Anda di halaman 1dari 33

Penelitian ini mengkaji makna dan sikap yang dimiliki kaum muda mengenai virginitas, ketika muncul

gejala problematika sosial mengenai virginitas, di mana kaum muda menganggap virginitas tidak lagi
penting untuk dipertahankan, sedangkan generasi tua masih menuntut kaum muda untuk
mempertahankan virginitasnya. Virginitas memiliki kaitan yang erat dengan hubungan seksual karena
hubungan seksual dapat menyebabkan ‘lepasnya’ virginitas seseorang. Hubungan seksual merupakan
hal yang sakral sejak dulu, dan hanya bisa dilakukan ketika pasangan laki-laki dan perempuan yang
berniat untuk mendapatkan keturunan. Pernikahan hanya akan dilakukan apabila pasangan laki-laki dan
perempuan tersebut sudah pasti akan memiliki keturunan, dimana pihak perempuan sudah
mengandung anak dari pihak laki-laki. Pada perkembangannya, tepatnya ketika agama masuk ke
Indonesia, pernikahan menjadi hal yang sakral sehingga untuk mendapatkan keturunan melalui
hubungan seksual, pasangan laki-laki dan perempuan harus menikah terlebih dahulu. Agama juga
menuntut dipertahankannya virginitas sebelum menikah.

Penelitian ini menggunakan paradigma representasi sosial karena paradigma ini menempatkan individu
dalam ruang sosialnya. Pendekatan ini memungkinkan untuk melihat bagaimana makna virginitas
berkaitan dengan konteks sosial dan kebudayaan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
asosiasi kata dan wawancara semi terstruktur kepada 26 mahasiswa dari 6 universitas di Yogyakarta.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kaum muda memaknai virginitas sebagai sesuatu yang
melekat pada perempuan baik secara fisik maupun substansial. Virginitas merupakan sesuatu yang suci
dan penting dijaga oleh perempuan. Menjaga virginitas merupakan suatu kewajiban bagi perempuan
dan bukan menjadi kewajiban laki-laki karena virginitas perempuan lebih mudah dibuktikan dengan
melihat ciri fisik yang melekat pada diri yaitu keutuhan selaput dara dan keluarnya darah pada saat
berhubungan seksual. Hal ini berbeda dengan virginitas pada pria yang sulit ditentukan karena tidak ada
tanda atau barometer fisik yang serupa seperti apa yang dimiliki oleh perempuan.

Kata kunci: representasi sosial, seksualitas, virginitas, agama, kesakralan pernikahan

Kultur masyarakat secara umum memandang seks sebagai suatu hal yang sakral, yaitu sebagai wujud
cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Hubungan seks ’dilegalkan’ bila pasangan laki-laki dan
perempuan telah mengikatkan diri dalam sebuah lembaga perkawinan dan disahkan secara hukum
sebagai suami istri (AlFayyadl, 2006; Haryatmoko, 2006). Ini juga berarti bahwa virginitas hanya boleh
’dilepas’ ketika sudah menikah. Tuntutan untuk menjaga virginitas terlihat dari simbol-simbol yang ada
dalam upacara pernikahan adat di Jawa, yaitu pada prosesi menginjak telur yang ditempatkan di sebuah
cobek. Prosesi ini dikenal dengan nama midag endhog. Adapun yang menginjak telur adalah mempelai
laki-laki (Purwadi, 2005). Telur melambangkan keperawanan mempelai perempuan yang masih utuh
saat menikah. Midak endhog bermakna bahwa mempelai wanita merelakan pamor dan
keperawanannya direngkuh oleh mempelai laki-laki (Listyorini, tanpa tahun). Simbol dalam upacara
pernikahan Jawa ini menyiratkan bahwa virginitas merupakan hal yang penting untuk dijaga hingga
menikah pada tradisi Jawa. Pandangan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh agama-agama yang ada di
Indonesia. Kelima agama resmi di Indonesia melarang seks pranikah, yang berarti bahwa kelima agama
ini menganggap virginitas sebagai sesuatu yang penting untuk dipertahankan sebelum menikah.Dewasa
ini, muncul gejala problematika sosial mengenai virginitas, dimana generasi tua menganggap virginitas
merupakan hal yang penting dan menuntut kaum muda untuk tetap mempertahankan virginitasnya
sebelum menikah, sedangkan generasi muda sudah menganggap virginitas tidak lagi penting untuk
dipertahankan. Tuntutan menjaga virginitas tersebut terlihat dari tindakan-tindakan yang dilakukan
generasi tua sebagai pencegahan terhadap pergaulan bebas kaum muda, seperti penolakkan terhadap
ATM kondom di Indonesia (Salman, 2009), pembatasan jam malam terutama untuk perempuan, bahkan
larangan berpacaran bagi kaum muda (Sarwono, 2008). Ketika anak perempuan bertanya mengapa ia
dilarang keluar setelah jam malam yang telah ditentukan, orang tua beralasan "ora elok" jika
perempuan berkeliaran di jalan tengah malam (“Ruas Malam Jogja”, 2009). Di sisi lain, kaum muda
menganggap virginitas tidak lagi penting untuk dipertahankan. Ini diperkuat oleh beberapa hasil survei
mengenai virginitas yang dilakukan pada kaum muda. Hasil survei mengenai virginitas tersebut dapat
dilihat

Hasil survei di atas memperlihatkan fakta bahwa dewasa ini sebagian dari mereka yang berusia 19-24
tahun terkesan memandang virginitas sebagai sesuatu tidak penting dan tidak sakral lagi, serta mulai
meninggalkan norma yang selama ini berlaku di masyarakat.

Kaum muda yang sudah tidak lagi menganggap virginitas penting untuk dipertahankan sebelum menikah
sedangkan generasi tua yang masih menuntut kaum muda untuk mempertahankan virginitasnya
sebelum menikah akhirnya memunculkan maraknya seks pranikah yang terselubung, namun bisa
terlihat dari banyaknya kasus kehamilan pada remaja, tingkat aborsi yang tinggi di kalangan kaum muda,
dan beredar video-video porno yang diperankan oleh kaum muda. Di tahun 2008, angka kejadian aborsi
di Indonesia berkisar antara 2 sampai 2,6 juta kasus pertahun, dan 30% di antaranya dilakukan remaja
berusia 15-24 tahun. Hal tersebut berarti sekitar 600 sampai 780 ribu remaja Indonesia melakukan
aborsi setiap tahunnya (“780 Ribu Remaja Lakukan Aborsi”, 2009). Tingginya angka aborsi yang
dilakukan kaum muda ini juga mencerminkan tingginya angka kehamilan di luar nikah pada kaum muda.

Setiawan (2007) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa lebih dari 500 video porno sudah
dibuat dan diedarkan di Indonesia, dan sebanyak 90% pembuat video porno itu berasal dari kalangan
kaum muda, mulai dari SMP sampai mahasiswa.
Permasalahan tersebut diatas salah satu kemungkinannya disebabkan oleh pemahaman dan
pendekatan yang kurang tepat dari orang tua terhadap permasalahan kaum muda, khususnya terkait
dengan seksualitas. Orang tua hanya memberikan larangan-larangan pada anaknya dan kurang
memberikan pembelajaran yang konkrit mengenai persoalan yang terkait dengan seksualitas. Bagi
masyarakat, seksualitas hampir selalu dianggap sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan (Komandoko,
2009). Akibatnya anak cenderung mencari tahu sendiri informasi yang terkait dengan seksualitas,
termasuk virginitas, misalnya melalui media maupun pergaulannya (lihat, Sarwono, 2008). Banyaknya
sumber informasi mengenai seksualitas memungkinkan pemaknaan mengenai hal-hal yang terkait
dengan seksualitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penting dalam hal ini untuk mengungkap
bagaimana persoalan seksualitas terutama makna virginitas dalam perspektif kaum muda.
Penelitian ini mengungkap masalah virginitas dan tidak mengenai perilaku seksual pranikah kaum muda.
Hal ini didasarkan pada beberapa alasan. Alasan yang pertama, karena seksualitas merupakan hal yang
sensitif dalam budaya timur (Indonesia) sehingga apabila langsung menggunakan istilah perilaku seksual
pranikah akan lebih sulit untuk mengungkap akar dari permasalahan seksual pada kaum muda karena
kemungkinan jawaban yang terungkap adalah norma-norma yang ada di masyarakat.
Alasan kedua, istilah virginitas sudah cukup lazim digunakan di Indonesia dan memiliki pengertian yang
tidak hanya menunjuk keperawanan, tapi juga keperjakaan.Istilah virginitas sudah cukup populer di
masyarakat Indonesia, yang terlihat dari data sistem pencarian Google yakni ada sekitar 22.800 halaman
dalam bahasa Indonesia yang menggunakan istilah virginitas untuk membicarakan keperawanan
maupun keperjakaan. Istilah virginitas juga dipergunakan dalam artikel koran dan majalah yang
membahas mengenai seksualitas, misalnya pada harian Kompas (“Makin Greng”, 2008), Majalah Femina
(Sarwono, 2009), dan Majalah Cosmopolitan (Citra, 2009). Istilah virginitas juga populer di kalangan
kaum muda. Seluruh responden dalam penelitian ini, ketika ditanya tentang istilah virginitas di awal
proses pengambilan data, menyatakan bahwa istilah virginitas cukup familiar untuk mereka dan sering
mereka dengar dalam kehidupan sehari-hari.

Istilah virginitas merupakan serapan dari bahasa Inggris yaitu virginity. Menurut Oxford Advanced
Learner’s Dictionary (2005), virginity diartikan sebagai keadaan dimana seseorang masih ‘virgin’. Virgin
adalah seseorang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Virginity tidak hanya diartikan
sebagai keadaan perempuan saja, tapi juga laki-laki. Hal ini terlihat dari contoh yang diberikan dalam
kamus tersebut sebagai berikut: “He lost his virginity when he was 18”. Contoh tersebut
memperlihatkan bahwa virginity tidak hanya merupakan keadaan yang dimiliki perempuan tapi juga laki-
laki. Di Indonesia, ada dua istilah untuk membicarakan virginitas yaitu keperawanan bagi perempuan
dan keperjakaan bagi laki-laki.

Alasan ketiga, penelitian ini dilakukan untuk memberi kontribusi solusi pada permasalahan seksualitas
pada kaum muda seperti yang telah dipaparkan di atas dengan melihat bagaimana pemahaman kaum
muda tentang seksualitas, ditinjau dari pemaknaan dan sikap mereka terhadap virginitas, serta darimana
mereka mendapatkan pemahaman tersebut. Setelah mengetahui pemaknaan dan sikap kaum muda
terhadap virginitas, maka diharapkan penelitian ini bisa mengidentifikasi mengapa ada kecenderungan
banyaknya kaum muda yang melepaskan virginitas sebelum menikah belakangan ini. Yogyakarta dipilih
sebagai tempat dilakukannya penelitian karena Yogyakarta masih memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat
sehingga diasumsikan nilai dan budaya Jawa akan menentukan kehidupan kaum muda yang tinggal di
kota Yogyakarta, termasuk dalam memandang makna virginitas. Di sisi lain, belakangan ini bisnis
pondokan atau kost-kostan di Yogyakarta semakin menjamur. Sayangnya, hingga Agustus 2009 ternyata
90% dari pondokan yang ada di Yogyakarta tidak memiliki ijin. (“90% Pondokan di Yogya”, 2009). Hal ini
terbukti dari hasil operasi yang dilakukan oleh Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta di empat kecamatan
yaitu Mantrijeron, Umbulharjo, Tegalrejo, dan Gondokusuman (“90% Pondokan di Yogya”, 2009).
Padahal, untuk mengatur bisnis pondokan telah diterbitkan Perda kota Yogyakarta no. 4 tahun 2003
yang isinya antara lain, penyelenggara pondokan wajib memiliki izin penyelenggaraan pondokan,
menyediakan ruang tamu yang terpisah dari kamar pondokan, dan memberi bimbingan dan pengarahan
kepada pemondok untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat setempat. Selain itu,
terdapat pula larangan untuk menyelenggarakan pondokan yang dihuni pemondok yang berbeda jenis
kelamin. Kemudian, di Yogyakarta juga mulai marak berkembang tempat hiburan, seperti klub malam,
café dan warung kopi yang buka di malam hari hingga menjelang pagi. Tempat hiburan tersebut
menawarkan hingar bingar kehidupan Yogyakarta di malam hari (“Unggulkan Kenyamanan”, 2006).
Fasilitas ini memungkinkan kaum muda, baik laki-laki maupun perempuan, untuk berbincang-bincang
dan melakukan aktivitas di luar rumah pada malam hari, bahkan hingga pagi. Makna virginitas adalah
segala sesuatu yang dipahami mengenai virginitas yang didapatkan melalui interaksi sosial. Makna yang
ditafsirkan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan konteks situasi
(Blumer, dalam Mulyana, 2002). Hal ini juga berlaku untuk makna virginitas. Perspektif representasi
sosial akan membantu untuk mengungkap makna virginitas sebagai suatu konsep yang selalu tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat. Representasi sosial merupakan perspektif yang terdiri dari sistem
nilai, ide, dan praktek-praktek yang membangun sebuah pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Dalam
konteks ini, sistem nilai, ide, dan praktek-praktek di masyarakat yang terkait dengan virginitas akan
membangun sebuah pemaknaan sosial mengenai virginitas pada kaum muda. Jadi, secara khusus
penelitian ini hendak mengkaji representasi sosial tentang makna virginitas pada kaum muda di
Yogyakarta.

A. VIRGINITAS

1. Definisi

Di Indonesia, ada dua istilah untuk membicarakan virginitas yaitu keperawanan bagi perempuan dan
keperjakaan bagi laki-laki. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), perawan diartikan sebagai
anak perempuan yang belum pernah berhubungan seksual dengan laki-laki, sedangkan keperawanan
adalah perihal perawan, kegadisan, atau kesucian seorang gadis. Berdasarkan definisi ini maka dapat
disimpulkan bahwa keperawanan adalah kesucian yang dikarenakan belum pernah mengalami
hubungan seksual bagi perempuan. Virginitas pada laki-laki lebih umum disebut sebagai keperjakaan,
namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) istilah perjaka hanya dijelaskan sebagai lelaki yang
belum berumah tangga.

Masyarakat beranggapan bahwa seorang lelaki sudah tidak perjaka lagi bila pernah melakukan
hubungan seks dalam arti penetrasi penis ke dalam vagina, sekalipun lakilaki tersebut belum menikah
(Oetomo, 2001).
Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005), mengartikan virginity sebagai keadaan dimana seseorang
masih ‘virgin’. Virgin adalah seseorang yang belum pernah melakukan hubungan seksual. Virginity tidak
hanya diartikan sebagai keadaan perempuan saja, tapi juga laki-laki. Kemudian, Wijaya (2004) dalam
bukunya yang
berjudul Seksplorasi 53 Masalah Seksual mengatakan bahwa: “Sesungguhnya virginity itu lebih
merupakan masalah purity yaitu sejauh mana seseorang menjaga kemurnian dirinya dan memandang
aktivitas seksual sebagai aktivitas yang sakral yang hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan”.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa virginitas adalah kesucian yang dimiliki, baik laki-
laki maupun perempuan, ketika mereka belum pernah melakukan aktivitas seksual, yaitu berhubungan
seksual.

2. Pandangan Budaya dan Agama terhadap Virginitas

Virginitas memiliki kaitan yang erat dengan hubungan seksual karena hubungan seksual dapat
menyebabkan ‘lepasnya’ virginitas seseorang. Hubungan seksual sudah menjadi hal yang sakral pada
budaya Indonesia bahkan sebelum agama masuk ke Indonesia. Hubungan seksual merupakan sebuah
ritual yang menjadi simbol kesuburan bagi bumi dan jimat ampuh bagi keberhasilan sebuah panen dan
kesejahteraan rakyat (Anoegrajekti, 2006). Seks lebih merupakan hal yang spiritual dan adiluhung, tidak
hanya berorientasi pada hubungan biologis semata. Maksudnya, seks dalam hal ini bertujuan untuk
mengetahui asal usul kemanusiaan dan tujuan kesempurnaan hidup (Endraswara, 2002). Hubungan
seksual dalam pandangan Jawa merupakan sesuatu yang luhur, sakral, dan memiliki fungsi untuk
menjaga keharmonisan dan kelangsungan hidup manusia (Roqib, 2007).

Pada saat masyarakat Indonesia masih menganut sistem kepercayaan dan agama belum masuk ke
Indonesia, hubungan seksual antara mereka yang tidak terikat dalam pernikahan dianggap sebagai hal
yang wajar asal hubungan seksual dilakukan untuk meneruskan keturunan demi menjaga kelangsungan
hidup manusia. Di Terunyan (Bali), misalnya, merupakan suatu kewajaran bila sepasang kekasih
melakukan hubungan seksual dan baru menikah ketika si perempuan terbukti hamil (Danandjaja, 1985).
Sebelum mengenal ajaran agama, masyarakat menganggap pernikahan bukanlah merupakan hal yang
kudus, namun hanya dilakukan untuk memperoleh keturunan (Tohari, 2007). Seorang perempuan baru
akan dinikahi oleh pasangannya apabila ia sudah terbukti dapat memberikan keturunan. Akan tetapi,
merupakan hal yang haram apabila seorang perempuan hamil tanpa ada seorang pria yang mau
mengakui janinnya dan memiliki bayi di luar pernikahan (Tohari, 2007). Menurut Michel Foucault (dalam
Sudiarja, 2006), seks adalah bagian dari kehidupan yang wajar karena merupakan ciri manusia sebagai
makhluk yang berhasrat. Namun, Agama yang di Indonesia berkembang menjadi lembaga resmi, dalam
menjalankan fungsi sosialnya mencoba mengendalikan hasrat seks umatnya dengan norma-norma
maupun upacara-upacara (Sudiarja, 2006). Hubungan seksual merupakan hal yang sakral sejak dulu, dan
hanya bisa dilakukan ketika pasangan laki-laki dan perempuan yang berniat untuk mendapatkan
keturunan. Pernikahan hanya akan dilakukan apabila pasangan laki-laki dan perempuan tersebut sudah
pasti akan memiliki keturunan, dimana pihak perempuan sudah mengandung anak dari pihak laki-laki.
Pada perkembangannya, tepatnya ketika agama masuk ke Indonesia, pernikahan menjadi hal yang
sakral sehingga untuk mendapatkan keturunan melalui hubungan seksual, pasangan laki-laki dan
perempuan harus menikah terlebih dahulu.

Kelima agama resmi di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha, menyatakan bahwa
pernikahan adalah hal yang sakral, bukan hanya untuk membentuk sebuah keluarga tapi juga
merupakan situasi yang menjadi pertanda utama diperbolehkannya hubungan seksual pada orang
dewasa. Agama menanamkan norma yang melarang seks pranikah. Seks dianggap sebagai suatu hal
yang sakral, yaitu sebagai wujud cinta kasih dan untuk meneruskan keturunan. Hidup berkeluarga dan
lembaga perkawinan adalah hal yang penting, sehingga hubungan seksual hanya boleh dilakukan
sepasang laki-laki dan perempuan bila disahkan oleh hukum, yaitu jika telah mengikatkan diri dalam
sebuah lembaga perkawinan (Al-Fayyadl, 2006). Ini berarti bahwa agama menganggap virginitas
merupakan hal yang penting untuk dipertahankan sebelum menikah.

Besarnya pengaruh agama dalam masyarakat Indonesia, menyebabkan nilainilai yang ada pada agama
juga melembaga dalam kultur masyarakat, termasuk nilainilai kesakralan perkawinan dan virginitas.
Virginitas menjadi hal yang sakral dalam budaya Indonesia setelah mendapat pengaruh agama. Di
Indonesia, terdapat dua jenis pemaknaan mengenai virginitas yang beredar di masyarakat. Hal ini
tercermin dari berbagai novel yang memiliki konteks budaya Indonesia. Novel sebagai salah satu bentuk
karya sastra dapat dengan bebas berbicara tentang kehidupan yang dialami oleh manusia dengan
berbagai peraturan dan norma-norma dalam interaksinya dengan lingkungan sehingga dalam novel
sastra terdapat makna tertentu tentang kehidupan. Pada novel sastra trilogi Rara Mendut (2008) yang
mengambil setting jaman Kerajaan Mataram yang berbasis Agama Islam, Ni Semangka yang merupakan
abdi puri Kerajaan Mataram, menjawab pertanyaan Genduk Duku, seorang dayang cilik, mengenai
keperawanan, sebagai berikut: “‘Perawan dan tidak perawan terletak pada tekad batin, pada galih di
dalammu.’ Banyak gadis di dalam peperangan diperkosa, kata ibuku, Nduk, tetapi bila itu melawan
kemauan, mereka masih perawan. Dewi Sinta, Nduk Duku, seandainya pun dia sudah ditiduri Rahwana.
Dewi Sinta yang melawan, tetaplah perawan. Bahkan ibuku berkata, dan biar ibuku hanya perempuan
desa tetapi saya percaya ibuku benar, ‘Seseorang ibu yang sudah melahirkan anak tujuh pun, bila dia
suci dalam pengabdiannya selaku istri setia dan ibu, dia pun perawan dalam arti yang sejati.’” (h. 22).

Pernyataan ini mengesankan bahwa adanya pemaknaan terhadap keperawanan secara substansial,
yaitu keperawanan merupakan kesucian bagi perempuan. Selama perempuan tersebut tidak memiliki
niat untuk mengkhianati pasangannya atau suaminya, serta tetap mengabdi sebagai seorang istri dan
ibu yang setia, maka perempuan tersebut akan tetap dianggap perawan, sekalipun ia pernah diperkosa
atau telah memiliki banyak anak.
Di masyarakat, keperawanan juga dimaknai sebagai hal fisik dan hanya terkait dengan selaput dara,
dimana seseorang dikatakan sudah tidak perawan lagi ketika selaput daranya robek. Hal ini tercermin
dari pernyataan Hanggalana, pemuda yang bekerja di kandang kuda kerajaan, kepada Genduk Duku.
Pada novel sastra trilogi Rara Mendut (2008) Hanggalana menyatakan bahwa terlalu sering naik kuda
akan menyebabkan seorang perempuan tidak perawan lagi. Aktivitas berat seperti berkuda dianggap
dapat menghilangkan keperawanan karena aktivitas ini dapat menyebabkan robeknya selaput dara.
Pernyataan Hanggalana membuat cemas Genduk yang kesehariannya diisi dengan latihan berkuda agar
ia mampu mengendarai kuda yang merupakan alat transportasi utama pada masa itu (Mangunwijaya,
2008). Kecemasan Genduk dikarenakan ia takut selaput daranya robek dan kehilangan keperawannya
apabila terlalu sering berkuda. Virginitas yang dimaknai sebagai robeknya selaput dara juga
digambarkan pada novel sastra Centhini. Novel sastra Centhini yang juga mengambil setting jaman
Kerajaan Mataram yang berbasis Agama Islam menceritakan bahwa alas tidur pengantin baru harus
berwarna putih polos. Hal ini dilakukan agar noda perawan dapat terlihat setelah malam pertama. Noda
perawan yang dimaksud adalah darah yang keluar dari vagina akibat robeknya selaput dara ketika
seorang perempuan melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya (Wirodono, 2009).Di
Masyarakat juga bermunculan mitos-mitos tentang virginitas yang menyatakan bahwa perempuan yang
masih perawan atau tidak dapat dilihat dengan mudah melalui kondisi fisiknya. Salah satunya tertulis
dalam novel sastra yang menceritakan kehidupan masyarakat Indonesia di tahun 1960an, Ronggeng
Dukuh Paruk (Tohari, 2007). Novel ini menceritakan sebuah desa bernama Dukuh Paruk yang belum
terkena pengaruh agama padahal pada masa tersebut agama sudah mulai berkembang di desa-desa
tetangga Dukuh Paruk tersebut. Pada novel tersebut terdapat sebuah pernyataan ketika ronggeng dari
Dukuh Paruk berkunjung ke desa Dawuan yang merupakan desa tetangga Dukuh Paruk, sebagai
berikut :“Lihatlah kedua pangkal alis ronggeng itu yang mulai turun masuk ke cekungan rongga mata.
Bagi orang-orang yang sangat berpengalaman hal itu adalah tanda bahwa perempuan, betapa muda
usianya, sudah memasuki keaktifan kehidupan berahi” (h. 124) Dewasa ini mitos-mitos tentang virginitas
semakin banyak beredar di masyarakat. Sarwono (2006), dalam buku Psikologi Prasangka Orang
Indonesia: Kumpulan Studi Empirik Prasangka dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia, juga
menggungkapkan beberapa mitos yang berkembang di masyarakat tentang virginitas, yaitu kalau malam
pertama harus berdarah, anak gadis tidak boleh olahraga keras (nanti selaput daranya robek), dan
bentuk payudara dan pantat wanita melambangkan keperawanan. Banyaknya mitos di masyarakat saat
ini tentang virginitas yang dihubungkan dengan tampilan fisik memperlihatkan bahwa virginitas hanya
dimaknai sebagai hal fisik oleh masyarakat. Berbeda halnya dengan virginitas pada perempuan atau
keperawanan yang banyak dipermasalahkan pada novel-novel sastra dan dalam masyarakat,
keperjakaan justru tidak menjadi masalah bagi masyarakat. Virginitas yang hanya dimaknai sebagai
kondisi fisik seseorang menyebabkan virginitas semakin melekat pada perempuan dan keperjakaan
semakin tidak dipermasalahkan. Keperawanan seolah lebih mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik
yang melekat pada diri perempuan yaitu keutuhan selaput dara dan keluarnya darah pada saat
melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya. Hal ini tidak berlaku pada laki-laki karena pada
keperjakaan tidak ada tanda fisik yang seperti apa yang dimiliki perempuan (“Bangga Jadi Perjaka”,
2009).

A. 3. Konstruksi Gender tentang Virginitas Berdasarkan Agama dan Budaya

A. 3. a. Definisi Gender

Secara biologis, individu dibedakan dari karakteristik fisik, yaitu laki-laki dan perempuan yang disebut
seks. Secara sosial budaya, individu dibedakan dari sifatsifat yang melekat pada laki-laki (maskulin) dan
perempuan (feminim) berdasarkan nilai-nilai budaya yang disebut gender. Hilary M. Lips dalam buku Sex
and Gender: an Introduction (2005) menyatakan bahwa gender sesungguhnya adalah hal yang berbeda
dengan jenis kelamin (seks). Jenis kelamin (seks) merupakan pembagian dua jenis kelamin (penyifatan)
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu, sedangkan gender
sendiri merupakan konstruksi sosial psikologis pada jenis kelamin (Handayani & Novianto, 2004). Oakley
(dalam Kasiyan, 2008) membedakan istilah antara gender dan seks. Secara prinsip dijelaskan bahwa
gender merujuk pada kategori sosial dan seks adalah kategori biologis. Hal ini juga ditegaskan oleh
Mosses (dalam Kasiyan, 2008), bahwa secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis.
Jenis kelamin biologis merupakan pemberian (given), yakni kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki dan
perempuan. Akan tetapi untuk menjadi ‘feminim’ atau ‘maskulin’ bukan hanya pemberian namun juga
kultural berdasarkan kondisi biologis seseorang. Gender merupakan perbedaan yang bukan biologis dan
bukan kodrat Tuhan (Oakley, dalam Nugroho, 2008). Gender adalah behavioral differences antara laki-
laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan
melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural (Nugroho, 2008). Sekalipun
tampak jelas perbedaan antara jenis kelamin dan gender, sampai saat ini masih terlihat bahwa
perbedaan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan gender. Perbedaan gender (gender differences)
tersebut, sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan gender
(Kasiyan, 2008; Nugroho, 2008).

A. 3. b. Ketidakadilan Gender pada Virginitas

Pada budaya Indonesia, virginitas diidentikan dengan perempuan meskipun kondisi tersebut juga
dimiliki oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan adanya pemahaman bahwa virginitas dapat dibuktikan secara
fisik. Virginitas yang dinilai sebatas kondisi fisik saja, yaitu menyangkut keutuhan selaput dara yang
hanya dimiliki perempuan.

Tidak adanya penanda fisik pada keperjakaan laki-laki seperti halnya selaput dara yang dianggap
penanda fisik keperawanan perempuan diperlihatkan dalam novel sastra Saman (Utami, 2008), sebagai
berikut: “Sebab menurutku yang curang lagi-lagi Tuhan: dia menciptakan selaput dara, tapi tidak
membikin selaput penis” (h. 152) Pernyataan dalam novel ini memperlihatkan pandangan masyarakat
bahwa keutuhan selaput dara mengindikasikan virginitas. Keperawanan pada perempuan seolah lebih
mudah dibuktikan dengan melihat ciri fisik yang melekat pada diri yaitu keutuhan selaput dara dan
pendarahan pada saat terjadi persenggamaan. Selain memperlihatkan bahwa adanya kecenderungan
anggapan bahwa virginitas dimaknai sebagai hal fisik yang lebih terlihat pada perempuan, budaya ini
juga memperlihatkan adanya tuntutan bagi perempuan untuk menjaga virginitasnya hingga menikah. Isu
virginitas seringkali dikaitkan dengan perempuan dan seakan-akan yang bertanggung jawab menjaga
virginitasnya adalah perempuan. Tuntutan untuk masih perjaka bagi laki-laki hampir tidak ada (Oetomo,
2001). Selain itu, eksplorasi seksual yang menyebabkan laki-laki kehilangan keperjakaan lebih dapat
ditoleransi dan dimaklumi oleh masyarakat daripada eksplorasi seksual pada perempuan (Torsina,2008).
Virginitas memiliki peran sosial yang penting khususnya bagi perempuan.

Berbeda dengan yang dirasakan oleh perempuan terkait dengan keperawanan, secara sosial budaya
masyarakat tidak terlalu memperhatikan keperjakaan, sehingga lakilaki tidak merasakan adanya beban
sosial (Oetomo, 2001).
Keperawanan merupakan persembahan wajib perempuan kepada suaminya di malam pertama
pengantin (Wirodono, 2009; Utami, 2008). Oleh karena itu, perempuan hanya boleh menyerahkan
virginitasnya setelah menikah, dan apabila seorang perempuan tidak perawan lagi, suaminya dan
keluarga suaminya akan menjadikannya sebagai alasan untuk mengakhiri pernikahan (Machali, 2005).
Hal tersebut tidak berlaku pada pria. Keperjakaan pada pria sulit ditentukan karena tidak ada tanda atau
barometer fisik yang serupa seperti apa yang dimiliki oleh perempuan. Selain dikarenakan adanya
pemahaman bahwa virginitas terkait dengan kondisi fisik seseorang, perempuan juga akan menanggung
beban yang lebih berat apabila ia sampai melepaskan virginitasnya dan melakukan hubungan seksual
sebelum menikah. Pada laki-laki, mereka hanya perlu menyumbangkan spermanya saja untuk
menghasilkan keturunan (Durrant & Ellis, 2002). Apabila sepasang kaum muda melakukan hubungan
seksual pranikah dan hubungan tersebut menghasilkan keturunan, pihak laki-laki bisa saja tidak
mengakui benih tersebut sebagai anaknya dan lari dari tanggung jawabnya. Sedangkan pada perempuan
ketika hubungan seksual tersebut menghasilkan keturunan, ia harus menghadapi sembilan bulan
mengandung dan bahaya melahirkan. Pada masyarakat tradisional, masa-masa menyusui dan mengasuh
anak juga merupakan beban bagi perempuan apabila hubungan seksual menghasilkan seorang anak
(Durrant & Ellis, 2002). Masa-masa mengandung, melahirkan, hingga menyusui dan mengasuh anak
akan lebih berat bagi perempuan ketika anak tersebut merupakan hasil hubungan seksual pranikah,
karena pihak perempuan akan lebih menanggung malu daripada pihak laki-laki. Hal ini akan semakin
buruk apabila pihak laki-laki tidak mau mengakui anak hasil hubungan seksual pranikah tersebut sebagai
anaknya. Beban yang akan dihadapi perempuan ketika ia melakukan hubungan seksual pranikah (yang
memiliki kemungkinan besar dapat menghasilkan keturunan) menyebabkan masyarakat lebih
mempermasalahkan keperawanan daripada keperjakaan.

Keperawanan ternyata sudah dihargai tinggi bahkan oleh budaya yang belum terkena pengaruh agama,
sekalipun belum ada kewajiban untuk menjaga keperawanan sebelum menikah. Keperawanan
perempuan yang memiliki profesi tertentu, misalnya menjadi ronggeng, akan dihargai sangat tinggi. Hal
ini digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam novel sastranya yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk (2007).
Pada novelnya Ahmad Tohari mengangkat prosesi bukak klambu yang merupakan syarat terakhir untuk
menjadi penari ronggeng di Dukuh Paruk, desa yang belum mengenal agama. Bukak klambu adalah
semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki manapun. Yang disayembarakan adalah keperawanan calon
ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng,
berhak menikmati virginitas itu. Diceritakan bahwa uang yang wajib diserahkan oleh laki-laki yang
menginginkan virginitas calon ronggeng sangat

banyak pada masa itu (Tohari, 2007). Perempuan diharapkan lebih dapat mempertahankan
keperawanannya yang sangat berharga, sedangkan pada laki-laki tuntutan akan keperjakaan hampir
tidak ada (Oetomo, 2001). Ini mencerminkan adanya ketidakadilan gender pada viginitas di masyarakat.
Masyarakat menuntut perempuan untuk mempertahankan virginitasnya namun mengganggap
pelepasan virginitas sebelum menikah pada laki-laki sebagai sesuatu yang wajar (Crooks, 2008).

B. KONTEKS PENELITIAN : MAHASISWA DI YOGYAKARTA

B. 1. Kontribusi Kultural dalam Makna Virginitas pada Mahasiswa di


Yogyakarta Menurut Koentjaraningrat (dalam Roqib, 2007), kebudayaan Jawa berakar di Kraton dan
berkembang di Yogyakarta dan Solo. Hal ini menyebabkan Daerah Istimewa Yogyakarta menyandang
nama besar sebagai pusat kebudayaan Jawa dengan khasanah tradisi yang melimpah. Yogyakarta
dipandang memiliki ikatan tradisi yang kuat dan seakan-akan hal tersebut menjadi norma untuk menilai
kehidupan yang ada di Yogyakarta. Adapun nilai budaya Jawa yang saat ini dipegang oleh masyarakat
jawa adalah perpaduan antara budaya Jawa dan pengaruh nilai-nilai
Agama. Salah satunya yang terkait dengan virginitas adalah penundaan pelepasan virginitas sebelum
menikah. Nilai sakralnya virginitas ini tidak hanya ada pada budaya Jawa namun merupakan budaya
yang dibawa oleh Agama sehingga juga
dimiliki oleh seluruh budaya di Indonesia. Agama menanamkan norma yang melarang seks pranikah,
karena hubungan seksual dan pernikahan merupakan hal yang sakral. Ini berarti bahwa agama juga
menganggap virginitas adalah hal yang penting untuk dipertahankan sebelum menikah.
Yogyakarta yang dipandang memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat memunculkan anggapan bahwa
Yogyakarta merupakan daerah yang menolak perubahan-perubahan yang ada (Subanar, 2008). Terkait
dengan hal tersebut, ketika terjadi pelanggaran atas nilai-nilai kesakralan virginitas dan pernikahan,
seperti maraknya pelepasan virginitas di kalangan kaum muda yang belum menikah, terjadilah gejolak
yang lebih besar dari kota-kota lain yang tidak menyandang atribut seberat Yogyakarta. Misalnya, ketika
hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Studi Cinta dan Kemanusiaan serta Pusat Bisnis dan
Humaniora (LSCK PUSBIH) di tahun 2002 menyatakan 97,05% mahasiswi yang menjadi responden
penelitian mengaku telah kehilangan virginitasnya selama melaksanakan studi (“Sulit Dikontrol”, 2002),
berbagai respon bermunculan menyikapi hasil penelitian tersebut.

Kontroversi seputar penelitian tersebut mewarnai hampir seluruh pemberitaan dibeberapa koran lokal
di D.I. Yogyakarta. Ada yang menggugat hasil penelitian tersebut, baik dari segi validitas, objektivitas,
tujuan dan manfaat penelitian serta menuntut dicabutnya hasil penelitian tersebut karena dianggap
telah meresahkan masyarakat, khususnya kelompok perempuan dan pemerintah D.I. Yogyakarta.

Penelitian ini dianggap mencemarkan nama baik Yogyakarta. Di sisi lain, ada juga pihak-pihak yang
memandang hasil penelitian tersebut penting sebagai peringatan dan mawas diri bagi semua pihak, dan
atas dasar itu perlu diambil langkah-langkah preventif (Munti, 2005). Pembicaraan mengenai seksualitas
merupakan hal yang tabu pada budaya Jawa. Masalah seks tidak pernah dibicarakan secara terbuka
dalam keluarga dan masyarakat Jawa umumnya, meskipun dalam percakapan di pergaulan banyak
lelucon mengenai seks (Roqib, 2007). Orang tua dan guru di sekolah menempatkan masalah seks
sebagai hal yang tabu untuk ditanyakan dan didiskusikan (Komandoko, 2009). Padahal keluarga
merupakan tempat terbentuknya norma-norma sosial dan pengkhayatan (internalisasi) nilai-nilai
(Surbakti, 2008). Anggapan tabu terhadap halhal mengenai seksualitas yang dimiliki orang tua
menyebabkan orang tua cenderung enggan untuk membicarakan masalah seksualitas pada anak,
sehingga nilai-nilai yang terkait dengan seksualitas pun kurang terbentuk pada anak. Ketertutupan
lingkungan keluarga dan institusi pendidikan mengenai seksualitas membuat kaum muda akhirnya
mencari informasi dari sumber yang lebih terbuka dengan masalah seksualitas, misalnya media dan
lingkungan pergaulan (Sarwono, 2008).

B. 2. Mahasiswa

Mahasiswa adalah sebutan bagi mereka yang menjalankan studi di Perguruan Tinggi. Direktorat
Kemahasiswaan Ditjen Perguruan Tinggi dan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Sarwono, 1979), mendefinisikan mahasiswa

sebagai golongan pemuda (umur 18-30 tahun), yang secara resmi terdaftar pada salah

satu perguruan tinggi dan aktif pada perguruan tinggi yang bersangkutan. Jika dilihat
dari segi usia, yaitu antara 18-30 tahun, Mahasiswa adalah golongan yang baru saja

meninggalkan masa remaja dan mulai menapaki masa dewasa awal.

B. 3. Masa Dewasa Awal

B. 3. a. Batasan Usia Masa Dewasa Awal

Subyek pada penelitian ini adalah mahasiswa yang berada pada masa dewasa awal, yaitu yang berusia
21-26 tahun. Masa dewasa awal dimulai sejak usia 20 tahun dan berlangsung hingga usia 30 tahun
(dalam Santrock, 2007). Sedangkan menurut Haditomo (dalam Monks et al, 2002) masa dewasa awal
dimulai dari usia 21 tahun dan berakhir pada usia 35 tahun. Di Indonesia, usia 21 tahun dianggap
sebagai batas kedewasaan. Pada usia ini seseorang dapat melaksanakan kewajiban tertentu tanpa
tergantung pada orang tuanya (Monks et al, 2002). Hal ini terlihat dari Undang-undang yang diterapkan
di Indonesia. Mereka yang telah berusia 21 tahun dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
diperbolehkan menikah tanpa izin dari orang tua. Pada usia tersebut seseorang dianggap sudah mampu
memegang tanggung jawab terhadap perbuatannya (Monks et al, 2002).

3. b. Ciri Masa Dewasa Awal


Salah satu ciri orang yang berada di masa dewasa awal adalah kemandiriannya dalam membuat
keputusan, yang meliputi pembuatan keputusan secara luas tentang karir, nilai-nilai, keluarga dan
hubungan, serta tentang gaya hidup(Santrock, 2002). Berdasarkan Undang-undang yang diterapkan di
Indonesia, mereka yang telah berusia 21 tahun dianggap telah mampu membuat keputusan untuk
dirinya sendiri, termasuk keputusan tentang nilai-nilai yang ia pegang dan hubungan percintaannya. Ciri
lain yang dinyatakan dalam Mappiare (1997) adalah bahwa usia dewasa awal adalah usia banyak
masalah. Pada masa dewasa ini banyak persoalan baru yang muncul, namun beberapa ada juga yang
merupakan kelanjutan atau pengembangan dari persoalan yang dialami dalam masa remaja akhir.
Persoalan-persoalan baru yang mungkin muncul, antara lain: persoalan mengenai pekerjaan dan
jabatan, pemilihan teman hidup, dan keuangan. Persoalan yang berhubungan dengan pemilihan teman
hidup merupakan satu diantara persoalan sangat penting dalam masa dewasa awal ini. Pada proses
pemilihan teman hidup sebelum memasuki jenjang perkawinan, telah terdapat persoalan yang
berhubungan dengan penyesuaian, baik terhadap calon istri/suami maupun terhadap orang-orang lain
yang terkait dengan calon suami/istri, beserta norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Dengan
banyaknya persoalan yang dialami orang yang memasuki masa dewasa awal, maka muncul ketegangan
emosi dalam menghadapinya. Ketegangan emosional ini seringkali dinampakkan dalam ketakutan-
ketakutan atau kekhawatiran-kekhawatiran. Sebelum usia 27 tahun kekhawatiran yang muncul
berhubungan dengan nilai-nilai moral dalam kontak-kontak yang berkisar hubungan antara dua jenis
kelamin, misalnya kencan dan romans. Ciri khas anak muda adalah bahwa dia dapat mewujudkan dirinya
sendiri dan berusaha membebaskan dirinya dari lindungan orang tua. Ini tidak hanya berarti ia dalam
usahanya untuk mencoba membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan orang tuanya, baik dari segi
afektif maupun dalam segi ekonomi. Secara mental, anak muda juga tidak suka lagi menurut pada orang
tuanya. Kewibawaan wakil-wakil generasi tua seperti orang tua, guru, pemimpin-pemimpin agama dan
sebagainya tidak lagi begitu saja diterima. Meskipun kecenderungan akan perkembangan sikap ini
terdapat pada semua remaja atau anak muda pada masa ini, tetapi manisfestasinya banyak dipengaruhi
oleh faktor kebudayaan. Di Indonesia, sikap ingin membebaskan dirinya dari generasi tua ini mungkin
masih disertai oleh sikap hormat dan menjaga jarak antara kaum muda dan orang tua sesuai dengan
norma-norma yang dipercaya. Tetapi bagaimanapun juga keinginan untuk berdiri sendiri dan
mewujudkan dirinya sendiri ini merupakan kecenderungan yang ada pada setiap kaum muda (Monks et
al, 2002)

B. 3. c. Tugas Masa Dewasa Awal

Tugas perkembangan yang khusus bagi orang Indonesia belum ada, maka peneliti menggunakan tugas
perkembangan yang dipinjam dari masyarakat yang berbeda. Rumusan tugas perkembangan yang dapat
digunakan adalah tugas perkembangan menurut Erikson (dalam Santrock, 2007), yang menyatakan
bahwa pada masa dewasa awal individu menghadapi tugas perkembangan pembentukan relasi yang
akrab dan intim dengan seseorang. Erikson menggambarkan keintiman sebagai penemuan diri sendiri
pada orang lain, namun tidak kehilangan diri sendiri. Saat mereka yang berada pada masa dewasa awal
menemukan relasi yang intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai. Namun jika tidak, isolasi yang
terjadi. Keintiman diperlihatkan oleh mereka yang berada pada masa dewasa awal melalui hubungan
berpacaran dengan cinta yang romantis. Cinta yang romantis sangat penting khususnya bagi mahasiswa
perguruan tinggi. Pada suatu penelitian, mahasiswa laki-laki dan perempuan yang belum menikah
diminta untuk mengidentifikasikan hubungan dekat mereka. Hasilnya, lebih dari separuh subyek
menyebutkan kekasih romantis daripada menyebut orang tua, saudara kandung, atau teman (dalam
Santrock, 2002). Cinta yang romantis, yang juga disebut sebagai cinta penuh gairah, memiliki komponen-
komponen seksualitas dan nafsu birahi. Cinta yang romantis mencakup emosi-emosi yang beragam dan
kompleks, seperti ketakutan, kemarahan, dorongan seksual, rasa cemburu, dan kegembiraan (Hendrick
& Hendrick, dalam Santrock, 2007). Ellen Berscheid (dalam Santrock, 2007), seorang peneliti cinta,
menyatakan bahwa dorongan seksual adalah unsur yang terpenting dalam cinta romantis.

Dengan demikian, responden pada penelitian ini adalah kaum muda yang merupakan mahasiswa
berusia 21-26 tahun, dan tinggal di Yogyakarta. Yogyakarta memiliki ikatan tradisi Jawa yang kuat,
namun di sisi lain Yogyakarta telah mengalami kemajuan pesat dalam pembangunan, termasuk
munculnya tempat hiburan, mulai dari yang sifatnya hiburan keluarga hingga yang menawarkan hingar
bingar kehidupan di malam hari (“Unggulkan Kenyamanan”, 2006)

C. REPRESENTASI SOSIAL VIRGINITAS PADA KAUM MUDA DI YOGYAKARTA


Istilah representasi sosial mengacu pada produk dan proses yang menandai pemikiran pada masyarakat
awam. Teori representasi sosial menekankan pentingnya melihat keberagaman pengalaman individu
dan bagaimana pengalaman diorganisasikan dan dipahami dalam masyarakat awam. Representasi sosial
merupakan perspektif yang terdiri dari sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang membangun sebuah
pemaknaan sosial (Moscovici, 2001). Jika dikaitkan dengan representasi sosial, pemaknaan terhadap
virginitas dapat dilihat melalui sistem nilai, ide, dan praktek-praktek yang berlaku di masyarakat tentang
virginitas. Nilai yang dimiliki masyarakat Indonesia adalah kesakralan pernikahan dan larangan
melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Ini berarti bahwa virginitas adalah hal yang penting
untuk dipertahankan sebelum menikah.

Makna adalah hasil interaksi sosial yang dinegosiasi melalui bahasa (Blumer, dalam Mulyana, 2002).
Makna merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia. Ini
memperlihatkan bahwa makna tidak hanya berada pada level individu saja, tetapi terdapat makna yang
berada pada level masyarakat yang dinamakan makna sosial atau representasi sosial (Blumer, dalam
Sunarto, 2000). Makna yang ditafsirkan individu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan
perubahan konteks situasi (Blumer, dalam Mulyana, 2002). Hal ini juga berlaku untuk makna virginitas.
Dalam hal ini perspektif representasi sosial juga akan membantu mengungkap makna virginitas sebagai
suatu konsep yang selalu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Perspektif representasi sosial
mengenal manusia sebagai makhluk berpikir yang mampu bertanya, mencari jawaban, dan pada
umumnya berpikir mengenai hidup. Representasi sosial merupakan bagian ingatan kolektif masyarakat.
Dengan demikian representasi sosial merefleksikan pemahaman pikiran awam (commonsense).
Representasi sosial terdiri atas tiga dimensi, yaitu informasi, sikap, dan ranah representasi, yang
mencakup gambaran, ekspresi nilai-nilai, keyakinan, dan opini, mengenai suatu obyek (Jodelet, 2006).
Inti dari representasi sosial adalah keyakinan yang menyatakan bahwa kondisi psikologis seseorang
merupakan produk sosial yang akan menjadi pedoman tindakan bagi individu-individu yang ada dalam
lingkungan yang sama (Wamsley, 2004). Representasi tidak “secara individual dihasilkan melalui replika
dari data persepsi” tetapi dilihat sebagai bagian dari realitas sosial. Oleh karena itu, representasi sosial
dilihat sebagai bagian dari realitas sosial.

Secara umum, penelitian representasi sosial melalui dua proses yaitu, anchoring dan objectivication.
Proses Anchoring mengacu kepada proses pengenalan atau pengaitan (to anchor) dari suatu obyek
tertentu dalam pikiran individu, dalam hal ini mengenai virginitas. Pada proses anchoring, informasi baru
diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki individu. Obyek yang
tidak familiar, dalam penelitian ini adalah virginitas, diterjemahkan dalam kategori dan penggambaran
yang lebih sederhana dalam konteks yang familiar bagi individu.

Proses membuat yang tidak familiar menjadi familiar disebut dengan proses objectification.Moscovici
(dalam Walmsley, 2004) berpendapat bahwa tujuan representasi sosial adalah untuk membuat yang
tidak familiar menjadi familiar. Pada penelitian ini, proses objectivication mengacu pada penerjemahan
ide tentang virginitas yang cenderung abstrak ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit. Hasil
proses objectification nantinya akan terkait dengan empat fungsi representasi sosial (dalam Walmsley,
2004), yaitu: (a) fungsi pengetahuan, (b) fungsi identitas, (c) fungsi orientasi, dan (d) fungsi pembenaran.
Fungsi pengetahuan memungkinkan suatu realita untuk dipahami dan dijelaskan. Fungsi identitas
meletakkan individu dan kelompok dalam suatu areal sosialnya dan memungkinkan perkembangan
sebuah identitas sosial selaras dengan norma dan nilai-nilai dalam masyarakat. Fungsiorientasi
mengarahkan sikap dan praktek, dan fungsi pembenaran mengizinkan sesudah fakta pembenaran posisi
dan perilaku. Representasi juga menyediakan pembenaran atas perbedaan sosial antar kelompok,
khususnya saat stereotypes dan permusuhan terbukti. Penelitian ini sendiri menggunakan representasi
sosial dengan lebih menitik beratkan pada fungsi pengetahuan dan fungsi orientasi. Representasi sosial
yang berfungsi sebagai pengetahuan akan mengungkap realitas yang dipahami kaum muda tentang
virginitas, sedangkan fungsi orientasi akan mengarah pada sikap dan praktek yang dimiliki kaum muda
terkait dengan virginitas. Sikap dalam representasi sosial adalah sikap sosial, yakni suatu hasil konstruksi
dan evaluasi terhadap suatu objek pikiran. Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang
dialami individu. Interaksi sosial mengandung lebih dari pada kontak sosial dan hubungan antar individu
sebagai anggota kelompok sosial. Sikap sosial individu mengenai virginitas akan mengacu pada
kumpulan pengetahuan yang diperolehnya dalam lingkungan sosialnya, baik itu berupa informasi
mengenai virginitas yang ia miliki sendiri dan ia bagikan pada anggota kelompok yang lain, atau
informasi mengenai virginitas dari anggota kelompoknya yang dapat mempengaruhi sikap individu
tersebut terhadap virginitas (lihat Wagner et al, 1999). Masa dewasa awal dalam budaya Indonesia
dimulai sejak usia 21 tahun dan berakhir pada usia 30 tahun. Sebelum usia 27 tahun kaum muda
mengalami kekhawatiran yang muncul berhubungan dengan nilai-nilai moral dalam kontakkontak yang
berkisar hubungan antara dua jenis kelamin, misalnya kencan dan romans. Hal ini terkait dengan
anggapan bahwa mereka yang berada pada masa dewasa awal sudah mampu mengambil keputusan
tentang nilai-nilai yang ia pegang dan dalam memilih pasangan. Nilai-nilai moral yang terkait dengan
hubungan jenis kelamin pada budaya Jawa khususnya adalah penundaan pelepasan virginitas, yang
berarti juga penundaan hubungan seksual sebelum menikah. Hal ini juga berarti bahwa kaum muda
harus mengontrol dorongan seksualnya, padahal masa dewasa awal yang juga merupakan masa
menjalin hubungan intim dengan lawan jenis dan oleh karenanya pada masa ini seseorang juga memiliki
dorongan seksual yang tinggi.
Kaum muda tidak begitu saja menerima nilai-nilai tentang virginitas yang diturunkan oleh wakil-wakil
generasi tua seperti orang tua, guru, dan pemimpinpemimpin agama. Orang tua dan guru di sekolah
yang menempatkan masalah seks sebagai hal yang tabu untuk ditanyakan dan didiskusikan
menyebabkan orang tua cenderung enggan untuk membicarakan masalah seksualitas pada anak,
sehingga anak kurang mendapatkan nilai-nilai yang terkait dengan seksualitas. Ketertutupan lingkungan
keluarga dan institusi pendidikan mengenai seksualitas membuat kaum muda cenderung mencari
informasi dari sumber yang lebih terbuka dengan masalah seksualitas, misalnya media massa dan
lingkungan pergaulan. Representasi sosial kaum muda mengenai virginitas terbentuk dari
pengintegrasian nilai-nilai virginitas yang mereka dapatkan dari generasi tua dengan informasi-informasi
yang mereka peroleh dari lingkungan pergaulan dan media massa.

C. PEMBAHASAN PENELITIAN
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kaum muda yang saat ini berstatus sebagai mahasiswa di
Yogyakarta memahami virginitas lebih sebagai hal fisik yang cenderung melekat pada perempuan dan
tidak pada pria. Virginitas juga dimaknai secara substansial, namun hanya dituju pada perempuan,
karena virginitas dipahami melekat pada perempuan. Hal ini memberi implikasi pada perbedaan sikap
antara laki-laki dan perempuan mengenai virginitas. Perempuan secara umum bersikap positif terhadap
virginitas, dimana mereka menganggap virginitas dirinya sendiri penting untuk .dijaga sebelum menikah.
Sementara laki-laki dalam data penelitian ini lebih banyak yang menganggap virginitas dirinya tidak lagi
penting untuk dipertahankan. Ironisnya, meskipun pria menganggap virginitas dirinya tidak penting
untuk dipertahankan, mereka masih tetap mengharapkan pasangan yang masih perawan. Pada
perempuan justru terjadi sebaliknya, sekalipun mereka menganggap virginitas dirinya penting untuk
dipertahankan, perempuan secara umum tidak mempermasalahkan apakah pasangannya masih perjaka
atau tidak. Virginitas dipandang sebagai hal yang kuno karena kaum muda merasa bahwa melepaskan
virginitas sebelum menikah sudah merupakan hal yang lumrah saat ini. Hal ini dikarenakan media dan
pergaulan yang merupakan sumber yang paling banyak memberikan informasi tentang virginitas kepada
kaum muda lebih memperlihatkan fakta-fakta bahwa dewasa ini virginitas sudah tidak lagi penting untuk
dipertahankan. Sementara, keluarga yang merupakan harapan utama untuk membekali kaum muda
dengan informasi dan nilai-nilai virginitas, justru menjadi sumber yang paling terbatas memberikan
informasi mengenai virginitas. Akibatnya, kaum muda lebih banyak mendapatkan fakta-fakta negatif
mengenai virginitas, seperti kasus-kasus banyaknya kaum muda yang sudah melepaskan virginitasnya
sebelum menikah, daripada nilai-nilai kesakralan pernikahan dan pentingnya menjaga virginitas sebelum
menikah. Selanjutnya, hasil penelitian ini akan dibahas lebih detail, sebagai berikut:

1. Virginitas dimaknai sebagai sesuatu yang melekat pada perempuan

Kaum muda lebih memahami virginitas sebagai hal fisik, yaitu bahwa virginitas yang cenderung melekat
pada perempuan dan tidak pada pria. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa keperawanan lebih
dapat dibuktikan secara fisik daripada keperjakaan. Menurut kaum muda keperawanan dapat dibuktikan
melalui keutuhan selaput dara dan rapatnya vagina, serta keluarnya darah dari vagina pada saat
melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya akibat pecahnya selaput dara. Pemahaman bahwa
keutuhan selaput dara merupakan ukuran seorang perempuan masih perawan menyebabkan
pandangan bahwa seorang perempuan bisa saja kehilangan virginitasnya apabila ia melakukan olahraga
yang berat atau mengalami kecelakaan yang menyebabkan robeknya selaput dara, misalnya jatuh dari
sepeda. Adanya selaput dara pada perempuan yang menyebabkan keperawanan lebih dapat dibuktikan
secara fisik daripada keperjakaan menyebabkan keperawanan lebih dipermasalahkan dibandingkan
keperjakaan. Virginitas yang dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada perempuan juga
mempengaruhi pandangan kaum muda yang tinggal di Yogyakarta tentang virginitas secara substansial.
Makna substansial mengenai virginitas dipahami kaum muda Yogyakarta hanya terkait dengan virginitas
pada perempuan atau keperawanan dan tidak terdapat pada keperjakaan. Virginitas dipahami sebagai
harga diri seorang perempuan sehingga sangat bernilai. Virginitas merupakan kesucian dan kehormatan
perempuan sehingga penting untuk dijaga oleh perempuan. Terkait dengan relasi dengan pasangan,
virginitas lekat dengan seseorang yang belum menikah. Ini dikarenakan virginitas merupakan hadiah
yang dipersiapkan untuk suami kelak. Selain itu, virginitas perempuan atau keperawanan seseorang juga
dapat memperlihatkan bagaimana keluarga orang tersebut, apakah keluarganya termasuk keluarga baik-
baik atau tidak. Seseorang yang masih perawan akan mengesankan bahwa ia adalah perempuan baik-
baik. Sebaliknya, apabila seorang perempuan sudah tidak lagi perawan maka ia akan dianggap sebagai
perempuan nakal. Perempuan diwajibkan untuk menjaga virginitasnya dan hanya boleh menyerahkan
virginitasnya setelah menikah, dan apabila seorang perempuan tidak perawan lagi, suaminya dan
keluarga suaminya akan menjadikannya sebagai alasan untuk mengakhiri pernikahan (Machali, 2005).
Hal tersebut tidak berlaku pada pria. Kaum muda menganggap keperjakaan hanya terkait dengan
kondisi fisik. Keperjakaan bukanlah sebuah masalah bagi kaum muda, karena tidak ada tanda atau
barometer fisik untuk menentukan keperjakaan, seperti selaput dara yang dimiliki oleh perempuan
untuk menentukan keperawanannya (“Bangga Jadi Perjaka”, 2009). Berdasarkan hasil penelitian, maka
dapat diketahui bahwa objectivicationmengenai virginitas pada kaum muda Yogyakarta adalah
perempuan. Objectivicationmengacu kepada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu obyek ke dalam
ide yang lebih konkrit. Hal ini berarti bahwa virginitas sebagai sesuatu yang abstrak bagi kaum muda
diterjemahkan ke dalam ide yang lebih konkrit yaitu sesuatu yang melekat pada perempuan. Isu
virginitas seringkali dikaitkan dengan perempuan dan seakan-akan hanya perempuan yang bertanggung
jawab menjaga virginitasnya. Virginitas memiliki peran sosial yang penting khususnya bagi perempuan.
Berbeda dengan yang dirasakan oleh perempuan terkait dengan keperawanan, secara sosial budaya
masyarakat tidak terlalu memperhatikan keperjakaan, sehingga laki-laki tidak merasakan adanya beban
sosial (Oetomo, 2001).

2. Konsep “I” dan “Me” pada sikap terhadap virginitas

Kaum muda memiliki sikap yang berbeda ketika ditanya mengenai sikap terhadap diri sendiri dan sikap
terhadap orang di luar diri (baik sikap terhadap pasangan maupun sikap terhadap orang lain). Secara
umum, kaum muda menyatakan virginitas dirinya sendiri merupakan hal yang penting untuk
dipertahankan sebelum menikah. Di sisi lain, secara dominan kaum muda tidak mempermasalahkan
virginitas pasangannya dan menganggap bahwa setiap orang memiliki hak untuk

tetap mempertahankan virginitasnya atau tidak. Hal ini terkait dengan konsep “I” dan “Me” yang
diungkapkan oleh George Herbert Mead (1956). Sikap kaum muda terhadap virginitas dirinya sendiri
memperlihatkan bagaimana diri kaum muda melihat dirinya sendiri. Pada saat seseorang melihat dirinya
sendiri, ia akan mempertimbangkan sikap-sikap orang lain mengenai hal yang ingin dilihat dari dirinya
sendiri. Kaum muda, ketika menentukan sikap mengenai virginitas dirinya sendiri, ia akan
mempertimbangkan sikap-sikap orang lain atau masyarakat pada umumnya. Menurut George Herbet
Mead (1956), keadaan ini disebut dengan “Me”. “Me” merupakan individual habitual (kebiasaan
individu) yang bersifat konvensional yaitu berhubungan dekat dan kuat dengan sikap masyarakat pada
umumnya (social self). Ini memperlihatkan bahwa sikap kaum muda yang menganggap virginitas dirinya
sendiri penting untuk dipertahankan sebelum menikah merupakan sikap yang dekat denga sikap
masyarakat pada umumnya.

Berbeda dengan “Me”, “I” merupakan reaksi yang berasal dari diri sendiri terhadap situasi sosial yang
ada, dalam hal ini adalah virginitas (lihat, Mead, 1956).

“I” bersifat lebih “bebas” daripada “Me” yang masih mempertimbangkan sikapsikap orang lain.
Sebaliknya, “I” merupakan jawaban baru dari individu terhadap sikap masyarakat pada umumnya.
Terkait dengan sikap kaum muda, sikap terhadap virginitas pasangan dan orang lain merupakan sikap
yang merupakan reaksi dari situasi sosial saat ini. Sikap kaum muda yang tidak mempermasalahkan
virginitas pasangan dan menganggap setiap orang memiliki hak untuk mempertahankan virginitasnya
atau tidak merupakan reaksi dari masalah virginitas yang selama ini telah mereka lihat baik di lingkungan
keluarga, pergaulannya maupun media. Sikap ini lebih mencerminkan sikap kaum muda terhadap
virginitas.

3. Virginitas penting dijaga oleh perempuan, namun tidak ada tuntutan untuk menjaga virginitas pada
laki-laki.
Virginitas yang dipahami melekat pada perempuan memberi implikasi pada perbedaan sikap antara laki-
laki dan perempuan mengenai virginitas. Perempuan secara umum bersikap positif terhadap virginitas,
dimana mereka menganggap virginitas dirinya sendiri penting untuk .dijaga sebelum menikah. Virginitas
disikapi perempuan sebagai hal yang penting untuk dipertahankan hingga menikah untuk menjaga
kesakralan pernikahan dan agar seorang perempuan lebih berharga di mata suaminya. Sementara laki-
laki dalam data penelitian ini lebih banyak yang menganggap virginitas dirinya tidak lagi penting untuk
dipertahankan. Tidak adanya ciri fisik yang dapat membuktikan keperjakaan laki-laki menyebabkan laki-
laki tidak merasa dituntut untuk menjaga keperjakaannya. Ironisnya, meskipun kebanyakan laki-laki
menganggap virginitas dirinya tidak penting untuk dipertahankan, banyak dari mereka masih tetap
mengharapkan pasangan yang masih perawan, sekalipun pada akhirnya mereka tidak masalah apabila
mendapatkan pasangan yang ternyata sudah tidak perawan lagi. Menurut lakilaki, sekalipun akan
merasa kecewa jika mendapatkan pasangan yang sudah tidak perawan, rasa sayang dan kecocokan
dalam berhubungan lebih penting daripada virginitas pasangannya. Jika laki-laki masih mengharapkan
pasangannya perawan,

pada perempuan justru terjadi sebaliknya, sekalipun mereka menganggap virginitas

dirinya penting untuk dipertahankan, perempuan secara umum tidak

mempermasalahkan apakah pasangannya masih perjaka atau tidak. Perempuan juga

lebih mementingkan perasaan sayang dan kecocokannya dengan pasangan, sehingga

mereka tidak mempermasalahkan keperjakaan pasangannya selama pasangannya

tersebut tidak terjangkit penyakit kelamin.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa anchoring tentang

virginitas pada kaum muda adalah bahwa menjaga virginitas merupakan suatu

kewajiban bagi perempuan dan bukan menjadi kewajiban laki-laki. Ini

mengekspresikan bahwa ketidakadilan gender masih terjadi di Indonesia yaitu adanya


tuntutan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Perempuan diharapkan lebih

dapat mempertahankan keperawanannya, sedangkan tuntutan untuk masih perjaka

bagi laki-laki hampir tidak ada. Selain itu, ketidakmampuan laki-laki dalam

mempertahankan keperjakaan lebih dapat dimaklumi oleh masyarakat daripada

perempuan (Oetomo, 2001).

4. Melepaskan virginitas sebelum menikah adalah hal yang lumrah saat ini.

Virginitas atau keadaan masih perawan/perjaka juga dipandang secara negatif,

dimana virginitas dianggap sebagai hal yang kuno karena kaum muda merasa bahwa

melepaskan virginitas sebelum menikah sudah merupakan hal yang lumrah saat ini.

Hal ini membuat kaum muda bersikap permisif terhadap pelepasan virginitas sebelum menikah. Kaum
muda menganggap bahwa setiap orang memiliki hak untuk tetap

mempertahankan virginitasnya atau melepaskannya sebelum menikah. Bagi kaum

muda, virginitas merupakan urusan pribadi masing-masing orang dan tabu untuk

dibicarakan di ruang publik.

Pandangan negatif tentang virginitas dikarenakan media dan pergaulan yang

merupakan sumber yang paling banyak memberikan informasi tentang virginitas


kepada kaum muda lebih memperlihatkan fakta-fakta bahwa dewasa ini virginitas

sudah tidak lagi penting untuk dipertahankan. Selain itu, pergaulan dan institusi

pendidikan lebih banyak menginformasikan virginitas hanya sebagai hal fisik saja.

Sementara, keluarga yang merupakan harapan utama untuk membekali kaum muda

dengan informasi dan nilai-nilai virginitas, justru menjadi sumber yang paling

terbatas memberikan informasi mengenai virginitas.

5. Media dan pergaulan lebih memberikan informasi mengenai virginitas daripada

keluarga.

Keluarga merupakan tempat terbentuknya norma-norma sosial dan

pengkhayatan (internalisasi) nilai-nilai (Surbakti, 2008). Dari hasil penelitian

diketahui bahwa ternyata keluarga justru menjadi sumber yang paling terbatas

memberikan informasi mengenai virginitas. Ini menyebabkan terbatas pula nilai-nilai

budaya, terutama nilai-nilai kesakralan pernikahan dan larangan melakukan hubungan

seksual sebelum menikah, yang turun dari generasi tua kepada generasi muda.

Padahal menurut hasil penelitian kaum muda yang mendapatkan informasi mengenai virginitas dari
keluarga dan institusi pendidikan secara umum menganggap virginitas
penting untuk dipertahankan. Laki-laki dalam data penelitian ini lebih banyak yang

menganggap virginitas dirinya tidak lagi penting untuk dipertahankan karena mereka

kebanyakan hanya mendapatkan informasi mengenai virginitas dari media dan

pergaulan. Keluarga dan institusi pendidikan cenderung sangat terbatas dalam

memberikan pengetahuan kepada laki-laki. Hasil ini memperlihatkan bahwa keluarga

dan institusi masih menjadi lembaga yang efektif untuk mentransformasikan nilainilai tentang
seksualitas terutama mengenai virginitas kepada kaum muda.

Terbatasnya informasi mengenai virginitas yang diberikan orang tua dan institusi

pendidikan kepada kaum muda dikarenakan orang tua dan guru menempatkan

masalah seks sebagai hal yang tabu untuk ditanyakan dan didiskusikan (Komandoko,

2009)

Kaum muda lebih banyak mendapatkan informasi mengenai virginitas dari

media dan pergaulan dibandingkan informasi dari keluarga dan institusi pendidikan.

Padahal, informasi dari media dan pergaulan mengenai virginitas yang lebih banyak

berupa kasus-kasus yang terkait dengan pelepasan virginitas sebelum menikah pada

kaum muda. Hal ini mengakibatkan kaum muda lebih banyak mendapatkan
pandangan-pandangan negatif mengenai virginitas daripada nilai-nilai kesakralan

virginitas dalam pernikahan. Kaum muda lebih menganggap virginitas bukanlah

suatu hal yang sakral karena saat ini berhubungan seksual dan melepaskan virginitas

sebelum menikah merupakan hal yang wajar, karena banyaknya kasus pelepasan

virginitas sebelum menikah

A. KESIMPULAN

1. Representasi sosial virginitas pada mahasiswa di yogyakarta

a. Kaum muda memaknai virginitas hanya melekat pada perempuan baik

secara fisik dan substansial. Virginitas lekat dengan perempuan karena

adanya pemahaman bahwa virginitas perempuan dapat dibuktikan

melalui utuhnya selaput dara dan keluarnya darah dari vagina akibat

robeknya selaput dara saat melakukan hubungan seksual untuk

pertama kalinya. Pertanda fisik seperti yang dimiliki oleh perempuan

tidak dimiliki oleh laki-laki. Hal ini menyebabkan virginitas

perempuan lebih dituntut untuk tetap dijaga hingga menikah.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diketahui bahwa


objectivication mengenai virginitas pada kaum muda Yogyakarta

adalah perempuan. Objectivication mengacu kepada penerjemahan ide

yang abstrak dari suatu obyek ke dalam ide yang lebih konkrit. Hal ini

berarti bahwa virginitas sebagai sesuatu yang abstrak bagi kaum muda

diterjemahkan ke dalam ide yang lebih konkrit yaitu melekat pada

perempuan.

b. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bagi kaum muda virginitas

dianggap penting untuk dijaga oleh perempuan, namun tidak ada

tuntutan untuk menjaga virginitas pada laki-laki. Perempuan menganggap virginitas dirinya sendiri
penting untuk dijaga, namun

tidak menuntut pasangan atau orang lain untuk tetap menjaga

virginitasnya. Pada laki-laki, lebih banyak yang menganggap virginitas

dirinya sendiri tidak penting untuk dijaga hingga menikah, namun lakilaki masih mengharapkan
perempuan tetap menjaga virginitasnya.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui bahwa anchoring

tentang virginitas pada kaum muda adalah bahwa menjaga virginitas

merupakan suatu kewajiban bagi perempuan dan bukan menjadi


kewajiban laki-laki. Ini mengekspresikan bahwa pada kaum muda juga

muncul ketidakadilan gender mengenai virginitas, yaitu adanya

tuntutan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Perempuan

lebih dituntut untuk menjaga virginitasnya, sedangkan pada laki-laki

tuntutan akan keperjakaan hampir tidak ada.

2. Media dan pergaulan lebih banyak memberikan informasi mengenai

virginitas daripada keluarga. Akibatnya, kaum muda lebih banyak

menerima informasi tentang kasus-kasus orang yang sudah melepaskan

virginitasnya sebelum menikah, daripada nilai-nilai kesakralan virginitas

dalam pernikahan, sehingga kaum muda merasa bahwa melepaskan

virginitas sebelum menikah sudah merupakan hal yang lumrah saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fayyadl, M. (2006). Wajah Perempuan, Wajah Tuhan. Basis, 03-04. 24-30.

Andhini, C. (2009, Mei) Virginitas di Mata Pria. Cosmopolitan, 178.

Angganingrum, D. (2009, Januari). Virginitas Masihkah Menjadi Hak Milik.

Wiweka, 06, 10.


Anoegrajekti, N., Surur, M., Effendy, B. (2006). Komoditas Seksualitas dan

Pewadagan Perempuan. Srintil: Media Perempuan Multikultural, Vol. 10,

7-23.

Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:

Rineka Cipta.

Bangga Jadi Perjaka. (2009, Oktober 13). Hai online. Dipungut 15 Oktober, 2009,

dari http://www.hai-online.com/Hai2/Psikologi/About-You/Bangga-JadiPerjaka.

Bila Seks Pranikah Dianggap Lumrah…!. (2002, Oktober 30). kompas.com.

Dipungut 02 Desember, 2008, dari http://www.kompas.com/read/xml/

2002/10/30/450814/.

Bungin, B. (2008). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Crooks, R. & Karla B. (2008). Our Sexuality, 10th edition. California:

Cummining Publishing Company.

Danandjaja, J. (1985). Upacara-upacara Lingkaran Hidup di Terunyan, Bali.

Jakarta: Pustaka Jaya.


Durrant, R. & Ellis, B. J. (2002). Evolutionary Psychology. Dipungut 26

November, 2009, dari http://www.gall_ch01.qxd/9/13/02

Endaswara, S. (2002). Seksologi Jawa. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Halstead, J. M. & Michael R, (2006). Pendidikan Seks bagi Remaja: dari Prinsip

ke Praktek. Alih bahasa: Kuni Khairun Nisak. Yogyakarta: Alenia Press.

Handayani, C. S. & Novianto, A. (2004). Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: PT

LKiS Pelangi Aksara.

Haryatmoko. (2006). Politik Melirik Agama karena Seks: Panoptisme,

Kekuasaan, dan Erotisme. Basis. 09-10. 26-36.

Jodelet, D. (2006). Le Dictionnaire des Sciences Humaines (Latar Belakang

Teoritik Teori Representasi Sosial). Paris: PUF.

Kasiyan. (2008). Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan.

Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Keene, M. (2006). Agama-agama Dunia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Komandoko, G. (2009). Remaja Dilarang Ngerti Seks, Emang Kenapa…?

Yogyakarta: Penerbit Garailmu.


Lips, H. M. (2005). Sex and Gender: an Introduction, 5th edition. New York: Mc

Graw Hill.

Listyorini, A. M. (tanpa tahun) Fase Dewasa Perkawinan. Museum Tembi.

Dipungut 11 Oktober, 2009, dari http://www.tembi.org/tembi/nikah.htm.

Machali, R. & Nurhayati, I. (2005) Challenging tradition: the Indonesian novel

Saman. GEMA the Online Journal on Language Studies, Dipungut 23

Agustus, 2009, dari http://www.fpbahasa.ukm.my/ppbl/Gemaarchives.asp.

Makin Greng dengan Spa Vagina. (2008, Mei 13). Kompas.com. Dipungut 21

Oktober, 2009, dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/13/154

50814/.

Mangunwijaya, Y. B. (2008). Rara Mendut: Sebuah Trilogi. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

Mappiare, A. (1997). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya: Usaha Nasional.

Mead, G. H. (1956). The Social Psychology of George Herbert Mead. Chicago:

The University of Chicago Press.

Moleong, L. J. (2006). Metologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosydakarya.

Mönks, F.J., Knoers A.M.P., Haditono, Siti Rahayu. (2002). Psikologi

Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Moscovici, S. (2001). Social Representations. New York: New York University

Press

Mulyana, D. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Munti, R. B. (2005). Demokrasi Keintiman: Seksualitas di Era Global.

Yogyakarta: LKiS.

Nugroho, R. (2008). Gender dan Strategi Pengarus-utamaannya di Indonesia.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Oetomo, D. (2001). Memberi Suara pada yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press.

Oxford University Press. (2005). Oxford Advanced Learner’s Dictionary (7th ed.).

UK: Oxford University Press.

Poerwandari, K. (2009, Februari 1). Cinta, Tubuh, Seks, dan Ilusi. Harian
Kompas. h. 26.

Poerwandari, K. (2005). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Jakarta: LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Purwadi. (2005). Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rathus, S. A. (2008). Human Sexuality in a World of Diversity. United of

America: Pearson Education.

Remaja Cicipi Seks Capai 63 Persen. (2008, Desember 21). Jawa Pos. Dipungut

10 Juli, 2009, dari http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=

detail&nid=42107.

Roqib, M. (2007). Seks Bebas dalam Cermin Budaya Jawa: Pandangan Kearifan

Lokal terhadap Perilaku Free Sex. Ibda’: Jurnal Studi Islam dan Budaya,

5, 1-15.

Ruas Malam Jogja. (2009, April 22). Angkringan Jogja. Dipungut 13 Agustus,

2009, dari http://angkringan.or.id/page.php?id=1079.

Salman. (2009, Februari 02). BKKBN Sumut Menyerah, Program ATM Kondom
Dihentikan. Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA Biro Sumatra

Utara. Dipungut 13 Agustus, 2009, dari http://www.antarasumut.com/

berita-sumut/berita-terkini/bkkbn-sumut-menyerah-program-atm-kondomdihentikan/.

Santrock, J. W. (2002). Life-span Development, jilid 2 (ed. ke-5). Alih bahasa:

Juda Damanik, Achmad Chusairi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Santrock, J. W. (2007). A Topical Approach to Life-span Development, 3rd

edition. USA: Mc Graw Hill.

Sarwono, S. (2009, Februari 7-13). Virginitas Ternyata Tetap Masalah. Femina, 6,

62-63.

Sarwono, S. W. (1979). Perbedaan antara Aktivis dan Pemimpin dalam Gerakan

Protes Mahasiswa. Jakarta: Bulan Bintang.

Sarwono, S. W. (2007). Psikologi Prasangka Orang Indonesia: Kumpulan Studi

Empirik Prasangka Dalam Berbagai Aspek Kehidupan Orang Indonesia.

Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sarwono, S. W. (2008). Psikologi Remaja (Ed. Revisi). Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada.
Setiawan, S. A. (2007). 500+ Gelombang Video Porno Indonesia, Jangan Bugil

Di Depan Kamera. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Smith, J. A. (2009). Psikologi Kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset.

Penerjemah: Budi Santoso. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Subanar, G. B. (2008). Bayang-bayang Sejarah Kota Pendidikan Yogyakarta:

Komunitas Learning Society. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata

Dharma.

Sudiarja, A. (2006). Panseksualisme: Antara Kewajaran dan Kepanikan. Basis.

09-10. 26-36.

Sulistyo. (2006). Metodologi Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra bekerja

sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Sulit Dikontrol Perilaku Seks Masyarakat. (2002, Agustus 10). Harian Kompas,

h.10.

Supratiknya, A. (2007). Kiat Merujuk Sumber Acuan dalam Penulisan Karya

Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Sunarto, K. (2000). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas


Indonesia.

Surbakti, E. B. (2008). Sudah Siapkah Menikah. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo.

Suryabrata, S. (2008). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia (ed.

ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.

Tohari, A. (2007). Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Tong, R. P. (2008). Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada

Arus Utama Pemikiran Feminis. Yogyakarta: Jalasutra.

Torsina, M. (2008). Tanya Jawab Seputar Seks Pasca-Remaja, Edisi Revisi.

Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Unggulkan Kenyamanan, Layani Budaya Nongkrong. (2006, September 13).

trulyjogja.com. Dipungut 22 Oktober, 2009, dari http://www.trulyjogja.

com/index.php?action=news.detail&cat_id=11&nws_id=758.

Utami, A. (2008). Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Vajhiradhammo. (2008, Juli 3). Seks dan Buddha Dhamma. Forum Religi
Buddha.

Dipungut 13 Januari, 2010, dari

http://www.indoforum.org/archive/index.php

Wagner, W., Duveen, G., Rose, D., et al. (1999). Theory and Method of Social

Representations. Asian Journal of Social Psychology, 2, 95-125.

Walmsley, C. J. (2004). Social Representation and the Study of Professional

Practice. International Journal of Qualitative Methods, 3(4), Artikel 4.

Widyarini, M. M. N. (2009). Relasi Orangtua dan Anak. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo.

Wirodono, S. (2009). Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Yogyakarta:

Diva Press.

Wijaya, A. (2004). 55 Masalah Seksual yang Ingin Anda Ketahui tapi "Tabu”

untuk Ditanyakan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

780 Ribu Remaja Lakukan Aborsi. (2009, Agustus 10). Radar Banten Online.

Dipungut 13 Agustus, 2009, dari http://www.radarbanten.com/

mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=45279.
90% Pondokan di Yogya Tak Berijin. (2009, Agustus 28). republika.com.

Dipungut 22 Agustus, 2009, dari http://epaper.republika.co.id/berita

/72473/90_Pondokan_di_Yogya_Tak_Berijin.

Anda mungkin juga menyukai