Siap Nikah:
Siap Menjadi Istri & Ibu
Sejatinya, islam sudah memberikan rambu-rambu untuk kita terkait menikah. Apa yang
kita cari dari pernikahan? Harusnya bukan hanya bahagia, tapi juga keberkahan. Dan
keberkahan ini bermula dari niat menikah. Saat niat kita dihadirkan untuk Allah dan
beribadah kepada-Nya, insyaAllah keberkahan akan kita dapatkan melalui hadirnya
kebaikan yang terus-menerus dalam rumah tangga kita, insyaAllah. Oleh karenanya,
akan lebih baik jika kita tak terburu-buru untuk menikah, melainkan menyegerakannya.
Apa bedanya? Terburu-buru adalah kondisi dimana “siap-gak-siap yang penting
nikah”, kondisi ini membuat kita tidak benar-benar siap dan mempersiapkannya.
Sedangkan menyegerakan adalah ketika kita senantiasa mempersiapkan diri dalam
menghadapi kehidupan rumahtangga kelak, dan jika sudah ada calon maka tidak
berlama-lama untuk melangsungkan pernikahan itu sendiri.
Lalu bagaimana dengan nikah muda dan nikah dini? Sebenarnya kembali lagi ke
undang-undang di negeri kita. Negara sudah mengatur, tinggal kita sesuaikan dengan
kesiapan kita saja. Toh tujuannya baik, agar kita bisa mempersiapkan pernikahan lebih
matang, pun berkaitan dengan kemampuan perempuan untuk bereproduksi. Terlebih,
kala kita menikah muda perlu menyiapkan diri jika terjadi finansial yang belum mapan,
emosi yang belum stabil, masih harus menyelesaikan studi, dan lain-lain. Namun..
sebenarnya berapapun usia kita nikah, bukan soal nikah muda atau tua, yang
terpenting adalah nikah dewasa, dewasa yakni saat kita sudah mempersiapkan diri
untuk mengarungi asam manis bahtera rumah tangga.
Begitu kira-kira “resume” dari kulwap Ramadhan sebelumnya. Nah.. namun dari situ,
muncullah pertanyaan, apa tandanya kita sudah siap nikah? Hehe, sebenarnya kami
membahasnya lebih lengkap di #PreMarriageTalk Class, tapi.. Saya bocorin dikit ya :D
Sebenarnya dalam #PreMarriageTalk saya dan Sarah sepakat bahwa tidak ada indikator
khusus tanda seseorang siap menikah, selain satu hal. Kenapa? Karena manusia itu kan
unik, kesiapan dan persiapan khusus (kalau umum mah banyak, hehe) dalam diri tiap
orang itu bisa berbeda-beda. Tapi satu hal dalam hadits yang bisa kita jadikan acuan
adalah ba’ah, yakni kesiapan kita untuk berhubungan suami-istri. Selebihnya, bisa
menyesuaikan kondisi masing-masing.
Ternyata eh ternyata, selain yang sudah disebutkan tadi, ada hal yang perlu kita
(perempuan) persiapkan, khususnya terkait peran dan tanggung jawab kita pasca
menikah. Peran inilah yang dengan segera maupun tidak, akan melekat dalam diri
seorang perempuan, sesuai dengan fitrah. Peran ini pula yang jika kita lakukan dengan
ikhlas karena Allah, maka insyaAllah akan bernilai ibadah, mau kaaaan? :’)
Apakah itu? Ya, menjadi istri dan ibu, kayak judul kulwap ini, hehe. Meskipun secara tidak
langsung, peran diri kita seakan bertambah berkali-kali lipat setelah menikah, selain jadi
istri dan ibu, kita juga menjadi anak menantu, kakak atau adik ipar, dan peran-peran
lainnya yang menyesuaikan dengan pasangan kelak.
Kalau nikah kita memang “otomatis” telah menjadi istri. Tapi apakah kita sudah paham
seperti apa tugas seorang istri? Pun menjadi ibu. Menikah lalu punya anak itu sunnatullah,
seakan sepaket dalam pernikahan, karena itu peran keduanya tidak boleh kita sepelekan,
tetap harus disiapkan. Sekalipun kita berencana menunda punya anak, tapi yaaa kita
hanya berencana, Allah lah yang menentukan, bisa jadi Allah mengamanahkan anak
segera, bukan? :)
Karena agak panjang.. Yuk kita bahas satu per satu terkait dua peran tersebut!
Tarik nafas panjang... hembuskan... Bismillah.
Menjadi istri ta’at penuh cinta
Ketika suami melakukan akad dengan orang tua atau wali kita, disaat itulah semua
tanggung jawab orang tua terhadap anaknya berpindah pada “bahu” suami. Kini suami
bertanggung jawab atas semua yang kita lakukan, itu mengapa jika kita bisa
menjalankan peran sebagai istri sebaik-baiknya, surga menjadi balasannya. Nah, ada hal-
hal yang perlu kita ketahi untuk menjalankan peran sebagai istri, yaitu:
MasyaAllah, ta’at pada suami seakan merupakan keutamaan kita sebagai istri,
sampai dijamin surga oleh Allah. Tapi, keta’atan seperti apa yang bisa kita
lakukan? Bisa dengan menjaga amanah suami mengurus rumah, menuruti
perintah suami yang masih dalam rangka keta’atan pada Allah, menjaga harta
suami, menjaga diri ketika suami tidak di rumah, meminta izin ketika keluar rumah,
meminta keridhoan suami saat hendak melakukan sesuatu, bersikap sopan pada
suami, menghormati dan tidak merendahkan suami, menghargai pendapat suami,
dan masih banyak lagi.
Oh iya, meski begitu bukan berarti setelah nikah diri kita akan "terbelenggu"
dengan status istri. Istri boleh kok tetap berkarya, memaksimalkan potensinya,
asal tetap dalam koridor yang tepat. Buktinya, alhamdulillah atas dukungan suami,
saya dan Sarah bisa menjalankan #PreMarriageTalk ini. Berkarya boleh saja, asal
jangan sampai kita melupakan kewajiban atau tanggung jawab sebagai istri :)
• Memenuhi kebutuhan biologis
“Wahai para pemuda, siapa yang mampu menanggung beban pernikahan maka
hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu, maka
hendaklah baginya berpuasa, karena sesunguhnya puasa itu adalah perisai
baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Salahsatu keutamaan menikah ialah kita dapat lebih menundukkan dan menjaga
pandangan. Itulah kenapa berhubungan suami istri menjadi kebutuhan utama
dalam pernikahan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Karen itu ketika
suami minta melakukan hubungan suami istri, istri wajib menurutinya. Kalaupun
tidak, sampaikan dengan baik. Islam sudah mengajarkan adab-adab untuk hal ini
secara lengkap. Silahkan pelajari melalui buku atau kajian islami sebelum nikah,
agar ketika memasuki dunia pernikahan kita tidak akan kaget dengan hal ini. Tapi…
kalau malu untuk membacanya, teman-teman bisa kok membacanya nanti
menjelang pernikahan, karena menuntut ilmu terkait hubungan suami istri ini perlu
dilandasi dengan keimanan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Ibarat pakaian, ia menutupi, melindungi, menjaga diri kita, bukan? Begitulah peran
kita sebagai istri, sebenarnya tidak hanya bagi istri, hal ini berlaku pula untuk
suami. Ketika sudah menikah, aib pasangan dapat menjadi aib diri kita sendiri.
Sehingga baik aib atau kesalahan, kekurangan, kelemahan serta keburukan suami
seperti yang disebutkan pada poin sebelumnya harus kita tutupi, kita tidak
diperbolehkan menceritakan kepada siapapun tanpa alasan yang bisa
dibenarkan.
• Mendukung suami
Bukan cuman kita yang membutuhkan dukungan, suami pun membutuhkannya
dari istri. So, jangan banyak menuntut tapi penuhi hak suami. Berikan dan
tunjukkan dukungan kita pada suami terhadap upaya yang beliau lakukan,
berikan apresiasi atau kejutan juga tidak mengapa. Pahami bahasa cintanya,
belajarlah untuk berkomunikasi efektif agar mengurangi kesalahpahaman saat
berinteraksi dengannya.
Cerita sedikit, saya ini senang sekali membuat kejutan, sedangkan suami mengaku
selalu gagal kalau membuat kejutan. Itu kenapa dalam 3 tahun pernikahan kami,
saya yang seperti lebih banyak memberikan kejutan untuk suami, dan suami
senang dengan hal itu. Saya sih gak masalah, karena membahagiakan suami itu
sama seperti membahagiakan diri sendiri. Gak perlu gengsi untuk memberikan
kejutan pada suami. :)
Ada benarnya sih, karena suami-istri itu ibarat cermin, kalau perangai kita jelek,
suami akan "tercap" jelek, pun sebaliknya. Ingat kan, kasus seorang istri pelawak
yang menjelekkan salahsatu calon presiden? Hingga akhirnya menurunkan
reputasi suaminya (ini terlepas dari kasus sang suami kemudian yaa). Ini jadi
contoh bahwa mau tidak mau kita memang perlu bersikap menyesuaikan
pasangan kita. Kalau suami kita "presiden", kita harus mencerminkan "istri
presiden", jangan cengengesan. Begitulah kira-kira, hehe.
Poin-poin di atas penting sekali untuk kita sadari sebelum nikah, sehingga kelak saat nikah
kita tidak akan "kaget" dengan tugas sebagai istri ini. Dan mungkin ini hanya beberapa,
kalau ada tambahan boleh disampaikan saat diskusi ya...
Ibu, adalah madrasah (sekolah) pertama dan utama bagi anak-anaknya. Salahsatu peran
terbesar dan paling mulia bagi seorang perempuan serta tidak bisa digantikan oleh orang
lain adalah menjadi ibu. Bahkan dalam Rasulullah saw menyebutkan, seorang ibu yang
meninggal saat melahirkan mendapatkan “label” syahid, masyaAllah. Hal apa saja yang
akan dijalani saat menjadi ibu?
• Memberikan ASI
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan.” (Qs. Al-Baqarah: 233)
Setelah melahirkan, tentu seorang ibu akan menjalani masa menyusui. Naah, ini
juga tidak kalah serunya. Bagi ibu yang pertama kali menyusui pasti akan banyak
kebingungan dan keresahan yang dialami, makanya penting untuk teman-teman
yang ingin menikah untuk mempersiapkan hal ini dari sekarang. Tapi
persiapannya mulai dari mana? Yak, dari surah di atas. Bahwa sebenarnya Allah
memerintahkan kita untuk memberikan ASI kepada anak selama 2 tahun penuh.
Selain bermanfaat bagi anak, ini adalah salahsatu amanah dari Allah dan hak
anak yang patut kita berikan. Mindset ini perlu kita teguhkan dalam hati, karena
ternyata menyusui adalah sebuah perjuangan. Tanpa berjuang, mungkin ASI kita
hanya akan keluar sedikit-sedikit hingga akhirnya kita menyerah dengan
memberikan susu formula saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Huhu, nanti sedih
deh rasanya. Makanya, yuk dari sekarang dipersiapkan dengan mencari ilmu
sebanyak-banyaknya.
Nahloh. Ternyata anak juga menjadi tanggung jawab kita lho.. Bagaimana kita
memperlakukan, merawat, mendidik, dan membesarkan mereka itu akan kita
pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Makanya sebenarnya soal anak ini bukan
cuman urusan dunia, tapi “investasi” akhirat kita. Tidak hanya bertugas
membesarkan anak, sebagai ibu juga harus mendidik anak-anak dengan
menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, mendidik keta’atan pada Allah
swt dan Rasulullah saw, serta berakhlak mulia, bukan hanya cerdas intelektualnya.
Rutinitas, suatu saat memang akan membuat diri kita jenuh. Lakukanlah sesuatu
yang kita sukai, buatlah jeda, lakukan “me-time” agar lebih bahagia. Ini seakan
sebuah siklus kehidupan, yang harus kita lakukan adalah melewati, bukan
mengakhiri. Jadi pintar-pintarlah mencari alternatif solusi yang tidak akan
membetur-benturkan antara peran dan kebutuhan diri kita ya!
• Belajar terus-menerus
Menjadi istri dan ibu adalah peran sepanjang masa. Ada banyak hal yang harus
kita pelajari. Jadi jangan berhenti untuk menjadi muslimah pembelajar ya!
Belajarlah sedikit-sedikit, tidak perlu langsung banyak. Setidaknya, bangunkan
mental pembelajar itu, sehingga nanti meskipun sudah rempong menjadi ibu, kita
akan terus semangat untuk belajar.
Selepas dari tugas-tugas yang akan kita alami sebagai seorang ibu, satu hal yang perlu
kita yakini adalah menjadi ibu adalah berjihad. Mintalah bimbingan dari Allah agar kita
mampu menjalankan peran yang tidak mudah ini. Kelak, akan ada rasa tidak nyaman,
terkadang harus mengalah demi anak, lelah, dan sebagainya. Namun, niatkan kembali
bahwa yang kita lakukan adalah karena Allah, ini adalah bentuk pengorbanan kita
menjalankan amanah dari-Nya. Sehingga ketika perasaan itu menghampiri, kembalilah
pada Allah, mohon bimbingan-Nya, gantungkan harap hanya kepada-Nya. Allah akan
selalu bersama kita.
Oke, sebelumnya kita samakan persepsi dulu, ya. Seperti yang sudah kita bahas
sebelumnya, menjadi ibu adalah peran yang paaaaaling mulia bagi seorang perempuan.
Suami kita saja tidak bisa menggantikannya. Sederhananya, menjadi ibu adalah fitrah
seorang perempuan. Fitrah kita salahsatunya memberikan kenyamanan, kasih sayang,
perawatan kepada anggota keluarga termasuk anak. Dan dari fitrah ini, hadirlah
tanggung jawab paling besar dari seorang perempuan yaitu anak (ingat lagi hadits
sebelumnya ya). Itulah kenapa, hendaknya anak menjadi prioritas utama seorang
perempuan yang telah menjadi ibu. Sampai sini, sepakat kan? :)
Nah, dalam islam, sebagai perempuan kita punya hak yang sama seperti laki-laki untuk
mengaktualisasikan diri. Kita juga diperbolehkan bekerja kok, selama merupakan
pekerjaan yang halal. Sekolah (melanjutkan pendidikan) apalagi, tidak ada larangan
untuk melakukannya.
Bekerja, sekolah, mengurus anak sama-sama bernilai kebaikan, jadi janganlah kita
membenturkan antara satu kebaikan dengan kebaikan lainnya. Namun tatkala seorang
perempuan telah menjadi ibu maka kembali lagi pada fitrahnya. Meski bekerja, ibu punya
amanah yang lebih besar dibandingkan pekerjaan kantornya yaitu anak. Kalau pekerjaan
kantor akan kita pertanggungjawabkan ke atasan/bos, sedangkan anak, kita
pertanggungjawabkan ke Allah, jelas kan mana yang lebih besar tanggung jawabnya?
Maka dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa seorang ibu boleh-boleh saja kok bekerja,
dengan catatan tanggung jawab utamanya (anak) sudah terpenuhi lebih dulu dan
mendapatkan ridho dari suami. Tapi kalau dengan ibu bekerja urusan anak jadi
terbengkalai, hmm, sebaiknya dipertimbangkan kembali.
Apa indikatornya sudah terpenuhi atau belum? Nah, ini kembali pada diri ibu masing-
masing yang paling memahami kondisi diri dan anaknya.
Tapi tapi tapi.. Kalau jadi ibu rumah tangga kan jadi gak bisa kerja deh, jadi kurang
berkembang, gak bisa mengaktualisasikan diri, gak bisa punya penghasilan sendiri, deelel.
Eittssss, siapa bilang?! Jadi ibu rumah tangga kita itu juga bekerja lho, tapi bekerja di
ranah domestik sedangkan kalau di suatu lembaga (kantor) berarti kita bekerja di ranah
publik. Hanya beda tempat kerja, penghasilan, dan “atasan”. Tidak bisa berkembang dan
mengaktualisasikan diri? Waaah, salah besar! Selama kita mengetahui potensi diri dan
memaksimalkannya, sebenarnya kita sedang berproses untuk terus berkembang, lho.
Cuman masalahnya kalau jadi ibu kan suka malas karena nyaman berada di zona aman,
itulah yang jadi membuat kita sulit berkembang. Sekarang, media belajar sudah banyak
sekali, bisa dari video, podcast, ikut seminar/kajian online, dan lain-lain. Kita bisa tetap up
to date dengan berita terkini meski hanya berada di dalam rumah. Terus apa lagi, gak
bisa berpenghasilan sendiri? Duh, berarti kita nih yang ketinggalan zaman. Sekarang mah
siapapun bisa kerja dari rumah, kerja utamanya tetap ibu rumah tangga, tapi kerja
sampingannya jualan online. Jualan pakaian, makanan, jasa desain, berbagi ilmu, semua
bisa kita lakukan secara online. Kalau gak bisa menghasilkan uang, mungkin kitanya yang
kurang berusaha. Ah, tapi sejatinya kita berniaga harusnya bukan karena uang saja, kan?
Melainkan rezeki dan keberkahan-Nya. Rezeki bisa berbentuk macam-macam,
kesehatan, kecukupan, kebahagiaan, anak dan suami yang sholeh, dll.
MasyaAllah, tak terasa saya sudah ngetik sebanyak ini, haha. Ini mah curcol kali ya.
Begitulah kurang lebih persiapan diri yang perlu kita hadapi untuk menikah nanti.
Gimanaaa, setelah ini apakah teman-teman menjadi lebih siap untuk menikah, atau malah
merasa banyak PR untuk mempersiapkan pernikahan? :)
Blog : www.nidathifah.com
Email : nida.muthi@gmail.com
Referensi tulisan:
• Bahagianya Merayakan Cinta - Salim A. Fillah
• Fiqih Wanita - Dr. Yusuf Qaradhawi