Anda di halaman 1dari 141

HUKUM PERLINDUNGAN

PEREMPUAN
Disusun Oleh :
Noeke Sri Wardhani, SH, M. Hum
Koordinator Team Teaching
LITERATUR HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN
1. Eko Setyo Utama, et. Al., Advokasi Pengarusutamaan Gender, penerbit
Institut Hak asasi Perempuan, Yogyakarta.
2. Hasil-hasil Konferensi Tingkat Dunia tentang Perempuan ke IV, di
Beijing China, 4-15 September 1995.
3. Hidayat, Rahayu dan E. Kristi Purwandari (ed), 2000, Perempuan
Indonesia Dalam Masyarakat Yang Tengah Berubah, 10 Tahun Program
Studi Kajian Wanita, PSKW UI, Jakarta.
4. Ihromi, TO, Achie Luluhima dan Sulistiowati Irianto, 2000, Penghapusan
Diskriminasi terhadap Wanita, Alumni, Bandung.
5. Ihromi To, Sulistiowati Irianto, Achie S Luhulima, 2000, Penghapusan
Diskriminasi Terhadap Wanita, Alumni Bandung
6. Jurnal Perempuan, Edisi XII/Nov – Des 1999.
7. Jurnal Perempuan No. 49, 2006, Hukum kita sudah kah melindungi ?,
Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.
8. Kumpulan karangan untuk Menghormati Ulang Tahun ke – 70 Ibu
Saparinah Sadli, Penerbit Obor, Jakarta.
Lanjutan……..

9. LBPP DERAP-Warapsari, Komnas Perempuan-LBH APIK- Convention


Watch-PKWJ UI dan Europian Commission, 2006, Pedoman Bagi Penegak
Hukum Sistem Peradilan Pidana Terpadu Yang Berkeadilan Gender Dalam
Penanganan Kasus kekerasan Terhadap Perempuan.

10.Luhulima, Achie S, 2000, Pemahaman Bentuk-bentuk Tindak Kekerasan


Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, Kelompok Kerja
Convention Watch, PKWJ – UI.
11. Mansour Fakih, 2006, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
12. Notosusanto, Smita dan E. Kristi Purwandari (ed), 1997, Perempuan dan
Pemberdayaan, Kumpulan karangan untuk Menghormati Ulang Tahun ke –
70 Ibu Saparinah Sadli, Penerbit Obor, Jakarta.
13.Saparinah Sadli, 1995, Identitas Gender dan Peranan Gender, dalam
Ihromi, Kajian Wanita Dalam Pembangunan, Jakarta Yayasan Obor
Indonesia.
14.Sulisttyowati Irianto et.al., 2006, Perempuan di Persidangan, Pemantuan
Persadilan Berperspektif Penempuan, Yayasan Obor Indonesia,
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender UI dan NZAID,
Jakarta.
15.
Lanjutan.........
15Sulityowati Irianto, editor, tt, Hukum Perlindungan Perempuan &
Anak, USAID, The Asia Foundation, Kemitraan Partnership.
16.Wardhani, NS, 2005, Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif UU No. 23 Tahun
2004, P3W- UNIB .
17. HAM Internasional dalam Deklerasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia (DUHAM), diadopsi Majelis Umum PBB 10 Desember 1948.
18. UUD 1945
19 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia.
20. UUNo. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention the
Elimination of all Forms of Discrimination Againt Women) yang
disingat menjadi CEDAW
21. UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKdRT.
22 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
23. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan
dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Lanjutan……..
24.Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional.
25. Keppres No.181 Tahun 1998 Jo. Perpres No. 65 Tahun 2005
tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
26. Perda No. 21 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan
Penanganan Tindak Kekerasan Terhadap Anak dan
Perempuan.
27.Perda No. 22 Tahun 2006 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak.
28.Surat Keputusan Gubernur Bengkulu No. 751 Tahun 2003
tentang Pembentukan Tim Penanganan Terpadu Bagi
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan di Propinsi Bengkulu.
29.Surat Keputusan Walikota No. 349 Tahun 2003 tentang
Pembentukan Tim Pemantau, Penanggulangan Dan
Penanganan Korban Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan
dan Anak Tingkat Kota Bengkulu.
30. Perda No. 2 Tahun 2016 tentang Pengarusutamaan Gender
Dalam Pembangunan Daerah
PENGERTIAN GENDER

• Gender : Pandangan masyarakat tentang perbedaan


peran, tanggung jawab, fungsi, hak antara perempuan
dan laki-laki yang merupakan hasil konstruksi sosial
atau budaya yang dapat berubah-ubah, sesuai
kemajuan jaman. Dengan kata lain, gender adalah
konsep yang mengacu pada peran-peran dan
tanggung jawab laki-laki & perempuan yang terjadi
akibat keadaan sosial dan budaya masyarakat.
• Kata gender berasal dari bahasa Inggris kuno gendre ,
yang bila ditelusuri kata itu dipinjam dari bangsa
Norman di era Perancis lama genre yang mengakar
dari bahasa latin genus. Artinya adalah macam, tipe
atau jenis. Selanjutnya istilah gender dipopulerkan
oleh para feminis pada era tahun 1970-an.
PENGERTIAN GENDER
PERBEDAAN SEKS (JENIS KELAMIN) & GENDER

SEKS/JENIS KELAMIN GENDER


Perbedaan organ biologis Perbedaan peran, fungsi & tanggung
Laki-laki dan perempuan jawab laki-laki & perempuan hasil
konstruksi sosial
pada bagian reproduksi

BIOLOGIS BUDAYA

TIDAK BISA DIUBAH


BERUBAH

Kodrati karena ciptaan Tuhan


Perempuan : menstruasi, punya • Buatan manusia
rahim, melahirkan menyusui • Tidak bersifat kodrati
Laki-laki : punya penis, sperma, • Dapat dipertukarkan
jakun • Tergantung waktu dan budaya
setempat
Lanjutan......... CIRI LAKI-LAKI & PEREMPUAN
MENURUT PANDANGAN MASYARAKAT
(APAKAH BENAR ?)
Laki-laki Perempuan
 Gagah • Lemah lembut
 Percaya diri • Kurang percaya diri
 Lebih rasional • Emosional
 Berani • Penakut
 Berotot • Gemulai
 Tabah • Cengeng
 Mudah selingkuh • Setia
 Suka berkelahi • Senang “ngerumpi”
 Unggul secara intelektual, • Tidak unggul intelektualnya dan
dan lain-lain. lain-lain.
IDENTITAS &PERAN GENDER
• Tercermin dalam kegiatan, sikap & tingkah laku yang
berbeda antara laki-laki dan perempuan.
• Dibentuk oleh masyarakat & lingkungannya yang
dipengaruhi oleh norma agama, ekonomi, budaya
dan sistem politik.
• Dipelajari melalui proses sosialisasi
• Berbeda dari budaya satu dengan budaya yang lain.
• Berbeda dalam suatu masyarakat menurut umur,
kelas sosial, afiliasi politik, etnik (suku) dan agama.
Perbedaan ini selalu dinamik, berubah dari waktu ke
waktu, dapat dipengaruhi atau berubah dari waktu ke
waktu.
PERAN KERJA & PEMBAGIAN PERAN KERJA
YANG DIKONSTRUKSIKAN MASYARAKAT MENYEBABKAN
PANDANGAN (ANGGAPAN) :

PEREMPUAN : LAKI-LAKI :
 Bekerja di sektor domestik • Bekerja di sektor publik : di
(rumah tangga) seperti : kantor, giat di organisasi
Mencuci berbelanja, politik, memperbaiki bagian-
memasak, mengurus anak, bagian rumah yang rusak,
melakukan semua pekerjaan menyetir kendaraan
rumah tangga • Sikapnya : rasional,
 Sikapnya : emosional, pasif, aktif/agresif, sangat percaya
tidak percaya diri, mudah diri, tidak gampang
tersinggung, gampang tersinggung, tidak boleh
menangis, tidak unggul menangis, unggul secara
secara intelektual, takut intelektual, pandai bicara di
berbicara di depan umum depan umum
ISU-ISU (PERSOALAN- PERSOALAN) GENDER

1. Double burden (beban ganda), beban perempuan dalam berbagai


keadaan menjadi lebih banyak (besar) daripada laki-laki, contoh
seorang perempuan pekerja (baik di sektor formal maupun non
formal), misalnya sebagai PNS atau penjual sayuran di pasar, di
rumah tangga masih dibebani pekerjaan rumah tangga tanpa ada
bantuan dari anggota keluarga (suami atau anak-anaknya).
2. Stereotype (pelabelan atau citra baku); pemberian cap (label) bahwa
perempuan emosional, pasif, tidak percaya diri, mudah tersinggung,
gampang menangis, tidak unggul secara intelektual, takut berbicara
di depan umum.
3. Marjinalisasi (terpinggirkan); akibat pelabelan ini maka peran
perempuan di sekor publik terpinggirkan, muncul anggapan
perempuan tidak bisa menduduki jabatan-jabatan penting karena
tidak memiliki kepercayaan diri, emosional dan lain-lain.
4. Subordinasi, perempuan ditempatkan pada posisi surbordinat atau
pelengkap dari laki-laki (posisi perempuan selalu lebih rendah di
berbagai kegiatan, dalam keluarga, masyarakat dalam negara
(pemerintahan)
5. Violence (tindak Kekerasan), perempuan lebih banyak mengalami dan
menjadi korban kekerasan
TAHAPAN MENUJU RESPONSIF GENDER

BUTA SADAR PEKA MAWAS PEDULI


GENDER GENDER GENDER GENDER GENDER

Apa itu Apa ada


Peran Mengapa
Gender? Masalah?
Gender Ada
Masalah Apa?
Diskrimi Pembela
Mengapa?
nasi An?

BIAS NETRAL
RESPONSIF
GENDER GENDER
GENDER

KEADILAN DAN KESETARAAN


KETIDAKADILAN GENDER
GENDER
PENJELASAN PENGERTIAN- PENGERTIAN DALAM
TAHAPAN MENUJU RESPONSIF GENDER
• Buta gender : kondisi (keadaan) seseorang yang tidak memahami
tentang pengertian atau konsep gender (ada perbedaan kepentingan
perempuan dan laki-laki).
• Bias gender : Suatu pandangan yang membedakan peran, kedudukan
serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
keluarga, masyarakat dan pembangunan dan sikap yang lebih
mengutamakan atau menguntungkan salah satu jenis kelamin sebagai
akibat adanya pengaturan & kepercayaan budaya yang lebih berpihak
kepada jenis kelamin tertentu.
• Netral gender : kebijakan, program, kegiatan, kondisi yang tidak
memihak pada salah satu jenis kelamin.
• Sadar gender : mengerti dan memahami gender.
• Peka gender : kemampuan seseorang untuk menemukenali
(mengetahui dan mengerti) adanya :
a. kesenjangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki di
dalam keluarga dan dalam komunitas (kelompok).
b. dampak pembagian kerja berdasar gender terhadap perempuan dan
laki-laki.
c. pengalaman, permasalahan, kebutuhan, kepentingan dan aspirasi
perempuan & laki-laki adalah berbeda.
Lanjutan……
• Mawas gender : menyadari adanya kesenjangan hubungan kekuasaan
laki-laki & perempuan dalam keluarga & kelompok, dampak
pembagian kerja serta adanya perbedaan pengalaman, permasalahan,
kebutuhan, kepentingan & aspirasi antara perempuan & laki-laki.
• Peduli gender : memperhatikan dan menyadari kesenjangan peranan
gender dalam keluarga, masyarakat dan negara.
• Responsif gender : perhatian yang konsisten dan sistematis terhadap
perbedaan-perbedaan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang
disertai upaya menghapus hambatan-hambatan struktural dan kultural
dalam mencapai kesetaraan gender.
• Kesetaraan gender : kesamaan kondisi dan posisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, keamanan nasional dan
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan yang dampaknya
seimbang.
• Keadilan gender : kondisi dan perlakuan yang adil terhadap
perempuan dan laki-laki agar keadilan bagi perempuan dan laki-laki
terwujud.
KONDISI PEREMPUAN & PEMBANGUNAN DALAM
KONFERENSI DUNIA I TENTANG PEREMPUAN
DI MEXICO CITY TAHUN 1975

• Sebelum tahun 1975 rancangan pembangunan tidak


ramah terhadap kepentingan perempuan
• Isu (permasalahan) perempuan tidak dikenali
• Instrumen hukum tidak berpihak pada kepentingan
perempuan
• Dominasi laki-laki pada pengambilan keputusan di
semua bidang.
• Orientasi pembangunan pada pertumbuhan ekonomi
semata-mata, perempuan semata-mata hanya
sebagai obyek pembangunan.
DARI MEXICO CITY (1975) …

• Peningkatan partisipasi perempuan dalam angkatan


kerja
• Perlakuan yang lebih baik terhadap tenaga kerja
perempuan sesuai konvensi ILO
• Kesehatan dan pendidikan pada perempuan & anak-
anak perempuan.
• Konsep keluarga dalam masyarakat modern
• Kependudukan & tren demografi
• Perumahan & fasilitasnya
• Masalah sosial : kesempatan yang sama dalam
memperoleh pelayanan sosial, perempuan migran,
prostitusi & trafficking, orang tua, kriminalitas
perempuan
INSTRUMEN HUKUM PERLINDUNGAN PEREMPUAN
1. Dalam Deklerasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (DUHAM), 10
Desember 1948 :
Pasal 1 :
Semua orang dilahirkan merdeka dan dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan
hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.
Pasal 2 :
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang
tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada perkecualian
apapun seperti kebebasan, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau
kemasyarakatan, hak milik kelahiran ataupun kedudukan lain.
Selanjutnya tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan
politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah
dari mana seorang berasal, baik dari negara atau daerah dari mana
seorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk
wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah
kedaulatan yang lain.
Lanjutan…….

DUHAM 10 Desember 1948, dipandang belum mengakomodir kebutuhan dan


kepentingan perempuan secara khusus (spesifik), meskipun pada tahun
1946, sebelum DUHAM dideklerasikan, sudah dibentuk di PBB Komisi
Kedudukan Perempuan yang memantau tindakan PBB berkenaan dengan
kepentingan perempuan.

Resolusi PBB No. 843 (IX) menyatakan bahwa perempuan tunduk pada
hukum yang sudah tua dan dalam prakteknya tidak konsisten dengan isi
DUHAM. Diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut, sehingga pada
tahun 1963 Komisi Kedudukan Perempuan di PBB membuat rancangan
deklerasi HAM Perempuan.

Pada tahun 1967 Deklarasi disetujui Majelis Umum PBB : “Untuk menjamin
pengakuan secara universal dalam hukum dan secara faktual atas prinsip
persamaan antara perempuan dan laki-laki.

Dalam Konferensi Dunia I tentang Perempuan di Mexico City, PBB


menyerukan diterimanya Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination Against Women yang disingkat CEDAW atau Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita yang
diratifikasi oleh Indonesia dalam UU No. 7 Tahun 1984.
Lanjutan……
Kebutuhan akan adanya CEDAW ini didasarkan pada beberapa hal :
1. Hak asasi Perempuan (Women`s Human Rights) tidak secara otomatis
diakui dalam pernyataan mengenai HAM (tidak diatur secara spesifik
dalam DUHAM tahun 1948). Akibatnya tidak ada pemahaman dari
masyarakat Internasional mengenai pelanggaran serius dan sistematis
terhadap hak asasi perempuan.
2. Adanya ketegangan antara kedaulatan negara dan intervensi eksternal
pada masalah-masalah internal (domestik).
3. Adanya ketegangan antara hak sipil & politik dengan hak sosial
ekonomi budaya (masyarakat Internasional lebih berfokus pada hak
sipil & politik).
4. Masyarakat (komunitas) Internasional lebih berfokus pada urusan
negara sebagai aktor yang menolak atau melanggar HAM. Masyarakat
Internasional tidak memandang penting adanya sistem atau ideologi
dan juga individu yang menolak & melanggar HAM perempuan.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 24 Juli 1984 meratifikasi CEDAW


dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita
(Convention the Elimination of all Forms of Discrimination Againt
Women) yang disingat menjadi CEDAW
HAM DI INDONESIA DALAM UUD 1945
2. Dalam UUD 1945 Amandemen, diatur dalam Bab X A tentang HAM Pasal
28 A- 28 J.
Pasal 28 A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya.
Pasal 28 B
(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 28 C
(1) Setiap orang mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia.
(2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan
negaranya.
Lanjutan…….

Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28 E
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan berobadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
Lanjutan……..

Pasal 28 F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.
Pasal 28 G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan
hak asasi.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dan penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh
suaka politik dari negara lain.
Pasal 28 H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh
Lanjutan…..

Lanjutan Pasal 28 H
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.
Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak hak untuk
diakui sebagai ppribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
(2) Setiap otang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Lanjutan…….
Lanjutan Pasal 28 I
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan.
Pasal 28 J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang
demokratis.
Lanjutan…….
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia Bagian 9 Hak Wanita
Pasal 45- 51
Pasal 45
Hak Wanita dalam Undang-undang ini adalah hak azsi manusia.
Pasal 46
Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif
dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin
keterwakilan wanita sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
Pasal 47
Seorang wanita yang menikah dengan pria yang berkebangsaan asing
tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi
mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti atau memperoleh
kembali status kewarganegaraannnya.
Pasal 48
Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua
jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan
Pasal 49
(1) Wanita berhak memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan
profesi sesuai dengan persyaratan dan perundang-undangkan.
Lanjutan…….
Pasal 49
(2) Wanita berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan
atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan/ atau
kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.
(3) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya,dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Pasal 50
Wanita yang telah dewasa atau menikah berhak untuk melakukan perbuatan
hukum sendiri, kecuali ditentukan oleh hukum agamanya.
Pasal 51
(1) Seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan
perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya dan hak pemilikan serta
pengelolaan harta bersama
(2) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab
yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan anak-
anaknya dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
(3) Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan
mantan suaminya atas semua hal yang yang berkenaan dengan harta bersama
tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
SEJARAH CEDAW
Kronologis :
• Tahun 1946 dibentuk Commission on The Status of
Women (CSW)
• Perjuangan CSW dimulai dari isu hak politik
perempuan
• CSW ikut serta menyusun DUHAM (DEKLARASI
UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA)
• Selama 14 tahun CSW berjuang untuk International
Covenant on Civil And Political Rights (ICCPR) dan
(International Covenant on Economic, Social, and
Cultural Rights (ICESCR)
PERJUANGAN CSW UNTUK CEDAW
• Dirintis mulai tahun 1965
• Tahun 1967 Majelis PBB Mengadopsi “DEKLARASI
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN.
Masalah & isunya: PEREMPUAN DALAM HUKUM, HAK-HAK
DALAM PERKAWINAN & KELUARGA, PENDIDIKAN, DUNIA
KERJA & PEMBANGUNAN PEDESAAN, PELAYANAN
KESEHATAN, PINJAMAN BANK & KREDIT
• Konvensi CEDAW diadopsi PBB tanggal 18 Desember 1979;
disetujui 130 negara.
• CEDAW singkatan dari : COMMITTEE ON THE ELIMINATION OF
DISCRIMINATION AGAINST WOMEN atau sering disebut
CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF
DISCRIMINATION AGAINST WOMEN (CEDAW)
CEDAW SEBAGAI INSTRUMEN HAM
INTERNASIONAL
• CEDAW adalah perjanjian Internasional tentang
perempuan yang komprehensif, menetapkan kewajiban
hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi
terhadap perempuan.
• CEDAW merupakan instrumen hukum internasional
pertama yang menetapkan arti diskriminasi terhadap
perempuan
• Perjanjian Internasional yang menegaskan HAK
REPRODUKSI PEREMPUAN
• Dibangun oleh 90% anggota atas laporan perempuan
dari seluruh dunia.
PRINSIP CEDAW
• Menetapkan perempuan memiliki hak sipil, politik, ekonomi,
sosial & budaya atas dasar kesetaraan dengan laki-laki tanpa
memandang status perkawinan.
• Menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah
pelanggaran HAM.
• Menyusun standar HAM perempuan
• CEDAW mewajibkan negara anggota untuk melindungi,
mempromosikan & memenuhi HAM perempuan
• Memasukkan prinsip kesetaraan laki-laki & perempuan dalam
sistem hukum.
• Membentuk Pengadilan dan Lembaga Publik untuk
perlindungan yang efektif bagi perempuan terhadap
diskriminasi.
• Memastikan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan oleh perseorangan, organisasi dan perusahaan.
PASAL-PASAL CEDAW

• Preambul
• Pasal 1: Pengertian (definisi) Diskriminasi
• Pasal 2: Kebijakan yang harus diambil
• Pasal 3: Jaminan hak asasi perempuan & kebebasan pokok.
• Pasal 4: Peraturan-peraturan khusus untuk mencapai
persamaan
• Pasal 5: Peran gender & steriotip
• Pasal 6: Perdagangan perempuan & prostitusi
• Pasal 7: Kehidupan publik & politik
• Pasal 8: Partisipasi di lembaga-lembaga tingkat internasional
• Pasal 9: Kewarganegaraan
• Pasal 10: Hak yang sama Pendidikan
• Pasal 11: Hak yang sama dalam kesempatan kerja
Lanjutan…..
• Pasal 12: Kesehatan & Keluarga Berencana
• Pasal 13: Akses Ekonomi & Sosial
• Pasal 14: Perempuan pedesaan
• Pasal 15: Kesetaraan di muka hukum
• Pasal 16: Kehidupan perkawinan & keluarga
• Pasal 17: Komite CEDAW
• Pasal 18: Laporan Negara penandatangan
• Pasal 19: Prosedur
• Pasal 20: Pertemuan Komite
• Pasal 21: Laporan Komite
• Pasal 22: Peran Lmbaga-lembaga Khusus
• Pasal 23: Dampak dari pihak-pihak lain
• PASAL 24: Komitmen Negara
• PASAL 25-30: Administrasi dari Konvensi
PROTOKOL OPSIONAL KONVENSI CEDAW &
MAKNA PROTOKOL OPTIONAL

• Setelah ada CEDAW, pelanggaran Hak Asasi Perempuan (HAP)


terus terjadi secara luas.
• Untuk penegakan HAP, tahun 1999 dibentuk OPTIONAL
PROTOCOL untuk CEDAW
Makna Protokol Optional :
1. Memberi hak kepada perempuan secara perseorangan atau
kelompok untuk mengadu kepada Komite CEDAW setelah
proses nasional tidak berhasil.
2. Memberi kemungkinan kepada Komite CEDAW untuk
melakukan penyelidikan atas perlakuan tidak senonoh yang
serius dan sistematis setelah mendapat persetujuan negara
yang bersangkutan.
LANJUTAN MAKNA PROTOKOL OPSIONAL …

3. Merupakan forum pengaduan dan jalan bagi perempuan


untuk mendapat pertolongan atas pelanggaran HAP yang
mereka alami.
4. Memperbaiki & menambah mekanisme yang sudah ada untuk
penegakan HAP.
5. Memperbaiki pemahaman negara & individu tentang
Konvensi CEDAW.
6. Mendorong adanya perubahan hukum & praktek hukum dari
diskriminatif menuju kesetaraan antara laki-laki &
perempuan.
7. Mendorong negara untuk melaksanakan ketentuan Konvensi
8. Meningkatkan mekanisme yang sudah ada untuk
melaksanakan HAM dalam sistemPBB.
9. Menetapkan kesadaran yang lebih besar dari masyarakat
tentang standar HAM yang berhubungan dengan
diskriminasi terhadap perempuan.
CEDAW DALAM KONTEKS INDONESIA &
KONSEKUENSI RATIFIKASI

• Undang-undang Dasar1945 menyatakan bahwa setiap warga


negara memiliki status, hak, kewajiban & kesempatan yang
setara dalam keluarga dan masyarakat.
• Indonesia menandatangani CEDAW 29 Juli 1980
• Indonesia meratifikasi melalui Undang-undang No.7 Tahun
1984, pada tanggal 24 Juli 1984
• Indonesia menandatangani Optional Protocol tahun 2000.
• Pemerintah harus memperbaiki, merevisi, merumuskan &
menciptakan berbagai peraturan nasional yang lebih menjamin
implementasi dari kesetaraan status, hak dan kewajiban,
kesempatan dan peran antara laki-laki & perempuan di dalam
pemerintahan, keluarga dan masyarakat
• Indonesia mengambil RESERVASI Pasal 29 (1).
KESENJANGAN IMPLEMENTASI CEDAW :
1. Dalam Hukum & Kebijakan :
a. Definisi diskriminasi dalam hukum nasional tidak jelas
b. Ada hukum yang tidak sesuai dengan CEDAW;
c. Hukum yang membatasi tetap digunakan, dengan
menekankan pada nilai-nilai tradisional, budaya dan agama.

2. Tatanan & prosedur Kelembagaan :


a. Badan-badan negara sering tidak memprioritaskan isu HAM
& Hak Asasi Perempuan (HAP) atau tidak memiliki
pengetahuan tentang HAM & HAP
b. Terbatasnya keahlian menggunakan CEDAW sebagai standar
untuk memajukan HAP
c. Kebijakan otonomi daerah cenderung berbalik mengekalkan
diskriminasi terhadap perempuan.
d. Tidak ada sistem pemantauan tentang situasi HAP, jadi tidak
ada data akurat tentang isu diskriminasi gender.
LANJUTAN……….

3. Faktor- faktor budaya :


a. Indonesia memiliki penduduk dengan beragam
budaya, agama dan tradisi yang kadang bertentangan
dengan standar HAM & HAP
b. Sistem nilai budaya sering mengikat perempuan dan
peran steriotip yang membatasi akses dan partisipasi
perempuan dalam pengambilan keputusan.
c. Perempuan sendiri tidak menyadari hak-haknya atau
bagaimana cara mendapatkan hak-hak itu.
MEKANISME PELAPORAN & PENGALAMAN
LAPORAN PEMERINTAH INDONESIA

• Komite CEDAW, merupakan kelompok ahli yang independen


sebanyak 23 orang, dipilih oleh anggota Komite CEDAW
dengan pemungutan suara.
• Laporan disampaikan oleh negara anggota CEDAW, setiap 4
tahun sekali kepada komite CEDAW.
• Komite mendorong adanya laporan bayangan (shadow report)
dari kelompok masyarakat sipil negara yang bersangkutan.
• Representasi negara dipanggil untuk ditanya tentang laporan.

Di Indonesia laporan pertama dibuat tahun 1987


Pada tahun 1988 Indonesia dipanggil komite, selanjutnya
laporan dibuat setiap 4 tahun sekali.
Shadow report pernah dibuat oleh masyarakat sipil Indonesia
tahun 1998.
Selanjutnya report tentang pemajuan perempuan di Indonesia
dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPA).
TANGGAPAN KOMITE TERHADAP LAPORAN
AWAL INDONESIA

• Komite menyatakan keprihatinan karena laporan tidak


menunjukkan kebijakan yang ditujukan pada pemajuan
perempuan, tetapi menekankan perempuan sebagai
ibu rumah tangga.
• Komite menanyakan adanya statistik tentang
kekerasan dan langkah-langkah untuk menjadikan
tindak perkosaan dalam perkawinan sebagai tindak
pidana.
• Komite menyatakan bahwa Undang-undang tidak
memberikan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan dalam perkawinan & diskriminasi terhadap
anak-anak di luar perkawinan.
SEJARAH GERAKAN PEREMPUAN
DI INDONESIA
1. MASA SEBELUM KEMERDEKAAN MASA KOLONIALISME BELANDA
Gerakan perempuan muncul karena kesadaran untuk mendapatkan
keadilan. Faktor yang mempengaruhi : peristiwa politik, banyaknya
perempuan yang berpendidikan, perekembangan industri, gerakan
kemerdekaan, gerakan perbaikan moral dalam masyarakat dan pengaruh
dunia luar (barat). Keterlibatan perempuan dalam perjuangan dilakukan
sejak abad XIX yang terintegrasi dengan peperangan melawan
kolonialisme yang melahirkan nama-nama besar Cut Nyak Dien, Christina
Martha Tiahahu, Nyut Mutia dan Nyi Ageng Serang.
Pada abad XIX muncul nama RA Kartini, berupa semangat untuk maju
melalui dunia pendidikan, inilah yang mendasari nasionalisme abad XX.
Pendidikan yang dikehendaki adalah pendidikan model barat yang diikuti
oleh kalangan elit bangsawan, karena kelompok ini yang diberi
kesempatan oleh pemerintah kolonial. Selanjutnya organisasi perempuan
bermunculan untuk memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat, mempertahankan budaya asli dan melawan
budaya barat yang dianggap tidak sesuai. Pada tahun 1915 organisasi
Poetri Mahardika menyampaikan mosi pada Gubernur Jenderal agar laki-
laki dan perempuan diperlakukan sama di depan hukum.
Lanjutan......
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 erempberkaitan erat dengan Konggres
Perempuan I 22 Desember 1928. Konggres ini dijiwai oleh semangat
persatuan nasional dan melahirkan federasi organisasi perempuan
bernama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Pada
tahun 1929 PPPI berubah menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia
(PPII) dan memperjuangkan 4 bidang hak perempuan :
a. Bidang keltik.uarga dan pendidikan : memperjuangkan kedudukan
perempuan dalam perkawinan Islam, perlindungan perempuan & anak
dalam perkawinan, mencegah perkawinan dini, pemberian bea siswa
bagi anak perempuan.
b. Bidang perburuhan perempuan, pada tahun 1935 terbentuk Badan
Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan, dilatarbelakangi nasib
buruk buruh perempuan di industri batik.
c. Pemberantasan perdagangan perempuan dengan cara menebus
utang orang tua pada pedagang Tionghoa yang dikenal dengan “cina
mindering”.
d. Bidang politik pada tahun 1941 menyatakan berasas kebangsaan,
membantu Gabungan Aksi Kemerdekaan Indonesia (GAKI) yang
bertujuan Indonesia berparlemen. PPII juga mengirim mosi pada
pemerintah Belanda untuk perempuan mempunyai hak dipilih di
parlemen
Lanjutan......
2. MASA PEMERINTAHAN JEPANG (1942-1945)
Pada masa ini semua organisasi termasuk organisasi perempuan
yang sudah ada dilarang dan dibubarkan. Dibentuk organisasi baru
bagi perempuan oleh pemerintah Jepang bernama Fujinkai. Kegiatan
di Fujinkai terbatas pada urusan perempuan dan kegiatan domestik
perempuan (membuat keterampilan), kurus buta huruf dan menghibur
tentara yang sakit. Bagi organisasi perempuan yang tidak mau tunduk
dalam Fujinkai bergerak di bawah tanah bekerja secara sembunyi-
sembunyi (gerakan non-kooperatif). Gerakan non kooperatif ini
menyusup pada Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang berskala nasional
berada di bawah pimpinan bung Karno, terutama di kota besar. Putera
memiliki bagian (devisi) perempuan yang bertugas memperhatikan
kepentingan-kepentingan perempuan dan menyediakan makanan
sehat dalam masa perang.
Di sisi lain Jepang membentuk pasukan tempur perempuan yang
disebut “Barisan Skrikandi”, anggotanya perempuan muda berusia
15-20 tahun, belum menikah, mereka maju berperang membela tentara
Jepang.
Lanjutan.......
3. Masa Kemerdekaan
Kemerdekaan Indonesia,yang diproklamasikan pada 17 Agustus
1945 tidak lama dinikmati karena kedatangan tentara sekutu yang
diboncengi Belanda, tentara NICA. Dalam suasana ini perempuan
bergerak di Jakarta dibentuk Wanita Republik Indonesia (WANI).
Mereka menyediakan dapur umum dan menangani korban
kebakaran di kampung-kampung yang dibakar NICA, menjahit
pakaian seragam gerilyawan dan bendera Merah Putih. Para
perempuan mendirikan Tugu Kemerdekaan di halaman
Pegangsaan Timur No.56 (tempat proklamasi kemerdekaan RI),
merayakan ulang tahun I kemerdekaan RI, meski dihalangi tentara
sekutu. Di kota-kota lain dibentuk laskar-laskar perempuan yang
dulu memperoleh latihan Jepang. Yang terkenal adalah Laskar
Wanita Indonesia (LASWI) di Bandung, Barisan Poetri di Jakarta,
Laskar Poetri Indonesia di Surakarta (Solo), Wanita Pembantu
Perjuangan di Yogyakarta, Laskar Muslimat di Bukit Tinggi, Sabil
Muslimat di Padang Panjang. Laskar sejenis juga terbentuk di
beberapa kota seperti Magelang, Madiun, Padang, Solok,
Sawahlunto dan adanya pelajar wanita yang menggabungkan diri
pada Tentara Pelajar dan Corps Mahasiswa.
Lanjutan......
Pada bulan Desember 1945 beberapa bulan setelah kemerdekaan RI,
dilaksanakan Konggres I di Klaten, saat itu lahir Persatuan Wanita Indonesia
(Perwani) dan Wanita Negara Indonesia (Wani) yang kemudian dilebur
menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).
Selanjutnya pada Februari 1946, Konggres Wanita Indonesia (Kowani) di Solo,
disusul Juni 1946 konggres V di Madiun, pada saat itu Kowani memtuskan
untuk berhubungan dengan luar negeri dan masuk menjadi anggota
Women`s International Democratic Federation (WIDF), program kerjanya tidak
hanya meliputi pembelaan negara tetapi juga bidang sosial, politik dan
pendidikan sesuai tuntutan perjuangan pada waktu itu yaitu mempertahankan
kemerdekaan RI.

4. Masa Tahun 1950- 1965 (masa Demokrasi Terpimpin)


Gerakan perempuan mencakup beberapa hal :
• Gerakan perempan terus berlanjut dan berkembang pesat, tidak hanya
berjuang menyelesaikan persoalan yang dihadapi perempuan saja, tetapi
juga meliputi bidang politik dan perempuan.
• Munculnya keberagaman gerakan perempuan, selain organisasi yang
berafiliasi pada partai politik, juga gerakan yang berasaskan agama,
organisasi sosial seperti organisasi istri Angkatan Bersenjata dan
organisasi profesi
Lanjutan.......
• Ruang gerak organisasi makin luas, tidak hanya lokal dan nasional
tetapi juga internasional. Ditandai dengan bergabungnya Kowani ke
WIDF.
• Meskipun beragam, gerakan perempuan dapat dikategorikan dalam 2
kelompok besar yaitu :
a. Organisasi perempuan yang kegiatannya dalam ranah kesejahteraan
seperti pendidikan, sosial ekonomi, “kewanitaan” dan kegiatan
karitatif. Anggota kelompok ini jauh lebih besar dari kelompok
berikutnya.
b. Organisasi yang tergabung dalam Kowani, organisasi berasakan
agama dan organisasi profesi. Meskipun demikian ciri domestik dan
karitatif tetap ada di kelompok ini. Ciri tersebut membedakan
organisasi perempuan dari organisasi umum yang didominasi oleh
laki-laki.
• Pada tahun 1955 perempuan Indonesia pertama kali mengikuti
pemilihan umum (pemilu). Pemilu tahun itu tercatat sebgai pemilu
yang paling demokratis dan berkualitas, sehingga sering dijadikan
acuan hingga sekarang. Perempuan yang dipilih dan masuk Parlemen
sebanyak 17 orang (7%) dari seluruh anggota yang berjumlah 255
orang.
Lanjutan.....
• Pada tahun 1958 di bidang politik ada catatan penting artinya bagi
gerakan perempuan, karena Indonesia meratifikasi Konvensi PBB
tentang hak politik perempuan dalam UU No. 68 Tahun 1958, dalam
Konvensi tersebut dinyatakan :
a. Pasal 1 : perempuan mempunyai hak untuk memberikan suaranya
dalam semua daerah pemilihan dengan syarat sama dengan laki-laki
tanpa diskriminasi.
b. Pasal 2 : perempuan akan dapat dipilih untuk pemilihan dalam semua
badan-badan pemilihan umum yang didirikan pada tingkat nasional
dengan syarat yang sama dengan laki-laki tanpa diskriminasi.
c. Pasal 3 : perempuan akan punya hak untuk menjabat jabatan umum
dan menjalankan semua tugas umum yang ditetapkan oleh hukum
nasional dengan syarat sama dengan laki-laki tanpa diskriminasi
• Gerakan perempuan terus berkembang pada masa Demokrasi
Terpimpin, organisasi perempuan diikutsertakan dalam berbagai
kegiatan untuk kepentingan negara seperti pembebasan Irian Barat
(adanya sukarelawati). Pada masa itu terbentuk Korps Wanita
Angkatan Darat (KOWAD) tahun 1961, Korps Wanita Angkatan Laut
(KOWAL), 1963 dan Korps Wanita Angkatan Udara (WARA) tahun
1963, sedang POLWAN sudah terbentuk tahun 1948.
Lanjutan.......
5. Gerakan Perempuan Pada Masa Orde Baru (Orba)
Pada awal masa Orba gerakan perempuan “dipolitisasi” melalui
dinyatakan sebagai GERWANI sebagai organisasi terlarang karena
dianggap terlibat dalam gerakan komunis. Sesudah itu gerakan
perempuan “dilemahkan” dalam kerangka pikir “ibuisme” yang
mengembalikan perempuan pada ranah domestik, pendamping setia
suami. Pelemahan terjadi melalui berbagai organisasi struktural yang
mewajibkan istri menunjang karir (politik) suami. Konsep “ibuisme”
pertama kali dikembangkan oleh Madelon Djajadiningrat-Neiuwenhuis
tahun 1987. Kemudian dikembangkan menjadi “ibuisme negara” (state
ibuism) oleh Yulia Suryakusuma. Ibuisme negara : perempuan sebagai
istri dari laki-laki pejabat kelas menegah bersikap tanpa pamrih melayani
suami, keluarga dan negara. Sebagai gantinya para istri pejabat tersebut
menjadi bos bayangan dari suami mereka dan mendominasi bawahan
suami beserta keluarganya. Dengan demikian kontrol negara
diberlakukan pada perempuan yang jumlahnya lebih dari setengah
penduduk Indonesia melalui 3 organisasi Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (PKK) ini diperuntukkan bagi perempuan yang bukan istri PNS,
Dharma Wanita untuk istri PNS dan Dharma Pertiwi untuk istri anggota
TNI dan Polisi. Ke 3 organisasi ini mengabdi pada program-program
Pemerintah dibawah koordinasi Menteri Negara Urusan Wanita.
Lanjutan.......
Gerakan organisasi perempuan bentukan pemerintah ini ditunjang oleh
Peraturan Pemerintah dan memiliki kekuatan dominan yang menyulitkan
daya hidup dan ruang gerak organisasi perempuan di luar ke-3 organisasi
di atas yang sebenarnya telah ada dan telah lama hidup di tengah
masyarakat.
Meskipun demikian organisasi perempuan di luar ke-3 organisasi di atas
tetap ada dan gerakan perempuan terpolarisasi dalam organisasi
pemerintah dan organisasi non pemerintah. Pengaruh gerakan
perempuan global tak terbendung sehingga sekitar tahun 1980 muncul
gerakan perempuan yang terwadahi dalam Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) yang sifat gerakan mereka berbeda dengan organisasi bentukan
pemerintah. Para tokoh perempuan yang tergabung dalam LSM ikut
dalam berbagai konferensi perempuan dunia yang melahirkan berbagai
kesepakatan dan perumusan instrumen hukum yang menjamin
kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Salah satu tokoh perempuan
itu adalah Ibu Suwarni Salyo yang menyumbang salah satu rumusan
pasal CEDAW, yaitu Pasal 14 yang merumuskan kewajiban negara untuk
melindungi perempuan pedesaan. Pada tahun 1984 Indonesia meratifikasi
CEDAW melalui UU No. 7 Tahun 1984.
LATAR BELAKANG WAWASAN GENDER DALAM
PEMBANGUNAN
PENGERTIAN :
• WAWASAN GENDER BERARTI MEMPERHATIKAN POSISI LAKI-
LAKI & PEREMPUAN DALAM SELURUH ASPEK
KEMAYARAKATAN UNTUK MENGIDENTIFIKASI POTENSI,
ASPIRASI, KEBUTUHAN PRAKTIS DAN STRATEGIS BAGI
LAKI-LAKI & PEREMPUAN.

Aspek gender dianalisa dalam semua sektor, baik mikro dan


makro, dalam struktur sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang
ada
• PENDEKATAN WAWASAN GENDER MENEKANKAN SALING
KETERGANTUNGAN RELASI GENDER DAN PENTINGNYA
BEKERJA ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI PADA
SEGALA TINGKATAN

Hal ini mengarah pada pembangunan yang adil dan


berkelanjutan sehingga perempuan dan laki-laki menjadi mitra
dalam proses pengambilan keputusan
Lanjutan…….
DALAM PROYEK PEMBANGUNAN,
WAWASAN GENDER DITERAPKAN PADA
SELURUH SIKLUS PROYEK UNTUK
MEMASTIKAN BAHWA DESAIN DAN
STRATEGI PELAKSANAAN PROYEK
MENJAWAB KEBUTUHAN DAN POTENSI
PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI, MAKA
BAIK LAKI-LAKI MAUPUN PEREMPUAN
AKAN BERPARTISIPASI SECARA
OPTIMAL
DALAM KONTEKS INTERNASIONAL ADA :
12 AREA KEPRIHATINAN PERSOALAN PEREMPUAN

PEREMPUAN & KEMISKINAN


PEREMPUAN & PENDIDIKAN + PELATIHAN
PEREMPUAN & KESEHATAN
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
PEREMPUAN DALAM KONFLIK BERSENJATA
KETIMPANGAN EKONOMI
PEREMPUAN DALAM POLITIK + KEPUTUSAN
HAM PEREMPUAN
MEKANISME INSTITUSIONAL
PEREMPUAN DALAM MEDIA
PEREMPUAN & LINGKUNGAN HIDUP
HAK ANAK PEREMPUAN
DI TINGKAT NASIONAL ADA 9 AREA
KEPRIHATIAN YANG MENJADI ISU STRATEGIS

1. Ekonomi (kemiskinan, sosial ekonomi)


2. Pendidikan
3. Kesehatan (AKI, kesehatan reproduksi, kesehatan
lingkungan, perumahan dan pemukiman).
4. Politik (kesadaran politik dan partisipasi perempuan di
bidang politik)
5. Kekerasan terhadap perempuan dan anak
6. Ketenagakerjaan (tenaga kerja perempuan dan anak)
7. Penyalahgunaan narkoba.
8. Eksploitasi seksual anak
9. Pengarusutamaan gender.
PENDEKATAN DALAM PEMBANGUNAN UNTUK PEREMPUAN
DARI KESEJAHTERAAN MENUJU PEMBERDAYAAN

Ada 3 pendekatan :
1. Pendekatan Women In Development (WID)
2. Pendekatan Women And Development
(WAD)
3. Pendekatan Gender And Development
(GAD)
PENDEKATAN WOMEN IN DEVELOPMENT (WID)
Pendekatan WID berpijak pada 2 sasaran :
1. Pentingnya prinsip egalitarian, yaitu bahwa semua orang sederajat,
antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan & derajat yang
sama sebagai mitra sejajar.
2. WID menitik beratkan pada pengadaan program yang dapat
mengurangi atau menghapuskan diskriminasi yang dialami
perempuan di sektor produksi. Sektor produksi identik dengan sektor
publik yang banyak didominasi oleh laki-laki. Ada anggapan yang
kuat bahwa peran-peran produktif hanya dapat dilakukan oleh laki-laki,
sedangkan perempuan lebih berperan dalam sektor domestik (rumah
tangga). WID membuat program intervensi untuk meningkatkan taraf
hidup keluarga melalui pendidikan, keterampilan dan kebijakan yang
dapat meningkatkan kemampuan perempuan untuk mampu
berpartisipasi dalam pembangunan. Menurut paham WID,
keterbelakangan perempuan problemnya terletak pada perempuan itu
sendiri, oleh karena itu diperlukan usaha untuk menggarap
perempuan melalui pendidikan, keterampilan dan kebijakan
pembangunan. Pendekatan WID berusaha mengintegrasikan
perempuan dalam pembangunan, artinya melibatkan perempuan
dalam proses pembangunan dalam memperoleh pendidikan,
pekerjaan dan lai-lain, sama dengan laki-laki
PENDEKATAN WOMEN AND DEVELOPMENT (WAD)
Women and Development, perempuan dan pembangunan, kata
penghubung “dan” menunjukkan pada pengertian kesejajaran antara
kata “perempuan” dan “pembangunan”. Kalau dalam WID
menekankan terintegrasikannya perempuan dalam pembangunan,
maka dalam WAD, lebih mengarah pada hubungan antara perempuan
dan proses pembangunan. Jadi setelah WID terimplementasi,
bagaimana hubungan (keterkaitan) antara perempuan dan proses
pembangunan, oleh karena itu masalahnya adalah bagaimana posisi
laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Pendekatan WAD lebih
kritis daripada WID, tetapi WAD belum dapat menjawab hubungan
patriarkhi yang terjadi dalam corak produksi masyarakat. WAD akan
berhasil menaikkan peran perempuan apabila ditunjang oleh struktur
politik yang lebih stabil dan merata, baik dalam skala nasional
maupun internasional. Implementasi pendekatan WAD, dititik beratkan
pada pengembangan kegiatan peningkatan pendapatan bagi
perempuan, tanpa memperhatikan unsur waktu yang digunakan
perempuan. Kegiatan yang dilakukan perempuan berada di luar tugas
dan tanggung jawab domestik, oleh karena itu implementasinya
adalah ukuran produktivitas perempuan baik secara kesempatan
maupun kemampuan yang dmilikinya dalam ranah ekonomi dan politik
negara.
PENDEKATAN GENDER AND DEVELOPMENT (GAD)

Bila pendekatan WID dan WAD, berorientasi pada kesederajatan antara


laki-laki dan perempuan pada aspek sosial dan politik, maka
pendekatan GAD, lebih menekankan pada orientasi hubungan sosial.
Seperti telah kita ketahui bahwa gender dimaknai sebagai hubungan
sosial (peran) laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
dan budaya dan dalam kenyataannya perempuan berada dalam
hubungan yang tersubordinasi dengan laki-laki. Kenyataan ini
menurut GAD merupakan penyebab penindasan pada perempuan.
Pandangan bahwa perempuan cenderung diartikan pada peran
domestik dan bukan sektor publik menyebabkan ditempatkannya
perempuan pada posisi yang tersubordinat (selalu di bawah laki-laki).
Untuk mengetahui posisi perempuan dalam masyarakat perlu ditinjau
kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam masyarakatnya. Bila
perempuan dalam masyarakatnya merupakan “agent of change” atau
agen perubahan dan tidak sekedar menjadi obyek pembangunan, atau
hanya sekedar penerima program pembangunan secara pasif, maka
akan ada kesetaraan dan keadilan gender. Dengan demikian GAD,
tidak sekedar menjawab kebutuhan praktis perempuan (pendidikan,
keterampilan, pekerjaan) saja, tetapi juga menjawab kebutuhan
strategis perempuan, yakni memperjuangkan perubahan posisi
perempuan dalam masyarakat menjadi sederajat dengan laki-laki.
PENTINGNYA ANALISIS GENDER

Menggunakan gender sebagai suatu alat analisis untuk


memandang atau mempelajari fenomena sasial budaya

MENEMUKAN

KESENJANGAN MASALAH PERBEDAAN

TUJUANNYA

• Mengidentifikasi kesenjangan gender dari aspek peran,


akses, kontrol dan manfaaf
• Menghimpun masalah/penyebab kesenjangan gender (isu
gender)
• Menentukan langkah-langkah intervensi/rencana aksi yang
responsif gender.
PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG)
GENDER MAINSTREAMING
Di Indonesia dasarnya : INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang PUG
dalam Pembangunan Nasional
Strategi untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender dalam pembangunan (pembangunan yang
responsif gender)

Aspek gender terintegrasi dalam perumusan


kebijakan, program dan kegiatan pembangunan,
dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, serta
pengendaliannya. Artinya laki-laki dan perempuan
mempunyai kesetaraan dalam merumuskan
kebijakan, program dan kegiatan pembangunan,
melaksanakannya dan menikmati hasil-hasil
pembangunan.
Lanjutan

Secara ekplisit Indonesia telah menyepakati hasil Konggres


Perempuan Sedunia ke IV di Beijing pada tahun 1995 untuk
melaksanakan Gender Mainstreaming, Pengarusutamaan Gender yang
disingkat PUG

Dalam Lampiran Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, PUG adalah :


strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu
dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program nasional.

Tujuan :
PUG bertujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
PRINSIP-PRINSIP PENERAPAN
PENGARUSUTAMAAN GENDER DI INDONESIA

a. Menghargai keragaman dan pluralitas : artinya menerima


keragaman etnis, budaya, agama, ras dan adat istiadat, karena
bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari terdiri dari
berbagai suku bangsa, agama dan adat istiadatyang merupakan
kekayaan potensial dan keragaman yang perlu dipertahankan di
dalam pengarusutamaan gender tanpa harus
mempertentangkan keberagaman tersebut.
b. Bukan pendekatan dikotomis : pendekatan tidak bersifat hitam
putih, tetapi melihat persoalan dari berbagai sudut kepentingan,
baik kepentingan laki-laki maupun kepentingan perempuan.
c. Melalui proses kemampuan sosialisasi dan advokasi :
pelaksanaan PUG tidak semudah membalik telapak tangan,
pelaksanaannya harus penuh pertimbangan melalui proses
sosialisasi dan advokasi yang tidak bertentangan dengan
kepentingan masyarakat
d. Menjunjung nilai HAM dan demokrasi, sehingga diterima oleh
seluruh lapisan masyarakat.
APA KEUNTUNGAN
MENYELENGGARAKAN PUG ?
• Laki-laki & perempuan memperoleh akses yang sama
pada sumberdaya pembangunan ;
• Laki-laki & perempuan berpartisipasi yang sama
dalam proses pembangunan, termasuk proses
pengambilan keputusan ;
• Laki-laki & perempuan memiliki kontrol yang sama
atas sumber daya pembangunan; dan
• Laki-laki & perempuan memperoleh manfaat yang
sama dari hasil pembangunan.
KOMPONEN KUNCI PUG

1. Harus ada data terpilah menurut jenis kelamin yang menunjukkan


kuantitas dan kualitas secara gender.
2. Perangkat & kerangka analisis : adanya perangkat dan kerangka yang
digunakan untuk menganalisis aspek gender dalam perencanaan dan
pelaksana pembangunan.
3. Partisipasi masyarakat; adanya keterlibatan masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan.
4. Kemampuan dan keterampilan; ada upaya untuk membekali
masyarakat, khususnya kelompok rentan dan marginal dengan
ketrampilan- keterampilan baru agar ada inisiatif untuk pengembangan
diri dalam masyarakat. Disisi lain pemerintah juga harus
mengembangkan diri dalam kemampuan isu (masalah) dan manajerial
untuk mendukung efektifitas dan hasil pembangunan yang adil.
5. Perubahan kesadaran dan sensitifitas; adanya perubahan kesadaran
dan kepekaan dalam diri pengambil kebijakan, sehingga kebijakan
yang diarencanakan dan dilaksanakan dapat mewujudkan keadilan
gender.
HAMBATAN DAN TANTANGAN

1. Masih kuatnya budaya patriakhi.


2. Masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan
3. Belum tersedianya data pembangunan terpilah menurut jenis
kelamin sehingga sulit menentukan masalah-masalah gender
yang ada.
4. Belum adanya mekanisme yang sistematis untuk menyusun
kebijakan khusus sementara (affirmative action)
5. Belum maksimalnya anggaran yang disediakan sektor pusat
dan daerah untuk mengatasi kesenjangan gender dan
program-program pemberdayaan perempuan dan keadilan dan
kesetaraan gender (KKG)
6. Belum adanya mekanisme pengumpulan data dan statistik
yang berdasarkan jenis kelamin dan isu (masalah atau
persoalan) gender.
Lanjutan……

Di Bidang Pendidikan :
Kurangnya Data dan Informasi baik kuantitatif maupun
kualitatif tentang Data Terpilah (data angka laki-laki dan
perempuan) terhadap penyebab Buta Aksara, rendahnya
rata-rata lama Sekolah, masih relatif rendahnya Akses dan
Partisipasi Perempuan terhadap Informasi dan Teknologi
(IT)

Di Bidang Kesehatan :
Hambatan yang dialami baik dalam upaya percepatan penurunan
AKI, AKB, pemberian ASI, pencegahan penyalahgunaan NAPZA dan
penyebaran HIV/AIDS pada perempuan . Adanya masalah yang
terkait dengan Tata Nilai Sosial & Penafsiran Ajaran Agama dalam
sebagian masyarakat yang belum sejalan dengan Kesetaraan dan
Keadilan Gender (KKG) serta masih rendahnya partisipasi laki-laki,
keluarga & masyarakat dalam penghormatan dan pemenuhan Hak
Reproduksi Perempuan.
Lanjutan……

Di Bidang Ekonomi :
• Rendahnya pendidikan perempuan dan masih
terbatasnya lapangan kerja formal bagi perempuan.
• Masih adanya anggapan umum dalam masyarakat bahwa
peran perempuan adalah di ruang domestik (rumah
tangga) dan pendapatan perempuan dianggap sebagai
tambahan pendapatan keluarga, sehingga perempuan
mendapat bagian pekerjaan yang sifatnya marginal, tidak
permanen dan berubah-ubah.

Di Bidang Partisipasi Politik :


• Masih adanya pimpinan Parpol yangg belum responsif
gender, sehingga masih cenderung menempatkan
perempuan bukan pada posisi yang mempunyai jaminan
terpilih sebagai anggota Legislatif.
• Masih terbatasnya posisi & peran perempuan yang duduk
di jabatan Eselon I dan Eselon II sebagai penentu
kebijakan.
Lanjutan…..
Di Bidang Sosial Budaya dan Lingkungan :
• Kuatnya “Budaya Patriarkhi” yang tumbuh dalam masyarakat
serta adanya stereotype yang membedakan peran perempuan
atas Ranah Publik dan Domestik yang seringkali menghambat
kemajuan khususnya dalam upaya peningkatan kualitas
hidupnya.
• Kurangnya pemanfaatan terhadap Kearifan Lokal yang ada
dalam masyrakat, (Tokoh masyarakat/toma, Tokoh agama/toga,
serta tokoh Adat) dalam menggali informasi dan pengumpulan
data yang berkaitan dengan pemanfaatan nilai-nilai Kearifan
Lokal yang konstruktif ataupun permisif bagi kemajuan
perempuan.
SOLUSI (PEMECAHAN) UNTUK MENGHILANGKAN
HAMBATAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG)

1. MERUBAH SIKAP DAN PERILAKU ANGGOTA KELUARGA


TERUTAMA LAKI-LAKI / SUAMI YANG MENGHAMBAT
PEMBANGUNAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN (PKHP).
2. MENINGKATKAN KESADARAN, PENGETAHUAN DAN
KEPEDULIAN PEREMPUAN TERHADAP BERBAGAI
PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KUALITAS HIDUP
PEREMPUAN (PKHP)
3. PENINGKATKAN KEPEDULIAN DAN PERAN SEMUA LEMBAGA
BAIK PEMERINTAH MAUPUN NON PEMERINTAH SERTA
ANGGOTA MASYARAKAT DALAM UPAYA PKHP
Lanjutan……L
jutan

4. MENGEMBANGKAN SISTEM PENDATAAN DAN PEMUTAKIRAN


DATA SASARAN PROGRAM DI TINGKAT DESA
5. MEMBENTUK DAN MENGEMBANGKAN DAERAH-DAERAH
PERCONTOHAN SEBAGAI MODEL GERAKAN FASILITASI PKHP
SECARA MENYELURUH, UTUH, TERKOORDINASI, TERPADU
DAN BERKELANJUTAN DI MASING-MASING PROPINSI SECARA
BERTAHAP
6. MELAKUKAN PEMANTAUAN, EVALUASI DAN KAJIAN
TENTANG PERKEMBANGAN DAN KEBERHASILAN PROGRAM
BESERTA PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA DENGAN
PENDEKATAN “ BENAH SAMBIL JALAN “
Pengarusutamaan Gender di Daerah
PERMENDAGRI No. 15 Th 2008 Jo. No. 67 Th 2011

Maksud :
Memberikan pedoman kepada Pemerintah Daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan
dan pelayanan masyarakat yang berperspektif gender.
Tujuan :
a. Memberikan acuan bagi aparatur Pemda dalam
menyusun strategi pengintegrasian gender yang
dilakukan melalui perencanaan, pelaksanaan,
penganggaran, pemantauan dan evaluasi atas
kebijakan, program dan kegiatan pembangunan daerah.
b. Mewujudkan perencanaan berperspektif gender melalui
pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan,
potensi dan penyelesaian permasalahan laki-laki dan
perempuan.
Lanjutan…..

c. Mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam


kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
d. Mewujudkan pengelolaan anggaran daerah yang
responsif gender.
e. Meningkatkan kesetaraan dan keadilan dalam
kedudukan, peranan dan tanggung jawab laki-laki dan
perempuan sebagai insan dan sumber daya
pembangunan.
f. Meningkatkan peran dan kemandirian lembaga yang
menangani pemberdayaan perempuan.
Lanjutan….

1. Pengarusutamaan gender di daerah adalah strategi yang


dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi laki-laki dan
perempuan.
2. Pemerintah Daerah berkewajiban menyusun kebijakan, program
dan kegiatan pembangunan responsif gender yang dituangkan
dalam RPJMD, rencana strategis SKPD dan rencana kerja SKPD.
3. Penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan
responsif gender dilakukan melalui Alur Kerja Analisis Gender
(Gender Analisys Pathway) atau metode analisis lain.
4. Dalam melakukan analisis gender dapat menggunakan metode
alur kerja analisis gender atau metode analisis lain.
5. Analisis gender terhadap rencana kerja dan anggaran SKPD
dilakukan oleh masing-masing SKPD.
6. Pelaksanaan analisis gender terhadap RPJMD, renstra SKPD,
rencana kerja SKPD dan rencana anggaran SKPD dapat
bekerjasama dengan lembaga perguruan tinggi atau pihak lain
yang memiliki kapabilitas di bidangnya.
Lanjutan….

7. Hasil analisis gender tersebut dituangkan dalam


penyusunan Gender Budget Statement (GBS).
8. Hasil analisis gender yang terdapat dalam GBS
menjadi dasar SKPD dalam menyusun kerangka
acuan kegiatan dan merupakan bagian yang yang tak
terpisahkan dengan dokumen RKA/DPA SKPD.

Note :
GBS adalah dokumen yang menginformasikan suatu
output kegiatan telah responsif gender terhadap isu
gender yang ada dan/atau suatu biaya telah
dialokasikan pada output kegiatan untuk menangani
permasalahan kesenjangan gender.
PENTINGNYA KOMITMEN NASIONAL
DALAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DI DAERAH MELALUI PUG

1. Meningkatkan status, posisi dan kondisi perempuan agar dapat


mencapai kemajuan yang setara dengan laki-laki.
2. Mewujudkan ‘Kesetaraan dan Keadilan Gender’ (KKG)
3. Meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan dalam
kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
4. Berdasar Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000, Mengintruksikan
kepada seluruh Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi
Negara, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, dan
Gubernur, dan Bupati/Walikota untuk melaksanakan PUG.
KOORDINASI DALAM PELAKSANAAN PUG

• Bappeda mengkoordinasikan penyusunan


RPJMD, Renstra SKPD, Rencana Kerja dan
Anggaran SKPD yang responsif gender.
• Rencana kerja dan anggaran SKPD yang
responsif gender ditetapkan dengan peraturan
gubernur, bupati/walikota.
• Gubernur menetapkan SKPD yang membidangi
tugas pemberdayaan perempuan sebagai
koordinator penyelenggaraan pengarusutamaan
gender di propinsi.
INSTITUSI PENANGGUNG JAWAB PUG
DI TINGKAT PROPINSI & KABUPATEN/KOTA
• Di tingkat propinsi yang bertanggung jawab gubernur dengan dibantu
wakil gubernur.
• Di tingkat kabupaten/ kota yang bertanggung jawab bupati/walikota, tetapi
bisa dilimpahkan kepada wakil bupati/ wakil walikota.
• Dalam rangka percepatan pelembagaan PUG di seluruh SKPD baik di
tingkat propinsi maupun kabupaten/kota dibentuk POKJA PUG.
• Pembentukan POKJA PUG Propinsi ditetapkan dengan Keputusan
Gubernur sedang pembentukan POKJA PUG Kabupaten/Kota ditetapkan
dengan Keputusan Bupati/Walikota.
• Ketua POKJA PUG Propinsi dijabat oleh Ketua Bappeda sedangkan Kepala
Sekretariat POKJA PUG Propinsi dijabat oleh Kepala SKPD yang
membidangi tugas pemberdayaan perempuan.
• Ketua POKJA PUG Kabupaten/Kota dijabat oleh Ketua Bappeda
sedangkan Kepala Sekretariat POKJA PUG Kabupaten/Kota dijabat oleh
Kepala SKPD yang membidangi tugas pemberdayaan perempuan.
• Anggota POKJA PUG Propinsi adalah kepala/pimpinan SKPD di tingkat
propinsi sedang anggota POKJA PUG Kabupaten/Kota adalah kepala/
pimpinan SKPD di tingkat kabupaten/kota.

TUGAS POKJA PUG PROPINSI DAN
POKJA KABUPATEN KOTA

1. Mempromosikan & memfasilitasi PUG kepada masing-masing


SKPD di tingkat propinsi atau kabupaten/kota.
2. Melaksanakan sosialisasi & advokasi PUG kepada pemerintah
kabupaten/kota untuk POKJA PUG Propinsi, sedang POKJA PUG
Kabupaten/Kota melaksanakan sosialisasi & advokasi PUG di
tingkat kecamatan, desa atau kelurahan.
3. Menyusun program kerja setiap tahun.
4. Mendorong terwujudnya anggaran yang berperspektif gender.
5. Menyusun rencana kerja POKJA PUG setiap tahun.
6. Bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Wakil Gubernur untuk
POKJA PUG tingkat Propinsi, sedangkan di tingkat kabupaten/kota
bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui wakil
bupati/wakil walikota.
Lanjutan……

7. Merumuskan rekomendasi kebijakan kepada Gubernur atau


kepada Bupati/Walikota.
8. Memfasilitasi SKPD atau Unit Kerja yang membidangi pendataan
untuk menyusun Profil Gender untuk tingkat propinsi atau
kabupaten/kota.
9. Melakukan pemantauan pelaksanaan PUG di masing-masing
instansi.
10. Menetapkan tim teknis untuk melakukan analisis terhadap
anggaran daerah.
11. Menyusun Rencana Aksi Daerah (RANDA) PUG di tingkat
propinsi atau kabupaten/kota.
12. Mendorong dilaksanakannya pemilihan dan penetapan Focal
Point Gender di masing-masing SKPD.
MUATAN RENCANA AKSI DAERAH (RANDA)

a. PUG dalam Perda yang dibuat Pemda Propinsi atau


Kabupaten/Kota.
b. PUG dalam siklus pembangunan di daerah.
c. Penguatan kelembagaan PUG di daerah.
d. Penguatan peran serta masyarakat di daerah.

RANDA ini harus dibuat oleh tim teknis yang


beranggotakan aparatur yang memahami analisis
anggaran yang berperspektif gender.
FOCAL POINT PUG & TUGASNYA

1. Focal Point PUG adalah aparatur SKPD yang mempunyai kemampuan


untuk melakukan pengarusutamaan gender di unit kerjanya masing-
masing.
2. Focal Point PUG terdiri dari pejabat dan/atau staf yang membidangi tugas
pemberdayaan perempuan.
3. Pelaksanaan tugas focal point PUG dikoordinir oleh pejabat pada setiap
SKPD yang membidangi tugas pemberdayaan perempuan.
4. Focal Point PUG dipilih dan ditetapkan oleh kepala/pimpinan SKPD.
5. Tugas Focal Point PUG adalah :
a. mempromosikan PUG pada unit kerja.
b. memfasilitasi penyusunan Rencana Kerja dan penganggaran SKPD yang
responsif Gender.
c. melaksanakan pelatihan, sosialisasi, advokasi pengarusutamaan gender
kepada seluruh pejabat dan staf di lingkungan SKPD.
d. melaporkan pelaksanaan PUG kepada pimpinan SKPD.
e. mendorong pelaksanaan analisis gender terhadap kebijakan, program
dan kegiatan pada unit kerja.
f. memfasilitasi penyusunan data gender pada masing-masing SKPD.
PELAPORAN PEMANTAUAN & EVALUASI PUG

PELAPORAN
Setelah PUG dilaksanakan, laporannya dilakukan secara berjenjang :
1. Bupati/Walikota menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepada
Gubernur secara berkala setiap 6 bulan.
2. Gubernur menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepada Menteri Dalam
Negeri secara berkala setiap 6 bulan dengan tembusan kepada Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
3. Menteri Dalam Negeri menyampaikan laporan pelaksanaan PUG kepada
Presiden secara berkala setiap akhir tahun.

Materi Laporan meliputi :


a. Pelaksanaan program dan kegiatan.
b. Instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan.
c. Sasaran kegiatan.
d. Penggunaan anggaran yang bersumber dari APBN, APBD atau sumber
lain.
e. Permasalahan yang dihadapi.
f. Upaya yang telah dilakukan.
Lanjutan…… PEMANTAUAN & EVALUASI

1. Gubernur, Bupati/Walikota melakukan pemantauan dan evaluasi


pelaksanaan PUG.
2. Pemantauan dan evaluasi dilakukan pada setiap SKPD dan secara
berjenjang.
3. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG dilakukan sebelum
diadakannya penyusunan program atau kegiatan untuk tahun
berikutnya (tahun mendatang).
4. Bappeda melakukan evaluasi secara makro terhadap pelaksanaan
PUG berdasarkan RPJMD dan Renja SKPD.
5. Pelaksanaan evaluasi dapat dilakukan melalui kerjasama dengan
Perguruan Tinggi, Pusat Studi Wanita atau Lembaga Swadaya
Masyarakat.
6. Hasil evaluasi pelaksanaan PUG menjadi bahan masukan dalam
penyusunan kebijakan, program dan kegiatan tahun mendatang.
PEMBINAAN

Di tingkat Pusat :
Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa melakukan
pembinaan umum terhadap pelaksanaan PUG di daerah
meliputi :
a. Pemberian pedoman dan panduan.
b. Penguatan kapasitas aparatur pemerintah daerah.
c. Penguatan kapasitas Tim Teknis Analisis PUG, POKJA
PUG Propinsi & Kabupaten/Kota.
d. Pemantauan pelaksanaan PUG antar susunan
pemerintahan.
e. Evaluasi pelaksanaan PUG
Lanjutan…….

Di tingkat Propinsi Gubernur melakukan pembinaan


terhadap pelaksanaan PUG yang meliputi :
a. Penetapan panduan teknis pelaksanaan PUG skala
propinsi.
b. Penguatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan,
konsultasi, advokasi dan koordinasi.
c. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG di
kabupaten/kota dan pada SKPD Propinsi.
d. Peningkatan kapasitas focal point dan POKJA PUG.
e. Strategi pencapaian kinerja.
Lanjutan……

Di tingkat Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota melakukan


pembinaan terhadap pelaksanaan PUG meliputi :
a. Penetapan panduan teknis pelaksanaan PUG skala
kabupaten/kota, kecamatan, desa/kelurahan.
b. Penguatan kapasitas kelembagaan melalui pelatihan,
konsultasi, advokasi dan koordinasi.
c. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG di desa
dan pada SKPD kabupaten/kota.
d. Peningkatan kapasitas focal point dan POKJA PUG.
e. Strategi pencapaian kinerja.
SEJARAH KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK (KPPA))
Kementerian yang menangani kepentingan perempuan mulai ada tahun 1978
dengan sejarah sebagai berikut :
• Tahun 1978-1983 Menteri Muda Urusan Peranan Wanita (MENMUD UPW)
dibawah menteri Ny. Lasijah Soetanto
• 1983-1987 Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW) dibawah
menteri Ny. Lasijah Soetanto
• Tahun 1987-1988 Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW)
dibawah menteri Ny. A. Sulasikin Murpratomo
• Tahun 1988-1993 Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW)
dibawah menteri Ny. A. Sulasikin Murpratomo
• Tahun 1993-1998 Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW)
dibawah menteri Ny. Mien Soegandi. Dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) 1993-1998 mengamanatkan pembangunan potensi sumber
daya nasional diarahkan menjadi kekuatan ekonomi, sosial, budaya, politik
dan keamanan yang nyata, didukung oleh SDM yang berkualitas yang
menguasai iptek dan kemampuan manajemen. Dengan demikian aspirasi
peranan dan kepentingan SDM termasuk perempuan sebagai penggerak
pembangunan nasional dipadukan dalam gerak pembangunan bangsa
melalui peran aktif dalam seluruh kegiatan pembangunan.
Lanjutan.......

• Tahun 1998-1999 Menteri Negara Peningkatan Peranan Wanita


(MENPERTA) dibawah Ny. Tuty Alawiyah AS
• Tahun 1999-2001 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
(Menneg PP) dibawah Ny. Khofifah Indar Parawangsa.
• Tahun 2001-2004 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
(Kementerian PP) dibawah Ny. Sri Redjeki Soemarjoto, SH.
• Tahun 2004-2009 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
(Kementerian Negara PP) Prof Dr Meutia Hatta Swarsono
• Tahun 2009-2014 Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan (Kementerian PP dan PA) dibawah Ny. Linda Amelia
Sari Gumelar S.IP.
• Tahun 2014-2019 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dibawah Prof. Dr Yohanna Susana Yembise Dip.
Apling MA.
KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN
(KOMNAS PEREMPUAN)
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2005

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pertama kali dibentuk


berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998 tentang Komisi
Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, kemudian diperbaharui dengan
Peraturan Presiden (Pelpres) No. 65 Tahun 2005.
Pelpres No. 65 Tahun 2005 mengatur :
Bab I
Pasal 1 : Pembentukan
Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap
perempuan serta penghapusan segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan
terhadap perempuan, dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Bab II Tujuan dan Asas
Pasal 2 :
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan bertujuan :
a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk
kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia
perempuan di Indonesia;
Lanjutan.......
b. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak
asasi manusia perempuan.

Pasal 3
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan berasaskan
Pancasila dan bersifat independen.
Bab III
Pasal 4 : Tugas
Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan mempunyai
tugas:
a. menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan;
b. melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai
instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak
asasi manusia perempuan;
Lanjutan........

Lanjutan Pasal 4
c. melaksanakan pemantauan, termasuk pencarian fakta dan
pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta
penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan
langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan;

d. memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga


legislatif dan yudikatif serta organisasi-organisasi masyarakat guna
mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan
kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia
serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia
perempuan;

e. mengembangkan kerja sama regional dan intemasional guna


meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan,
penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan.
Lanjutan......
Bab IV
Pasal 5 : Organisasi
Susunan organisasi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan terdiri dari:
a. Komisi Paripurna;
b. Badan Pekerja.
Pasal 6
Komisi Paripuma merupakan pemegang kekuasaan tertinggi
dalam Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Pasal 7
Komisi Paripurna mempunyai tugas :
a. melaksanakan tugas Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan yang ditetapkan;
b. menyusun dan menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan.
Lanjutan.....
Pasal 8 : keanggotaan
Susunan keanggotaan Komisi Paripuma terdiri dari:
a. Ketua;
b. Wakil Ketua; paling banyak 2 orang
c. Anggota; paling banyak 19 orang

Pasal 12
Keanggotaan Komisi Paripuma merupakan tokoh-tokoh
yang :
a. telah aktif memperjuangkan hak asasi manusia
dan/atau memajukan kepentingan perempuan;
b. mengakuiadanyamasalahketimpanganjender;
c. menghargai pluralitas agama dan ras/etnisitas dan
peka terhadap perbedaan kelas ekonomi;
d. peduli terhadap upaya pencegahan dan penghapusan
segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan
Indonesia.
Lanjutan......

Pasal 14 : Badan Pekerja


Badan Pekerja dipimpin oleh Sekretaris Jenderal.

Pasal 15
Badan Pekerja mempunyai tugas memberikan dukungan
staf, administrasi, dan pemikiran kepada Komisi
Paripurna dalam melaksanakan tugas Komisi Nasional
Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Pasal 16
Badan Pekerja terdiri dari paling banyak :
a. 5 (lima) Koordinator Bidang;
b. 5 (lima) Koordinator Sub Komisi.
DEKLARASI PENGHAPUSAN KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN

Diadopsi oleh :
MAJELIS UMUM PBB
20 Desember 1993 GA Res 48/104
ISI DEKLARASI
Majelis Umum
Menimbang mendesaknya pelaksanaan universal hak-hak dan prinsip-
prinsip tentang persamaan, keamanan, kebebasan, integritas dan martabat
manusia pada perempuan.

Memperhatikan, hak-hak dan prinsip-prinsip tersebut telah diakui dalam


perangkat-perangkat internasional, termasuk Deklarasi Umum tentang
HAM, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Kekejaman Lain, Perlakuan Hukuman
Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia.

Menimbang, bahwa efektivitas pelaksanaan Konvensi Penghapusan Segala


Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan akan mendukung penghapusan
kekerasan terhadap perempuan dan bahwa Deklarasi Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan yang dilampirkan pada resolusi ini akan
memperkuat dan melengkapi proses tersebut.
Lanjutan......
Menimbang bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah penghambat bagi
pencapaian persamaan, pembangunan dan perdamaian sebagaimana
dinyatakan dalam strategi Nairobi Menuju Masa Depan untuk Kemajuan
Perempuan yang merekomendasi seperangkat langkah tindak untuk
memberantas kekerasan terhadap perempuan, serta pelaksanaan menyeluruh
Konvensi Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan.

Menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan melanggar dan


menghalangi atau meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-
hak azasi manusia dan kebebasan pokok dan prihatin terhadap kegagalan yang
berkepanjangan dalam memberikan perlindungan dan meningkatkan hak-hak
dan kebebasan itu dalam hubungannya dengan kekersan terhadap perempuan.

Menimbang bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah perwujudan dari


ketimpangan hubungan kekuasaan antara kaum laki-laki dan perempuan
sepanjang sejarah yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap
perempuan oleh laki-laki dan menghambat kemajuan mereka dan bahwa
kekerasan terhadap perempuanmerupakan salah satu mekanisme sosial yang
krusial, yang memaksa perempuan ada dalam posisi subordinasi dibandingkan
dengan laki-laki.
Lanjutan........

Menimbang bahwa kelompok perempuan seperti perempuan dalam kelompok


minoritas, perempuan masyarakat adat, perempuan pengungsi, perempuan
migran, perempuan yang hidup di pedesaan atau pedalaman, perempuan
miskin, perempuan dalam Lembaga-lembaga Pemasyarakatan atau tahanan,
anak-anak perempuan cacat, perempuan lanjut usia dan perempuan dalam
situasi konflik bersenjata adalah kelompok yang paling rentan terhadap
kekerasan.

Memperhatikan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial 1991/81 tanggal 30 Mei


1991, Dewan merekomendasikan kerangka kerja bagi suatu perangkat
internasional yang akan merumuskan secara eksplisit masalah kekerasan
terhadap perempuan.

Menyambut peran yang dimainkan oleh gerakan perempuan dalam rangka


meningkatkan perhatian pada sifat, kepelikan dan luasnya masalah kekerasan
terhadap perempuan

Mengingat terbatasnya peluang perempuan untuk mencapai persamaan hukum,


sosial, politik dan ekonomi dalam masyarakat antara lain karena berlanjutnya
dan endemiknya kekerasan
Lanjutan.........
Mengakui bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, perlu ada suatu
definisi yang jelas dan menyeluruh tentang kekerasan terhadap perempuan,
suatu pernyataan tegas tentang hak-hak yang harus dipenuhi untuk menjamin
penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam segala bentuk, komitmen
negara sehubungan dengan tanggung jawabnya dan komitmen masyarakat
internasional secara luas pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan.

Dengan sungguh-sungguh menyatakan Deklarasi Penghapusan Kekerasan


Terhadap Perempuan sebagai berikut dan mendesak dilakukannya segala
upaya agar Deklarasi ini diakui dan dianut secara luas :

Pasal 1
Dalam Deklarasi ini yang dimaksud “kekerasan terhadap perempuan”
adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang baik yang terjadi di ranah publik atau dalam
kehidupan pribadi.
Lanjutan.........
Pasal 2
Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tetapi tidak
terbatas pada hal-hal sebagai berikut :
a. Tindak kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis terjadi dalam
keluarga termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual atas anak-
anak perempuan dalam keluarga, kekerasan yang berhubungan
dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat
kelamin perempuan dan praktik-praktik kekejaman tradisional lain
terhadap perempuan, kekerasan di luar hubungan suami istri dan
kekerasan yang berhubungan dengan eksploitasi.
b. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam
masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan seksual,
pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam lembaga-
lembaga pendidikan dan dimanapun juga, perdagangan perempuan
dan pelacuran paksa.
c. Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan atau
diabaikan oleh negara, di manapun terjadinya.
Lanjutan.....

Pasal 3
Perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan
HAM dan kebebasan azasi yang sama dalam bidang politik, ekonomi,
sosial,budaya, sipil atau bidang-bidang lainnya. Hak-hak tersebut
termasuk antara lain :
a. Hak atas kehidkupan;
b. Hak atas persamaan;
c. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi;
d. Hak atas perlindungan yang sama berdasar hukum;
e. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi
f. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun mental
yang sebaik-baiknya.
g. Hak atas pekerjaan yang layak dan kondisi kerja yang baik
h. Hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau kekejaman lain,
perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi atau
sewenang-wenang.
Lanjutan......

Pasal 4
Negara harus mengutuk kekerasan terhadap perempuan dan tidak
berlindung dibalik pertimbangan adat, tradisi atau keagamaan untuk
menghindari tanggung jawab untuk menghapuskannya. Negara
harus meneruskan dengan cara yang tepat dan tidak menunda-
nunda kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap
perempuan dan untuk tujuan itu harus :
a. Mempertimbangkan bagi yang belum melakukan, meratifikasi,
atau aksesi pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan atau menarik kembali
keberatan-keberatan terhadap Konvensi tersebut.
b. Menghentikan kebiasaan melakukan kekerasan terhadap
perempuan.
c. Melakukan usaha-usaha secara terus menerusuntuk mencegah,
mengusut dan sesuai dengan perundang-undangan nasional,
menghukum para pelaku kekerasan terhadap perempuan baik
yang dilakukan oleh negara maupun perorangan.
Lanjutan.....
Pasal 4
d. Mengembangkan sanksi-sanksi pidana, perdata, ketenagakerjaan,
administratif dalam perundangan-undangan nasional untuk
menghukum dan mengoreksi kesalahan-kesalahan yang telah
menyebabkan perempuan menjadi korban kekerasan; perempuan
yang mengalami kekerasan harus diberi akses kepada mekanisme
peradilan dan dijamin oleh perundang-undangan nasional untuk
memperoleh kompensasi yang adil dan efektif atas kerugian-kerugian
yang mereka derita; Negara juga harus memberikan informasi kepada
perempuan tentang hak-hak mereka dalam rangka memperjuangkan
tuntutan melalui mekanisme tersebut.

e. Mempertimbangkan kemungkinan untuk mengembangkan rencana


aksi nasional untuk meningkatkan perlindungan perempuan dari
segala bentuk kekerasan, atau untuk memasukkan hal ini ke dalam
rencana-rencana yang telah ada, memperhitungkan sebaik-baiknya
bentuk-bentuk kerjasama tertentu yang dapat disumbangkan
organisasi-organisasi non pemerintah, terutama yang mempunyai
kepedulian terhadap masalah ini.
Lanjutan.....

Pasal 4
f. Mengembangkan secara menyeluruh pendekatan-pendekatan preventif
dengan segala perangkat hukum, politik, administratif dan budaya, guna
meningkatkan perlindungan terhadap perempuan dari segala bentuk
kekerasan dan menjamin tidak terjadinya lagi pengorbanan perempuan
akibat hukum yang tidak peka gender, praktik-praktik pemaksaan atau
campur tangan lainnya.
g. Berupaya untuk menjamin semaksimal mungkin sesuai dengan sumber
daya yang tersedia dan bila dipandang perlu memasukkannya ke dalam
kerangka kerja internasional , sehingga perempuan yang menjadi korban
kekerasan dan bila dimungkinkan anak-anak mereka mendapat bantuan
khusus seperti rehabilitasi, bantuan pengasuhan dan pemeliharaan anak,
pengobatan, bimbingan, konseling, pelayanan kesehatan dan sosial,
fasilitas-fasilitas dan program-program, termasuk perangkat pendukung
dan harus melakukan semua usaha dan upaya yang layak untuk
meningkatkan keamanan serta rehabilitasi fisik maupun psikologis mereka
h. Memasukkan dalam anggaran pemerintah sumberdaya yang cukup untuk
membiayai kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penghapusan
kekerasan terhadap perempuan.
Lanjutan.......
Pasal 4
i. Menetapkan perangkat-perangkat peraturan yang menjamin bahwa para
penegak hukum dan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab untuk
menerapkan kebijakan-kebijakan dalam rangka mencegah, mengusut dan
menghukum pelaku kekerasan terhadap perempuan, mendapat pelatihan-
pelatihan agar mereka peka tentang arti penting perempuan.
j. Mengadopsi perangkat peraturan yang layak, khususnya dalam bidang
pendidikan, untuk memodifikasi pola-pola perilaku sosial dan budaya laki-
laki dan perempuan dan menghilangkan prasangka-prasangka, praktik-
praktik adat dan praktik-praktik lain atas dasar inferioritas dan superioritas
seksual dan stereotip peranlaki-laki dan perempuan
k. Mengembangkan penelitian, mengumpulkan data dan mengkompilasi
statistik, khususnya mengenai kekerasan dalam rumah tangga,
sehubungan dengan luasnya perbedaan bentuk-bentuk kekerasan terhadap
perempuan dan mendorong penelitian tentang sebab-sebab, sifat dan
kegawatan dan akibat-akibat dari kekerasan terhadap perempuan serta
efektivitas penerapan langkah tindak untuk mencegah dan mengatasi
kekerasan terhadap perempuan, data statistik dan temuan-temuan
penelitian itu dipublikasikan.
Lanjutan.....
l. Mengadopsi langkah tindak yang bertujuan menghapus kekerasan terhadap
perenmpuan, khususnya mereka yang rentan terhadap kekerasan;

m. Memasukkan dalam laporan-laporan sebagaimana ditetapkan oleh perangkat


HAM yang relevan yang dikeluarkan oleh PBB, informasi yang berkaitan dengan
kekerasan terhadap perempuan dan langkah-langkah yang diambil untuk
melaksanakan Deklarasi ini.

n. Mendorong pengembangan panduan-panduan untuk membantu pelaksanaan


prinsip-prinsip yang terkandung dalam Deklarasi ini.

o. Memperhatikan pentingnya peran gerakan perempuan dan organisasi-organisasi


non pemerintah di seluruh dunia dalam rangka meningkatkan kesadaran dan
mengurangi masalah kekerasan terhadap perempuan.

p. Memfasilitasi dan meningkatkan kinerja gerakan perempuan dan organisasi-


organisasi non pemerintah serta menjalin kerjasama pada tingkat lokal, nasional
maupun regional.

q. Mendorong organisasi-organisasi regional antar pemerintah yang menjadi


anggota agar benar-benar memasukkan penghapusan kekerasan terhadap
perempuan kedalam program –program mereka.
Lanjutan.....
Pasal 5
Organ-organ dan badan-badan khusus PBB dalam bidang-bidang
kompetensinya harus mendukung pengakuan dan realisasi hak-hak dan
prinsip- prinsip yang terkandung dalam Deklarasi ini dan untuk itu harus
antara lain :
a. Memupuk kerjasama internasional dan regional dengan maksud
untuk merumuskan strategi regional seperti bertukar pengalaman
dan pendanaan program-program yang berkaitan dengan
penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
b. Menyelenggarakan pertemuanpertemuan dan seminar-seminar yang
bertujuan untuk menciptakan dan meningkatkan kesadaran semua
orang mengenai masalah penghapusan kekerasan terhadap
perempuan.
c. Meningkatkan koordinasi dan pertukaran dalam sistem PBB antara
badan-badan pengawas HAM untuk mengatasi masalah ini secara
lebih efektif.
d. Memasukkan analisa yang dilakukan organisasi-organisasi dan
badan-badan PBB tentang pola dan probema sosial seperti yang
tercantum dalam laporan berkala tentang situasi sosial dunia,
Lanjutan........

e. Meningkatkan koordinasi diantara organisasi-organisasi dan badan-badan


dalam sistem PBB untuk memasukkan masalah kekerasan terhadap
perempuan ke dalam program-program mereka yang sedang berjalan,
khususnya yang berkaitan dengan kelompok-kelompok perempuan, terutama
yang rentan terhadap perempuan.

f. Menyusun panduan-panduan atau pedoman yang berkaitan dengan


kekerasan terhadap perempuan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan
yang ada di sini.

g. Mempertimbangkan benar-benar masalah penghapusan kekerasan


terhadap perempuan dalam rangka memenuhiamanah mereka mengenai
pelaksanaan perangkat HAM.

h. Bekerjasama dengan organisasi non pemerintah dalam masalah kekerasan


terhadap perempuan.
Lanjutan.......

Pasal 6
Tidak satupun ketentuan dalam Deklarasi ini
dimaksudkan untuk mengurangi ketetapan-ketetapan
yang lebih kondusif bagi penghapusan tindak
kekerasan terhadap perempuan yang mungkin telah
terkandung dalam perundang-undangan negara atau
Konvensi atau pakta atau instrumen internasional lain
yang diberlakukan dalam suatu negara.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM
PERSPEKTIF UU NO. 23 TAHUN 2004
LANDASAN HUKUM PENANGGULANGAN KEKERASAN
TERHADAP PEREMPUAN

• UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Segala


Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
• UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
• UU No. 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM
• Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender (PUG).
• UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (PKdRT).

 Untuk di Bengkulu, awal diundangkan pada tanggal 22


September 2004, kasus yang diputus Pengadilan Negeri
berdasarkan UU ini baru 1 buah : Putusan No. 139/Pid.
B/2005/PN Bkl, kasus penganiayaan yang dilakukan suami
pada istri, dijatuhi pidana (hukuman) 4 bulan penjara berdasar
pasal 44 ayat (4) jo. Pasal 5 huruf a UU No. 23 Tahun 2004.
Tahun 2008-2010, rata-rata ada 3 kasus yang diteruskan ke
Pengadilan, selebihnya diselesaikan di Kepolisian secara
damai
PENGERTIAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA (KdRT)

KdRT adalah : setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama


perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKdRT) :


jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku
kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Lingkup rumah tangga :
Suami, istri dan anak.
Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,
karena perkawinan, persusuan, pengasuhan dan
perwalian yang menetap dalam rumah tangga
dan/atau;
 Orang yang bekerja membantu dalam rumah tangga
dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Tujuan PKdRT :
• Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah
tangga.
• Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
• Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
• Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis
dan sejahtera.
KARAKTERISTIK KdRT

• Terjadi di setiap lapisan sosial ekonomi.


• Tingkat pendidikan perempuan yang menjadi korban
beragam.
• Korban berasal dari berbagai ras, suku bangsa dan
agama apa saja.
• KdRT tidak berwajah tunggal (bisa fisik, psikis,
seksual, ekonomi)
BENTUK-BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan fisik : perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit


atau luka berat.
Kekerasan psikis : perbuatan yang mengakibatkan ketakutan hilangnya
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak rasa tidak berdaya
dan/atau penderitaan psikis pada seseorang.
Kekerasan seksual : pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/tujuan
tertentu.
Penelantaran : menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan
kepada orang tersebut.
Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang
untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah tangga sehingga
korban berada di bawah kendali orang tersebut.
HAK-HAK KORBAN

Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan,


pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik
sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan
dari pengadilan.
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap
tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pelayanan bimbingan rohani.
Korban berhak melaporkan secara langsung KdRT kepada
kepolisian, baik di tempat korban berada maupun di tempat
kejadian perkara.
Korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga/orang lain untuk
melaporkan KdRT kepada pihak kepolisian baik di tempat korban/
tempat kejadian perkara.
Lanjutan…….

Dalam hal korban seorang anak, laporan dapat


dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak
yang bersangkutan sesuai dengan UU yang berlaku.
Ketua Pengadilan dalam tenggang 7 hari sejak
diterimanya permohonan wajib mengeluarkan surat
penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi
korban dan anggota keluarga lain.
Permohonan untuk memperoleh surat perintah
perlindungan dapat diajukan oleh :
Korban atau keluarga korban.
Teman korban.
Kepolisian.
Relawan pendamping atau;
Pembimbing rohani.
Bila dilakukan oleh orang lain harus dengan
persetujuan korban
PERLINDUNGAN OLEH KEPOLISIAN

Kepolisian wajib melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau


menerima laporan tentang terjadinya KdRT.

Memberikan perlindungan sementara pada korban dalam waktu 1 x


24 jam, terhitung sejak mengetahui/menerima laporan KdRT.
Perlindungan sementara ini diberikan maksimum 7 hari.

Dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan


sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan.

Dalam memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja


sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping
dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Kepolisian
wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban
untuk mendapat pelayanan dan pendampingan.
Pengadilan

Mengeluarkan surat penetapan perintah


perlindungan bagi korban dan anggota
keluarga lainnya.
Surat perintah perlindungan dapat diberikan
dalam waktu paling lama 1 tahun dan dapat
diperpanjang. Untuk perpanjangan diajukan
7 hari sebelum masa berakhirnya
perlindungan.
PELAYANAN KESEHATAN

• Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar


profesinya.
• Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan
terhadap korban dan visum et repertum atas
permintaan penyidik kepolisian atau surat
keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum
yang sama sebagai alat bukti.
• Pelayanan kesehatan dilakukan di sarana kesehatan
milik Pemerintah, Pemerintah Daerah atau
masyarakat.
PELAYANAN PEKERJA SOSIAL

Melakukan konseling untuk menguatkan dan


memberikan rasa aman pada korban.
Memberikan informasi mengenai hak-hak korban
untuk mendapatkan perlindungan dari kepolisian
dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
Mengantarkan korban ke rumah aman atau tempat
tinggal alternatif.
Melakukan koordinasi yang terpadu dalam
memberikan layanan kepada korban dengan pihak
keplisian, Dinas Sosial, lembaga sosial yang
dibutuhkan korban.
PELAYANAN RELAWAN PENDAMPING

Menginformasikan pada korban akan haknya untuk


mendapatkan seorang/beberapa pendamping.
Mendampingi korban di tingkat penyidikan,
penuntutan atau tingkat pemeriksaan pengadilan
dengan membimbing korban untuk secara obyektif
dan lengkap memaparkan KdRT yang dialaminya.
Mendengarkan secara empati segala penuturan
korban, sehingga korban merasa aman didampingi
oleh pendamping.
Memberikan penguatan secara psikhologis dan fisik
kepada korban.
PELAYANAN PEMBIMBING
ROHANI

Dalam memberikan pelayanan,


pembimbing rohani harus
memberikan penjelasan mengenai
hak, kewajiban dan memberikan
penguatan iman dan taqwa kepada
korban.
PELAYANAN ADVOKAT

Memberikan konsultasi hukum yang mencakup


informasi mengenai hak-hak korban dan proses
peradilan.
Mendampingi korban di tempat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan dan membantu korban untuk secara
lengkap memaparkan KdRT yang dialaminya.
Melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping dan pekerja sosial agar
proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
PERLINDUNGAN DARI MASYARAKAT

Setiap orang yang mendengar, melihat atau


mengetahui terjadinya KdRT wajib melakukan upaya
sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana.
b. memberikan perlindungan kepada korban.
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan
penetapan perlindungan.
Mengenai alat bukti yang berupa saksi, keterangan seorang saksi
korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa
bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah
lainnya seperti, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan
terdakwa.

Ketentuan Pidana untuk Kekerasan fisik

 Setiap orang yang melakukan kekerasan fisik dalam lingkup


rumah tangga dipidana penjara maksimum 5 tahun atau denda
maksimum Rp. 15.000.000,-
 Bila korban jatuh sakit atau luka berat, dipidana maksimum 10
tahun atau denda maksimum Rp. 30.000.000,-.
 Bila mengakibatkan matinya korban, dipidana penjara
maksimum 15 tahun atau denda paling banyak Rp. 45.000.000,-.
 Dalam hal perbuatan kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami
terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara
maksimum 4 bulan atau denda maksimum Rp. 5.000.000,-.
Tindak pidana ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan fisik
yang ringan dan merupakan delik aduan.
Ketentuan Pidana untuk kekerasan
psikis

Setiap orang yang melakukan kekerasan psikis dalam lingkup


rumah tangga dipidana penjara paling lama 3 tahun atau
denda paling banyak Rp. 9.000.000,-
Bila kekerasan psikis ini dilakukan oleh suami terhadap istri
atau sebaliknya tetapi tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata
pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara
paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp.
3.000.000,- Ini merupakan delik aduan.
Ketentuan pidana untuk kekerasan seksual

Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah


tangganya melakukan hubungan seksual dipidana penjara
minimum 4 tahun penjara dan maksimum 15 tahun atau denda
minimum Rp. 12.000.000,- dan maksimum Rp. 300.000.000,-.

Bila perbuatan tersebut, mengakibatkan korban mendapat luka


yang tidak memberi harapan akan sembuh samasekali, mengalami
gangguan daya pikir atau kejiwaan minimal 4 minggu terus
menerus atau selama 1 tahun tidak berturut-turut, gugur/matinya
janin dalam kandungan/membuat tidak berfungsinya alat
reproduksi, dipidana penjara minimum 5 tahun dan maksimum 20
tahun atau denda minimum Rp.25.000.000,- dan maksimum
Rp.500.000.000,-.

Bila kekerasan seksual itu dilakukan oleh suami kepada istri atau
sebaliknya merupakan delik aduan
TINJAUAN YURIDIS SOSIOLOGIS ABORSI PADA INDIKASI
KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN
BERDASAR PP NO.61 TAHUN 2014

Oleh :
Noeke Sri Wardhani
Fak Hukum UNIB
MATERI & RUANG LINGKUP PP NO. 61 TAHUN 2014
TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI & LATAR BELAKANG

1. Pelayanan kesehatan ibu


2. Indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas
larangan aborsi
3. Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah

Permasalahan kesehatan ibu menjadi penting karena angka kematian ibu di


Indonesia masih tinggi (data SDKI 2012, 359/100.000) dan memerlukan
perhatian serta upaya khusus untuk menurunkannya, sedangkan infertilitas
dan aborsi menjadi penting karena sangat terkait dengan aspek etika-legal.
Kesehatan ibu yang disebut juga sebagai kesehatan maternal merupakan
bagian dari kesehatan reproduksi perempuan yang mencakup kesehatan
reproduksi sejak remaja, saat sebelum hamil, hamil, persalinan dan sesudah
melahirkan.
Lanjutan........

• Data valid tentang jumlah aborsi di Indonesia, sulit diperoleh karena di Indonesia
perbuatan aborsi adalah illegal, kecuali aborsi dengan indikasi medis.
• Realitasnya aborsi di Indonesia cukup tinggi dan aborsi ini dilakukan dengan tidak aman.
Menurut Komnas Perlindungan Anak data aborsi diperkirakan sebesar 2 juta orang pada
tahun 2008, tahun 2009, sebanyak 2,3 juta orang, pada tahun 2010 sebanyak 2,5 juta
orang. Metode aborsi yang digunakan 37% melakukan kuret, 25% dengan oral (minum
obat melalui mulut, didiamkan di mulut selama 30 menit baru ditelan) dan pijatan, 13%
dengan jalan suntik, 8% memasukkan benda asing dalam rahim, selebihnya
menggunakan jamu dan akupuntur. Dalam harian Suara Merdeka yang terbit di
Semarang tanggal 18 April 2012, Prof.dr Wimpie Pangkahila menyatakan di Indonesia
diperkirakan setiap tahun aborsi sebanyak 2,5 juta kasus.
• Data yang bersumber dari WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, menyebutkan pada tahun
2011 ada 14 kasus perkosaan yang ditangani, 2012 sebanyak 3 kasus, tahun 2013, 2 kasus
dan tahun 2014 hingga bulan Juni ada 3 kasus. Sekilas angka-angka ini tampak kecil,
tetapi realitasnya perkosaan adalah fenomena gunung es yang tampak permukaannya
saja, karena banyak kasus perkosaan tidak tertangani bahkan disembunyikan karena
dianggap aib.
• Pada tahun 2014 Pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 61
Tahun 2014, tentang Kesehatan reproduksi dan dalam PP tersebut juga diatur aborsi
karena indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan
aborsi.
• Pada aborsi karena perkosaan menimbulkan kontroversi dalam masyarakat.
LANDASAN HUKUM ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

1. Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang


berbunyi : Setiap orang dilarang melakukan aborsi, kecuali
kehamilan indikasi kedaduratan medis dan kehamilan akibat
perkosaan. Pada ayat (4) pasal ini disebutkan alasan
kehamilan akibat perkosaan dapat menyebabkan trauma
psikologis bagi korban perkosaan.
2. Pasal 34 PP No. 61 Tahun 2014 : Kehamilan akibat perkosaan
merupakan kehamilan hasil hubungan seksual tanpa adanya
persetujuan dari pihak perempuan. Kehamilan akibat
perkosaan dibuktikan dengan :
a. Usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang
dinyatakan oleh surat keterangan dokter.
b. Keterangan penyidik, psikolog dan atau ahli lain mengenai
adanya dugaan perkosaan. Yang dimaksud ahli di sini adalah
dokter spesialis psikiatri, dokter spesialis forensik dan pekerja
sosial.
Lanjutan...............
4. Dalam Pasal 31 ayat (1) PP No. 61 Tahun 2014 disebutkan : Tindakan
aborsi hanya dapat dilakukan berdasar :
a. Indikasi kedaduratan medis; atau
b. Kehamilan akibat perkosaan
Dalam Pasal 31 ayat (2) PP No. 61 Tahun 2014, disebutkan pada
tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia
kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.

Dalam penjelasan PP No. 61 Tahun 2014 mengenai aborsi disebutkan :


Pada prinsipnya UU No. 36 Tahun 2009 Jo. PP No. 61 Tahun 2014 sejalan
dengan ketentuan peraturan yang berlaku, yaitu melarang tindakan
aborsi. Ada kekecualian dalam tindakan aborsi ini, yaitu tindakan aborsi
boleh dilakukan dalam hal indikasi kedaruratan medis dan kehamilan
akibat perkosaan dengan tujuan negara melindungi warga negaranya,
tanpa mengabaikan norma-norma yang ada dalam masyarakat Indonesia
yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa baik dari segi agama, moral, etika
serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lanjutan...............

Pada kasus perkosaan akibat pemaksaan kehendak pelaku,


kehamilan yang terjadi pada korban perkosaan
menyebabkan korban menderita secara fisik, mental dan
sosial. Peristiwa perkosaan itu sendiri telah membawa
trauma berat pada korban, ditambah dengan kehamilan
mengakibatkan beban korban semakin berat dan berdampak
pada masa depan korban. Sebagian besar korban perkosaan
mengalami reaksi penolakan terhadap kehamilannya,
disamping itu trauma mental yang berat juga akan
berdampak buruk bagi perkembangan janin yang dikandung
korban.
Atas dasar latar belakang di atas, maka PP No. 61 Tahun
2014 merumuskan tindakan aborsi akibat perkosaan
menjadi tindakan legal.
TAHAPAN PROSES ABORSI :
KONSELING DALAM TINDAKAN ABORSI
Konseling dilakukan dalam 2 tahap yaitu konseling pada waktu pra tindakan
dan konseling pasca tindakan.
Konseling pra tindakan :
a. Menjajaki kebutuhan dari perempuan yang ingin melakukan aborsi.
b. Menyampaikan dan menjelaskan pada perempuan yang ingin
melakukan aborsi, bahwa dapat atau tidaknya aborsi dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang.
c. Menjelaskan tahapan tindakan aborsi yang akan dilakukan dan
kemungkinan efek samping dan komplikasinya.
d. Membantu perempuan yang ingin melakukan aborsi untuk mengambil
keputusan sendiri untuk melakukan aborsi atau membatalkan, setelah
mendapat informasi.
e. Menilai kesiapan pasien untuk menjalani aborsi
Lanjutan......
Konseling pasca tindakan :
a. Mengobservasi dan mengevaluasi kondisi pasien setelah tindakan aborsi.
b. Membantu pasien memahami keadaan atau kondisi fisik setelah menjalani
aborsi.
c. Menjelaskan perlunya kunjungan ulang untuk pemeriksaan dan konseling
lanjutan atau tindakan rujukan bila diperlukan.
d. Menjelaskan pentingnya penggunaan alat kontrasepsi untuk mencegah
terjadinya kehamilan (butir d ini khusus ditujukan pada pasien aborsi karena
indikasi kedaruratan medis BUKAN untuk korban perkosaan).
Note :
1. Yang dimaksud konselor adalah setiap orang yang telah memiliki sertifikat
sebagai konselor melalui pendidikan dan pelatihan.
2. Setiap pelaksanaan aborsi wajib dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kota/Kabupaten dengan memberikan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi oleh pimpinan pelayanan kesehatan, misalnya kepala Puskesmas atau
kepala pengelola rumah bersalin pelaksana aborsi.
PEMBATALAN ABORSI OLEH KORBAN PERKOSAAN

1. Dalam hal korban perkosaan memutuskan membatalkan keinginan


untuk melakukan aborsi karena telah mendapat informasi tentang
aborsi secara lengkap atau usia kehamilan sudah melebihi 40 hari
dihitung sejak hari pertama haid terakhir, korban perkosaan
memperoleh pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan.
Pendampingan yang dilakukan berupa pendampingan psikologis,
pendampingan sosiologis dan pendampingan medis.
2. Anak yang dilahirkan dari ibu korban perkosaan dapat diasuh oleh
keluarga. Yang dimaksud keluarga di sini adalah orang tua kandung atau
anggota keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat ketiga.
3. Dalam hal keluarga menolak untuk mengasuh anak yang dilahirkan
akibat perkosaan, anak tersebut menjadi anak asuh sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan. Anak asuh ini bisa diasuh oleh
seseorang (sebuah keluarga/individu yang telah dewasa dan memenuhi
persyaratan mengadopsi anak) atau diasuh oleh lembaga (panti asuhan
pemerintah atau swasta) untuk mendapat pemeliharaan, perawatan,
kesehatan, bimbingan, pendidikan supaya anak bisa tumbuh kembang
secara utuh.
ALASAN YANG PRO DAN KONTRA PADA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN
sumber : dhttp://deteksi.co/2014/08/kontroversi-legalisasi-aborsi/
diunduh 16 September 2014, pukul 11.42

Yang pro pada aborsi akibat perkosaan :


• Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, PP No. 61 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi disusun oleh tim lintas sektoral,
kementerian/lembaga, tokoh agama hingga ahli hukum. Menurut Nafsiah, PP
turunan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan itu disusun dalam kurun
waktu 5 tahun sejak diundangkan, baru keluar 2014, jadi sudah dibahas
secara mendalam. Dalam PP No 61 Tahun 2014, secara tegas disebutkan
bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan, hanya dapat dilakukan apabila usia
kandungan maksimal 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Dibuktikan dengan : usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang
dinyatakan oleh surat keterangan dokter serta keterangan penyidik, psikolog
atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan. Lebih lanjut dikatakan
Menkes, PP ini sangat penting guna melindungi kaum perempuan dari
tindakan kejahatan seksual, supaya korban tidak trauma dan menanggung
beban mengandung anak yang tidak diinginkan
Lanjutan.....

• Fatwa MUI No. 4 Tahun 2005 Tentang Aborsi, menjelaskan tindakan aborsi
diperbolehkan jika perempuan hamil menderita sakit fisik berat dan dalam keadaan
kehamilan mengancam nyawa si ibu. Fatwa itu memaparkan keadaan hajat yang
berkaitan dengan kehamilan yang dapat membolehkan aborsi adalah janin yang
dikandung dideteksi menderita cacat genetik, bila lahir kelak sulit disembuhkan.
Kemudian kehamilan akibat perkosaan yang ditetapkan oleh Tim yang berwenang yang
di dalamnya terdapat antara lain penegak hukum, keluarga korban, dokter, dan ulama.
Nahar Nahrawi, wakil ketua Komisi Fatwa MUI menegaskan PP ini sudah tepat karena
sebelum dikeluarkan Pemerintah lebih dahulu mengkonsultasikan pada MUI. Bila dokter
tidak mau melakukan aborsi, itu karena beda perspektif saja. Nahrawi mempersilahkan
masyarakat untuk memilih yang paling bermanfaat (www.republika.co.id, diakses
16September 2014, pukul 20.55).
• Bersumber dari Batam Pos, 27 Agustus 2014, Menag Lukman Hakim Saifuddin
menyatakan PP No. 61 Tahun 2014 sudah sejalan dengan ketentuan MUI karena telah
memenuhi beberapa syarat. Disamping itu menurut Menag, kehamilan karena
perkosaan mengancam jiwa si ibu.
• Dari sumber yang sama Fasli Jalal Kepala BKKBN menyebutkan PP ini sudah
merumuskan mekanisme standar yang sangat ketat prosedur pelaksanaan aborsi,
disamping itu juga memperhatikan HAM korban perkosaan dan masa depan anak yang
akan dilahirkan.
Lanjutan.......

Yang kontra pada aborsi akibat perkosaan :


• Setiap bayi menurut Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdhatul
Ulama (NU) Anggia Ermarini berhak untuk hidup. Dia bersifat suci dan terbebas
dari dosa sehingga tidak memahami akan aksi pemerkosaan yang mungkin
dialami ibu yang mengandungnya. “Jadi saya kira akan berdosa jika tiba-tiba
digugurkan.”Anggia berpendapat, penyebab kehamilan tidak menjadi alasan
utama dilakukannya aborsi. Terlebih lagi bila kehamilan itu normal. Apresiasi
terhadap eksistensi individu menurutnya harus lebih diutamakan. Kalau
kehamilan mengancam kelangsungan hidup si ibu, maka akan berbeda. “Dalam
hal ini, aborsi mungkin bisa menjadi pilihan, namun, jika kehamilan bisa
diteruskan sementara si ibu tidak mengalami gangguan kesehatan akibat
kehamilan, maka aborsi bukan sebuah pilihan. Sikap bijak adalah meneruskan
kehamilan itu hingga akhirnya melahirkan dengan baik. Anggia menilai,
peraturan pemerintah yang mengatur kesehatan reproduksi tidak didasarkan
argumentasi yang kuat. Peraturan ini memunculkan kontroversi sehingga
sejumlah pihak menolak, karena ada penghilangan hak untuk hidup. Dia
mengimbau agar dilakukan kajian dari berbagai tradisi keilmuan, yaitu tinjauan
medis dan tinjauan tradisi keagamaan.
Lanjutan......

• Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda menyoroti aborsi untuk
kasus pemerkosaan. KPAI menilai harus ada mekanisme yang jelas, sebab tidak semua
korban pemerkosaan boleh aborsi. Harus ada persyaratan yang jelas, jangan hanya
karena tidak menerima calon bayi dan beban moral ibu dan keluarganya, lalu boleh
aborsi, KPAI tidak setuju itu. Selain itu, KPAI juga meminta agar pemerintah
menimbang hak anak untuk hidup. Jangan sampai PP ini malah bertentangan dengan
UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebab, Pasal 4 UU Perlindungan
Anak berbunyi: Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
Untuk itu, dia meminta pemerintah melibatkan KPAI dan instansi terkait saat
membahas aturan turunan PP ini, yakni peraturan menteri kesehatan, sehingga
praktik-praktik aborsi ini tidak dilegalkan begitu saja dan ada mekanisme yang jelas.
Selain KPAI, pembahasan permenkes itu juga harus melibatkan kepolisian dan rumah
sakit, lembaga rumah sakit inipun harus jelas, apakah puskesmas juga boleh dan harus
ada standar hingga ke dokternya.
Lanjutan......

• Menurut ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait,
apa pun alasannya, aborsi untuk menghilangkan nyawa, Komnas PA sangat tidak
setuju, karena PP ini sangat bertentangan dengan UU Perlindungan Anak yang telah
ada sebelumnya. Dalam UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 itu,
secara tegas menyatakan bahwa negara menjamin keselamatan anak sejak di dalam
kandungan hingga usia 18 tahun, karena otoritas hak hidup itu ada pada Tuhan.
Selain itu, PP ini dapat menciptakan celah untuk disalahgunakan oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab. Kendati menentang, Arist tidak menutup mata dan
hati untuk para korban pemerkosaan. Ia menuturkan, perlindungan terhadap mereka
dapat dilakukan dengan cara pendampingan kejiwaan secara intensif. Sementara itu
untuk anak korban perkosaan yang sejatinya tidak diinginkan, dapat diambil alih oleh
negara.
• Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mempertanyakan usia kehamilan akibat
perkosaan yang boleh di aborsi adalah 40 hari atau sebelum 6 minggu, apa dasarnya.
Lebih lanjut, Dr Zaenal siap mengundang tokoh masyarakat dan agama untuk
membahas peraturan tersebut. Apalagi menurutnya, ketika membuat sebuah
peraturan tidak hanya sekedar ditulis dalam bentuk naskah, namun juga harus
dicermati keinginan peraturan.

Anda mungkin juga menyukai