Anda di halaman 1dari 5

Nama : Harnendra Dwi Abikusumo

NPM : 2006581546
Kelompok : 8

Memajukan Perempuan Dalam Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender adalah hal utama untuk diperjuangkan di Indonesia.


Kesetaraan yang dicita-citakan oleh R.A. Kartini nampaknya hingga sekarang hanya
menjadi ucapan pemanis belaka di masyarakat. Masih banyak yang kurang mengerti
bahkan tidak tahu apa itu kesetaraan gender. Lebih dari itu, mereka malah melupakan
arti penting dari kesetaraan gender itu sendiri.

Saya mengambil contoh dari yang terdekat mengenai kurangnya kesadaran


kesetaraan gender, yakni dari keluarga saya. Ayah saya dididik dengan budaya keraton
jawa yang amat kental, dimana kakek saya keturunan dari Kasunanan Surakarta,
sedangkan nenek saya keturunan dari Kesultanan Yogyakarta. Ayah saya, dari
pengamatan saya, sangat kental akan sifat-sifat raja jawa yang suka memerintah dan
senang dilayani. Menurut beliau, kekayaan adalah hal yang paling utama dalam
meningkatkan pamor seseorang, sangat konservatif pemikirannya. Beliau juga melihat
bahwa pernikahan sebagai alat untuk mengikat perempuan untuk terus melayaninya
hingga beliau meninggal. Sedangkan, ibu saya berasal dari keluarga yang sangat
dinamis pada zamannya. Ibu saya yang dididik dengan budaya liberalisme
menjadikannya terbuka akan semua hal. Latar belakang keluarga ibu saya yang hidup
diantara garis kemiskinan dan garis kecukupan menjadikan ibu saya menjadi orang yang
sangat menghormati siapapun. Ditambah dengan nenek saya yang seorang mualaf dan
kakek saya seorang pemeluk agama Islam yang taat menjadikan ibu saya saat religius
dalam hidupnya.

Perbedaan kedua pola pikir membuat terjadi banyak pertentangan di dalam


keluarga. Ayah saya yang bermental inlander tidak menyukai adanya kesetaraan status
dalam keluarga. Ayah saya lebih menyukai dirinya menjadi penguasa satu-satunya di
dalam rumah, dan ibu saya berkewajiban melayaninya mau ataupun tidak mau.
Sedangkan, ibu saya sangat mendukung kesetaraan status, tetapi pikirannya itu tidak
pernah muncul ke permukaan hanya karena menurut tafsirannya tentang agama islam,
istri berkewajiban melayani suami.1

1
Al Quran, diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia, (Jakarta:
Departemen Agama Republik Indonesia, 1984), Surat An Nisa (4): 78
Terjadi kekalutan dalam memperjuangkan kesetaraan gender di masyarakat yang
patriarki seperti saat ini. John Stuart Mill berpendapat bahwa sumber utama
ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan adalah Law of the Strongest.2
Mereka yang lemah akan diinjak oleh mereka yang kuat, termasuk dalam hal ini
permasalahan mengenai perempuan. Perempuan pada zaman John S. Mill dianggap
seperti barang, dan Raison d’etre-nya hanya untuk menghasilkan keturunan bagi si laki-
laki.3 Walaupun demikian, dukungannya pada kesetaraan laki-laki dan perempuan
hanya sebatas persamaan di muka hukum.4

Charles Fourrier lebih jauh lagi dalam membela kesetaraan gender dengan
berkata bahwa tinggi-rendahnya kemajuan suatu masyarakat ditetapkan oleh tinggi-
rendahnya kedudukan perempuan di masyarakat itu.5 Sedangkan, Olive Schreiner
melambangkan laki-laki dan perempuan sebagai dua makhluk yang terikat satu sama
lain oleh ikatan yang ghaib.6 Soekarno melambangkan kesamaan derajat laki-laki dan
perempuan dengan hukum alam, dimana jika tidak ada laki-laki maka tidak ada
perempuan dan juga sebaliknya, sehingga laki-laki dan perempuan dapat dilambangkan
dengan rumusan sama dengan.7

Asal-usul mengapa bisa terjadi ketidaksetaraan gender dapat dilihat dari


perkembangan manusia di zaman hunter-gatherers. Manusia pada zaman itu hidup
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mencari makanan. Mereka
berkelompok tanpa pertalian apapun, sehingga yang mengikat mereka hanya kerja sama
dan perlindungan bersama. Kaum laki-laki dari kelompok- kelompok itu pergi mencari
makanan, sedangkan kaum perempuan ditinggal di sebuah gua bersama kaum laki-laki
yang sudah tua. Selagi kaum laki-laki pergi berburu, kaum perempuan menyiapkan
segala keperluan yang dibutuhkan oleh si laki-laki. Kaum perempuan mengikuti semua
perintah yang diminta oleh kaum laki-laki, seperti mencari daun-daun dan akar-akar
untuk memasak, menjaga api siang malam agar tidak padam, dan pekerjaan lain yang

2
John Stuart Mill, The Subjection of Women, (London: Longman, Green, Reader, and Dyer, 1870),
hlm. 10
3
Ibid, hlm. 17
4
Ibid, hlm. 1
5
Soekarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Panitia
Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno, 1963), hlm. 17
6
Ibid.
7
Ibid, hlm. 16
tidak berhubungan dengan berburu.8 August Babel dalam menanggapi hal tersebut
dengan nada sinis mengatakan “Perempuan adalah budak, sebelum perbudakan itu
diciptakan”9

Dalam perkembangannya, banyak bangsa di dunia, akhirnya mengakui


ketinggian status seorang perempuan, contohnya bangsa Indian Cherookee, dimana
pemerintahan bangsa itu becorak matriarki, dan semua sistem pemerintahan dijalankan
oleh perempuan, seperti pertanian, persidangan, politik, tawanan. Bangsa Indian
Wyandot juga mengadopsi pemerintahan matriarki, dimana anggota majelisnya 44
orang lebih banyak daripada laki-laki.10

Kepentingan diwujudkannya kesetaraan gender adalah agar setiap perempuan


tidak menderita menjadi perempuan. Mary Wollstonecraft bahkan sampai berkata
bahwa sudah seharusnya kaum laki-laki tidak meminta apapun dari perempuan, karena
perempuan sudah sejak dari kelahirannya ke dunia sudah diperbudak dan hidup sangat
amat menderita setiap detiknya.11 Kesetaraan gender harus diwujudkan agar ibu saya
tidak lagi merasakan penyesalan yang mendalam karena telah menikah. Friedrich
Engels dalam perspektifnya mengenai pernikahan, yakni suatu ikatan yang dibuat oleh
kaum laki-laki untuk memenjarakan perempuan agar tetap menjadi kepemilikan si kaum
laki-laki.12

Otoritas keagamaan yang seharusnya menjadi corong utama dalam memajukan


kesetaraan perempuan malah melakukan sebaliknya. Otoritas keagamaan sudah terlalu
bersifat patriarki hingga sampai pemaknaan keagamaan ditafsirkan oleh sudut pandang
seorang patriarki.13 Ketidakbisaan otoritas keagamaan dalam menetralkan dirinya dari
pandangan maskulinitas menyebabkan merebaknya gelombang anti-keagamaan atas
dasar dukungan kepada kesetaraan gender. Banyak sarjana menyarankan agar lepas dari
sistem monopoli-represif14 yang dijalankan oleh institusi keagamaan, contohnya Karl
8
Soekarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Panitia
Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno, 1963), hlm. 46
9
Ibid.
10
Ibid, hlm. 55
11
Mary Wollstonecraft, The Vindication the Right of Women, (London: T. Fisher Unwin
Paternoster, 1792)
12
Soekarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Panitia
Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno, 1963), hlm. 183-188
13
Arabella Kenealy, Feminism and Sex-Extinction, (London: T. Fisher Unwin Paternoster, 1920)
14
Lihat Karl Marx, A Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right.
Marx, Joseph Proudhon, Friedrich Engels, Simone de Beauvoir, Jean Paul Sartre, Jean-
Paul Marat, Rose Luxembourg.

Perempuan yang ditindas pada akhirnya akan memberontak dan membangkitkan


semangat pergerakan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Kaum
perempuan dari berbagai belahan dunia bersatu dalam semangat feminisme untuk
menghancurkan otoritas-otoritas represif. Madame Roland memimpin pergerakan kaum
perempuan di perancis meminta persamaan hak dengan kaum laki-laki. Olympe de
Gouges, Rose Lacombe, dan Theroigne de Mericourt adalah pemimpin-pemimpin
pergerakan kaum perempuan bawahan yang mendirikan organisasi-organisasi
perserikatan perempuan.15

Di Indonesia sendiri, pergerakan kesetaraan gender berjalan dengan amat


lambat. Upaya-upaya yang dilancarkan oleh kaum perempuan untuk mempercepat
kesetaraan gender dihambat oleh kaum laki-laki yang konservatif akan perubahan. 16
Masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga, kasus pelecehan seksual, angka
pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian masih sangat tinggi di Indonesia. Hal
ini seharusnya bisa diatasi dengan pembuatan undang-undang yang melindungi hak-hak
kaum perempuan dan mengkampanyekan kesetaraan gender antara kaum laki-laki dan
perempuan.17

15
Soekarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia, (Jakarta: Panitia
Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno, 1963), hlm. 150-151.
16
Ade Irma Sakin dan Dessy Hasanah Siti A, “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia,” Jurnal
Unpad Vol. 7, no. 1 (2017), hlm. 72-73.
17
Ibid, hlm. 73-77.
Daftar Pustaka

Al Quran. diterjemahkan oleh Tim Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta:


Departemen Agama Republik Indonesia, 1984. Surat An Nisa (4): 78

Irma Sakin, Ade dan Dessy Hasanah Siti A, “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia,”
Jurnal Unpad Vol. 7, no. 1 (2017). Hlm. 71-78.

Kenealy, Arabella. Feminism and Sex-Extinction. London: T. Fisher Unwin Paternoster,


1920.

Soekarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Jakarta:


Panitia Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno, 1963.

Stuart Mill, John. The Subjection of Women. London: Longman, Green, Reader, and
Dyer, 1870.

Wollstonecraft, Mary. The Vindication the Right of Women. London: T. Fisher Unwin
Paternoster, 1792.

Anda mungkin juga menyukai