Anda di halaman 1dari 2

Review Femism.

A Very Short Introduction


Saidah Difla Iklila/22200012104/Islam Nusantara

Buku Feminism. A Very Short Introduction ditulis oleh Margaret Walters, seorang feminis
yang seharusnya saat ini berusia 81 tahun, sayangnya sudah meninggal kerena covid. Dari
buku ini kita bisa memahami bagaimana sejarah feminism sejak abad ke-17 hingga abad ke-
20. Bahwa saat awal-mula lahirnya feminism, laki-laki menyebut perempuan yang
memperjuangkan haknya, dengan sebutan perempuan gila dan tidak laku.

Sudah bisa dipahami bahwa sejak dahulu, sejarah membuktikan bahwa perempuan hidup
dalam dominasi kuat pria. Budaya dan agama seolah ikut meligitimasi domonasi pria dalam
budaya manapun. Dalam agama Kristen, wanita dianggap dalam posisi yang submasive. Di
ceritakan ada Delilah yang menjadi pengkhianat, ada Ezabel yang seorang pembunuh, dan
tentu saja ada Hawa yang dituduh menjadi jatuhnya manusia ke bumi alih-alih masih berada
di surga (Dan sayangnya agama apapun menyetujui cerita tentang Hawa ini).

Begitu pula dalam ayat suci Al-Qur’an “Tipu daya Wanita lebih dahsyat dibandingkan tipu
daya setan.” Ayat-ayat seperti ini semakin membuat posisi Wanita menjadi serba salah. Tapi
dengan perkembangan zaman, lahirnya moralitas baru, yang muncul sebagai reaksi atas
domonasi laki-laki, lalu lahirnya kearifan baru dalam memahami posisi perempuan. Di
tambah dengan perkembangan zaman dan pengetahuan, semakin memperkuat posisi
perempuan dalam masyarakat.

Pada abad ke-17, di Inggris terjadi perburuan luar biasa terhadap para penyihir perempuan.
Penyihir tadi dituduh melakukan tindakan yang sangat jahat dan anti dengan gereja. Mereka
kemudian dibunuh, digantung, dibakar, dimusnahkan dengan cara-cara yang kejam.
Menurut para peneliti, sebenarnya perempuan yang dituduh penyihir itu bukanlah penyihir,
tetapi mereka adalah para perempuan yang pintar dalam dunia pengobatan. Laki-laki tidak
menyukai peran perempuan yang mendominasi, lalu dibuatlah fitnah keji terhadap
perempuan tabib tadi.

Ditambah fakta banyak perempuan yang mengaku mendapat wahyu dari tuhan, mendengar
bisikan, tapi dianggap gila oleh kaum laki-laki. Ada Lady Eleanor Davis, Anna Travis yang
mengalami hal ini semakin membuat laki-laki tidak senang dengan perempuan yang aktif
berbicara. Menurut para laki-laki, nabi atau yang mendapat wahyu seharusnya hanya laki-
laki.

Pada abad ke-18 dimonitori oleh feminis Mary Astell, seorang feminis yang lahir dari
keluarga konservatif, dalam perjalanan hidupnya dia berusaha untuk meyakinkan
perempuan untuk berdikari, mencintai diri sendiri, bekerja, dan memintarkan diri. Dia
banyak menulis buku yang memprofokasi perempuan untuk berpikir maju. Ada banyak
penulis wanita pada masa ini, mereka dijuluki ‘Amazone of the pen” karena buah pikiran
mereka yang tajam dituangkan pada tulisan.

Pada abad ke-19, feminism menjadi semakin matang. Marion Reid, seorang feminis di abad
19 membuat humor sarkas bahwa perilaku feminin adalah ketika dia menurut pada
suaminya, mengurus anak dan rumahnya dengan baik. Dia memberikan kritik bahwa
perempuan hanyalah berurusan dengan sector domestic, perempuan bahkan menyerahkan
hidup dan matinya pada suaminya setelah menikah. Pada abad ke-19 ini juga perempuan
boleh mengikuti debat.

Apakah pada abad ke-20 tahun ini posisi perempuan jadi lebih baik? Ya, setidaknya
perempuan sudah bisa mengisi parlemen, bisa setara dengan laki-laki. Orang sudah
memahami bahwa posisi Wanita setara dengan laki-laki, meskipun di belahan dunia yang
lain masih ada perempuan yang ‘disembunyikan’. Wajah perempuan dianggap aurat,
suaranya aurat, dan sebagainya. Pada awal abad 20 wanita sudah boleh mngikuti pemilu, ini
perkembangan luar biasa karena suara perempuan sejak masa lalu dibungkam.

Bagaimana dengan di Indonesia? Sama seperti banyak negara dengan mayoritas muslim,
posisi perempuan masih berada di tempat yang sama. Bukan berarti perempuan selalu
tertindas, tapi hidup dalam budaya patriarki dan dogma agama yang tidak memihak
perempuan, masih saja sulit bagi perempuan Indonesia untuk bisa maju. Atas dasar hal
itulah feminism masuk Indonesia, kemudian menjadi besar. Kesadaran akan pentingnya
menghargai hak-hak perempuan, bahwa yang membedakan perempuan dengan laki-laki
hanya sebatas perempuan memiliki rahim dan laki-laki tidak. Perempuan berhak sekolah
tinggi jika dia mau dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai