Anda di halaman 1dari 31

PEMAKNAAN ANTAR GENERASI TERHADAP STEREOTIPISASI

TRANSGENDER

(Analisis Resepsi Generasi X, Y, dan Z Terhadap Video “Perempuan Tanpa


Vagina” Dalam Akun Youtube CameoProject)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi


Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Minat Utama Kajian
Media

Oleh:
Fierlia Walidya Fahira
165120207111017

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
BAB I

PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap manusia memiliki hak asasi yang harus terpenuhi agar dapat hidup

dengan layak tanpa memandang ras, suku, dan agama. Tetapi pada praktik

kehidupan nyata, tidak semua manusia memiliki kebebasan yang sama, terutama

kelompok minoritas. Yudah (2013) menjelaskan bahwa pemenuhan hak asasi

dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti gender, kelas sosial, dan berbagai

prasangka lain yang terbentuk bergantung pada konstruksi sosial. Salah satunya

yaitu gender yang mempengaruhi budaya serta mampu memberikan gambaran

bagaimana identitas seks dan gender minoritas menjadi status yang

termarjinalisasi. Identitas gender sebagai konstruksi sosial yang membagi individu

dalam kategori laki – laki dan perempuan (Westbrook dalam Sanger, 2010). Hal

ini menyebabkan para kelompok minoritas yang berperilaku tidak sesuai dengan

kategori gendernya dianggap menyimpang, seperti kaum transgender.

USAID (2013) menjelaskan bahwa dalam Laporan Global Attitudes

Project oleh Pew Research mengenai sikap terhadap homoseksualitas

menunjukkan adanya penolakan terhadap homoseksualitas oleh 93% responden

survei di dalam negeri dan hanya 3% yang bersikap menerima. Menurut survey

yang dilakukan oleh Centre Intelligency of Agency (CIA), pada tahun 2015 jumlah

populasi LGBT di Indonesia berada pada urutan ke-5 terbanyak di dunia setelah

China, India, Eropa, dan Amerika (Rahman, 2015). Jumlah populasi di Indonesia
yang sebagian besar adalah pemeluk agama Islam dan Nasrani memiliki ajaran

konservatif yang tidak setuju dengan LGBTQ. Hukum yang ada di Indonesia pun

tidak memiliki undang – undang anti-diskriminasi yang secara tegas berkaitan

dengan orientasi seksual atau identitas gender. Hukum Indonesia hanya mengakui

keberadaan gender laki – laki dan perempuan saja (USAID, 2013). Hal ini

mempengaruhi cara pandang masyarakat secara keseluruhan mengenai

homoseksual menjadi negatif.

Penolakkan masyarakat di Indonesia terhadap kelompok minoritas seperti

kaum transgender membuat masyarakat memandang transgender sebagai sesuatu

yang tabu. Transgender sendiri adalah seseorang yang memiliki gender dengan

jenis kelamin yang berbeda secara biologis, yang dimana terdapat perbedaan

bentuk transgender diantaranya cross-dresser, drag queens, drag kings, wanita

yang maskulin, dan laki – laki yang gemulai (NLGJA dalam Sari, 2016).

Walaupun Indonesia memiliki moto “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya

“berbeda – beda tetapi tetap satu”, semboyan ini tidak mewakili keberadaan

kelompok minoritas seperti kaum transgender. Perbedaan tersebut hanya

dimaksudkan untuk perbedaan ras dan suku, tetapi tidak termasuk perbedaan

orientasi seksual.

Keberadaan transgender sendiri di Indonesia sudah dikenal cukup lama.

Laporan terkait padangan transgender yang dilakukan oleh KEMENPPPA (2015)

mengungkapkan bahwa diantara kelompok LGBT, kelompok transgender di

Indonesia keberadaannya telah lebih dulu eksis dibandingkan tiga kelompok

lainnya karena epidemik HIV dan AIDS di kalangan kelompok transgender


cukup tinggi di Indonesia.. Mengacu pada informasi dari Kemenkes di tahun

2014, terdapat peningkatan jumlah transgender antara tahun 2002 dan tahun 2009.

Tidak ada populasi yang pasti. Namun pada data populasi yang rawan terdampak

HIV, jumlah transgender diperkirakan mencapai 597 ribu orang (Kemenkes RI,

2014).

Transgender sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk

mendeskripsikan seseorang yang melakukan, merasa, berfikir, dan terlihat berbeda

dari jenis kelamin yang dimiliki sejak mereka lahir (Sari, 2016). Lebih lanjut,

American Psychological Association dalam Sari (2016) mengungkapkan bahwa

transgender merupakan istilah umum bagi individu yang memiliki identitas

gender, ekspresi gender, atau perilaku nya tidak sesuai dengan seks atau kelamin

yang dimiliki sejak lahir.

Salah satu penyebab individu melakukan transgender adalah pengaruh

hormonal yang membentuk karakteristik kelamin manusia. Faktor bawaan

(hormon dan gen) yang ada dalam diri individu karena ketidakseimbangan

hormon dan faktor lingkungan yang diantaranya pendidikan yang salah saat masa

kecil, purbetas, dan pergaulan juga menjadi faktor penyebab terjadinya

transgender (Sari, 2016). Kejadian masa lalu juga dapat mempengaruhi seseorang

melakukan transgender.

Purwanti (2010) menjelaskan perbedaan definisi transgender dan

transeksual, yakni transgender adalah seseorang yang menggunakan atribut –

atribut gender yang berbeda dengan konsepsi gender yang dikonstruksiskan secara
sosial oleh masyarakat dan transgender tidak berbicara mengenai ketertarikan

seksual tetapi mengenai sikap dan peran berbeda dari apa yang seharusnya

berdasarkan konstruksi sosial, sedangkan transeksual adalah seseorang yang

merasa dirinya mempunyai jenis kelamin yang salah. Singkatnya, transgender

adalah individu yang tidak berpenamplan sama dengan peranan gender yang telah

diterima sejak lahir, sedangkan transeksual adalah individu yang melakukan

‘perubahan’ pada alat kelamin dan tubuhnya (Bettcher dalam Yudah, 2013).

Stuart Hall beranggapan bahwa identitas adalah sebuah proses being dan

becoming yang mendasari perbedaan mendasar antara ‘siapa saya’ dan ‘saya

menjadi apa’ (Ayuningtyas, 2009). Dalam identitas gender sudah dijelaskan

bahwa gender yang diakui hanyalah laki – laki dan perempuan. Konstruksi sosial

yang terbentuk pun tidak mengakui identitas gender lainnya selain laki – laki dan

perempuan. Teori queer mencoba untuk mendekonstruksi kategori tersebut karena

semua gender dan identitas seksual merupakan sebuah konstruksi sosial yang

bertujuan untuk menghancurkan patologis pada identitas minoritas (Hines, 2007).

Masalah umum yang dialami oleh kaum transgender adalah stigma –

stigma sosial yang mengarah ke hal negatif. Masyarakat memiliki pandangan

yang berbeda – beda terhadap kelompok minoritas seperti transgender. Ada yang

menganggap bahwa transgender merupakan hal yang tabu, ada juga yang

menganggap hal yang lumrah. Anggapan tersebut bergantung pada nilai dan

ajaran yang dianut oleh setiap indvidu. BAHAS STIGMA DAN STEREOTIP

DISINI
Representasi media terhadap transgender kerap kali membentuk pencitraan

tertentu kepada khalayak luas, yang di mana citra tersebut mengarah negatif (Sari,

2016). Seperti media televisi kerap kali menampilakn sosok transgender dalam

acara komedi untuk membuat penontonnya tertawa, transgender dijadikan bahan

hiburan bahkan ajang hinaan. Seperti di beberapa program komedi televisi

Pesbukers, Opera Van Java, dan Extravaganza. Akibat media massa yang

mendefinisikan seksualitas hanya laki – laki dan perempuan, menyebabkan

seseorang yang tidak termasuk ke dalam kategori tersebut menyimpang (Yudah,

2013).

Terdapat pandangan yang berbeda dari generasi ke generasi terhadap

transgender dikarenakan tiap individu memiliki karakteristik yang berbeda

tergantung dimana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan faktor sosiologis khususnya

kejadian – kejadian historis yang akan menentukan nilai – nilai yang dipegang

oleh seseorang (Putra, 2016). Latar belakang, agama, kelompok sosial, serta nilai

– nilai yang dipegang oleh tiap individu, serta pengalaman yang dimiliki

seseorang dapat menjadi faktor bagaimana ia memaknai suatu hal. belakang

budaya,

Penelitian tentang perbedaan generasi yang dilakukan oleh Manheim

(1952) mengungkapkan bahwa generasi yang lebih muda tidak dapat

bersosialisasi dengan sempurna karena terdapat gap antara nilai – nilai yang

dipegang serta diajarkan oleh generasi yang lebih tua dengan realitas yang

dihadapi oleh generasi yang lebih muda. Faktor lingkungan sosial memberikan

efek yang cukup besar terhadap terbentuknya kesadaran individu akan nilai – nilai
yang dipegang. Dalam buku Statistik Gender Tematik: Generasi Milenial

Indonesia yang dilakukan oleh KEMENPPPA (2018), menjelaskan tentang

pembagian generasi berdasarkan kesamaan rentang waktu kelahiran dan kesamaan

kejadian – kejadian historis.

Adanya perbedaan lokasi dan kejadian historis menghasilkan pemikiran

dan nilai – nilai yang berbeda di setiap generasi. Mengacu pada pengelompokkan

generasi yang dilakukan oleh Howe dan Strauss (1991) sebagai berikut : (1)

Generasi Matures (Silent Generation) yang lahir sebelum tahun 1946, di mana

generasi ini mengalami peristwa sejarah penting yaitu Perang Dunia I dan II, (2)

Generasi Baby Boomers yang lahir pada tahun 1946 – 1964, generasi ini lahir

pada era dengan angka kelahiran terbanyak pada sejarah umat manusia sehingga

disebut dengan era baby boom, (3) Generasi X yang lahir pada tahun 1965 – 1980,

menjadi saksi kehadiran internet dan teknologi sehingga mampu beradaptasi dan

menerima perubahan dengan baik, (4) Generasi Y yang lahir pada tahun 1981 –

1994, generasi ini tumbuh pada era internet booming, (5) Generasi Z yang lahir

pada tahun 1995 – 2010, dibesarkan pada era serba digital dan teknologi yang

canggih sehingga berpengaruh terhadap perilaku dan kepribadian mereka.

Perbedaan karakteristik setiap generasi akan memunculkan pandangan

yang berbeda terhadap kelompok minoritas seperti kaum transgender karena

faktor – faktor yang telah disebutkan sebelumnya. Stigma negatif terhadap kaum

transgender salah satunya dikarenakan konstruksi media massa. Media massa

membentuk citra tertentu kepada khalayak mengenai transgender yang dianggap

menyimpang dari norma yang berlaku (Sari, 2016). Namun, gambaran


transgender dalam video “Perempuan Tanpa Vagina” di akun youtube

CameoProject memperlihatkan perspektif seorang transgender bernama Merlyn

Sopjan yang telah mengidentifikasi dirinya sebagai perempuan sejak berumur 4

tahun. Dalam video tersebut, Merlyn mengungkapkan bahwa walaupun ia

‘berbeda’ bukan berarti menutup kemungkinan untuk dirinya berbuat baik.

Orang yang terlahir sempurna secara kelamin dan identitas saja,


diantara mereka yang tidak baik juga banyak kok. Artinya, tidak
membuktikan bahwa menjadi sesuai antara identitas, gender, dan
kelamin menentukan bahwa kebaikkan seseorang ada disana. Saya
pun tidak mau kehilangan hak saya bahwa menjadi berbeda itu
tidak berarti kehilangan hak untuk berbuat baik.

Merlyn sebagai seorang transgender tidak pernah merasa malu dengan

dirinya. Ia pernah memimpin salah satu LSM di Indonesia yang di mana saat

berada dibawah kepemimpinannya, LSM tersebut menjadi pelopor pertama

sosialisasi HIV di Indonesia. Merlyn pun kerap kali di undang sebagai dosen tamu

di beberapa universitas.

Kita tidak bisa merubah stigma yang sudah berlangsung selama


puluhan tahun, terutama pemberitaan, media, apa yang orang
lihat sepintas, yang menggiring opini bahwa kebanyakkan waria
adalah pekerja seks. Pada kenyataannya, tidak..

Media dalam hal ini adalah CameoProject yang mengunggah video

“Perempuan Tanpa Vagina” melalui kanal youtube untuk memberikan pandangan

lain terhadap stereotipisasi transgender. CameoProject menyebarkan informasi

melalui video “Perempuan Tanpa Vagina” tidak hanya mempengaruhi khalayak

dalam hal ini adalah generasi X, Y, dan Z, tetapi khalayak juga menjadi audiens
aktif yang mampu memahami isi pesan dari media. Khalayak sendiri terbagi dari

individu yang memiliki latar belakang dan pengetahuan yang berbeda, sehingga

akan menghasilkan pemaknaan dari isi pesan media yang berbeda – beda.

Mengacu pada tiga hipotesis yang diungkapkan oleh Hall (2001), khalayak dapat

menerima seluruh isi pesan yang disampaikan oleh media atau disebut dengan

dominan audiens, khalayak juga dapat menerima sebagian pesan yang diberikan

oleh media dan sebagian lagi mengacu pada pemahaman masing – masing

khalayak atau disebut dengan negosiasi audiens, dan khalayak dapat menolak atau

tidak bisa menerima isi pesan dari media atau disebut dengan oposisi audiens.

Selama ini, penelitian yang menggunakan metode analisis resepsi pada

media sosial youtube hanya memfokuskan khalayak aktif dalam menggunakan

media sosial, tanpa menspesifikasi umur dan pengalaman historis individu.

Seperti penelitian yang dilakukan oleh Any Suryani yang berjudul “Analisis

Resepsi Penonton Atas Popularitas Instan Video Youtube ‘Keong Racun’ Sinta

dan Jojo” yang mengklasifikasikan informannya hanya dari keaktifan dalam

mengakses situs youtube dan menggunakan fasilitas media baru. Penelitian ini

juga mengkaitkan analisis semiotika dalam menentukan decoding audiens yang

menjadi informannya.

Penelitian lainnya adalah penelitian milik Adia Titania dan Catur Nugroho

yang berjudul “Analisis Resepsi Penonton Remaja Video Mukbang Dalam Kanal

Youtube “Yuka Kinoshita’” yang memfokuskan pemaknaan isi pesan media

terhadap satu golongan saja, yakni remaja. Penelitian ini mengkaji pemaknaan

fenomena mukbang karena fenomena tersebut belum pernah terjadi dari sebelum
era digital. Penelitian ini juga menggunakan metode analisis resepsi milik Stuart

Hall. Hasilnya, informan remaja menghasilkan pemaknaan posisi dominan

terhadap fenomena mukbang.

Peneliti menggunakan metode analisis resepsi yang digunakan dalam

penelitian khalayak untuk melihat pemaknaan khalayak terhadap pesan yang di

produksi oleh media (Jansen & Jankowski, 2002). Analisis resepsi memiliki

kelebihan yakni memusatkan perhatian pada individu dalam komunikasi massa,

mengakui kepandaian serta kemampuan konsumen media, mencari pemahaman

yang mendalam tentang bagaimana individu menafsirkan konten media, dan

menerima berbagai jenis makna dalam konten media (Baron dan Davis, 2010).

Analisis resepsi menitikberatkan pada proses pemaknaan dari pesan media yang

diterima oleh konsumen media yang dimana khalayak memliki andil dalam

wacana dan pemaknaan media (McQuail, 1997).

Peneliti memilih video “Perempuan Tanpa Vagina” yang diunggah oleh

akun youtube CameoProject sebagai objek penelitian karena di dalam video

tersebut membahas stereotipisasi transgender, yang mana merupakan topik

konservatif di kalangan masyarakat Indonesia. Akun youtube CameoProject

sendiri memiliki audiens yang mayoritas adalah masyarakat Indonesia. Dengan

fenomena transgender sendiri yang masih dianggap hal yang tabu oleh sebagian

masyarakat Indonesia, peneliti melihat bahwa CameoProject ingin menyampaikan

pesan dan pandangan lain terhadap transgender. Peneliti lebih spesifik dalam

memilih informan, yakni dari berbagai generasi. Mulai dari generasi X, Y, dan Z

yang mengacu dari pengelompokkan generasi menurut Howe dan Strauss (1991).
Alasan peneliti memilih ketiga generasi tersebut karena mereka lahir saat

teknologi dan komunikasi hadir. Selain peneliti ingin melihat pemaknaan antar

generasi terhadap transgender, peneliti juga ingin melihat perkembangan

pemikiran dari generasi ke generasi terhadap kelompok minoritas seperti

transgender.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

peneliti akan mengangkat sebuah penelitian yang berjudul “Pemaknaan Antar

Generasi Terhadap Transgender” dengan menggunakan metode analisis resepsi

kepada generasi X, generasi Y, dan generasi Z.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana pemaknaan antar generasi mulai dari generasi X, generasi Y,

dan generasi Z terhadap stereotipsasi transgender dalam video “Perempuan Tanpa

Vagina” yang di unggah dalam akun youtube CameoProject?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pemaknaan antar generasi terhadap stereotipisasi transgender

melalui video “Perempuan Tanpa Vagina” di akun youtube CameoProject.

2. Mengetahui perkembangan pemikiran antar generasi terhadap kelompok

minoritas seperti transgender.


1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian literatur dalam proses

pembelajaran dan pengembangan ilmu komunikasi, khususnya dalam pembahasan

terkait dengan analisis resepsi serta mengetahui perkembangan pemikiran dari

generasi ke generasi terhadap kelompok minoritas seperti transgender. Selain itu,

penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian sejenis

maupun penelitian lebih lanjut mengenai gender dan media.

1.4.2 Manfaat Praktis

.Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi khalayak mengenai

penggambaran media terhadap transgender bahwasannya adalah realitas dengan

apa yang ditampilkan oleh media dapat menghasilkan persepsi yang berbeda

sesuai dengan pemaknaan masing – masing individu.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Encoding dan Decoding Stuart Hall

Khalayak dalam menerima sebuah isi pesan diawali dengan proses

encoding yaitu kegiatan yang dilakukan oleh media dalam menghasilkan pesan

dan dilanjutkan dengan proses decoding yaitu kegiatan penerimaan pesan, artinya

menerjemahkan atau menginterpretasikan pesan fisik ke dalam suatu bentuk yang

memiliki arti bagi penerima pesan dari media (Morissan, 2013). Lebih lanjut,

Stuart Hall menyatakan bahwa analisis resepsi berfokus pada perhatian

penerimaan khalayak serta respons khalayak dalam memaknai isi pesan media

atau disebut dengan decoding (Santoso, 2018).

Hellen dalam Purbayanti (2013) menjelaskan bahwa istilah encoding –

decoding yang digunakan oleh Stuart Hall bertujuan untuk mengungkapkan

makna dalam penerimaan khalayak terhadap isi pesan media yang terletak

diantara pembuat teks atau encoder (komunikator atau media) dengan penerima

teks atau decoder (penonton atau pembaca). Hall (1993) menyatakan bahwa

khalayak sebagai penerima pesan dapat memaknai isi pesan media secara utuh

melalui pandangan ideal mereka masing – masing, di mana memungkinkan

adanya perbedaan pemaknaan antara pembuat dan penerima pesan.


Hall (1993) mengklasifikasikan khalayak dalam memaknai isi pesan media

menjadi three hypothetical positions, yakni dominant hegemonic, negotiated

reading, dan oppotional reading. Berikut penjabarannya:

1. Dominant Hegemonic

Dominan-hegemonik adalah posisi di mana khalayak memaknai pesan

media sejalan dengan makna serta menerima makna secara penuh dari

pembuat pesan media. Khalayak memaknai pesan sesuai dengan wacana

dominan atau preferred meaning yang dibuat oleh pembuat pesan atau media.

Artinya, khalayak mendukung penuh terhadap isi pesan media.

2. Negotiated Reading

Khalayak berada di posisi yang di negosiasi (negotiated reading), yaitu

khalayak menerima dengan sejalan terhadap makna yang dibuat oleh pembuat

pesan media, namun memodifikasinya sehingga khalayak memaknai sesuai

dengan minatnya. Khalayak memaknai pesan tersebut berdasarkan pandangan

ideal mereka masing – masing.

3. Oppositional Reading

Khalayak berada di posisi oposisional (oppositional reading), yakni

khalayak menolak secara penuh makna dari pesan media. Khalayak

memahami wacana dominan yang diberikan oleh media namun menolak

pemahaman tersebut yang berlawanan dengan wacana dominan.


Ketiga hipotesis di atas membuktikan bahwa khalayak merupakan audiens

yang aktif, dapat memahami dan memaknai pesan secara aktif berdasarkan

pandangan ideal mereka masing – masing. Aktif dalam arti bahwa khalayak

memiliki cara dan interpretasi yang berbeda – beda dalam memaknai suatu isi

pesan media. Harun (2019) berpendapat bahwa khalayak tidak hanya menjadi

konsumen dari isi pesan media, khalayak menginterpretasi teks media sesuai

dengan pengalaman mereka secara subjektif yang berkaitan dengan situasi

tertentu. Lebih lanjut, Harun (2019) menjelaskan bahwa khalayak memiliki sikap

yang luas dalam menmaknai sebuah pesan dan memiliki hak untuk menolak pesan

tang tidak sesuai dengan budaya maupun lingkungannya.

2.2 Stereotipisasi Kelompok Transgender di Indonesia

2.3 Representasi Transgender dalam Media

Representasi dapat diartikan sebagai suatu gambaran mengenai suatu hal

yang digambarkan melalui suatu media (Arlisyah, 2016). Penggambaran media

terhadap transgender sebagai penyimpangan masih terjadi dikarenakan konstruksi

dari media massa yang memberikan stigma negatif. Sari (2016) menjelaskan

bahwa media massa membentuk pencitraan tertentu kepada khalayak luas

mengenai kelompok minoritas seperti transgender, yang di mana citra tersebut

mengarah negatif. Seperti media televisi kerap kali menampilakn sosok

transgender dalam acara komedi untuk membuat penontonnya tertawa,


transgender dijadikan bahan hiburan bahkan ajang hinaan. Seperti di beberapa

program komedi televisi Pesbukers, Opera Van Java, dan Extravaganza.

Hegemoni dan dominasi yang kuat akan stigma negatif terhadap kaum

transgender menghambat konstruksi baru oleh media melalui film maupun acara –

acara yang membahas transgender maupun LGBT secara keseluruhan. Karena

konstruksi dapat menjadi suatu interpretasi sosial yang mempengaruhi perilaku

dan reaksi masyarakat (Liska dan Messner dalam Hutton, 2009). Konstruksi sosial

akan seksualitas semakin diperkuat dengan bantuan media yang merupakan salah

satu penguasa dalam membentuk opini khalayak luas. Sebagai salah satu praktik

konstruksi sosial, Yudah (2013) menjelaskan bahwa media massa memiliki

kekuasaan dalam mengartikan seksualitas melalui pemberitaan yang mencakup

grafis dan suara yang mendukung isi berita. Lebih lanjut, Yudah (2013)

mengungkapkan bahwa pendefinisian seksualitas yang dilakukan oleh media

massa mengkotak – kotakan seksualitas, yaitu hanya laki – laki dan perempuan

yang menyebabkan seseorang yang tidak termasuk ke dalam kedua kotak tersebut

menyimpang.

Kali (2013) menjelaskan pandangan Stuart Hall akan media massa yang

memiliki fungsi kultural yang kuat, di mana media massa menyediakan dan

mengkonstruksi kesan (image), berfungsi menyediakan dan menciptakan realitas

sosial yang baru, dan selektif dalam mengklasifikasikan sistem berdasarkan

pemetaan yang ditetapkan oleh kelompok dominan. Kesan – kesan yang

digambarkan oleh media dapat dilihat melalui pemberitaan maupun tayangan

acara pada media massa.


2.4 Pengertian dan Karakteristik Antar Generasi

2.4.1 Definisi Generasi

Manheim mendefinisikan generasi merupakan suatu konstruksi sosial yang

di dalamnya terdapat sekelompok orang yang memiliki kesamaan tahun lahir

dalam rentang waktu 20 tahun, berada dalam dimensi sosial yang sama, dan

memiliki pengalaman historis yang sama (Manheim, 1952). Pengelompokkan

generasi mencakup 2 hal utama yang mendasar yaitu faktor demografi khususnya

kesamaan tahun kelahiran dan faktor sosiologis khususnya kejadian – kejadian

historis, di mana faktor kedua lebih banyak digunakan sebagai dasar dalam studi

maupun penelitian tentang perbedaan generasi (Parry dan Urwin, 2010).

Howe dan Strauss (2000) dalam bukunya yang berjudul Millenials Rising:

The Next Great Generation, mengungkapkan bahwa terdapat tiga atribut yang

mengidentifikasi generasi dibanding dengan tahun kelahiran, antara lain:

1. Percieved membership: persepsi individu terhadap suatu kelompok yang

dimana mereka tergabung didalamnya, menitikberatkan pada masa remaja

hingga masa dewasa muda.

2. Common belief and behaviors: sikap yang ditunjukkan terhadap keluarga,

karir, kehidupan pribadi, politik, agama, serta pilihan yang diambil terkait

pekerjaan, pernikahan, kesehatan, dan kejahatan.

3. Common location in history: pandangan terhadap kejadian bersejarah

seperti perang ataupun bencana alam yang terjadi pada masa remaja

hingga dewasa muda.


Kupperschmidt dalam Putra (2016) mendefinisikan generasi sebagai

sekelompok individu yang mengidentifikasikan kelompoknya atas dasar

persamaan tahun kelahiran, umur, lokasi, dan berbagai kejadian dalam kehidupan

tiap individu yang mempengaruhi pemikiran mereka selama fase pertumbuhan.

Howe dan Strauss (1991) pun mengelompokkan generasi berdasarkan kesamaan

rentang waktu kelahiran dan kesamaan akan kejadian historis individu.

Kejadian historis yang dialami setiap generasi memunculkan perbedaan nilai –

nilai yang dianut di setiap generasi. Manheim (1952) mengungkapkan bahwa

generasi yang lebih muda tidak dapat bersosialisasi dengan sempurna karena

terdapat gap antara nilai – nilai yang dipegang serta diajarkan oleh generasi yang

lebih tua dengan realitas yang dihadapi oleh generasi yang lebih muda. Hal

tersebut memunculkan karakteristik yang berbeda di setiap generasi.

2.4.2 Karakteristik Antar Generasi

1. Generasi X

Generasi X populer dengan sebutan Generasi Xers yang lahir pada tahun 1965

– 1980. Generasi Xers merupakan anak dari generasi baby boomers yang

mempengaruhi pemikiran dan persepsi dari orang tua mereka (Avisha, 2018).

Generasi Xers menjadi saksi kehadiran internet dan teknologi sehingga mampu

beradaptasi dan menerima perubahan dengan baik (Howe dan Strauss, 1991).

Generasi ini memiliki ciri – ciri yakni mampu beradaptasi, menerima perubahan

dengan baik, pekerja keras, dan disebut sebagai generasi yang tangguh
(Jurkiewicz dalam Putra, 2016). Lebih lanjut, Tapscott (2013) berpendapat bahwa

generasi ini dikenal sebagai pemecah masalah yang handal.

2. Generasi Y

Generasi Y populer dengan sebutan Generasi Millenials yang lahir pada tahun

1981 – 1994. Generasi ini lahir saat teknologi komunikasi sedang gencar

dikembangkan (Tapscott, 2013). Teknologi komunikasi banyak digunakan oleh

generasi ini seperti SMS hingga media sosial karena generasi Y tumbuh pada era

internet booming (Lyons, 2004). Lebih lanjut, Lyons (2004) menjabarkan ciri –

ciri generasi Y yakni memiliki komunikasi yang terbuka dibanding generasi

sebelumnya, pengguna media sosial, dan terpengaruh oleh perkembangan

teknologi dalam kehidupannya. Koneksi internet pada masa pertumbuhan generasi

ini mulai mudah untuk diakses sehingga berdampak pada kecanduan dengan

internet pada generasi millenials (Avisha, 2018).

3. Generasi Z

Generasi Z populer dengan sebutan iGeneration atau generasi internet yang

lahir pada tahun 1995 – 2010 (Putra, 2016). iGeneration telah mengenal teknologi

sejak kecil dan cukup akrab dengan gadget canggih yang secara tidak langsung

berpengaruh terhadap kepribadian generasi ini (Avisha, 2018). Lebih lanjut,

generasi Z diuntungkan dengan kemajuan infrastruktur yang menyebabkan akses

internet yang mudah dan cepat sehingga mudah beradaptasi dengan teknologi

komunikasi (Avisha, 2018). Terdapat kesamaan antara generasi Y dan generasi Z

karena sama – sama tumbuh saat kemudahan akses internet. Namun, generasi Z
mampu mengoperasikan semua kegiatan dalam satu waktu atau multi tasking

seperti menggunakan media sosial melalui ponsel atau mendengarkan musik

menggunakan earphone (Putra, 2016).

2.5 Kajian Reception Analysist Pada Media Sosial

Reception Analysis merupakan hasil turunan dari teori uses and

gratification yang menjelaskan bahwa penggunaan media yang sama dapat

memberikan efek berbeda kepada setiap individu yang menggunakannya karena

dipengaruhi oleh latar belakang, lingkungan, dan bagaimana tiap individu

berhadapan dengan konten yang diberikan oleh media (Baran dan Davis, 2010).

Faktor kontekstual akan mempengaruhi cara khalayak dalam memaknai suatu

pesan yang diberikan oleh media. Faktor kontekstual dijelaskan oleh Hadi (2009)

yaitu elemen identitas khalayak, persepsi atas suatu teks, hingga latar belakang

sosial, sejarah, dan isu politik.

Reception Analysis mencoba untuk mencari tahu pemaknaan khalayak

terhadap isi konten media. Teori resepsi menempatkan khalayak dalam konteks

berbagai macam faktor yang turut mempengaruhi khalayak dalam menciptakan

makna dari sebuah konten atau isi teks media (Hadi, 2009). Oleh karena itu, teks

dan penerima merupakan elemen yang saling melengkapi. Dalam bukunya yang

berjudul A Handbook Qualitative Methodologies for Mass Communication

Research, Jensen dan Jankowski (2002) mengungkapkan bahwa analisis resepsi

memiliki asumsi yakni tidak akan ada efek tanpa suatu makna.
Model analisis resepsi memiliki kelebihan yakni memusatkan perhatian

pada individu dalam komunikasi massa, mengakui kepandaian serta kemampuan

konsumen media, mencari pemahaman yang mendalam tentang bagaimana

individu menafsirkan konten media, dan menerima berbagai jenis makna dalam

konten media (Baran dan Davis, 2010). Analisis resepsi menitikberatkan pada

proses pemaknaan dari pesan media yang diterima oleh konsumen media yang

dimana khalayak memiliki andil dalam wacana dan pemaknaan media (McQuail,

1997).

Hall (2001) menjelaskan konsep encoding dan decoding, bahwa

pemaknaan terhadap suatu pesan tidak selalu dipahami secara utuh, bergantung

pada framework of knowledge yang dimiliki oleh konsumen dan produsen pesan.

Proses encoding adalah proses pembentukan makna yang diproduksi oleh media

yang kemudian didistribusikan melalui sebuah program dan akhirnya diproduksi

kembali oleh khalayak. Sedangkan decoding adalah proses ketika makna dalam

suatu program dimaknai kembali oleh khalayak media yang mengkonsumsinya

(Baran dan Davis, 2010).

Teori yang sering digunakan dalam penelitian tentang pemaknaan audiens

adalah pemikiran kritis Stuart Hall dengan tiga hipotesis yang mungkin diterapkan

oleh khalayak dalam memaknai isi media yaitu (1) hegemonik-dominan

(dominant hegemonic reading), dimana khalayak memaknai pesan media sejalan

dengan makna serta menerima makna secara penuh dari pembuat pesan media, (2)

posisi yang di negosiasi (negotiated reading), yaitu khalayak menerima dengan

sejalan terhadap makna yang dibuat oleh pembuat pesan media, namun
memodifikasinya sehingga khalayak memaknai sesuai dengan minatnya, dan (3)

posisi oposisional (oppositional reading), khalayak menolak makna dari pesan

media (Hall, 2001).

Berangkat dari hal yang telah dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai pemaknaan audiens di media sosial dengan

menggunakan konsep encoding dan decoding milik Stuart Hall. Peneliti

melakukan encoding dengan menonton video “Perempuan Tanpa Vagina” di

akun youtube CameoProject. Video tersebut dianggap sebagai media yang ingin

membagikan pandangan akan stereotipisasi transgender di Indonesia. Proses

decoding peneliti lakukan dengan mewawancarai 6 orang yang berbeda generasi.

Dua orang generasi X, dua orang generasi Y, dan dua orang generasi Z yang telah

menyaksikan video “Perempuan Tanpa Vagina” di akun youtube CameoProject.

2.6 Penelitian Terdahulu

3 penelitian
2.7 Kerangka Pemikiran

Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pemaknaan khalayak akan

transgender yang digambarkan dalam video dokumentet “Perempuan Tanpa

Vagina” dengan menggunakan metode analisis resepsi dengan model encoding-

decoding milik Stuart Hall. Kerangka pemikiran disusun dan dibuat untuk

mempermudah pemahaman terhadap bagaimana alur pemikiran peneliti dalam

sebuah penelitian. Berikut susunan kerangka pemikiran dalam penelitian ini:

Video “Perempuan Tanpa


Vagina” di Akun Youtube Steriotipisasi Transgender
CameoProject

Antar Generasi

(Generasi X, Y, dan Z)

Pengalaman Tahun
dan kejadian kelahiran
historis

Analisis Resepsi

Penonton Penonton Penonton


Dominan Bernegosiasi Oposisional

Resepsi Khalayak Antar Generasi terhadap


Transgender dalam Video “Perempuan Tanpa
Vagina”
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penelitian

ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif mengumpulkan

data dalam bentuk kata – kata atau gambar, lebih menekankan pada proses,

analisis data dilakukan secara induktif, dan lebih menekankan pada makna

(Sugiyono, 2015). Metode yang digunakan adalah analisis resepsi untuk mencari

tahu pemaknaan khalayak terhadap isi pesan media. Analisis resepsi

menitikberatkan pada proses pemaknaan dari pesan media yang diterima oleh

konsumen media yang dimana khalayak memiliki andil dalam wacana dan

pemaknaan media (McQuail, 1997).

Alasan peneliti menggunakan metode analisis resepsi karena peneliti ingin

mengetahui pemaknaan khalayak terhadap transgender dalam video “Perempuan

Tanpa Vagina” yang diunggah oleh akun youtube CameoProject. Khalayak dalam

resepsi audiens pada penelitian ini adalah individu yang memiliki perbedaan

dalam nilai – nilai yang dipegang, pengalaman, dan kejadian historis dari generasi

ke generasi. Mulai dari generasi babyboomers, generasi X, dan generasi

millennials. Oleh karena itu, pesan yang di maknai dari masing – masing individu

akan berbeda – beda. Pada penelitian ini, peneliti mengambil sampel tiga

informan yang terdiri dari satu generasi babyboomers, satu generasi X, dan satu
generasi millennials. Agar penelitian dilakukan fokus, peneliti memilih area di

satu wilayah yaitu Malang.

3.2 Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini adalah pemaknaan khalayak terhadap transgender

yang digambarkan melalui video “Perempuan Tanpa Vagina” yang diunggah oleh

akun youtube CameoProject. Khalayak disini adalah individu yang memiliki

perbedaan dalam nilai – nilai yang dipegang, pengalaman, dan kejadian historis

dari generasi ke generasi. Mulai dari generasi babyboomers, generasi X, dan

generasi millennials. Dengan menggunakan konsep encoding – decoding Stuart

Hall, penelitian ini akan menemukan respon khalayak dalam memaknai

transgender melalui video “Perempuan Tanpa Vagina”.

Konsep encoding – decoding milik Stuart Hall menjelaskan tiga

kemungkinan khalayak dalam memaknai isi media yaitu (1) hegemonik-dominan

(dominant hegemonic reading), dimana khalayak memaknai pesan media sejalan

dengan makna serta menerima makna secara penuh dari pembuat pesan media, (2)

posisi yang di negosiasi (negotiated reading), yaitu khalayak menerima dengan

sejalan terhadap makna yang dibuat oleh pembuat pesan media, namun

memodifikasinya sehingga khalayak memaknai sesuai dengan minatnya, dan (3)

posisi oposisional (oppositional hegemonic reading), khalayak menolak makna

dari pesan media (Hall, 2001).


3.3 Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, sumber data dalam penelitian ini dibedakan

menjadi dua, yaitu data primer dan sekunder. Berikut penjabarannya:

1. Data Primer

Data primer merupakan data utama dalam penelitian yang di mana

merupakan data asli atau data langsung yang dikumpulkan oleh peneliti dalam

menjawab fokus penelitian tanpa melalui perantara. Data primer merupakan data

yang diperoleh langsung dari lapangan oleh peneliti. Data primer dalam penelitian

ini adalah hasil analisis dari in-depth interview yang peneliti lakukan dengan

ketiga informan antar generasi yang telah menyaksikan video “Perempuan Tanpa

Vagina” melalui pertanyaan terstruktur yang telah dibuat oleh peneliti. Kegiatan

wawancara mendalam dilakukan agar peneliti mendapat pemaknaan informan

terhadap transgender melalui video “Perempuan Tanpa Vagina” dalam akun

youtube CameoProject.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh peneliti berdasarkan

sumber yang telah diperoleh. Data sekunder digunakan untuk mendukung data

primer. Data sekunder tersedia dalam berbagai bentuk yang umumnya berupa

bukti maupun catatan.


3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan tata cara yang dilakukan oleh

peneliti dalam mengumpulkan data yang diperlukan dalam proses penelitian.

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting atau

kondisi yang alamiah (Sugiyono, 2015).

3.5 Teknik Pemilihan Informan

3.6 Teknik Analisis Data

3.7 Teknik Keabsahan Data

3.8 Etika Penelitian


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Baran, S. J & Davis, D. K. (2010). Teori Komunikasi Massa: Dasar,
Pergolakan, dan Masa Depan. Jakarta: Salemba.
Butler, J. (2006). Gender Trouble. New York: Raoutledge.
Hall, S. (1993). Encoding/Decoding: The Cultural Studies Reader.
London: Routledge.
Hall, S. (2001). Discourse Theory and Practice: A Reader. London: Oaks.
Hines, S. (2007). Transgorming Gender: Transgender Practices of
Identity, Intimacy, and Care. University of Bristol: The Police Press.
Howe, N. & Strauss, W. (1991). Generations: The History of America’s
Future, 1584 to 2069.. New York: Morrow.

Howe, N. & Strauss, W. (2000). Millenials Rising: Tthe Next Great


Generation. New York: Vintage.
Jensen, K. B. & Jankowski, N. W. (2002). A Handbook of Qualitative
Methodologies For Mass Communication Research. New York: Routledge.
Mahjuddin. (2005). Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa
Kini. Jakarta: Kalam Mulia.
Morissan (2013). Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta:
Kencana.
Kali, A. (2013). Diskursus Seksualitas Michel Foucault. Yogyakarta:
Solusi Offset.
McQuail, D. (1997). Audience Analysis. California: SAGE Publications.
Purwanti, D. (2010). The ‘O’ Project. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Sanger, S. H. (2010). Transgender Identities: Towards a Social Analysis of
Gender Diversity. New York: Routledge.
Tapscott, D. (2013). Grown up digital: yang muda yang mengubah dunia.
Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal:

Candraningrum, P. D. (2015). Keragaman Gender dan Seksualitas. Jurnal


Perempuan, Vol.20, 3 – 8.
Hadi, P. (2009). Penelitian Khalayak Dalam Perspektif Reception
Analysis. Universitas Kristen Petra Surabaya. Vol 3(1). 2-3.
Hutton, E. (2009). Bias Motivation in Crime: A Theoretical Examination.
Internet Journal of Criminology, 1-18.
Jurkiewicz, C. L. (2000). Generation X and the public employee. Public
Personnel Management, 29(1), 55.
Lyons, S. (2004). An exploration of generational values in life and at
work. PproQuest Dissertations and Theses, 441.
Manheim, K. (1952). The Problem of Generations. Essay on the Sociology
of Knowledge, 24(19). 276 – 322.
Parry, E. & Urwin, P. (2010). Generational Differences in Work Values: A
Review Theory and Evidence. International Journal of Management Reviews, 13,
79 – 96.

Purbayanti, M. (2013). Reception Analysis Remaja Perempuan Tentang


Konsep Kecantikkan Dalam Iklan Kosmetika.Media Commonline. Vol.1(2)

Partanto, P. A. & Barry, M. D. (1994). Kamus Ilmiah Populer Surabaya:


Arkola.

Putra, Y. S. (2016). Theoritical Review: Teori Perbedaan Generasi.


Among Makarti Vol.9(18), 124-132.

Rahman, A. (2015). Jumlah Populasi Gay di Indonesia dan Dunia.


www.sixpackmagazine.net. Diakses pada 29 Oktober 2019.

Sari, F. M. (2016). Konstruksi Media Terhadap Transgender. Jurnal


Professional FIS UNIVED. Vol. 3. 25 – 31.

Yudah, A. A. (2013). Representasi Transgender dan Transeksual dalam


Pemberitaan di Media Massa: Sebuah Tinjauan Analisis Wacana Kritis. Jurnal
Kriminologi Indonesia. Vol 9(2). 37 – 49.
Laporan:

USAID. (2013). Hidup Sebagai LGBT di Asia: Laporan Nasional


Indonesia. Bali.
Kemenkes RI. (2014). Estimasi Jumlah Populasi Kunci Terdampak HIV
Tahun 2012.
KEMENPPPA. (2015). Pandangan Transgender Terhadap Status Gender
dan Persamaan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang.
Depok.

Modul:

KEMENPPPA. (2018). Statistik Gender Tematik: Profil Generasi


Milenial Indonesia.

Skripsi:

Akrom, C. N. (2017). Transgender Dalam Perspektif Hukum Positif dan


Hukum Islam. Universitas Islam Negeri Raden Fatah.

Arlisyah, R. N. (2016). Representasi Identitas Transgender Dalam Film.


Universitas Muhammadiyah Malang.

Avisha, I. M. (2018). Perbedaan Minat Beli Online Generasi X, Y, dan Z.


Universitas Sanata Dharma.
Harun, M. (2019). Pemaknaan Khalayak Mengenai Pertukaran Peran
Gender Dalam Film. Universitas Brawijaya.

Olvianita, R. W. (2013). Transgender Dalam Film. Universitas


Muhammadiyah Surakarta.

Purwanti, A. D. (2014). Diversitas Identitas dan Kekerasan Dalam Relasi


Pasangan Gay-Lesbian di Yogyakarta. Universitar Negeri Yogyakarta.
Santoso, M. R. (2018). Analisis Resepsi Mahasiswa Perguruan Tinggi
Negeri Surabaya Tentang Berita Hoaks Di Media Sosial. Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai