Anda di halaman 1dari 11

Kulwap Ramadhan #PreMarriageTalk

Siap Nikah:
Siap Menjadi Istri & Ibu

Nida Muthi Athifah


Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum wr wb, teman-teman! Alhamdulillah kita bisa ketemu di Kulwap


Ramadhan #PreMarriageTalk (lagi), insyaAllah kali ini saya akan sedikit menyambung
bahasan kulwap kemarin ya.. Siapa yang kemarin gak kebagian ikut kulwap sama Sarah?
Coba kita bahas sedikit ya sebelum mulai…

Soal nikah muda…


Berangkat dari fenomena nikah muda yang beberapa waktu lalu (atau mungkin masih
sampai sekarang?) marak terjadi karena artis, anak ustad, hafidz sampai influencer
yang tampak beramai-ramai nikah muda, bikin banyak muslimah yang jadi baper.
Sejak itu pula, bermunculanlah akun-akun yang mengajak pemuda-pemudi untuk
nikah muda. Tapi sedihnya… Mereka hanya mengajak nikah dan menceritakan hal-hal
indah seputar pernikahan, tidak mengajak mempersiapkan dan menceritakan asam
pahitnya. Padahal… Itulah hal penting yang harus kita ketahui dan persiapkan. Nikah itu
tidak sekedar nikah lalu bahagia, ada asam-manis-pahit yang harus kita jalani dengan
penuh perjuangan. Mereka bisa aja ngajak dan manas-manasin kita nikah, tapi
mereka gak akan bertanggung jawab kala pernikahan hancur. Kan sedih :(

Sejatinya, islam sudah memberikan rambu-rambu untuk kita terkait menikah. Apa yang
kita cari dari pernikahan? Harusnya bukan hanya bahagia, tapi juga keberkahan. Dan
keberkahan ini bermula dari niat menikah. Saat niat kita dihadirkan untuk Allah dan
beribadah kepada-Nya, insyaAllah keberkahan akan kita dapatkan melalui hadirnya
kebaikan yang terus-menerus dalam rumah tangga kita, insyaAllah. Oleh karenanya,
akan lebih baik jika kita tak terburu-buru untuk menikah, melainkan menyegerakannya.
Apa bedanya? Terburu-buru adalah kondisi dimana “siap-gak-siap yang penting
nikah”, kondisi ini membuat kita tidak benar-benar siap dan mempersiapkannya.
Sedangkan menyegerakan adalah ketika kita senantiasa mempersiapkan diri dalam
menghadapi kehidupan rumahtangga kelak, dan jika sudah ada calon maka tidak
berlama-lama untuk melangsungkan pernikahan itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan nikah muda dan nikah dini? Sebenarnya kembali lagi ke
undang-undang di negeri kita. Negara sudah mengatur, tinggal kita sesuaikan dengan
kesiapan kita saja. Toh tujuannya baik, agar kita bisa mempersiapkan pernikahan lebih
matang, pun berkaitan dengan kemampuan perempuan untuk bereproduksi. Terlebih,
kala kita menikah muda perlu menyiapkan diri jika terjadi finansial yang belum mapan,
emosi yang belum stabil, masih harus menyelesaikan studi, dan lain-lain. Namun..
sebenarnya berapapun usia kita nikah, bukan soal nikah muda atau tua, yang
terpenting adalah nikah dewasa, dewasa yakni saat kita sudah mempersiapkan diri
untuk mengarungi asam manis bahtera rumah tangga.
Begitu kira-kira “resume” dari kulwap Ramadhan sebelumnya. Nah.. namun dari situ,
muncullah pertanyaan, apa tandanya kita sudah siap nikah? Hehe, sebenarnya kami
membahasnya lebih lengkap di #PreMarriageTalk Class, tapi.. Saya bocorin dikit ya :D
Sebenarnya dalam #PreMarriageTalk saya dan Sarah sepakat bahwa tidak ada indikator
khusus tanda seseorang siap menikah, selain satu hal. Kenapa? Karena manusia itu kan
unik, kesiapan dan persiapan khusus (kalau umum mah banyak, hehe) dalam diri tiap
orang itu bisa berbeda-beda. Tapi satu hal dalam hadits yang bisa kita jadikan acuan
adalah ba’ah, yakni kesiapan kita untuk berhubungan suami-istri. Selebihnya, bisa
menyesuaikan kondisi masing-masing.

Aku siap menikah !


Eits, bener nih siap nikah?
Kalau jadi istri udah siap?
Kalau nanti punya anak udah siap?

Hmm hmm hmm~~ *jangan bersenandung ala Sabyan ya xP

Ternyata eh ternyata, selain yang sudah disebutkan tadi, ada hal yang perlu kita
(perempuan) persiapkan, khususnya terkait peran dan tanggung jawab kita pasca
menikah. Peran inilah yang dengan segera maupun tidak, akan melekat dalam diri
seorang perempuan, sesuai dengan fitrah. Peran ini pula yang jika kita lakukan dengan
ikhlas karena Allah, maka insyaAllah akan bernilai ibadah, mau kaaaan? :’)

Apakah itu? Ya, menjadi istri dan ibu, kayak judul kulwap ini, hehe. Meskipun secara tidak
langsung, peran diri kita seakan bertambah berkali-kali lipat setelah menikah, selain jadi
istri dan ibu, kita juga menjadi anak menantu, kakak atau adik ipar, dan peran-peran
lainnya yang menyesuaikan dengan pasangan kelak.

Kalau nikah kita memang “otomatis” telah menjadi istri. Tapi apakah kita sudah paham
seperti apa tugas seorang istri? Pun menjadi ibu. Menikah lalu punya anak itu sunnatullah,
seakan sepaket dalam pernikahan, karena itu peran keduanya tidak boleh kita sepelekan,
tetap harus disiapkan. Sekalipun kita berencana menunda punya anak, tapi yaaa kita
hanya berencana, Allah lah yang menentukan, bisa jadi Allah mengamanahkan anak
segera, bukan? :)

Karena agak panjang.. Yuk kita bahas satu per satu terkait dua peran tersebut!
Tarik nafas panjang... hembuskan... Bismillah.
Menjadi istri ta’at penuh cinta

Ketika suami melakukan akad dengan orang tua atau wali kita, disaat itulah semua
tanggung jawab orang tua terhadap anaknya berpindah pada “bahu” suami. Kini suami
bertanggung jawab atas semua yang kita lakukan, itu mengapa jika kita bisa
menjalankan peran sebagai istri sebaik-baiknya, surga menjadi balasannya. Nah, ada hal-
hal yang perlu kita ketahi untuk menjalankan peran sebagai istri, yaitu:

• Ta’at kepada suami


“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di
bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina)
dan benar-benar ta’at pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang
memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang
engkau suka.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

MasyaAllah, ta’at pada suami seakan merupakan keutamaan kita sebagai istri,
sampai dijamin surga oleh Allah. Tapi, keta’atan seperti apa yang bisa kita
lakukan? Bisa dengan menjaga amanah suami mengurus rumah, menuruti
perintah suami yang masih dalam rangka keta’atan pada Allah, menjaga harta
suami, menjaga diri ketika suami tidak di rumah, meminta izin ketika keluar rumah,
meminta keridhoan suami saat hendak melakukan sesuatu, bersikap sopan pada
suami, menghormati dan tidak merendahkan suami, menghargai pendapat suami,
dan masih banyak lagi.

• Menyadari dan menerima peran sebagai istri


Hal yang tak kalah harus kita sadari dan terima setelah menikah adalah saat ini
kita berstatus sebagai istri dari suami kita (suami masing-masing ya maksudnya,
hehe). Jadi tentu saja ada hal-hal atau interaksi yang mungkin jadinya dibatasi,
terlebih dengan lawan jenis. Tapi semoga, batasan ini bukanlah tuntutan dari
suami melainkan bentuk dari kesadaran diri kita sendiri. Bagi teman-teman yang
sebelumnya bisa sangat akrab dengan laki-laki, setelah menikah kita harus bisa
menjaga jarak untuk menghindari fitnah dan godaan syetan yang luar biasa
kencangnya untuk memisahkan sepasang suami dan istri. Jangan sampai
intensitas kita berinteraksi dengan laki-laki lain (walaupun ngakunya sahabat)
lebih tinggi daripada dengan suami, bukan cuman suami yang akan cemburu tapi
Allah, huhu. Sama halnya juga kalau saat semasa single kita banyak nongkrong
bersama teman-teman, nanti intensitas ini juga harus dikurangi, perbanyak
"nongkrong" dengan suami untuk saling mengenal. Intinya adalah, sadari status
kita saat ini (setelah nikah) jangan sampai kita merasa ada banyak tuntutan dari
suami, padahal itu adalah kewajiban yang harus kita lakukan.

Oh iya, meski begitu bukan berarti setelah nikah diri kita akan "terbelenggu"
dengan status istri. Istri boleh kok tetap berkarya, memaksimalkan potensinya,
asal tetap dalam koridor yang tepat. Buktinya, alhamdulillah atas dukungan suami,
saya dan Sarah bisa menjalankan #PreMarriageTalk ini. Berkarya boleh saja, asal
jangan sampai kita melupakan kewajiban atau tanggung jawab sebagai istri :)
• Memenuhi kebutuhan biologis
“Wahai para pemuda, siapa yang mampu menanggung beban pernikahan maka
hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu, maka
hendaklah baginya berpuasa, karena sesunguhnya puasa itu adalah perisai
baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Salahsatu keutamaan menikah ialah kita dapat lebih menundukkan dan menjaga
pandangan. Itulah kenapa berhubungan suami istri menjadi kebutuhan utama
dalam pernikahan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Karen itu ketika
suami minta melakukan hubungan suami istri, istri wajib menurutinya. Kalaupun
tidak, sampaikan dengan baik. Islam sudah mengajarkan adab-adab untuk hal ini
secara lengkap. Silahkan pelajari melalui buku atau kajian islami sebelum nikah,
agar ketika memasuki dunia pernikahan kita tidak akan kaget dengan hal ini. Tapi…
kalau malu untuk membacanya, teman-teman bisa kok membacanya nanti
menjelang pernikahan, karena menuntut ilmu terkait hubungan suami istri ini perlu
dilandasi dengan keimanan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

• Memahami perbedaan pasangan


Bagaikan planet venus dan mars, laki-laki dan perempuan punya segudang
perbedaan yang -tidak dipungkiri- dapat menimbulkan konflik dalam rumah
tangga. Tapi sebenarnya, kalau kita coba perlahan-lahan memahami suami,
insyaAllah jadi lebih mudah dalam menghadapinya. Bukan cuman penampilan
secara fisik dan anatomi saja yang berbeda, tapi secara psikologis juga. Inilah
yang perlu kita kenali. Perlu kita pahami juga perbedaan psikologis bukan hanya
"disebabkan" oleh fitrah laki-laki dan perempuan tapi juga bentukan dari pola asuh
orang tua. Diri kita dan suami diasuh oleh orang tua serta lingkungan yang
berbeda, jadi jelas kita punya pemikiran dan kebiasaan yang berbeda. Setelah
menikah perbedaan ini yang perlu dijembatani agar tercipta keharmonisan.

• There’s nobody perfect


Meski saat sebelum nikah kita sudah memilih seseorang dengan kriteria yang
paling mendekati, tapi tetap saja akan ada hal-hal yang mungkin tidak sesuai
dengan ekspektasi kita. Kebaikan dan keburukan dirinya perlahan-lahan akan
tersingkap, namun sebenarnya itulah manusia, nobody’s perfect, pasti ada
kekurangannya. Salahsatu tugas kita sebagai pasangan adalah menerima
dengan seutuhnya, jangan terlalu menuntut, karena sebenarnya kita pun punya
kekurangan. Saya jadi teringat tips jika kita marah pada pasangan yaitu setiap kita
mengingat 1 burukannya, maka ingatlah 5 kebaikannya. Ada benarnya juga,
biasanya kalau kita dalam keadaan marah dengan pasangan, kita akan
cenderung mengingat keburukannya, tapi dengan mengingat kembali
kebaikannya beserta momentum indah bersamanya, insyaAllah dapat meredam
amarah. Kelak, belajarlah untuk menerima keburukannya, cintai kebaikannya.
• Menjadi “pakaian” suami (menutupi aib)
"Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka."
(Qs. Al Baqarah: 187)

Ibarat pakaian, ia menutupi, melindungi, menjaga diri kita, bukan? Begitulah peran
kita sebagai istri, sebenarnya tidak hanya bagi istri, hal ini berlaku pula untuk
suami. Ketika sudah menikah, aib pasangan dapat menjadi aib diri kita sendiri.
Sehingga baik aib atau kesalahan, kekurangan, kelemahan serta keburukan suami
seperti yang disebutkan pada poin sebelumnya harus kita tutupi, kita tidak
diperbolehkan menceritakan kepada siapapun tanpa alasan yang bisa
dibenarkan.

• Mendukung suami
Bukan cuman kita yang membutuhkan dukungan, suami pun membutuhkannya
dari istri. So, jangan banyak menuntut tapi penuhi hak suami. Berikan dan
tunjukkan dukungan kita pada suami terhadap upaya yang beliau lakukan,
berikan apresiasi atau kejutan juga tidak mengapa. Pahami bahasa cintanya,
belajarlah untuk berkomunikasi efektif agar mengurangi kesalahpahaman saat
berinteraksi dengannya.

Cerita sedikit, saya ini senang sekali membuat kejutan, sedangkan suami mengaku
selalu gagal kalau membuat kejutan. Itu kenapa dalam 3 tahun pernikahan kami,
saya yang seperti lebih banyak memberikan kejutan untuk suami, dan suami
senang dengan hal itu. Saya sih gak masalah, karena membahagiakan suami itu
sama seperti membahagiakan diri sendiri. Gak perlu gengsi untuk memberikan
kejutan pada suami. :)

• Menyesuaikan diri di lingkungan suami


Nah saya cerita dulu sedikit, pernah suatu hari saya datang ke rumah teman
mertua untuk memesan kue lebaran, disaat itu karena bingung mau milih kue apa,
saya tanpa sadar menunjukkan sikap kekanak-kanakan. Disaat itu juga sang ibu
merespon sambil bercanda “ih kok istri dosen begitu!”. Jleb. saya sempat loading,
memangnya ada yang salah ya dengan sikap saya? Sejak saat itu saya
menyadari pentingnya bersikap tepat menyesuaikan peran suami jika bertemu
dengan teman maupun koleganya.

Ada benarnya sih, karena suami-istri itu ibarat cermin, kalau perangai kita jelek,
suami akan "tercap" jelek, pun sebaliknya. Ingat kan, kasus seorang istri pelawak
yang menjelekkan salahsatu calon presiden? Hingga akhirnya menurunkan
reputasi suaminya (ini terlepas dari kasus sang suami kemudian yaa). Ini jadi
contoh bahwa mau tidak mau kita memang perlu bersikap menyesuaikan
pasangan kita. Kalau suami kita "presiden", kita harus mencerminkan "istri
presiden", jangan cengengesan. Begitulah kira-kira, hehe.
Poin-poin di atas penting sekali untuk kita sadari sebelum nikah, sehingga kelak saat nikah
kita tidak akan "kaget" dengan tugas sebagai istri ini. Dan mungkin ini hanya beberapa,
kalau ada tambahan boleh disampaikan saat diskusi ya...

Menjadi ibu penuh kasih sayang

Ibu, adalah madrasah (sekolah) pertama dan utama bagi anak-anaknya. Salahsatu peran
terbesar dan paling mulia bagi seorang perempuan serta tidak bisa digantikan oleh orang
lain adalah menjadi ibu. Bahkan dalam Rasulullah saw menyebutkan, seorang ibu yang
meninggal saat melahirkan mendapatkan “label” syahid, masyaAllah. Hal apa saja yang
akan dijalani saat menjadi ibu?

• Hamil dan melahirkan


Adalah fitrah bagi seorang perempuan untuk hamil dan melahirkan. masyaAllah,
Allah sudah menciptakan fisik kita agar bisa melalui hal tersebut, memiliki rahim
yang kuat untuk mengandung, vagina yang elastis untuk melalui proses, payudara
untuk menyusui, juga fitrah (psikologis) untuk memberikan kasih sayang, merawat,
menjaga anak. Tapi... rupanya kesiapan untuk hamil dan melahirkan perlu kita
tumbuhkan. Karena masih banyak ibu yang kaget saat “tiba-tiba” hamil, jadi saat
menjalani proses kehamilan tidak memaksimalkan amalan-amalan yang
sebenarnya dapat kita lakukan (ini sih saya dulu, huhu). Pun, kaget saat
melahirkan, tidak siap merawat bayi, mendengar tangisannya tiap malam, hingga
dapat terjadilah baby blues atau yang terparah post partum depression. Apakah
itu? Silahkan pelajari dari sumber lainnya ya, insyaAllah informasi saat ini sudah
terbuka luas :)

• Memberikan ASI
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Baqarah: 233)

Setelah melahirkan, tentu seorang ibu akan menjalani masa menyusui. Naah, ini
juga tidak kalah serunya. Bagi ibu yang pertama kali menyusui pasti akan banyak
kebingungan dan keresahan yang dialami, makanya penting untuk teman-teman
yang ingin menikah untuk mempersiapkan hal ini dari sekarang. Tapi
persiapannya mulai dari mana? Yak, dari surah di atas. Bahwa sebenarnya Allah
memerintahkan kita untuk memberikan ASI kepada anak selama 2 tahun penuh.
Selain bermanfaat bagi anak, ini adalah salahsatu amanah dari Allah dan hak
anak yang patut kita berikan. Mindset ini perlu kita teguhkan dalam hati, karena
ternyata menyusui adalah sebuah perjuangan. Tanpa berjuang, mungkin ASI kita
hanya akan keluar sedikit-sedikit hingga akhirnya kita menyerah dengan
memberikan susu formula saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Huhu, nanti sedih
deh rasanya. Makanya, yuk dari sekarang dipersiapkan dengan mencari ilmu
sebanyak-banyaknya.

• Menjadi sebaik-baiknya madrasatul ula


“Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai
pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang wanita (istri)
adalah pemimpin di rumah suaminya bagi anak-anaknya, dan dia akan
dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka.” (HR. Muslim)

Nahloh. Ternyata anak juga menjadi tanggung jawab kita lho.. Bagaimana kita
memperlakukan, merawat, mendidik, dan membesarkan mereka itu akan kita
pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Makanya sebenarnya soal anak ini bukan
cuman urusan dunia, tapi “investasi” akhirat kita. Tidak hanya bertugas
membesarkan anak, sebagai ibu juga harus mendidik anak-anak dengan
menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, mendidik keta’atan pada Allah
swt dan Rasulullah saw, serta berakhlak mulia, bukan hanya cerdas intelektualnya.

• Siap dengan rutinitas rumah


Sejak menjadi istri, akan ada rutinitas pekerjaan rumah atau kerennya kita sebut
saja urusan domestik yang dijalani setiap harinya. Masak, mencuci alat masak dan
makan, mencuci pakaian, menjemur, menyapu, mengepel, daaaan masih banyak
lagi. Nah, ini tidak kalah harus kita persiapkan, dengan cara apa? Yaa berlatih.
Sejak single berlatihlah memasak, beberes, dan melakukan urusan domestik
lainnya. Karena sungguh, hal ini akan membantu kita menyesuaikan diri. Nanti,
setelah punya anak, urusan domestik tentu akan bertambah. Bersiap-siaplah
untuk belajar kelapangan hati saat rumah tidak selalu rapi sesuai ekspektasi, ada
hal yang terbengkalai karena fokus pada bayi, dan sebagainya. Belajar untuk bisa
berkomunikasi efektif dengan suami dan jangan segan untuk meminta
bantuannya.

Rutinitas, suatu saat memang akan membuat diri kita jenuh. Lakukanlah sesuatu
yang kita sukai, buatlah jeda, lakukan “me-time” agar lebih bahagia. Ini seakan
sebuah siklus kehidupan, yang harus kita lakukan adalah melewati, bukan
mengakhiri. Jadi pintar-pintarlah mencari alternatif solusi yang tidak akan
membetur-benturkan antara peran dan kebutuhan diri kita ya!

• Belajar terus-menerus
Menjadi istri dan ibu adalah peran sepanjang masa. Ada banyak hal yang harus
kita pelajari. Jadi jangan berhenti untuk menjadi muslimah pembelajar ya!
Belajarlah sedikit-sedikit, tidak perlu langsung banyak. Setidaknya, bangunkan
mental pembelajar itu, sehingga nanti meskipun sudah rempong menjadi ibu, kita
akan terus semangat untuk belajar.
Selepas dari tugas-tugas yang akan kita alami sebagai seorang ibu, satu hal yang perlu
kita yakini adalah menjadi ibu adalah berjihad. Mintalah bimbingan dari Allah agar kita
mampu menjalankan peran yang tidak mudah ini. Kelak, akan ada rasa tidak nyaman,
terkadang harus mengalah demi anak, lelah, dan sebagainya. Namun, niatkan kembali
bahwa yang kita lakukan adalah karena Allah, ini adalah bentuk pengorbanan kita
menjalankan amanah dari-Nya. Sehingga ketika perasaan itu menghampiri, kembalilah
pada Allah, mohon bimbingan-Nya, gantungkan harap hanya kepada-Nya. Allah akan
selalu bersama kita.

Working Mom Vs Full-Time Mom


Apa yang teman-teman bayangkan dari judul di atas? Yaaak, salahsatu perseteruan atau
dilema sebagai emak-emak, hehe. Ingin sepenuhnya mengurus anak, tapi.. Ingin kerja
agar bisa berkegiatan dan mendapatkan uang. Atau, ingin kerja biar gak dinyinyirin
“sayang tuh udah kuliah tinggi tapi gak kerja”, tapi... gak tega ninggalin anak sama nenek
atau di daycare. Jadi gimana dong? Sebenarnya boleh gak sih, ibu bekerja? Atau pasrah
jadi ibu rumah tangga seutuhnya aja?

Oke, sebelumnya kita samakan persepsi dulu, ya. Seperti yang sudah kita bahas
sebelumnya, menjadi ibu adalah peran yang paaaaaling mulia bagi seorang perempuan.
Suami kita saja tidak bisa menggantikannya. Sederhananya, menjadi ibu adalah fitrah
seorang perempuan. Fitrah kita salahsatunya memberikan kenyamanan, kasih sayang,
perawatan kepada anggota keluarga termasuk anak. Dan dari fitrah ini, hadirlah
tanggung jawab paling besar dari seorang perempuan yaitu anak (ingat lagi hadits
sebelumnya ya). Itulah kenapa, hendaknya anak menjadi prioritas utama seorang
perempuan yang telah menjadi ibu. Sampai sini, sepakat kan? :)

Nah, dalam islam, sebagai perempuan kita punya hak yang sama seperti laki-laki untuk
mengaktualisasikan diri. Kita juga diperbolehkan bekerja kok, selama merupakan
pekerjaan yang halal. Sekolah (melanjutkan pendidikan) apalagi, tidak ada larangan
untuk melakukannya.

Bekerja, sekolah, mengurus anak sama-sama bernilai kebaikan, jadi janganlah kita
membenturkan antara satu kebaikan dengan kebaikan lainnya. Namun tatkala seorang
perempuan telah menjadi ibu maka kembali lagi pada fitrahnya. Meski bekerja, ibu punya
amanah yang lebih besar dibandingkan pekerjaan kantornya yaitu anak. Kalau pekerjaan
kantor akan kita pertanggungjawabkan ke atasan/bos, sedangkan anak, kita
pertanggungjawabkan ke Allah, jelas kan mana yang lebih besar tanggung jawabnya?

Maka dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa seorang ibu boleh-boleh saja kok bekerja,
dengan catatan tanggung jawab utamanya (anak) sudah terpenuhi lebih dulu dan
mendapatkan ridho dari suami. Tapi kalau dengan ibu bekerja urusan anak jadi
terbengkalai, hmm, sebaiknya dipertimbangkan kembali.
Apa indikatornya sudah terpenuhi atau belum? Nah, ini kembali pada diri ibu masing-
masing yang paling memahami kondisi diri dan anaknya.

Tapi tapi tapi.. Kalau jadi ibu rumah tangga kan jadi gak bisa kerja deh, jadi kurang
berkembang, gak bisa mengaktualisasikan diri, gak bisa punya penghasilan sendiri, deelel.
Eittssss, siapa bilang?! Jadi ibu rumah tangga kita itu juga bekerja lho, tapi bekerja di
ranah domestik sedangkan kalau di suatu lembaga (kantor) berarti kita bekerja di ranah
publik. Hanya beda tempat kerja, penghasilan, dan “atasan”. Tidak bisa berkembang dan
mengaktualisasikan diri? Waaah, salah besar! Selama kita mengetahui potensi diri dan
memaksimalkannya, sebenarnya kita sedang berproses untuk terus berkembang, lho.
Cuman masalahnya kalau jadi ibu kan suka malas karena nyaman berada di zona aman,
itulah yang jadi membuat kita sulit berkembang. Sekarang, media belajar sudah banyak
sekali, bisa dari video, podcast, ikut seminar/kajian online, dan lain-lain. Kita bisa tetap up
to date dengan berita terkini meski hanya berada di dalam rumah. Terus apa lagi, gak
bisa berpenghasilan sendiri? Duh, berarti kita nih yang ketinggalan zaman. Sekarang mah
siapapun bisa kerja dari rumah, kerja utamanya tetap ibu rumah tangga, tapi kerja
sampingannya jualan online. Jualan pakaian, makanan, jasa desain, berbagi ilmu, semua
bisa kita lakukan secara online. Kalau gak bisa menghasilkan uang, mungkin kitanya yang
kurang berusaha. Ah, tapi sejatinya kita berniaga harusnya bukan karena uang saja, kan?
Melainkan rezeki dan keberkahan-Nya. Rezeki bisa berbentuk macam-macam,
kesehatan, kecukupan, kebahagiaan, anak dan suami yang sholeh, dll.

Alhamdulillah saya sudah membuktikannya. Kalau saya sih, alhamdulillah sekarang


sudah menikmati peran sebagai full-time mother. Dalam 2 tahun kebelakang saya
sempat jatuh bangun menyesuaikan peran diri ini karena memang Affan hanya kami urus
berdua tanpa bantuan orang tua. Tapi alhamdulillah dengan dukungan suami -dan atas
izin Allah tentunya- saya bisa melewati ini semua. Ssttt, saya kasih tahu sedikit, jadi IRT itu
enak, gak terikat dengan siapapun, cuman terikat dengan suami. Tapi asyiknya, kalau
suami ada kerjaan di luar kota, kita bisa ikut kapan saja, hihihi.

MasyaAllah, tak terasa saya sudah ngetik sebanyak ini, haha. Ini mah curcol kali ya.
Begitulah kurang lebih persiapan diri yang perlu kita hadapi untuk menikah nanti.
Gimanaaa, setelah ini apakah teman-teman menjadi lebih siap untuk menikah, atau malah
merasa banyak PR untuk mempersiapkan pernikahan? :)

Yuk sharing di sesi diskusi! 😊


Let’s keep contact !
Instagram : @nidathifah

Blog : www.nidathifah.com

Email : nida.muthi@gmail.com

Referensi tulisan:
• Bahagianya Merayakan Cinta - Salim A. Fillah
• Fiqih Wanita - Dr. Yusuf Qaradhawi

Anda mungkin juga menyukai