DOSEN PEMBIMBING :
Andy Chandra S.Psi M.Psi
OLEH
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2019-2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kaum waria, pada pertenggahan tahun 2005 yang lalu mengadakan hajatan
besar. Tepatnya hari Minggu 26 Juni 2005 yang lalu, di Gedung Sarinah lantai 4 Jakarta
diadakan pemilihan Miss Waria Indonesia. Sebanyak 30 waria dari berbagai daerah di
Indonesia mengikuti kontes ini. Mereka menunjukkan kebolehan masing-masing seperti
bernyanyi, menari, dan tentunya berperilaku serta berdandan seperti wanita. Akhirnya,
kontestan dari Jakarta bernama Olivia terpilih menjadi Miss Waria Indonesia 2005.
Penyematan mahkota langsung dilakukan Miss Waria Indonesia 2004, Megi Megawati.
Ria Irawan, sebagai ketua dewan juri mengatakan bahwa salah satu penilaiannya
adalah kesempurnaan fisik peserta yang menyerupai wanita.
Waria adalah seorang laki-laki yang secara jasmani sempurna dan jelas, namun
secara psikis cenderung bertingkah laku sebagai orang dari jenis kelamin yang berlainan
(Koeswinarno, 1996; dan P. Esty dan Sugoto, 1998). Dari sudut psikologi-ilmiah, waria
digolongkan pada gangguan identitas jenis (gender identity disoders). Gangguan ini
ditandai dengan adanya perasaan tidak senang terhadap jenis kelamin sehingga ia
berperilaku seperti lawan jenisnya.
Kaum waria tidak begitu saja diterima di masyarakat. Sari (2003)
mengungkapkan bahwa pandangan waria adalah “penyakit kejiwaan”, “aib”, “abnormal”,
“dosa”, “menyalahi kodrat”, dan sebutan lainnya masih diyakini oleh sebagian besar
masyarakat. Hak-hak biologis mereka juga dianggap patologis, anomali, atau abnormal
oleh masyarakat. Oleh karena itu, tempat-tempat pertemuan mereka selalu
diidentifikasikan sebagai tempat maksiat. Hal ini juga terungkap dalam penelitian yang
dilakukan oleh Nastiti (dalam P. Esty dan Sugoto, 1998) dan Elisabeth (1996) yang
menyatakan bahwa banyak orang yang memandang bahwa waria menentang
kodratnya, dan tingkah laku seksualnya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku
di masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak menyenangi mereka dan sering tidak
menerima serta menolak mereka, bahkan pihak keluarganya sendiri juga menolak
keberadaan mereka.
Kaum waria dalam kehidupan sehari-hari sering didiskriminasi, dimarjinalkan,
serta kurang mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budayanya,
tidak hanya oleh masyarakat luas, aparat keamanan, apparat pemerintah, tetapi juga
oleh keluarganya sendiri. Kaum waria juga sering mendapat cercaan, dipandang sinis,
dilecehkan, ditertawakan, dan menjadi bahan gunjingan. Sebagai contoh, Andrea
menuturkan pengalamannya ketika ia sakit dan datang ke dokter. Dokter yang
seharusnya memeriksa justru sama sekali tidak mau memeriksa dan hanya memberinya
obat serta mengolok-oloknya. Kisah waria yang lain adalah Tiara dari Makasar
menceritakan bahwa saat dirazia polisi mereka ditangkap dan diceburkan ke laut dahulu
sebelum dibawa ke kantor polisi. Lalu ia diperintahkan membuka “bra” dan menunjukkan
alat kelaminnya di depan polisi.
Uraian di atas, jika kita cermati maka akan menimbulkan pertanyaan: Masyarakat
mana yang bersikap negatif terhadap kaum waria? masyarakat yang memandang
negatif waria, mendiskriminasikan, dan memarjinalkan kaum waria yang terungkap
dalam penelitian dan uraian di atas kiranya belum jelas. Kalau kita cermati lebih lanjut,
ternyata ada juga kelompok masyarakat yang bisa menerima kaum waria. Sebagai
contoh adalah Avi dan Dorce. Mereka diterima sebagai penghibur multitalent, bahkan
Avi justru pernah mendapatkan penghargaan sebagai pemeran video klip terbaik
bersama group band naïf. Di perkampungan Kricak Yogyakarta misalnya, banyak waria
yang tinggal di sana. Namun masyarakat sekitar tidak mengucilkan kaum waria di sana.
Kaum waria yang tinggal di Kricak ternyata bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat
sekitar dengan baik (Hariyanti, 2004).
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui sikap remaja terhadap kaum
waria. Hal ini juga menarik digali karena walaupun banyak penolakan, namun kaum
waria tetap ada dan bermunculan di berbagai daerah. Faiz (2002) menyebutkan bahwa
jumlah male-to-female transseksual atau waria adalah 1 dari setiap 18.000 sampai
dengan 33.000 laki-laki. Sedangkan data yang masuk di Direktorat Jenderal Administrasi
dan Kependudukan Departemen Dalam Negeri tahun 2005 menyebutkan bahwa jumlah
waria di Indonesia tercatat sebanyak 400 ribu. Jumlah itu tersebar di berbagai daerah di
Indonesia, dan terbanyak di Pulau Jawa. Diyakini estimasi jumlah tersebut hampir selalu
merupakan fenomena “gunung es”.
Sikap remaja terhadap kaum waria penting digali karena pada masa remaja,
mereka mulai menentukan sikap tanpa bergantung pada orang lain yang lebih dewasa
dari mereka (Mappiare, 1982). Mereka juga mempunyai sikap dan pandangan yang
lebih realistis. Pada masa ini pula mereka mulai mencapai peran sosial sebagai pria
atau wanita dan mencapai hubungan baru yang lebih matang (Havinghurst, dalam
Hurlock, 1996). Lebih lanjut, pada masa ini identitas seksual seseorang mulai terbentuk
dan menetap. Oleh karena itu, pada masa ini seseorang akan menentukan identitas
seksual dan identitas gendernya.
Secara umum, individu memiliki identitas gender sebagai laki-laki dan
perempuan. Individu laki-laki akan mengembangkan kepribadian sebagai laki-laki begitu
pula perempuan. Di Indonesia, individu laki-laki yang mengembangkan kepribadian
sebagai perempuan umunya dikenal dengan sebutan waria. Dalam psikologi, hal ini
disebut dengan transgender atau transseksual. Para transseksual memiliki pemikiran
bahwa jiwa mereka terperangkap dalam tubuh yang salah sehingga mengubah
penampilan dan perilaku mereka sesuai dengan yang mereka inginkan (Durand &
Barlow, 2006).
Identitas gender sebagai waria dapat terbentuk karena faktor biologis maupun
lingkungan. Faktor biologis karena adanya hormon testosteron yang tinggi, sedangkan
faktor lingkungan karena berlebihnya interaksi dengan figure ibu maupun kurangnya
interaksi dengan figur pria pada masa kanak-kanak (Durand & Barlow, 2006).
Waria sering dianggap momok bagi masyarakat karena dianggap tidak
berperilaku seperti seharusnya. Waria sering dikucilkan, dihina maupun ditolak dalam
lingkungan masyarakat (Santoso, 2007). Dalam pandangan masyarakat pada umumnya,
laki-laki seharusnya mengembangkan peran gender maskulin sedangkan perempuan
mengembangkan peran gender feminin. Berbeda dengan waria yang memiliki fisik asli
laki-laki namun berpenampilan dan berperilaku seperti perempuan. Peran gender inilah
yang dianggap akan mempengaruhi bagaimana penilaian dan sikap lingkungan
terhadapnya (Helgeson, 2012). Dalam hal ini tentu mempengaruhi interaksi sosial waria
dengan masyarakat umum. Kehidupan sosial waria menjadi sangat terbatas karena
adanya penolakan seperti dikucilkan dan dilecehkan oleh orang yang dikenal maupun
tidak (Putri, 2009; Herdiansyah, 2007;Stotzer, 2009 (dalam Helgeson, 2012)).
Seperti diungkapkan dalam salah satu artikel mengenai kehidupan waria di
Indonesia yang selalu dikucilkan oleh masyarakat umum (Setiawan, 2015). Salah satu
contoh yang pernah terjadi adalah kasus kekerasan kepada salah satu PSK waria
hingga tewas dan bukan satu-satunya kasus yang pernah terjadi (Kurniawan, 2011).
Selain itu, terdapat pula gagasan bahwa waria di Indonesia sulit mendapat pekerjaan
karena orientasi gender yang mereka pilih belum dapat diterima oleh masyarakat luas
(Oetomo, 2015).
Hidup menjadi waria berdampak pada masalah penerimaan sosial, seperti tidak
diterimanya waria oleh lingkungan mengingat nilai-nilai agama dan sosial di Indonesia
tidak mengizinkan perilaku transeksual. Hal ini dapat mengakibatkan kehidupan sosial
para waria menjadi sangat terbatas hingga peluang kerja menjadi sempit (Putri &
Sutarmanto, 2007). Waria juga sering dianggap sebagai sampah masyarakat, penjaja
seks, dan kurang berpendidikan sehingga menimbulkan kurangnya percaya diri waria
dalam bermasyarakat (Santoso, 2007).
Di samping itu, waria juga memiliki kesulitan dalam penerimaan diri dan
kebingungan identitas. Kebingungan yang umum dialami oleh waria yakni menyangkut
dengan keputusan menjadi diri sendiri atau mematuhi norma-norma yang melarang
menjadi waria (Putri & Sutarmanto, 2007). Hal ini dapat mendorong terjadinya
kecemasan, perasaan tertekan dan ketidakbahagiaan karena adanya inkongruensi
antara diri dengan diri ideal ketika menyadari hal tersebut (Feist & Feist, 2010). Namun
demikian, ketika menyadari realita bahwadirinya memiliki kecenderungan perempuan,
penerimaan diri untuk mengembangkan kepribadian feminin dapat membantu untuk
menuju kongruensi.
Para waria mengalami masalah dan tekanan berupa penolakan dari lingkungan
sekitar bahkan tak jarang dari pihak keluarga. Di satu sisi, mereka ingin menjalani hidup
sesuai dengan keinginannya, yaitu berperilaku seperti wanita. Akan tetapi di sisi lain,
mereka juga mengalami konflik dengan tuntutan lingkungan yang menginginkan mereka
berperilaku dan berpenampilan seperti laki-laki pada umumnya (Putri & Sutarmanto,
2007). Tindakan masyarakat umum pada keberadaan waria didorong oleh adanya
prasangka yang selanjutnya diwujudkan dalam sikap diskriminasi. Prasangka biasanya
muncul kepada individu atau kelompok individu karena keanggotaannya terhadap
kelompok tertentu (Baron & Birne, 2003; Brown,2005). Prasangka biasanya melibatkan
emosi, keyakinan dan harapan terhadap sikap yang dimiliki anggota kelompok tertentu.
Pada umumnya, individu atau kelompok individu akan memilih mengikuti pandangan
atau norma social yang dimiliki sebagian besar masyarakat. Namun demikian, tidak
menutup kemungkinan untuk memiliki pandangannya sendiri dan memilih mengikutinya
(Baron & Birne, 2003). Sama halnya dengan waria yang ingin mempertahankan identitas
pribadinya tanpa terpengaruh oleh pandangan masyarakat. Mereka merasa kesulitan
untuk mengikuti norma sosial karena akan menyebabkan mereka kehilangan kontrol
terhadap dirinya sendiri. Penolakan yang dialami waria dalam masyarakat juga dianggap
sebagai suatu pelanggaan HAM terhadap identitas seksual waria. Selain itu, media di
Indonesia juga dirasa oleh waria memberikan citra yang salah terhadap kehidupan dan
diri mereka. Lebih banyak hal buruk dan pandangan mengenai ‘penyimpangan’ ketika
hidup sebagai waria lah yang ditampilkan sehingga mempengaruhi penilaian dan
perilaku masyarakat terhadap waria (Ida, 2010). Selain itu, waria juga cenderung
enggan bergabung dengan masyarakat umum karena pandangan dan sikap masyarakat
terhadapnya yang cenderung negatif (Sofiyana, 2013). Hal ini terbukti dengan waria
yang cenderung mengalami kekerasan verbal, fisik dan psikis baik dari pihak keluarga
maupun lingkungan (Arfanda & Sakaria, 2015). Sikap-sikap yang diterima waria inilah
yang membuat mereka cenderung membentuk komunitas dan membangun relasi yang
baik dengan sesama waria. Perasaan diterima lebih muncul di dalam komnitas
dibandingkan dengan masyarakat yang bersikap diskriminatif karena menganggap waria
menyimpang dan abnormal. Stigma, prasangka dan diskriminasi yang diarahkan pada
kaum LGBT cenderung menimbulkan stress karena adanya minoritas seksual, yang
dikenal dengan minority stress (Glassgold, J. et al, 2009). Akibatnya, tak jarang mereka
mengalami kecemasan, depresi, rendah diri, dan menarik diri dari lingkungan bahkan
melakukan bunuh diri (Yuliani, 2006). Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) terdapat 800 ribu kematian di dunia setiap tahunnya yang disebabkan bunuh diri.
Salah satu kelompok yang paling berpotensi melakukan bunuh diri adalah para Lesbian
Gay Bisexual dan Transgender (LGBT) karena adanya tekanan psikis berupa stigma
masyarakat. (Imamsyah,2014).
Penolakan serta gangguan psikologis yang dialami oleh waria menjadi
keprihatinan tersendiri karena mereka juga merupakan manusia yang memiliki hak
setara untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan. Ditambah lagi kurang
adanya norma tertulis maupun tidak tertulis mengenai hak dan kewajiban waria. Waria
juga merupakan individu yang memiliki hak asasi setara dengan individu lain sehingga
berhak untuk menerima perlakuan yang adil dalam bernegara dan bermasyarakat
(Yuliani, 2006).Pandangan lingkungan sosial terhadap waria merupakan hal yang sulit
untuk diubah namun kemampuan adaptasi waria lebih dimungkinkan untuk dikaji. Waria
membutuhkan kemampuan adaptasi untuk mencapai kebahagiaannya karena setiap
individu memiliki keinginan dasar untuk membangun relasi dengan lingkungan sosialnya
(Batara, 2014).
Penolakan yang dialami waria di lingkungan, tak jarang menyebabkan waria
mengalami keterhambatan kesejahteraan hidupnya. Hal ini membuat mereka perlu
untuk melakukan adaptasi sehingga membutuhkan kemampuan resiliensi. Resiliensi
merupakan salah satu kemampuan yang perlu dimiliki oleh individu, terutama dalam
menghadapi suatu masalah. Newman (2005) (dalam Rosyani, 2012) menyatakan bahwa
resiliensi merupakan kemampuan adaptasi individu saat menghadapi tragedi, trauma,
kesulitan, serta stressor dalam kehidupan yang bersifat signifikan.
Resiliensi sering dikaitkan dengan menjaga hubungan baik dengan orang lain,
memiliki pandangan yang lebih positif terhadap kehidupan serta memiliki tujuan hidup
dan berusaha untuk mencapainya. Resiliensi pada dasarnya ada dalam diri setiap
individu hanya saja waktu yang diperlukan untuk melewati hal tersebut bersifat individual
(Poetry, 2013). Semakin terlibat individu dalam satu masalah atau tekanan, maka akan
semakin terlihat kemampuan resiliensinya.
Individu yang memiliki resiliensi yang baik, cenderung berpikir positif dan
menganggap akan ada hal baik yang terjadi selanjutnya sehingga cenderung
menyelesaikan masalah yang dialaminya. Artinya, individu yang memiliki resiliensi yang
baik akan berhasil menyesuaikan dirinya dengan kondisi lingkungan yang kurang
menyenangkan serta tekanan yang dialaminya di dalam kehidupannya dengan
lingkungan (Desmita, 2005). Waria dianggap perlu memiliki resiliensi untuk melihat
bagaimana mereka menyesuaikan diri terhadap ‘kewariaannya’ di tengah banyaknya
penolakan yang diterima dari lingkungan. Resiliensi diperlukan oleh waria agar waria
dapat lebih melihat hal yang positif dari dirinya sendiri dan lingkungan sehingga dapat
mengembangkan kemampuan tersebut lewat perilaku yang juga positif.
B. Fokus Penelitian
Bagaimana sikap remaja terhadap kaumwaria ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap remaja terhadap kaum waria.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi psikologi social khususnya
mengenai sikap remaja terhadap kaum waria.
b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain untuk memberikan masukan
khususnya mereka yang akan meneliti lebih lanjut mengenai kaum waria.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan
pembaca mengenai sikap remaja terhadap kaum waria.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran bagi kaum
waria mengenai sikap kelompok masyarakat terhadap keberadaan mereka
sehingga mereka dapat membangun strategi konstruktif dalam menghadapi
sikap masyarakat terhadap mereka.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Sikap
Sikap, seperti halnya dengan pengertian-pengertian lain, terdapat beberapa
pendapat diantara para ahli. Tentunya ahli yang satu dengan ahli yang lainnya
memberikan definisi dengan batasan-batasan yang berbeda. Untuk lebih jelasnya,
berikut ini adalah beberapa penertian sikap menurut beberapa ahli.
Louis Thurstone (dalam Edwards, 1957) mengatakan bahwa sikap adalah suatu
tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan
obyek-obyek psikologis. Afeksi positif yang dimaksud adalah afeksi senang, sedangkan
afeksi negatif yang dimaksud adalah afeksi yang tidak menyenangkan. Thurstone
melihat sikap hanya mengandung komponen afeksi saja.
G.W. Allport (dalam Marie, Jahoda, and Neil Warren, 1966; White, 1982 ; Mar’at,
1982; Sears, dkk., 1988) mengatakan bahwa sikap adalah keadaan mental dan saraf
dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamis atau
terarah terhadap respon individu pada semua obyek dan situasi yang berkaitan
dengannya. Allport (dalam Hall dan Lindzey, 1993) mengatakan bahwa sikap adalah
predisposisi, yang mungkin juga bersifat khas yang bisa memulai atau mengarahkan
tingkah laku dan merupakan hasil dari faktor-faktor genetik dan belajar.
Newcomb (dalam walgito, 1990; Mar’at, 1981) mengatakan bahwa sikap
merupakan suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi
ke dalam pola yang lebih luas.
Krech dan Crutchfield (dalam Jahoda, Marie, and Neil Warren, 1966)
mengatakan bahwa sikap adalah organisasi yang bersifat menetap dari proses
motivasional, emosional, perseptual, dan kognitif mengenai beberapa aspek dunia
individu.
Rokeach (dalam Walgito, 1990) juga memberikan pendapatnya mengenai sikap.
Ia mendefinisikan sikap sebagai predisposing untuk merespon, untuk berperilaku. Ini
berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku, sikap merupakan predisposisi untuk
berbuat atau berperilaku.
Myers (dalam Walgito, 1990) mengatakan bahwa sikap adalah suatu
kecenderungan ke arah beberapa obyek; meliputi kepercayaan seseorang, perasaan,
dan kecenderungan perilaku terhadap obyek.
Gerungan (dalam Walgito, 1990) mengatakan bahwa, pengertian mengenai
attitude itu dapat kita terjemahkan dengan kata sikap terhadap obyek tertentu, yang
dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, yang disertai dengan
kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap terhadap obyek tadi. Jadi attitude itu
lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan bereaksi terhadap sesuatu hal.
Saifuddin Azwar (2005) mengatakan bahwa sikap adalah suatu respon evaluatif.
Sedangkan Mar’at (1981) mengatakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek
tersebut.
Banyak sekali pengertian sikap menurut beberapa ahli yang ada. Hal ini
dimungkinkan karena sikap merupakan masalah yang penting dan menarik dalam
lapangan psikologi khususnya psikologi sosial. Bahkan ada ahli yang berpendapat
bahwa psikologi sosial menempatkan sikap sebagai problem sentralnya (Crutchfield,
dalam Walgito, 1990).
Dari bermacam-macam pendapat tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa
sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek yang
relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan dasar untuk membuat
kecenderungan berperilaku atau merespon obyek tersebut dengan cara tertentu.
B. Komponen Sikap
Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu :
1. Komponen Kognitif, yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan,
pandangan, keyakinan tentang obyek.
2. Komponen Afektif, yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau
tidak senang (emosional) atau penilaian terhadap obyek. Rasa senang
merupakan hal positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif.
3. Komponen Konatif, yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan
bertindak terhadap obyek. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu
menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak seseorang terhadap
obyek sikap (Shaver, Kelly, G., 1977; Zanden, and James W. Vander, 1977;
Mar’at, 1981; Sears, dkk., 1988; Walgito, 1990; Azwar, 2005).
C. Ciri-ciri Sikap
Sherif dan Sherif (dalam Walgito, 1984) mengungkapkan bahwa sikap
merupakan suatu pendorong yang menimbulkan tingkah laku tertentu yang memiliki ciri-
ciri, yaitu :
1. Sikap bukan merupakan suatu yang dibawa sejak lahir. Sikap terbentuk dalam
perkembangan individu. Oleh karena itu, sikap dapat dipelajari dan dapat
berubah walau mempunyai kecenderungan agak tetap. Dalam hal ini faktor
pengalaman penting dalam pembentukan dan perubahan sikap.
2. Dapat berlangsung lama maupun sebentar. Jika sikap sudah tertanam menjadi
salah satu nilai dalam kehidupan seseorang, maka akan memerlukan waktu yang
relative lama untuk mengalami perubahan.
3. Selalu ada hubungan yang positif atau negatif antara subyek dengan obyek,
melalui proses pengenalan atau persepsi terhadap obyek. Proses ini
menimbulkan sikap tertentu pada individu.
4. Dapat meliputi satu obyek dan meliputi sekumpulan obyek (kecenderungan untuk
menggeneralisasikan obyek sikap).
5. Mengandung faktor perasaan dan faktor motif. Jadi sikap terhadap obyek
tertentu selalu ada perasaan yang menyertai dan mempunyai motivasi untuk
bertindak tertentu terhadap obyek yang dihadapi individu.
1. Pengalaman pribadi
Apa yang kita alami akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan kita
terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap.
Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai
pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Pengalaman pribadi tersebut
akan menjadi dasar pembentukan sikap apabila mempunyai kesan yang kuat. Oleh
karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut
terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar
terhadap pembentukan sikap kita. Kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap
kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota
masyarakatnya karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-
individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya. Hanya kepribadian
individu yang kuat yang dapat memudarkan dominasi kebudayaan dalam pembentukan
sikap individu.
4. Media massa
Sebagai sarana komunikasi, media massa mempunyai pengaruh dalam
pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai
tugas pokoknya, media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang
dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-
pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi
dasar afektif dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
G. Heteroseksual Remaja
Pada awalnya, remaja mengelakkan bergaul dengan lawan jenis, dan lebih ingin
ada bersama dengan kawan sejenisnya. Kebersamaan ini memberikan perasaan
kebanggaan, dan kenikmatan tersendiri. Akan tetapi keadaan ini tidak akan terus
demikian. Setelah gejolak sekitar haid dan ejakulasi pertama, mereka mulai merasa
tertarik kepada lawan jenisnya. Inilah tahap perkembangan heteroseksual (Riberu,
1985).
Ketika mereka secara seksual sudah matang, laki-laki maupun perempuan mulai
mengembangkan sikap yang baru pada lawan jenisnya dan mengembangkan minat
pada kegiatan-kegiatan yang melibatkan laki-laki dan perempuan. Minat yang baru ini
bersifat romantis dan disertai dengan keinginan yang kuat untuk memperoleh dukungan
dari lawan jenis (Hurlock, 1996).
Tugas perkembangan berikutnya yang harus dikuasai remaja adalah belajar
memerankan peran seksual yang diakui (Hurlock, 1996). Peran seksual pada hakikatnya
adalah bagian dari peran sosial pula. Sama halnya dengan anak yang harus
mempelajari perannya sebagai anak terhadap orang tua atau sebagai murid terhadap
guru, maka ia pun harus memepelajari perannya sebagai anaksebagai jenis kelamin
tertentu terhadap jenis kelamin lawannya. Jadi, peran seksual ini tidak hanya ditentukan
oleh jenis kelamin yang bersangkutan tetapi juga oleh lingkungan dan faktor-faktor
lainnya. Dengan demikian tidak otomatis seorang laki-laki harus bermain mobil-mobilan
dan robot-robotan sedangkan anak perempuan bermain boneka dan rumah-rumahan.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak anak laki-laki tertarik pada boneka-boneka dan
anak perempuan pada robot-robotan dan akhirnya mereka tetap menjadi orang dewasa
pria atau wanita yang normal atau tidak menjadi banci (Sarwono, 1989).
Pada masa remaja, perkembangan kebutuhan seks dan pembentukan peranan
jenis berjalan sejajar dan menentukan akan menjadi wanita atau pria bagaimanakah
kelak. Pada suatu saat tertentu terlihat bahwa para remaja mengalami keraguan tentang
peranan jenisnya masing-masing. Sering timbul keraguan mengenai bakat kelaki-lakian
atau kewaniaannya. Apakah mereka tertarik pada jenis laki-laki atau wanita. Tambahan
pula pengaguman pada terhadap seorang yang sama jenisnya, akhirnya menyebabkan
timbulnya ikatan dan terbentuknya tingkah laku yang terwujud dalam perilaku seksual
yang menyimpang: wadam, bencong, homoseks dan lesbian (Gunarsa dan
Gunarsa,1984).
Sebagai contoh adalah kasus anak keenam dari enam bersaudara yang
semuanya laki-laki. Pada waktu anak keenam ini lahir ibunya kecewa karena ibunya
sangat menginginkan anak wanita. Sejak masa bayi, ibunya sudah mengeluarkan
pakaian bayi yang telah disiapkan untuk bayi perempuan. Sampai agak besar ia masih
mengenakan baju perempuan hingga saat SD seakan-akan terpaksa memakai celana
dan kemeja laki-laki. Ternyata pada umur 12 tahun, kukunya dipelihara dan diberi
pewarna kuku. Demikian pula matanya diberi make up khusus di mana akhirnya ia
menjadi “korban” homoseksualitas.
Dari contoh di atas terlihat pada mulanya hanya keinginan untuk memakai
pakaian dari lawan jenis, kemudian terjadi peralihan dari tingkahlaku ini ke hal-hal yang
seksual. Bahkan selanjutnya terjadi peralihan peranan jenis yang berganti-ganti sebagai
akibat lingkungan termasuk lingkungan keluarganya. Contoh penyimpangan seperti di
atas ternyata banyak ditemukan. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa
pengalaman seseorang dapat menjadi faktor penyebab timbulnya penyimpangan
perkembangan heteroseksual (Gunarsa dan Gunarsa, 1984).
H. Pengertian Waria
Waria adalah seorang laki-laki namun cenderung bertingkah laku sebagai wanita
(Koeswinarno, 1996; dan P. Esty dan Sugoto, 1998). Misalnya dalam penampilannya, ia
mengenakan busana dan aksesoris seperti halnya wanita. Begitu pula dalam perilaku
sehari hari, ia juga merasa dirinya sebagai wanita yang memilki sifat lemah lembut.
Elisabeth (1996) mengatakan bahwa seorang waria adalah seseorang yang memiliki
fisik laki-laki tetapi psikis wanita yang diperoleh sejak lahir. Mereka terdiri atas dua
golongan, yaitu :
1. Interseksualita dengan organ seksual laki-laki tetapi juga mempunyai hormone
perempuan, dan;
2. Transseksualisme sebagai seseorang yang mempunyai fisik laki-laki tetapi psikis
wanita.
Istilah waria pada dasarnya memang ditujukan pada penderita transseksual atau
seseorang yang memiliki fisik berbeda dengan jiwanya, yaitu secara fisik laki-laki,
namun jiwanya perempuan. Oleh karena itu, mereka mempunyai keinginan yang kuat
untuk mengubah alat-alat seksnya dengan jalan pembedahan dan penyuntikan hormon
agar tercapai bentuk anatomis serta fisiologisnya sesuai dengan seks yang
diinginkannya (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998).
Kartono (1989) juga mengatakan bahwa waria termasuk dalam kelainan seksual
yang disebut dengan transseksual. Ia menyebutkan bahwa seorang waria mempunyai
keinginan untuk menolak sebagai laki-laki dan merasa memiliki seksualitas yang
berlawanan dengan struktur fisiknya. Implikasi lebih lanjut adalah orientasi seksual
mereka bukan heteroseksual melainkan homoseksual.
Jadi dapat dijelaskan bahwa waria adalah seseorang yang mempunyai fisik
sempurna sebagai laki-laki, namun bersifat, bertingkah laku, serta berperasaan seperti
wanita sehingga cenderung menampilkan diri sebagai wanita dan menolak sebagai laki-
laki, bahkan mempunyai keinginan untuk mengubah alat-alat seksnya menjadi wanita
dengan cara pembedahan dan penyuntikan hormon. Implikasi selanjutnya adalah
orientasi seksual mereka homoseksual.
I. Faktor-faktor Penyebab
1. Lingkungan
Freud mengatakan bahwa sebagian besar penyebab menjadi waria adalah
pengaruh dari luar atau sesudah dilahirkan (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998).
Dalam beberapa teori psikologi disebutkan bahwa kecenderungan orang menjadi waria
salah satunya disebabkan oleh heterophobia, yaitu adanya ketakutan pada hubungan
seks dari jenis kelamin yang lain karena pengalaman yang salah (Davidson dan Neale,
1978 dalam Koeswinarno, 1996).
2. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran yang memberikan cukup pengaruh adalah pembelajaran
pada masa anak-anak yang biasanya melalui identifikasi terhadap suatu tokoh. Sebagai
contoh, anak laki-laki mengidentifikasi ayah, sedangkan anak perempuan
mengidentifikasi dirinya kepada ibu. Jika terjadi kebalikannya, maka akan terjadi
kekacauan (Yanti dalam P. Esty dan Sugoto, 1998). Pada umumnya para orang tua
tidak menyadari secara lebih dini bahwa anak mereka mengalami kelainan kepribadian.
Mereka kurang menyadari bahwa akibat dari perilaku sehari-hari yang dianggap wajar,
pada akhinya akan menciptakan pribadi-pribadi yang menyimpang. Meskipun tahap-
tahap perkembangan libido ditentukan secara biologis, harus diakui bahwa
perkembangan anak-anak dipengaruhi oleh reaksi tokoh-tokoh penting, yaitu melalui
cara-cara pengasuhan, sikap orang tua dan sebagainya (Koeswinarno, 1996).
b. Prasangka
Prasangka diartikan sebagai sikap atau pandangan terhadap individu atau kelompok
individu yang terlibat dalam suatu kelompok tertentu. Pada umumnya, prasangka
mengarahkan pada tindakan diskriminasi (Baron & Birne, 2004). Waria sering
dihubungkan dengan prostitusi, seks bebas, penyakit seksual, sampah masyarakat, dan
kurang berpendidikan. Masyarakat cenderung menganggap kaum waria sebagai momok
sehingga cenderung mengucilkan dan menunjukkan sikap diskriminatif. Adapula yang
menganggap bahwa kecenderungan sebagai waria dapat menular sehingga masyarakat
cenderung menarik diri dan takut berdekatan dengan waria (Santoso, 2007; Yuliani,
2006).
Sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang terhadap suatu obyek
yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan dasar untuk
membuat kecenderungan berperilaku atau merespon obyek tersebut dengan cara
tertentu. Seperti yang sudah diuraikan dalam bab sebelumnya, sikap terdiri dari tiga
komponen, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif adalah komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan,
keyakinan tentang obyek, komponen afektif adalah komponen yang berhubungan
dengan perasaan atau emosional respondentif terhadap obyek tertentu, sedangkan
komponen konatif adalah komponen yang berhubungan dengan kecenderungan
bertindak terhadap obyek (Azwar, 1998).
Tekait dengan hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa keempat subyek
mendapatkan bermacam-macam informasi mengenai waria. Informasi tersebut pun
berbeda-beda karena latar belakang subyek yang berbeda-beda. Akan tetapi, nformasi
yang didapat tidak begitu saja diterima. Keempat subyek tetap menyikapi kaum waria
berdasarkan pemikirannya sendiri secara kritis dan obyektis.
Melihat hasil penelitian ini, sikap remaja terhadap kaum waria bisa dikatakan
positif dan cenderung menerima. Sikap tersebut muncul karena pemikiran dan
pengolahan masing masing subyek sendiri berdasarkan informasi dan pengalaman yang
didapatkan subyek. Perbedaan tempat tinggal subyek yang menyebabkan informasi
yang didapatkan subyek berbeda-beda tidak begitu saja diterima oleh subyek untuk
menyikapi kaum waria. Subyek tetap menyikapi kaum waria bedasarkan pemikirannya
sendiri dan berdasarkan keadaan yang
sesungguhnya. Sebagai contoh, subyek mengetahui bagaimana sikap warga sekitar
tempat tinggalnya, teman-teman sebayanya, dan lembaga pendidikan dan
kemasyarakatan atau sekolah yang berbeda-beda, yaitu ada yang bisa menerima dan
ada yang tidak. Akan tetapi, dari perbedaan tersebut, keempat subyek tetap bersikap
positif dengan menerima kaum waria.
Tidak semua kaum waria disikapi positif dengan diterima oleh remaja. Seperti
yang telah diuraikan di atas, remaja belum bisa menerima kaum waria yang yang suka
mangkal dan menggoda di pinggir-pinggir jalan atau menjadi PSK karena takut, jijik dan
lain-lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa diterima atau tidak kaum waria,
tergantung dari perilakunya sendiri.Untuk meningkatkan kualitas penelitian ini, peneliti
menggunakan validitas komunikatif, yaitu mengkonfirmasikan kembali data dan
analisisnya kepada subyek penelitian. Selain itu, peneliti juga secara terbuka
mendiskusikan proses penelitian dan hasil temuan dari pengumpulan data dengan pihak
lain, yaitu dengan dosen pembimbing, teman, sesama peneliti, dan pihak lain yang
dianggap kompeten sehingga mendapatkan saran dan kritik untuk meningkatkan
kualitas penelitian ini. Selain validitas, peneliti juga menggunakan reliabilitas yang telah
ditempuh dengan cara menggunakan alat perekam saat wawancara,
memberikan uraian deskriptif yang konkret, catatan ucapan, dan percakapan verbatim
sehingga tidak menimbulkan tafsiran yang beragam. Selain itu, peneliti melampirkan
penelitian lain mengenai waria yang hasilnya kurang lebih sama dengan penelitian ini
untuk mendukung kualitas penelitian ini.
Penelitian laintersebut adalah penelitiannya Hariyanti (2004) yang hasilnya
menyebutkan bahwa waria dapat berinteraksi dengan baik di masyarakat sekitar tempat
tinggal waria tersebut.
WARIA
INDIVIDU RESILIEN
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif-
deskriptif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati Bogdan dan Taylor (dalam
Moleong, 1989). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis,
faktual, dan akurat tentang fakta-fakta atau keadaan tertentu, yaitu sikap remaja
terhadap kaum waria. Sedangkan Travers dan Sevilla (dalam Halida, 2004),
mengatakan bahwa data yang diperoleh bertujuan untuk menggambarkan suatu
keadaan yang sementara berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa
sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.
B. Unit Penelitian
1. Sikap
Sikap adalah suatu kumpulan pendapat, keyakinan seseorang mengenai obyek
yang relatif menetap, yang disertai perasaan tertentu, dan memberikan dasar untuk
membuat kecenderungan berperilaku atau merespon obyek tersebut dengan cara
tertentu.
2. Remaja
Remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seseorang baik laki-laki
maupun perempuan yang berusia 18 – 21 tahun.
3. Waria
Waria adalah seseorang yang mempunyai fisik sempurna sebagai laki-laki,
namun bersifat, bertingkah laku, serta berperasaan seperti wanita sehingga cenderung
menampilkan diri sebagai wanita dan menolak sebagai laki-laki, bahkan mempunyai
keinginan untuk mengubah alat-alat seksnya menjadi wanita dengan cara pembedahan
dan penyuntikan hormon.
C. Subyek Penelitian
Subyek akan diambil dengan teknik pemilihan yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian. Jumlah subyek dalam penelitian ini adalah empat orang remaja yang
bertempat tinggal di Yogyakarta dengan kriteria sebagai berikut :
1. Pria atau wanita yang sedang menempuh pendidikan di SLTA atau pun yang
sudah di perguruan tinggi.
2. Berusia 18 – 21 tahun dengan rincian satu orang berusia 18 tahun, satu orang
berusia 19 tahun, satu orang berusia 20 tahun, dan satu orang berusia 21 tahun.
3. Tahu apa yang disebut waria sesuai dengan definisi operasional.
4. Jarak tempat tinggal subyek dengan lokasi kaum waria biasa berkumpul.
Keempat subyek yang diambil bertempat tinggal di Yoyakarta, mulai dari yang
bertempat tinggal dekat dengan lokasi kaum waria berkumpul hingga jauh dari
lokasi kaum waria biasa berkumpul, yaitu kurang 1 Km, antara 1 Km – 5 Km,
antara 5 Km – 10 Km, dan lebih dari 10 Km. Sejauh penelusuran peneliti, di
Yogyakarta ada beberapa tempat yang sering digunakan untuk mangkal para
waria, yaitu di Parangkusumo, di Jalan Lingkar Selatan, tepatnya di utara pabrik
gula Madukismo yang dikenal dengan sebutan “Krasil”, di sebelah timur
perempatan terminal Giwangan, di taman kota (depan Bank Indonesia), di sekitar
stasiun Tugu dan stasiun Lempuyangan termasuk di perempatan Pengok,
perempatan Galeria, dan Jalan Kaliurang mulai perempatan mirota kampus
sampai perempatan Barek.
Pengambilan subyek didasarkan pada jarak tempat tinggal subyek dengan lokasi
kaum waria biasa berkumpul karena diasumsikan bahwa subyek yang tempat tinggalnya
dekat dengan lokasi kaum waria biasa berkumpul, akses pengetahuannya tentang waria
lebih banyak karena lebih sering melihat dan memperhatikan kaum waria dan tentu hal
ini akan mempengaruhi sikap mereka. Sedangkan subyek yang tempat tinggalnya jauh
dari lokasi kaum waria biasa berkumpul diasumsikan akses pengetahuannya tentang
waria lebih sedikit dibanding yang dekat sehingga mungkin akan terjadi perbedaan sikap
antara subyek yang dekat dengan subyek yang jauh tempat tinggalnya dengan lokasi
kaum waria biasa berkumpul. Dengan kriteria di atas diharapkan mampu mewakili
populasi remaja yang ada sehingga subyek bisa representatif dan sesuai dengan tujuan
penelitian.
E. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti dalam
pelaksanaan penelitian ini. Tahapan tersebut antara lain:
1. Mengumpulkan kajian literatur yang berkaitan dengan data penelitian, yakni
waria, penolakan lingkungan dan resiliensi. Data yang dikumpulkan diperoleh
dari buku, jurnal, artikel serta infomasi lain yang berkaitan dari internet.
2. Peneliti menentukan karakteristik partisipan dan menentukan sampel yang
akan menjadi partisipan.
3. Peneliti bertemu dan membangun rapport dengan partisipan. Selain itu,juga
ditanyakan mengenai kesediaan menjadi partisipan dalam penelitian ini.
4. Menyusun pertanyaan yang akan dijadikan sebagai panduan untuk
melakukan wawancara.
5. Sebelum melakukan wawancara, peneliti juga terlebih dahulu meminta
kesediaan menjadi partisipan penelitian dengan menandatangani inform
consent yang berisi proses pengambilan data, serta akibat dan hak-hak yang
diperoleh partisipan ketika melakukan proses wawancara.
6. Menghubungi partisipan untuk membuat kesepakatan mengenai waktu dan
tempat wawancara.
7. Setelah proses wawancara, hasil wawancara dibuat menjadi data verbatim
oleh peneliti yang diperoleh dengan bantuan sound recorder. Hasil verbatim
juga diberikan keterangan kode-kode.
8. Melakukan analisis sesuai dengan metode yang sudah ditentukan. Tahap ini
juga diawasi dan dikoreksi oleh dosen pembimbing sehingga tercapai
maksud dan tujuan penelitian.
9. Hasil data yang sudah dikonsultasikan kemudian ditarik kesimpulannya
sehingga diperoleh saran bagi waria, masyarakat dan peneliti lain.
b. Triangulasi pengamat
Adanya pengamat di luar penulis yang turut memeriksa hasil
pengumpulan data.
c. Triangulasi teori
Penggunaan berbagai teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data
yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. Pada penulisan ini, berbagai teori
telah dijelaskan pada bab 2 untuk dipergunakan dan menguji terkumpulnya data
tersebut.
d. Triangulasi metode
Penggunaan berbagai metode untuk meneliti suatu hal, seperti metode
wawancara dan metode observasi. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
metode wawancara yang ditunjang dengan metode observasi pada saat
wawancara dilakukan.
4. Keajegan ( reliability)
Keajegan merupakan konsep yang mengacu pada seberapa jauh penelitian
berikutnya akan mencapai hasil yang sama apabila mengulang penelitian yang
sama. Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan selanjutnya
memperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan
subjek yang sama.
Hal ini menunjukan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain
menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan
pengelolahan data. Dalam penelitian ini menggunakan kredibilitas penelitian
yaitu, keabsahan internal dan eksternal karena mencoba menggambarkan
realitas yang sesungguhnya dan melihat perbedaanya dengan teori.
Alasan lainnya menggunakan kredibilitas penelitian ini karena penelitian ini
kualitatif yang akan terus berubah jika penelitian ini telah selesai dan tidak ada
kesimpulan yang pasti.
G. Analisis Penelitian
Dalam setiap penelitian perlu disertakan standar yang dipakai untuk
mengevaluasi penelitian tersebut. Begitu pula dengan jenis penelitian kualitatif, untuk
dapat menjadi suatu penelitian yang baik harus mampu memenuhi standar-standar
tertentu. Standar-standar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kredibilitas
Kredibilitas dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut
kualitas penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005). Kredibilitas studi kualitatif
terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau
mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial, atau pola interaksi yang
kompleks.
Istilah kredibilitas ini pada dasarnya merupakan pengganti konsep
validitas. Namun, beberapa peneliti tetap menggunakan istilah validitas. Stangl
(1980) dan Sarantakos (1993) menyampaikan bahwa dalam penelitian kualitatif,
validitas dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui
orientasinya, dan upayanya mendalami dunia empiris dengan menggunakan
metode paling cocok untuk pengambilan dan analisis data (dalam Poerwandari,
2005). Konsep yang digunakan antara lain validitas kumulatif, validitas
komunikatif, validitas argumentatif dan validitas ekologis. Validitas kumulatif
dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang sama menunjukkan
hasil yang kurang lebih serupa. Validitas komunikatif dilakukan melalui
dikonfirmasikannya kembali data dan analisisnya kepada subyek penelitian.
Validitas argumentatif dapat tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan
dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat
kembali ke data mentah. Sementara itu, validitas ekologis menunjuk pada sejauh
mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari partisipan yang diteliti, sehingga
justru kondisi “apa adanya” dan kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting
penelitian (Sarantakos, dalam Poerwandari,2005).
Dalam penelitian ini, langkah-langkah peneliti dalam melakukan analisis
adalah sebagai berikut:
1. Membuat verbatim berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan
bantuan tape recorder.
2. Membuat kode-kode atas tema-tema utama yang muncul untuk diberikan
pada proses kategorisasi.
3. Melakukan kategorisasi terhadap tema-tema utama yang muncul dari
verbatim wawancara dengan kode-kode yang telah dibuat sebelumnya;
4. Melakukan cross check dengan subyek untuk mendapatkan validitas atas
data yang diperoleh peneliti.
5. Peneliti juga secara terbuka mau mendiskusikan proses penelitian, hasil
temuan dari pengumpulan data tersebut dengan pihak lain, seperti dengan
sesama peneliti yang sedang melakukan penelitian dan juga dengan dosen
pembimbing, sehingga dimungkinkan mendapatkan saran dan kritik yang
bisa meningkatkan kualitas atau kepercayaan dari penelitian ini.
b. Dependabilitas
Dependabilitas menggantikan istilah reliabilitas. Melalui konstruk
dependabilitas, peneliti memperhitungkan perubahan-perubahan yang mungkin
terjadi menyangkut fenomena yang diteliti, juga perubahan dalam desain sebagai
hasil dari pemahaman yang lebih mendalam tentang setting yang diteliti. Yang
dapat dilakukan adalah mengkonsentrasikan diri pada pencatatan rinci fenomena
yang diteliti, termasuk interrelasi aspek-aspek yang berkait. Dengan melakukan
pencatatan rinci tersebut, peneliti mengundang orang lain untuk mempelajari
dengan seksama hasil penelitian tersebut. Akhirnya, dengan data mentah yang
terkumpul lengkap dan diorganisasikan dengan baik, peneliti memungkinkan
pihak lain untuk mempelajari data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis bila
perlu, bahkan melakukan analisis kembali (Marshall dan Rossman, dalam
Poerwandari, 2005).
Wawancara informan 1 :
Nama : AD
Usia : 21 tahun
Isi Wawancara :
A : hallo?
AD : hallo juga
AD : Iya kenal.
AD : dia diem aja si, paling dia ketawak aja ngeliat aku sama temen-temen dia yang
lain gangguin waria itu.
A : apa TYS pernah bersikap tidak baik dengan waria tersebut misalnya seperti
membully gitu?
AD : gak pernah si dia lebih ke diam paling cuma ngeliat temen-temennya yang lain
yang lagi ganggui waria itu.
A : hmm jadi menurut kamu gimana perlakuan TYS kepada seorang waria?
AD : Gimana ya dia kayak peduli gak peduli gitu, cemana ya bilang nya, ya kayak
gak open gitu cuma dia memperhatikan gitulah pokoknya susah aku jelasinnya.
AD : Iya sama-sama.
Wawancara informan 2 :
Nama : FDY
Usia : 20 tahun
Isi wawancara :
A : Assalamualaikum.
FDY : waalaikumsalam.
FDY : hmm sejak SMP, dulu waktu SMP kami satu sekolah.
A : selama kamu berteman sama TYS pernah gak kalian jumpa sama yang
namanya seorang waria?
FDY : Hmm pernah, waktu itu kami pulang dari tempat les.
A : saat bertemu seorang waria apa yang dilakukan TYS terhadap waria yang ia
temui?
FDY : apaya? Gak ada si cuma ngebereng (melihat dengan tatapan tajam), he..he..
A : apa TYS pernah bersikap tidak baik misalnya seperti membully waria yang ia
temui.
FDY : Kayaknya gak pernah si, paling cuma ngebereng gitu aja kalo lebih dari itu gak
pernah.
A : jadi menurut kamu bagaimana perlakuan TYS terhadap waria yang ditemuinya?
FDY : Ya gitulah hehe (sembari tertawa kecil) gak ada yang mengganggu si dan gak
ada yang menyimpang perlakuannya.
Wawancara informan 1 :
Nama : FN
Usia : 20 tahun
Isi Wawancara :
FN : hallo.
FN : Kenal.
A : ketika bertemu dengan waria tersebut apa yang dilakukan oleh RBY?
A : pernah gak sih RBY bersikap tidak baik dengan waria seperti membully gitu?
FN : Gak pernah, soalnya waria yang kami jumpai ramah dan baik.
Wawancara informan 2 :
Nama : AF
Usia : 20 tahun
Isi wawancara :
A : Assalamualaikum ukhti.
A : SubhanAllah
AF : (tersenyum lebar)
AF : bisa kalipun.
A : saat bertemu waria apa yang dilakukan RBY pada waria itu?
AF : Ya diem aja, soalnya kami ketemunya dijalan sedangkan kami didalam mobil.
A : Apa kamu pernah melihat RBY bersikap tidak baik misalnya seperti membully
waria yang ia temui?
AF : Gak pernah sih, mana berani kami ganggu waria soalnya katanya mereka kalo
marah ngerih mau mengancam gitu.
Nama : MA
Usia : 21 tahun
Isi Wawancara :
MA : Oh bisa-bisa.
MA : Seringlah apalagi kalau kami pulang malam lewat jalan GM, banyak kali itu
disana.
A : ketika bertemu dengan waria tersebut apa yang dilakukan oleh WCK?
A : apa WCK pernah bersikap tidak baik dengan waria tersebut misalnya seperti
membully gitu?
MA : HAHAHA dia gak pernah ngebully gitu paling yang kayak ku bilang tadi cuma
manggil-manggil gitu aja, tapi dulu pernah dia dicolek sama waria dari situ dia
gak pernah lagi ku liat manggil-manggil bencong itu, eh maksudnya waria.
A : hmm jadi menurut kamu gimana perlakuan WCK kepada seorang waria?
MA : Ya sama kayak laki-laki lain kalo lagi jumpa waria lah dek, cemana lagi.
Wawancara informan 2 :
Nama : WN
Usia : 20 tahun
Isi wawancara :
WN : Dari zaman capek udah jumpa aku sama dia, enggak-enggak becanda dek.
Waktu kuliah inilah aku kenal sama dia.
A : selama berteman dengan WCK perna Jumpa sama yang namanya seorang
waria?
WN : Pernah lah, aku yang lagi yang jempakan dia sama waria itu.
A : saat bertemu seorang waria apa yang dilakukan WCK kepada waria itu?
WN : Diem aja sibangsat itu, katanya gelik dia ngeliat waria karna pernah dia cerita
samaku dicolek-colek dia sama bencong itu.
A : Hmm, apa WCK pernah bersikap tidak baik misalnya seperti membully waria
yang ia temui?
WN : Gak pernah sih, kami ajalah dek yang ganggu-ganggu trauma dia kayaknya
karna di colek itu
A : Jadi menurut kamu bagaimana perlakuan WCK terhadap waria yang
ditemuinya?
WN : Baik dia dek sama waria, mangkanya wariapun tertarik sama dia.
A : Terimakasih sudah meluangkan waktunya.
WN : Iya sama-sama.
DAFTAR PUSTAKA
Andalina, E. R., and Allgerer, A. R. (1991). Sexual Interaction. Toronto: De Health &
Company.
ABSTRAK
Waria adalah kaum marjinal yang mendapat tekanan secara struktur dan
kultur. Waria sering dikucilkan bahkan mendapat perlakuan diskriminatif.
Melakukan kajian tentang sikap masyarakat terhadap waria menjadi sangat
penting melihat fenomena ini. Kajian ini bertujuan untuk memperoleh
gambaran mengenai sikap masyarakat terhadap waria dilihat dari aspek
pengetahuan, perasaan, dan sikap terhadap waria menurut kecenderungan
perilaku dan harapan-harapan masyarakat. Penulisan ini menggunakan
metode deskriptif dengan studi wacana yang bertujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagai sikap masyarakat terhadap waria.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dominan masyarakat tidak mengetahui
tentang apa dan bagaimana waria itu. Selanjutnya dominan masyarkat
merasa bahwa nilai yang dianutnya bertentangan dengan keberdaan waria
di tengah-tengah masyarakat. Dan yang kebih ekstrim adalah bahwa
masyarakat cenderung menjauhi waria kecuali jika memiliki kepentingan
yang terkait dengan keberadaan dari seorang waria tersebut. Hal yang
demikian itulah yang kemudian mengkonstruksi pemikiran masyarakat
mengenai waria yang lebih cenderung memberi label negatif terhadap kaum
waria.
1. PENDAHULUAN
Kehidupan masyarakat Indonesia selama ini hanya dikenal dua katergori jenis kelamin,
yakni laki-laki dan perempuan. Keduanya dikonstruk pada posisinya masing-masing dan
tidak boleh ada yang saling bertukar. Laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan
dengan kefeminimannya serta keduanya diposisikan untuk berpasangan. Tidak ada tempat
untuk laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan dan demikian pula laki-laki
dengan identitas penampilan perempuan atau sebaliknya. Masyarakat terkadang
menganggap hal tersebut adalah keabnormalan yang dianggap berada diluar pola
pengaturan yang sudah baku.
Sebenanrya normalitas dan abnormalitas itu masih samar-samar batasnya.
Kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan sebagai sesuatu yang normal oleah suatu
kelompok, terkadang dianggap abnormal oleh kelompok masyarakat lainnya. Menurut
Ruth Benedict penggolongan kepribadian “normal” dan “abnormal” berhubungan erat
dengan perumusan konfigurasi atau pola kebudayaan dari suatu masyarakat. Hal
tersebut kemungkinan besar tidak berlaku jika keabnormalan tersebut sudah sangat
mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku normal pada umumnya atau
masyarakat dominan berbuat demikian, maka biasanya langsung dinyatakan sebagai
abnormal.
Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah waria yang besar. Menurut
data statistik yang dimiliki Persatuan Waria Republik Indonesia, jumlah waria yang
terdata dan memiliki Kartu Tanda Penduduk mencapai 3.887.000 jiwa pada tahun 2007.
Saat ini menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia bahwa belum adanya data
yang akurat dan mutakhir tentang gambaran atau profil waria. Hal ini menyebabkan sulit
merumuskan kebijakan dan program, serta rencana kerja bagi lembaga atau instansi
terkait melaksanakan koordinasi secara terpadu.
Jumlah waria di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan terbilang cukup banyak.
Perkiraan tersebut didasarkan atas informasi dari salah satu waria yang sering berada
di lokasi tempat dia mangkal selama ini. Selain itu, bukti lain yang mendukung
bertambahnya jumlah waria yaitu adanya festival waria yang beberapa tahun ini
dilaksanakan. Tidak hanya itu, beberapa tahun belakangan sudah ada tempat yang
sering dijadikan “tempat nongkrong” waria.
Masyarakat pada umumnya yang memiliki struktur normatif seperti ‘yang
dianggap baik’, ‘yang dianggap seharusnya’ dan ‘yang menyangkut kepercayaan’.
Stigma masyarakat tentang waria sudah menyalahi normatif yang ada yaitu ‘yang
dianggap seharusnya’. Seorang laki-laki seharusnya menjadi laki-laki dengan
kemaskulinannya dan perempuan seharusnya menjadi perempuan dengan
kefeminimannya serta keduanya diposisikan untuk berpasangan. Menyangkut hal
tersebut dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya dan hukum, waria terkadang
mendapat perlakuan tidak adil seperti pengucilan dari masyarakat atau sulitnya
mengakses lapangan kerja dalam sektor formal. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang
terkandung dalam UUD 45 yang menyebutkan beberapa hak warga negara terkait
dengan hak asasi manusia yaitu :
1) Pasal 28D ayat (1) UUD 45 amandemen kedua: ”Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”.
2) Pasal 28D ayat (2) UUD 45 amandemen kedua:” Setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.”
3) Pasal 28D ayat (3) UUD 45 amandemen kedua:” Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
a. Permasalahan Internal
1) Merasa tidak jelas identitas dan kepribadiannya mengakibatkan waria berada
dalam posisi kebingungan, canggung, tingkah laku berlebihan, dampak lainnya
sulit mencari pekerjaan bahkan depresi dan mau bunuh diri.
2) Merasa terasing dan merasa ditolak mengakibatkan para waria meninggalkan
rumah, frustasi, kesepian,mencari pelarian yang seringkali makin merugikan
dirinya.
3) Merasa ditolak dan didiskriminasi mengakibatkan permasalahan terutama dalam
kehidupan sosial, pendidikan, akses pekerjaan baik formal maupun informal.
Implikasinya adalah banyak waria yang merasa kesulitan memperoleh pekerjaan,
pendidikan, maupun terhambat proses interaksi sosial.
b. Permasalahan Eksternal
1) Permasalahan keluarga
Pada konteks integrasi dengan keluarga para waria seringkali dianggap
sebagai aib dan mendatangkan kesialan dalam keluarga sehingga banyak
diantara mereka tidak mengakui, mengucilkan, membuang, menolak,
mencemooh bahkan mengasingkan. Selain itu, keluarga juga menutup atau
menarik diri dari masyarakat
2) Permasalahan masyarakat
Para waria dan komunitasnya dianggap sebagai sosok yang melakukan
penyimpangan yang banyak menimbulkan masalah di lingkungan masyarakat.
Terutama dari segi permasalahan seksual yang dapat mempercepat penyebaran
IMS (Infeksi Menular Seksual) dan HIV/ AIDS. Disamping itu masyarakat juga
mempunyai stigma dan penolakan terhadap waria dan keluarganya sehingga
berdampak pada pengucilan sosial, diskriminasi dan pelecehan serta perlakuan
salah lainnya.
3) Data
Belum ada data yang akurat dan mutakhir tentang gambaran profil waria. Hal ini
menyebabkan sulitnya merumuskan program dan kebijakan, serta rencana kerja
bagi lembaga/instansi terkait dan melaksanakan koordinasi secara terpadu.
4) Kebijakan
Belum optimalnya kebijakan dan peraturan yang memberikan pelayanan sosial
terhadap waria secara terkordinasi, terpadu dan berkelanjutan sehingga
kebutuhan waria terhadap akses ke dunia pendidikan dan pekerjaan belum
memperoleh perhatian yang optimal.
2. METODE ANALISIS
Tulisan ini menggunakan metode yang observasi pasif yaitu melihat fenomena
secara tidak langsung, menggunakan studi pustaka sebagai alat analisis fenomena
tersebut. Menurut M. Nazir (1998) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada
hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.
Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari
penelaahan terhadap suatu obyek kajian. Teori-teori yang mendasari masalah dan
bidang yang diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu
seorang peneliti dapat memperoleh informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau
yang ada kaitannya dengan penelitiannya. Dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, peneliti dapat memanfaatkan
semua informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya.
3. PEMBAHASAN
Penelitian Mia (2011) mendukung hal tersebut bahwa resiko menderit penyakit IMS dan
HIV/AIDS semakin besar karena stigma yang melekat pada waria menjauhkan waria
dari informasi dari informasi kesehatan ataupun memeriksakan kesehatan ke pelayanan
kesehatan. Stigma sebagai orang yang sakit jiwa ataupun menjijikan kepada waria
remaja, tidak hanya menjauhkan waria remaja dari informasi kesehatan, tetapi juga
membuat waria remaja mengalami keterbatasan dalam pergaulannya sehingga tidak
dapat mengeksplorasi potensi yang ada pada dirinya.
Kecenderungan perilaku masyarakat melalui sebuah penelitian yang
dipublikasikan Kompas (2015), pada hahun 2013 Arus Pelangi melakukan penelitian di
tiga Kota Jakarta, Yogyakarta dan Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
89,3% LGBTIQ menerima kekerasan baik verbal, fisik maupun psikis. Total jumlah
tersebut: 46,3% pernah mengalami kekerasan fisik, 79,1% pernah mengalami
kekerasan psikis. Kekerasan banyak terjadi di sekolah yang seharusnya mampu
memberi pencerahan tentang gender. Kekerasan yang diskriminatif yang diterima
membuat kaum LGBTIQ rentan. Acapkali LGBTIQ mencoba untuk bunuh diri sebagai
bentuk kerentanannya. Sejumlah 17,3% LGBTIQ pernah mencoba bunuh diri dan
16,4% pernah melakukan percobaan bunuh diri lebih dari sekali.
San Fransisco Department of Public Health study (Ekasari 2011) juga mencatat
83% waria melaporkan telah mengalami pelecehan secara verbal, 37 % mengalami
pelecehan seksal/fisik, 46% mengalami diskriminasi di masyarakat dan 37% mengalami
penolakan di dalam keluarga.
Keberadaan data tersebut di atas dapat bermakna bahwa kecenderungan
perilaku masyarakat pada waria dominan diwarnai kekerasan dan penindasan hak
asasi manusia. Hasil penelitian (Umi 2013) mengatakan masyarakat sekarang ini
sudah mulai terbuka dengan keberadaan waria. Mereka melihat waria bukan dari
identitasnya, tetapi dari pribadinya. Masyarakat memang belum bisa menerima
kewariaan seseorang karena menganut esensialisme, tetapi mereka sudah mulai
menghargai waia dan mau berbaur dengan waria. Tapi Penelitian yang dilakukan oleh
Afanda (2013) dalam karya ilmiahnya menunjukkan masih besarnya perilaku negatif
yang diterima oleh waria dalam kesehariannya. Mulai dari dikucilkan, umpatan, sampai
pada perilaku melempari waria dengan batu. Lantas, bagaimana waria dapat survive
sampai sekarang? Penjelasan logis menggunakan tindakan rasional weber, dimana
setiap tindakan individu pasti memiliki tujuan. Weber dalam Soelaeman (2008), tipe
tindakan sosial dasarnya adalah rasionalitas. Rasionalitas instrumental adalah tindakan
rasional yang paling tinggi pertimbangan dan pemilihannya secara sadar berhubungan
dengan tujuan tindakan dan alat yang digunakan untuk mencapainya. Pada tiap
individu memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui tindakan yang rasional. Waria
walaupun dibenci tetapi tetap merupakan kesatuan dari masyarakat yang dimana
memiliki manfaat. Keluwesan waria dalam hal kecantikan dan mengurus acara
pernikahaan menjadi potensi yang akan selalu dimanfaatkan oleh masyarakat.
Tindakan instrumental masyarakat yang selalu mencari maksud tertentu dapat
menjelaskan ketergantungan masyarakat pada waria dari sisi potensinya. Menurtu
kementerian social (2008) bahwa waria potensial adalah waria yang mempunyai
kapasitas yang dapat dikembangkan untuk kepentingan dirinya, kelompok dan
masyarakat. Misalnya disini waria yang dapat membuka lapangan pekerjaan.
Sedangkan Waria Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah waria
yang mengalami gangguan keberfungsian sosialnya seperti waria tuna susila, waria
gelandangan
dan pengemis dan lain sebagainya.
Menurut penelitian (Latiefa 2013) bahwa faktor ekonomi merupakan faktor utama dalam
merekonstruksi identitas. Karena waria yang berhasil merekonstruksi identitas baru
adalah waria yang secara ekonomi mapan. Selain itu juga dipengaruhi oleh lamanya
waria menjadi anggota pesantren. Waria yang baru menjadi anggota pesantren
menjadikan pesantren hanya sebagai sarana untuk belajar dan memperdalam agama
serta belum memanfaatkan pesantren sebagai sarana memperjuangkan identitasnya
dalam masyarakat hanya sekedar untuk menciptakan identitas baru menjadi waria yang
lebih baik untuk diri sendiri. Sedangkan yang ekonominya belum mapan belum berhasil
merekonstruksi identitas baru karena mereka harus fokus memenuhi kebutuhan
hidupnya sehingga belum tercapainya kesadaran untuk merekonstruksi identitas baru.
Berdasarkan Surahman (dikutip dari Mia ; 2011), mengungkapkan waria ditolak
untuk menjadi pegawai negeri, karyawan di kantor kantor swasta, atau berbagai profesi
lainnya, bahkan waria juga mengalami penolakan dan permasalahan dalam mengurus
KTP. Kondisi lain menggambarkan penampilan seperti banci atau waria di dunia hiburan
saat ini menjadi trend dan banyak disukai oleh penonton ataupun pemirsa TV,
sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu alternative untuk mendapatkan
penghasilan. Penampilan seperti banci yang cukup lucu dan menghibur banyak ditiru
oleh masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga dapat mendorong
peningkatan jumlah waria. Walaupun begitu, stigma waria sebagai kelompok yang
berperilaku menyimpang ataupun mengalami kelainan jiwa tetap saja melekat pada
waria.
Teori lain yang dapat menjelaskannya adalah interaksionis simbolik. Prinsip dasar
interiaksionis simbolik dalam ritzer (2012) yaitu (1) manusia, tidak seperti hewan-hewan
yang lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. (2) kemampuan untuk
berpikir dibentuk oleh interaksi social.
(3) dalam interaksi sosial orang yang mempelajari makna dan simbol-simbol yang
memungkinkan mereka melaksanakan kemampuan manusia yang khas untuk berpikir.
(4) makna-makna dan simbol- simbol memungkinkan orang melaksanakan tindakan
dan interaksi manusia yang khas. (5) orang mampu memodifikasi atau mengubah
makna-makna dan simbol-simbol yang mereka gunakan di dalam tindakan dan
interaksi berdasarkan penafsiran mereka atas situasi. (6) orang mampu membuat
modifikasi-modifikasi dan perubahan-perubahan itu, sebagian karena kemampuan
mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa
rangkaian tindakan yang mungkin, menaksir keuntungan-keuntungan dan kerugian
relatifnya, dan kemudian memilih salah satu diantaranya. (7) pola-pola tindakan dan
interaksi yang terangkai membentuk kelompok- kelompok dan masyarakat-masyarakat.
Pada dasarnya, interaksionis simbolik dilatarbelakangi paham pragmatis sehingga
setiap perilaku aktor itu memiliki makna dan bagaimana cara aktor tersebut bertindak
sesuai pemaknaannya dalam masyarakat. Pada masalah waria, dimana ada
keuntungan yang masing-masing diharapkan oleh kedua belah pihak. Mereka bertindak
hanya karena tujuan yang ingin dicapai masing-masing. Masyarakat menginginkan
potensi waria sebagai pakar kecantikan dan penghias pengantin, sedangkan waria
membutuhkan lahan mencari nafkah serta penerimaan dari masyarakat agar diterima
walaupun bukan secara personalnya.
Pada dasarnya, ada pemisahan pandangan yang mulai terbuka pada masyarakat
mengenai waria dan pekerjaannya. Kembali lagi menurut penelitian Umi (2013) bahwa
faktor ekonomi merupakan faktor utama dalam merekonstruksi identitas karena waria
yang berhasil merekonstruksi identitas baru adalah waria yang secara ekonomi mapan.
Hal tersebut senada dengan keberhasilan seorang artis Indonesia yang juga
merupakan seorang waria.
4. KESIMPULAN
Sebagai simpulan dari penulisan ini adalah bahwa sikap masyarakat dominan
mengucilkan waria. Pengetahuan masyarakat masih sebatas tentang waria secara
umum. Latar belakang penyebab adanya waria belum terlalu disadari terutama oleh
orang tua dan lingkungan sosialnya, walaupun faktor gen turut mempengaruhinya.
Masih banyak perilaku diskrimanatif dan melecehkan waria pada masyarakat. Walaupun
dalam beberapa penelitian sudah membuktikan bahwa waria sudah terbuka pada
masyarakat dan masyarakat sudah berbaur tapi dominan masih menolak. Waria pada
umumnya di berikan stigma oleh masyarakat tetapi dapat bertahan karena dari segi
manfaat, masyarakat bergantung pada waria dalam hal kecantikan dan dekorasi
pernikahan. Ini dinilai karena kerja waria lebih memuaskan ketimbang yang non-waria.
5. SARAN
Pada bagian ini penulis menyarankan agar waria sebagai fenomena masyarakat
diberikan prosi yang lebih besar untuk pengkajian pemahaman. Strategii konformitas
yang diajukan peneliti-peneliti selanjutnya pada waria dimaksudkan agar nantinya
walaupun tidak diterima tetapi masyarakat tidak melakukan hal yang melecehkan
secara fisik dalam artian ekstimnya. Lebih dari itu dapat dibuatkan sebuah program
nyata agar nantinya dapat menjadi waria potensial. Adanya potensi pada waria dapat
menjadi potensi agar berfungsi secara sosial di lingkungannya. Waria potensial
mendapat nilai dalam masyarakat karena memberikan manfaat lebih daripada waria
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial yang notabene merupakan masalah sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Ekasari, Mia Fatma. (2011). Studi Fenomenologi : Pengalaman Waria Remaja Dalam
Menjalani Masa Puber di Wilayah DKI Jakarta. (Tesis). Depok : Universitas
Indonesia Fakultas Ilmu Keperawatan. Diunduh dari http://www.mail-
archive.com/forum-pembacakompas@ yahoogroups.com/msg 14167.html
Latiefah, Umi. (2013). Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas (Studi Tentang
Waria Dalam Membangun Identitasnya Melalui Pesantren Waria Al-Fattah
Notoyudan, DIY). (Skripsi). Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi.
Munandar, Soelaman. (2008). Ilmu Sosial Dasar :Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: Refika
Aditama
Padmiati, Etty dan Sri Salmah. (2011). Waria Antara Ada dan Tiada. Yogyakarta:
B2P3KS Press.
Ritze, George. (2012). Teori Sosiologi : Edisi Kedelapan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar
ABSTRAK
ABSTRACT
This study aims to identify the factors causing the transgender transvestites in the city
of Banda Aceh. Transgender is a term that is addressed to someone who can not
identify specifically their sexual orientation, while transgender men is a normal man,
who had a normal sex, but psychologically feel themselves as women. This study
used a qualitative approach to the three respondents. And using the techniques of
data collection through interviews, observation and field notes. The results showed
that there are factors that cause the occurrence of transgender in Banda Aceh among
other social factors of family, differences in parenting are applied in the family of each
of the respondents gave a significant influence on the development.
Dinas Sosial Banda Aceh mengkategorikan waria ke dalam kelompok minoritas yang
mendapat bantuan agar tidak melakukan pekerjaan yang keliru, data pemberian
bantuan pada waria di Banda Aceh terhitung sejak tahun 2016 kepada 20 orang
waria, bantuan merupakan alat-alat kosmetik untuk usaha salon kecantikan yang di
rintis oleh waria di Banda Aceh, sehingga tidak melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan norma-norma yang ada tak kecuali seperti perilaku transgender. Transgender
adalah istilah yang ditujukan kepada seseorang yang tidak dapat menunjukkan secara
spesifik orientasi seksualnya, adapun transgender laki- laki adalah laki-laki normal,
yang memiliki kelamin yang normal, namun secara psikis merasa dirinya sebagai
perempuan. Akibatnya perilaku sehari-hari sering tampak kaku, fisik laki-laki, namun
cara berjalan, berbicara dan dandanan yang menyerupai perempuan. Dengan cara
yang sama dapat dikatakan laki-laki ini terperangkap pada tubuh yang salah.
Kehadiran seorang waria merupakan suatu proses yang panjang, baik secara
individual maupun sosial. Secara individual antara lain, lahirnya perilaku waria tidak
lepas dari suatu proses atau dorongan yang kuat dari dalam dirinya, yaitu keadaan
fisik yang tidak sesuai dengan kondisi psikis sehingga hal ini menimbulkan konflik
psikologis dalam dirinya. Individu dengan keadaan demikian ini mempresentasikan
perilaku yang jauh berbeda dengan laki- laki, tetapi juga bukan sebagai perempuan.
Permasalahannya tidak sekedar menyangkut masalah moral dan perilaku yang
dianggap tidak wajar, namun merupakan dorongan seksual yang sudah menetap dan
memerlukan penyaluran yang tidak dapat secara spesifik ditetapkan (Kartono dalam
Amanda, 2013)
Fenomena transgender menjadi menarik karena keberadaannya di Aceh yang
jelas melanggar aturan Islam dan waria masih sering terlihat di Banda Aceh, kota
dengan syariat Islam yang jelas melarang kehadiran pelaku transgender. Hal ini
menciptakan kesan tersendiri dengan adanya pria yang memutuskan untuk menjadi
waria di Kota Banda Aceh maka faktor apa saja yang membuat pria di Banda Aceh
memutuskan menjadi transgender, bagaimana pelaku transgender ini bisa bertahan
dan seperti apa respon yang diberikan oleh masyarakat Banda Aceh.
Tinjauan Pustaka
Gender adalah dimensi-dimensi psikologis dan sosio kultural yang dimiliki karena
seseorang terlahir sebagai lelaki atau perempuan. Sedangkan peran gender adalah
sebuah set ekspektasi yang menggambarkan bagaimana pria atau wanita seharusnya
berfikir, bertindak atau merasa (Santrock, 2009). Taylor dkk (2012) menyebutkan
bahwa gender adalah elemen dasar dari konsep diri seseorang. Mengetahui bahwa
“Aku adalah wanita” atau “Aku adalah pria” adalah bagian inti dari identitas personal
kita. Orang sering memandang dirinya. Identitas gender atau transgender waria baru
muncul pada paruh abad kedua puluh dan hanya di kota-kota besar. Cikal bakal
advokasi LGBT di Indonesia dimulai pada akhir tahun 1960-an dengan pendirian
Himpunan Wadam Djakarta (Hiwad), yang difasilitasi oleh Gubernur DKI Jakarta pada
waktu itu, Jendral Marinir Ali Sadikin. Istilah wadam (wanita adam) diperkenalkan
sebagai pengganti kata banci atau bencong yang bersifat menghina. Istilah ini
kemudian pada tahun 1978 diganti dengan waria (wanita pria) karena Majelis Ulama
Indonesia menilai tidak patut nama seorang Nabi (Adam) dijadikan bagian pada
istilah untuk kaum laki-laki yang mengekspresikan gendernya dengan cara yang lebih
menyerupai perempuan. Organisasi yang berfungsi sebagai ruang sosial budaya yang
aman ini, dengan cepat disusul oleh organisasi serupa di kota-kota besar lain.
Beberapa diantaranya masih eksis hingga sekarang, banyak yang mendapatkan
dukungan dari Pemda setempat dan umumnya diberikan melalui Dinas Sosial,
berdasarkan pemahaman bahwa kaum waria merupakan golongan yang kurang
mampu atau cacat psikologis. Media massa sudah memuat laporan tentang gerakan
waria sejak awal berkembangnya pada akhir tahun 1960-an, walaupun pada masa
awal aktivis berjaga-jaga agar tidak selalu mengungkapkan identitasnya namun pada
pertengahan tahun 1980-an ada beberapa orang yang memberanikan diri untuk
diwawancarai dan juga diundang ke seminar- seminar yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan (Oetomo dkk, 2013)
Belakangan ini, tumbuh kesadaran individu yang gendernya tidak sesuai
dengan kategori “pria” dan “wanita”. Transgender adalah contoh utamanya. Individu
ini secara biologis bisa dikatakan termasuk salah satu kelompok jenis kelamin, namun
individu ini mempercayai bahwa dirinya anggota dari jenis kelamin yang berbeda.
Dalam kebanyakan kasus, seseorang yang penampilan keseluruhannya adalah pria,
namun realitas psikologis dirinya merasa sebagai perempuan yang terjebak dalam
tubuh pria (Taylor dkk, 2012)
Temuan yang didapatkan dari hasil dialog komunitas LGBT di Indonesia yang
diselenggarakan di Nusa Dua Bali pada bulan Juni 2013 menyatakan bahwa pada
akhir tahun 1960-an gerakan LGBT mulai berkembang melalui kegiatan
pengorganisasian yang dilakukan oleh sekelompok waria. Tercatat ada perbedaan
pengembangan LGBT di Indonesia, khusus di Provinsi Aceh, kegiatan
pengorganisasian LGBT menghadapi tantangan besar karena hak khusus Provinsi
Aceh itu sendiri untuk menetapkan hukum berdasarkan syariah, sehingga
menimbulkan kesulitan secara umum dalam mengangkat permasalahan LGBT dan
besar kemungkinan pemberlakuan Perda setempat yang bersifat anti LGBT (Oetomo
dkk, 2013). Dalam Davidson dkk (2006) Sebagian pendapat menyatakan bahwa
transgender pada seorang individu dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan
sosial dan budaya. Bahkan sebagian besar, anak kecil menunjukkan perilaku lintas
gender saat ini dan nanti disebabkan oleh faktor keluarga. Dalam beberapa keluarga
perilaku semacam itu disebabkan oleh terlalu banyak mendapat perhatian dan
penguatan dari orangtua dan para kerabat.
Selanjutnya terdapat kriteria gangguan identitas gender dalam DSM IV-TR yaitu
: 1. Identifikasi yang kuat dan menetap terhadap lawan jenis 2. Pada anak-anak
terdapat empat atau lebih dari ciri, yaitu: (a) Berulangkali menyatakan keinginan untuk
menjadi atau memaksakan diri bahwa ia adalah lawan jenis; (b) Lebih suka memakai
pakaian lawan jenis; (c) Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau
terus menerus berfantasi menjadi lawan jenis; (d) Lebih suka melakukan permainan
yang merupakan permainan stereotip lawan jenis; dan
(e) Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis, 3. Pada remaja
dan orang dewasa, simtom-simtom seperti keinginan untuk menjadi lawan jenis
berpindah ke kelompok lawan jenissehingga keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal
lawan jenis, 4. Rasa tidak nyaman yang terus menerus dengan jenis kelamin
biologisnya atau rasa terasing dari peran gender jenis kelamin tersebut; (a) Pada
anak-anak, terwujud dalam salah satu hal diantaranya: Pada laki-laki, merasa jijik
dengan penisnya dan yakin bahwa penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu,
tidak menyukai permainan streotip anak laki-laki. Pada anak perempuan, menolak
untuk buang air kecil dengan cara duduk, yakin bahwa penis akan tumbuh, merasa
tidak suka dengan payudara yang membesar dan menstruasi, merasa benci atau tidak
suka terhadap pakaian perempuan konvensional; (b) Pada remaja dan orang dewasa,
terwujud dalam salah satu hal diantaranya, keinginan kuat untuk menghilangkan
karakteristik jenis kelamin sekunder melalui pemberian hormon dan/atau operasi,
yakin bahwa dirinya dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah dan 5. Tidak sama
dengan kondisi fisik antar jenis kelamin dapat menyebabkan distress atau hendaya
dalam fungsi sosial dan pekerjaan (Davison dkk, 2006).
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Sebelum kelahirannya, ibu dan ayah R memiliki keinginan yang berbeda, ibu R
menginginkan kelahiran anak perempuan namun ayah R menginginkan R terlahir
sebagai laki-laki, maka ketika R terlahir sebagai laki-laki mereka menamainya dengan
nama laki-laki dan nama perempuan, sesuai dengan pernyataannya berikut:
“Kalo orangtua laki pengen aku jadi laki, kalo orangtua perempuan
pengen aku jadi perempuan. Jadi begitu aku lahir dikasih nama Mawar
Agung (nama samaran) setengah perempuan setengah laki”
(W. R. 11062016 BRS 0014-0016)
“Pernah, masih belum sekolah SD, kan baju-baju kakak aku masih
banyak, baju masa kecil mereka. Abis tu kan musim-musim ujan baju
aku udah abis jadi mamak aku pakekan baju perempuan” “udah tu
disuruh jalan gitu?” “Ada, pertama kan dipakekan bedak aku, ga
bejilbab, dulu kan ada pita-pita yang makek jepit”
(W. R. 11062016 BRS 0186-0191)
“Kalok dulu ada belajar ngaji semenjak nenek udah meninggal tu,
rasanya cem mana ya, nggak ada lagi ini, semenjak nenek ninggal
nggak ada lagi rasa untuk mau mengaji, karna dulu nenek ngajar kan,
semenjak nenek ninggal udah, kita pun tinggalnya udah mulai luntang
lantung, tinggal sana tinggal sini, tinggal tempat orang, tinggal sini”
(W. AL. 20062016 BRS 0077-0082)
“Marah sih, tapi itulah mau berubah apa, karna udah kek gini, udah
telanjur”
(W. AL. 20062016 BRS 0064)
Bagi JN, ianya tidak memiliki hubungan yang dekat dengan kedua orangtuanya.
Setelah JN memutuskan untuk menjadi transgender keluarga tidak menentang
dengan keras, hanya mengingatkan agar JN bisa kembali berubah menjadi laki-laki
Lingkungan Sekitar
Pembahasan
Kondisi dewasa ini di Banda Aceh ini dengan banyak transgender waria yang berada
di tempat-tempat umum seperti pasar, jalan raya ataupun tempat rekreasi yang
merupakan tempat umum juga pernyataan ketiganya terkait hubungan baik dengan
masyarakat bertentangan dengan penelitian dalam Oetomo dkk (2013) Tercatat ada
perbedaan pengembangan LGBT di Indonesia, khusus di Provinsi Aceh, kegiatan
pengorganisasian LGBT menghadapi tantangan besar karena hak khusus Provinsi
Aceh itu sendiri untuk menetapkan hukum berdasarkan syariah, sehingga
menimbulkan kesulitan secara umum dalam mengangkat permasalahan LGBT dan
besar kemungkinan pemberlakuan Perda setempat yang bersifat anti LGBT. Kecuali
ada rajia yang diadakan sehingga mengamankan transgender waria yang berada di
jalanan, dan JN yang beberapa kali sempat dikejar oleh pihak Satpol PP dan Polisi
Syariat Islam. R pernah berubah menjadi laki-laki setelah memutuskan menjadi waria,
namun karena perasaan tidak nyaman akhirnya R kembali menjadi waria. Pembiaran
orangtua JN padanya yang lebih banyak menghabiskan waktu diluar, suasana rumah
JN cenderung pada jenis otoriter Kasus AL sebagai anak korban perceraian saat
masih berusia 8 tahun merupakan salah satu faktor lingkungan yang memengaruhi
perkembangannya sesuai dalam Yusuf (2006) yakni suasana keluarga yang retak,
ketidakharmonisan hubungan antara remaja dan keluarga tentu menjadi sebab
terjadinya rumah tangga yang retak, suasana ini dipengaruhi oleh banyak faktor,
antara lain perceraian, orangtua terlalu sibuk bekerja, salah satu orangtua telah tiada,
orangtua dan anggota keluarga lainnya tidak mau mengerti tugas perkembangan
remaja atau remaja sendiri yang tidak mau peduli terhadap tugas-tugas yang
seharusnya dipikulnya dalam keluarga, suasana seperti inilah yang menjadikan
keluarga itu retak lantas dikenal dengan sebutan broken home. Dalam keluarga
broken home remaja lebih cenderung mengalami banyak masalah emosional, moral,
medis dan juga sosial.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan 3 orang waria yang berdomisili di
Banda Aceh, peneliti menarik kesimpulan bahwasanya yang mendominasi adalah
faktor sosial dari keluarga, perbedaan pola asuh yang diterapkan dalam keluarga
masing-masing responden memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap
perkembangan. Responden 1 yang merupakan anak bungsu mendapat perlakuan
istimewa dari keluarganya, tiap anggota keluarga cenderung mengikuti setiap
keinginannya bahkan saat responden 1 memutuskan untuk menjadi transgender
keluarga tidak melarang dengan tegas, tanggapan yang diberikan keluarga hanya
nasehat agar responden 1 dapat kembali menjadi laki-laki. Responden 2 menjadi
korban perceraian saat anak-anak, dirinya mengeluh bahwa kekurangan kasih sayang
dari orangtuanya terlebih dirinya dan saudara-saudaranya tidak tinggal dengan salah
satu orangtua namun tinggal bersama nenek dan akhirnya tidak memiliki tempat
tinggal tetap setelah neneknya meninggal dunia. Responden 3 mendapatkan perilaku
yang cenderung membebaskan dirinya dalam pergaulan terlebih karena dirinya
menempuh pendidikan di pesantren malam sehingga menjadikan waktunya bersama
keluarga semakin sedikit, hal ini pula yang menyebabkan dirinya dapat memiliki teman
dekat waria sejak remaja.
Daftar Pustaka
Afif. 2014. Berkeliaran dan Buat Resah, Waria di Banda Aceh ditangkap
Warga.http://www.merdeka.com/peristiwa/berkeliaran-dan-buat-resah-waria-di-
banda-aceh-ditangkap-warga.html. 11 Desember 2015
Atkinson, R. L., Atkinson, R, C., Smith, E, E., & Bem, D, J. 2010. Pengantar Psikologi
Jilid 1. Penerjemah: Kusuma. Tanggerang : Interaksara
Daymon, C. & Hollway, I. 2008. Metode-metode Riset Kualitatif dalam Public Relations
Marketing Communications. Penerjemah : Wiratama. Yogyakarta: Bentang
Davidson, G, C., Naele, J, M.,& Kring, A, M. 2006. Psikologi Abnormal Edisi Ke-9.
Jakarta : Rajawali Pers
Hamdan, A, N. 2016. Fikih Waria. Pengajian Sabtu (JITU) oleh PP Pemuda Persis.
Bandung. April 02.
Mursi, M. S. 2006. Seni Mendidik Anak. Penerjemah : Ummah. Jakarta : Pustaka Al-
Kautsar
Oetomo, D dkk. 2013. Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional Indonesia
(Tinjauan dan Analisa Partisipatif tentang Lingkungan Hukum dan Sosial bagi
Orang dan Masyarakat Madani Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender LGBT).
Being LGBT in Asia oleh UNDP & USAID. Bali : Juni, 13-14
Ruhghea, S., Mirza & Rachmatan, R.2014. Studi Kualitatif Kepuasan Hidup Pria
Transgender (Waria) di Banda Aceh. Jurnal Psikologi Undip. 13 : 11-20
Santrock, J. W. 2009. Perkembangan Anak edisi kesebelas jilid 2. Penerjemah : Mila
dan Anna. Jakarta: Erlangga
Wade, C. & Tavris, C. 2012. Psikologi Edisi Kesembilan. Penerjemah : Padang dan
Dinastuti. Jakarta : Erlangga
West, R dan Lynn, T. 2008. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi.
Jakarta: Salemba Humanika
Wijaya,A.2015.Transgender?http://www.kompasiana.com/bigel93/transgender_555
4fe76523bda6144aefb0.9 Desember 2015
Wikipedia.2015.Sampel(Statistika).https://id.wikipedia.org/wiki/Sampel_(statistika).
27 Desember 2015
Yusuf, S. 2006. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Rosdakarya
Zakaria, A.2004. Tarbiyah An-Nisa: Panduan Lengkap Wanita Shalehah. Garut: Ibn
Azka Press
Nurul Hafiza
Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan
Nurulhafizaaa11@gmail.com
Abstrak
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui apakah waria dapat hidup dengan
selayaknya dan dapat diterima oleh lingkungan masyarakat dan keluarga dengan
merubah tingkah laku yang seringkali dipandang oleh masyarakat dengan
perilaku yang buruk. Bagi para transgender merasa dan beranggapan mereka
berbeda dari sudut pandang kelamin yang telah ditetapkan dan masuk dalam
gangguan identitas jenis kelamin. Sifat, sikap dan tingkah laku yang dianggap
menyimpang oleh masyarakat, sehingga membuat para waria mencari dan
membentuk lingkungan sosial dengan komunitas yang senasib dengan mereka.
Dengan adanya berpikir positif apakah dapat mengubah segala persepsi buruk
yang ada pada seorang waria, berpikir positif adalah sumber kekuatan dan
sumber kebebasan pada setiap masyarakat. Berpikir positif manfaatnya adalah
dapat meningkatkan penerimaan diri pada waria, berpikir positif pada komunitas
yang dipandang memiliki ketidak normalan.
Abstract:
This study aimed to determine whether transsexuals can live with and should be
accepted by society and the family by changing behavior are often perceived by
the public with bad behavior. Because for transgender feel and think they are
different from the perspective of gender has been defined and included in the
gender identity disorders. Personality traits, attitudes and behaviors that are
considered deviant by society, thus making the transvestites seeking and shaping
a social environment with a community of kinship with them. With the positive
thinking whether to change any bad perceptions that exist in a transvestite,
positive thinking is a source of strength and a source of freedom in every society.
Think positive benefit is to increase self-acceptance on transvestites, think
positively on communities perceived abnormalities.
Berpikir positif merupakan upaya seseorang untuk selalu melihat hal baik
dari setiap situasi dan meyakini bahwa anda bias meraih apapun yang ingin
dicapai dalam hidup. Sedangkan menurut (Peale, 1996) berpikir positif adalah
suatu aplikasi secrara langsung dari Teknik sptiritual untuk mengatasi kekalahan
dan memenangkan kepercayaan dan menciptakan suasana yang mengutungkan
bagi perkembangann hasil yang positif. berpikir positif adalah kemampuan
berpikir seseorang untuk memusatkan perhatian pada sisi positif dari keadaan
diri orang lain dan suatu peristiwa yang diukur dengan skala berpikir positif.
Semakin tinggi total skor jawaban yang diperoleh subjek menunjukkan tingkat
kemampuan berpikir positif yang dimiliki semakin tinggi.
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh (Tentama, 2014:
Tentama, 2010) bahwa berpikir positif merupakan faktor penting dalam
pembentukan perilaku karena berpikir positif dapat mempengaruhi penerimaan
diri seseorang. Berpikir positif adalah kemampuan untuk menilai sesuatu dari
sisi positif sehingga berpikir positif akan meningkat jika terjadi pembentukan
kemampuan dan kebiasaan untuk menilai segala sesuatu dari sisi yang
positif. Berpikir positif manfaatnya adalah dapat meningkatkan penerimaan diri
pada waria, berpikir positif pada komunitas yang dipandang memiliki
ketidaknormalan. Sifat, sikap dan tingkah laku yang dianggap menyimpang oleh
masyarakat, sehingga membuat para waria mencari dan membentuk lingkungan
sosial dengan komunitas yang senasib dengan mereka. Dari saat itulah
membuat waria tersebut menjadi manusia yang tanpa terbebani dengan stigma
negatif dari lingkungan masyarakat yang tidak bisa menerima keadaan mereka.
Menurut (Karinina, 2007). Menurut (Sunhara, 2004) permasalahan yang dihadapi
oleh waria atau transgender menyangkut pada moral dan perilaku yang
dianggap tidak wajar, karena secara normatif tidak ada kelamin ketiga diantara
laki-laki dan perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh (Muthi’ah, 2007)
menunjukkan bahwa sebagian waria memiliki konsep diri positif dan ada juga
yang memiliki konsep diri negatif, waria yang memiliki konsep diri positif
cenderung akan lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan daripada waria
yang memiliki konsep diri negatif. Kondisi
tersebut tampak wajar mengingat individu yang memiliki konsep diri positif lebih
dapat meneriman keadaan daripada individu yang memiliki konsep diri negatif.
Menurut (Tentama, 2012) cara yang dapat menumbuhkan pikiran yang positif
adalah dengan mendapatkan dukungan yang positif dari orang sekitar seperti
keluarga dan masyarakat sekitar. Agar kehidupan bisa optimal dengan budaya di
kehidupan masyarakat perlu mengembangkan kemampuan diri agar selalu berfikir
positif kepada keadaan waria.
SIMPULAN
Koeswinarno. (2004). Hidup sebagai waria. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.
Muthi’ah, D. (2007). konsep diri dan latar belakang kehidupan waria: studi kasus
terhadap waria di kota Semarang. Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang.
Tentama, F. (2010). Berfikir positif dan penerimaan diri pada remaja penyandang
cacat tubuh akibat kecelakaan. Jurnal humanitas 7,7 (1) halaman 66-75.
Tentama, F. (2014). Hubungan positif thinking dengan self acceptance pada difabel
(bawaan lahir) di SLB Negeri 3 Yogyakarta. Jurnal Psikologi