Anda di halaman 1dari 3

Nama : Eva Margianata

Reg : Reguler 1/ tingkat 2

Nim : 1915401005

Artikel 1

KESETARAAN GENDER

Persepsi yang kurang tepat mengenai kesetaraan gender telah menghalangi peran perempuan dalam
kehidupan sosial. Selama ini masyarakat menganggap perempuan memiliki keterbatasan kesempatan
berdasarkan perbedaan ciri biologis primer. Sementara itu, Guru Besar Bidang Komunikasi Gender
Institut Pertanian Bogor Aida Vitayala S Hubies mengungkapkan, persepsi mengenai perbedaan laki-laki
dan perempuan berdasarkan ciri biologis primer (fisik) telah membudaya, sehingga memengaruhi cara
pandang masyarakat. Padangan itu juga yang membatasi peran perempuan dalam tatanan sosial. Ciri
biologis primer itu memungkinkan perempuan memiliki kemampuan 2H-2M (haid, hamil, melahirkan,
dan menyusui). Hal itu menyebabkan mereka diposisikan berperan di rumahm menurut Aida, dalam ciri
biologis sekunder (kuat-lemah atau maskulin-feminin)tidak ada perbedaan mencolok.

Demi meraih hak sama di segala bidang, perempuan mengharapkan kesetaraan gender. Kesetaraan
disini bukan berarti tuntutan perempuan untuk menyamakan fungsi perempuan dan laki-laki.
Kesetaraan disini, dimana perempuan ingin memiliki akses dan kesempatan yang sama sesuai dengan
kompetensinya, hal itu terkait erat dengan profesi di dunia kerja. Berdasarkan data survei angkatan
kerja nasional (2012), dari 118 juta penduduk perempuan Indonesia, sebanyak 47,91 persen atau 56 juta
perempuan bekerja. Jumlah itu cenderung stagnan sejak 2001, sementara itu sebanyak 36,97 persen
perempuan mengurus rumah tangga. Sedangkan berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(2012), angka lulusan perguruan tinggi laki-laki dan perempuan nyaris seimbang 6,43 persen untuk laki-
laki dan 6,11 persen untuk perempuan. Namun persentase perempuan yang tidak memiliki ijazah
pendidikan masih lebih tinggi, yakni 27,66 persen, sedangkan untuk laki-laki 22,38 persen.

Oleh Hasan Ramadhan dari Harian Kompas, Sabtu 19 April 2014

Opini :

Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara
terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup tidak hanya diperuntukan
bagi para laki-laki, perempuan pun mempunyai hak yang sama pada hakikatnya.
Hal ini yang menjadi dasar pemikiran bahwa hak dan peran perempuan wajib diperjuangkan. Berbagai
pergerakan yang dilakukan oleh para pekerja wanita, aktivis sosial, dan para politikus.Untuk
meningkatkan kesadaran perempuan akan kesetaraan gender ini dan mengedukasi pekerja perempuan
mengenai hak-haknya sebagai pekerja perempuan, program kampanye Labour Rights For Women yang
ditujukan bagi pekerja perempuan muda tidak ada henti-hentinya menyuarakan dan mengedukasi
perempuan.

Artikel 2

MEMAHAMI KEKERASAN BERBASIS GENDER


(Pelatihan Sehari Jurnal Perempuan bersama Plan Indonesia)

“Jadilah kita seperti Pegasus. Dalilkan bahwa kita ingin memberi pencerahan, walau ada kejahatan,
pernah ada kejahatan, dan sedang ada kejahatan di sekitar kita. Setiap kali kita bangun pagi, kita tahu
bahwa tugas kita adalah mengaktifkan kembali akal pikiran supaya kebenaran tidak tidur dan masuk
kembali dalam kotak yang dibuka Pandora.”

Demikian pernyataan Rocky Gerung, salah seorang fasilitator dalam pelatihan partisipatoris sehari yang
bertajuk “Kekerasan Berbasis Gender” di Hotel Grand Cemara, Menteng pada Senin 24 Juni 2013.
Kegiatan tersebut diselenggarakan dengan kerjasama Yayasan Jurnal Perempuan dengan Plan Indonesia,
sebuah organisasi internasional pengembangan masyarakat yang berfokus pada kesejahteraan anak dan
keluarga di 66 negara. Pelatihan partisipatoris yang berlangsung selama delapan jam tersebut, diisi oleh
para fasilitator. Mariana Amirrudin, Direktur dan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan, mengawali acara
dengan memberikan permainan menarik kepada peserta serta sedikit penjelasan mengenai perbedaan
seks dan gender, dan apa yang dimaksud dengan kekerasan berbasis gender (KBG). Selanjutnya, Dewi
Candraningrum (Dewan Redaksi Jurnal Perempuan) mengisi sesi diskusi dan analisis kasus, serta
memberikan penjelasan mendalam mengenai konteks nasional dan internasional dari KBG.

Dari kedua fasilitator tersebut, peserta--yang adalah gender vocal point dari Plan Indonesia di wilayah
NTT dan Grobogan, Jawa Tengah--mendapat pencerahan bahwa kekerasan berbasis gender ternyata
sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari dan bermula pada satu titik, yakni ketidakpahaman
masyarakat mengenai perbedaan istilah seks dan gender.

Hal menarik yang disampaikan oleh Dewi Candraningrum, mengenai hukum di Indonesia yang kurang
melindungi perempuan yang dilacurkan adalah bahwa hukum kita agaknya tidak dibuat dengan empati
dan rasa adil. Keadilan yang tidak dimulai sejak dalam pikiran tersebut menyebabkan kita lupa bahwa
pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki hak untuk diperlakukansetaradenganmanusia
lainnya.
Menjelang sesi akhir, Nur Iman Subono atau – Dewan Redaksi Jurnal Perempuan sekaligus dosen Ilmu
Politik, Universitas Indonesia – membuat para peserta yang mayoritas laki-laki kembali merenungkan
keikutsertaan mereka dalam gerakan membela hak-hak perempuan ini. Di sesi inilah, peserta mendapat
pencerahan bahwa sesungguhnya patriarki tidak hanya mengancam perempuan, tetapi juga laki-laki
dengan segala kekuasaan, keistimewaan, dan permisif yang mereka miliki. Gerakan feminis bukan
gerakan perempuan semata karena dengan lelaki terlibat di dalamnya,  sesungguhnya ia sedang
membantu dirinya terbebas dari jerat budaya patriarki juga.

Di penghujung pelatihan, peserta diajak sedikit berfilsafat dengan menyelami berbagai mitologi dan
mitos-mitos yang sesungguhnya diskriminatif terhadap perempuan. Rocky Gerung--Dewan Redaksi
Jurnal Perempuan sekaligus dosen Filsafat, Universitas Indonesia--mengantarkan akhir acara pada
kesimpulan bahwa dalam sistem kepercayaan yang kita yakini sekalipun, seyogyanya harus kita kritisi
potensi kekerasan berbasis gender di dalamnya. Dan pemahaman adalah sebuah langkah untuk
memulai sebuah gerakan menuju keadilan dan kesetaraan.
Oleh: Wara Aninditari Larascintya Habsari

Opini :

Kekerasan berbasis gender merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang disebabkan oleh peran
pelabelan berdasarkan jenis kelamin, yang mengingkari martabat manusia dan hak atas diri sendiri.
Faktanya, kekerasan berbasis gender mayoritas dialami oleh perempuan, hal ini juga memperkuat
subordinasi perempuan serta melanggengkan kekuasaan dan control laki-laki atau budaya patriarki.

Anda mungkin juga menyukai