Anda di halaman 1dari 4

Nama: Harnendra Dwi Abikusumo

NPM: 2006581546
Kelompok: 8

Pendidikan yang Terjadi di Indonesia

Perkembangan Indonesia sekarang menuju ke arah yang kian memprihatinkan.1


Pancasila yang menurut Soekarno sebagai Philofische grondslag2 semakin lama
semakin menjadi alat para oligarki untuk menambah kekayaan diri sendiri dan
memiskinkan orang lain.3 Kemiskinan itu menyebabkan banyak yang putus sekolah atau
bahkan tidak mendapat akses terhadap pendidikan. Padahal, Undang-Undang Dasar
1945 menegaskan dalam pasal 31 ayat (1) bahwa “Setiap warga Negara berhak
mendapat pendidikan.”4 Tan Malaka juga menegaskan pentingnya mengedukasi rakyat
dan menanamkan saling menghormati antar sesama.5 Oleh karena itu, diperlukan
pembahasan arah filosofis pendidikan Indonesia yang dicita-citakan, perkembangannya,
dan perbaikan yang harus dilakukan kedepannya.
Perkembangan pendidikan di Indonesia tidak lepas dari campur tangan filsafat
yang diyakini oleh para pendiri bangsa. Tan Malaka, salah seorang bapak bangsa
Indonesia, mengatakan bahwa pendidikan itu berkutat pada penanaman nilai-nilai
moral, rasionalitas, sosial, dan kebangsaan pada seluruh masyarakat Indonesia.6 Tan
Malak begitu kukuh pada nilai-nilai tersebut sampai ia berkata bahwa bila pelajar yang
sudah dididik tidak menunjukkan sifat-sifat yang mencerminkan nilai tersebut, lebih
baik pelajar itu dibiarkan tidak terdidik.7 Ki Hajar Dewantara yang sependapat dengan
Tan Malaka, menyumbangkan pemikirannya yang bersemboyan “Ing Ngarsa Sung
Taladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani.” 8 Ki Hajar berpendapat
1
Jeffrey A.Winters, Indonesia Menentukan Nasib: Dari Reformasi ke Transformasi
Kelembagaan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010).
2
Terdapat perdebatan yang cukup panas mengenai posisi Pancasila dalam kehidupan bangsa
Indonesia. Soekarno berpendapat Pancasila itu “...pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya,
jiwa hasrat, yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal
dan abadi.” Namun, ada para ahli hukum memasukkan Pancasila sebagai grundnorm (dalam istilah Hans
Kelsen) yang menjadikan Pancasila sebagai kaidah kelakuan ajeg dan bukan a priori berpikir bangsa
Indonesia. Lihat E. Fernando M. Manullang, “Mempertanyakan Pancasila Sebagai Grundnorm: Suatu
Refleksi Kritis Dalam Perspektif Fondasionalisme,” Hukum dan Pembangunan Vol. 50 No. 2 (2020).
3
Jeffrey A.Winters, Indonesia Menentukan Nasib: Dari Reformasi ke Transformasi
Kelembagaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
4
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Ps. 31 ayat (1).
5
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika (Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2014).
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Tan Malaka, Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika (Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2014).
bahwa pendidikan yang baik adalah dengan mencontohkannya, seperti yang lebih tua
memberikan contoh kepada yang lebih muda.9 Dengan begitu, budaya yang berkembang
di masyarakat adalah budaya kekeluargaan dan gotong royong. Mengenai hal ini,
Soekarno juga menimpali pentingnya budaya gotong royong dalam bangsa Indonesia.
Soekarno berkata bahwa bangsa Indonesia itu seperti Marhaen, seorang petani yang
serba kesulitan dalam menghidupi keluarganya, yang tidak akan dapat hidup bila tidak
hidup bersama, berbagi bersama, menderita bersama dengan anggota masyarakat
lainnya.10 Menjadi terang sekarang, kearah mana filosofi pendidikan bangsa Indonesia
dicita-citakan dan yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia.
Dalam perkembangannya, cita-cita pendidikan Indonesia semakin tereduksi akibat
sempitnya pola berpikir pemimpin sesudah itu. Pendidikan lebih ditujukan untuk
mencetak Labour Force dan tidak lagi untuk mencetak manusia yang berbudi luhur.
Banyak yang tidak memahami pentingnya kepribadian luhur dan beretika yang baik.
Nampaknya dalam tujuan pemenuhan tenaga kerja, pemerintah telah berhasil memenuhi
kuota perindustrian.11 Tetapi dalam hal memanusiakan manusia, nampaknya hal itu
tidak menjadi urgensi pemerintah. Selain itu juga terdapat problema lainnya, yaitu akses
pendidikan yang belum merata di seluruh Indonesia, dimana hanya yang tinggal di kota-
kota besar di Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan yang maksimal, sedangkan
yang berada di daerah atau di wilayah terpinggir Indonesia, diberikan pendidikan yang
seminal-minimalnya.12 Pendekatan pembelajaran yang tidak moral-teaching oriented
menambah problematika pendidikan di Indonesia. Guru lebih suka mengambil jarak
dengan siswa, dan hanya memberikan sekedar tugas-tugas akademik dan jarang
memberikan pengalaman hidup di luar akademik, yang menjadikan siswa menjadi
sangat terampil dalam akademik tetapi bodoh diluar akademik.13

9
Suparto Rahardjo, Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959 (Yogyakarta: Garasi,
2012).
Marhaen yang kemudian Soekarno mendirikan filosofi yang menurutnya cocok dengan bangsa
10

Indonesia, yaitu Marhaenisme. Marhaenisme itu didasarkan pada simpati Soekarno pada rakyat yang
menderita, dan banyak mengambil logika Karl Marx dan sosialis lainnya seperti Robert Owen, Francois
Babeuf, G.V. Plekhanov, Leon Trotsky, Pieter J. Troelstra, Paul de Groot, dll. Lihat Cindy Adams,
Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta: Yayasan Bung Karno, 1978); Soekarno,
Indonesia Menggugat (Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia); Soekarno, Dibawah
Bendera Revolusi (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964).
11
Priarti Megawanti, “Meretas Permasalahan Pendidikan di Indonesia,” Universitas Indraprasta
PGRI Jurnal Formatif 2(3): 227:234.
12
Nurul Afifah, “Problematika Pendidikan di Indonesia: Telaah dari Aspek Pembelajaran,”
PGMI STAIN Jurai Siwo Metro Vol. 1 (1 Januari 2015), hlm. 42-43.
Permasalahan lainnya adalah kesejahteraan baik siswa maupun guru yang sangat
memprihatinkan. Menurut data Pusjes tahun 2004, sebagian siswa (46%) berada dalam
tingkat kebugaran kurang, dan (37%) dalam tingkat kebugaran yang sedang.14 Lebih
dari itu, menurut data Susenas 2003, dari sekitar 18 juta anak usia balita, 28% dari
keseluruhan atau lima juta balita berstatus kekurangan gizi dan lebih dari 50% anak
SD/MI menderita cacingan.15 Sedangkan guru keadaannya tidak lebih baik daripada itu.
Menurut Balitbang Depdiknas tahun 2003/2004, terdapat sekitar 2,7 juta guru dari
jenjang pendidikan prasekolah sampai menengah, baik negeri maupun swasta. Namun,
masih dibutuhkan kurang lebih 400 ribu orang guru.16 Hal ini mengakibatkan banyak
guru yang mengajar lebih dari yang seharusnya, membuat banyak guru kelelahan dan
stres karena beratnya beban pekerjaan yang ia ampuh. Guru juga tidak dapat
meluangkan waktunya untuk mengembangkan pola mengajar yang baik untuk murid-
muridnya karena waktunya lebih banyak digunakan untuk mengerjakan urusan
administrasi dan lain sebagainya.17
Keadaan yang seperti itu harus segera ditanggulangi oleh pemerintah agar
terselenggaranya pendidikan yang dicita-citakan para pendiri bangsa. Penyelenggaraan
pendidikan harus diperluas dan dimaksimalkan hingga ke seluruh daerah di Indonesia.
Peningkatan kualitas kesejahteraan guru dan murid. Meningkatkan kompetensi guru
dalam mengajar di ruang-ruang kelas, dan memperbanyak guru di sekolah-sekolah. 18
Dan juga yang tidak kalah penting, penanaman dan pengajaran pendidikan yang
berlandaskan moral-teaching oriented yang berfokus pada cita-cita bangsa Indonesia.

13
Priarti Megawanti, “Meretas Permasalahan Pendidikan di Indonesia,” Universitas Indraprasta
PGRI Jurnal Formatif 2(3): 227:234.
14
S. Suryana, “Permasalahan Mutu Pendidikan dalam Perspektif Pembangunan Pendidikan,”
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (2017), hlm. 5.
15
Dirjen Dikti, “Peran, Fungsi, dan Kebijakan Pemerintah Pusat pada Pembangunan Pendidikan
Tinggi 2003-2010” Consolidated Report (2003).
16
Ibid.
17
S. Suryana, “Permasalahan Mutu Pendidikan dalam Perspektif Pembangunan Pendidikan,”
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (2017).
18
Nurul Afifah, “Problematika Pendidikan di Indonesia: Telaah dari Aspek Pembelajaran,”
PGMI STAIN Jurai Siwo Metro Vol. 1 (1 Januari 2015).
Daftar Pustaka
Buku
A.Winters, Jeffrey. Indonesia Menentukan Nasib: Dari Reformasi ke Transformasi
Kelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Adams, Cindy. Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Jakarta: Yayasan Bung
Karno, 1978.
Malaka, Tan. Madilog: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Yogyakarta: Penerbit
Narasi, 2014.
Rahardjo, Suparto. Ki Hajar Dewantara: Biografi Singkat 1889-1959. Yogyakarta:
Garasi, 2012.
Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera
Revolusi, 1964.
Soekarno, Indonesia Menggugat. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia.

Jurnal
Dirjen Dikti. “Peran, Fungsi, dan Kebijakan Pemerintah Pusat pada Pembangunan
Pendidikan Tinggi 2003-2010.” Consolidated Report (2003).
E. Fernando M. Manullang. “Mempertanyakan Pancasila Sebagai Grundnorm: Suatu
Refleksi Kritis Dalam Perspektif Fondasionalisme.” Hukum dan Pembangunan
Vol. 50 No. 2 (2020).
Nurul Afifah. “Problematika Pendidikan di Indonesia: Telaah dari Aspek
Pembelajaran.” PGMI STAIN Jurai Siwo Metro Vol. 1 (1 Januari 2015).
Priarti Megawanti. “Meretas Permasalahan Pendidikan di Indonesia.” Universitas
Indraprasta PGRI Jurnal Formatif 2(3): 227:234.
S. Suryana. “Permasalahan Mutu Pendidikan dalam Perspektif Pembangunan
Pendidikan.” Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang (2017).

Peraturan
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

Anda mungkin juga menyukai