seringlah apalagi kalau kami pulang malam lewat jalan GM, banyak kali itu
disana.

A : ketika bertemu dengan waria tersebut apa yang dilakukan oleh WCK?

MA : Paling ganggu-ganggu gitu ajasi kayak manggi-manggil gitu.

A : apa WCK pernah bersikap tidak baik dengan waria tersebut misalnya seperti
membully gitu?

MA : HAHAHA dia gak pernah ngebully gitu paling yang kayak ku bilang tadi cuma
manggil-manggil gitu aja, tapi dulu pernah dia dicolek sama waria dari situ dia
gak pernah lagi ku liat manggil-manggil bencong itu, eh maksudnya waria.

A : hmm jadi menurut kamu gimana perlakuan WCK kepada seorang waria?

MA : Ya sama kayak laki-laki lain kalo lagi jumpa waria lah dek, cemana lagi.

A : Terimakasih sudah meluangkan waktunya.


MA : Iya sama-sama.

Wawancara informan 2 :

Nama : WN

Usia : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Isi wawancara :

A : Selamat siang WN.

WN : Siang, siang, siang. (menjawab dengan penuh semangat)

A : Udah bisa kita mulai wawancarnya?

WN : Bisa kali la, yok bisa yok bisa (sembari tertawa)

A : Apakah WN mengenal WCK?

WN : CK ku itu pasti kenal lah.

A : Sejak kapan kamu kenal dengan WCK?

WN : Dari zaman capek udah jumpa aku sama dia, enggak-enggak becanda dek.
Waktu kuliah inilah aku kenal sama dia.

A : selama berteman dengan WCK perna Jumpa sama yang namanya seorang
waria?

WN : Pernah lah, aku yang lagi yang jempakan dia sama waria itu.

A : saat bertemu seorang waria apa yang dilakukan WCK kepada waria itu?

WN : Diem aja sibangsat itu, katanya gelik dia ngeliat waria karna pernah dia cerita
samaku dicolek-colek dia sama bencong itu.

A : Hmm, apa WCK pernah bersikap tidak baik misalnya seperti membully waria
yang ia temui?

WN : Gak pernah sih, kami ajalah dek yang ganggu-ganggu trauma dia kayaknya
karna di colek itu
A : Jadi menurut kamu bagaimana perlakuan WCK terhadap waria yang
ditemuinya?

WN : Baik dia dek sama waria, mangkanya wariapun tertarik sama dia.
A : Terimakasih sudah meluangkan waktunya.

WN : Iya sama-sama.
DAFTAR PUSTAKA

Andalina, E. R., and Allgerer, A. R. (1991). Sexual Interaction. Toronto: De Health &
Company.

Azwar, Saiffudin. (2005). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta:Pustaka


Pelajar.

Bismoko, J., dan A. Supratiknya. (2004). Pedoman Penulisan Skripsi.

American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder


(5th ed.) DSM – V. Washington, DC
KONSTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT
TERHADAP WARIA

Firman Arfanda, S.ST


Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi dan Dosen
Sosiologi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin. email:
firmanarfanda@ymail.com

Dr. Sakaria, M.Si


Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi dan Dosen
Sosiologi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin. email:
sakaria_anwar_ipb@yahoo.com

ABSTRAK
Waria adalah kaum marjinal yang mendapat tekanan secara struktur dan
kultur. Waria sering dikucilkan bahkan mendapat perlakuan diskriminatif.
Melakukan kajian tentang sikap masyarakat terhadap waria menjadi sangat
penting melihat fenomena ini. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran mengenai sikap masyarakat terhadap waria dilihat dari aspek
pengetahuan, perasaan, dan sikap terhadap waria menurut kecenderungan
perilaku dan harapan-harapan masyarakat. Penulisan ini menggunakan
metode deskriptif dengan studi wacana yang bertujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagai sikap masyarakat terhadap waria.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dominan masyarakat tidak mengetahui
tentang apa dan bagaimana waria itu. Selanjutnya dominan masyarkat
merasa bahwa nilai yang dianutnya bertentangan dengan keberdaan waria
di tengah-tengah masyarakat. Dan yang kebih ekstrim adalah bahwa
masyarakat cenderung menjauhi waria kecuali jika memiliki kepentingan
yang terkait dengan keberadaan dari seorang waria tersebut. Hal yang
demikian itulah yang kemudian mengkonstruksi pemikiran masyarakat
mengenai waria yang lebih cenderung memberi label negatif terhadap kaum
waria.

Kata Kunci : Waria, Sikap, Konstruksi Sosial dan Masyarakat


ABSTRACT
Transvestites are marginalized, under pressure in the structure and culture.
Transvestites are often ostracized even got a discriminatory treatment.
Conduct a study on public attitudes towards transgender becomes very
important seeing this phenomenon. This study aimed to get a picture of
public attitudes towards transgender seen from the aspect of knowledge,
feelings, and attitudes towards transsexuals according to the tendency of
behavior and expectations of society. The writing is descriptive method with
the study of discourse that aims to describe, summarize the various
attitudes towards transsexuals. The analysis showed that the dominant
society does not know about what and how transvestites. Furthermore, the
dominant community feel that contrary to the values espoused keberdaan
transvestites in the midst of society. And the kebih extreme is that people
tend to stay away from transvestites unless it has the benefit associated
with the presence of a transvestite. It is thus that are then construct thinking
about transsexual people are more likely to give a negative label to
transgender.
Key words: Transvestite, Attitude, Social Konstruction and Society

1. PENDAHULUAN
Kehidupan masyarakat Indonesia selama ini hanya dikenal dua katergori jenis kelamin,
yakni laki-laki dan perempuan. Keduanya dikonstruk pada posisinya masing-masing dan
tidak boleh ada yang saling bertukar. Laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan
dengan kefeminimannya serta keduanya diposisikan untuk berpasangan. Tidak ada tempat
untuk laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan dan demikian pula laki-laki
dengan identitas penampilan perempuan atau sebaliknya. Masyarakat terkadang
menganggap hal tersebut adalah keabnormalan yang dianggap berada diluar pola
pengaturan yang sudah baku.
Sebenanrya normalitas dan abnormalitas itu masih samar-samar batasnya.
Kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan sebagai sesuatu yang normal oleah suatu
kelompok, terkadang dianggap abnormal oleh kelompok masyarakat lainnya. Menurut
Ruth Benedict penggolongan kepribadian “normal” dan “abnormal” berhubungan erat
dengan perumusan konfigurasi atau pola kebudayaan dari suatu masyarakat. Hal
tersebut kemungkinan besar tidak berlaku jika keabnormalan tersebut sudah sangat
mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku normal pada umumnya atau
masyarakat dominan berbuat demikian, maka biasanya langsung dinyatakan sebagai
abnormal.
Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah waria yang besar. Menurut
data statistik yang dimiliki Persatuan Waria Republik Indonesia, jumlah waria yang
terdata dan memiliki Kartu Tanda Penduduk mencapai 3.887.000 jiwa pada tahun 2007.
Saat ini menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia bahwa belum adanya data
yang akurat dan mutakhir tentang gambaran atau profil waria. Hal ini menyebabkan sulit
merumuskan kebijakan dan program, serta rencana kerja bagi lembaga atau instansi
terkait melaksanakan koordinasi secara terpadu.
Jumlah waria di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan terbilang cukup banyak.
Perkiraan tersebut didasarkan atas informasi dari salah satu waria yang sering berada
di lokasi tempat dia mangkal selama ini. Selain itu, bukti lain yang mendukung
bertambahnya jumlah waria yaitu adanya festival waria yang beberapa tahun ini
dilaksanakan. Tidak hanya itu, beberapa tahun belakangan sudah ada tempat yang
sering dijadikan “tempat nongkrong” waria.
Masyarakat pada umumnya yang memiliki struktur normatif seperti ‘yang
dianggap baik’, ‘yang dianggap seharusnya’ dan ‘yang menyangkut kepercayaan’.
Stigma masyarakat tentang waria sudah menyalahi normatif yang ada yaitu ‘yang
dianggap seharusnya’. Seorang laki-laki seharusnya menjadi laki-laki dengan
kemaskulinannya dan perempuan seharusnya menjadi perempuan dengan
kefeminimannya serta keduanya diposisikan untuk berpasangan. Menyangkut hal
tersebut dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya dan hukum, waria terkadang
mendapat perlakuan tidak adil seperti pengucilan dari masyarakat atau sulitnya
mengakses lapangan kerja dalam sektor formal. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang
terkandung dalam UUD 45 yang menyebutkan beberapa hak warga negara terkait
dengan hak asasi manusia yaitu :

1) Pasal 28D ayat (1) UUD 45 amandemen kedua: ”Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
2) Pasal 28D ayat (2) UUD 45 amandemen kedua:” Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.”
3) Pasal 28D ayat (3) UUD 45 amandemen kedua:” Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Umumnya normatif masyarakat sebagai pengatur hidup masyarakat, berkembang waria


yang tidak bertindak, berbuat atau menentukan sikapnya yang seharusnya masyarakat
harapkan. Waria adalah korban stigmatisasi. Waria adalah bagian dari yang lain
(fisik,gender, dan presensi seksual), karena itu menyimpang dari apa yang seharusnya
masyarakat harapkan dari nilai budaya, nilai hukum dan agama. Menurut aktivis LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender), Oetomo yang dikutip dalam Kompas (2015),
pandangan atau pendapat orang-orang di Indonesia terhadap homoseksual (itas) dan
transgender (isme) sangat beragam. “Di satu sisi sudah ada kalangan yang dapat
menerima sepenuhnya keberadaan LGBT, seperti kebanyakan aktivis HAM, aktivis HIV
dan banyak pekerja media yang sekuler, maka dalam kenyataan sehari-hari, sebagian
besar orang Indonesia dapat menerima orang yang mereka ketahui LGBT, terutama
Transgender, seperti waria. Tapi, di sisi yang lain ada pula sebagian orang yang
menentang (keras) keberadaan LGBT. Mereka itu, “Umumnya mencampurkan moralitas
agamis yang konservatif, harfiah dan tidak humanis dengan pandangan budaya yang
tidak ilmiah”.
Karenanya tidaklah mengherankan jika kemudian sebagain orang menunjukkan
sikap berupa tanggapan negatif terhadap kehadiran LGBT, khusunya laki-laki gay dan
waria. Tanggapan negatif itu berupa ketakutan, kebencian dan kemarahan terhadap
kalangan LGBT. Transgender adalah orang- orang dengan perilaku yang berbeda
dengan jenis kelamin mereka secara fisik, mereka itu adalah laki-laki yang
berpenampilan perempuan yang dikenal sebagai waria. Ada pula yang mengidetifikasi
dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual dan biseksual. Bahkan, ada yang
menganggap dirinya aseksual. Bisa juga perempuan yang berpenampilan seperti laki-
laki yang dikenal dengan istilah tomboy.
Beberapa daerah kehadiran waria merupakan bagian dari keseharian
masyarakat, tapi di banyak daerah lain waria justru berhadapan dengan stigma (cap
buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Berbeda dengan gay dan lesbian yang
tidak bisa diidentifikasi secara fisik luput dari stigma dan diskriminasi. Beberapa negara,
seperti Eropa Barat, sudah mengizinkan pernikahan di kalangan gay dan lesbian.
Negara-negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis, yaitu: Belanda, Belgia,
Spanyol, Kanada, Afrika Selatan, Norwegia, Swedia, Portugal, Islandia, Argentina,
Meksiko, Uruguay, New Zeland dan Prancis.
Fobia terhadap LGBT muncul karena pandangan dan sikap yang berawal dari
ketidakmampuan sebagai orang bersikap humanis. Dalam bahasa lain Dede
mengatakan sebagian orang tidak bisa menghormati setiap orang sebagai pribadi.
Sebagian lagi terperangkap dalam penafsiran ajaran agama yang harfiah dan tidak
kontekstual. Sebagian lagi dari ketidaktahuan mereka terhadap homoseksualitas, karena
fobia terhadap LGBT bisa mendorong seseorang agresif terhadap LGBT, maka
diharapkan pemerintah merancang kurikulum pendidikan seksualitas yang
komprehensif sejak usia dini sampai dewasa. Tapi, saat ini tantangannya sangat kuat
sekali. Masyarakat sipil seperti wartawan, pembuat film, aktivis HAM, dan aktivis
LGBT sudah lama bergerilya untuk mendorong sikap positif pada masyarakat agar
memahami LGBT sebagai bagian dari masyarakat, namun langkah itu belum cukup.
Berdasarkan hal tersebut, fokus pada artikel ini ingin mengetahui sikap masyarakat
terhadap waria. Sikap tersebut terbagi pada tiga sub yaitu pangetahuan masyarakat
tentang waria, perasaan masyarakat tentang waria, dan kecenderungan perilaku
masyarakat terhadap waria. Sehingga dari fokus tersebut maka tujuannya adalah
untuk mengetahui pengetahuan masyarakat tentang waria, untuk mengetahui
perasaan masyarakat tentang waria dan untuk mengetahui kecenderungan
perilakumasyarakat terhadap waria Sikap masyarakat, menurut Gerungan yang dikutip
oleh Huda dalam artikelnya yaitu “Sikap masyarakat (sikap sosial) dinyatakan oleh
cara-cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek sosial dan
menyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang- ulang
terhadap obyek sosial, dan biasanya sikap sosial itu dinyatakan tidak hanya oleh
seorang saja, melainkan juga oleh orang-orang lainnya atau sekelompok masyarakat”.
Berdasarkan pengertian sikap sosial atau masyarakat yang dikemukakan di atas dapat
disimpulkan bahwa sikap masyarakat merupakan kecenderungan atau kesediaan
berperilaku, apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki adanya
respon. Kecenderungan potensial tersebut sebelumnya didahului oleh dorongan
individu berdasarkan keyakinan terhadap objek-objek sikap atau stimulus yang
diterimanya, utamanya dalam mengahdapi kehidupan di masyarakat. Melalui sikap, kita
memahami proses kesadaran yang menentukan tindakan nyata dan tindakan yang
mungkin dilakukan individu dalam kehidupan sosialnya. Tetapi sikap lebih merupakan
proses kesadaran yang sifatnya individual. Artinya proses ini terjadi secara subjektif dan
unik pada diri setiap individu. Keunikan ini dapat terjadi oleh adanya perbedaan individual
yang berasal dari nilai-nilai dan norma yang ingin dipertahankan dan dikelola oleh
Individu.
Sikap tidak semata-mata ditentukan oleh aspek internal psikologis individu melainkan
melibatkan juga nilai-nilai yang dibawa dari kelompoknya. Kelompok sebaya atau
kelompok masyarakat memberi pengaruh kepada individu. Ada kecenderungan bahwa
seorang individu berusaha untuk sama dengan teman sekelompoknya. Misalnya
seorang anak nakal yang bergaul dengan santri maka kemungkinan akak menjadi anak
baik juga seperti santri. Jadi sikap masyarakat atau kelompok itu lebih dipengaruhi oleh
lingkungannya, sedangkan untuk waria, identitas gender merupakan masalah dasar
kaum waria yang menyebabkan mereka mengalami dua konflik, yaitu konflik psikologis
dan konflik sosial. Konflik psikologis banyak berkaitan dengan keinginan yang
berlawanan dengan keadaan fisiknya. Sedangkan konflik sosial dialami karena
tersingkar dari keluarga dan terisolasi dari pergaulan sosial.
Konflik sosial berdampak dengan adanya tekanan sosial yang dihadapi waria.
Kehidupan waria harus menghadapi tekanan sosial, yaitu paksaan dari lingkungan
yang mengharuskan tingkah laku mereka mau mengikuti kebiasaan yang ada di
lingkungan tersebut. Ada dua tekanan sosial yang dihadapi waria yaitu tekanan dari
keluarga yang biasanya waria dipandang sebagai aib karena dunia waria banyak
dibingkai oleh dunia pelacuran dan perilaku seksual yang abnormal, hal ini biasanya
menjadikan waria tidak betah di lingkungan keluarga. Tekanan selanjutnya adalah
tekanan dari masyarakat biasanya dikarenakan perilakunya yang menyimpang dari
norma (Etty dan Sri, 2011:45).
Menurut Pedoman Umum Pelayanan Waria (2008:8-9), ada dua permasalahan
yang dialamai waria yaitu :

a. Permasalahan Internal
1) Merasa tidak jelas identitas dan kepribadiannya mengakibatkan waria berada
dalam posisi kebingungan, canggung, tingkah laku berlebihan, dampak lainnya
sulit mencari pekerjaan bahkan depresi dan mau bunuh diri.
2) Merasa terasing dan merasa ditolak mengakibatkan para waria meninggalkan
rumah, frustasi, kesepian,mencari pelarian yang seringkali makin merugikan
dirinya.
3) Merasa ditolak dan didiskriminasi mengakibatkan permasalahan terutama dalam
kehidupan sosial, pendidikan, akses pekerjaan baik formal maupun informal.
Implikasinya adalah banyak waria yang merasa kesulitan memperoleh pekerjaan,
pendidikan, maupun terhambat proses interaksi sosial.
b. Permasalahan Eksternal
1) Permasalahan keluarga
Pada konteks integrasi dengan keluarga para waria seringkali dianggap
sebagai aib dan mendatangkan kesialan dalam keluarga sehingga banyak
diantara mereka tidak mengakui, mengucilkan, membuang, menolak,
mencemooh bahkan mengasingkan. Selain itu, keluarga juga menutup atau
menarik diri dari masyarakat
2) Permasalahan masyarakat
Para waria dan komunitasnya dianggap sebagai sosok yang melakukan
penyimpangan yang banyak menimbulkan masalah di lingkungan masyarakat.
Terutama dari segi permasalahan seksual yang dapat mempercepat penyebaran
IMS (Infeksi Menular Seksual) dan HIV/ AIDS. Disamping itu masyarakat juga
mempunyai stigma dan penolakan terhadap waria dan keluarganya sehingga
berdampak pada pengucilan sosial, diskriminasi dan pelecehan serta perlakuan
salah lainnya.
3) Data
Belum ada data yang akurat dan mutakhir tentang gambaran profil waria. Hal ini
menyebabkan sulitnya merumuskan program dan kebijakan, serta rencana kerja
bagi lembaga/instansi terkait dan melaksanakan koordinasi secara terpadu.
4) Kebijakan
Belum optimalnya kebijakan dan peraturan yang memberikan pelayanan sosial
terhadap waria secara terkordinasi, terpadu dan berkelanjutan sehingga
kebutuhan waria terhadap akses ke dunia pendidikan dan pekerjaan belum
memperoleh perhatian yang optimal.
2. METODE ANALISIS

Tulisan ini menggunakan metode yang observasi pasif yaitu melihat fenomena
secara tidak langsung, menggunakan studi pustaka sebagai alat analisis fenomena
tersebut. Menurut M. Nazir (1998) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari
penelaahan terhadap suatu obyek kajian. Teori-teori yang mendasari masalah dan
bidang yang diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu
seorang peneliti dapat memperoleh informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau
yang ada kaitannya dengan penelitiannya. Dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat memanfaatkan
semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya.

3. PEMBAHASAN

Pandangan Atmojo untuk mengetahui bagaimana pengetahuan masyarakat


tentang waria sebagai bagian dari kehidupan sosial, rasanya tak mungkin untuk
dihindari. Meskipun demikian, kebanyakan dari anggota masyarakat belum mengetahui
secara pasti apa dan bagaimana itu waria. Kebanyakan dari masyarakat hanya
mengetahui dan dengan sepihak berpandangan bahwa menjadi waria adalah perilaku
yang menyimpang dan menyalahi kodrat serta melanggar norma-norma agama.
Berperilaku menjadi waria selalu memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada
berbagai masalah, yakni penolakan secara sosial dan bahkan dijadikan lelucon. Lebih
disayangkan lagi, beban paling berat di dalam diri seorang waria adalah beban
psikologis yaitu perjuangan mereka menghadapi “gejolak kewariaannya” terhadap
kenyataan di lingkungan keluarganya. Perlakuan “keras dan kejam” oleh keluarga karena
malu mempunyai anak seorang waria kerapkali mereka hadapi. Meskipun tidak semua
waria mengalami hal seperti itu, tetapi kebanyakan keluarga tidak mau memahami
keadaan mereka sebagai waria. Belum lagi bahwa kebanyakan anggota masyarakat
mengasosiasikan waria dengan dunia pelacuran. Seperti diketahui bahwa pelacuran
dianggap sebagai sesuatu yang hina dan menjijikkan.

Ketidaktahuan masyarakat terutama ayah sebagai modeling anak laki-laki juga


dijelaskan oleh hasil penelitian Francis, (Ekasari 2011) tentang peranan orangtua
terhadap proses pembentukan identitas gender pada waria di dapatkan data bahwa
peranan ayah sebagai figur bagi anak dianggap kurang positif dimata anak.
Kebersamaan dalam melakukan berbagai kegiatan bersama ayah sangat minim. Anak
juga merasa kurang tertarik untuk melakukan aktiitas bersama ayah, padahal aktifitas
bersama merupakan sarana untuk memberikan pelajaran kepada anak tentang
perannya sesuai gender. Ayah cenderung tidak memberikan perhatian dan kasih saying
yang cukup bagi anak, sehingga seringkali ibu yang muncul sebagai pelindung anak.
Ayah juga jarang hadir disaat mereka membutuhkann, sehingga ada jarak serta
ketidakdekatan ayah dengan anak. Akibat sikap ayah tersebut, anak tidak mendapat
contoh untuk menjalankan peran gendernya sebagai anak laki-laki yang seharusnya
didapatkan dari figur ayah.
Oetomo (2003; dikutip Mia, 2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
masyaraka golongan sosial atas ternyata lebih sulit memahami eksistensi waria.
Masyaarkat golongan social atas mempunyai pandangan negatif terhadap waria dan
tidak mau bergaul dengan kaum waria. Akibat dari stigma atau pandangan negatif
tersebut kehidupan waria di masyarakat sangat terbatas dan tersingkirkan, sehingga
waria dikatakan pula sebagai kaum yang paling marjinal.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang waria ini didukung juga oleh hasil
penelitian Mia (2011) yang menyebutkan bahwa tanda-tanda penyimpangan gender
dapat dilihat sejak anak-anak dan terjadi karena adanya proses pembelajaran tentang
gender yang tidak tepat baik oleh orangtua, guru, teman sebaya, lingkungan serta
media massa. Waria remaja memasuki masa pubertas dengan mimpi basah yang
menggambarkan dirinya berhubungan badan dengan sesama jenis, hal ini sangat
berbeda dengan remaja laki-laki lainnya. Kepuasan yang dialaminya pada saat mimpi
basah tersebut menguatkan rasa ketertarikan remaja dengan sesama jenis dan
meyakini bahwa dirinya berbeda dengan yang lainnya.
Akhirnya, citra dunia pelacuran waria kemudian membuahkan pemikiran negatif
pada masyarakat, yang selanjutnya berujung pada diskonformitas akan keberadaannya
dalam beberapa faktor terutama penyempitan kesempatan kerja waria pada sektor
formal. Penelitian-penelitian tentang waria sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para
peneliti dari berbagai kalangan, yakni kalangan jurnalis dan akademisi ilmu sosial.
Tetapi, penelitian tersebut dirasakan belum mampu mengcover beberapa pertanyaan
yang kemudian penulis merasa sangat penting untuk dijawab. Pertanyaan tersebut
menyangkut bagaimana pengetahuan-pengetahuan dan strategi waria berkenaan
dengan penerimaan masyarakat pada ruang-ruang sosial. Pertanyaan ini muncul
karena adanya fakta bahwa sampai saat ini meskipun waria dianggap sebagai kelompok
yang diabaikan dalam masyarakat bahkan cenderung ditolak dengan dasar dalil agama,
namun mereka mampu bertahan hingga sekarang dan penulis yakin mereka akan terus
bertambah selama belum ditemukan cara (kalaupun ada) yang tepat untuk
mencegahnya. Selanjutnya, penulis melihat bahwa penelitian yang ada lebih banyak
hanya mengeksplorasi latar belakang seseorang menjadi waria serta bagaimana
tekanan sosial ketika seseorang hidup sebagai waria.
Tapi penelitian (Umi 2013) menyebutkan adanya anggapan tersebut (waria itu
negatif) waria berusaha dengan caranya masing-masing agar diterima masyarakat seperti
bagaimana ia bisa membawa dirinya dalam masyarakat. Misalnya saja dengan
berdandan tidak mencolok agar tidak menjadi pergunjingan, menjaga sikap, bahkan ada
yang memakai kerudung. Usaha-usaha tersebut merupakan bentuk dari negosiasi agar
kehadirannya diterima oleh masyarakat. Perasaan masyarakat sangatlah berpengaruh
dengan pengetahuaanya. Penelitian yang dilakukan Afanda (2013) di kabupaten pinrang
menunjukkan adanya perasaan ketidaksukaan pada waria. Penyebabnya adalah adanya
tekanan struktur dan kultur yang mempengaruhi internalisasi masyarakat terhadap waria.
Perasaan tidak senang akan kehadiran waria sampai merasa jijik menunjukkan waria
belum disenangi dalam mayarakat.

Penelitian Mia (2011) mendukung hal tersebut bahwa resiko menderit penyakit IMS dan
HIV/AIDS semakin besar karena stigma yang melekat pada waria menjauhkan waria
dari informasi dari informasi kesehatan ataupun memeriksakan kesehatan ke pelayanan
kesehatan. Stigma sebagai orang yang sakit jiwa ataupun menjijikan kepada waria
remaja, tidak hanya menjauhkan waria remaja dari informasi kesehatan, tetapi juga
membuat waria remaja mengalami keterbatasan dalam pergaulannya sehingga tidak
dapat mengeksplorasi potensi yang ada pada dirinya.
Kecenderungan perilaku masyarakat melalui sebuah penelitian yang
dipublikasikan Kompas (2015), pada hahun 2013 Arus Pelangi melakukan penelitian di
tiga Kota Jakarta, Yogyakarta dan Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
89,3% LGBTIQ menerima kekerasan baik verbal, fisik maupun psikis. Total jumlah
tersebut: 46,3% pernah mengalami kekerasan fisik, 79,1% pernah mengalami
kekerasan psikis. Kekerasan banyak terjadi di sekolah yang seharusnya mampu
memberi pencerahan tentang gender. Kekerasan yang diskriminatif yang diterima
membuat kaum LGBTIQ rentan. Acapkali LGBTIQ mencoba untuk bunuh diri sebagai
bentuk kerentanannya. Sejumlah 17,3% LGBTIQ pernah mencoba bunuh diri dan
16,4% pernah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari sekali.
San Fransisco Department of Public Health study (Ekasari 2011) juga mencatat
83% waria melaporkan telah mengalami pelecehan secara verbal, 37 % mengalami
pelecehan seksal/fisik, 46% mengalami diskriminasi di masyarakat dan 37% mengalami
penolakan di dalam keluarga.
Keberadaan data tersebut di atas dapat bermakna bahwa kecenderungan
perilaku masyarakat pada waria dominan diwarnai kekerasan dan penindasan hak
asasi manusia. Hasil penelitian (Umi 2013) mengatakan masyarakat sekarang ini
sudah mulai terbuka dengan keberadaan waria. Mereka melihat waria bukan dari
identitasnya, tetapi dari pribadinya. Masyarakat memang belum bisa menerima
kewariaan seseorang karena menganut esensialisme, tetapi mereka sudah mulai
menghargai waia dan mau berbaur dengan waria. Tapi Penelitian yang dilakukan oleh
Afanda (2013) dalam karya ilmiahnya menunjukkan masih besarnya perilaku negatif
yang diterima oleh waria dalam kesehariannya. Mulai dari dikucilkan, umpatan, sampai
pada perilaku melempari waria dengan batu. Lantas, bagaimana waria dapat survive
sampai sekarang? Penjelasan logis menggunakan tindakan rasional weber, dimana
setiap tindakan individu pasti memiliki tujuan. Weber dalam Soelaeman (2008), tipe
tindakan sosial dasarnya adalah rasionalitas. Rasionalitas instrumental adalah tindakan
rasional yang paling tinggi pertimbangan dan pemilihannya secara sadar berhubungan
dengan tujuan tindakan dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Pada tiap
individu memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui tindakan yang rasional. Waria
walaupun dibenci tetapi tetap merupakan kesatuan dari masyarakat yang dimana
memiliki manfaat. Keluwesan waria dalam hal kecantikan dan mengurus acara
pernikahaan menjadi potensi yang akan selalu dimanfaatkan oleh masyarakat.
Tindakan instrumental masyarakat yang selalu mencari maksud tertentu dapat
menjelaskan ketergantungan masyarakat pada waria dari sisi potensinya. Menurtu
kementerian social (2008) bahwa waria potensial adalah waria yang mempunyai
kapasitas yang dapat dikembangkan untuk kepentingan dirinya, kelompok dan
masyarakat. Misalnya disini waria yang dapat membuka lapangan pekerjaan.
Sedangkan Waria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah waria
yang mengalami gangguan keberfungsian sosialnya seperti waria tuna susila, waria
gelandangan
dan pengemis dan lain sebagainya.

Menurut penelitian (Latiefa 2013) bahwa faktor ekonomi merupakan faktor utama dalam
merekonstruksi identitas. Karena waria yang berhasil merekonstruksi identitas baru
adalah waria yang secara ekonomi mapan. Selain itu juga dipengaruhi oleh lamanya
waria menjadi anggota pesantren. Waria yang baru menjadi anggota pesantren
menjadikan pesantren hanya sebagai sarana untuk belajar dan memperdalam agama
serta belum memanfaatkan pesantren sebagai sarana memperjuangkan identitasnya
dalam masyarakat hanya sekedar untuk menciptakan identitas baru menjadi waria yang
lebih baik untuk diri sendiri. Sedangkan yang ekonominya belum mapan belum berhasil
merekonstruksi identitas baru karena mereka harus fokus memenuhi kebutuhan
hidupnya sehingga belum tercapainya kesadaran untuk merekonstruksi identitas baru.
Berdasarkan Surahman (dikutip dari Mia ; 2011), mengungkapkan waria ditolak
untuk menjadi pegawai negeri, karyawan di kantor kantor swasta, atau berbagai profesi
lainnya, bahkan waria juga mengalami penolakan dan permasalahan dalam mengurus
KTP. Kondisi lain menggambarkan penampilan seperti banci atau waria di dunia hiburan
saat ini menjadi trend dan banyak disukai oleh penonton ataupun pemirsa TV,
sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu alternative untuk mendapatkan
penghasilan. Penampilan seperti banci yang cukup lucu dan menghibur banyak ditiru
oleh masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mendorong
peningkatan jumlah waria. Walaupun begitu, stigma waria sebagai kelompok yang
berperilaku menyimpang ataupun mengalami kelainan jiwa tetap saja melekat pada
waria.
Teori lain yang dapat menjelaskannya adalah interaksionis simbolik. Prinsip dasar
interiaksionis simbolik dalam ritzer (2012) yaitu (1) manusia, tidak seperti hewan-hewan
yang lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. (2) kemampuan untuk
berpikir dibentuk oleh interaksi social.
(3) dalam interaksi sosial orang yang mempelajari makna dan simbol-simbol yang
memungkinkan mereka melaksanakan kemampuan manusia yang khas untuk berpikir.
(4) makna-makna dan simbol- simbol memungkinkan orang melaksanakan tindakan
dan interaksi manusia yang khas. (5) orang mampu memodifikasi atau mengubah
makna-makna dan simbol-simbol yang mereka gunakan di dalam tindakan dan
interaksi berdasarkan penafsiran mereka atas situasi. (6) orang mampu membuat
modifikasi-modifikasi dan perubahan-perubahan itu, sebagian karena kemampuan
mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa
rangkaian tindakan yang mungkin, menaksir keuntungan-keuntungan dan kerugian
relatifnya, dan kemudian memilih salah satu diantaranya. (7) pola-pola tindakan dan
interaksi yang terangkai membentuk kelompok- kelompok dan masyarakat-masyarakat.
Pada dasarnya, interaksionis simbolik dilatarbelakangi paham pragmatis sehingga
setiap perilaku aktor itu memiliki makna dan bagaimana cara aktor tersebut bertindak
sesuai pemaknaannya dalam masyarakat. Pada masalah waria, dimana ada
keuntungan yang masing-masing diharapkan oleh kedua belah pihak. Mereka bertindak
hanya karena tujuan yang ingin dicapai masing-masing. Masyarakat menginginkan
potensi waria sebagai pakar kecantikan dan penghias pengantin, sedangkan waria
membutuhkan lahan mencari nafkah serta penerimaan dari masyarakat agar diterima
walaupun bukan secara personalnya.
Pada dasarnya, ada pemisahan pandangan yang mulai terbuka pada masyarakat
mengenai waria dan pekerjaannya. Kembali lagi menurut penelitian Umi (2013) bahwa
faktor ekonomi merupakan faktor utama dalam merekonstruksi identitas karena waria
yang berhasil merekonstruksi identitas baru adalah waria yang secara ekonomi mapan.
Hal tersebut senada dengan keberhasilan seorang artis Indonesia yang juga
merupakan seorang waria.

4. KESIMPULAN
Sebagai simpulan dari penulisan ini adalah bahwa sikap masyarakat dominan
mengucilkan waria. Pengetahuan masyarakat masih sebatas tentang waria secara
umum. Latar belakang penyebab adanya waria belum terlalu disadari terutama oleh
orang tua dan lingkungan sosialnya, walaupun faktor gen turut mempengaruhinya.
Masih banyak perilaku diskrimanatif dan melecehkan waria pada masyarakat. Walaupun
dalam beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa waria sudah terbuka pada
masyarakat dan masyarakat sudah berbaur tapi dominan masih menolak. Waria pada
umumnya di berikan stigma oleh masyarakat tetapi dapat bertahan karena dari segi
manfaat, masyarakat bergantung pada waria dalam hal kecantikan dan dekorasi
pernikahan. Ini dinilai karena kerja waria lebih memuaskan ketimbang yang non-waria.

5. SARAN

Pada bagian ini penulis menyarankan agar waria sebagai fenomena masyarakat
diberikan prosi yang lebih besar untuk pengkajian pemahaman. Strategii konformitas
yang diajukan peneliti-peneliti selanjutnya pada waria dimaksudkan agar nantinya
walaupun tidak diterima tetapi masyarakat tidak melakukan hal yang melecehkan
secara fisik dalam artian ekstimnya. Lebih dari itu dapat dibuatkan sebuah program
nyata agar nantinya dapat menjadi waria potensial. Adanya potensi pada waria dapat
menjadi potensi agar berfungsi secara sosial di lingkungannya. Waria potensial
mendapat nilai dalam masyarakat karena memberikan manfaat lebih daripada waria
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang notabene merupakan masalah sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, M.Z. (2011). Macam-Macam Lingkungan, Tujuan Serta Fungsi Masyarakat.


Jakarta.
Diunduh dari http//www.masbied.com [21
Juni 2011]. Ahmadi, A. (1990). Psikologi Sosial.
Jakarta: Rinekan Cipta.
Arfanda, Firman. (2013). Sikap Masyarakat Terhadap Waria di Kelurahan Pacongang
Kecamatan Paleteang Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan. (Karya
Ilmiah Akhir / Skripsi ). Bandung: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial
Dayakisni,Tri dan Hudaniah. (2006). Psikologi Sosial Edisi Revisi. Malang: UMM Press.
Departemen Sosial RI. 2008. Pedoman Umum Pelayanan Sosial Waria. Jakarta:
Departemen Sosial
RI.

Ekasari, Mia Fatma. (2011). Studi Fenomenologi : Pengalaman Waria Remaja Dalam
Menjalani Masa Puber di Wilayah DKI Jakarta. (Tesis). Depok : Universitas
Indonesia Fakultas Ilmu Keperawatan. Diunduh dari http://www.mail-
archive.com/forum-pembacakompas@ yahoogroups.com/msg 14167.html

Hurlock, E.B. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan.
Jakarta:Erlangga.

Latiefah, Umi. (2013). Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas (Studi Tentang
Waria Dalam Membangun Identitasnya Melalui Pesantren Waria Al-Fattah
Notoyudan, DIY). (Skripsi). Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi.

Mafthu dan Ruyadi. (1994). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Balai Pustaka.

Mar’at, Samsunuwiyati. (2007). Psikologi Perkembangan. Bandung :Remaja


Rosdakarya

Munandar, Soelaman. (2008). Ilmu Sosial Dasar :Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: Refika

Aditama

Padmiati, Etty dan Sri Salmah. (2011). Waria Antara Ada dan Tiada. Yogyakarta:
B2P3KS Press.

Ritze, George. (2012). Teori Sosiologi : Edisi Kedelapan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Saptono. (2006). Sosiologi. Jakarta: Hibeta.


Sarlito, S.W. (1999). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial.
Jakarta: Balai Pustaka.

Soeryono, Soekanto. (1992). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:PT. Grafinda

Wulansari, D. (2009). Sosiologi Konsep dan Teori. Bandung: Refika Aditama.


IDENTIFIKASI PENYEBAB TRANSGENDER
PADA WARIA DI BANDA ACEH

Barmawi1, Miftahus Silmi2


1
Fakultas Psikologi UIN Ar Raniry, Banda Aceh
2
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Aceh Email :
barmawi_aw@yahoo.com 1 dan miftahul_is@yahoo.com 2

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penyebab transgender pada


waria di kota Banda Aceh. Transgender adalah istilah yang ditujukan kepada
seseorang yang tidak dapat menunjukkan secara spesifik orientasi seksualnya,
adapun transgender laki-laki adalah laki-laki normal, yang memiliki kelamin yang
normal, namun secara psikis merasa dirinya sebagai perempuan. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif terhadap 3 orang responden. Dan menggunakan
teknik pengambilan data dengan wawancara, observasi dan catatan lapangan. Hasil
penelitian menunjukan bahwa ada faktor-faktor penyebab terjadinya transgender di
Kota Banda Aceh antara lain faktor sosial keluarga, lingkungan sekitar dan perbedaan
pola asuh yang diterapkan dalam keluarga masing-masing responden memberikan
pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan.

Kata kunci: identifikasi, transgender dan waria.

ABSTRACT

This study aims to identify the factors causing the transgender transvestites in the city
of Banda Aceh. Transgender is a term that is addressed to someone who can not
identify specifically their sexual orientation, while transgender men is a normal man,
who had a normal sex, but psychologically feel themselves as women. This study
used a qualitative approach to the three respondents. And using the techniques of
data collection through interviews, observation and field notes. The results showed
that there are factors that cause the occurrence of transgender in Banda Aceh among
other social factors of family, differences in parenting are applied in the family of each
of the respondents gave a significant influence on the development.

Keywords: identification, transgender and transvestite.


Pendahuluan

Dinas Sosial Banda Aceh mengkategorikan waria ke dalam kelompok minoritas yang
mendapat bantuan agar tidak melakukan pekerjaan yang keliru, data pemberian
bantuan pada waria di Banda Aceh terhitung sejak tahun 2016 kepada 20 orang
waria, bantuan merupakan alat-alat kosmetik untuk usaha salon kecantikan yang di
rintis oleh waria di Banda Aceh, sehingga tidak melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan norma-norma yang ada tak kecuali seperti perilaku transgender. Transgender
adalah istilah yang ditujukan kepada seseorang yang tidak dapat menunjukkan secara
spesifik orientasi seksualnya, adapun transgender laki- laki adalah laki-laki normal,
yang memiliki kelamin yang normal, namun secara psikis merasa dirinya sebagai
perempuan. Akibatnya perilaku sehari-hari sering tampak kaku, fisik laki-laki, namun
cara berjalan, berbicara dan dandanan yang menyerupai perempuan. Dengan cara
yang sama dapat dikatakan laki-laki ini terperangkap pada tubuh yang salah.
Kehadiran seorang waria merupakan suatu proses yang panjang, baik secara
individual maupun sosial. Secara individual antara lain, lahirnya perilaku waria tidak
lepas dari suatu proses atau dorongan yang kuat dari dalam dirinya, yaitu keadaan
fisik yang tidak sesuai dengan kondisi psikis sehingga hal ini menimbulkan konflik
psikologis dalam dirinya. Individu dengan keadaan demikian ini mempresentasikan
perilaku yang jauh berbeda dengan laki- laki, tetapi juga bukan sebagai perempuan.
Permasalahannya tidak sekedar menyangkut masalah moral dan perilaku yang
dianggap tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap dan
memerlukan penyaluran yang tidak dapat secara spesifik ditetapkan (Kartono dalam
Amanda, 2013)
Fenomena transgender menjadi menarik karena keberadaannya di Aceh yang
jelas melanggar aturan Islam dan waria masih sering terlihat di Banda Aceh, kota
dengan syariat Islam yang jelas melarang kehadiran pelaku transgender. Hal ini
menciptakan kesan tersendiri dengan adanya pria yang memutuskan untuk menjadi
waria di Kota Banda Aceh maka faktor apa saja yang membuat pria di Banda Aceh
memutuskan menjadi transgender, bagaimana pelaku transgender ini bisa bertahan
dan seperti apa respon yang diberikan oleh masyarakat Banda Aceh.

Tinjauan Pustaka

Gender adalah dimensi-dimensi psikologis dan sosio kultural yang dimiliki karena
seseorang terlahir sebagai lelaki atau perempuan. Sedangkan peran gender adalah
sebuah set ekspektasi yang menggambarkan bagaimana pria atau wanita seharusnya
berfikir, bertindak atau merasa (Santrock, 2009). Taylor dkk (2012) menyebutkan
bahwa gender adalah elemen dasar dari konsep diri seseorang. Mengetahui bahwa
“Aku adalah wanita” atau “Aku adalah pria” adalah bagian inti dari identitas personal
kita. Orang sering memandang dirinya. Identitas gender atau transgender waria baru
muncul pada paruh abad kedua puluh dan hanya di kota-kota besar. Cikal bakal
advokasi LGBT di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1960-an dengan pendirian
Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), yang difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta pada
waktu itu, Jendral Marinir Ali Sadikin. Istilah wadam (wanita adam) diperkenalkan
sebagai pengganti kata banci atau bencong yang bersifat menghina. Istilah ini
kemudian pada tahun 1978 diganti dengan waria (wanita pria) karena Majelis Ulama
Indonesia menilai tidak patut nama seorang Nabi (Adam) dijadikan bagian pada
istilah untuk kaum laki-laki yang mengekspresikan gendernya dengan cara yang lebih
menyerupai perempuan. Organisasi yang berfungsi sebagai ruang sosial budaya yang
aman ini, dengan cepat disusul oleh organisasi serupa di kota-kota besar lain.
Beberapa diantaranya masih eksis hingga sekarang, banyak yang mendapatkan
dukungan dari Pemda setempat dan umumnya diberikan melalui Dinas Sosial,
berdasarkan pemahaman bahwa kaum waria merupakan golongan yang kurang
mampu atau cacat psikologis. Media massa sudah memuat laporan tentang gerakan
waria sejak awal berkembangnya pada akhir tahun 1960-an, walaupun pada masa
awal aktivis berjaga-jaga agar tidak selalu mengungkapkan identitasnya namun pada
pertengahan tahun 1980-an ada beberapa orang yang memberanikan diri untuk
diwawancarai dan juga diundang ke seminar- seminar yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan (Oetomo dkk, 2013)
Belakangan ini, tumbuh kesadaran individu yang gendernya tidak sesuai
dengan kategori “pria” dan “wanita”. Transgender adalah contoh utamanya. Individu
ini secara biologis bisa dikatakan termasuk salah satu kelompok jenis kelamin, namun
individu ini mempercayai bahwa dirinya anggota dari jenis kelamin yang berbeda.
Dalam kebanyakan kasus, seseorang yang penampilan keseluruhannya adalah pria,
namun realitas psikologis dirinya merasa sebagai perempuan yang terjebak dalam
tubuh pria (Taylor dkk, 2012)

Temuan yang didapatkan dari hasil dialog komunitas LGBT di Indonesia yang
diselenggarakan di Nusa Dua Bali pada bulan Juni 2013 menyatakan bahwa pada
akhir tahun 1960-an gerakan LGBT mulai berkembang melalui kegiatan
pengorganisasian yang dilakukan oleh sekelompok waria. Tercatat ada perbedaan
pengembangan LGBT di Indonesia, khusus di Provinsi Aceh, kegiatan
pengorganisasian LGBT menghadapi tantangan besar karena hak khusus Provinsi
Aceh itu sendiri untuk menetapkan hukum berdasarkan syariah, sehingga
menimbulkan kesulitan secara umum dalam mengangkat permasalahan LGBT dan
besar kemungkinan pemberlakuan Perda setempat yang bersifat anti LGBT (Oetomo
dkk, 2013). Dalam Davidson dkk (2006) Sebagian pendapat menyatakan bahwa
transgender pada seorang individu dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
sosial dan budaya. Bahkan sebagian besar, anak kecil menunjukkan perilaku lintas
gender saat ini dan nanti disebabkan oleh faktor keluarga. Dalam beberapa keluarga
perilaku semacam itu disebabkan oleh terlalu banyak mendapat perhatian dan
penguatan dari orangtua dan para kerabat.
Selanjutnya terdapat kriteria gangguan identitas gender dalam DSM IV-TR yaitu
: 1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis 2. Pada anak-anak
terdapat empat atau lebih dari ciri, yaitu: (a) Berulangkali menyatakan keinginan untuk
menjadi atau memaksakan diri bahwa ia adalah lawan jenis; (b) Lebih suka memakai
pakaian lawan jenis; (c) Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau
terus menerus berfantasi menjadi lawan jenis; (d) Lebih suka melakukan permainan
yang merupakan permainan stereotip lawan jenis; dan

(e) Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis, 3. Pada remaja
dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis
berpindah ke kelompok lawan jenissehingga keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal
lawan jenis, 4. Rasa tidak nyaman yang terus menerus dengan jenis kelamin
biologisnya atau rasa terasing dari peran gender jenis kelamin tersebut; (a) Pada
anak-anak, terwujud dalam salah satu hal diantaranya: Pada laki-laki, merasa jijik
dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu,
tidak menyukai permainan streotip anak laki-laki. Pada anak perempuan, menolak
untuk buang air kecil dengan cara duduk, yakin bahwa penis akan tumbuh, merasa
tidak suka dengan payudara yang membesar dan menstruasi, merasa benci atau tidak
suka terhadap pakaian perempuan konvensional; (b) Pada remaja dan orang dewasa,
terwujud dalam salah satu hal diantaranya, keinginan kuat untuk menghilangkan
karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormon dan/atau operasi,
yakin bahwa dirinya dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah dan 5. Tidak sama
dengan kondisi fisik antar jenis kelamin dapat menyebabkan distress atau hendaya
dalam fungsi sosial dan pekerjaan (Davison dkk, 2006).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengambilan


data melalui wawancara dan observasi. Responden penelitian merupakan 3 orang
transgender yang berusia 21-25 tahun dan sudah memutuskan menjadi transgender
selama 2 tahun dan berdomisili di Kota Banda Aceh. Setelah didapatkan hasil
wawancara maka data tersebut di analisis. Analisis data adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan semuanya
dapat diinformasikan kepada orang lain. Pengumpulan data bagi penelitian kualitatif
harus langsung diikuti dengan pekerjaan menuliskan, mengedit, mengklasifikasi,
mereduksi, dan menyajikan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan
Triangulasi, kombinasi beberapa sudut pandang seringkali digunakan untuk
menguatkan data, sebab, lazimnya, strategi ini diklaim memberikan gambaran yang
lebih “lengkap”. Denzin menyatakan bahwa triangulasi muncul dengan bentuk yang
berbeda-beda.

Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan pada 3 respoenden penelitian, masing-masing R, AL dan JN. R


adalah anak bungsu dari 8 bersaudara, R berasal dari daerah Langsa dan bersusia 24
tahun. R merasakan dirinya lebih nyaman sebagai perempuan pada kelas 3 SD
sekitar usia 8 atau 9 tahun namun benar-benar berubah pada tahun 2009 saat
usianya 16 tahun. Karena Ayah dan Ibu R sudah meninggal, R tinggal bersama salah
seorang kakak perempuannya ketika di Langsa, Ayah R meninggal ketika R berusia
18 Tahun. Responden penelitian yang kedua adalah AL. AL adalah anak bungsu dari
5 bersaudara yang 3 diantaranya adalah perempuan, sedangkan anak sulung laki-laki
telah meninggal. AL lahir pada tahun 1996 dan berasal dari Medan namun
memutuskan untuk tinggal di Banda Aceh setelah idul fitri pada tahun 2015 juga
memutuskan untuk bekerja di salon setelah sebelumnya saat di Medan AL hanya
diam di rumah saja. Ketika AL berusia 8 tahun orangtuanya bercerai dan
meninggalkan anak-anak bersama neneknya, namun hidup terlunta-lunta setelah
nenek mereka meninggal pada tahun 2009. AL mulai merasa nyaman sebagai
perempuan sejak kelas 1 SD namun baru mengubah penampilannya seperti
perempuan pada usia 12 tahun. Responden penelitian ketiga yaitu JN, lahir pada
tahun 1992, JN sejak kecil merasa tertarik pada laki-laki maka ia mulai merasakan diri
sebagai perempuan ketika berusia 15 tahun saat masih duduk di kelas 3 SMP namun
benar-benar merubah penampilannya ketika berusia 21 di tahun 2013. JN merupakan
anak ke 6 dari 9 bersaudara, jenis kelamin dalam keluarga lebih dominan perempuan,
dan JN pernah mengikuti kajian di pesantren malam selama 6 tahun.

Faktor Sosial Keluarga

Sebelum kelahirannya, ibu dan ayah R memiliki keinginan yang berbeda, ibu R
menginginkan kelahiran anak perempuan namun ayah R menginginkan R terlahir
sebagai laki-laki, maka ketika R terlahir sebagai laki-laki mereka menamainya dengan
nama laki-laki dan nama perempuan, sesuai dengan pernyataannya berikut:

“Kalo orangtua laki pengen aku jadi laki, kalo orangtua perempuan
pengen aku jadi perempuan. Jadi begitu aku lahir dikasih nama Mawar
Agung (nama samaran) setengah perempuan setengah laki”
(W. R. 11062016 BRS 0014-0016)

“Pernah, masih belum sekolah SD, kan baju-baju kakak aku masih
banyak, baju masa kecil mereka. Abis tu kan musim-musim ujan baju
aku udah abis jadi mamak aku pakekan baju perempuan” “udah tu
disuruh jalan gitu?” “Ada, pertama kan dipakekan bedak aku, ga
bejilbab, dulu kan ada pita-pita yang makek jepit”
(W. R. 11062016 BRS 0186-0191)

Selanjutnya responden kedua AL, menyatakan bahwa kurangnya kasing


sayang sehingga apa yang dilakukan sebagai salah satu bentuk mendapatkan kasih
sayang
“Hm, faktor dari keluarga juga sih, dari orangtua juga, karena dari
keluarga tu nggak ada kasih sayang dari keluarga, jadi rasanya
nampaknya kalo udah ada perubahan dari kecil tu kalok kita begabung
sama perempuan lebih nyaman aja dari sekolah pun gitu, dari 1 sd”
(W. AL. 20062016 BRS 0011-0014)

“Kalok dulu ada belajar ngaji semenjak nenek udah meninggal tu,
rasanya cem mana ya, nggak ada lagi ini, semenjak nenek ninggal
nggak ada lagi rasa untuk mau mengaji, karna dulu nenek ngajar kan,
semenjak nenek ninggal udah, kita pun tinggalnya udah mulai luntang
lantung, tinggal sana tinggal sini, tinggal tempat orang, tinggal sini”
(W. AL. 20062016 BRS 0077-0082)

Ketika AL memutuskan menjadi transgender, orangtuanya tidak memberi


penolakan yang tegas

“Marah sih, tapi itulah mau berubah apa, karna udah kek gini, udah
telanjur”
(W. AL. 20062016 BRS 0064)

“Kalo mendukung sih mendukung, tapi itulah antara mendukung apa


nggaknya itu orang ni, masih mikir-mikir”
(W. AL. 20062016 BRS 0066-0067)

Bagi JN, ianya tidak memiliki hubungan yang dekat dengan kedua orangtuanya.
Setelah JN memutuskan untuk menjadi transgender keluarga tidak menentang
dengan keras, hanya mengingatkan agar JN bisa kembali berubah menjadi laki-laki

”Paling diingatin aja, ingatin berubah lagi seperti laki-laki lain”


(W. JN. 01072016 BRS 0086)
“Pengen sih diterima sama keluarga dengan keadaan kakak yang
seperti ini, karna abang aja yang nggak bisa terima”
(W. JN. 01072016 BRS 0236-0236).

Lingkungan Sekitar

Selain keluarga, lingkungan sekitar kehidupan ketiga responden memberikan


pengaruh terhadap keputusannya menjadi transgender. Responden yang merupakan
korban child abuse di jalanan pada akhirnya memilih jalan untuk menjadi transgender
“Di Medan lah, di Medan kan orang preman, seperti ini 1 harinya harus
kasih 5000 kalo nggak kasih kita harus layanin dia”
(W. R. 11062016 BRS 0345-0346)

“Pernah, setiap semua transgender itu pasti pernah merasakan


dijalanan kek gitu. Tidak ada begitu jadi transgender langsung kaya,
nggak ada, karna mereka punya keluarga itu tidak ada bantuan, selalu
dikucilkan pertama, begitu mereka berhasil baru diterima di keluarga”
(W. R. 11062016 BRS 0332-0335)

Selanjutnya AL, menyatakan bahwa lingkungan sekitarnya tidak begitu peduli


terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
“Kalo di sana, biasa-biasa aja karna di Medan sana kan siapa lo siapa
gue”
(W. AL. 20062016 BRS 0094).

Pembahasan

Dari hasil wawancara bahwa ketiga responden telah melakukan kegiatan


seksualnya sebelum dewasa juga ketiganya yang menjadi terbiasa setelahnya hal ini
sesuai dengan teori dalam buku Santrock (2009) bahwa para peneliti telah
menemukan bahwa perubahan hormonal pada masa puber berhubungan dengan
kegiatan seksual juga perubahan yang melibatkan kualitas seksual. Maka yang
membedakan adalah kondisinya dimana responden 1 (R) melakukan kegiatan seksual
untuk pertamakali tanpa persetujuan dirinya, responden 2 (AL) yang melakukan
dengan pasangan yang terpaut 10 tahun darinya dan responden 3 (JN) yang
melakukannya dengan teman sebaya atas ajakan temannya tersebut.

Dari ketiga responden, semua memutuskan menjadi transgender disebabkan oleh


faktor sosiologis yang dalam hal ini dikerucutkan faktor keluarga namun ketiganya
memiliki pengaruh yang berbeda, dari responden 1 yang pernah dipakaikan baju dan
aksesoris perempuan yang dalam Davison dkk (2006) jelas ini disebutkan sebagai
anak mendapat penguatan dari orangtua dan keluarga, seperti dipakaikan pakaian
lawan jenis memberikan kontribusi cukup besar dalam konflik yang dikembangkan
anak antara jenis kelamin anatomisnya dan identitas gender yang dikembangkannya,
terlebih karena R juga mengamati lalu mengikuti cara saudara perempuannya
berdandan, seperti dalam Santrock (2009) teori belajar sosial menyatakan
perkembangan gender anak-anak dan remaja muncul melalui observasi dan imitasi
terhadap perilaku gender. Keinginan ibu untuk memiliki anak perempuan sejak masa
kehamilannya pun jelas menjadi salah satu penyebab sesuai yang dituliskan oleh
Davison dkk (2006) bahwa ada satu hipotesa terkait perilaku feminin pada anak laki-
laki didorong oleh si ibu sebelum anak lahir sangat ingin memiliki anak perempuan
walaupun hipotesa ini tidak dikuatkan oleh penelitian yang diadakan oleh Zucker
(dalam Davison 2006) namun pemberian nama perempuan pada responden tetap
mengacaukan identitas gendernya.
Dalam faktor sosial yang disempitkan pada teman sebaya, memiliki perbedaan
diantara ketiga responden, dimana R dan AL merasa nyaman bergaul dengan
perempuan sesuai dalam salah satu kriteria gangguan identitas gender dalam DSM
IV-TR, mereka lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis, R menilai
teman laki-lakinya kasar namun tidak dengan AL. R dan AL juga mendapat dukungan
dari teman kecil mereka yang berjenis kelamin perempuan, hal ini dikuatkan oleh teori
dalam Sunberg (2007) adapun pengaruh kelompok sebaya yakni keadaaan remaja
yang menghabiskan banyak waktu dengan kelompok sebayanya, dan tanpa
persetujuan atau ketidaksetujuan kelompok dapat menjadi pengaruh yang kuat dalam
perkembangan perilaku gender seseorang. Sedangkan JN sejak kecil dekat dengan
laki-laki karena merasa tertarik pada mereka namun memiliki teman dekat yang juga
waria sehingga sesuai pernyataan.
Kenyataan bahwa R berasal dari daerah pedalaman yang tidak pernah ada
waria sebelumnya terkait dengan teori dalam Sudarma (2012) manusia bersifat
kemasyarakatan, individu mempengaruhi masyarakat dan masyarakat
mempengaruhi individu, dan masyarakat dan manusia saling berinteraksi, sehingga
penerimaan serta sikap positif dari masyarakat bahkan setelah R menjadi
transgender disebabkan karena R sudah terbiasa berbaur dengan masyarakat
sekitarnya sehingga tidak ada respon negatif yang menjatuhkan R kendati R
melakukan perubahan yang cukup signifikan.

Kondisi dewasa ini di Banda Aceh ini dengan banyak transgender waria yang berada
di tempat-tempat umum seperti pasar, jalan raya ataupun tempat rekreasi yang
merupakan tempat umum juga pernyataan ketiganya terkait hubungan baik dengan
masyarakat bertentangan dengan penelitian dalam Oetomo dkk (2013) Tercatat ada
perbedaan pengembangan LGBT di Indonesia, khusus di Provinsi Aceh, kegiatan
pengorganisasian LGBT menghadapi tantangan besar karena hak khusus Provinsi
Aceh itu sendiri untuk menetapkan hukum berdasarkan syariah, sehingga
menimbulkan kesulitan secara umum dalam mengangkat permasalahan LGBT dan
besar kemungkinan pemberlakuan Perda setempat yang bersifat anti LGBT. Kecuali
ada rajia yang diadakan sehingga mengamankan transgender waria yang berada di
jalanan, dan JN yang beberapa kali sempat dikejar oleh pihak Satpol PP dan Polisi
Syariat Islam. R pernah berubah menjadi laki-laki setelah memutuskan menjadi waria,
namun karena perasaan tidak nyaman akhirnya R kembali menjadi waria. Pembiaran
orangtua JN padanya yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar, suasana rumah
JN cenderung pada jenis otoriter Kasus AL sebagai anak korban perceraian saat
masih berusia 8 tahun merupakan salah satu faktor lingkungan yang memengaruhi
perkembangannya sesuai dalam Yusuf (2006) yakni suasana keluarga yang retak,
ketidakharmonisan hubungan antara remaja dan keluarga tentu menjadi sebab
terjadinya rumah tangga yang retak, suasana ini dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain perceraian, orangtua terlalu sibuk bekerja, salah satu orangtua telah tiada,
orangtua dan anggota keluarga lainnya tidak mau mengerti tugas perkembangan
remaja atau remaja sendiri yang tidak mau peduli terhadap tugas-tugas yang
seharusnya dipikulnya dalam keluarga, suasana seperti inilah yang menjadikan
keluarga itu retak lantas dikenal dengan sebutan broken home. Dalam keluarga
broken home remaja lebih cenderung mengalami banyak masalah emosional, moral,
medis dan juga sosial.

Kesimpulan dan Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan 3 orang waria yang berdomisili di
Banda Aceh, peneliti menarik kesimpulan bahwasanya yang mendominasi adalah
faktor sosial dari keluarga, perbedaan pola asuh yang diterapkan dalam keluarga
masing-masing responden memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap
perkembangan. Responden 1 yang merupakan anak bungsu mendapat perlakuan
istimewa dari keluarganya, tiap anggota keluarga cenderung mengikuti setiap
keinginannya bahkan saat responden 1 memutuskan untuk menjadi transgender
keluarga tidak melarang dengan tegas, tanggapan yang diberikan keluarga hanya
nasehat agar responden 1 dapat kembali menjadi laki-laki. Responden 2 menjadi
korban perceraian saat anak-anak, dirinya mengeluh bahwa kekurangan kasih sayang
dari orangtuanya terlebih dirinya dan saudara-saudaranya tidak tinggal dengan salah
satu orangtua namun tinggal bersama nenek dan akhirnya tidak memiliki tempat
tinggal tetap setelah neneknya meninggal dunia. Responden 3 mendapatkan perilaku
yang cenderung membebaskan dirinya dalam pergaulan terlebih karena dirinya
menempuh pendidikan di pesantren malam sehingga menjadikan waktunya bersama
keluarga semakin sedikit, hal ini pula yang menyebabkan dirinya dapat memiliki teman
dekat waria sejak remaja.
Daftar Pustaka

Afif. 2014. Berkeliaran dan Buat Resah, Waria di Banda Aceh ditangkap
Warga.http://www.merdeka.com/peristiwa/berkeliaran-dan-buat-resah-waria-di-
banda-aceh-ditangkap-warga.html. 11 Desember 2015

Ahmadi, R. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. http://www.infodiknas.com/


metodologi-penelitian-kualitatif-rulam-ahmadi.html. 27 Desember 2015

Amanda, L. 2013. Profil Waria di Kota Pekanbaru (Suatu Kajian Sosiologis).


Skripsi. (tidak diterbitkan). Pekanbaru: Universitas Riau

Ariefana, P.2015. Berapa Jumlah Gay dan Lesbian di


Indonesia?http://www.suara.com/news/2015/07/06/060400/berapa-jumlah-gay-
lesbian-di-indonesia. 9 Desember 2015

Atkinson, R. L., Atkinson, R, C., Smith, E, E., & Bem, D, J. 2010. Pengantar Psikologi
Jilid 1. Penerjemah: Kusuma. Tanggerang : Interaksara

Chaplin, J, P. 2011. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah : Kartono, K. Jakarta:


Rajagrafindo Persada

Daymon, C. & Hollway, I. 2008. Metode-metode Riset Kualitatif dalam Public Relations
Marketing Communications. Penerjemah : Wiratama. Yogyakarta: Bentang

Davidson, G, C., Naele, J, M.,& Kring, A, M. 2006. Psikologi Abnormal Edisi Ke-9.
Jakarta : Rajawali Pers

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat


Bahasa Edis Keempat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Hamdan, A, N. 2016. Fikih Waria. Pengajian Sabtu (JITU) oleh PP Pemuda Persis.
Bandung. April 02.

Hamdi, A, S. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan.


Yogyakarta: Deepublish

Hurlock, E, B. 2012. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang


Rentang Kehidupan.Penerjemah :Istiwidayanti&Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Kalat, J, W. 2010. Biopsikologi Edisi 9. Penerjemah : Pramudito. Jakarta : Salemba
Humanika

King, L, A. 2014.Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif. Jakarta: Salemba


Humanika
Manurung, M.2014. Transgender dan Faktor Penyebabnya.
http://mahyunimanurung04.blogspot.co.id/2014/12/transgender-dan-faktor-
penyebabnya.html.9 Desember 2015

Muhadjir, N. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif Pendekatan Positivistik,


Rasionalistik, Phenomenomologik, dan Realisme Metaphisik Telaah Studi Teks
dan Penelitian Agama . Yogyakarta: Rake Sarasin

Mujib, A. & Mudzakir, J. 2003. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta : RajaGrafindo

Mursi, M. S. 2006. Seni Mendidik Anak. Penerjemah : Ummah. Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar

Oetomo, D dkk. 2013. Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia
(Tinjauan dan Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial bagi
Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender LGBT).
Being LGBT in Asia oleh UNDP & USAID. Bali : Juni, 13-14

Puspitadewi, V. D. & Putra, R. A. 2014. Transgender dalam Pandangan Hak Asasi


Manusia. http://pkbh.uii.ac.id/news/latest/transgender-dalam-pandangan-hak-
asasi-manusia.html. 9 Desember 2015

Qaimi, A., (2004). Keluarga dan Anak Bermasalah. Bogor: Cahaya

Ratnasari, F, E. 2014. Masalah Hermaprodit. http://www.vemale.com/topik/cinta- dan-


seks/69753-masalah-hermaprodit.html. 29 Januari 2016

Riswandi. 2013. Psikologi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Ruhghea, S., Mirza & Rachmatan, R.2014. Studi Kualitatif Kepuasan Hidup Pria
Transgender (Waria) di Banda Aceh. Jurnal Psikologi Undip. 13 : 11-20
Santrock, J. W. 2009. Perkembangan Anak edisi kesebelas jilid 2. Penerjemah : Mila
dan Anna. Jakarta: Erlangga

Sudarma, M. 2012. Sosiologi Untuk Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika

Sukamto, B.2014. Transgender. http://reps-id.com/gay-transgender/. 9 Desember


2015

Sukmadinata, N, S.2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.


Sundberg, N, D. dkk. 2007. Psikologi Klinis Edisi 4. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Suraiya, A. 2011. Mekanisme Layanan Konsultasi dalam Menangani Tindak


Kekerasan terhadap Anak. Skripsi. (tidak diterbitkan). Banda Aceh: Fakultas
Dakwah IAIN Ar-Raniry
Taylor, S, E., Peplau, L, A., & Sears, D, O. 2012. Psikologi Sosial; Edisi Kedua Belas.
Jakarta: Kencana

Wade, C. & Tavris, C. 2012. Psikologi Edisi Kesembilan. Penerjemah : Padang dan
Dinastuti. Jakarta : Erlangga

West, R dan Lynn, T. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika

Wijaya,A.2015.Transgender?http://www.kompasiana.com/bigel93/transgender_555
4fe76523bda6144aefb0.9 Desember 2015

Wikipedia.2015.Sampel(Statistika).https://id.wikipedia.org/wiki/Sampel_(statistika).
27 Desember 2015
Yusuf, S. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya
Zakaria, A.2004. Tarbiyah An-Nisa: Panduan Lengkap Wanita Shalehah. Garut: Ibn
Azka Press

Zulfikar & Budiantara, N. 2014. Manajemen Riset dengan Pendekatan Komputasi


Statistika. Yogyakarta: Deepublish
BERPIKIR POSITIF PADA WARIA

Nurul Hafiza
Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan
Nurulhafizaaa11@gmail.com

Abstrak

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah waria dapat hidup dengan
selayaknya dan dapat diterima oleh lingkungan masyarakat dan keluarga dengan
merubah tingkah laku yang seringkali dipandang oleh masyarakat dengan
perilaku yang buruk. Bagi para transgender merasa dan beranggapan mereka
berbeda dari sudut pandang kelamin yang telah ditetapkan dan masuk dalam
gangguan identitas jenis kelamin. Sifat, sikap dan tingkah laku yang dianggap
menyimpang oleh masyarakat, sehingga membuat para waria mencari dan
membentuk lingkungan sosial dengan komunitas yang senasib dengan mereka.
Dengan adanya berpikir positif apakah dapat mengubah segala persepsi buruk
yang ada pada seorang waria, berpikir positif adalah sumber kekuatan dan
sumber kebebasan pada setiap masyarakat. Berpikir positif manfaatnya adalah
dapat meningkatkan penerimaan diri pada waria, berpikir positif pada komunitas
yang dipandang memiliki ketidak normalan.

Kata kunci: berpikir positif, gender, waria

Abstract:

This study aimed to determine whether transsexuals can live with and should be
accepted by society and the family by changing behavior are often perceived by
the public with bad behavior. Because for transgender feel and think they are
different from the perspective of gender has been defined and included in the
gender identity disorders. Personality traits, attitudes and behaviors that are
considered deviant by society, thus making the transvestites seeking and shaping
a social environment with a community of kinship with them. With the positive
thinking whether to change any bad perceptions that exist in a transvestite,
positive thinking is a source of strength and a source of freedom in every society.
Think positive benefit is to increase self-acceptance on transvestites, think
positively on communities perceived abnormalities.

Keywords: positive thinking, gender, transsexual


PENDAHULUAN

Gender merupakan pola pikir yang membedakan laki-laki dan perempuan


yang sesuai dengan kepantasannya. Ideologi gender menciptakan sisi untuk
perempuan dan juga sisi untuk laki-laki sesuai dari pengalamannya. Ideologi
gender menghasilkan pandangan manusia tentang peran jenisnya dalam
masyarakat. Kemudian peran jenis adalah satu kelompok perilaku, kesenangan,
sifat serta sikap yang dimiliki oleh satu jenis tertentu yang tidak dimiliki oleh jenis
yang lain. (Muniarti, 2004)
Waria merupakan sebutan untuk para laki-laki yang berperilaku seperti
layaknya seorang wanita sesungguhnya dan tidak hanya perilaku saja yang
mereka terapkan pada dirinya tetapi seorang waria juga mengenakan pakain
yang sama seperti yang dikenakan oleh wanita. Seorang waria sangat khas
dengan gayanya yang sangat lemah gemulai karena waria merasa dirinya
sebagai wanita bukan pria. Menurut (Koeswinarno, 2004) Seorang waria
umumnya terus berusaha untuk mendapatkan satu pekerjaan “lain” yang didalam
tata nilai keluarga ataupun masyarakat dianggap tidak menyimpang,
sebagaimana dunia yang identik dengan kekotoran.
Menurut (Ibrahim, 2009) Berpikir positif adalah sumber kekuatan dan
sumber kebebasan, disebut sumber kekuatan karena ia membantu anda
memikirkan solusi sampai mendapatkannya. Dengan begitu anda bertamabah
mahir, percaya dan kuat, Disebut sumber kebebasan karena dengannya anda
akan terbebas dari penderitaan dan kungkungan pikiran negative serta
pengaruhnya pada fisik. Dalam hal ini banyak masyarakat yang kurang mampu
untuk berpikir positif kepada waria, hingga saat ini masyarakat masih
memandang rendah kepada waria, masyarakat hanya memandang sebelah
mata kepada mereka. Sehingga disini para waria ingin merubah pola pikir
masyarakat sekitar menjadi positif, pada subjek waria yang diwawancara
mengatakan bahwa mereka sering melakukan hal positif seperti pengajian, sholat
lima waktu, berziarah ke makam- makam wali songo dan mereka juga selalu
mengenakan pakain yang menutupi auratnya.
PEMBAHASAN

Berpikir positif merupakan upaya seseorang untuk selalu melihat hal baik
dari setiap situasi dan meyakini bahwa anda bias meraih apapun yang ingin
dicapai dalam hidup. Sedangkan menurut (Peale, 1996) berpikir positif adalah
suatu aplikasi secrara langsung dari Teknik sptiritual untuk mengatasi kekalahan
dan memenangkan kepercayaan dan menciptakan suasana yang mengutungkan
bagi perkembangann hasil yang positif. berpikir positif adalah kemampuan
berpikir seseorang untuk memusatkan perhatian pada sisi positif dari keadaan
diri orang lain dan suatu peristiwa yang diukur dengan skala berpikir positif.
Semakin tinggi total skor jawaban yang diperoleh subjek menunjukkan tingkat
kemampuan berpikir positif yang dimiliki semakin tinggi.
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Tentama, 2014:
Tentama, 2010) bahwa berpikir positif merupakan faktor penting dalam
pembentukan perilaku karena berpikir positif dapat mempengaruhi penerimaan
diri seseorang. Berpikir positif adalah kemampuan untuk menilai sesuatu dari
sisi positif sehingga berpikir positif akan meningkat jika terjadi pembentukan
kemampuan dan kebiasaan untuk menilai segala sesuatu dari sisi yang
positif. Berpikir positif manfaatnya adalah dapat meningkatkan penerimaan diri
pada waria, berpikir positif pada komunitas yang dipandang memiliki
ketidaknormalan. Sifat, sikap dan tingkah laku yang dianggap menyimpang oleh
masyarakat, sehingga membuat para waria mencari dan membentuk lingkungan
sosial dengan komunitas yang senasib dengan mereka. Dari saat itulah
membuat waria tersebut menjadi manusia yang tanpa terbebani dengan stigma
negatif dari lingkungan masyarakat yang tidak bisa menerima keadaan mereka.
Menurut (Karinina, 2007). Menurut (Sunhara, 2004) permasalahan yang dihadapi
oleh waria atau transgender menyangkut pada moral dan perilaku yang
dianggap tidak wajar, karena secara normatif tidak ada kelamin ketiga diantara
laki-laki dan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh (Muthi’ah, 2007)
menunjukkan bahwa sebagian waria memiliki konsep diri positif dan ada juga
yang memiliki konsep diri negatif, waria yang memiliki konsep diri positif
cenderung akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan daripada waria
yang memiliki konsep diri negatif. Kondisi
tersebut tampak wajar mengingat individu yang memiliki konsep diri positif lebih
dapat meneriman keadaan daripada individu yang memiliki konsep diri negatif.
Menurut (Tentama, 2012) cara yang dapat menumbuhkan pikiran yang positif
adalah dengan mendapatkan dukungan yang positif dari orang sekitar seperti
keluarga dan masyarakat sekitar. Agar kehidupan bisa optimal dengan budaya di
kehidupan masyarakat perlu mengembangkan kemampuan diri agar selalu berfikir
positif kepada keadaan waria.

SIMPULAN

Pada pembahasan dan pendahuluan tersebut secara garis besar dapat


disimpulkan bahwa berpikir positif yang dilakukan oleh masyarakat, keluarga dan
orang-orang sekitar terhadap waria atau transgender dapat sangat membantu untuk
meningkatkan penerimaan diri pada waria, berpikir positif pada komunitas yang
dipandang memiliki ketidak normalan tersebut. Berpikir positif adalah sumber
kekuatan dan sumber kebebasan. Disebut sumber kekuatan karena ia membantu
anda memikirkan solusi sampai mendapatkannya. Berpikir positif kemampuan
berpikir seseorang untuk memusatkan perhatian pada sisi positif dari keadaan diri
orang lain dan suatu peristiwa.
DAFTAR PUSTAKA

Elfiky. I. (2009). Terapi berpikir positif. Jakarta: Penerbit Zaman.

Karinina, N. (2007). Penyimpangan identitas dan peran gender pendekata penelitian


masalah kesejahteraan sosial waria. Jurnal Informasi, 12 (1), 44- 53.

Koeswinarno. (2004). Hidup sebagai waria. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Murniati. A. N. P. (2004). Getar gender buku kedua. Magelang: Perpustakan


Nasional RI.

Muthi’ah, D. (2007). konsep diri dan latar belakang kehidupan waria: studi kasus
terhadap waria di kota Semarang. Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang.

Peale, N. V. (1996). Berpikir positif. Jakarta: Binarupa Aksara.

Sunahara. (2004). Analisis gender dan tranformasi sosial. Yogyakarta: Kanisius.

Tentama, F. (2010). Berfikir positif dan penerimaan diri pada remaja penyandang
cacat tubuh akibat kecelakaan. Jurnal humanitas 7,7 (1) halaman 66-75.

Tentama, F. (2012). Membangkitkan pikiran positif difabel. Republika.

Tentama, F. (2014). Hubungan positif thinking dengan self acceptance pada difabel
(bawaan lahir) di SLB Negeri 3 Yogyakarta. Jurnal Psikologi

Anda mungkin juga menyukai