MeMberdayaKan:
Hasil asesmen p2tp2a
di 16 provinsi
Kerjasama
KOMNAS PEREMPUAN
dan
FORUM PENGADA LAYANAN (FPL)
2017
KETERPADUAN LAYANAN
YANG MEMBERDAYAKAN:
Kerjasama
KOMNAS PEREMPUAN
dan
FORUM PENGADA LAYANAN (FPL)
2017
FF OO RR UU M
M
PENGADALAYANAN
PENGADA LAYANAN
BAGI
BAGI PEREMPUAN
PEREMPUAN KORBAN
KORBAN KEKERASAN
KEKERASAN
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Tim Penulis :
• Retno Agustin (Penulis Utama)
• Fatkhurozi
• Indriyati Suparno
• N.K.Endah Triwijati
• Mun Djenaan
• Rahmawati Bagang
• Samsidar
• Saur Tumiur Situmorang
• Soraya Ramli
• Susi Handayani
• Vitria Lazzarini
Editor :
• Indriyati Suparno
• Samsidar
• Soraya Ramli
Publikasi ini disusun dan dicetak oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
dengan dukungan dari Kemitraan Australia – Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan
Perempuan (MAMPU). Program MAMPU merupakan inisiatif bersama antara Pemerintah Indonesia dan
Australia bertujuan untuk meningkatkan akses perempuan miskin di Indonesia untuk layanan penting
dan program pemerintah lainnya dalam rangka mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan. Informasi yang disajikan dalam publikasi ini adalah tanggung jawab dari tim produksi dan
tidak mewakili pandangan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia.
| ii
Pengantar Komnas Perempuan
G
agasan layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan muncul pertama sekali lewat
Kesepakatan Tiga Menteri dan Kapolri (KATMAGATRIPOL) pada tahun 2002.
Sejak itu upaya pemerintah untuk menyediakan layanan terpadu bagi perempuan
dan anak korban kekerasan terus menguat, lewat sejumlah peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang layanan terpadu baik di tingkat nasional maupun daerah, serta lewat
pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Komnas
Perempuan mencatat, dari 301 kebijakan kondusif yang dihasilkan Pemerintah Daerah, sebagiannya
mengatur tentang pembentukan P2TP2A. Meski dimungkinkan keterpaduan layanan lewat sistem
rujukan, namun rata-rata P2TP2A yang dibentuk menggunakan konsep layanan satu atap.
Namun demikian dalam perkembangannya, tidak seluruh P2TP2A dapat menjalankan perannya
sebagai mekanisme pemulihan bagi perempuan (dan anak) korban kekerasan. Minimnya dukungan
Pemerintah Daerah terutama dalam penyediaan anggaran, merupakan tantangan yang hingga saat
ini belum sepenuhnya terselesaikan. Dalam catatan Komnas Perempuan, hanya Pemerintah Provinsi
Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan DKI Jakarta yang memberikan dukungan memadai bagi
pelaksanaan mandat P2TP2A, baik dari sisi anggaran maupun infrastruktur, sehingga perannya dalam
pendampingan korban dapat berjalan.
Selain persoalan anggaran, keterbatasan sumber daya manusia dan ketiadaan sistem tata kelola
P2TP2A juga menjadi penyebab P2TP2A tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya secara
optimal. Beragamnya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (dan anak) dengan kompleksitas
persoalannya, membutuhkan kreatifitas dan inovasi tersendiri agar dapat menjawab kebutuhan
korban. Namun kenyataannya, kebutuhan tersebut belum dapat direspon oleh P2TP2A secara tepat
dan menyeluruh. Meski tidak seluruh P2TP2A mengalami kondisi sebagaimana tersebut di atas,
namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa keberadaan P2TP2A sebagai “ujung tombak” layanan
terpadu bagi perempuan (dan anak) korban kekerasan masih membutuhkan pembenahan agar dapat
menjalankan mandatnya dalam memberikan layanan bagi perempuan (dan anak) korban kekerasan
yang merupakan wujud dari tanggungjawab pemerintah terhadap pemenuhan hak korban.
Beranjak dari latar belakang tersebut dan juga sebagai bentuk pelaksanaan tugas dan kewenangan
Komnas Perempuan sebagai mekanisme nasional HAM dengan mandat khusus penghapusan kekerasan
terhadap perempuan, Komnas Perempuan memandang perlu melakukan assesmen terhadap P2TP2A
iii |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
untuk mendapat masukan aktual tentang keberadaan P2TP2A dalam mendukung pemenuhan hak
perempuan korban kekerasan. Assesmen ini dilakukan bersama dengan Forum Pengada Layanan
(FPL). Pelibatan FPL dalam asesmen ini, bukan saja sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam
penghapusan kekerasan terhadap perempuan, namun juga dikarenakan FPL merupakan jejaring
lembaga layanan bagi perempuan korban kekerasan yang berperan dalam membangun dan memajukan
layanan di daerahnya masing-masing, dan juga mitra P2TP2A.
Bagi Komnas Perempuan, hasil asesmen yang telah melalui proses panjang ini merupakan
masukan dan sekaligus tantangan bagi semua pihak yang memiliki peran dan tanggung jawab dalam
memajukan layanan bagi perempuan (dan anak) korban kekerasan, secara mudah, cepat dan berkualitas.
Azriana
Ketua Komnas Perempuan
| iv
Pengantar
D
ari tahun ke tahun perempuan yang mengalami kekerasan cenderung semakin meningkat.
Catatan Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Kekerasan (FPL ) pada tahun
2016 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani adalah 4.048 kasus.
Jumlah ini adalah yang ditangani oleh 30 lembaga (saja) anggota FPL. Jadi setidaknya
pada tahun 2016, 1 (satu) lembaga menangani kasus (baru) 11-12 kasus setiap bulannya.
Dari satu sisi angka di atas dapat menunjukan bahwa semakin meningkatnya kesadaran
masyarakat khususnya perempuan yang mengalami kekerasan untuk melaporkan peristiwa kekerasan
yang dialaminya. Namun di sisi yang lain menunjukan bahwa peristiwa kekerasan terhadap perempuan
merupakan persoalan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang mempengaruhi
kualitas hidup dan masa depan perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, dan karenanya harus
ditangani secara komprehensif dan berkualitas dengan pendekatan yang berperspektif korban.
Pembentukan P2TP2A atau nama lainnya yaitu pusat pelayanan terpadu (PPT) sejak tahun 2002
merupakan respon Pemerintah Indonesia terhadap perempuan dan anak yang mengalami kekerasan.
Keberadaan P2TP2A sebagai jawaban atas persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak, pada
awalnya adalah gagasan dan komitmen pemerintah bersama masyarakat sipil dalam menghadirkan
layanan yang menyeluruh dan terpadu bagi korban, agar korban dapat mengakses keadilan dan
kebutuhannya untuk memulihkan diri dan kehidupannya. Keterpaduan mekanisme layanan bagi
perempuan dan anak yang mengalami kekerasan berangkat dari kesadaran bahwa pengalaman kekerasan
yang dialami perempuan korban sangatlah beragam, dan dampak yang ditimbulkannya juga tidak
tunggal tapi multi impact, mempengaruhi segala aspek kehidupan korban, karenanya penanganannya
pun membutuhkan beragam intervensi dan menyeluruh. Secara ringkas pendirian P2TP2A adalah
perwujudan dari mekanisme layanan terpadu, juga gambaran keterpaduan pemerintah dan masyarakat
dalam menangani perempuan dan anak korban kekerasan, yang tergambar dalam struktur dan unsur
kepengurusan P2TP2A.
Keberadaan P2TP2A tidak hanya strategis bagi perempuan dan anak korban kekerasan tapi juga
bagi lembaga non pemerintah seperti Forum Pengada Layanan. Di banyak provinsi dan kabupaten,
keberadaan dan gerak P2TP2A tidak terlepas dari komitment dan keberpihakan lembaga maupun
individu yang ada di FPL dalam memberikan pendampingan/ layanan dan mendekatkan akses keadilan
pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan. Dinamika dan kapasitas P2TP2A dapat dikatakan
berpengaruh signifikan bagi kerja-kerja FPL dan lembaga layanan lainnya dalam menjalankan mandat
dan keberpihakannya.
v |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Asesmen ini merupakan wujud kepedulian FPL terhadap keberadaan P2TP2A, upaya yang
dilakukan FPL untuk memajukan P2TP2A dan mendorong P2TP2A agar lebih optimal dan berkualitas
dalam memberi layanan dan sebagai motor utama dalam gerakan penanganan layanan terhadap
perempuan dan anak korban kekerasan. Melihat dari hasil pemetaan yang dihimpun dalam laporan
ini, walaupun banyak kemajuan yang sudah dicapai P2TP2A, beberapa terobosan baik yang telah
dilakukan P2TP2A, sebagai koordinator dalam layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan
P2TP2A, masih harus bekerja keras dan memposisikan kelembagaan, peran-fungsinya dengan lebih
strategis.
Pembentukan P2TP2A yang tersebar luas di seluruh provinsi dan kabupaten-kota di Indonesia,
tidak berpuas diri dengan memenuhi aspek kuantitas, keluasan sebarannya tetapi yang terpenting
adalah memastikan kualitas layanan terhadap korban semakin meningkat dan memenuhi rasa adil
dan kebutuhan korban. Banyaknya perangkat kebijakan mekanisme kerja (SOP) tanpa kemampuan
mengimplementasikan, akan menjadikan P2TP2A sebagai lembaga yang prioritas pada formalitas
bukan pada pencapaian kinerja yang lebih substantif. Pendekatan yang semata-mata meletakan
prioritas keberlangsungan P2TP2A dengan memastikan ketersediaan anggaran, sarana-prasarana
melalui UPTD di bawah Dinas, perlu dikaji ulang dan tidak dijadikan goal capaian P2TP2A. Begitu
juga kecenderungan menjadikan P2TP2A sebagai pusat implementasi pelaksana tunggal dalam kerja
layanan bagi korban, akan menjadikan P2TP2A sebagai lembaga yang sarat beban, membutuhkan
prasyarat yang tinggi dan ekslusif. Secara pasti akan menjauhkan peran jejaring kerja dan pada akhirnya
spirit sebagai koordinator dan peran konsolidasi dalam mengarusutamakan mengintegrasikan layanan
yang berperspektif korban akan tertinggal di belakang. Konsep dan spirit layanan terpadu akan disikapi
sebagai sebuah lembaga tunggal bukan sebagai mekanisme kerja yang saling melengkapi dan terpadu.
Meletakkan posisi struktur P2TP2A dalam organisasi tatalaksana OPD haruslah secara
proporsional dengan mempertimbangkan keluasan mandat, fungsi dan tanggung jawabnya terutama
dalam mengkoordinasikan kerja-kerja penanganan korban dengan berbagai OPD-SKPD dan lembaga
lainnya. Pilihan posisi struktur P2TP2A yang tidak mampu menjawab tantangan keluasan mandat
P2TP2A, akan berpotensi menghambat kerja P2TP2A, mengecilkan kewenangan posisi P2TP2A
sebagai pelaksana teknis semata tanpa kewenangan membuat kebijakan dan yang akhirnya terjebak
dalam birokrasi struktural yang semakin panjang.
Kami menyadari pemetaan yang kami lakukan belumlah sempurna, dengan keterbatasan
waktu dan sumberdaya yang ada pada kami, hasil asesmen ini tidak bisa memberi pembelajaran dan
rekomendasi, solusi yang sempurna bagi keberadaan P2TP2A ke depan. Kiranya hasil asesmen ini bisa
dijadikan pijakan bagi pemerintah khususnya dan semua pihak yang peduli dan terlibat dalam kerja-
kerja layanan dalam membuat kebijakan termasuk strategi restrukturisasi P2TP2A dan mekanisme
layanan yang berkualitas dan berperspektif korban.
| vi
Pengantar n
Terima kasih banyak atas kerjasama dan keterbukaan P2TP2A dan mitra kerjanya. Kesediaan
korban (penyintas) berbagi pengalamannya memberi keluasan pandang dalam menyusun laporan
ini. Kerja keras semua pihak terutama peneliti lapangan, pengolah data dan penulis wilayah dan tim
penulis akhir editor, segenap rekan-rekan FPL, pimpinan, komisioner dan Badan Pekerja Komnas
Perempuan, Bakti, Sekretariat Mampu, DFAT serta Bappenas hingga laporan ini bisa berwujud dan
menjadi dokumen pembelajaran bersama.
Samsidar
Ketua Dewan Pengarah Nasional
vii |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
U
capan terima kasih kami sampaikan kepada Badan/Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, P2TP2A, mitra jaringan P2TP2A, profesional, terutama perempuan
korban mulai dari tingkat Provinsi hingga Kabupaten dan Kota di semua wilayah asesmen
yang telah meluangkan waktu untuk diwawancara, yang telah memberikan informasi
dan data selama asesmen berlangsung hingga menjadi laporan. Terima kasih dan apresiasi mendalam
juga kami sampaikan kepada rekan-rekan FPL pengambil data lapangan hingga komplikasi hasil di
masing- masing wilayah. Tidak lupa pula kami sampaikan terima kasih kepada para penulis, terutama
Retno Agustin atas kesabarannya dalam menyelesaikan penulisan laporan ini.
Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah mendukung asesmen
ini dan tidak sempat kami sebutkan satu-persatu. Kiranya hasil asesmen menjadi semangat baru bagi
kerja-kerja pemenuhan hak perempuan korban kekerasan dan pemenuhan hak asasi perempuan.
Salam
| viii
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan............................................................................................................................................................................................................................................................ 1
a. Latar Belakang....................................................................................................................................................................................................................................... 1
b. Tujuan............................................................................................................................................................................................................................................................... 2
c. Hasil yang diharapkan............................................................................................................................................................................................................. 2
d. Metodologi dan Kerangka Analisis.......................................................................................................................................................................... 2
e. Kompilasi dan Analisis Hasil............................................................................................................................................................................................ 3
f. Aspek yang dianalisis................................................................................................................................................................................................................. 3
g. Alur dan Tahapan Asesmen................................................................................................................................................................................................. 4
h. Narasumber............................................................................................................................................................................................................................................... 5
i. Pelaporan dan Tahapan Penyusunan hasil asesmen.......................................................................................................................... 5
j. Tim Peneliti.............................................................................................................................................................................................................................................. 5
BAB II
Latar Belakang Pendirian, Kerangka Regulasi dan Standar Pelayanan.................................................................................. 7
a. Latar Belakang Pendirian, kerangka regulasi dan kepengurusan............................................................................... 7
b. Kepengurusan........................................................................................................................................................................................................................................ 10
c. Struktur Keanggotaan Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota......................................................................................... 11
d. Standar Pelayanan dan Etik Penyelenggara layanan .................................................................................................................... 11
e. Etik Penyelenggaraan Layanan ..................................................................................................................................................................................... 12
f. Layanan dan Penyelenggaraan Layanan .......................................................................................................................................................... 14
g. Manajemen Kasus dan Mekanisme Rujukan............................................................................................................................................. 16
h. Manajemen Kasus Lewat Pemantauan dan Evaluasi........................................................................................................................ 17
i. Mekanisme Rujukan ................................................................................................................................................................................................................... 18
BAB III
Temuan dan Analisis .................................................................................................................................................................................................................................. 19
a. Kelembagaan ......................................................................................................................................................................................................................................... 19
i. Latar Belakang Pendirian P2TP2A di Wilayah Asesmen........................................................................................... 19
ii. Mandat dan Tujuan........................................................................................................................................................................................................ 24
ix |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
BAB IV
Pembelajaran dari pengalaman di 5 (lima) Wilayah.............................................................................................................................. 77
a. Pengalaman Pemerintah Kota Surakarta: Merubah Kelembagaan Layanan Terpadu
PTPAS menjadi UPT PTPAS Kota Surakarta............................................................................................................................ 78
i. Sejarah Pendirian Layanan terpadu Kota Surakarta PTPAS........................................................................ 78
ii. Perubahan Status Kelembagaan PTPAS menjadi UPT PTPAS............................................................... 79
iii. Sarana prasarana dan Penganggaran................................................................................................................................................ 80
iv. Layanan dan Rujukan......................................................................................................................................................................................... 81
b. Pengalaman Pemerintah Kabupaten Bandung : Memastikan Layanan Komprehensif
Dengan Mempertahankan Ciri Lembaga “Jejaring” Dalam P2TP2A Kabupaten
Bandung................................................................................................................................................................................................................................................ 81
i. Pendirian P2TP2A Kabupaten Bandung.................................................................................................................................. 81
ii. Bentuk kelembagaan dan struktur P2TP2A Kabupaten Bandung................................................... 82
iii. Ketersediaan anggaran dan sarana prasarana layanan........................................................................................ 83
iv. Keterlibatan OPD dan lembaga pengada layanan dari masyarakat............................................ 83
c. Pengalaman Pemerintah Provinsi Jawa Tengah UPTD PPA Menjadi Bagian Dari
Sistem Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu PPT Provinsi Jawa Tengah.................................................... 84
| x
Daftar Isi n
BAB V
Penutup................................................................................................................................................................................................................................................................. 93
a. Kesimpulan....................................................................................................................................................................................................................................... 93
b. Rekomendasi................................................................................................................................................................................................................................... 94
c. Pembelajaran................................................................................................................................................................................................................................... 96
c. Lampiran.............................................................................................................................................................................................................................................. 99
i. Pengambil Data Lapangan........................................................................................................................................................................... 112
ii. Tentang Komnas Perempuan.................................................................................................................................................................... 115
iii. Tentang Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan.................. 116
xi |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Glossary
| xii
Glossary n
xiii |
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Konsep Layanan terpadu untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dilahirkan
atas dasar kebutuhan untuk mendekatkan akses keadilan bagi perempuan korban dan sebagai strategi
menjawab kebutuhan korban dalam proses pemulihan. Beragamnya pengalaman kekerasan yang
dialami perempuan korban, membutuhkan pendekatan dan penanganan yang beragam, sehingga
konsep pelayanan terpadu ini dibangun dan menjadi langkah maju dalam penyelenggaraan layanan
bagi perempuan korban kekerasan.
Inisiatif masyarakat dalam melakukan penanganan dan pemulihan perempuan korban menjadi
bagian penting dari lahirnya konsep dan kebijakan layanan terpadu. Keterpaduan layanan yang
dimaksudkan adalah menguatnya mekanisme koordinasi antar institusi pengada layanan, sehingga
korban semakin cepat terbantu dan tertangani. Pemerintah merespon kebutuhan mendesak ini dengan
membangun Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) pada tahun
2002 dan dikuatkan melalui kebijakan Peraturan Menteri Negara Pemberdayan Perempuan Nomor 5
Tahun 2010 tentang Pedoman Pembentukan dan Pengembangan Pusat Pelayan Terpadu. Kebijakan
ini juga untuk merespon Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) yang sebelumnya sudah terlebih dahulu
dibentuk di Rumah Sakit (berbasis Rumah Sakit) atau di Lembaga Pengada Layanan lainnya.
P2TP2A saat ini telah terbentuk di 34 provinsi dan 390 kabupaten/kota di Indonesia (Data
Kpppa, 2016). Sebagian besar pendiriannya dilatarbelakangi oleh dorongan organisasi masyarakat
sipil, khususnya pengada layanan di daerah. Pembentukan P2TP2A di berbagai wilayah tersebut, dapat
diartikan sebagai peluang untuk memastikan perempuan korban dapat terlayani dengan baik dan
merupakan bentuk tanggung jawab negara dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan,
meskipun masih banyak tantangan menyertai penyelenggaraannya. Cita-cita awal pendirian P2TP2A
di berbagai wilayah, yakni untuk penanganan perempuan dan anak korban kekerasan menjalankan
fungsi-fungsi koordinasi dengan lembaga layanan yang sudah ada (lembaga layanan yang dibentuk
masyarakat sipil) dan antar institusi pemerintah pemberi layanan hingga saat ini belum terpenuhi.
Langkah pemerintah di tingkat Nasional untuk melakukan perbaikan terhadap peran dan fungsi
1 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
P2TP2A hingga saat ini belum berdampak signifikan dalam mempengaruhi kualitas dan cakupan layanan
di berbagai wilayah, padahal dari tahun ke tahun persoalan yang dihadapi perempuan korban semakin
komplek dan membutuhkan penanganan yang lebih profesional dan komperhensif.
Berangkat dari sejumlah persoalan di atas, dan strategisnya keberadaan P2TP2A dalam
penanganan perempuan korban kekerasan, Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan (FPL)
berinisiatif melakukan pemetaan kapasitas, kinerja, dan efektivitas P2TP2A dalam menyelenggarakan
layanan dan menjalankan fungsi koordinasi dengan lembaga layanan lainnya, termasuk melihat daya
dukung serta hambatan-hambatan yang ada di P2TP2A. Pemetaan ini dilakukan dengan melakukan
asesmen terhadap sejumlah P2TP2A, jaringan kerjanya dan perempuan korban yang mengakses
layanan P2TP2A di 16 Provinsi. Hasil asesmen dikompilasi di tingkat wilayah (5 wilayah), kemudian
dianalisis secara menyeluruh di tingkat nasional.
b. Tujuan
1. Memetakan tujuan, kapasitas pelayanan, daya dukung yang dimiliki, koordinasi dan relasi
dengan lembaga layanan, serta capaian dan tantangan P2TP2A dalam menjalankan mandat,
tugas dan fungsinya;
2. Melihat kesesuaian dan gap antara tugas dan fungsi dengan pelaksanaan, kuantitas dan
kapasitas pelayanan beserta daya dukung yang dimiliki, serta kesesuaian dengan harapan
korban;
3. Merekomendasikan strategi untuk efektivitas P2TP2A dalam menjalankan mandat, tugas
dan fungsi yang berorientasi pada pemenuhan hak perempuan korban kekerasan;
4. Merekomendasikan sejumlah pendekatan termasuk perbaikan regulasi dan dukungan dari
Pemerintah daerah dan Pemerintah Nasional terhadap P2TP2A.
| 2
Pendahuluan n
Studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan dan mengkompilasi hasil asesmen, menelaah
dokumen yang berkaitan dengan pembentukan dan pengelolan P2TP2A, baik di tingkat kabupaten/
kota/ provinsi maupun nasional, dokumen yang menjelaskan struktur organisasi, dan dokumen yang
berkaitan dengan standar pelayanan, pengelolaan sumber daya, yang berupa SOP dan dokumen
lainnya yang relevan.
Wawancara pengurus P2TP2A, para pihak yang terkait dengan fungsi P2TP2A dalam
mendalam melakukan pelayanan atau koordinasi (unit PPA Kepolisian, Dinas sosial, rumah
aman, shelter, rumah sakit, pendamping korban, penasehat hukum) dan perempuan
korban, khususnya yang pernah mengakses layanan P2TP2A.
Analisis hasil dilakukan dengan menelaah gap dan kesesuaian, capaian dan tantangan antara
regulasi, tugas dan fungsi P2TP2A dengan pelaksanaan tugas dan fungsi yang dijalankan. Analisis hasil
juga dilakukan untuk melihat sejauh mana P2TP2A menjalankan organisasinya (manajemen kelembagaan),
fungsi koordinasi, kemanfaatan bagi pihak terkait, serta daya dukung yang dimiliki (SDM, anggaran,
sarana prasarana) dengan kualitas layanan yang diberikan.
3 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Pelaksanaan asesmen
Desain instrumen dan dan penulisan Kompilasi hasil analisis Kompilasi dan
asesmen di 5 analisis tingkat Pelaporan hasil
panduan asesmen serta hasil asesmen di 5
wilayah asesmen nasional asesmen
persiapan asesmen wilayah asesmen Juni-Desember 2016
Mei 2016
| 4
Pendahuluan n
Wilayah 5 Sulawesi Utara, Kota Manado, Kota Bitung, Kota Palu, Kota Ambon,
(Sulawesi & Sulawesi Tenggara, Kota Kendari, Kab. Minahasa Selatan, Kab. Minahasa
Maluku) Sulawesi Selatan Utara, Maros, Pangkep, Kab. Poso, Kab. Sigi, Kab.
Maluku Tengah, Kab. Buru
h. Narasumber
Asesmen ini mewawancarai 412 narasumber yang terdiri dari 123 orang (31%) penyintas (kor-
ban), 72 orang (17%) pengurus/ petugas P2TP2A serta 217 orang (52%) mitra P2TP2A. Adapun
rinciannya sebagai berikut :
j. Tim Peneliti
Asesmen ini dilaksanakan sebagai bentuk kerjasama berbagai pihak. Asesmen dilaksanakan
oleh 31 organisasi FPL yang merupakan mitra/sub mitra program Mampu. Masing-masing organisasi
menentukan tim peneliti di wilayahnya berdasarkan kriteria yang dibangun bersama. Mereka adalah
anggota organisasi tersebut yang juga merupakan pendamping korban atau yang memahami tentang
kerja-kerja pendampingan perempuan korban kekeraan.
5 |
BAB II
LATAR BELAKANG PENDIRIAN,
KERANGKA REGULASI
DAN STANDAR PELAYANAN
Pada tahun 2000, Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM nasional mengembangkan sistem
dukungan bagi perempuan korban kekerasan dengan mengumpulkan kurang lebih 20 organisasi
perempuan yang melakukan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan di seluruh Indonesia.
Pertemuan yang dilaksanakan di Malang tersebut bertujuan untuk menggalang dukungan bagi
perempuan korban kekerasan dengan membangun jejaring sekaligus menyatukan sumber daya agar
kebutuhan korban dapat terfasilitasi dengan maksimal. Jejaring ini dinamakan Forum Belajar (FB)
untuk Penanganan Perempuan Korban Kekerasan.3
Inisiatif ini muncul atas kesadaran bahwa pemulihan perempuan korban kekerasan membutuhkan
sumber daya yang besar dan waktu yang kadang tidak singkat. Selain itu, penanganan perempuan
korban kekerasan tidak bisa dilakukan secara parsial dan membutuhkan keterpaduan sistem layanan.
Inisiatif penanganan yang komprehensif ini juga membutuhkan dukungan pemerintah sebagai bagian
dari tanggung jawab negara atas pemenuhan hak asasi warga negaranya, sehingga bersama forum
belajar inilah, Komnas Perempuan mendorong kerjasama antar lembaga pemerintah terkait untuk
1. Organisasi-organisasi tersebar di banyak wilayah diantaranya Women Crisis centre (WCC) Palembang, WCC Cahaya Perempuan Bengkulu, dan
WCC Suara Parangpuan Manado.
2. Di waktu yang hampir bersamaan, muncul organisasi penanganan perempuan korban kekerasan dengan nama Derap Warapsari yang dipelopori oleh
Polwan-Polwan senior.
3. FORUM BELAJAR (FB) untuk Penanganan Perempuan Korban Kekerasan, sejak november 2014 telah berganti namamenjadi FORUM
PENGADA LAYANAN (FPL) untuk Penanganan Perempuan Korban Kekerasan.
7 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
penanganan perempuan korban. Upaya inilah yang kemudian melahirkan Surat Keputusan Bersama
(SKB) tertanggal 25 September 2002, antara 3 Menteri, yakni Menteri Pemberdayaan Perempuan (No.
14 / Men.PP / Bep.V / X / 2002), Menteri Sosial (no. 75 / huk / 2002 no. 75 / Huk / 2002), Menteri
Kesehatan (no. 1329 / Menkes / SKB / X / 2002) dan Kapolri, tentang “Pelayanan Terpadu Korban
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” yang berlaku selama 5 tahun. SKB 3 Menteri dan Kapolri
ini merupakan awal mula penyusunan konsep dan regulasi tentang layanan terpadu bagi perempuan
dan anak korban kekerasan.4 Sejak berlakunya kebijakan tersebut, Kementerian/Lembaga tersebut
mulai membangun kebijakan penanganan perempuan korban di institusinya masing-masing.
Konsep pelayanan terpadu ini terus ditingkatkan dan diperkuat dengan terbitnya UU No.
23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan Peraturan
Pemerintah Nomor 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) kemudian mengeluarkan
berbagai peraturan menteri untuk mendorong pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan
Perempuan dan Anak (P2TP2A) di semua provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia.5
P2TP2A pada awalnya digerakkan dengan semangat mendekatkan akses korban terhadap layanan
yang dibutuhkan.6 Tujuan pembentukan P2TP2A adalah memberikan perlindungan, penanganan
dan pemenuhan hak perempuan korban yang ada di wilayah Indonesia dan luar negeri dengan
memberikan layanan penanganan pengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan
batuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah serta perwakilan RI di luar negeri.
Saat ini P2TP2A telah terbentuk di 34 Provinsi, 83 kota dan 307 kabupaten, yang di dalam
proses implementasinya membutuhkan pengawalan agar dapat berfungsi efektif untuk perempuan
korban (Kpppa, 2016). Masing-masing P2TP2A telah disahkan melalui berbagai kebijakan di daerah.
Di tingkat provinsi, P2TP2A disahkan melalui Peraturan Gubernur dan SK Gubernur. P2TP2A di
beberapa daerah, juga telah diperkuat dengan peraturan daerah. Pembentukan P2TP2A secara umum
mengacu pada Peraturan Menteri PPPA Nomor 5 tahun 2010 tentang panduan pembentukan dan
pengembangan pusat pelayanan terpadu. Pembentukan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota menjadi
kewenangan dan sesuai kemampuan pemerintah daerah karena anggaran dan pelaksanaannya berasal dari
APBD masing-masing daerah, serta tanggung jawab pelaksanaannya dan pengelolaan dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Mekanisme penganggaran APBD untuk P2TP2A terdiri dari 3 bentuk yakni melalui mekanisme
hibah, bantuan (proposal) dan program atau kegiatan P2TP2A yang terintegrasi atau dimasukkan
4. Meskipun demikian, layanan terpadu telah dilakukan oleh beberapa lembaga formal maupun komunitas di beberapa daerah.
5. Setelah adanya desakan dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui Permen PPPA Nomor 1 Tahun 2010, Permen
PP PA Nomor 5 Tahun 2010, maka unit layanan terpadu dan sejenisnya kemudian diubah namanya menjadi P2TP2A. Dasar kebijakan ini kemudian
diperkuat melalui Permen No. 6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
6. Dalam perjalanan pelaksanaan P2TP2A yang dimandatkan kepada pemerintah daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) tidak sesuai dengan
semangat awal pendiriannya. Situasi ini tidak terlepas dari kebijakan dan interpretasi atau pemahaman masing-masing daerah atas konsep layanan
terpadu tersebut. Apalagi latar belakang pendirian di masing-masing daerah beragam dan ketersediaan dukungan sumber daya untuk
mengimplemtasikannya.
| 8
Latar Belakang Pendirian, Kerangka Regulasi Dan Standar Pelayanan n
dalam nomenklatur SKPD terkait, seperti nomenklatur Badan/Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. Hasil asesmen ini memperlihatkan bahwa pendanaan P2TP2A secara umum
adalah melalui mekanisme hibah dan bantuan.
Peraturan Pemerintah
1 Peraturan Pemerintah nomor 9 Tata Cara dan Mekanisme Pelayanan Terpadu
Tahun 2008 Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
2 Peraturan Pemerintah nomor 4 Penyelenggaraan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT.
tahun 2006
Peraturan Kementrian Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak
1 Peraturan Menteri PPPA nomor 1 Tata Kelola Unit Pelaksanaan Teknis Perlindungan
tahun 2017 Perempuan dan Anak.
2 Peraturan Menteri PPPA Nomor 9 Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Bidang
tahun 2016 Pemberdayaan dan Perlindungan Anak.
3 Peraturan Menteri PPPA Nomor 1 Rencana Strategis KPPP tahun 2015-2019
tahun 2015
4 Peraturan Menteri PPPA Nomor 5 Indikator Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan
tahun 2015 Pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
5 Peraturan Menteri PPPA No. 6 Tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan
Tahun 2015 Perlindungan Anak.
6 Peraturan Mentri PPPA nomor 2 Panduan monitoring dan evaluasi perencanaan dan
Tahun 2013 penganggaran yang responsif gender di daerah.
7 Peraturan Mentri PPPA Nomor 4 Pelimpahan sebagian urusan pemerintahan (dekonsentrasi)
tahun 2013 bidang Pemberdayaan perempuan dan perlindungan
anak tahun 2014 kepada 12 Gubernur pemerintah
provinsi selaku wakil pemerintah.
8 Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun Pedoman Penanganan Anak Korban Kekerasan
2011
9 Peraturan Menteri Nomor 6 Pedoman Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di
Tahun 2011 Lingkungan Keluarga, Masyarakat, dan Lembaga
Pendidikan.
9 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
b. Kepengurusan
Tugas pengurus dan pengelola P2TP2A merumuskan dan menyusun: 1). AD/ART; 2). Visi
dan misi kelembagaan; 3). Program dan kegiatan dari bagian/divisi yang telah ditentukan; 4). Jenis
layanan yang disediakan; 5). Mekanisme kerja P2TP2A berdasarkan prinsip-prinsip manajemen yang
dibutuhkan secara menyeluruh dan rinci.
Gambar 1: Struktur P2TP2A/ PPT (Peraturan Menteri PPA No. 5 Tahun 2010)
KETUA UMUM
Ketua umum bertugas mengkoordinasikan perumusan kebijakan strategi, program dan kegiatan
dan langkah-langkah dalam penyelenggaraan PPT serta melakukan pengawasan dan pembinaan
atas pelaksanaan, perlindungan dan penanganan korban kekerasan. Melaksanakan kebijakan
yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Bertanggungjawab atas keseluruhan proses
penyelenggaraan perlindungan dan penanganan korban kekerasan. Di bawah ketua umum terdapat
ketua pelaksana, sekretaris/humas dan bendahara. Ketua pelaksana membawahi 4 bidang
yaitu: 1). bidang layanan pengaduan; 2). bidang layanan rehabilitasi kesehatan; 3). bidang layanan
rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial; 4). bidang layanan bantuan hukum. Bendahara
serta sekretaris/humas membawahi bidang administrasi, data, informasi dan pelaporan. Sedangkan
pada PPT yang berjejaring, peran staf mengikuti pada struktur serta tugas, pokok dan fungsi (tupoksi)
pada instansi masing-masing.
| 10
Latar Belakang Pendirian, Kerangka Regulasi Dan Standar Pelayanan n
Sedangkan dalam Permen PPPA nomor 6 tahun 2015 tentang sistem pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak mengatur tentang keanggotaan P2TP2A terbagi dalam keanggotaan sebagai
fungsi koordinasi kebijakan dan fungsi teknis. Keanggotaan fungsi koordinasi terdiri dari instansi
vertikal di daerah dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait. Keanggotaan fungsi teknis
adalah individu-individu dari lembaga masyarakat yang melakukan penanganan korban kekerasan
yang mempunyai kapasitas terlatih dan berkompeten. Dalam Permen PPPA Nomor 6 Tahun 2015
dijelaskan bahwa P2TP2A dibentuk berdasarkan keputusan Gubernur/Bupati/Walikota/Camat. Selain
itu, keanggotaan dapat berasal dari unsur struktural dan non-struktural yang berasal dari kalangan
profesi, akademisi, tokoh masyarakat. Sedangkan di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota P2TP2A
dibentuk dengan Keputusan Gubernur/Bupati Walikota dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:
11 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
standar pelayanan dari Kementerian PPPA, sementara untuk P2TP2A di tingkat Kabupaten/Kota
belum banyak yang memiliki mekanisme pelayanan korban yang tertulisa dan sesuai standar.
Tugas Pokok P2TP2A (atau di beberapa wilayah disebut PPT) sebagaimana diatur dalam Permen
PPPA Nomor 5 Tahun 2010 adalah:
Sedangkan Permen PPPA Nomor 6 tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, menyebutkan fungsi pendirian P2TP2A adalah untuk:
1. Pusat informasi bagi perempuan dan anak;
2. Pusat pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan; dan
3. Pusat pemberdayaan bagi perempuan dan anak.
Berdasarkan kedua kebijakan tersebut, seharusnya P2TP2A dapat berfungsi maksimal untuk
memberikan pelayanan terhadap korban kekerasan dan memastikan keterpaduan layanan melalui fungsi
koordinasi. Sementara berdasarkan asesmen, fungsi pemberdayaan bagi perempuan dan anak belum
terlihat jelas upaya, mekanisme dan hasilnya, sehingga secara khusus laporan ini merekomendasikan
agar P2TP2A kembali kepada fungsi utamanya sebagai pusat layanan bagi perempuan dan anak korban
kekerasan
| 12
Latar Belakang Pendirian, Kerangka Regulasi Dan Standar Pelayanan n
Penyelenggaraan layanan yang diberikan oleh P2TP2A pada umumnya masih terbatas pada
layanan sebagaimana disebutkan dalam SPM. Sementara itu bentuk-bentuk layanan penting
lainnya seperti layanan medis khusus, rumah aman, bantuan hukum serta pemberdayaan ekonomi
masih terbatas. Meskipun P2TP2A sudah memiliki standar dan mekanisme layanan, tetapi dalam
pemberian layanan kepada korban masih belum sesuai dengan standar dan mekanisme layanan, karena
infrastruktur layanan yang belum memadai serta kapasitas petugas yang masih lemah. P2TP2A juga
belum memiliki SOP atau mekanisme rujukan dan mekanisme khusus untuk penanganan korban
kekerasan seksual, korban kekerasan dalam situasi konflik, situasi bencana, penyandang disabilitas,
korban kekerasan dengan HIV dan AIDs serta korban kekerasan dari kelompok minoritas lainnya.
Kementerian PPPA pada tahun 2016 telah mengeluarkan Standar Operasional Prosedur
(SOP) untuk Satuan Tugas (satgas) Penanganan Masalah Perempuan dan Anak. Pembentukan
satuan tugas dimana didalamnya termasuk P2TP2A, bertujuan untuk mempermudah layanan
terhadap korban dan membantu P2TP2A dalam memberikan layanan lanjutan. Pada tingkat
pusat, pembentukan satgas diatur dalam Keputusan Menteri PPPA Nomor 25 tahun 2016
tentang Satuan Tugas Penanganan Masalah Perempuan dan Anak Tingkat Pusat, sedangkan untuk
di daerah dibentuk dengan keputusan Gubernur/ Bupati/Walikota.
Dalam SOP Satgas terdapat prinsip-prinsip umum etik penyelenggaraan layanan seperti non
diskriminasi, hubungan setara dan menghormati, menjaga privasi dan kerahasiaan, memberikan
rasa aman dan nyaman, menghagai perbedaan individu, tidak menghakimi, menghormati pilihan
dan putusan korban sendiri, menggunakan bahasa sederhana dan dapat dimengerti, serta empati.
SOP juga mengatur standar layanan lainnya meliputi hal-hal yang harus diperhatikan dalam
prosedur penjangkauan, hal-hal yang harus dilakukan sebelum melakukan identifikasi masalah
dan korban, prosedur wawancara, keharusan untuk melakukan observasi dan mengenali tanda-
tanda kekerasan serta memberikan informasi, kontak petugas satgas kepada korban. Satgas dapat
memberikan pertolongan darurat dan mendampingi korban mengatasi situasinya, termasuk
membantu akses tempat yang aman bagi korban.
Selain menggunakan SPM, pelayanan P2TP2A juga menggunakan etik pelayanan dalam
penyelenggaraan layanan. Dalam Permen PPPA Nomor 5 Tahun 2010 diatur prinsip umum PPT
yakni: a) Mudah, nyaman dan menjamin keselamatan korban; b) Efektifitas dan efisiensi proses
pelayanan korban; c) Ada jaminan kepastian hukum dan keadilan; d) berkelanjutan. Selain itu juga
terdapat Prinsip Dasar Operasional petugas, yaitu:
13 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
• Empati, artinya menempatkan diri pada posisi korban dan dapat merasakan apa yang dirasakan
korban dengan tetap menjaga jarak, mendengarkan keluhan korban secara efektif;
• Mempermudah dan tidak mempersulit akses dan layanan bagi korban dengan cara mempersingkat
alur birokrasi dan mengutamakan penanganan korban;
• Membantu korban mendapatkan pelayanan lain (rujukan).
Dalam Permen PPPA Nomor 6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak mengatur tentang layanan yang diberikan oleh P2TP2A yaitu, layanan
pencegahan, penanganan dan pemberdayaan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Hal ini
menindaklanjuti mandat Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 pasal (4) yaitu penyelenggaraan
pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga meliputi pelayanan kesehatan, pendampingan
korban, konseling, bimbingan rohani dan pemulangan reintegrasi. Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 2008 tentang tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau korban TPPO
Pasal 5 mengamanatkan pembentukan PPT dengan 2 (dua) pilihan, yaitu satu atap atau berbasis
jejaring dengan lembaga pemerintah dan organisasi masyarakat.
Dalam Permen PPPA nomor 5 Tahun 2010 tentang Pedoman Pembentukan dan Pengembangan
Pusat Pelayanan Terpadu mengatur bahwa P2TP2A dapat menyelenggarakan dua jenis layanan, yakni:
b. Pelayanan berjejaring
Pelayanan berjejaring merupakan pelayanan yang dilakukan oleh institusi pemberi layanan secara
terpisah yang diselenggarakan oleh beberapa lembaga layanan. Jika di satu lembaga layanan
tidak tersedia layanan yang dibutuhkan, maka (korban) dirujuk ke institusi pelayanan lain sesuai
| 14
Latar Belakang Pendirian, Kerangka Regulasi Dan Standar Pelayanan n
kebutuhan korban. Meski demikian, lembaga yang memberikan rujukan tetap harus bertanggung
jawab atas keseluruhan proses rujukan pelayanan yang diperlukan bagi korban hingga penanganan
selesai. Oleh karena itu, perlu memperkuat kerjasama antar institusi terkait dalam hal penanganan
perempuan korban kekerasan.
Fungsi P2TP2A berdasarkan Permen PPPA Nomor 6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, yaitu a). Pusat informasi bagi perempuan dan anak; b). Pusat
pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan dan c). Pusat pemberdayaan bagi perempuan
dan anak. Peraturan menteri tersebut mengatur tentang upaya-upaya perlindungan oleh P2TP2A
dalam bentuk promosi, pencegahan (preventif), penanganan (kuratif ) dan rehabilitasi.
15 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Melibatkan peran
dan partisipasi
masyarakat dalam
pemberdayaan
perempuan dan
perlindungan anak
Layanan yang diberikan oleh P2TP2A berdasar Permen PPPA Nomor 5 Tahun 2010, yaitu:
• Layanan pengaduan. Pada tahap ini, layanan berisi proses identifikasi tentang kebutuhan korban
untuk mendapatkan layanan yang dibutuhkan serta rencana intervensi kasus.
• Layanan rehabilitasi kesehatan. Layanan ini dilakukan oleh dokter, perawat/bidan terlatih
tentang tata laksana kasus kekerasan terhadap perempuan. Layanan ini mengacu pada pedoman
pengembangan puskesmas tentang kekerasan terhadap perempuan (dan anak) dan SOP rumah
sakit. Layanan ini berupa: i) layanan non kritis; ii), layanan semi kritis, iii) layanan kritis, dan iv).
layanan medicolegal.
• Layanan Rehabilitasi sosial mendapatkan layanan psikososial. Layanan ini dilakukan oleh pekerja
sosial, psikolog/psikolog klinis, petugas konseling terlatih. Jika korban mengalami depresi berat
dilakukan penanganan dengan psikiater. Tata laksana layanan mengacu pada SOP masing-
masing tempat layanan. Jenis-jenis layanan antara lain, konseling, bimbingan mental - spiritual,
pendampingan dan rujukan.
• Bantuan hukum. Layanan ini meliputi konsultasi hukum, pendampingan, pembelaan yang
dilakukan oleh petugas hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, LPSK, lembaga
advokat LSM, petugas P2TP2A. Layanan ini terdiri dari perlindungan saksi dan/atau korban,
BAP, penuntutan, putusan dan restitusi.
• Pemulangan. Dalam menjalankan layanan ini harus berkoordinasi dengan lembaga (pemerintah
dan masyarakat) terkait pemulangan korban mulai dari lokasi asal hingga daerah tujuan.
• Reintegrasi sosial. Proses reintegrasi sosial dengan berkoordinasi dan kerjasama dengan
lembaga pemerintah dan masyarakat seperti dinas sosial, masyarakat, Dinas Tenaga Kerja, Dinas
Perhubungan, Dinas Pendidikan Nasional, Kemenlu, BNP2TKI, BP3TKI, Unit PPA. Layanan
ini meliputi; Penyatuan dengan keluarga/keluarga pengganti, Pemberdayaan ekonomi dan sosial,
Pendidikan dan monitoring/bimbingan lanjutan termasuk layanan rumah aman, jika dibutuhkan.
| 16
Latar Belakang Pendirian, Kerangka Regulasi Dan Standar Pelayanan n
proses penanganan kasus, penyelesaiannya dikoordinasikan oleh Badan PPPA dan atau P2TP2A
dengan SKPD terkait dan lembaga layanan (masyarakat).
Sebagaimana diatur dalam Permen PPPA Nomor 6 Tahun 2015, garis koordinasi P2TP2A berada di
bawah koordinasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau unit-unit lainnya yang menangani
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. P2TP2A dapat berkonsultasi dan berkoordinasi
dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan SKPD terkait. Bentuk koordinasi
antar jejaring antara lain: a) rapat koordinasi, b) konsultasi; c) Penyampaian data dan informasi; d)
Tindak lanjut penanganan kasus.
Tabel 6 : Jenis dan Penyelenggara Layanan ( Peraturan Menteri PPA Nomor 1 Tahun 2010)
1. Layanan pengaduan Polisi, Lembaga Swadaya Masyaraka dan organisasi peduli korban
kekerasan.
2. Layanan rehabilitasi Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas, Rumah Sakit Jiwa.
kesehatan
17 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
pencatatan pelaporan, forum koordinasi, dan kunjungan lapangan dengan melibatkan pihak terkait,
serta menyusun laporan hasil pemantauan. Pemantauan dilakukan secara berkala dan terpadu tiap enam
6 (bulan) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dan bidang pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak serta berkoordinasi dengan SKPD atau unit-unit lainnya yang
menangani pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di daerah
i. Mekanisme Rujukan
Pelaksanaan rujukan dilakukan oleh satgas dan berkoordinasi dengan P2TPA dan atau Badan
PPPA. Rujukan merupakan layanan lanjutan terhadap korban. Kategori layanan rujukan dalam SOP
Satgas adalah layanan yang; a) Membutuhkan penanganan ahli, b) Hanya dapat diberikan oleh unit
layanan teknis, c) Bersifat gawat atau kritis, d) Terkait dengan penegakan hukum.
Selanjutnya dalam mekanisme rujukan tersebut harus sesuai dengan SOP satgas yaitu:
a. Berkoordinasi dengan P2TP2A atau lembaga layanan lainnya untuk mendapatkan layanan
yang dibutuhkan;
b. Menyerahkan surat rujukan dan dokumen lengkap kepada P2TP2A atau lembaga layanan
lainnya;
c. Mempersiapkan kendaraan untuk membawa korban ke P2TP2A atau lembaga layanan
lainnya;
d. Melakukan observasi untuk memantau layanan yang dibutuhkan apakah sudah sesuai
dengan kebutuhan perempuan dan anak yang mengalami permasalahan; dan
e. Jika dalam pemantauan, layanan yang diberikan oleh lembaga layanan belum sesuai atau
tidak ada perkembangan maka P2TP2A harus melakukan rujukan (ulang) ke lembaga
layanan lain yang sesuai dengan kebutuhan korban.
Dari mekanisme rujukan di atas dapat dilihat bahwa P2TP2A memiliki peran penting dan wajib
berkoordinasi dengan lembaga lain sesuai dengan kebutuhan rujukan dan permasalahan perempuan
dan anak yang beragam.
| 18
BAB III
Temuan dan Analisis
a. Kelembagaan
19 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
karena dalam UU PKdRT terdapat mandat bagi setiap wilayah untuk membangun keterpaduan
layanan bagi pemenuhan hak perempuan korban kekerasan. Mandat yang tertuang secara eksplisit
dalam UU ini menjadi dasar pendirian bagi sebagian besar daerah untuk membangun P2TP2A.
Hasil asesmen di 64 P2TP2A menyebutkan bahwa sejumlah 86% (55 P2TP2A) didirikan
setelah keluarnya UU PKdRT, sedang 17 % (9 P2TP2A) dibangun sebelum UU PKdRT.
Dasar pendirian P2TP2A sebelum UU PKDRT adalah SKB 3 Menteri dan Kapolri tahun 2002
(Katmagatripol).
Data di atas juga menunjukkan rentang usia berdirinya sebagian besar P2TP2A di wilayah
asesmen, yakni antara 3-10 tahun, dengan pilihan nama kelembagaan sebagaimana yang dimandatkan
Kementerian PPPA adalah P2TP2A.
Daerah asesmen yang memiliki dokumen pendirian setelah SKB 3 Menteri dan Kapolri atau
sebelum UU PKDRT diantaranya adalah P2TP2A Provinsi Aceh, PPT Provinsi Bengkulu, PPT Jawa
Tengah, PPT Jawa Timur, dan beberapa Pelayanan Terpadu/P2TP2A lainnya. Pengurus P2TP2A
Provinsi Aceh menyampaikan data bahwa pendirian P2TP2A sebelum lahirnya UU PKDRT yakni
semenjak pendirian Rumoh Putro Aceh pada 22 Juli 2003 dengan kegiatan utama adalah pemberdayaan
ekonomi.
Dengan demikian pendirian P2TP2A yang kemudian diarahkan untuk penanganan korban
kekerasan di Provinsi Aceh merupakan respon lebih lanjut atas mandat UU PKdRT dan Peraturan
Menteri PPPA tentang pendirian P2TP2A.
P2TP2A lainnya yang dibangun sebelum UU PKDRT adalah P2TP2A Provinsi Bengkulu,
yang diinisiasi tahun 2001 oleh jaringan organisasi perempuan. Mereka berhasil mendorong
pemerintah membangun mekanisme layanan bagi korban kekerasan, sehingga pada tahun 2006
lahirlah Peraturan Daerah Nomor 21 tahun 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan kekerasan
terhadap perempuan dan anak di Provinsi Bengkulu dan Peraturan Daerah Nomor 22 tahun 2006
tentang Pelarangan Perdagangan Perempuan dan Anak di Provinsi Bengkulu. Kebijakan-kebijakan
ini yang menjadi dasar pembentukan dan penguatan pelayanan terpadu (PPT) untuk penanganan
perempuan dan anak korban kekerasan di Provinsi Bengkulu.
Perubahan nama PPT menjadi P2TP2A dilakukan setelah proses sosialisasi dari Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada tahun 2007 dan setelah perdebatan panjang
| 20
Temuan dan Analisis n
tentang konsep keterpaduan layanan serta penamaan P2TP2A. Perubahan nama dipilih dengan
mempertimbangkan dasar kebijakan di tingkat nasional dan keberlanjutan layanan P2TP2A Provinsi
Bengkulu. Pengesahan P2TP2A di Provinsi Bengkulu melalui SK Gubernur tahun 2013.
Sementara itu hasil asesmen di region Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali menyebutkan
bahwa pendirian P2TP2A waktunya lebih awal yaitu antara tahun 2005-2011. Studi dokumen di
wilayah tersebut menyebutkan bahwa umumnya pendirian P2TP2A dilakukan atas inisiatif jaringan
yang peduli pada penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah tersebut.
P2TP2A sebagai sebuah institusi yang dibangun sesuai dengan ketentuan dalam kebijakan nasional
didirikan di Kota Jogja pada tahun 2006. Pengurus yang diwawancarai menjelaskan bahwa P2TP2A
Kota Yogyakarta adalah salah satu P2TP2A tingkat kabupaten/kota yang didirikan paling awal di
Provinsi DI Yogyakarta.
“Sejak tahun 2006 kota Yogyakarta sudah punya Perwali untuk merespon (peraturan walikota)
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan atau semacamnya, akhirnya disitu dibentuklah layanan
terpadu bagi perempuan korban kekerasan. Sebenarnya namanya bukan P2TP2A, tapi jaringan
penanganan korban kekerasan berbasis gender, sehingga karena namanya bukan P2TP2A, maka
masyarakat berpikir Kota (Jogja) tidak memiliki lembaga P2TP2A. Kemudian kita konsultasikan
kepada kementerian, dan mereka mengatakan bahwa kita tidak perlu ganti nama menjadi
P2TP2A karena fungsinya sama. Tapi tahun ini dan ke depannya kita akan menggunakan nama
P2TP2A, supaya sama dengan yang lainnya. Tapi secara kebijakan kita sudah ada sejak dulu”
(pengurus P2TP2A Kota Yogyakarta)
Pendirian P2TP2A di D.I. Yogyakarta tidak terlepas dari inisiatif jejaring lembaga pengadalayanan
untuk korban, termasuk pembentukan P2TP2A Provinsi D.I Yogyakarta tahun 2005, juga sebagai
respon terhadap permintaan masyarakat atas layanan yang terbaik dan komperhensif bagi perempuan dan
anak korban kekerasan. Sementara P2TP2A Kota Magelang memulai gagasan awal pembentukan pada
tahun 2002 dalam bentuk Women Crisis Centre (WCC) dan merupakan salah satu daerah yang memiliki
inisiatif awal di Provinsi Jawa Tengah.
“Keprihatinan atas banyaknya kasus kekerasan di Magelang tahun 2002 dibentuk WCC”
(pengurus P2TP2A Kota Magelang).
Provinsi Jawa Timur juga menginisiasi pembentukan P2TP2A lebih awal. P2TP2A Jawa Timur
dibentuk sebagai respon terhadap kebutuhan penanganan kasus kekerasan yang banyak terjadi dan
inisiatif jejaring penanganan korban. Dasar pembentukan P2TP2A ini adalah SKB 3 Menteri dan
Kapolri.
“Inisiatif pembentukan PPT Jatim merupakan inisiatif LSM di Surabaya (Savy Amira, KPPD,
LPA) di tahun 2003-2004 yang secara reguler melakukan pertemuan untuk advokasi terkait Pusat
Pelayanan Terpadu kepada pemerinta Provinsi Jatim. Advokasi ini selain untuk memenuhi hak
21 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
korban juga merespon SKB 3 menteri dan Kepolisian. Pemerintah Provinsi Jatim merespon tuntutan
dari LSM dengan membentuk PPT Jatim secara resmi tahun 2005, dan dikelola oleh Pemprov Jatim”
(pengurus P2TP2A Provinsi Jawa Timur).
Dari rentang waktu yang tidak terlalu lama dengan pendirian PPT Jawa Timur, pembentukan
P2TP2A Kabupaten Jombang mulai diinisiasi. Perbedaan dasar pembentukannya adalah P2TP2A
Jombang dibangun sebagai tindak lanjut mandat UU PKDRT.
“Keluarnya Undang undang No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, kemudian dibentuklah
P2TP2A. Adanya dorongan dan inisiatif dari LSM, WCC dan Humanistik” (pengurus P2TP2A
Kabupaten Jombang).
Pendirian P2TP2A di region Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali secara umum
memiliki pondasi yang cukup kuat karena dibangun dari inisiatif serta partisipasi jejaring masyarakat
sipil dan lembaga pengadalayanan, meskipun sebagian besar P2TP2A didirikan setelah adanya UU
PKDRT, yang artinya menjalankan mandat dari “atas”.
P2TP2A Provinsi DKI Jakarta didirikan pada tahun 2004, ditetapkan melalui SK Gubernur
DKI No. 64 tahun 2004 tanggal 19 Mei 2004 atas inisiatif Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang
kemudian disahkan melalui Perda DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2011. Pendirian P2TP2A di DKI
Jakarta selaras dengan keterangan dari pengurusnya bahwa PPT DKI Jakarta berdiri sebagai amanah
dari UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Meski demikian,
berdasarkan penetapan awal pembentukan, P2TP2A di Provinsi DKI dimasukkan ke dalam kategori
P2TP2A yang berdiri sebelum lahirnya UU PKDRT.
Inisiatif masyarakat sipil mendirikan P2TP2A juga terdapat di wilayah Sulawesi dan Maluku. Salah
satu inisiatif yang dilakukan oleh Swara Parangpuan Sulawesi Utara, dimana sejak tahun 1998 Swara
Parangpuan telah menjadi inisiator terbentuknya layanan terpadu bagi perempuan korban kekerasan di
Sulawesi Utara. Keberadaan lembaga ini dan inisiatifnya menjadi pemantik lahirnya P2TP2A di Kota
Manado, P2TP2A Provinsi Sulawesi Utara dan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Sulawesi Utara.
Di wilayah lainnya di Sulawesi yaitu Kabupaten Poso, pendirian P2TP2A di kabupaten ini merupakan
respon atas banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan akibat konflik di wilayah ini.
“Wilayah Kabupaten Poso saat dan pasca konflik melahirkan banyak korban kekerasan baik
korban KDRT dan juga korban kekerasan seksual aparat keamanan, selain itu kondisi korban yang
membutuhkan bantuan hukum, pemberdayaan ekonomi dan pelayanan yang harus dipenuhi oleh
| 22
Temuan dan Analisis n
pemerintah. Untuk mewujudkan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan
(maka) dibentuk (P2TP2A) pada tahun 2007” (pengurus P2TP2A Kabupaten Poso)
Wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki situasi dan temuan yang berbeda. Beberapa
narasumber, termasuk pengurus P2TP2A kurang memahami secara baik kesejarahan dan proses
pendirian P2TP2A di wilayahnya. Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) menyampaikan bahwa
cikal bakal pendirian P2TP2A dimulai dari dibangunnya shelter, sehingga P2TP2A di TTS ini
merupakan yang pertama di NTT dan telah memiliki layanan shelter.
“Secara garis besar shelter berdiri pada tahun 2009 dan setelah itu baru ada P2TP2A, sudah ada
struktur P2TP2A namun belum ada kegiatan yang dilakukan pada saat itu” (pengurus P2TP2A
Kabupaten TTS).
Pengurus dan stakeholders P2TP2A saat ini belum bergabung di P2TP2A yang berdiri 8 (delapan)
tahun lalu. Stakeholders seperti dinas sosial, kepolisian daerah dan Pusat Krisis Terpadu (PKT)
RSUD Provinsi NTT umumnya kurang memiliki pengetahuan yang memadai tentang pendirian
P2TP2A. PKT RSUD Provinsi NTT hanya mengetahui tentang mandat pendirian P2TP2A terkait
dengan kebutuhan layanan untuk korban, karena mereka berhadapan langsung dengan korban saat
memberikan layanan medis.
LBH APIK di NTT salah satu yang memahami tujuan pendirian P2TP2A yaitu untuk
penanganan perempuan dan anak korban kekerasan. Menurut penjelasannya, dari seluruh stakeholder
yang melakukan penanganan kekerasan perempuan dan anak di Provinsi NTT, hanya pengurus LBH
APIK yang terlibat saat pembentukan P2TP2A tahun 2008. Asessmen ini menemukan beberapa
narasumber dari pengurus P2TP2A yang kurang memahami kapan pendirian P2TP2A ;
“(Alasan pendiriannya) Karena kasus kekerasan perempuan dan anak di Indonesia sangat banyak
sehingga dibentuk P2TP2A, terbentuknya tidak tahu” (pengurus P2TP2A Provinsi Sulawesi Utara)
“Saya tidak tahu pembentukannya kapan dan apa latar belakang pembentukannya. Yang saya
tahu, saya dicari-cari untuk terlibat dalam kepengurusan. Yang mencari itu dari badan Pemberdayaaan
Perempuan” (pengurus P2TP2A kota Ambon).
“Atas inisiatif bersama yaitu BPPKB & TRUK-F, kapan pendiriannya (saya) kurang tahu” (Pengurus
P2TP2A Kabupaten Sikka)
23 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Melihat keragaman alasan minimnya informasi tentang sejarah pendirian P2TP2A, karena
beberapa hal:
a) Pimpinan dan petugas P2TP2A sering berganti karena tingginya mutasi jabatan di lingkup
pemerintahan.
b) Belum terbangun mekanisme distribusi informasi di internal P2TP2A.
c) Belum ada proses pendokumentasian rekam jejak P2TP2A sejak diinisiasi hingga berkembang
dalam bentuk kelembagaan.
d) Terputusnya komunikasi dan informasi dengan para perintis sehingga pengurus dan
petugas yang saat ini bergiat kurang memahami kemendesakan dan semangat dibalik
pendirian P2TP2A.
Mitra di sekitar P2TP2A seperti para pegiat LSM, WCC, dan Lembaga Bantuan Hukum,
beberapa diantaranya justru dapat menjelaskan latar belakang pendirian P2TP2A meskipun sebagian
dari mereka bukan atau tidak lagi sebagai pengurus P2TP2A. Situasi ini terjadi karena pengalaman
langsung para pegiat tersebut sebagai inisiator pendirian P2TP2A.
Pengurus dan anggota P2TP2A di 16 Provinsi dan 60 kabupaten/kota mengetahui bahwa mandat
utama P2TP2A adalah sebagai lembaga yang dibentuk untuk membangun keterpaduan layanan
dan memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan sebagaimana perintah UU
No. 23 tahun 2004 tentang PKDRT, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(sebelum perubahan). Narasumber asesmen ini juga mengetahui bahwa P2TP2A memiliki mandat
lain selain terkait dengan layanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan sebagaimana
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen PPPA) Nomor 5
Tahun 2010 tentang pedoman pembentukan dan pengembangan PPT dan Permen PPPA Nomor
6 Tahun 2015 tentang Sistem Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Mandat yang
lebih luas tersebut, salah satunya adalah pemberdayaan perempuan.
| 24
Temuan dan Analisis n
Hasil asesmen menunjukkan secara nasional, terdapat 28% P2TP2A yang memiliki mandat
hanya layanan korban, sementara 67% lainnya menyatakan selain memberikan layanan bagi korban
juga memberikan layanan pemberdayaan perempuan. Data ini pada faktanya kurang sejalan dengan
praktik P2TP2A yang umumnya adalah pemberian layanan penanganan untuk korban kekerasan.
Informasi dari narasumber ini dapat bersumber dari pernyataan mandat/tujuan yang tertuang dalam
dokumen pendirian P2TP2A dan pandangan bahwa layanan bagi korban juga mencakup layanan
pemberdayaan perempuan (utamanya pemberdayaan ekonomi).
Terdapat 3 (tiga) P2TP2A di region Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali yang menyatakan
bahwa mandat P2TP2A hanya untuk layanan korban saja, yaitu P2TP2A Kabupaten Kulonprogo,
Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Boyolali. P2TP2A lainnya di region ini menyatakan mandatnya
adalah untuk pemberdayaan perempuan, meskipun dalam proses wawancara hampir seluruh
pengurus P2TP2A di region ini menyatakan bahwa tujuan dari pembentukan P2TP2A adalah untuk
penanganan perempuan korban kekerasan ataupun korban kekerasan seksual. Hasil ini menunjukkan
bahwa meskipun beberapa P2TP2A memasukkan aspek pemberdayaan perempuan sebagai bagian dari
mandat dan layanan yang diberikan, tetapi mandat utama yang dipahami adalah layanan penanganan
kasus kekerasan terhadap perempuan (dan anak).
Narasumber di P2TP2A wilayah Maluku dan Sulawesi yaitu Dinas Sosial, Rumah Sakit
Umum Daerah, UPPA Polres, lembaga pengadayanan maupun pengurus P2TP2A secara umum
menyebutkan bahwa mandat dan tujuan pembentukan P2TP2A adalah melakukan penanganan
dan membantu korban sebagai respon terhadap kondisi di daerah dimana angka kekerasan terhadap
perempuan cukup tinggi.
25 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Pengurus P2TP2A DKI Jakarta menyatakan bahwa mandatnya adalah juga memberikan
layanan pemberdayaan bagi perempuan, meski demikian tidak ditemukan penjelasan mengenai
layanan pemberdayaan yang dimaksud. Amanat SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 64 tahun
2004 dan Perda DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2011, bahwa P2TP2A menyediakan layanan bagi
perempuan dan anak, khususnya yang mengalami kekerasan, serta sebagai pusat pelayanan dan
rujukan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di DKI Jakarta. Sementara
pandangan dari pengurus P2TP2A Jawa Barat, diantaranya terlihat dalam pernyataan narasumber
P2TP2A Kabupaten Bandung berikut ini:
“P2TP2A Kabupaten Bandung dibentuk karena banyaknya kasus kekerasan yang terjadi
namun selama ini masyarakat enggan melapor. Juga banyak kasus yang terbengkalai dan
banyak korban tidak terfasilitasi haknya. Sementara itu mandat dan tujuan didirikannya
P2TP2A adalah sebagai upaya kaum-kaum (korban) perempuan/anak/laki-laki terutama
perempuan dan anak yang mengalami korban kekerasan dapat terfasilitasi sehingga hak-
hak pemulihan/pengaduan kasusnya, pelayanan kesehatan dan juga untuk mendapatkan
pendampingan. Intinya supaya korban-korban kekerasan yang ada di Kabupaten
Bandung dapat terfasilitasi dalam memenuhi hak - haknya.” (Wawancara dengan Kabid
Bidang Pemberdayaan Perempuan Kab. Bandung dan Putri Windayanti, P2TP2A Kab.
Bandung)
| 26
Temuan dan Analisis n
Tabel di atas adalah gambaran hasil asesmen yang menunjukkan bahwa mayoritas bentuk layanan
terpadu yang dikembangkan di tingkat daerah adalah model layanan terpadu berbasis jaringan dan
sistem rujukan. Profil di masing-masing wilayah juga memperlihatkan bahwa jumlah P2TP2A dengan
bentuk ini cukup besar. Wilayah Sumatera seluruh P2TP2A yang diasesmen berbentuk jaringan,
sementara di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali, 96 % berbentuk jaringan. DKI
Jakarta dan Jawa Barat 40 % berbentuk layanan terpadu satu atap, dan 60 % jaringan. Sementara di
wilayah NTT baik yang bentuk jaringan maupun bentuk satu atap memiliki jumlah yang kurang lebih
sama. Kelembagaan yang berbentuk jaringan ini menunjukkan bahwa P2TP2A sangat membutuhkan
dukungan jaringan seperti LSM, WCC, institusi penegak hukum dan para tokoh dalam menjalankan
aktivitasnya.
Tingginya inisiatif jaringan untuk mendorong berdirinya P2TP2A merupakan indikasi yang
kuat bahwa jejaring di region Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali umumnya memahami dengan
baik latar belakang dibalik pendirian P2TP2A dan mendukung keberadaan P2TP2A yang berbentuk
jaringan. Beberapa kabupaten di Jawa Tengah seperti Kabupaten Magelang, Kabupaten Grobogan,
dan Kota Surakarta pada awal pendirian memilih berbentuk jaringan yang telah bekerja dengan cukup
baik. P2TP2A kabupaten Magelang contohnya, memiliki MoU dengan Pengacara untuk melakukan
pendampingan hukum pro bono (cuma-cuma) untuk jasa bantuan hukum. Kabupaten Buleleng
memiliki MoU kerjasama penanganan kasus antara P2TP2A dengan kepolisian, paralegal dan LBH
APIK Bali. Kabupaten Grobogan juga memiliki kesepakatan bersama (MoU) antara Pemerintah
Kabupaten Grobogan dengan Polres, Kejaksaan Negeri, dan Pengadilan Negeri tentang pelayanan
terpadu kekerasan berbasis gender kepada perempuan dan anak di tahun 2006. Demikian pula dengan
P2TP2A Kota Surakarta memiliki MoU tentang pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban
kekerasan antara kepala daerah, SKPD/OPD terkait, institusi penegak hukum, LSM Perempuan dan
Anak serta organisasi masyarakat sipil lainnya.
Berdasarkan informasi dari berbagai narasumber, P2TP2A berbasis jejaring yang dibangun
berdasarkan MoU dan disepakati oleh banyak pihak lebih memudahkan layanan yang diterima korban.
27 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Salah satu capaian P2TP2A Kabupaten Cirebon adalah adanya MoU antara P2TP2A dengan berbagai
pihak, yakni : 1) MoU dengan RSUD Arjawinangun (Jawa Barat) untuk pelayanan kesehatan korban
kekerasan terhadap perempuan dan anak, 2) MoU dengan RSUD Waled untuk Pelayanan kesehatan
korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, 3) MoU dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon
tentang Pelayanan kesehatan dan pelaporan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak, 4) MoU
dengan Fakultas Hukum Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) Cirebon tentang penyuluhan
hukum dan layanan bantuan hukum perempuan dan anak.
Lembaga pelayanan yang berjejaring dengan P2TP2A adalah FPPA, Rumah Aman, Yabiku
Atambua, Unit PPA Polres Atambua, RSUD Atambua, Chile Fine, dan PPSE”
Para Korban yang diwawancarai juga menyampaikan bahwa mereka terlibat dalam jejaring
layanan dalam penanganan kasusnya meski kurang merasakan layanan langsung dari P2TP2A.
“Tidak ada layanan yang saya dapat dari P2TP2A. Kasus yang saya alami itu langsung lapor
ke Polisi, setelah sampai di Polisi baru Ibu Filo (dari FPPA) datang untuk damping saya dan Ibu
melayani saya dengan baik” (korban kode 87, Kabupaten Belu).
Pengurus dari PPT Jatim menyatakan bahwa P2TP2A berbentuk satu atap, seperti terlihat
dalam pernyataan ini;
“Bentuk PPT adalah satu atap, secara fisik PPT berada di RS Bhayangkara Polda Jatim. Jadi korban
bisa ditangani dari sisi psikososial, hukum, medis (visum, medikolegal, perawatan medis), shelter, dan
jika memerlukan ke kepolisian dekat dengan Polda Jatim” (pengurus P2TP2A Jatim).
Walaupun berbentuk PPT (Pusat Pelayanan Terpadu) satu atap, PPT Jawa Timur juga memiliki
kesepakatan tidak tertulis atau konsensus dengan jaringan pengadalayanan lainnya, seperti OPD
terkait dan Lembaga Pengada Layanan di Provinsi Jawa Timur. Demikian pula yang terjadi di Provinsi
DKI Jakarta, dimana terdapat dukungan jejaring dalam penanganan korban.
“Pemda (dinas sosial), kepolisian, Forum Pengada Layanan (FPL)” (petugas P2TP2A DKI
Jakarta).
Korban juga menyampaikan konfirmasi adanya rujukan dari P2TP2A DKI Jakarta kepada
lembaga pengadalayanan anggota FPL yang memiliki layanan pendampingan hukum.
Sedangkan dari P2TP2A Provinsi Jawa Barat meskipun menyatakan sebagai layanan satu atap,
akan tetapi untuk layanan medis, P2TP2A harus merujuk korban ke rumah sakit.
| 28
Temuan dan Analisis n
“kami sendiri punya tenaga ahli hukum, psikologi, kesehatan/medis, tapi kalau merujuk dalam hal
medis karena kami tidak punya spesialis adanya dokter umum ya ke RS Hasan Sadikin, RS Silih Asih,
RS Jiwa” (pengurus P2TP2A Provinsi Jawa barat)
i. Legalitas Pendirian
Berdasarkan Permen PPPA Nomor 6 Tahun 2015, struktur kelembagaan P2TP2A dibentuk
berdasarkan keputusan Gubernur, Bupati, Walikota maupun Camat. Legalitas P2TP2A di beberapa
wilayah sudah diperkuat dengan adanya peraturan daerah, sementara sebagian besar P2TP2A
( 59%) menyampaikan bahwa legalitas pendiriannya didukung oleh SK Gubernur, Bupati atau
Walikota. P2TP2A yang pendiriannya dikuatkan dengan Perda sekaligus dilengkapi Pergub atau
SK sebesar 5%. Sedangkan P2TP2A Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Barat merupakan
beberapa P2TP2A di tingkat Provinsi yang legalitas pendiriannya adalah Perda, Pergub dan Surat
Keputusan Kepala Daerah. Implikasi dari dukungan kebijakan dalam bentuk perda ini adalah
dukungan kelembagaan yang dapat dipastikan keberlanjutannya, termasuk anggaran.
Temuan asesmen menunjukkan bahwa kepengurusan P2TP2A masih bersifat akomodatif, terlalu
gemuk dan kurang berfungsi. Menurut Permen PPPA Nomor 6 tahun 2015 keanggotaan P2TP2A
terdiri atas unsur struktural dan non struktural yang berasal dari kalangan profesi, akademisi, tokoh
masyarakat dan lain sebagainya. Kepengurusan P2TP2A di tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota
terdiri dari perwakilan lembaga pemerintah, lembaga penegak hukum, pekerja profesional, LSM dan
29 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
organisasi kemasyarakatan yang terkait dengan pemberdayaan perempuan dan anak. Meskipun
melibatkan banyak profesi dan lintas institusi, tetapi mayoritas kepengurusan P2TP2A yang di
asessmen diisi oleh pegawai pemerintah, institusi penegak hukum dan isteri pejabat setempat.
Penempatan posisi pengurus yang berasal dari lembaga pemerintah, institusi penegak hukum dan istri
pejabat seringkali hanya sebagai formalitas saja karena para tokoh tersebut memiliki banyak tanggung
jawab lain dan tidak dapat menjalankan fungsi pemberian layanan, sehingga kurang dapat bisa
mengelola kelembagaan P2TP2A secara baik. Asessmen ini menemukan, umumnya pengurus P2TP2A
yang aktif adalah pegawai OPD terkait, seperti Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
dan perwakilan LSM, serta organisasi keagamaan.
Hasil asessmen menemukan, sebesar 11% P2TP2A belum memiliki struktur kepengurusan
dan 89 % telah memiliki struktur kepengurusan. Struktur kepengurusan PPT Provinsi Jawa Tengah
misalnya adalah Gubernur sebagai penanggung jawab kemudian di bawahnya adalah kepala PPT,
ketua, sekretariat PPT, kemudian bidang-bidang di bawah kepala PPT yang disesuaikan dengan jenis
layanan yang diberikan (setidaknya mencakup seperti yang tertuang dalam Pemen PPPA Nomor 1
tahun 2010)
Sementara di Provinsi Jawa tengah, dari delapan P2TP2A selain memiliki struktur organisasi juga
dilengkapi dengan uraian tugas masing-masing posisi yang ditetapkan dengan Peraturan Bupati atau
SK Bupati. Sementara itu, dari 11 lokasi asessmen di Jateng, 80 % P2TP2A telah melibatkan LSM
perempuan dan anak, ormas, perguruan tinggi, dan individu profesional atau tokoh masyarakat.
Demikian juga yang ditemukan di D.I. Yogyakarta, dimana 5 (lima) dari 6 (enam) P2TP2A telah
memiliki struktur kepengurusan yang telah dibakukan dalam pergub, perbup atau perwali. Unsur-
unsur yang terlibat dalam struktur juga sama dengan temuan di Jawa Tengah. Terdapat perbedaan di
Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta dengan Jawa Timur. Di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta, unsur LSM,
| 30
Temuan dan Analisis n
akademisi dan profesional menjadi bagian dalam struktur dan terlibat dalam pelaksanaan layanan
P2TP2A. Namun di Jawa Timur tidak demikian, temuan asesmen menunjukkan hasil yang bervariasi,
misalnya di PPT Provinsi Jawa Timur, unsur LSM dan Profesional ditempatkan sebagai konsultan
lembaga yang perannya bersifat konsultatif sehingga tidak memiliki wewenang dalam mengontrol
penyelenggaraan layanan.
Sementara itu hasil asessmen dari 15 P2TP2A di region Sulawesi dan Maluku, hanya kabupaten
Pangkep (Sulawesi Selatan) yang belum memiliki struktur kepengurusan, sedangkan lainnya telah
memiliki struktur kepengurusan dan tugas masing-masing bidang. Komposisi pengurus terdiri
dari penanggung jawab adalah kepala daerah, kemudian ketua umum dijabat oleh Kepala Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi.
Terkait dengan pemilihan dan penetapan serta masa kerja kepengurusan P2TP2A, temuan
asesmen di Provinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa kesesuaian latar belakang pendidikan pengurus
dengan sifat layanan P2TP2A tidak menjadi syarat utama dalam pemilihan pengurus. Hal ini dapat
dilihat dari latar belakang pendidikan yang bervariasi. Unsur kepengurusan di wilayah DKI Jakarta
dan Jawa Barat terdiri atas PNS (26%), jejaring/LSM (10%), akademisi (16%), profesional (11%),
sarjana dari beragam disiplin ilmu (16%), dan istri pejabat daerah/muspida (5%). Profesional yang
menjadi pengurus antara lain psikolog, advokat, dan dokter.
Terdapat 6 (enam) P2TP2A yang menyatakan memilki mekanisme rekrutmen pengurus yakni
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kabupaten Grobongan, Kota Semarang, Kabupaten Sikka dan PPT
Provinsi Jawa Timur.
“Awal PPT berdiri, rekruitmen diumumkan secara terbuka di media massa. Setelah dilakukan seleksi
administrasi, bagi yang lolos seleksi mengikuti tes psikologi dan wawancara. Saat ini jika memerlukan
tenaga, PPT akan meminta tolong melalui jaringan PPT dengan mekanisme seleksi administrasi dan
tes. Di PPT status tenaga adalah tenaga tetap dengan SK Gubernur per tahun” (pengurus P2TP2A
Jawa Timur)
“Di tahun 2016 baru memulai proses rekruitmen dengan membuka lowongan, tes calon staf, dan
wawancara” (pengurus P2TP2A Kota Semarang)
Selain 6 (enam) P2TP2A tersebut, narasumber dari P2TP2A lainnya menyatakan tidak memiliki
standar rekrutmen pengurus yang baku atau ditetapkan, tetapi melalui penunjukan langsung. Seringkali
P2TP2A juga melakukan rekrutmen melalui mitra jejaring pengada layanan, seperti dalam bentuk
kerjasama lembaga, sehingga terbangun kesepahaman antar pihak, maupun dengan cara langsung
31 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
merekrut pegiat LSM atau WCC menjadi staf ataupun pengurus P2TP2A tanpa melalui komunikasi
dengan organisasinya terlebih dahulu. sehingga mengakibatkan kekurangan tenaga pendamping pada
beberapa LSM atau WCC di daerah. Kondisi ini kerap ditemui pada P2TP2A di wilayah Sumatra.
Jawa Barat dan DKI Jakarta memiliki potret yang hampir sama, 40% narasumber di region ini
menyatakan bahwa mekanisme pemilihan pengurus P2TP2A dibuat berdasarkan SK Bupati/Walikota.
Narasumber lainnya (30%) menyatakan tidak ada mekanisme formal untuk pemilihan pengurus,
sehingga pengurus dipilih dengan cara ditunjuk langsung oleh Bupati/Walikota atau Badan PP dan
PA, atau dari ketua P2TP2A. Hanya di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya yang pemilihan pengurus
dilakukan melalui rapat koordinasi. Secara keseluruhan hasil asesmen terkait mekanisme perekrutan
pengurus P2TP2A terdapat pada diagram di bawah ini.
Diagram diatas menunjukkan sebagian besar P2TP2A belum memiliki mekanisme rekrutmen
pengurus. Meski demikian, pengurus P2TP2A menyatakan bahwa terdapat standar kualifikasi atau
kriteria untuk masuk dalam kepengurusan. Di region Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Jawa Timur dan
Bali kriteria penunjukkan pengurus adalah keahlian atau Pendidikan, pertimbangan lainnya adalah
tupoksi dan jabatan dalam SKPD serta ikatan jejaring dalam P2TP2A. Selain itu komitmen dan
ketertarikan pada isu juga dinilai sebagai syarat untuk menjadi pengurus dan terlibat dalam kegiatan
P2TP2A. Situasi ini menjelaskan bahwa meskipun tidak secara khusus menetapkan mekanisme
rekrutmen yang baku, tetapi P2TP2A di region ini tetap berupaya mempertimbangkan kapasitas
terkait pelayanan korban.
| 32
Temuan dan Analisis n
Temuan asesmen di region Sumatra mendapati bahwa pemilihan pengurus P2TP2A dilakukan
berdasarkan pengamatan dan pengalaman kerjasama, misalnya seperti yang dituturkan informan atau
narasumber dari P2TP2A kota Bengkulu dan Deli Serdang di bawah ini,
“Sebenarnya tidak ada. Tapi dari ibu ketua tim penggerak PKK (isteri bupati) yang menempat-
kan orang-orang tersebut menjadi pengurus berdasarkan adanya kepedulian terhadap perempuan
dan anak selama ini” (Narasumber dari Deli Serdang)
“Badan PMPPKB diminta ibu Wakil Walikota Bengkulu memetakan orang-orang yang berpotensi
untuk duduk di P2TP2A, dan meminta kesediaan orang-orang tersebut untuk berkenan terlibat”
(Narasumber dari Kota Bengkulu)
Selain itu pengurus P2TP2A juga banyak berasal dari kalangan pejabat, seperti yang ada di
P2TP2A Kota Padang.
“Latar belakang pengurus, guru, pengawas sekolah, Kanit PPA, istri kapolresta, istri Dandim,
pisikolog, pengacara, istri ketua pengadilan dan istri rektor”
Dalam penunjukkan pejabat atau pasangan (istri) pejabat, seringkali kriteria rekrutmen
kepengurusan P2TP2A yang terkait dengan kapasitas dan pengalaman layanan korban tidak digunakan
sebagai pertimbangan. Dampaknya adalah tidak optimalnya kinerja dan layanan P2TP2A karena tidak
diisi oleh orang dengan keahlian dan pengalaman yang memadai.
Di Jawa Barat, masing-masing wilayah memiliki jumlah pengurus yang berbeda. P2TP2A
Provinsi Jawa Barat misalnya memiliki pegawai tetap 6 (enam) orang, relawan kontrak 8 (delapan)
orang dan petugas keamanan. Kabupaten Bandung memiliki 5 (lima) orang pegawai tetap yang terdiri
atas petugas administrasi dan keamanan. Sementara ada juga daerah yang memiliki jumlah pengurus
cukup banyak seperti Kabupaten Sukabumi dengan 30 orang pengurus, terdiri dari pekerja tetap,
pekerja tidak tetap dan relawan dari berbagai latar belakang profesi.
Banyaknya jumlah pegawai negeri sipil (PNS) dalam posisi kepengurusan P2TP2A juga menjadi
tantangan tersendiri, karena berdampak pada kinerja P2TP2A bahkan tidak berfungsinya struktur,
karena para PNS memiliki kesibukan pada tugas utama dan rentan terhadap mutasi jabatan. Walaupun
demikian, terdapat P2TP2A di 5 (lima) region tersebut yang memilih pengurus dengan mengacu
pada prosedur pembentukan P2TP2A yang diatur oleh pemerintah daerah, serta mempertimbangkan
pengalaman di komunitas masing-masing. Tidak efektifnya pengurus dan staf yang ditunjuk menjadi
persoalan tersendiri bagi P2TP2A.
“Terdapat 30 staf dan pengurus, yang aktif 9 (Sembilan) orang, 21 orang tidak aktif. (umumnya)
tidak aktif karena merangkap jabatan sebagai PNS, misalnya BKKBS, RSU, Polres, Pengadilan,
kerohanian. Struktur P2TP2A banyak namun sedikit yang bekerja aktif, sehingga anggaran lebih
banyak keluar untuk membayar honor” (Narasumber P2TP2A, Kabupaten TTS).
33 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Hal-hal lain yang menjadi tantangan dalam kepengurusan juga dipetakan dalam asesmen ini.
Berdasarkan informasi di beberapa region, tantangan tersebut diantaranya adalah;
1) Koordinasi pengurus P2TP2A yang belum berjalan regular disebabkan karena sulitnya menentukan
waktu koordinasi pengurus memiliki kesibukan dan pekerjaan lain.
2) Ketiadaan sarana pendukung yaitu sekertariat dan fasilitas pendukung lainnya seperti alat kantor,
biaya logistik koordinasi, dll
3) Komitmen pengurus yang kurang karena P2TP2A tidak menjadi prioritas kerjanya.
4) Aturan atau ketentuan dalam kebijakan daerah seperti penetapan para pihak yang berhak menjabat
secara struktural dalam P2TP2A.
Sebagai contoh, di Kabupaten Sleman terdapat peraturan bupati yang mengatur bahwa ketua
P2TP2A harus dijabat oleh PNS. Aturan ini menyulitkan untuk mendapatkan orang dengan kapasitas
yang tepat dan memadai untuk memimpin P2TP2A.
Terkait peningkatan kapasitas staf P2TP2A, sebagian besar pengurus menyatakan tidak memiliki
skema peningkatan kapasitas yang standar dan berlangsung secara regular. Peningkatan kapasitas staf
P2TP2A lebih banyak berharap dari forum-forum yang diselenggarakan pihak lain, diantaranya oleh
SKPD terkait, jejaring pengadalayanan, LSM dan institusi lainnya yang tentu tidak selalu sejalan
dengan kebutuhan P2TP2A. Inisiatif yang cukup baik dimiliki oleh P2TP2A Kota Bandung yaitu
mewajibkan pengurus untuk mengikuti proses magang terlebih dahulu sebelum ditetapkan dengan
Surat Keputusan Walikota sebagai pengurus P2TP2A.
• pertama, P2TP2A yang memiliki dokumen renstra dan rencana program/kegiatan tahunan.
• kedua, P2TP2A yang memiliki dokumen renstra tetapi tidak memiliki perencanaan tahunan atau
sebaliknya, yakni tidak memiliki dokumen renstra, tetapi memiliki perencanaan program/kegiatan
tahunan.
• ketiga, P2TP2A yang sama sekali tidak memiliki dokumen perencanaan.
Sebagian besar P2TP2A yang menjadi sampel asesmen ini tidak menyusun renstra dan tidak
memiliki perencanaan tahunan. Hasil asesmen menunjukkan, terdapat 52% P2TP2A yang memiliki
| 34
Temuan dan Analisis n
rencana tahunan atau monev, 14% memiliki rencana tahunan dan monev serta hanya 3% yang
memiliki renstra, rencana tahunan dan monev (lihat grafik di bawah ini):
Matriks di atas menjelaskan bahwa banyak P2TP2A baik ditingkat Provinsi maupun kabupaten/
kota yang belum memiliki perencanaan program dan pengembangan kelembagaan yang terstruktur
dan sistematis. Salah satu indikator perencanaan yang terstruktur dan sistematis adalah disusunya
rencana strategis (renstra) untuk 5 (lima) tahun, yang kemudian diturunkan ke dalam rencana
program/kegiatan tahunan. Dengan begitu, proyeksi capaian tujuan organisasi dalam kurun waktu
jangka panjang akan terlihat.
Di region Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali terdapat 10 P2TP2A yang telah menyusun renstra.
Sebaliknya di Provinsi DI Yogyakarta semua P2TP2A baik di tingkat Provinsi maupun kabupaten/
kota telah memiliki rencana strategis 5 tahun.
Di seluruh region, situasi penyusunan rencana program/kegiatan tahunan P2TP2A tidak banyak
melibatkan anggota P2TP2A termasuk lembaga pengada layanan. Penyusunan rencana program/
kegiatan tahunan P2TP2A hanya dilakukan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, sedangkan anggota hanya dilibatkan dalam pelaksanaan program /kegiatan saja.
Di region Sulawesi dan Maluku belum seluruh P2TP2A memiliki renstra 5 (lima) tahun. Wilayah
asesmen yang telah memiliki renstra diantaranya Poso dan Kepulauan Buru. Sementara 6 (enam)
wilayah lainnya belum memiliki renstra diantaranya, Manado, Bitung, Pangkep, Sigi dan Maluku
Tengah. Informasi lainnya, terkait penyusunan renstra di region Sulawesi dan maluku hampir semua
35 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
narasumber lembaga layanan dan pendamping menjawab belum atau tidak dilibatkan dalam proses
penyusunan renstra, sosialisasi, monitoring dan evaluasi terkait P2TP2A di wilayahnya. Asesmen
di region Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali menemukan bahwa narasumber dari
P2TP2A dan mitra jejaring belum dapat membedakan antara renstra dengan program kerja dan
rencana kegiatan tahunan atau antara Monitoring dan Evaluasi dengan pertemuan rutin internal atau
jaringan dan diskusi.
Di Jawa Timur semua informan atau narasumber mengatakan bahwa belum ada monitoring
evaluasi rutin atas kinerja mereka. Padahal seharusnya Badan PP (BPPKB) Provinsi Jawa
Timur sebagai leading sector melakukan monitoring dan evaluasi atas kualitas layanan PPT
secara reguler. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya Perda Provinsi Jawa Timur No.
16 Tahun 2012 yang mengatur bahwa BPPKB sebagai leading sector PPT wajib melakukan
monev minimal 5 bulan sekali. Tetapi saat asesmen ini dilakukan BPPPKB belum pernah
melakukan kewajiban tersebut. Menurut informan PPT Jawa Timur, BPPKB hanya
melakukan peran sebagai lembaga koordinasi yakni menyalurkan dana, meminta laporan
dan usulan kegiatan PPT provinsi untuk dimasukan dalam program kerja tahunan Bidang
PP. Padahal sebagaimana diketahui, monev sangat penting agar leading sector paham kondisi
PPT dan bisa memberikan masukan agar bisa meningkatkan kualitas layanan.
Hasil asemen menemukan, masih terdapat P2TP2A yang sama sekali tidak menjalankan rencana
5 tahunan/renstra, perencanaan program/kegiatan tahunan dan juga monitoring dan evaluasi, seperti
P2TP2A Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah. Meskipun sebagian besar P2TP2A menyatakan telah
melakukannya secara rutin dengan periode tertentu, namun rata-rata narasumber merujuk monitoring
dilakukan bersamaan dengan rapat koordinasi. Begitu juga monitoring dan evaluasi di P2TP2A
se-Provinsi D.I Yogyakarta, meskipun seluruh informan dari Provinsi D.I. Yogyakarta menyatakan
terdapat monitoring dan evaluasi, namun kegiatan tersebut dimaknai secara beragam oleh masing-
masing P2TP2A. informan dari Kulonprogo, Sleman dan Gunungkidul memaknai bahwa pertemuan
rutin jaringan setiap bulan, diskusi kasus dengan jaringan kerja juga merupakan aktivitas monev.
Lain halnya dengan P2TP2A Kabupaten Bantul, yang mengatakan bahwa monev dilakukan setiap
bulan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan. Untuk kota Jogyakarta, monev dilakukan rutin setiap
akhir tahun, sementara P2TP2A Provinsi melakukan monev tiap bulan oleh Bidang Pemberdayaan
Perempuan.
Sementara itu di semua wilayah hampir tidak ada keterlibatan penyintas baik dalam perencanaan
program/kegiatan dan pengembangan kelembagaan serta dalam peningkatan kualitas layanan P2TP2A.
63% korban di Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I Yogyakarta dan Bali menyatakan tidak pernah dimintai
saran atau masukan untuk perbaikan layanan P2TP2A. Mekanisme dan media atau sarana
| 36
Temuan dan Analisis n
komplain hingga saat ini tidak banyak tersedia untuk korban. Perencanann yang dilakukan P2TP2A
di 16 Provinsi dan 60 Kabupaten/Kota, belum ada yang melibatkan korban atau penyintas.
c. Penyelenggaraan Layanan
i. Mekanisme Pangaduan dan Waktu Layanan
P2TP2A secara umum menyelenggarakan waktu layanan 8 (delapan) jam sehari. Sebanyak 17%
P2TP2A menyatakan mampu memberikan layanan 24 jam, sedangkan 34% beroperasi kurang dari 8
(delapan) jam sehari. Lama waktu penyelenggaraan layanan ini disesuaikan dengan jam kerja kantor/
dinas atau bahkan tergantung pada kesediaan waktu relawan yang datang ke sekretariat.
Waktu layanan ini menunjukkan bahwa kinerja staf/petugas P2TP2A masih berdasarkan pada
jam kerja standar/umum pegawai dan belum berbasis pada respon terbaik bagi korban dan kasus-kasus
kekerasan yang terjadi. Pembatasan ini mengakibatkan kasus-kasus yang membutuhkan layanan di
luar jam buka sekretariat, petugas P2TP2A tidak bersedia memberikan layanan bahkan melakukan
pengabaian terhadap korban. Korban dan pendamping juga mengeluhkan tentang pintu P2TP2A
yang terkunci ketika datang untuk mengadukan kasus.
P2TP2A di Provinsi Jateng memiliki 4 (empat) P2TP2A di tingkat Kabupaten/kota yang dapat
memberikan layanan 24 jam. Jumlah ini terbanyak diantara 15 provinsi lainnya.
Adapun terkait mekanisme pengaduan, penyintas dari wilayah Sumatera secara umum
mengetahui bahwa untuk mengakses layanan P2TP2A dapat dilakukan dengan cara datang langsung,
lewat telepon, dirujuk, dan didatangi petugas (home visit). Meskipun demikian terdapat pengalaman
beberapa korban yang berulang kali datang ke kantor P2TP2A karena P2TP2A tidak selalu membuka
kantornya, sebagaimana diungkapkan oleh korban di Deli Serdang
“karena kantor tidak dibuka, jadi tidak bisa mengadu ke kantor, hanya konsultasi via telepon kepada
pengurus yang dikenal”
P2TP2A di Minahasa Utara, Kota Manado, Kota Bitung, Kota Palu, Kabupaten Maros, dan
Kabupaten Pangkep memberikan layanan sesuai dengan jam kerja kantor. Pelayanan seringkali tidak
menentu karena menyesuaikan adanya laporan dan korban. Jawaban senada juga disampaikan oleh
petugas P2TP2A provinsi Jawa Barat, yaitu layanan mereka tidak pasti atau tidak tentu, karena sangat
tergantung dengan ada tidaknya korban yang harus ditangani.
Keterbatasan waktu pelayanan ini tidak hanya dikeluhkan oleh korban namun juga oleh mitra/
jejaring yang menerima pengaduan dan melakukan pendampingan pada tahap awal, Pendamping yang
dalam proses penanganan membutuhkan rujukan korban pada layanan P2TP2A, sering mendapati
sekretariat P2TP2A tutup. Situasi ini ditemui di wilayah Sumatra, sebagian wilayah di Sulawesi dan
Maluku serta NTT.
37 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Di Maluku dan Sulawesi layanan 24 jam juga sudah dilakukan di Kabupaten Minahasa Se-
latan, Kabupaten Poso dan Kabupaten Buru. Meski demikian di beberapa daerah yang mengklaim
memberikan layanan hotline 24 jam, belum diimbangi dengan kinerja yang baik dari petugas.
Berdasarkan pengakuan beberapa korban bahwa telepon sering tidak diangkat, bahkan korban yang
melaporkan kasusnya dimarahi ketika menelepon di malam hari.
P2TP2A DKI Jakarta adalah salah satu contoh lembaga layanan yang memiliki waktu layanan
langsung 8 (delapan) jam namun menyediakan layanan hotline 24 jam. Pengurus P2TP2A menyatakan
komitmen P2TP2A untuk menindaklanjuti kasus dengan cepat. Sebagian besar korban yang diwaw-
ancarai dalam penelitian ini menyatakan kepuasan atas layanan, meski demikian respon cepat
atas kebutuhan korban masih perlu ditingkatkan.
“petugasnya lebih berempati, tidak hanya menerima berkas, tapi juga menyampaikan informasi
yang lengkap...” (WA, Korban P2TP2A DKI, 2016).
“pengaduan lebih cepat ditangani, lalu melakukan pendampingan menyeluruh hingga ke proses
BAP di Kantor Polisi ....” (RM, korban, P2TP2A DKI, 2016).
| 38
Temuan dan Analisis n
Sebanyak 80% P2TP2A di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat belum memiliki mekanisme
komplain. Hasil asesmen menyebutkan hanya DKI Jakarta, Kota Tasikmalaya, dan Kota Cirebon
yang memiliki mekanisme komplain. DKI Jakarta memiliki mekanisme komplain yang beragam dan
formal, yaitu melalui telepon, kotak saran, hingga kuesioner klien.
Korban dari DKI Jakarta pernah mengadukan tentang layanan pengaduan dan layanan bantuan
hukum di P2TP2A DKI Jakarta yang dinilai masih kurang dibandingkan layanan rehabilitasi sosial
dan layanan rehabilitasi medis yang dianggap lebih baik. Korban menyatakan bahwa “Fasilitas sudah
bagus, namun dibutuhkan adanya tim respon cepat” (Korban kode 5, DKI Jakarta). Selain itu korban
juga menginginkan mendapatkan informasi mengenai P2TP2A dan layanan yang berhak diterimanya.
“harusnya diperjelas wewenang dan kompetensi dari P2TP2A” walaupun begitu komplain terhadap
layanan ketika disampaikan langsung, mendapat respon balik yang baik dari petugas P2TP2A.
(Korban kode5, DKI Jakarta)
Ketidakjelasan informasi yang diterima korban atas layanan dan tahapan layanan ini juga
dialami korban lain,
“saya pernah ajukan komplain, karena proses pemeriksaan agak lama, namun komplain dan saran
saya ditindaklanjuti “ meskipun petugas lambat menindaklanjuti “ (korban kode 3, DKI Jakarta)
Mekanisme keluhan di kota Tasikmalaya dilakukan melalui kotak pengaduan di setiap RT.
Sementara di Kota Cirebon, ditemukan mekanisme informal melalui pengaduan lewat kader. Tindak
lanjut setelah adanya keluhan, menurut narasumber di P2TP2A DKI Jakarta akan dilakukan sesegera
mungkin, sementara untuk Kota Cirebon, tindak lanjut komplain dilakukan segera setelah melalui
proses pertemuan rutin lembaga per tiga bulan.
Di Provinsi D.I. Yogyakarta mekanisme komplain baru dimiliki oleh P2TP2A di Kabupaten
Gunung Kidul, Kota Yogyakarta dan Provinsi D.I. Yogyakarta. Keluhan dapat disampaikan secara
langsung, melalui kotak saran dan whatsapp. Keluhan akan didiskusikan di internal atau bersama
jaringan apabila berkaitan dengan jaringan. Respon atas komplain kemudian akan disampaikan
langsung pada pemberi komplain. Sementara itu di Jawa Timur hanya PPT Provinsi yang memiliki
mekanisme komplain, yang bisa disampaikan secara langsung, lewat SMS maupun surat.
39 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Umumnya yang sering mengajukan komplain adalah korban yang ditangani terkait dengan
lamanya penyelesaian kasus yang dihadapi. Sementara itu hasil asesmen di wilayah Sumatra
menyebutkan 90% P2TP2A yang diteliti belum memiliki mekanisme komplain, bahkan di wilayah
NTT 100 % lembaga yang diasesmen belum memiliki mekanisme komplain. Fakta tersebut tentunya
perlu menjadi perhatian bagi P2TP2A, Pemerintah maupun lembaga non pemerintah lainnya sebagai
upaya untuk meningkatkan kualitas layanan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban.
Kendala penerapan mekanisme pengaduan keluhan bersumber dari setidaknya 3 (tiga) hal;
pertama, belum dipahaminya mekanisme pengaduan keluhan sebagai sarana untuk meningkatkan
kinerja lembaga P2TP2A sehingga sebagian besar P2TP2A belum menerapkan mekanisme ini. Kedua,
belum diterapkannya mekanisme pengaduan keluhan yang ramah terhadap korban dengan feed back/
respon balik yang jelas dan cepat. Umumnya mekanisme pengaduan sekedar untuk menampung
masukan dari korban, namun korban tidak mengetahui apa hasil dari keluhan yang disampaikan.
Ketiga, keengganan korban untuk menyampaikan keluhan karena berbagai pertimbangan, sebagaimana
kasus berikut ini.
Korban dari Jepara mengeluhkan pemberian layanan yang dilakukan oleh petugas yang
berbeda- beda,.
“Berbeda. Ada yang responnya cepat baik, ada yang seperti memojokan” (korban kode 51, Jepara).
Korban yang sama pernah bersitegang dengan petugas karena menilai layanan yang diberikan
kurang responsif dan petugas cenderung menyalahkan korban,
“Pernah (complain) ke petugas karena layanan hukumnya kurang cepat dalam membantu mengurus
perceraian saya di pengadailan agama. Ada juga (konselor) yang responsif (namun) ada yang kurang
pas karena saya disalahkan”. (korban kode 51, Jepara)
Korban merasa cukup puas dengan keseluruhan layanan, hanya untuk konselor yang bertugas
diharapkan dapat bersikap lebih responsif, lebih memahami kondisi dan perasaan korban, serta
jumlahnya perlu ditambah. Korban lain juga mengaku memiliki pengalaman melakukan komplain
karena petugas kepolisian melayaninya dengan nada bicara yang keras dan membentaknya;
“Ya saya pernah dibentak sekali oleh seorang petugas kepolisian, saya diperlakukan seperti ini, tapi
petugas tidak menyalahkan saya hanya nada bicaranya keras.” (korban kode 52, Jepara).
Salah satu korban dari Provinsi Jawa Timur sempat bermaksud mengeluhkan layanan petugas
P2TP2A yang cenderung menghakimi korban baik dari ucapan maupun bahasa tubuh petugas namun
korban mengurungkannya karena merasa tidak nyaman. Korban yang lain mengeluhkan penanganan
polisi yang cenderung menyalahkan korban;
“maksudku kenapa kok polisi bicaranya kaya gitu (menyalahkan korban)? Yang dihadapi ini kan
korban” (korban kode 72, Jawa Timur, 2016).
| 40
Temuan dan Analisis n
Walaupun terdapat komplain dari korban, namun korban mengaku layanan P2TP2A sangat
bermanfaat dalam menyelesaikan konflik serta persoalan kekerasan yang dialami korban. Korban
juga merasa terdukung karena setelah kasusnya selesai, mereka masih mendapatkan pendampingan ;
“(saya) masih dimonitor perkembangan di sekolah yang baru” (korban kode 52, Jepara, 2016).
Hasil assessmen terhadap korban menunjukkan bahwa korban seringkali tidak puas dengan layanan
P2TP2A, tetapi enggan, sungkan atau tidak berani menyampaikan keluhannya dikarenakan mereka
merasa masih membutuhkan pendampingan P2TP2A. Rasa enggan, sungkan dan takut untuk men-
yampaikan keluhan kepada petugas ini, berangkat dari adanya relasi kuasa yang tidak setara antara
korban dengan pendamping ataupun dengan P2TP2A dan kurangnya penjelasan tentang hak-hak kor-
ban oleh petugas P2TP2A (sangat mungkin petugas juga belum paham).
Kondisi ini perlu disikapi dengan menjalankan prinsip-prinsip layanan yang setara dan
penghormatan terhadap hak-hak korban, sehingga korban tidak merasa bahwa mereka yang
membutuhkan layana, tetapi memang sudah menjadi tanggung jawab negara melalui P2TP2A
untuk memberikan layanan terbaik.
Grafik di atas menunjukkan bahwa sebagian P2TP2A (48%) memiliki mekanisme koordinasi
insidental, yakni sebagai respon terhadap kasus dan 28% lainnya tidak memiliki mekanisme koordinasi.
Sifat koordinasi yang insidental atau kadang reaktif ini cenderung hanya merespon kejadian kekerasan,
tetapi belum menjangkau kebutuhan yang lebih luas, seperti pencegahan dan rehabilitasi korban.
Kedua upaya tersebut membutuhkan koordinasi rutin dan intensif.
41 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Minimnya P2TP2A yang memiliki mekanisme koordinasi dengan mitra kerjanya, berkaitan
langsung dengan kurangnya pemahaman pengurus P2TP2A terhadap kebutuhan membangun
keterpaduan layanan. Kebutuhan korban kekerasan yang tidak tunggal, membutuhkan keterlibatan
banyak pihak, sehingga diperlukan koordinasi, baik untuk rujukan, membangun kerjasama yang
lebih luas hingga berbagi sumber daya untuk pemenuhan hak korban. Di wilayah Sumatera, Aceh,
Kepulauan Riau, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Timur, mekanisme koordinasi rutin P2TP2A
secara umum belum berjalan.
Mekanisme koordinasi akan sejalan dengan mekanisme rujukan yang ada di masing-masing
P2TP2A. Hasil asesmen menemukan bahwa belum semua P2TP2A memiliki mekanisme rujukan
tertulis. Jawa Timur dan Bali misalnya, semua narasumber mengatakan bahwa P2TP2A belum memiliki
mekanisme rujukan. Umumnya lembaga yang belum memiliki mekanisme rujukan tertulis, merujuk
kasus dengan berbekal kesepakatan tidak tertulis atau konsensus, atau karena adanya kedekatan/
saling kenal dengan petugas di lembaga lainnya. Kesepakatan tidak tertulis umumnya dibuat dengan
stakeholder yang terlibat atau terkait dengan P2TP2A, maupun mengidentifikasi kontak di lembaga
layanan yang ada. Ketiadaan mekanisme rujukan tertulis memiliki kelemahan ketika terjadi pergantian
personil di masing-masing lembaga dan tidak terjadi transfer informasi, maka hal-hal yang telah
disepakati akan sulit dilanjutkan dan harus melalui proes membangun kesepakatan kembali. Kondisi
ini tentu mempengaruhi kualitas layanan terhadap korban.
Perihal mekanisme rujukan yang telah dilaksanakan di DKI Jakarta dan Jawa Barat diantara
jawaban narasumber adalah saling berkoordinasi seperti melalui telepon dan whastsaap seperti yang
dilakukan P2TP2A Depok. Di kabupaten dan kota Tasikmalaya, korban juga bisa mendatangi
lembaga layanan terdekat, satgas PKdRT di tiap RT/RW, polsek, puskemas atau datang langsung ke
P2TP2A agar nanti diidentifikasi dan diberikan rujukan sesuai kebutuhan. Di DKI Jakarta layanan
P2TP2A sebagian besar adalah 8 jam, namun memiliki layanan hotline 24 jam. Mekanisme rujukan
dilakukan melalui surat dan koordinasi melalui telepon antara RPTRA, dinas pendidikan, dinas sosial,
Forum Pengada Layanan, kepolisian dan rumah sakit mitra P2TP2A.
| 42
Temuan dan Analisis n
kader tersebut menjadi penjangkau korban yang seringkali aksesnya jauh dari layanan. Selain itu
kader- kader ini berperan sebagai ‘peer group’ sekaligus pendamping yang dapat meningkatkan rasa
aman dan nyaman korban karena merasa didampingi sejak awal.
43 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Meskipun demikian, narasumber menilai SOP layanan dan mekanisme rujukan ini masih sebatas
kesepakatan diatas kertas sebagai mana disampaikan narasumber dari Deli Serdang dan Kota Bengkulu.
Pada tataran implementasi efektifitas kesepakatan ini masih membutuhkan komitment dan konsistensi
menjalankan nilai-nilai dan kesepakatan bersama yang perlu di re-internalisasi serta diwujudkan dalam
pembagian peran antar pihak dalam penanganan setiap kasus.
Hasil asesmen di wilayah Sulawesi dan Maluku mengenai sistem rujukan menunjukkan bahwa
di wilayah tersebut sebanyak 67% P2TP2A yang diasesmen belum memiliki SOP layanan maupun
SOP rujukan. Jadi baru 33% P2TP2A yang telah memiliki SOP layanan. Semua P2TP2A ini masih
mengacu pada SOP kementrian PP dan PA atau peraturan kepala daerah di wilayah masing-masing.
d. Daya Dukung (SDM, Sarpras dan SOP/ Kebijakan, anggaran, pendataan dan
Pendokumentasian, Kerjasama antar Lembaga)
Berdasarkan asesmen yang dilakukan besaran anggaran yang disediakan oleh pemerintah
daerah untuk P2TP2A sangat terbatas. Di Sumatera, Aceh, sebagian Sulawesi, dan di NTT, anggaran
APBD yang dialokasikan untuk P2TP2A masih sangat kecil. Di sejumlah P2TP2A di pulau Sulawesi,
Maluku dan NTT, dukungan dana dari APBD hanya mampu untuk membiayai operasional
sekretariat, rapat koordinasi pengurus, sosialiasai serta pendampingan korban dengan jumlah
yang terbatas. Walaupun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kualitas layanan terhadap
korban kekerasan namun komitmen Pemerintah Daerah dalam bentuk anggaran merupakan salah
satu indikator yang menunjukan keberpihakan Pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak korban
kekerasan dan juga berkorelasi terhadap kinerja dan kualitas layanan P2TP2A.
| 44
Temuan dan Analisis n
P2TP2A di tingkat kabupaten/kota banyak yang tidak mendapatkan dukungan dana yang
memadai. kalaupun ada, anggaran tersebut melalui APBD dan alokasinya masuk dalam anggaran
Badan/Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak. Anggaran P2TP2A dalam
bentuk hibah yaitu APBD dari anggaran Dinas Sosial di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat
dan UPTD Provinsi DKI Jakarta mendapat hibah APBD dari pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Penerimaan dana APBD dengan cara hibah disatu sisi memberikan fleksibilitas untuk mengelolanya
sesuai dengan kebutuhan korban yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Namun di sisi lain tidak ada jaminan
keberlanjutan dukungan karena belum ada landasan hukumnya.
Hasil asesmen menunjukkan, di tingkat Provinsi, rata-rata P2TP2A telah menerima alokasi
dana APBD antara Rp.100.000.000,-(Seratus juta rupiah) sampai Rp.700.000.000,- (tujuh ratus juta
rupiah) per tahunnya. Meskipun ada beberapa pengecualian, seperti di P2TP2A Provinsi Jawa Tengah
dan Provinsi Sulawesi Selatan yang menerima pagu anggaran lebih besar. Sedangkan P2TP2A di tingkat
kabupaten /kota hanya mendapatkan alokasi dana lewat APBD rata-rata antara Rp.30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah) sampai Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) pertahun.
Di Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta misalnya, P2TP2A Kabupaten Kulon Progo menerima
anggaran sebesar Rp 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) untuk tahun 2016 dan Kabupaten
Bantul menerima Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) untuk tahun 2016. Di Provinsi Jawa Tengah,
Kabupaten Grobogan sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), Kota Semarang sebesar
Rp 817.122.000,- (delapan ratus tujuh belas juta seratus dua puluh dua ribu rupiah), Kabupaten
Boyolali sebesar Rp 85.000.000,- (delapan puluh lima juta rupiah), dan Kota Surakarta sebesar
Rp 136.000.000. (seratus tiga puluh enam juta rupiah). PPT Provinsi Jatim tahun anggaran 2016
mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 700.000.000,- (tujuh ratus juta rupiah). Ada dua P2TP2A yang
memiliki anggaran lebih dari 3 Milyar rupiah dan dapat dilihat di tabel di bawah. Sementara hasil
asesmen, sebanyak 40% P2TP2A tidak mendapatkan dana baik dari APBN maupun APBD. Atau
hanya sekitar 60 % P2TP2A yang mendapatkan dana APBD.
45 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
P2TP2A Anggaran
Ketersediaan anggaran yang diperoleh P2TP2A dari APBD sangat dipengaruhi oleh kemampuan
pengurusnya dalam mengadvokasi anggaran dengan menjelaskan pentingnya peran P2TP2A dan
manfaatnya bagi korban kepada pemerintah daerah (bupati/walikota, badan/dinas PPA, Dinsos) serta
ke DPRD. Hasil advokasi anggaran di Kabupaten Tasikmalaya tahun 2017 mendapatkan dana
Rp. 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah), sedangkan Kota Tasikmalaya sebesar Rp. 76.000.000,-
(tujuh puluh enam juta rupiah). Kabupaten Sukabumi sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh
juta rupiah), bahkan selalu mengalami peningkatan jumlah anggaran sampai dengan Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah) tiap tahunnya. Advokasi anggaran yang dilakukan oleh P2TP2A DKI Jakarta
dilakukan melalui pengajuan proposal hibah. Anggaran P2TP2A DKI Jakarta bersumber dari dana
hibah APBD. Besaran anggaran untuk tahun 2016 sebesar 4 (empat) Milyar rupiah. Sedangkan dana
hibah dari dinas sosial ke P2TP2A Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat sebesar Rp. 250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah).
“Dana hibah untuk P2TP2A dilakukan dengan mengajukan proposal ke Dinas Pemberdayaan
Perempuan 2017.” (Petugas P2TP2A DKI Jakarta)
Umumnya narasumber yang ditemui di wilayah Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jatim dan Bali
menyatakan bahwa dukungan anggaran untuk P2TP2A terbatas. Namun semua P2TP2A yang
diwawancara mengaku belum pernah melakukan advokasi anggaran kepada pemerintah daerah
masing-masing. Satu daerah yang sudah berhasil melakukan advokasi anggaran adalah P2TP2A Kota
Semarang yang pada tahun 2014 pernah melakukan advokasi anggaran bekerjasama dengan jaringan
P2TP2A, advokasi anggaran tersebut dilakukan bersamaan dengan kegiatan peluncuran data hasil
layanan P2TP2A.
Laporan asesmen wilayah NTT juga menyebutkan bahwa terkait anggaran ini, RPTC dinas sosial,
UPPA Polda, PKT RSUD dan LBH Apik tidak pernah dilibatkan dan terlibat dalam melakukan advokasi
anggaran untuk pembiayaan P2TP2A. Ketidakterlibatan ini dikarenakan minimnya koordinasi serta
pertemuan rutin yang melibatkan semua lembaga pengada layanan serta minimnya peran koordinasi
yang di lakukan oleh P2TP2A ataupun Badan PP sebagai leading sector. Meski demikian, P2TP2A
| 46
Temuan dan Analisis n
Provinsi berusaha melakukan advokasi melalui tatap muka dengan ketua dan anggota komisi V DPRD
Provinsi NTT dan surat tertulis kepada Gubernur NTT melalui kepala BP3A Provinsi NTT. Kegiatan
tersebut mendapat respons yang positif dengan adanya tambahan dana pada perubahan anggaran
di tahun anggaran 2015 dan penambahan anggaran dalam tahun anggaran 2016 untuk memenuhi
beberapa sarana yang diperlukan oleh P2TP2A.
Ketidak terlibatan ini dikarenakan minimnya koordinasi serta pertemuan rutin yang melibatkan
semua lembaga pengada layanan serta minimnya koordinasi yang di lakukan oleh P2TP2A ataupun
47 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Badan PP sebagai leading sector. Meski demikian, P2TP2A Provinsi berusaha melakukan advokasi
melalui permohonan tatap muka dengan ketua dan anggota komisi V DPRD Provinsi NTT dan surat
tertulis kepada Gubernur NTT melalui kepala BP3A Provinsi NTT. Kegiatan tersebut mendapat
respon positif dengan adanya tambahan dana pada perubahan anggaran tahun 2015 dan penambahan
anggaran dalam tahun anggaran 2016 untuk memenuhi beberapa sarana yang diperlukan oleh
P2TP2A.
iii. SOP
Selanjutnya, mengenai mekanisme layanan P2TP2A, belum semua P2TP2A memiliki SOP
layanan maupun SOP rujukan. Hal ini terlihat pada grafik di bawah ini:
Hanya 5% P2TP2A yang memiliki SOP layanan dan SOP rujukan. 55%nya bahkan tidak
memiliki SOP sama sekali, 40% mengaku hanya memiliki salah satu SOP. Walaupun sebagian besar
P2TP2A memiliki mekanisme layanan atau rujukan, namun pengurus maupun staf P2TP2A tidak
mampu menjelaskan mengenai standar layanan rujukan. Masih terdapat gap antara konsep yang
dijelaskan dengan isi dokumen, hal ini menunjukkan dokumen belum diinternalisasi dengan baik.
Selain itu juga terdapat gap antara dokumen SOP dengan implementasi yang ditunjukkan dengan
adanya ketidaksesuaian antara jawaban pengurus/petugas dengan mekanisme yang ditempuh oleh
korban. Dalam perspektif hak dasar, ketidaksesuaian mekanisme ini berpotensi mengurangi aksesibilitas
dan affordabilitas serta kemanfaatan korban atas layanan.
Ketersediaan dan diimplementasikannya SOP, di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta menunjukan
bahwa sebagian besar P2TP2A yang diasesmen telah memiliki SOP. Umumnya jenis SOP yang dimiliki
adalah SOP layanan. Di D.I. Yogyakarta hanya P2TP2A kabupaten Kulonprogo yang belum memiliki
SOP layanan. Sebaliknya P2TP2A kota Yogyakarta bahkan memiliki 8 (delapan) SOP layanan, yang
| 48
Temuan dan Analisis n
meliputi SOP layanan kesehatan di poli rumah sakit, SOP layanan bidang kesehatan di UGD Rumah
Sakit, SOP layanan bidang kesehatan di Puskesmas, SOP layanan bidang hukum pidana, SOP layanan
bidang hukum perdata, SOP layanan bidang rehabilitasi sosial, SOP layanan bidang pemberdayaan
ekonomi, serta SOP layanan bidang psikologis dan spiritual.
Di Jawa Timur, hanya PPT provinsi dan kabupaten Ponorogo yang memiliki SOP. PPT Jawa
Timur memiliki SOP layanan dan SOP rumah aman, sementara Kabupaten Ponorogo hanya memiliki
SOP layanan. Daerah yang belum memiliki SOP sama sekali biasanya melakukan layanan dengan
mengacu pada peraturan menteri PPPA tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM). Sementara itu,
di DKI Jakarta dan Jawa Barat menemukan sebanyak 60% narasumber menyatakan bahwa P2TP2A
dalam memberikan layanan mengacu pada SOP yang tersedia, tetapi tidak dapat menjelaskan dengan
lebih rinci apakah SOP yang digunakan adalah SOP nasional (SPM) atau SOP yang dikembangkan
sendiri oleh P2TP2A.
Hasil asesmen di NTT menunjukan bahwa seluruh P2TP2A belum memiliki SOP terkait layanan
bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Layanan P2TP2A masih bergantung pada program kerja
BPPKBKS, namun masih banyak yang belum memahami tentang tugas dan pekerjaan di P2TP2A
sehingga kegiatan terkesan berjalan sendiri-sendiri tanpa mekanisme yang jelas. Sementara itu wawancara
dengan RSUD Soe menemukan, walaupun belum ada SOP namun untuk perempuan dan anak korban
kekerasan dilayani secara khusus.
Di wilayah Sulawesi dan Maluku, dari 15 P2TP2A yang diasesmen terdapat 7 (tujuh) P2TP2A
yang sudah memiliki SOP Layanan. Namun semuanya masih mengacu pada SOP Kementrian PP
dan PA. Sebagian P2TP2A lainnya mengacu pada pergub/perbup/perwali di wilayah masing-masing.
P2TP2A yang telah memiliki SOP layanan yakni Provinsi Sulawesi Utara, Kota Manado, Sulawesi
Selatan, Kab Minahasa Selatan, Kota Ambon dan Kota Kendari serta Kabupaten Pangkep. Khusus di
P2TP2A Sulewesi Utara dan P2TP2A Kota Manado telah memiliki SOP dan MoU dengan Ikatan
Advokat Sulawesi Utara dan Himpunan Psikolog Sulawesi Utara dalam penanganan perempuan
korban kekerasan yang pembayaranya dibiayai oleh daerah.
Hasil asesmen di wilayah DKI Jakarta dijelaskan bahwa P2TP2A telah memiliki SOP penanganan
korban, hanya saja dokumennya tidak dapat diakses publik karena bersifat rahasia. Sebagian besar
(60%) P2TP2A di DKI Jakarta dan Jawa Barat menyatakan bahwa dalam memberikan layanan mereka
memiliki SOP, akan tetapi tidak semua lembaga merinci lebih detil SOP yang digunakan oleh P2TP2A
49 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
tersebut. P2TP2A yang menyatakan memiliki SOP adalah DKI Jakarta, Kota Depok, Kabupaten
Sukabumi, Kabupaten Bandung, Kota Tasikmalaya dan kabupaten Tasikmalaya. Tidak diketahui
dengan jelas SOP yang digunakan adalah SOP nasional (SPM) ataukah SOP yang dikembangkan
sendiri. P2TP2A Kota Tasikmalaya yang menyatakan bahwa SOP yang mereka gunakan adalah SOP
provinsi, sementara Kabupaten Tasikmalaya menyatakan bahwa mereka menggunakan SPM sebagai
acuan pelayanan. Minimnya data mengenai SOP dari P2TP2A yang memiliki SOP dikarenakan
petugas yang menjadi narasumber menganggap bahwa SOP bersifat rahasia sehingga tidak bisa
diberikan. Namun ada juga P2TP2A yang tercatat melampirkan, akan tetapi datanya tidak ada.
Persoalan data penanganan korban ini menjadi hal penting yang harus dicari jalan keluarnya.
Jalan keluar sistem database dan pendokumentasiaan bukan semata-mata dengan membangun sebuah
sistem yang canggih dengan perangkat yang modern yang mahal, tapi juga yang bisa menunjukan
berapa jumlah korban yang dapat mengakses dan memanfaatkan layanan untuk memenuhi hak-
haknya. Di samping itu juga, harus diperhatikan adalah pengakuan dan apresiasi terhadap kerja
lembaga layanan lainnya di luar P2TP2A yang telah mencatat hasil kerja layanannya dalam sistem data
base dan kemudian disebut sebagai data P2TP2A. Hal ini penting karena selain dapat secara bersama
menjadikan data sebagai sumber informasi, sumber pembelajaran dan landasan dalam membuat
kebijakan untuk pelayanan terhadap korban kekerasan yang lebih baik, tetapi juga untuk menjaga
spirit kerja berjejaring yang lebih transparan, akuntable, saling menghargai dan mendukung dalam
memberikan layanan terbaik bagi korban.
| 50
Temuan dan Analisis n
Hasil asesmen di DKI Jakarta dan Jawa Barat menunjukkan seluruh P2TP2A memiliki sistem
pendokumentasian kasus, meski mekanismenya cukup beragam di masing-masing P2TP2A.
Pendokumentasian di Kota Bandung dilakukan oleh bagian tata usaha, sedangkan Provinsi Jawa
Barat dilakukan oleh divisi advokasi dan Kabupaten Sukabumi pendokumentasian dilakukan di divisi
masing-masing. Kota Cirebon menggunakan aplikasi SIGA (Sistem Informasi Gender dan Anak) dari
KPPPA, sementara yang lainnya melakukan pencatatan secara manual baik secara hardcopy maupun
softcopy, sehingga tidak mengherankan jika bentuk dan kualitas data yang dihasilkan berbeda-beda.
Di wilayah Sulawesi dan Maluku, sistem pencatatan dan pendokumentasian secara umum ma-
sih menggunakan pencatatan manual, karena belum semua wilayah memiliki mekanisme pencatatan
yang tersistem. Hal ini ditemukan diantaranya di P2TP2A Kabupaten Sigi, Kabupaten Minahasa
Utara, Kota Bitung dan Kab. Pangkep. Sistem pencatatan manual ini diterapkan di Kabupaten
Sigi masih sangat sederhana dan konvensional yaitu hanya untuk mengetahui identitas korban/pel-
apor. Detail kasus dan bagaimana perkembangan kasus yang dialami korban tidak direkam-dicatat,
sehingga tidak bisa ditelusuri riwayat kasus di masa lalu dan bagaimana kondisi korban yang pernah
melaporkan kasusnya.
“sistem pendokumentasian saat ini masih dalam bentuk pencatatan atau registrasi dibuku registrasi
saja yang kemudian dijumlahkan berdasarkan jenis kasus, usia korban dan tahun. Selama ini be-
lum ada pengelolaan dokumentasi, kami hanya menuangkan hasil kerja-kerja P2TP2A dalam
bentuk laporan kerja setiap tahun saja yang kemudian dipublikasikan ke pemerintah daerah
dan pihak lain yang membutuhkan. (sehingga) kami tidak melakukan pendataan, jika setiap ada
kasus kami merujuknya ke lembaga lain ” (Pengurus P2TP2A Kab Sigi).
Sebagian P2TP2A di wilayah Sulawesi Utara, Ambon dan Sulawesi Selatan memiliki buku
catatan pengaduan, tetapi ada staf yang secara khusus ditugaskan untuk mencatat serta tidak
diketahui apa manfaat lanjut dari pendataan tersebut, sebagaimana terjadi di Kabupaten Minahasa
Utara.
“Saat ini masih dicatat di buku pengaduan” ( Ibu Merry Kasubag Perlindungan Anak Kab
Minahasa Utara). Begitu juga pencatatan di kota Bitung.
“Sejauh ini masih melalui pencatatan biasa saja” ( Ibu Juliana Rambing Kasubag Perlindungan
kota Bitung). Di Kabupaten Pangkep juga masih menggunakan pencatatan manual.
“Dilakukan oleh staf pemberdayaan dan masih dikelola secara manual” ( P2TP2A Kabupaten
Pangkep). P2TP2A Kabupaten Maros selain menggunakan pencatatan manual juga mulai
menggunakan komputer dan telah memiliki staf khusus yang ditugaskan untuk melakukan pendataan,
walaupun tidak diketahui seperti apa sistem pendataan non-manual yang dilakukan, “secara manual,
di komputer, ada penanggungjawabnya yaitu staf pemberdayaan” (Ibu Hj. Nurhaedah T, Kasubag
Kualitas Hidup & PA kabupaten Maros).
51 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Terobosan menarik terdapat di P2TP2A Kota Palu dimana data yang dicatatat di buku
pengaduan dikelola lebih lanjut menjadi sumber data dalam profile gender dan anak, sebagaimana
disampaikan oleh Ibu Diana Adam Pattalalu, M.Si, Sekretaris P2TP2A Kota Palu. “Kerja-kerja
P2TP2A dimasukkan dalam profile gender dan anak dan data kasus mengacu pada buku pengaduan”
Inisiatif yang bagus dimiliki oleh P2TP2A Ambon yang memiliki staf dengan kapasitas
pendampingan sekaligus tekun melakukan pendataan, meski demikian disadari oleh Ketua P2TP2A
Kota Ambon bahwa kerja pendataan seharusnya dilakukan oleh orang dengan kapasitas khusus.
“Eta Purba (staf Pendampingan) dia yang melakukan pendampingan, sekaligus melakukan pendataan.
Saya pikir harusnya ada yang mendokumentasikan data selain Eta (staf pendampingan), tapi dia yang
membuat semuanya” Ibu Ina Soselisa, Ketua P2TP2A Kota Ambon.
Hasil asesmen P2TP2A di Jateng, DIY, Jatim dan Bali menunjukkan bahwa secara umum terdapat
perbedaan sistem pendokumentasian kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di P2TP2A
yang didatangi. 8 Ketidakseragaman pengkategorian jenis kasus dan bentuk kekerasan menyebabkan
data kasus tidak bisa dikomparasi dan dielaborasi antar wilayah. Kelemahan pendokumentasian
kasus juga terjadi dalam kasus hasil rujukan. Faktor penyebabnya adalah pemahaman pentingnya
mengelola data kasus dan tiadanya petugas khusus.
Dokumentasi data kasus biasanya ditujukan untuk keperluan laporan ke badan/dinas yang
berperan sebagai leading sector. Hasil wawancara menunjukkan beberapa P2TP2A yang tidak
melakukan pendampingan langsung seperti Kabupaten Jombang dan Kota Pasuruan mengkompilasi
data kasus dari jaringan kerja (pengada layanan) untuk dan dilaporkan ke Badan Pemberdayaan
Perempuan.
Pendokumentasian penanganan kasus di Provinsi Jawa tengah sudah dilakukan dengan sistem
online. Data kasus yang didokumentasikan di PPT Provinsi Jawa Tengah, tidak hanya kasus yang
ditangani oleh PPT Provinsi Jawa Tengah dan anggotanya, melainkan juga data yang ditangani oleh
PPT di 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. PPT Provinsi dan PPT di 35 Kabupaten /Kota di Jawa
Tengah memasukkan data mereka secara online yang dikelola oleh Bagian Pusat Informasi Dinas PPPA
| 52
Temuan dan Analisis n
dan Dalduk Provinsi Jawa Tengah. Data yang dimasukkan ini berupa data korban (nama dan NIK),
kronologi kasus, jenis dan bentuk kasus, serta layanan yang diberikan kepada korban. Data tersebut
hanya dapat dibuka atau diakses oleh Bagian Pusat Informasi Dinas PPPA dan Dalduk Provinsi
Jawa Tengah. Kepentingan mengikutsertakan NIK untuk tujuan integrasi dengan layanan jaminan
sosial, seperti BPJS, beasiswa pendidikan, bantuan permodalan, bantuan uang dari dinas sosial dan
sebagainya.
“....pendokumentasian kami sudah online. Di online juga dapat mengetahui layanan apa yang sudah
dapat di akses oleh korban.” (Petugas PPT Provinsi Jawa Tengah).
“... ada, dan yang bertanggungjawab adalah bidang pengaduan. Hasilnya disimpan secara
rahasia. Dan file-nya akan digunakan ketika dibutuhkan nanti.” (Sekretaris -P2TP2A Provinsi
D.I. Jogyakarta).
Pendataan dan pendokumentasian kasus belum menjadi prioritas bagi P2TP2A. Hal ini tidak
terlepas dari ketersediaan SDM dan dukungan sarana-prasarana termasuk peningkatan kapasitas
yang belum terencana dengan baik karena P2TP2A belum memiliki rencana kerja, sehingga masih
tergantung kepada pejabat yang ada di BP2KB.
“belum ada sistem pendataan dan pendokumentasian di P2TP2A Belu. Pendataan dilakukan oleh
masing-masing lembaga mitra yang mendampingi korban.” ( Kabid P2TP2A Belu).
v. SDM
Pemilihan ketua dan pengurus P2TP2A dalam asesmen ini, sebahagian besar melalui mekanisme
penunjukan langsung oleh pimpinan daerah. Pemilihan ketua dan pengurus P2TP2A masih diwarnai
dengan pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan kapasitas, fungsional dalam menjalankan
visi dan misi P2TP2A. Ditemukan hanya sekitar 40% P2TP2A yang pengurusnya aktif. Kondisi ini
disebabkan banyaknya ketua dan pengurus yang belum memahami visi, misi dan tugas serta fungsi
P2TP2A, sehingga belum mampu menjalankan dan mengembangkan P2TP2A dengan berperspektif
pemenuhan hak korban.
Meskipun alasan penunjukan pengurus P2TP2A secara langsung diklaim telah mengikutsertakan
pertimbangan kerelawanan dan komitmen orang-orang yang dipilih, tetapi pada kenyataannya
tidak dapat menopang kebutuhan kompetensi-pengalaman dalam pengelolaan lembaga layanan dan
53 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
pendampingan korban. Beberapa P2TP2A yang menggunakan mekanisme rekrutmen terbuka dan
menggunakan jejaring kerjasama dengan LSM, cenderung dapat memperoleh pengurus dan staf
yang memiliki kompetensi dan pengalaman dalam memberikan pelayanan pada korban. Kondisi
Ini ditemukan di P2TP2A Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Aceh, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi
DI.Yogyakarta dan Kota Makassar.
Hampir semua wilayah di 16 Provinsi dan 60 kabupaten/kota yang menjadi lokasi asesmen
menyatakan bahwa perekrutan pengurus dan petugas P2TP2A dilakukan dengan penunjukkan oleh
pejabat, seperti Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Wakil Walikota /
Wakil Bupati dan isteri Walikota/Bupati /Wakil Walikota/Wakil Bupati serta rekomendasi dari LSM.
P2TP2A di tingkat Provinsi maupun di kabupaten/kota ini belum memiliki mekanisme perekrutan dan
pemberhentian pengurus serta petugasnya yang diatur dalam sebuah peraturan atau SOP yang dapat
dijadikan landasan dalam melakukan rekruitmen . Perekrutan yang dilakukan melalui penunjukan
langsung, pada akhirnya berdampak pada banyaknya pengurus-petugas P2TP2A yang tidak aktif
menjalankan tugas dan fungsinya.
P2TP2A juga belum memiliki mekanisme peningkatan kapasitas bagi pengurus dan petugasnya.
Tidak ada peningkatan kapasitas yang direncanakan secara khusus dan sistematis kepada pengurus dan
petugasnya untuk meningkatkan kualitas pemberdayaan termasuk layanan kepada korban. Peningkatan
kapasitas bagi pengurus dan petugas P2TP2A di tingkat provinsi telah dilakukan, tetapi masih terbatas
berupa pelatihan singkat dan tidak setiap tahun rutin dilakukan. Di Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta,
DI. Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur, peningkatan kapasitas pengurus dan stafnya, sebagian
besar (72%) masih mengandalkan pelatihan dan seminar yang bersifat insidental.
P2TP2A di wilayah Sulawesi dan Maluku menyebutkan bahwa belum memiliki standar kualifikasi
yang dijadikan landasan dalam memilih dan menetapkan SDM serta kepengurusan. Ketiadaan
standar kualifikasi ini ditemui di P2TP2A Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Kota Bitung, Manado,
Kabupaten Sigi, Kota Kendari dan Provinsi Sulawesi Tenggara. Perebutan pengurus yang ada hanya
didasarkan kepada kebutuhan situasional. Sedangkan P2TP2A Provinsi Sulawesi Selatan dan kabupaten
Pangkep menetapkan, kualifikasi kepengurusan berdasarkan pada Permen PPA Nomor 1 Tahun 2010
tentang SPM. Daerah lainnya yang memiliki standar kualifikasi yang didasarkan pada latar belakang
pendidikan dan keterampilan yang harus dimiliki oleh pengurus petugas P2TP2A adalah Kabupaten
Maros, Kabupaten Poso, Kota Palu, Kabupaten Maluku Tengah dan Kepulauan Buru.
Mekanisme rekrutmen tenaga tetap dan tenaga tidak tetap yang dilakukan oleh P2TP2A di 8
(delapan) wilayah di Sulawesi dan Maluku, dilaksanakan dengan penunjukan langsung oleh Kepala
Badan P3A dan disertai dengan Surat Keputusan. Terdapat 5 daerah yang melalui rekrutmen-
pemilihan dan memiliki mekanisme penguatan kapasitas SDM. satu daerah yakni kabupaten Sigi
tidak memiliki mekanisme perekrutan, hanya didasarkan pada kesediaan dalam bekerja. Memiliki
pekerja tetap, 6 (enam) P2TP2A tidak memiliki pekerja tetap, dan 7 (tujuh) P2TP2A memiliki
relawan yang umumnya adalah ibu rumah tangga. Demikian juga rekrutmen pengurus di P2TP2A
Kabupaten Buleleng dan Bangli Provinsi Bali, dilakukan melalui penunjukan.
| 54
Temuan dan Analisis n
Di Provinsi D.I. Yogjakarta, dari 6 (enam) P2TP2A hanya Kabupaten Gunungkidul yang belum
memiliki struktur pengurus, karena P2TP2A tersebut baru dibentuk dan secara fisik masih bergabung
dengan Badan Pemberdayaan Perempuan. Sementara itu P2TP2A di D.I. Yogyakarta telah memiliki
struktur pengurus dan pembagian tugas yang dibakukan dalam pergub, perbup atau perwali. Unsur
LSM perempuan dan anak, akademisi serta profesional tercantum dalam struktur lembaga dan terlibat
dalam layanan P2TP2A di DI. Yogyakarta.
Kebijakan yang mensyaratkan Ketua dan pengurus atau petugas P2TP2A harus orang-orang yang
menduduki jabatan struktural (PNS) dirasakan mempersulit ruang gerak dan perkembangan P2TP2A,
termasuk tidak optimalnya mekanisme koordinasi karena pengurus memiliki pekerjaan lainnya.
P2TP2A Kabupaten Buleleng bahkan tidak memiliki ruangan sekretariat di Badan PP. Ketika
ditanya ruang kerja dan ruang sekretariat, narasumber menjawab, “dimana ada kursi kosong disitu kita
bisa bekerja.”
Kondisi yang berbeda ditemukan di P2TP2A Kabupaten Sleman dan provinsi D.I. Yogyakarta.
P2TP2Anya memiliki fasilitas fisik yang cukup lengkap. Mereka memiliki kendaraan roda 4 dan
kendaraan roda 2 yang digunakan untuk menjangkau korban, ruang istirahat dan ruang konseling
yang terpisah dengan ruang kerja pegawai, serta shelter yang dikelola pemerintah dan jejaring kerja
P2TP2A.
Di Jawa Tengah, beberapa Kabupatennya memiliki fasilitas fisik yang baik. P2TP2A Kabupaten
Jepara, memiliki ruang cek medis, dapur, kamar mandi dan ruang tamu yang memadai. Sementara itu
55 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
di Provinsi Jawa Timur, P2TP2A yang fasilitas fisiknya cukup lengkap adalah PPT Provinsi Jatim. PPT
ini tidak hanya memiliki kendaraan operasional, tetapi juga memiliki ruang konseling dewasa, ruang
konseling anak, kamar/shelter sementara untuk korban, ruang rapat, ruang pemeriksaan medis, hingga
kamar mandi dan dapur. P2TP2A kota Pasuruan juga memiliki fasilitas fisik yang baik, hanya saja
mereka tidak memiliki ruang konseling karena tidak memberikan layanan konseling langsung.
Pandangan korban terkait sarana dan prasarana, salah satunya dari Kabupaten Bangli Provinsi Bali.
Korban dengan jarak rumah tinggal 2 jam dari P2TP2A tidak mendapat dukungan transportasi untuk
penanganan kasusnya. Ia hanya pernah satu kali didatangi oleh petugas P2TP2A di rumahnya. Korban
kekerasan seksual pada anak ini mengusulkan perbaikan fasilitas dan ruangan untuk pendampingan.
Meskipun ruangan konseling dan pendampingan tersedia, korban menilai tempat penanganan kasus
tidak memadai, sehingga ia mengalami hambatan terhadap akses dan kenyamanan dalam mengadukan
kasusnya. “(Saya berharap P2TP2A) lebih menghargai saya, khususnya hal-hal yang bersifat pribadi”
(korban kode 75, Kabupaten Bangli).
Di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta umumnya P2TP2A telah memiliki sarana dan prasarana
yang cukup memadai seperti adanya ruang konseling dan ruang istirahat sementara. Fasilitas kendaraan
operasional hanya dimiliki oleh PPT Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung dan DKI Jakarta. Beberapa daerah
yang fasilitasnya belum memadai adalah P2TP2A kota dan kabupaten Tasikmalaya, dimana ruang
layanan korban masih berada di bergabung BPMPKB setempat.
Sarana dan prasarana pendukung P2TP2A wilayah Sumatra juga belum semua memadai. P2T-
P2A Kepulauan Riau telah memiliki kendaraan operasional dari dana APBD, namun P2TP2A lainnya
hanya memanfaatkan kendaraan operasional kantor atau Badan PP dan PA. Sementara itu fasilitas
fisik seperti gedung, ruang konseling, dan lain-lain berbeda-beda di masing-masing wilayah. Sumber
dukungan dana untuk sarana dan prasarana serta layanan P2TP2A Provinsi lebih banyak dari alokasi
APBD. Sedangkan P2TP2A kabupaten/kota banyak yang tidak mendapatkan dukungan dana atau
dananya sangat terbatas.
Di wilayah Sulawesi dan Maluku, dukungan dalam bentuk fasilitas sarana dan prasarana,
diantaranya gedung, kendaraan operasional, ruangan untuk kebutuhan penanganan korban, hotline
dan tenaga layanan telah tersedia. Mekanisme yang dilakukan oleh P2TP2A dalam mengakses dukun-
gan tersebut melalui perencanaan anggaran lewat Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak setempat. Ada 10 P2TP2A yang memiliki sarana prasarana cukup memadai diantaranya adalah
Sulawesi Utara, Minahasa Utara, Kota Manado, Bitung, Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar,
Kabupaten Maros, Poso, Maluku Tengah dan Sulawesi Tenggara.
e. Kinerja
Keberadaan P2TP2A merupakan upaya untuk pemenuhan hak dasar korban. Semakin banyak
jumlah P2TP2A di kabupaten/kota yang tersebar di Indonesia merupakan langkah strategis untuk
meningkatkan akses korban atas layanan. Namun akses masih dimaknai sebatas mendekatkan layanan
hingga unit terbawah belum pada level ketersediaan, kemudahan dan kualitas layanan. Masih banyak
| 56
Temuan dan Analisis n
kendala yang menghambat kinerja P2TP2A untuk meningkatkan akses korban pada layanan yang
berkualitas. Beberapa persoalan terkait diantaranya masih minimnya dukungan kepala daerah, kapasitas
SDM Pengurus dan petugas, anggaran dan dukungan bagi peningkatan kapasitas dan kompetensi,
persoalan koordinasi dengan jaringan kerja serta perubahan kebijakan di tingkat lokal dan nasional
yang berdampak pada pengelolaan dan kinerja P2TP2A.
Kinerja P2TP2A sangat dipengaruhi oleh visi misi kepala daerah dan cara pandang kepala daerah
pada persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hasil asesmen menunjukan ada 59% P2TP2A
memiliki legalitas pendirian yang hanya didukung oleh SK gubernur, bupati atau walikota. P2TP2A
yang pendiriannya dikuatkan dengan perda dan pergub hanya sebesar 5%. Umumnya P2TP2A di
wilayah DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY dan Jawa Barat telah didukung secara memadai melalui perda,
pergub dan SK. Implikasi adanya dukungan peraturan daerah adalah kelembagaan yang lebih stabil
dan peluang mengakses APBD. P2TP2A di Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sulawesi Selatan dan DKI
Jakarta, dukungan anggaran untuk penanganan korban relatif lebih baik dibandingkan dengan daerah
lain. Sementara di Provinsi Bengkulu, pada tahun 2006 telah berhasil mendorong Perda No. 21 tahun
2006 tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta perda
No. 22 tahun 2006 tentang pelarangan perdagangan perempuan dan anak di Provinsi Bengkulu, yang
semakin memperkuat dukungan pemerintah daerah terhadap layanan korban.
Di Makassar, meski belum ada perda dan hanya dengan SK Walikota, namun P2TP2A kota
Makassar mendapat dukungan yang besar dari Walikota. Dukungan ini diwujudkan dalam
bentuk anggaran bagi P2TP2A yang cukup besar dibandingkan daerah lain dan alokasinya telah
memperhatikan kebutuhan korban sesuai yang disyaratkan dalam SPM. Layanannya pun variatif dan
telah diatur dalam SOP. P2TP2A Kota Makassar juga mempunyai shelter (meskipun berstatus sewa)
yang cukup representative dan shelter berbasis komunitas yang mendapat dukungan APBD serta mobil
penanganan kasus dengan sistem jemput bola. Layanan yang diberikan mencakup pendampingan
kasus, pendampingan hukum, konseling, bantuan medis, visum, shelter, pemulangan, reintegrasi,
mediasi, serta hak-hak lain yang dibutuhkan korban, seperti akta kelahiran dan pendidikan. Dukungan
yang besar dari kepala daerah seperti yang terjadi di kota Makassar ini tidak banyak terjadi dan perlu
direplikasi di daerah lain.
Berbeda situasi di Kabupaten Buleleng, selain anggaran yang terbatas, narasumber juga
mengatakan bahwa visi dan misi bupati tidak terlalu fokus pada isu perlindungan perempuan
dan anak, sehingga keberadaan P2TP2A di tempat ini nyaris tidak menjadi perhatian-kebutuhan.
Kurangnya dukungan kepala daerah ditunjukkan dengan penempatan orang-orang di P2TP2A yang
tidak mencerminkan kapasitas dan kompetensi yang dibutuhkan untuk memberikan layanan bagi
korban. Dampaknya adalah kurang berfungsinya P2TP2A dan lemahnya kinerja pelayanan karena
pihak-pihak yang ditempatkan di P2TP2A tercantum namanya, tapi tidak menjalankan tugas dan
fungsinya. Sebagian besar P2TP2A yang mengeluhkan tidak berfungsinya struktur dan kepengurusan
merupakan pengurus yang dipilih melalui penunjukkan langsung. Asesmen ini menemukan bahwa
57 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
meskipun pengurus P2TP2A telah dipilih berdasar pertimbangan komitmen, tetapi sebagian besar
pengurus kurang memahami visi misi dan fungsi P2TP2A.
Situasi P2TP2A “tanpa nahkoda” ini seringkali terbantu dengan kuatnya jejaring dengan mitra
kerja yang dapat memberikan pelayanan pada korban sehingga korban tetap terlayani. Sebagai contoh
pelayanan yang diterima beberapa korban dari Provinsi NTT memiliki pengalaman kurang mendapat
pendampingan P2TP2A dan hanya didampingi oleh mitra-jaringan.
“Saya tidak tahu P2TP2A, (saya) hanya tahu Truk F dan saya di dampingi dan dilindungi di shelter
dan kasus saya sudah tertangani.” (korban kode 89, kab Sikka).
“Layanan dari P2TP2A tidak ada. Layanan yang selama ini saya dapat itu dari suster – suster
(FPPA) yang memberikan dampingan, penguatan agar saya yang cacat ini bisa mandiri, tidak terikat
pada suami sebagai pemberi nafkah.” (Korban kode 88, Kabupaten Belu).
Kuatnya jaringan layanan ini menjawab persoalan mendesak korban atas layanan pendampingan.
Narasumber beberapa daerah yakni Kota Semarang, Kabupaten Jepara, Kota Surakarta, Kabupaten
Magelang, Kota Malang, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Bandung, dan Kota Makassar, menyatakan
bahwa kepengurusan P2TP2A yang terdiri dari berbagai unsur, baik yang berasal dari unsur pemerintah,
jaringan LSM/ormas dan profesional, serta aktif terlibat dalam mengelola P2TP2A, maka cenderung
memiliki kinerja yang baik. Kinerja yang lebih baik ditunjukkan dengan minimnya keluhan korban
atas layanan yang diterima.
Komitmen politik kepala daerah dan dukungan anggaran merupakan faktor kunci untuk
meningkatkan kinerja P2TP2A yang tengah mengalami peningkatan pengaduan akibat semakin
meningkatnya kasus kekerasan dan meningkatnya kesadaran masyarakat atas persoalan kekerasan
dan hukum. Dalam tiga tahun terakhir, terdapat 13,393 pelaporan di 63 P2TP2A. Jumlah tertinggi
di Jatim, Jateng, Jogja, Bali sebesar 5,628. DKI Jakarta dan Jabar sebesar 5,501 pengaduan. angka
ini banyak ditopang dengan besarnya angka pengaduan melalui layanan hotline 24 jam P2TP2A
DKI Jakarta. Angka pengaduan terendah terjadi di NTT. rendahnya pengaduan ini disebutkan oleh
pengurusnya disebabkan P2TP2A masih berumur sangat muda yaitu sekitar 3 tahun dan belum bisa
memberikan layanan pengaduan dengan baik.
| 58
Temuan dan Analisis n
Dari sudut pandang korban, layanan yang paling dikenal korban adalah layanan pengaduan
tetapi, korban tentu berharap agar kasusnya ditindaklanjuti. Sekedar mencatat kasus saja, merupakan
pengabaian atas hak dan kebutuhan korban atas keadilan. Temuan asesmen menunjukkan bahwa
P2TP2A yang kepengurusannya tidak bekerja efektif, maka pelayanannya cenderung terhambat.
Indikator tersebut diantaranya kantor sering tutup, tidak bisa diakses di luar jam kantor, tidak
ada petugas, sehingga pada akhirnya pelayanan pada korban sangat tergantung dengan jejaring
pengada layanan maupun mitra kerja lain seperti rumah sakit dan kepolisian.
Kinerja P2TP2A sangat dipengaruhi juga oleh pendanaan dan terbatasnya anggaran untuk Bidang
Pelayanan dan penanganan kasus kekerasan di masing-masing daerah. Dampak dari terbatasnya
anggaran pada layanan P2TP2A adalah terbatasnya layanan dan kurang maksimalnya penjangkauan
korban, belum terakomodasinya kebutuhan shelter atau rumah aman, baik dari segi kualitas
maupun kuantitas. Hasil asesmen menunjukkan bahwa kebutuhan korban atas rumah aman/shelter
bagi perlindungan sementara perempuan korban kekerasan cukup tinggi. Kinerja pendampingan
P2TP2A sangat dipengaruhi oleh kemampuan P2TP2A untuk menyediakan dan mengelola shelter/
rumah aman yang memenuhi rasa aman korban. Beberapa temuan dalam asesmen ini menunjukan
bahwa pendampingan di rumah aman/shelter menjadi kunci bagi keberhasilan korban untuk keluar
dari lingkaran kekerasan dan keberhasilan memberdayakan dirinya. Keberhasilan P2TP2A dalam
59 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
mengembangkan rumah aman yang inklusif dan terintegrasi dengan program-program pemberdayaan
dapat menjadi indikator atas keberhasilan kinerja P2TP2A. Meski demikian, situasi shelter saat ini
masih jauh dari layak. Meskipun secara fisik bangunan shelter/rumah aman ada, namun korban
menilai sejauh ini keberadaan shelter P2TP2A masih merupakan tempat menyembunyikan korban
dari pelaku. Banyak korban yang melarikan diri dari rumah aman karena petugas di rumah aman
cenderung mengurung korban di ruangan dan petugas tidak mengijinkan korban keluar dari rumah
aman/shelter. Situasi pembatasan ruang gerak korban secara sosial tanpa aktivitas memadai, menurut
pengakuan korban juga menimbulkan gangguan psikologis baru bagi korban.
Kinerja P2TP2A juga diukur dengan bagaimana koordinasi dilakukan dengan jaringan kerja,
baik jaringan masyarakat sipil seperti LSM, Organisasi Bantuan Hukum, Advokat, Psikolog maupun
dengan jaringan pemerintah seperti institusi penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Hakim), Dinas Sosial,
Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Dinas Sosial dan lainnya. Koordinasi yang baik menyebabkan semua
stakeholder P2TP2A yang terlibat dalam kepengurusan P2TP2A terlibat aktif dalam melakukan layanan
dan koordinasi. Mekanisme koordinasi di beberapa wilayah dilakukan dalam bentuk rapat koordinasi.
Seperti di wilayah Sulawesi, koordinasi yang bersifat rutin dilaksanakan di P2TP2A Provinsi Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan, Kabupaten Maros, Pangkep dan Kepulauan Buru.
Di wilayah Jawa dan Bali, rata-rata sudah memiliki mekanisme koordinasi secara tertulis
terutama P2TP2A di tingkat Provinsi. Mekanisme koordinasi tersebut dilakukan baik secara
reguler/rutin maupun yang sifatnya insidental. Namun meskipun telah memiliki mekanisme
koordinasi secara tertulis dan telah dilaksanakan, pengurus atau petugas P2TP2A masih
menganggap bahwa, ketentuan koordinasi masih belum dilaksanakan sepenuhnya, diantaranya
karena (i) banyak pengurus P2TP2A terutama dari perwakilan SKPD yang merangkap jabatan/
tugas dan fungsi; (ii) adanya mutasi; (iii) ego sektoral terutama dari SKPD-belum terintegrasinya
program layanan dan dukungan; dan (iv) ketiadaan ruang rapat untuk koordinasi.
Untuk mengatasi persoalan di atas, di beberapa daerah, kendala koordinasi disiasati oleh P2TP2A
dengan mendorong pembuatan MoU dengan lembaga-lembaga terkait. Tujuannya untuk memperjelas
peran dan kewajiban para pihak dalam penanganan korban, serta memperkuat koordinasinya. Provinsi
D.I Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan dapat menjadi contoh baik untuk
kategori ini. Petugas di daerah ini dinilai oleh korban memiliki kapasitas untuk memberikan beragam
layanan. Korban juga puas karena mereka dengan mudah dirujuk untuk mendapatkan layanan lain
sesuai dengan kebutuhan korban. Staf, petugas dan jaringan kerja P2TP2A tidak kebingungan dengan
perannya masing-masing serta mekanisme koordinasi dan rujukan berjalan dengan baik.
| 60
Temuan dan Analisis n
Jenis Kasus
Seluruh korban yang diwawancarai, dari Kabupaten Magelang mengaku tidak dipungut biaya
untuk visum et revertum. Hanya untuk perawatan luka yang harus mengeluarkan biaya sendiri karena
mengambil layanan swasta.
“Visum gratis, tidak ada penggantian uang transport atau pun uang saat dilakukan pemeriksaan di
kepolisian” (korban kode 53, Kabupaten Magelang).
“Tidak untuk visum tapi untuk periksa luka mebayar sendiri. Saya bayar sendiri. Kan waktu itu saya
periksa dulu ke dokter praktek sendiri. Lha kan yang visum kan rekomendasi dari kepolisian, tidak
bayar” (korban kode 54, Kabupaten Magelang).
“Tidak dipungut biaya. Hanya kalau untuk transport itu ngurus-ngurus itu sendiri pakai uang
sendiri” (korban kode 55, Kabupaten Magelang).
Walaupun demikian masih ditemukan adanya pelayanan tertentu yang dipungut biaya. Korban
dari Jepara mengaku mendapatkan pelayanan gratis, namun untuk pengacara ia tetap dipungut biaya
“Semua gratis kecuali bantuan hukum dari pengacara. Sekalipun pengacara disediakan oleh PPT,
untuk proses hukum diminta membayar 3 juta rupiah” (Korban kode 51, Jepara).
61 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Kejadian serupa juga dialami oleh seorang korban dari kota Magelang, sedangkan korban lain
dari P2TP2A Kota Magelang mengaku tidak dipungut biaya.
“Sosialisasi di masyarakat masih sangat kurang, sebagai orang umum tidak pernah tahu jika ada
P2TP2A. Masih perlu diperbaiki ketegasan dalam menangani masalah, petugasnya kurang cekatan,
kurang greget (korban kode 48, Kota Magelang) Korban yang sama juga mengaku dipungut
pembiayaan “Bayar 5,5 juta rupiah untuk pengacara perceraian”
Salah satu korban dari Kabupaten Bandung mengeluhkan adanya pembiayaan untuk visum “Saat
visum aja bapak harus bayar pendaftaran di Rumah Sakit, selanjutnya tidak pernah keluar uang lagi”
(Korban kode 8, Kab Bandung)
Korban dari Maluku Tengah juga mengeluhkan pembiayaan visum
“Di rumah sakit saya bayar visum seratus ribu lebih. Saya yang membeli obat. saya beli di luar bukan
di rumah sakit. Harga obat seratus lima puluh ribu lebih. Sangat mahal, untung saya punya uang saat
itu. Bagaimana nasib cucu saya kalau saya tidak punya uang?” (korban kode 103, Maluku tengah).
Pelayanan gratis oleh P2TP2A telah meningkatkan akses korban pada layanan pendampingan.
Namun jarak layanan khususnya bagi korban yang berdomisili di wilayah terpencil maupun jauh
dari ibukota kabupaten dan Provinsi, biaya transportasi dan operasional dirasa cukup berat. Asesmen
ini menemukan sangat jarang korban mendapatkan bantuan transportasi. Beberapa inisiatif untuk
meningkatkan aksesibilitas korban ditemukan yaitu adanya penggantian uang transport atau antar
jemput korban, langkah ini cukup signifikan meningkatkan kepuasan korban atas layanan P2TP2A.
Inisiatif ini dijumpai di P2TP2A di Kota Magelang, Kota Solo, Kabupaten Grobogan, Kabupaten
Boyolali, Provinsi Jatim dan Provinsi DIY, Kab. Pangkep, Maluku Tengah, Provinsi Sultra dan Kota
Makassar.
Sikap petugas yang ramah hampir dijumpai di seluruh P2TP2A, meski demikian masih terdapat
pendekatan, sikap dan mekanisme yang dikeluhkan korban khususnya tentang kurangnya penguasaan
petugas atas layanan, ketidakterpaduan layanan dan tidak sensitifnya petugas pada situasi korban.
Ilustrasi berikut ini dapat menjelaskan persoalan yang umum ditemukan di sebagian besar wilayah
asesmen yakni: minimnya pendampingan yang diberikan dan tidak tuntas, tiadanya layanan rujukan
yang ditujukan pada lembaga mitra yang lebih berkompeten, serta layanan yang pendampingnya
(petugas) berbeda- beda setiap pendampingan dan tidak terkoordinasi, sehingga korban lelah ditanyakan
berulang-ulang dan mendapat penjelasan-penanganan yang kurang nyambung dari pendampingan
sebelumnya.
Korban di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta menginginkan agar dilayani oleh petugas yang
sama. Korban yang mendapat layanan memaparkan pandangan sebagai berikut:
“Iya, kalau petugasnya tetap, jadi saya tidak harus bercerita berulang - ulang” (Korban kode 12,
Kota Bandung).
| 62
Temuan dan Analisis n
“petugasnya sama, tidak apa-apa jadi karena sering ketemu kalau ada apa-apa tidak canggung”
(korban kode 13, kab Sukabumi).
“iya, lebih fokus menangani kasus dibandingkan orangnya ganti-ganti (korban kode 1, kota
Cirebon).
“dilayani oleh petugas yang sama, hal ini bagus karena saya mudah beradaptasi dengan petugas yang
menangani.” (korban kode 3, DKI).
Dua orang anak korban penelantaran di Pasuruan menilai pendamping P2TP2A memperlakukannya
dengan baik dan ramah, namun ia mengeluhkan shelter yang tidak nyaman “Makannya itu-itu saja,
petugasnya laki-laki, tertekan nggak boleh keluar ada pengawasnya. Ruangannya berhantu” (korban kode
63, Pasuruan). Korban mengharapkan shelter P2TP2A memberikan fasilitas bermain serta mengijinkan
mereka untuk keluar.
Narasumber kekerasan seksual mendapat layanan rumah aman, namun korban mengeluhkan
perlakuan di rumah aman yang cenderung menyembunyikannya dan tidak memiliki aktifitas
konstruktif untuk korban, “Di dalam shelter jenuh, sampai bosan, tidak pernah keluar” (korban kode
56, Kabupaten Wonosono).
Korban dari Kabupaten Cirebon sangat terbantu dengan adanya rumah aman dari Dinas Sosial
“iya, sudah 6 bulan saya di rumah aman, karena pelakunya yaitu paman saya, sudah kembali
ke rumah karena gangguan jiwa” (Korban Kode 2, Kab Cirebon).
Kondisi ini berbeda dengan ketiadaan layanan rumah aman di beberapa daerah. Seluruh korban
kekerasan seksual yang diwawancarai dari Kota Bandung juga mengeluhkan keterbatasan fasilitas
layanan yang diberikan, khususnya tidak adanya rumah aman bagi korban.
“Harusnya P2TP2A dilengkapi dengan rumah aman dan ada kendaraan yang bisa menjemput
korban ke daerah yang jauh dan memerlukan pelayanan segera yang tidak bisa datang ke kantor UPT
P2TP2A” (korban kode 12, Kota Bandung).
Korban menilai petugas penjaga shelter tidak memiliki keberpihakan pada kasus yang sedang
dihadapi korban “Petugas laki-laki diedukasi-lah, sebaiknya dia berempati pada si korban. Karena apa?
Karena dia memandang dari sudut pandang sebagai suami” (korban kode 73, Provinsi Jawa Timur).
Kedua korban juga merasa kurang nyaman dengan penanganan di shelter yang sangat ketat, meski
demikian korban tidak mengajukan komplain karena sebagai pihak yang merasa terancam dan dibuat
ketakutan oleh pelaku, korban menilai shelter masih merupakan tempat yang lebih aman.
Seorang korban yang bergabung menjadi relawan bagi korban lainnya menyatakan bahwa
korban sering mengalami kebosanan di dalam shelter, “klien sering bosan, perlu pelatihan keterampilan”
(korban kode 74, Jawa Timur. Ia mengusulkan adanya pelatihan keterampilan untuk mengisi waktu
63 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
korban selama berada di dalam shelter, selain bisa mengurangi kebosanan juga ada pembekalan untuk
meningkatkan penghasilan.
Pernyatan ini sejalan dengan harapan korban lainnya yang menginginkan perbaikan layanan shelter
dengan menyediakan kegiatan yang bermanfaat ketika korban berada di shelter dan juga manfaat saat
kembali ke tempat asal maupun perubahan perspektif dan sikap petugas terhadap korban.
“Mungkin ini ya, seperti trauma healing, mungkin ya... karena untuk korban kdrt, daripada kita
nganggur di sana (shelter)... yang saya rasakan kan kita nganggur di kamar terus, gak bisa keluar, apa-
apa juga gak boleh. Akhirya malah ingat ini (kasus), pengennya nangis terus nangis terus” (korban
kode 72, Jawa Timur).
Shelter/rumah aman dinilai oleh beberapa korban sebagai kebutuhan yang mendesak. Meskipun
demikian, keterbatasan anggaran di sebagian besar P2TP2A mengakibatkan ketiadaan layanan shelter
yang nyaman dan ramah bagi korban. Bagi P2TP2A yang memiliki jejaring dengan pendamping
berbasis komunitas dan lembaga lainnya, cenderung dapat mendayagunakan sumber dayanya untuk
mendampingi korban selama di rumah aman maupun di luar rumah aman. Di rumah aman berbasis
komunitas situasinya lebih responsif pada situasi korban. Sesungguhnya tujuan menyediakan ruang
aman, tidak serta merta memutus korban dari kehidupan sosialnya. Perlindungan yang berbasis
komunitas diyakini dapat membatasi pihak luar atau pelaku untuk mengakses korban, mekanisme
perlindungan berbasis komunitas diyakini lebih efektif menjauhkan ancaman dari pelaku-keluarga
pelaku terhadap korban.
Korban yang tidak mengetahui mengenai P2TP2A juga terbantu dengan adanya jejaring
kemitraan yang responsive pada situasi korban. Beberapa situasi ini menjelaskan bagaiamana jejaring
layanan dapat berperan signifikan pada saat korban mengalami kendala untuk mengakses- menjangkau
layanan P2TP2A.
Korban dari Kabupaten Cirebon dan beberapa korban dari daerah lain menyatakan puas dengan
layanan yang diberikan oleh jejaring layanan P2TP2A. Meski demikian korban tidak mengetahui
mengenai P2TP2A “saya tidak tahu p2tp2a yang mana” (korban kode 2, Kabupaten Cirebon).
Penanganan korban di Kabupaten Cirebon dilakukan oleh jaringan pekerja sosial dari Dinas Sosial
dan Yayasan Wadah Kreatif. Data korban ini diperoleh di P2TP2A, walau demikian tidak diketahui
apakah koordinasi penangganan dilakukan oleh P2TP2A atau P2TP2A hanya mencatat kasusnya saja
lalu merujuk korban ke jaringan kerjanya.
Dua korban dari Kabupaten Magelang didatangi langsung P2TP2A kemudian dirujuk ke mitra
jaringan, yakni ke Sahabat Perempuan.
“Bapermaspuan (PPT) merujuk, tapi Bu Sri (Sahabat Perempuan) yang datang ke ke sini” (korban
kode 53, Kab Magelang).
| 64
Temuan dan Analisis n
“Didatangi petugas P2TP2A kemudian dirujuk ke Sahabat Perempuan. Tidak ada konseling dari
bapermaspuan (PPT). (saya) Mendapat bantuan dari pemerintah lewat Sahabat Perempuan bantuan
untuk usaha pop ice” (korban kode 54, Kab Magelang).
Korban di Ponorogo yang rumahnya berjarak 20 km dari P2TP2A menilai mendapat pelayanan
yang cukup baik. Korban juga mendapat bantuan UEP (Usaha Ekonomi Produktif ) berupa kambing
yang dibantu oleh relawan KPPA. Korban lainnya juga juga mendapatkan UEP berupa modal usaha
sebesar 3 juta rupiah lewat KPPPA. Di Ponorogo seluruh korban tidak mengenal P2TP2A, mereka
menyatakan mendapat pendampingan yang intens dari KPPA, baik dalam bentuk home visit maupun
pendampingan kasus dari KPPA. Salah satu korban menilai manfaat P2TP2A adalah “buat jembatan
gitu (penghubung), KPPA bisa menampung permasalahan kita, kita kan ada permasalahan rumah tangga,
jadi KPPA kesini dapat mengurangi beban pikiran gitu” (korban kode 69, Ponorogo).
Korban dari Provinsi Jawa Timur menilai lembaga pemberi layanan sangat berperan dalam
penanganan kasusnya.
“Ndak ada (pendampingan lanjut dari PPT). Justru yang berperan malah Savy Amira. Setelah saya
dipukuli itu, mereka kan mengirimkan penasihat hukum, mbak siapa ya itu... lupa saya. Jadi waktu
ke PPT itu, yang berperan malah Savy Amira. Pertama yang mendatangi, yang njemput saja juga
Savy Amira. Karena kejadian itu kan [terjadi] setelah saya keluar dari PPT, jadi saya dipukuli, saya
lari sembunyi di rumah tetangga sambil saya hubungi mbak Ervyn itu” (korban kode 72, Provinsi
Jawa Timur).
Korban dari Kabupaten Buleleng mengaku tidak begitu mengenal P2TP2A dan tidak pernah
datang ke kantor P2TP2A, ia mendapat layanan karena dirujuk langsung ke LBH Apik. “Saya
dirujuk kepada paralegal LBH APIK Bali, diberikan pendampingan sampai putusan sidang pengadilan”
(korban kode 77, Buleleng). Korban mengharapkan P2TP2A lebih proaktif dalam memberikan
dukungan pada penanganan kasus korban “(saya berharap fasilitas) mobil dan akomodasi agar bisa
membantu korban, karena selama ini yang membantu akomodasi korban hanya paralegal dan LBH APIK
Bali” (korban kode 77, Buleleng).
Kepolisian telah menjadi saluran pengaduan dan memberi rujukan penanganan yang tepat dan
dinilai korban cukup baik. Di Kabupaten Wonosobo, untuk mengadukan kasusnya pertama kali
korban mendatangi Polres. Petugas P2TP2A mendatangi korban setelah mendapat rujukan dari Polres.
Walaupun Kepolisian sering menjadi saluran pengaduan dan pemberi rujukan, namun korban menilai
masih ada sikap petugas kepolisian belum responsive dan empati pada korban.
Korban mengeluhkan sikap petugas yang tidak responsif pada pengalaman dan trauma korban.
Dalam beberapa kasus proses pembuatan BAP di kepolisian cukup menteror korban, khususnya
pertanyaan berulang terkait kronologis kejadian yang sesungguhnya sudah disampaikan di P2TP2A,
sebagaimana dialami oleh korban berikut ini:
65 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
“…saya juga diperiksa, ditanya-tanyai, divisum terus polisinya menasehati agar tidak gampangan
cari cowok biar tidak terjadi lagi” (korban kode 56, Kabupaten Wonosono).
“kalau yang ke polisi waktu itu kok pelakunya hanya disuruh wajib lapor. Saya kemudian mengadu
ke pendamping di Upipa. Pendamping mengatakan akan berkoordinasi dengan kepolisian”
(Orang tua korban kode 58, Kabupaten Wonosobo).
“Di dampinginya kasus anak saya (oleh PPT Dan P2TP2A) dalam layanan hukum, sampai ke
pengadilan dan pelaku sudah ditahan, meskipun masih menunggu keputusan berapa tahun pelaku
ditahan. Adanya layanan psikologis baik anak saya dan saya pribadi selaku orangtua, sehingga emosi
kami dapat terkontrol dan mengetahui apa yang kami butuhkan. Layanan sosial, dimana anak
saya akan di sekolahkan setelah kasus anak saya selesai di pengadilan…. Layanan Hukum, layanan
psikologis, dan layanan sosial… (pihak yang melayani) Polres Bantul, PPT Arum Dalu, Dinsos
Bantul, RSUD Panembahan Senopati, dan SIGAB. Saya merasa senang karena mereka melakukan
layanan sesuai dengan kebutuhan anak saya… Setelah putusan pengadilan selesai, anak saya akan
di sekolahkan oleh pihak Dinsos di SLB/RSPA. P2TP2A memiliki jarak tempuh kurang lebih satu
setengah jam dari rumah, kalau naik motor… (jarak) teratasi karena sering mendapat kunjungan
dari PPT bahkan tetap ada pendampingan setelah kasus selesai” (korban kekerasan seksual yang
merupakan anak penyandang disabilitas di Bantul).
| 66
Temuan dan Analisis n
Tiadanya SOP serta mekanisme khusus yang menjangkau kelompok rentan dan penyandang
disabilitas termasuk untuk penanganan kasus kekererasan seksual di sebagian besar P2TP2A, tidak
ditopang dengan layanan yang ramah anak dan responsif pada kebutuhan khusus korban. Layanan
khusus yang ada di P2TP2A ini ditunjang dengan adanya jejaring dengan stakeholder yang berasal dari
LSM penyandangdisabilitas. Di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah fasilitas untuk korban berkebutuhan
khusus yang belum ada adalah penterjemah untuk penyandang difabilitas rungu dan wicara. Selain
itu penyandang disabilitas juga masih mengalami kendala akses karena rumah aman yang tidak
mempertimbangkan aksesibilitas penyandang disabilitas.
“(Ingin ada) rumah aman yang ramah bagi korban penyandang disabilitas rungu wicara atau
aksesibel untuk semua penyandang disabilitas.” (Penyintas penyandang disabilitas kasus perkosaan
dari Sleman)
Dari lokasi yang menjadi sampel wilayah asesmen tidak ada satupun P2TP2A yang memiliki
mekanisme khusus untuk perempuan korban kekerasan seksual. Walaupun begitu ada perlakuan
khusus yang secara spontan dilakukan oleh petugas P2PTP2A.
Seluruh korban kekerasan seksual yang diwawancarai dari Malang menilai bahwa petugas
P2TP2A ramah dan bagus dalam mendampingi dan memberikan konseling, namun petugas dinilai
belum memadai dalam memberikan penanganan kasus lebih lanjut, “Dalam hal konseling sudah baik
namun untuk penanganan kasus masih belum bisa (Korban kode 65, Malang).
“Kantor yang memadai dengan standar P2TP2A” (korban kode 65, Malang).
“Rumah aman, ruang bermain” (korban kode 66, Malang).
“Mobil antar jemput korban” (korban kode 67, Malang).
Korban kekerasan seksual mengeluhkan ketiadaan ruang pendampingan yang dapat menjaga
kerahasiaan, kenyamanan korban serta kurang responsifnya layanan P2TP2A
“Privasi ruangan khusus di PPA dan P2TP2A harus ditingkatkan untuk menjamin privasi dan agar
nyaman. Harus ada jam piket di lembaga UPIPA sehingga saat korban ingin konsultasi akan selalu
ada petugas yang siap di kantor” korban kode 58, Kabupaten Wonosono).
Seluruh korban menyampaikan tidak ada biaya yang dipungut kecuali satu orang narasumber
yang merupakan orang tua korban pencabulan menyatakan adanya pungutan konsultasi psikologi
sebesar lima puluh ribu rupiah.
67 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Anak korban kekerasan seksual di Kabupaten Buleleng menilai kapasitas petugas P2TP2A cukup
bagus, namun ia berharap ada perbaikan fasilitas ruang tempat bermain anak dan tempat konseling.
“Paling sering diakses adalah psikolog dari P2TP2A, kalau korban sendiri dirujuk ke LKSA
(Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) karena mengalami kekerasan dalam rumah, tidak mungkin
korban dikembalikan ke rumah sehingga diamankan di LKSA dengan sepengetahuan dan
persetujuan dari Dinsos” (korban kode 79, Buleleng).
Korban kekerasan seksual dari Jombang mendapat layanan dari WCC Jombang dan LP2A.
Korban mendapat dukungan penanganan kasus dan dukungan pembiayaan.
“Dukungan dana untuk biaya persalinan dan mendapat perlengkapan bayi, pendampingan pada saat
berproses hukum” (korban kode 59, Jombang).
Mekanisme lokal yang dibangun oleh WCC Jombang cukup mampu untuk membuat korban
bangkit dan bergerak menjadi pendamping bagi sesama korban. Korban yang masih berusia 18 tahun
ini kemudian juga mendapatkan pendampingan lanjutan dengan dihubungkan dengan kegiatan
support group Remaja di WCC Jombang. Korban menilai kegiatan ini meningkatkan wawasannya
sekaligus dapat mendukung-didukung korban-korban lainnya agar tidak putus asa dan memiliki
semangat hidup. Kegiatan per group ini mampu membuat motivasi korban bangkit sehingga dia
dapat bertransformasi dari korban menjadi agen yang aktif membela hak-hak korban. P2TP2A Kota
Semarang memiliki layanan pusat trauma untuk penanganan pasca pemulihan. Korban kekerasan
seksual dapat mengakses layanan ini.
Walaupun layanan yang diberikan oleh P2TP2A merupakan layanan gratis, akan tetapi terdapat
persoalan lain terkait pembiayaan layanan medis dan visum bagi korban kekerasan seksual. Asesmen ini
menemukan angka kejadian yang cukup besar dimana korban dikenakan biaya untuk melaksanakan
visum. Pembiayaan visum yang tidak ditanggung oleh negara ini juga menjadi keluhan P2TP2A DKI
Jakarta. Dalam konteks JKN, layanan visum merupakan layanan yang tidak ditanggung oleh BPJS.
Hal ini menunjukkan perspektif negara dan sebagian besar pemerintah daerah masih mengkategorikan
korban sebagai orang sakit. Seharusnya visum merupakan layanan medis pro justisia. Keberadaan visum
tujuannya untuk memudahkan proses hukum dan memudahkan korban untuk mengakses keadilan.
Pada prinsipnya visum merupakan kewajiban yang harus dipenuhi Negara, visum haruslah terintegrasi
dalam proses keadilan. Pembiayaan visum menjadi bagian dari biaya perkara yang dibebankan pada
pelaku.
Untuk penanganan kasus trafficking belum ditemukan adanya mekanisme koordinasi antar
mitra jejaring yang dapat memberikan layanan yang responsive kepada korban. Korban trafiking dari
Kabupaten Belu mengharapkan adanya penanganan yang responsive untuk kasus yang dihadapinya.
“Saya tidak pernah (mengadu ke P2TP2A), karena tidak tahu P2TP2A ada dimana.
| 68
Temuan dan Analisis n
“Tidak ada petugas dari P2TP2A yang mendampingi saya, yang saya itu dari Ibu Fillo dari FPPA
yang sering datang mendampingi saya di kepolisiaan dan ke rumah untuk memberitahukan tentang
perkembangan kasus saya, selain itu juga Mama Folo dari rumah aman/shalther yang juga datang
memberikan konseling kepada saya dan saya ingin melanjutkan kembali sekolah di tingkat SLTA.
Kasus yang saya alami waktu itu saya dan keluarga lapor di polisi setelah itu polisi memberitahukan
untuk ke suster (FPPA) agar mendampingi saya dan pelaku ditahan di kepolisiaan waktu itu. Ibu
Fillo (FPPA) yang selalu datang ke rumah untuk memberitahukan tentang perkembangan kasus saya.
bila ada sidang di pengadilan ibu Fillo (FPPA) akan menjemput saya untuk hadir pada persidangan
dan putusannya pelakunya sudah masuk penjara” (Korban kode 86, Belu).
“Dana hibah untuk P2TP2A dilakukan dengan mengajukan proposal ke Dinas Pemberdayaan
Perempuan 2017.” (Petugas P2TP2A DKI).
Umumnya narasumber yang ditemui (pengurus dan petugas P2TP2A) di wilayah Jawa Tengah,
DIY, Jatim dan Bali menyatakan bahwa dukungan anggaran untuk P2TP2A terbatas. Namun semua
P2TP2A yang diwawancara mengaku belum pernah melakukan advokasi anggaran kepada pemerintah
daerah masing-masing. Satu daerah yang sudah berhasil melakukan advokasi anggaran adalah P2TP2A
Kota Semarang yang pada tahun 2014 pernah melakukan advokasi anggaran bekerjasama dengan
jaringan P2TP2A, advokasi anggaran tersebut dilakukan bersamaan dengan kegiatan launching data
hasil layanan P2TP2A.
69 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
memberikan layanan yang didasarkan fasilitas yang dimiliki tiap-tiap lembaga. Biasanya P2TP2A
baru akan melakukan koordinasi jika ada pengaduan /pelaporan kasus atau jika ada pihak yang
proaktif mendorong atau meminta dilakukannya rapat koordinasi. Disamping karena belum memiliki
mekanisme koordinasi secara tertulis, kendala koordinasi juga terjadi karena belum sepahamnya
pembagian peran, mekanisme layanan dan rujukan. Jejaring ini akan lebih efektif dalam memberikan
pelayanan pada korban ketika terdapat MoU yang mengikat masing-masing pihak. Efektifitas MoU
ini dipengaruhi oleh keterbukaan dan pembagian peran dari masing-masing stakeholder. Efektifitas MoU
sangat ditentukan pada kesepahaman bahwa persoalan kekerasan terhadap perempuan membutuhkan
respon yang cepat, integratif dan tetap menjaga martabat korban.
Di wilayah Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali terdapat MoU antar lembaga di kabupaten
Magelang, Grobogan, Kota Surakarta dan Kabupaten Buleleng yang dinilai mampu meningkatkan
efektifitas dan responsifitas layanan korban. P2TP2A Kabupaten Magelang memiliki MoU dengan
pengacara untuk melakukan pendampingan hukum pro-bono. P2TP2A Kabupaten Buleleng memiliki
MoU kerjasama penanganan kasus antara P2TP2A dengan polres, paralegal dan LBH APIK Bali.
Di Kabupaten Grobogan terdapat MoU yang mengatur kesepakatan antara Pemerintah Kabupaten
Grobogan, Polres, Kejaksaan Negeri, dan Pengadilan Negeri di tahun 2006 tentang pelayanan terpadu
kekerasan berbasis gender kepada perempuan dan anak. Di Kota Surakarta MoU tentang pelayanan
terpadu pada perempuan dan anak dilakukan antara Kepala Daerah, SKPD terkait, APH, LSM
Perempuan dan Anak serta Ormas.
Sementara itu, Kabupaten Poso terdapat MoU antar berbagai pihak “Ada MoU dengan 9 instansi
yaitu dengan Polres, Kejaksaan, Pengadilan, Kementerian agama, Pendidikan dan kebudayaan, Dinas
Kesehatan , Dinas Sosial , RSUD, BPPKB” (pengurus P2TP2A Kabupaten Poso).
Hasil asesmen menunjukan bahwa 60% narasumber mengatakan kerjasama P2TP2A dengan
lembaga mitra baik pemerintah maupun non pemerintah memiliki kesepakatan atau MoU. MoU yang
terjalin dengan lembaga pemerintah utamanya adalah untuk layanan medis dan layanan penegakkan
hukum (kepolisian). Sementara untuk non pemerintah utamanya adalah layanan bantuan hukum
(LBH/LKBH dan Fakultas Hukum).
Daerah yang belum memiliki MoU antar lembaga dalam upaya penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan dan anak umumnya kerjasama dilakukan berdasarkan komitmen lisan dan SK
kepala daerah masing-masing untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Tidak adanya MoU atau hanya berbasis komitmen lisan, menyebabkan kesepakatan kerjasama antar
pihak cenderung cair dan satu sama lain tidak memahami pembangian kerja dan koordinasi, tetapi
didasarkan pada kerelaan dan inisiatif masing-masing pihak.
| 70
Temuan dan Analisis n
a. Sistem jemput bola, keberhasilan sistem jemput bola juga ditunjang dengan tersedianya sarana
pendukung seperti sarana dan prasarana serta petugas yang bersedia melaksanakan sistem ini.
Dari beberapa daerah yang berhasil melaksanakan sistem jemput bola menunjukkan bahwa
keberhasilan dari mekanisme ini sangat dipengaruhi oleh keberadaan pendamping sebagai
penghubung korban dengan layanan P2TP2A. Sistem jemput bola berhasil dikembangkan
dengan baik di daerah yang terdapat partisipasi yang kuat dari masyarakat maupun organisasi
masyarakat sipil, seperti di Kota Makassar, Kabupaten Bandung, dan Kota Semarang.
Seluruh korban yang diwawancarai dari Kabupaten Bandung merasa terbantu karena petugas
responsif dengan mengantar jemput korban dan mendatangi korban ke rumah untuk konseling.
“Ya saat menjalani sidang kami di antar jemput oleh petugas P2TP2A” (korban kode 7, Kab
Bandung).
“Mobil phanter biru tapi ga ada tulisan P2TP2A nya, hanya mobilnya plat merah” (Korban
kode 8, Kab Bandung).
b. shelter/rumah aman berbasis komunitas yang salah satunya berada di Kota Makassar, telah mampu
mengatasi persoalan eksklusi sosial yang dialami oleh korban yang sebelumnya “disembunyikan”
di rumah aman.
c. pelayanan bagi penyandang disabilitas yang telah dikembangkan dengan baik di DIY dan sebagian
Jawa Tengah.
d. test DNA gratis bagi korban kekerasan seksual sebagaimana dikembangkan di PPT Provinsi Jawa
Tengah sangat bermanfaat bagi korban kekerasan seksual yang membutuhkan.
e. Pendampingan berbasis komunitas sebagaimana dikembangkan oleh kader Wadul Bae, yakni
pendampingan/rujukan berbasis komunitas di kota Cirebon.
f. Pemberian pendampingan lanjutan untuk korban agar dapat berdaya, memulihkan diri dan
mengalami reintegrasi sosial.
“Secara resmi tidak, tetapi saya sering main ke P2TP2A dan disana diterima dengan baik dan
sering dibantu untuk makan anak saya. Di Ciqal (LSM penyandang disabilitas) diajari bahasa
isyarat dan diajari cara hidup sehat, dan dikasih ayam untuk ternak” (Korban kode 18 Sleman).
Masih ada lanjutannya. yaitu pendampingan ekonomi. (Korban kode 19 Sleman).
“setelah putusan pengadilan selesai, anak saya akan disekolahkan oleh pihak Dinsos di SLB/
RSPA Binomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta” (Korban kode 21, Bantul).
Katanya kalau anak saya udah lahir, nanti akan dibantu dalam pengurusan akta, dan dibantu
untuk melanjutkan sekolah (korban kode 27, Gunung Kidul).
Dibantu untuk bikin akta kelahiran dan untuk melanjutkan sekolah, saya dibantu untuk daftar
paket C. (korban kode 28, Gunung Kidul).
71 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Korban dari Kabupaten Boyolali mendapatkan layanan visum gratis, serta mendapat bantuan
sembako dan peralatan untuk usaha.
“Diberi bantuan mesin cuci dan sembako”(korban kode 32, Boyolali) “Bantuan sembako” (korban
kode 33, Boyolali).
Korban dari Surakarta menyatakan akan mendapat bantuan, akan tetapi sebelumnya mereka
harus mengikuti pelatihan persiapan terlebih dahulu.
“Belum, ini baru pelatihan dulu katanya pemberdayaan/ bantuan menyusul” Korban kode 35,
Surakarta).
Ada. Dibantu untuk maju dengan diberi pelatihan-pelatihan. Sudah mengikuti pelatihan sekitar
5-6 kali”. (Korban kode 44, Grobogan).
“Kak Eta (P2TP2A Kota Ambon) menanyakan keadaan saya terus menerus, saya juga mendapat
bantuan berupa pemberdayaan ekononomi hasil kerjasama P2TP2A dengan Dinsos Kota” (korban
kode 105, kota Ambon).
Korban dari Kota Cirebon mengaku puas dengan konseling yang diberikan oleh kader Wadul Bae
dan Dinsos. Ia juga mengaku senang mendapat bantuan untuk pemberdayaan ekonomi. Meskipun
demikian, korban mengaku tidak mengetahui mengenai P2TP2A dan juga tidak pernah pergi ke
sekretariat P2TP2A.
“iya, saya dapet modal untuk usaha, ngebuat saya jadi lebih mandiri, hati jadi tenang setelah
mendapatkan bimbingan konseling, dan jadi lebih mandiri diberi bimbingan ekonomi” (korban kode 1,
Kota Cirebon).
• Jam layanan yang responsive dan memprioritaskan kebutuhan korban atas layanan.
Salah satu korban sengketa perebutan hak anak bahkan mengaku mendapat pelayanan diluar jam
buka kantor.
“Pelayanannya sangat baik, bahkan untuk konsultasi malam juga dilayani” “geraknya sudah cepat,
untuk minta bantuan segala macam dilayani” (korban kode 50, Kota Magelang).
Korban yang lain menyatakan mendapat fasilitas yang baik selama dilayani di P2TP2A “ada
fasilitas antar jemput saat proses persidangan, cukup senang karena kemarin dikasih bantuan dari
dinsos provinsi yakni tas dan buku” (korban kode 49, Kota Magelang, 2016).
• Adanya dukungan transportasi saat penanganan kasus untuk meningkatkan aksesibilitas korban.
| 72
Temuan dan Analisis n
“diberi sangu kadang 100 ribu atau 50 ribu” (korban kode 34, Boyolali).
Melihat tren peningkatan kasus kekerasan, maka pengelolaan P2TP2A model layanan satu
atap dengan jejaring yang minimal ini membutuhkan anggaran yang semakin besar. Selain itu tanpa
dilibatkannya jejaring masyarakat sipil juga membawa kelemahan pada kapasitas P2TP2A untuk
memberi pendampingan dan layanan hingga pemulihan yang komperhensif. Model unit struktural ini
juga dipilih oleh P2TP2A Kabupaten Sleman, namun dengan strategi pelibatan jaringan untuk
membangun mekanisme khusus bagi penanganan kekerasan terhadap penyandang cacat. Keberlanjutan
model layanan satu atap ini cukup rentan karena akan sangat dipengaruhi oleh pemilihan pimpinan
yang berasal dari PNS serta mutasi dan rotasi jabatan serta kapasitas pimpinan untuk mengadvokasi
anggaran yang besar untuk menopang
operasional unit P2TP2A.
Study kasus Kabupaten Bandung
Persoalan keberlanjutan dan responsifitas “P2TP2A Kabupaten Bandung mendapat
atas layanan korban menjadi pertimbang an penilaian A+ dari Kementerian Pemberdayaan
utama dari P2TP2A Kabupaten Bandung Perempuan dan Anak, tapi kami memutuskan
untuk memilih bentuk kelembagaan P2TP2A- P2TP2A Kabupaten Bandung tidak menjadi
nya. P2TP2A Kabupaten Bandung dibentuk UPTD karena kami sangat sadar bahwa
berdasarkan Surat keputusan Bupati B andung P2TP2A mempunyai tupoksi yang luas,
No. 460/kep.256-BKBPP/2009 tentang membutuhkan koordinasi lintas SKPD
pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu untuk menjalankan tupoksinya. Dibutuhkan
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) ketua P2TP2A yang bisa menjalankan fungsi
Kabupaten Bandung. P2TP2A berada di koordinasi lintas SKPD. Kalau menjadi UPTD
bawah Dinas Pengendalian penduduk Keluarga yang ketuanya PNS Eselon IV A, maka fungsi
Berencana Pemberdayaan Perempuan dan koordinasi tersebut sulit untuk dijalankannya,
Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten akan ada birokrasi yang sangat panjang” (HM.
Bandung. Haerun, Sekretaris DP2KBP3A Kabupaten
Bandung, 9 April 2017).
73 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Model yang dikembangkan oleh Kabupaten Bandung di atas sejalan dengan model layanan jejaring
(banyak atap) yang mengedepankan pada kemitraan antara pemerintah dan masyarakat sipil dalam
wadah P2TP2A yang bersifat non-strukural. Pembiayaan untuk sekretariat lebih efisien pada model ini
karena layanan dapat langsung merujuk pada lembaga yang di bawah koordinasi P2TP2A. Model ini
membuka ruang pada setiap stakeholder-mitra kerja untuk berpartisipasi dalam penanganan kasus,
peningkatan kapasitas maupun mengadvokasi anggaran bagi operasional sekretariat dan pelayanan.
Model ini memiliki keberlanjutan yang lebih baik karena ditopang oleh banyak stakeholder, pembiayaan
pun dapat diefektifkan untuk pengalokasian anggaran terbanyak bagi pembiayaan layanan korban.
P2TP2A di Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan banyak mengembangkan model P2TP2A banyak atap
ini. Daya jangkau kepada korban pada pemulangan dan integrasi sosial korban menjadi lebih efektif.
Besaran dukungan anggaran dari Pemerintah Daerah, bentuk P2TP2A dan partisipasi masyarakat
sipil akan sangat berpengaruh pada kualitas dan tingkat responsifitas layanan pada korban. Secara
umum sumber dukungan anggaran untuk P2TP2A di tingkat Provinsi berasal dari alokasi APBD di
tingkat Provinsi. Rata-rata P2TP2A telah menerima alokasi dana APBD antara Rp.100.000.000,-
(seratus juta rupiah) sampai Rp.700.000.000,- (Tujuh ratus juta rupiah). Ada dua P2TP2A yang
memiliki anggaran lebih dari 3 Milyar rupiah.
P2TP2A Anggaran
PPT DKI Jakarta 4 Milyar
Alokasi anggaran yang diberikan bagi UPTD biasanya lebih besar, contohnya di DKI Jakarta
yang tahun ini (2016) mendapat hibah anggaran dari Pemerintah Provinsi sebesar 4 Milyar. Angka ini
memang cenderung besar, namun anggaran tersebur juga tersedot ke belanja pegawai karena UPTD
tidak bebasis jaringan, berusaha memenuhi sendiri kebutuhan SDM untuk penanganan korban.
Akibatnya, dana operasional untuk penanganan korban tidak memadai, tidak responsive dan belum
memenuhi kebutuhan terbaik bagi korban. Seluruh korban yang diwawancarai dari DKI mengeluhkan
tidak adanya bantuan transportasi, padahal salah satu korban adalah korban penelantaran ekonomi.
Korban lainnya jarak rumah tinggalnya cukup jauh dari P2TP2A “Tidak dapat bantuan transportasi”
(Korban kode 3, DKI).
Sedangkan di 3 P2TP2A selain Jakarta, terdapat partisipasi yang cukup kuat dari masyarakat
sipil yang secara langsung mengurangi beban anggaran penanganan kasus. Di P2TP2A Provinsi Jawa
| 74
Temuan dan Analisis n
Tengah dana untuk penanganan korban juga tidak hanya terkonsentrasi pada P2TP2A saja, namun
mitra jejaring lainnya telah mendapat alokasi anggaran masing-masing yang dapat digunakan untuk
merespon kasus. Salah satunya adalah RSUD Provinsi Jawa Tengah memiliki anggaran untuk melayani
visum dan pelayanan medis yang baik bagi korban kekerasan seksual.
P2TP2 A Anggaran
Kota Semarang 817 juta
P2TP2A kabupaten/kota banyak yang tidak mendapatkan dukungan dana yang memadai dari
APBD, sehingga meskipun ada alokasi, tetapi tidak secara langsung melainkan dimasukan di anggaran
Badan/Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau SKPD sejenis. P2TP2A di
tingkat kabupaten /kota hanya mendapatkan alokasi dana APBD rata-rata antara Rp.30.000.000,-s.d
Rp. 150.000.000 per tahunnya.
Sebagai ilustrasi adalah alokasi dan peruntukan dana P2TP2A Kota Makassar. Pada tahun 2016
anggarannya sebesar Rp. 3,620,582,800,000. Secara jumlah dan peruntukan alokasi anggaran P2TP2A
ini termasuk sangat bagus dan menunjukan komitmen dan keberpihakan pemerintah daerah dalam
pemenuhan hak dan penangan korban kekerasan. Walaupun begitu apabila dirincikan peruntukannya,
terlihat masih mengutamakan kegiatan sosialisasi yaitu sebesar Rp. 1,428,272,500 (39.45%). Sementara
itu untuk layanan-fasilitasi korban, penyediaan dan pengelolaan rumah aman termasuk gaji petugas
adalah sebesar Rp. 1,399,908,300 (38.66%). Untuk peningkatan kapasitas petugas dan shelter warga
sebesar Rp. 717,079,500 (19.81%) dan untuk bina keluarga lansia sebesar Rp. 75,322,500 (2.08%).
Sebagai hal yang perlu diberi apresiasi adalah adanya kebijakan-anggaran dari pemerintah daerah
untuk mensupport dan memfasilitasi partisipasi masyarakat-warga dalam penanganan-pendampingan
korban kekerasan.
75 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 76
BAB IV
PEMBELAJARAN DARI PENGALAMAN
DI 5 (LIMA) WILAYAH
B
agian ini adalah bab tambahan yang bukan merupakan bagian langsung dari proses asessmen
P2TP2A yang dilakukan pada tahun 2016. Bab ini akan memaparkan secara ringkas
pengalaman 5 daerah (di tingkat provinsi dan tingkat kabupatan/kota) yang memiliki
perkembangan berbeda dalam menjalankan P2TP2A nya pada masa sekarang. Bab ini
ditulis untuk memberikan gambaran perkembangan kelembagaan P2TP2A setelah proses asessmen
yang berjalan seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tatakelola Unit Pelaksana Teknis Perlindungan
Perempuan dan Anak. Cerita pengalaman Pemerintah Daerah yang diambil dalam Bab IV ini adalah
pengalaman Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Pemerintah Kabupaten Bandung, Pemerintah Kota
Surakarta dan Pemerintah Kota Semarang. Daerah tersebut dipilih bukan dimaksudkan untuk
mengatakan bahwa penyelenggaraan layanan terpadu bagi perempuan dan anak di 4 (empat) daerah
tersebut adalah yang terbaik, melainkan untuk membantu kita semua dalam memahami situasi
kelembagaan P2TP2A atau PPT (Pusat Pelayanan Terpadu) bagi perempuan dan anak korba kekerasan
paska dikeluarkanya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI Nomor
1 Tahun 2017 tentang Tatakelola Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak.
77 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Sedangkan cerita dari pengalaman Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dapat mewakili Pemerintah
Daerah yang menggabungkan atau mengkombinasikan antara keinginan untuk tetap mempertahankan
ciri “jejaring” dan keterpaduan antar lembaga pengada layanan baik milik pemerintah maupun milik
masyarakat dalam sistem penanganan yang terintegrasi dalam PPT, tetapi Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah juga tetap membentuk UPT Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) dibawa Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Jawa Tengah, tetapi kelembagaan dan fungsi dari UPT
PPA tersebut tetap menjadi bagian /anggota PPT Provinsi Jawa Tengah.
Dari 4 pengalaman yang dihimpun dalam Bab IV ini, perlunya pegambil kebijakan khususnya
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk dapat memahami perbedaan
kapasitas, kondisi geografi, serta kepentingan daerah (pemerintah dan masyarakat) terhadap model
kelembagaan penyelenggaraan layanan terpadu yang sesuai dan bisa dijalankan. Sehingga model
kelembagaan layanan terpadu atau P2TP2A yang diadvokasi ke Pemerintah Daerah tidak tunggal,
melainkan bisa beberapa pilihan model seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah,
Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kabupaten Bandung.
Pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan di Kota Surakarta dinamai dengan
PTPAS (Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak Kota Surakarta). Bentuk kelembagaannya adalah
jejaring lembaga pengada layanan baik milik pemerintah maupun masyarakat. Jejaring penanganan
| 78
Pembelajaran Dari Pengalaman di 5 (Lima) Wilayah n
terpadu ini dikoordinasikan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat, PP dan PA (saat ini menjadi
Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakat/Dinas PP, PA
& Permas). Kelembagaan PTPAS dibentuk melalui kesepakatan bersama (MoU) antar pimpinan
lembaga anggota PTPAS, yang secara reguler diperbarui. Strukur kepengurusan PTPAS disahkan
melalui SK Walikota Surakarta, karena PTPAS merupakan lembaga non struktural pemerintah daerah
yang keanggotaanya terdiri dari organisasi perangkat daerah (OPD) terkait seperti termasuk Bapeda,
Kepolisian, Kejaksaan, Rumah Sakit, termasuk Rumah Sakit Provinsi Jawa Tengah yang berlokasi di
Surakarta, kemudian Organisasi Kemasyarakat, dan LSM Pengada layanan.
PTPAS menjalankan layanan melalui mekanisme rujukan yang dibangun berdasarkan Kesepakatan
bersama (MoU) dan SOP yang disusun bersama-sama. Mekanisme penganggaranya ada di dalam atau
menempel pada anggaran Badan Pemberdayaan Masyarakat PP, PA (Bapermas) dan penganggaran
pada masing-masing OPD maupun lembaga di luar Pemerintah. Layanan visum, rumah aman,
dan penanganan lainnya dibiayai secara terbatas oleh Pemerintah Kota Surakarta melalui APBD di
Bapermas. Kondisi ini yang menjadikan latar belakang perubahan status PTPAS menjadi UPT, lebih
disebabkan kebutuhan daerah untuk adanya kepastian alokasi anggaran penanganan.
Berangkat dari tugas dan fungsi ini, Pemerintah kota Surakarta masih menginginkan terbangunnya
keterpaduan layanan, hanya saja untuk pintu masuk pelayanan langsung, akan dijalankan oleh UPT
PTPAS untuk kemudahan dan kepastian akses penganggaran penanganan korban dalam APBD
Pemerintah Kota Surakarta.
Menurut pengelola PTPAS, status kelembagan yang berubah ini tidak terlalu mempengaruhi
pelaksanaan sistem kerja penyelenggaraan pelayanan terpadu, karena penanganan kasus oleh PTPAS
tetap dilakukan dengan berjejaring sesuai dengan Kesepakatan Bersama (MoU) yang masih berlaku.
Tantangan UPT PTPAS adalah pada kedudukannya, yaitu menjadi pelaksana tugas teknis operasional
dan/atau kegiatan teknis penunjang tertentu di bidang Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak di
bawah struktur organisasi Dinas Pemberdayaan Perempuan.
79 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
UPT PTPAS ini dipimpin oleh Kepala UPT yang yang bertanggung jawab langsung kepada Kepala
Dinas Pemberdayaan Perempuan. Dengan demikian, kebutuhan koordinasi antar OPD menjadi tidak
mudah, karena adanya perbedaan tingkat jabatan/eselon antara kepala UPT (eselon 4A) dengan kepala
OPD atau pimpinan lembaga struktural lainnya. Sehingga koordinasi antara institusi struktural secara
formal tetap dilakukan oleh Kepala Dinas sesuai dengan MoU antar para pihak anggota pelayanan
terpadu di Kota Surakarta. Secara garis besar, meskipun kelembagaan layanan terpadu PTPAS berubah
menjadi lembaga struktural yauitu UPT PTAS, namun dalam prakteknya UPT PAS lebih berperan
pada aspek mengkoordinir dan memastikan penyelengaraan teknis operasional pelayanan terhadap
korban kekerasan. Sedangkan koordinasi antar pimpinan OPD serta koordinasi kebijakannya tetap
dijalankan oleh Kepala Dinas PP, PA dan Permas bersama iejaring lembaga anggota PTPAS yang
sebelumnya telah terbentuk. Berikut struktur organisasi UPT PTPAS:
KADINAS PPPA
DAN PM
KEPALA UPT
KELOMPOK .....................
JABATAN FUNGSIONAL
Petugas di UPT PPA sebagian adalah pegawai negeri sipil (PNS), khususnya Kepala UPT dan
Kepala Subag Tata Usaha. Sedangkan untuk tenaga pelayanan dilakukan oleh full timer non PNS atau
pejabat fungsional pendamping korban yang direkrut melalui rekrutmen terbuka. Saat ini tenaga full
timer yang bekerja di UPT PTPAS adalah tenaga yang sebelumnya telah direkrut untuk membantu
pelayanan terpadu di PTPAS, seperti petugas konselor, petugas rumah aman dan penjangkauan.
| 80
Pembelajaran Dari Pengalaman di 5 (Lima) Wilayah n
Perempuan. Rencananya tahun 2018 akan membangun ruang konseling dan ruang khusus untuk
layanan bagi anak korban kekerasan.
Dalam wawancara FPL dengan petugas UPT PTPAS, perbedaan yang terlihat adalah dalam
hal penanganan kasus, bisa langsung dilakukan oleh tenaga di UPT PTPAS, kemudian data dan
dokumentasi menjadi tertata dan terpusat karena terdapat petugas khusus yang melakukannya, sehingga
kerahasiaanya lebih terjaga. Selain itu pembiayaan penanganan korban seperti untuk pendampingan,
visum, dan layanan lainnya lebih mudah dan diutamakan karena telah tersedia anggaranya dari APBD
Kota Surakarta.
P2TP2A Kabupaten Bandung didirikan pada Tahun 2009 melalui Surat Keputusan (SK)
Bupati Bandung No. 460/Kep.256-BKBPP/2009 Tentang Pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bandung. Pada tahun 2017, SK tersebut
diperbaruhi melalui SK Bupati Bandung No. 460/Kep.110-DP2KBP3A/2017 Tentang Perubahan
Kedua Atas Keputusan No. 460/Kep.256-BKBPP/2009 tentang Pembentukan Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Bandung.
81 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Perubahan SK ini sama sekali tidak mengubah bentuk kelembagaan, jenis layanan yang diberikan,
mekanisme koordinasi penanganan, serta jejaring pelayanan terpadu baik dengan organisasi pemerintah
daerah, dengan lembaga vertikal dan lembaga pengada layanan dari masyarakat juga tidak mengalami
perubahan. Perubahan SK dilakukan karena adanya pergantian lembaga dan perwakilanya yang masuk
dalam struktur kepengurusan P2TP2A Kabupaten Bandung.
Ada 3 jenis layanan yang diberikan oleh P2TP2A Kabupaten Bandung, yakni ; Pertama, layanan
litigasi yang mencakup konsultasi dan pendampingan hukum, kedua, layanan non litigasi yang
mencakup layanan konseling, reintegrasi sosial, rehabilitasi sosial, shelter dan rumah aman. Ketiga
adalah layanan informasi yang terkait dengan kekerasan terhadap perempuan. Layanan yang dilakukan
oleh P2TP2A tersebut dilakukan di bawah koordinasi Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga
Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Dari wawancara yang dilakukan kepada Ketua P2TP2A Kabupaten Bandung Ibu Kurnia Agustina,
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan Ibu Teti Kusmawati, serta Penanggungjawab Sekretariat
P2TP2A Bapak Haerun, setidaknya terdapat 4 (empat) alasan Pemerintah Kabupaten Bandung tetap
mempertahankan bentuk kelembagaan P2TP2A sebagai lembaga non struktural:
| 82
Pembelajaran Dari Pengalaman di 5 (Lima) Wilayah n
pelindung
penasehat
penanggungjawab
ketua
sekretaris
P2TP2A Kabupaten Bandung juga sudah memiliki kantor tersendiri dari Pemerintah Kabupaten
Bandung yang dilengkapi dengan sarana penunjang kantor yang cukup memadai, seperti ruang tamu,
ruang pengaduan, ruang rapat, ruang staf, ruang konseling, meja kerja staf, almari penyimpanan dokumen,
perangkat komputer, alata komunikasi dan sebagainya. Biaya perawatan gedung yang digunakan sebagai
kantor P2TP2A tersebut sepenuhnya menjadi tanggungjawab Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten
Bandung. Selain kantor, P2TP2A Kabupaten Bandung juga sudah memiliki shelter sendiri yang difasilitasi
juga Pemerintah Kabupaten Bandung.
83 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 84
Pembelajaran Dari Pengalaman di 5 (Lima) Wilayah n
DPPPA, Dalduk & KB Provinsi Jawa Tengah tersebut dibentuk dengan tipe A untuk mewadahi
Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah dengan beban kerja yang besar. Berdasarkan
Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Tengah Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga
Berencana Provinsi Jawa Tengah, terdapat 5 bidang dan 1 UPT Dinas, yaitu Bidang Kualitas Hidup
dan Perlindungan Perempuan; Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak; Bidang Pengendalian
Penduduk dan Keluarga Sejahtera; Bidang Keluarga Berencana, Advokasi dan Komunikasi, Informasi
dan Edukasi; Bidang Data dan Partisipasi Masyarakat; dan UPTD Perlindungan Perempuan dan
Anak.13
Meskipun terlihat jumlah bidang yang ada dibawah OPD DPPPA, Dalduk dan KB ini tergolong
banyak atau besar yaitu 5 bidang, tetapi karena dinas ini merupakan gabungan 2 urusan wajib non
pelayanan dasar, maka sebenarnya bidang yang dibentuk untuk urusan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak sedikit, yaitu hanya 2 bidang saja, yaitu Bidang Kualitas Hidup dan Perlindungan
Perempuan; dan Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak. Hal yang perlu digarisbawahi meskipun
DPPPA, Dalduk dan KB Provinsi Jawa Tengah dibentuk dengan tipe A, tetapi akhirnya tidak mampu
menaikkan /menambah jumlah bidang dalam urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Perubahan kelembagaan dari badan ke dinas di Provinsi Jawa Tengah ini hanya berdampak terhadap 2
hal, yaitu pertama, menggeser – menaikkan fungsi OPD yang membidangi urusan wajib pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak dari OPD penunjang (Badan) menjadi OPD pelaksana (Dinas) yang
melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenanganan daerah. Kedua, penambahan UPTD
PPA dalam struktur organisasi DPPPA, Dalduk dan KB Provinsi Jawa Tengah untuk menjalankan fungsi
layanan dan rujukan penanganan perempuan dan anak korban kekerasan.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 95 Tahun 2016 tentang Satuan Pelaksana
Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak, UPTD PPA yang dibentuk pun masih setingkat Satuan
Pelaksana Teknis (SPT) Dinas yang diberi nama SPT PPA. SPT PPA ini dikepalai pegawai negeri sipil
eselon IV atau setingkat Kepala Seksi Bidang.14 Struktur SPPT PPA yang dibentuk DPPPA, Dalduk
dan KB Provinsi Jawa Tengah hanya memiliki 2 seksi atau sub bagian saja, yaitu Seksi /Sub Bagian Tata
Usaha dan Seksi atau Sub Bagian Kelompok Pejabat Fungsional sebagati staf pelayanan dan rujukan
dengan jumlah staf 10 orang yang terdiri 2 staf pegawai negeri sipil dan 8 staf pejabat fungsional.
13. Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Tengah Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pemberdayaan Perempuan,
Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah.
14. Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 95 Tahun 2016 tentang Satuan Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak.
85 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
sekretariat
seksi kualitas seksi pemenuhan seksi pengendalian seksi keluarga seksi data dan
hidup perempuan hak anak penduduk berencana informasi
seksi perlindungan seksi perlindungan seksi keluarga seksi advokasi dan seksi partisipasi
perempuan anak sejahtera komunikasi informasi masyarakat
dan edukasi
upt dinas
gubernur jawa tengah
ganjar pranowo
Dalam Rapat Koordinasi Tahunan anggota PPT Provinsi Jawa Tengah tahun 2016, seluruh
anggota PPT menyepakati struktur baru PPT yang disesuaikan dengan UU No. 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah dan Permen PPA Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tatakelola Unit
15. Notulensi Rapat Koordinasi Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2016.
| 86
Pembelajaran Dari Pengalaman di 5 (Lima) Wilayah n
Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak. SPT PPA menjadi penanggungjawab dari
Sekretariat PPT Provinsi Jawa Tengah atau sebagai Ketua Sekretariat PPT Provinsi Jawa Tengah yang
bertugas mengkoordinir dan memastikan pelayanan terpadu bagi korban,16 dengan demikian secara
kelembagaan, SPT PPA ini berada di bawah langsung Kepala DPPPA dan, Dalduk dan KB Provinsi
Jawa Tengah serta diangkat berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas, tetapi fungsi dan tugas
SPT PPA menjadi bagian yang terintegrasi dalam sistem penyelenggaraan pelayanan terpadu bagi
perempuan dan anak Provinsi Jawa Tengah.
Sementara OPD lainnya seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, RSUD Provinsi Jawa
Tengah, perguruan tinggi dan organisasi masyarakat seperti Pusat Studi Wanita (PSW) atau Pusat
Studi Gender dan Anak (PSGA), LRC-KJHAM, LBH APIK Semarang, Yayasan Setara, Fatayat NU
Jawa Tengah, Aisiyah Jawa Tengah dan lain sebagainya serta kelompok profesional seperti Peradi Jawa
Tengah, Ikatan Bidan Indonesia Jawa Tengah, Himpunanan Psikolog Indonesia Jawa Tengah tetap
menjadi anggota dan bagian dari sistem penyelenggaraan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak
korban kekerasan Provinsi Jawa Tengah.17
“Dengan model dimana SPT PPA ini menjadi bagian dari PPT Provinsi Jawa Tengah, maka
diharapkan PPT ini semakin kuat, karena program dan anggaranya semakin jelas, kemudian
ada pegawai PNS yang secara khusus dipasrahi (diserahi tanggungjawab) mengelola sekretariat
PPT dan pelaksanaan teknis penanganan korban. Selain itu partisipasi masyarakat dan organisasi
perangkat daerah lainya juga masih tetap menjadi anggota PPT dan bisa lebih aktif lagi”.
(Ibu Dra Sri Kusuma Astuti MSi).
Sebelum terbentuk SPT PPA di Dinas PPPA, Dalduk dan KB, penanggungjawab sekretariat
pelayanan terpadu PPT Provinsi Jawa Tengah dirangkap oleh Kepala Sekretariat Badan /Dinas dan
fungsi /tugas harianya dirangkap oleh Kepala Sub Bidang Perlindungan Perempuan. Dengan adanya
SPT PPA, maka sekretariat pelayanan terpadu PPT Provinsi Jawa Tengah dan fungsi hariannya menjadi
tanggungjawab SPT PPA.
Oleh karena kepala SPT PPA dari pegawai negeri sipil yang belum pernah terlibat dalam berbagai
upaya pemberdayaan perempuan khususnya pelayanan korban dan penyelenggaraan pelayanan
terpadu, maka muncul kendala dari perspektif dan kapasitas menejemen pelayanan terpadu dan
16. Ibid.
17. Ibid.
87 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
menejemen penanganan korban. Sehingga membutuhkan peningkatan kapasitas bagi kepala dan staf
SPT PPA, terutama yang dari pegawai negeri sipil.
i). Model Kebijakan Penganggaran Inklusif Dalam Penanganan Korban Di Kota Semarang
Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Seruni Kota Semarang didirikan pada tahun 2005 berangkat
dari Pelatihan dan Rapat Koordinasi Lintas Sektoral yang diselenggarakan oleh Tim ToT Pendidikan
HAM Berperspektif Gender Jawa Tengah bekerja sama dengan Komnas Perempuan. Seruni merupakan
singkatan dari Semarang Terpadu Rumah Perlindungan Untuk Membangun Nurani dan Cinta Kasih
Insani.
PPT Seruni Kota Semarang didirikan pertama kali dengan SK Walikota Semarang Nomor
463.05/112 tanggal 4 Mei 2005 tentang Pembentukan Tim Pelayanan Terpadu Penanganan Kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak. SK pendirian ini kemudian dirubah di tahun 2009 dan di tahun
2011 karena ada penyesuaian kelembagaan dan perubahan struktur keanggotaan.18
Untuk mekanisme pelaporan dan penanganan korban, PPT Seruni memiliki 2 (dua) mekanisme
yang terintegrasi. Mekanisme pertama adalah pelaporan dan penanganan korban yang langsung
melalui sekretariat PPT Seruni Kota Semarang. Mekanisme kedua adalah mekanisme pelaporan dan
penanganan korban melalui lembaga-lembaga yang menjadi anggotanya. Kedua mekanisme tersebut
dijalankan berdasarkan standar prosedur operasional penanganan terpadu kasus kekerasan dan
dibawah koordinasi Sekretariat PPT Seruni Kota Semarang. Tujuannya agar penanganan korban
yang dilakukan oleh setiap lembaga anggota PPT Seruni tetap sesuai dengan standart dan prosedur
pelayanan terpadu, sehingga tetap terintegrasi dengan layanan lainnya yang dibutuhkan oleh korban.
Memberlakukan 2 mekanisme pelaporan dan penanganan yang tetap terintegrasi dalam sistem
penyelenggaraan pelayanan terpadu PPT Seruni, Pemerintah Kota Semarang menginginkan layanan
yang disediakannya dapat menjangkau setiap perempuan dan anak korban kekerasan.
Sebagai akibat dari kedua mekanisme pelaporan dan penanganan tersebut, dukungan anggaran
APBD Kota Semarang pun dapat digunakan untuk membiayai penanganan korban, baik yang lapor
ke sekretariat PPT Seruni maupun yang lapor dan ditangani oleh anggota PPT Seruni. Organisasi
masyarakat atau organisasi pengada layanan anggota PPT Seruni dapat mengajukan pembiayaan
penanganan korban dari APBD Kota Semarang melalui mekanisme klaim ke Sekretariat PPT
SERUNI. Selanjutnya Sekretariat PPT Seruni akan mengajukan klaim tersebut ke Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Semarang untuk mendapatkan penggantian biaya
penananan yang dikeluarkan oleh lembaga pengada layanan.
18. http://pptseruni.blogspot.co.id/
| 88
Pembelajaran Dari Pengalaman di 5 (Lima) Wilayah n
Lampiran n
Menurut Ninik Jomoenita, Ketua Pelaksana Harian Sekretariat PPT SERUNI, model
pembiayaan penanganan kasus tersebut sudah dijalankan sejak PPT Seruni didirikan pada tahun
2005 hingga sekarang. Penanganan kasus yang ditangani oleh Sekretariat PPT Seruni seluruhnya dibiayai oleh
APBD Kota Semarang. Demikian pula dengan kasus yang ditangani oleh lembaga pengada layanan
anggota PPT Seruni juga dapat mengajukan klaim pembiayaan ke APBD Kota Semarang. Pada
tahun 2016, PPT Seruni mendapat alokasi anggaran dari APBD Pemerintah Kota Semarang sebesar
Rp. 600.000.000,- (Enam ratus juta rupiah). 19
ii). Mengembangkan Pelaksanaan Monev Pelayanan Terpadu Oleh Komisi Non Struktural
Daerah KPK2BGA
Mandat monitoring dan evaluasi
Di Provinsi Jawa Tengah, monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pelayanan terpadu
dilakukan secara rutin yaitu minimal 1 kali dalam setahun. Monitoring dan evaluasi tersebut
dilakukan berdasarkan perintah dari Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun
2009. Dalam Pasal 18 Perda Nomor 3 Tahun 2009, dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah
berkewajiban melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pelayanan terpadu.20
Kewajiban ini menjadi tugas dari Komisi Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan
Anak (KPK2BGA) Provinsi Jawa Tengah.21 KPK2BGA merupakan komisi non struktural yang
dibentuk berdasarkan Perda No. 3 Tahun 2009 dengan tugas melakukan mediasi perselisihan
antar lembaga anggota pelayanan terpadu, melakukan advokasi kebijakan serta melakukan
pengawasan dan pemantauan penyelenggaraan pelayanan terpadu yang dilakukan oleh Pusat
Pelayanan Terpadu (PPT).22
Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pelayanan terpadu tersebut dimaksudkan
untuk mengetahui peran, tanggungjawab, mekanisme kerja lintas sektor dari masing-masing
organisasi perangkat daerah (OPD) serta untuk mengetahui kendala-kendala yang ditemui.23
Berdasarkan instrumen monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pelayanan terpadu KPK2BGA,
ada 5 (lima) aspek dari penyelenggaraan pelayanan terpadu yang dimonitoring dan dievaluasi
yaitu; (i) aspek kebijakan dan alokasi anggaran daerah; (ii) aspek layanan yang disediakan; (iii)
aspek SDM dan sarana prasarana; (iv) aspek koordinasi dan rujukan; dan (v) aspek partisipasi
masyarakat.
Menurut salah seorang Badan Pekerja KPK2BGA Ibu Mawar, Monitoring dan evaluasi terhadap
penyelenggaraan pelayanan terpadu oleh KPK2BGA dapat dilakukan baik kepada Pusat Pelayanan
19. Laporan Wawancara dengan Ninik Jomenita, Petugas PPT Seruni Kota Semarang, tanggal 13 Juli 2017.
20. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tentang Penyelenggaraan terhadap Korban Kekerasan Berbasis Gender dan
Anak.
21. Ibid. Pasal 18.
22. Ibid. Pasal 19.
23. Kerangka acuan dan laporan pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap penyelenggaraan korban kekerasan di Jawa Tengah, Komisi P
erlindungan
Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA) Provinsi Jawa Tengah, Tahun 2016.
89 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Terpadu (PPT) Provinsi Jawa Tengah, maupun kepada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Kabupaten/
Kota di Jawa Tengah.24
Hasil dari pelaksanaan monitoring dan evaluasi akan dilaporkan kepada Gubernur Jawa Tengah
serta disampaikan kepada OPD dan Bupati setempat. Berdasarkan pengalaman PPT Provinsi Jawa
Tengah, laporan dari monitoring dan evaluasi yang dilakukan KPK2BGA akan disampaikan secara
langsung kepada Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian
Penduduk dan KB (DPPPA, Dalduk & KB) selaku ketua PPT Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya
kepala DPPPA, Dalduk & KB akan mengadakan rapat anggota PPT untuk menyampaikan dan
menindaklajuti temuan serta rekomendasi hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh KPK-
2BGA. Demikian pula untuk hasil monitoring dan evaluasi PPT Kabupaten /Kota, kata Ibu Dewi
Inderajati, Msi., Kepala Bidang Perlindungan Perempuan DPPPA, Dalduk & KB Provinsi Jawa
Tengah.25
Menurut Ibu Dewi Indrajati, MSi., laporan hasil pelaksanaan monitoring dan evaluasi KPK2BGA
sangat berguna untuk membantu melihat kekurangan penyelenggaraan pelayanan terpadu baik oleh
PPT Provinsi maupun PPT Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Tengah. Dalam rapat koordinasi PPT
se Jawa Tengah, KPK2BGA akan menyampaikan hasil monitoring dan evaluasinya, bahkan dibuat
peringkat PPT Kabupaten /Kota berdasarkan kapasitasnya. “Dulu dalam laporan monitoring dan
evaluasi KPK2BGA, PPT Kabupaten Wonogiri, kemudian PPT Kabupaten Grobogan dinilai sebagai salah
satu PPT yang kurang baik layananya, tetapi kemudian mereka bekerja keras memperbaiki layanannya
dan akhirnya sekarang PPT Kabupaten Grobogan dan PPT Kabupaten Wonogiri menjadi lebih baik
seperti saat ini. Mereka punya staf pendamping khusus, sudah ada alokasi anggaran pendampingan, punya
sekretariat, punya shelter, dan sebagainya. Itu salah satunya manfaat dari hasil monitoring dan evaluasi
yang dilakukan KPKBGA”(Ibu Dewi Indrajati, MSi.)
24. Laporan Wawancara dengan Badan Pekerja KPK2BGA, Ibu Mawar tentang pelaksanaan monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh KPK2BGA
terhadap penyelenggaraan pelayanan terpadu oleh PPT Provinsi Jawa Tengah, 13 Juli 2017.
25. Laporan Wawancara dengan Kepala Bidang Perlindungan Perempuan, Ibu Dewi Indrajati, M.Si., tentang pelaksanaan monitoring dan evaluasi
yang dilakukan oleh KPK2BGA terhadap penyelenggaraan pelayanan terpadu oleh PPT Provinsi Jawa Tengah, 13 Juli 2017.
| 90
Pembelajaran Dari Pengalaman di 5 (Lima) Wilayah n
i). Dukungan Pembiayaan Penanganan Kepada Lembaga Pengada Layanan dan Pendamping
Komunitas Di Perdesaan
Pada tahun 2017, Pemerintah Kota Makassar telah mengalokasikan anggaran penanganan
perempuan dan anak korban kekerasan sebesar Rp. 550.000.000,- (Lima ratus lima puluh juta rupiah).
Anggaran ini melekat pada anggaran di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(DPPPA) Kota Makassar.
Setiap tahun perencanaan program dan anggaran penanganan korban di Kota Makassar
dilakukan berdasarkan usulan anggota P2TP2A melalui rapat koordinasi. Selanjutnya DPPPA Kota
Makassar memasukkan usulan program/kegiatan tersebut kedalam Rencana Kerja (Renja) Tahunan
DPPPA Kota Makassar. Untuk usulan program dan anggaran penanganan korban yang terkait dengan
urusan OPD lain, maka DPPPA Kota Makassar akan mengusulkannya ke OPD terkait agar masuk
di Renjanya masing-masing. Berdasarkan SK Walikota Makassar tentang Desk PUG, DPPPA Kota
Makassar diberikan tugas untuk memberikan asistensi kepada masing-masing OPD agar setiap OPD
memiliki 1 program/kegiatan yang terkait dengan pemberdayaan perempuan. Melalui tugas inilah,
DPPPA berkesempatan untuk mendorong program dan anggaran penanganan korban masuk dalam
Renja OPD yang terkait.
Anggaran penanganan kasus sebesar Rp. 550.000.000,- (lima ratus lima puluh juta rupiah) tersebut
tidak hanya dapat diakses oleh lembaga pengada layanan tetapi juga oleh pendamping komunitas dan
shelter warga/desa. Lembaga pengada layanan anggota P2TP2A Kota Makassar dapat mengajukan
klaim pembiayaan penanganan korban ke Sekretariat P2TP2A. Sedangkan untuk pendampingan
oleh komunitas dan layanan shelter warga/shelter desa, komunitas mendapatkan dukungan biaya
26. Disarikan dari wawancara kepada Ibu Lusy Palulungan Kota Makassar, Juli Tahun 2017.
91 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
pendampingan sebesar Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah) per kasus. Bahkan P2TP2A mengalokasikan
dana stimulan atau dana insentif sebesar Rp. 300.000,- (Tiga ratus ribu rupiah) kepada RT yang
memiliki program pencegahan kekerasan dan kepedulian kepada perempuan dan anak korban
kekerasan di wilayahnya.
Setiap tahun anggaran penanganan perempuan dan anak korban kekerasan selalu disampaikan
ke seluruh anggota P2TP2A melalui rapat koordinasi anggota dan dapat dipantau oleh masyarakat
karena dipublikasikan melalui media sosial dan media massa, termasuk di website Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Makassar.
Keterlibatan lembaga masyarakat terutamanya lembaga pengada layanan dari masyarakat, tidak
hanya terlibat dalam layanan saja, tetapi juga dalam struktur P2TP2A. Bahkan ketua dan sekretaris
P2TP2A berasal dari unsur masyarakat.
Di tahun 2016 dan 2017, pelibatan masyarakat dalam penyelenggaraan layanan terpadu di
Kota Makassar diperluas hingga ke komunitas perempuan yang ada di pelosok-pelosok desa. Peran
komunitas tersebut dikuatkan untuk mampu melakukan pencegahan kekerasan di komunitasnya,
memberikan pertolongan pertama pada saat menerima pelaporan seperti menyediakan shelter berbasis
komunitas, serta pendampingan rujukan ke P2TP2A dan lembaga layanan lainnya untuk penanganan
lanjutan. Komunitas tersebut diberikan dukungan biaya transportasi pendampingan sebesar
Rp. 100.000,- (Seratus ribu rupiah). Pada tahun 2017, sudah ada 6 komunitas di 6 desa yang dilibatkan
dan diberikan dukungan pembiayaan pendampigan korban dari APBD Kota Makassar.
27. Disarikan dari wawancara dengan Ibu Lusy Palulungan Kota Makassar, Juli Tahun 2017.
| 92
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
C
ara kerja dan waktu layanan di P2TP2A menunjukkan sebagian besar P2TP2A melihat
persoalan korban sebagai persoalan keseharian biasa dan bukan melihat korban sebagai
subyek marginal yang berhak mendapatkan dukungan negara. Pada P2TP2A yang
memiliki waktu kerja hingga 24 jam atau dapat menggerakan jejaring dengan stakeholder
untuk penjangkauan korban cenderung dapat menjalankan fungsinya sebagai penyedia layanan dan
bukan sekedar pencatatan kasus korban.
Peran P2TP2A adalah untuk mengkoordinasikan seluruh stakeholder pelayanan korban. Sebagai
lembaga pemerintah P2TP2A bisa memanggil seluruh unsur untuk duduk bersama dan memberi
pandangan. Pimpinan maupun staf di dinas PP sangat menentukan hubungan dengan dinas lain.
Namun asesmen ini menemukan di banyak daerah dinas PP tidak cukup kuat untuk melakukan
peran koordinasi. Beberapa pegiat P2TP2A di beberapa daerah berusaha menembus kemacetan sistem
dengan mengembangkan “thinking and working politically” semisal di Maros pegiat P2TP2A langsung
mengakses bupati juga untuk koordinasi dengan dinas lain. Selain itu juga mendorong pelibatan
DPRD untuk pengawasan kinerja dinas yang terlibat dalam P2TP2A.
SOP dibutuhkan oleh P2TP2A, namun SOP saja tidak cukup. Diperlukan proses yang partisipatif
dalam penyusunan SOP yang melibatkan beragam stakeholder, sehingga proses penyusunan SOP ini
dapat menjadi mekanisme membangun kesepahaman kerja bersama lintas lembaga.
Anggaran yang disediakan untuk sebagian besar P2TP2A sangat terbatas. Dukungan dana dari
APBD hanya mampu untuk membiayai operasional sekretariat, rapat koordinasi pengurus, sosialisasi
serta pendampingan korban dengan jumlah yang terbatas. Walaupun bukan satu- satunya faktor
namun komitmen dalam bentuk anggaran merupakan satu hal yang penting untuk meningkatkan
kinerja dan layanan lembaga.
Kinerja P2TP2A sangat ditopang dengan adanya CSO, LSM dan komunitas pendamping yang
peduli pada penanganan korban kekerasan. Karenanya partisipasi masyarakat ini adalah titik kuat
P2TP2A non-struktural. Di sisi lain, kecenderungan untuk menggerakan P2TP2A sebagai unit
pelayananan terpadu daerah (UPTD Struktural) berpotensi memangkas partisipasi yang berdampak
93 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
pada menurunnya daya jangkau layanan terhadap korban. Sebaliknya, daerah yang mengembangkan
pusat pelayanan terpadu dengan pendekatan non-struktural terbukti lebih mampu menjangkau
korban dengan dukungan beragam pihak dan keterpaduan layanan serta dukungan anggaran yang
luwes dan struktur yang efisien.
Daerah-daerah yang memiliki struktur yang efisien dan mekanisme kerja berjejaring mampu
menyediakan layanan yang aksesibel, affordable dan membawa kemanfaatan bagi korban hingga
tahapan pemulihan. Beberapa inisiatif layanan yang sifatnya terdapat partisipasi komunitas/jejaring
(pendamping berbasis komunitas, rujukan berbasis komunitas, rumah aman berbasis komunitas),
layanan jemput bola serta dukungan keuangan untuk mengurangi beban ekonomi korban diapresiasi
korban dapat meningkatkan kepuasan layanan, rasa aman dan pemenuhan hak korban.
Asesmen ini menemukan bahwa perekrutan pengurus dan SDM memiliki pengaruh langsung
pada kapasitas lembaga, sedangkan kapasitas kelembagaan yang lemah berdampak langsung pada
lemahnya layanan. Daerah yang menggunakan model penunjukkan oleh pimpinan daerah cenderung
memperoleh pengurus yang kurang memahami mandat lembaga. Mereka tidak mampu merespon
tuntutan korban atas layanan karena pengurus dan staf cenderung tidak memahami peran P2TP2A
dan bagaimana mengoptimalisasi fungsinya. Indikasi kurang baiknya layanan adalah tingginya
ketidakpuasan korban, tidak terpenuhinya hak korban, keluhan atas kapasitas staf dan fasilitas, keluhan
atas tidak adanya mekanisme rujukan yang mendekatkan korban pada akses keadilan.
Monitoring dan Evaluasi belum dinilai penting dan belum dilaksanakan oleh sebagian besar
P2TP2A. begitupun Mekanisme pengaduan keluhan atas layanan dan pengelolaan keluhan belum
menjadi aspek yang dinilai penting oleh P2TP2A. Padahal pengalaman korban yang dilayani serta
hasil monev dapat dijadikan input untuk meningkatkan kualitas layanan.
Mekanisme complain atas layanan yang diberikan oleh P2TP2A ternyata belum dijadikan
kebutuhan bagi P2TP2A untuk mendapat gambaran dari kinerjanya, juga untuk mendapat umpan
balik dari penerima manfaat layanan P2TP2A, yang bisa dijadikan acuan untuk memperbaiki
kinerjanya.
Tidak terdapat satu pun P2TP2A yang memiliki kebijakan-mekanisme khusus secara tertulis
yang menjadi landasan bagi penanganan perempuan dan anak korban kekerasan seksual, padahal
kasus kekerasan seksual membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif dan pendekatan khusus.
Walaupun dalam prakteknya ada respon yang cukup baik dalam penanganan, namun hal ini sangat
tergantung (perspektif ) dengan siapa yang saat itu menjadi pengurus dan petugasnya.
b. Rekomendasi
Berdasarkan pembelajaran dan simpulan yang telah dipaparkan, asesmen ini menyusun
rekomendasi secara spesifik kepada masing-masing pihak yang berkepentingan mulai dari pembuat
kebijakan strategis hingga level teknis.
| 94
Penutup n
95 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
P2TP2A
• Memperkuat fungsi koordinasi, termasuk pengawalan sistem rujukan, data, peningkatan kapasitas
dan penganggaran.
• Mengembangkan mekanisme pemulihan bagi pendamping sebagai bagian dari penguatan kapasitas
lembaga-lembaga pengada layanan.
• Mengembangkan renstra untuk pencegahan dan penanggulangan di tingkat daerah.
• Perbaikan mekanisme rekrutmen ketua, pengurus dan pegiat P2TP2A dengan menggunakan
mekanisme yang terbuka, formal dan sistem merit. Untuk peningkatan kapasitas SDM P2TP2A
dapat dilakukan dengan pemagangan ke Forum Pengada Layanan, maupun melakukan kesepakatan
antar lembaga untuk meminjam staf LSM dan pekerja sosial.
• Perlunya dibangun mekanisme khusus serta SOP khusus bagi kelompok rentan dan korban kekerasan
seksual
• P2TP2A perlu menambah tenaga pendamping yang memiliki kompetensi keahlian penanganan
kasus. Rekrutmen pengurus, pegiat dan pendamping harus menggunakan mekanisme rekrutmen
dan menggunakan sistem merit.
• Perbaikan sistem dokumentasi kasus yang dapat dijadikan rujukan penanganan kasus yang lebih
komprehensif dan terpadu.
• Menyusun renstra secara bersama-sama dengan jejaring kemitraan dan asosiasi korban/penyintas
sehingga dapat merumuskan langkah bersama untuk peningkatan kualitas layanan.
• Serta melakukan monitoring evaluasi partisipatif secara rutin dengan menggunakan indikator
kinerja yang disepakati bersama.
• Organisasi Masyarakat.
• Meningkatkan kapasitas dalam penyelenggaraan layanan bagi perempuan dan anak korban
kekerasan
• Melakukan advokasi untuk mendapatkan dukungan anggaran bagi penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan.
• Meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan P2Tp2A, OPD terkait dan institusi
vertikal.
• Menyusun renstra secara bersama-sama dengan P2TP2A dan asosiasi korban/penyintas.
• Melakukan monitoring evaluasi partisipatif secara rutin dengan menggunakan indikator kinerja
yang disepakati bersama.
c. Pembelajaran
Setelah kurang lebih 10 tahun berdiri, P2TP2A telah berdiri di sebagian besar kabupaten kota,
meskipun demikian terdapat kecenderungan replikasi kelembagaan tanpa melihat perbedaan daya
dukung tiap-tiap daerah. Replikasi yang mengabaikan daya dukung ini cenderung kurang memadai
dalam menciptakan P2TP2A yang mampu menjalankan fungsi pelayanan. Asesmen ini menemukan
bahwa kebutuhan SDM di P2TP2A sesungguhnya tidak banyak namun harus memiliki kompetensi
agar efektif dalam menjalankan fungsinya. Beberapa P2TP2A yang tidak dapat berjalan dengan efektif
adalah P2TP2A dengan struktur yang besar namun dengan pegiat yang tidak fokus pada pengembangan
kelembagaan dan pelaksanaan tugas dan fungsi.
| 96
Penutup n
Kinerja P2TP2A dipengaruhi olehkomitmen dan dukungan kepala daerah, anggaran dan
dukungan sumber daya manusia dan kepengurusan, kualitas koordinasi dengan jaringan kerja serta
kebijakan di tingkat lokal dan nasional, partisipasi masyarakat. Sarana, prasarana dan kebijakan yang
kurang memadai dapat disiasati dengan kuatnya komitmen jejaring dan mitra kerja P2TP2A terhadap
korban. Secara umum P2TP2A telah mampu mengembangkan sarana prasarana pendukung. Namun
sarana dan prasarana ini belum parallel dengan langkah untuk memberikan layanan yang berpihak
pada korban. Terdapat beberapa persoalan mendasar yakni perspektif dalam memandang korban serta
kapasitas staf di unit pengada layanan.
Kekuatan P2TP2A di Indonesia adalah partisipasi yang tinggi dari jejaring masyarakat sipil yang
diwujudkan dalam P2TP2A yang berbasis jejaring. Modalitas sosial dalam bentuk jejaring inilah
yang menjadi katup pengaman pelayanan korban pada saat P2TP2A mengalami keterbatasan
anggaran dan sumber daya manusia. Beberapa kendala ketersediaan SDM yang memiliki kompetensi
dan pengalaman dalam pendampingan korban dapat diatasi oleh sebagian P2TP2A melalui MoU
kelembagaan dengan LSM dan CSO, meskipun ada juga yang sekedar merekrut pegiat CSO dan
LSM yang telah memiliki pengalaman. Catatan mengenai konsep jejaring sebaiknya bukan dengan
mengambil sumber daya manusia dari dari staf-staf CSO tapi membangun jejaring kemitraan dan
koordinasi kelembagaan dengan CSO sebagai lembaga layanan. Sehingga baik P2TP2A memiliki
kapasitas yang baik, sedangkan CSO juga terus dapat berkembang dan menginisiasi gerakan layanan
korban dan supporting group untuk korban.
Beberapa inisiatif yang dikolaborasikan dengan NGO dan komunitas Forum Pengada Layanan
menghasilkan model pendampingan berbasis masyarakat dan shelter berbasis komunitas/warga. Insiatif
jemput bola oleh P2TP2A dapat bersinergi dengan mekanisme rujukan berbasis komunitas, rumah
aman berbasis komunitas. Telah mulai muncul komitmen politik dan kebijakan anggaran pemerintah
di beberapa daerah untuk mendukung partisipasi masyarakat dalam penanganan korban kekerasan.
Dukungn anggaran ini dapat menjamin keberlanjutan penanganan korban dan meningkatkan kepuasan
korban atas layanan yang berkualitas dan bermartabat.
Anggaran bagi penanganan korban kekerasan terbilang sangat minimal dan belum menunjukkan
keseriusan daerah untuk menangani korban dan memenuhi hak korban. Di daerah dengan anggaran
Badan Pemberdayaan perempuan dan anggaran P2TP2A yang besar cenderung lebih responsif pada
persoalan kekerasan perempuan dan anak. Meskipun demikian terdapat daerah dengan anggaran yang
besar namun tidak memiliki struktur, mekanisme dan jejaring kerja yang kuat akibatnya P2TP2A
tidak dapat mengarahkan anggarannya untuk meningkatkan fungsi pelayanan bagi korban. Meskipun
sebagian besar P2TP2A mengaku sudah memenuhi prasyarat SPM, namun layanan yang paling
berfungsi adalah layanan pengaduan. Sebagian kecil mampu memberi perlindungan dan bantuan
hukum serta merujuk layanan medis sedangkan layanan rehabilitasi sosial dan pemulangan belum
menjadi perhatian.
97 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
pembiayan visum dan pembiayaan lain yang tidak dicakup BPJS. Solusinya bisa menggunakan model
yang sudah dikembangkan oleh Jawa Tengah dengan skema anggaran khusus yang dapat digunakan
untuk menggratiskan pembiayaan penanganan korban maupun dengan membebankan pada anggaran
BLUD kesehatan. Model kedua dapat ditempuh dengan membebankan anggaran visum pada anggaran
daerah dengan mengeluarkan keputusan pemerintah daerah/perhub untuk menggratiskan layanan
visum dan penanganan korban.
Kesepahaman tentang MoU dan SOP merupakan satu paket dalam jejaring koordinasi dan
kemitraan, sehingga di P2TP2A yang penyusunan MoU dan SOP dilakukan secara tidak partisipatif
cenderung tidak mampu mendinamikakan gerak jejaring dalam penanganan korban. Penyusunan MoU
dan SOP yang partisipatif dapat meningkatkan kesepahaman mengenai mandat, tugas fungsi lembaga,
mekanisme koordinasi serta pembagian peran antar stakeholder.
| 98
LAMPIRAN
Tabel 10 : Periode Pembentukan P2TP2A
Daerah
Waktu Pembentukan
Jumlah Provinsi, Kabupaten dan kota
Setelah SKB 3 Menteri 7 daerah Provinsi Aceh, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi
Tahun 2002 atau Bengkulu, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Kota
sebelum UU No. 23 Surakarta dan Provinsi D.I Yogyakarta
tahun 2004 tentang
PKDRT
Setelah UU No. 23 55 daerah Wilayah Sumatera : Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten
Tahun 2004 tentang Bireun,28Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Deli Serdang,
PKDRT Kota Padang, Kabupaten Tanah Datar, dan Kota Bengkulu;
Wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat: Provinsi Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Kota Cirebon, Kota
Bandung, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Cirebon, Kabupaten
Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi dan
Kota Depok;
Wilayah Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali:
Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten
Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, Kota Yogyakarta, Provinsi
Yogyakarta, Kabupaten Jombang, Kabupaten Ponorogo, Kota
Malang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten, Kabupaten
Boyolali, Kabupaten Wonosobo, Kota Magelang, Kabupaten
Jepara, Kabupaten Kendal, Kabupaten Grobongan, Kabupaten
Buleleng, Kota Semarang.
Wilayah Nusa tenggara timur : Provinsi Nusa tenggara timur,
Kabupaten Timor Tengah Utara, Kabupaten Timor Tengah
Selatan, Kabupaten Belu dan Kabupaten Sikka;
Wilayah Sulawesi dan Maluku : Provinsi Sulawesi Utara,
Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara,
Kota Manado, Kabupaten Bitung, Provinsi Sulawesi Selatan,
Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Poso,
Kabupaten Sigi, Kota Palu, Kabupaten Maluku Tengah,
Kabupaten Buru, Kota Ambon, Provinsi Sulawesi Tengara dan
Kota Kendari
Tidak Menjawab 2 daerah Kabupaten Bangli dan Kabupaten Pasuruan
28. Meskipun pembentukannya setelah UU PKDRT, namun kelembagaannya sudah ada sebelum kebijakan tentang pendirian P2TP2A, karena lembaga
tersebut merupakan pengembangan dari program sebelumnya. Setelah Tsunami Aceh tahun 2004, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR)
memfasilitasi pembentukan P2TP2A untuk memberikan layanan terhadap korban.
99 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 100
Lampiran n
Wilayah
Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah Wilayah
Model/ Sumatera DKI Jakarta Jawa Tengah, Nusa Sulawesi dan
Bentuk dan Jawa Jawa Timur, Tenggara Maluku
Barat Yogyakarta dan Timur
Bali
P2TP2A Provinsi PPT Provinsi Jawa Kabupaten
Satu Atap Daerah Timur Belu dan
Khusus Ibu Kabupaten
Kota Jakarta, Timor
Provinsi Jawa Tengah
Barat, Kota Utara
Tasik Malaya
dan
Kabupaten
Tasikmalaya
P2TP2A
berbenntuk
UPTD/
menjadi
lembaga
struktural
badan/dinas
P2TP2A Provinsi Kota Cirebon, Kabupaten Kabupaten Provinsi
berbentuk Aceh, Kabu- Kota Bandung, Bangli, Kabupaten Sikka dan Sulawesi Utara,
jaringan paten Aceh Kabupaten Buleleng, Provinsi Kabupaten Kabupaten
Utara, Kabu- Cirebon, Yogyakarta, Kota Timor Minahasa
paten Bireun, Kabupaten Yogyakarta, Tengah Selatan,
Kabupaten Bandung, Kabupaten Kulon Selatan Kabupaten
Deli Kabupaten Progo, Kabupaten Minahasa
Serdang, Sukabumi, Sleman, Kabupaten Utara, Kota
Kabupaten Kabupaten Bantul, Kabupaten Manado,
Labuhan Depok Gunung Kidul, Kabupaten
Batu, Kabupaten Bitung, Provinsi
Provinsi Grobongan, Sulawesi
Kepulauan Kabupaten Kendal, Selatan,
Riau, Kota Kota Semarang, Kabupaten
Padang, Kabupaten Jepara, Maros,
Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Tanah Datar, Magelang, Pangkep,
101 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 102
Lampiran n
103 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 104
Lampiran n
105 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 106
Lampiran n
107 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 108
Lampiran n
109 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 110
Lampiran n
111 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 112
Lampiran II n
113 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
| 114
Lampiran II n
Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat sipil, terutama kaum perempuan, kepada
pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab Negara dalam menanggapi dan menangani persoalan
kekerasan terhadap perempuan. Tuntutan tersebut berakar dari tragedi kekerasan seksual yang dialami
terutama perempuan etnis Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 di berbagai kota besar di Indonesia.
Mandat Komnas Perempuan adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi perempuan. Dalam
menjalankan mandatnya, Komnas Perempuan mengambil peran sebagai berikut :
1. Menjadi resource centre tentang hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia dan kekerasan
terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM;
2. Menjadi negosiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan komunitas
pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada kepentingan korban;
3. Menjadi insiator perubahan serta perumusan kebijakan;
4. Menjadi pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan pemenuhan hak
korban;
5. menjadi fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional dan
internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapa- sitas penanganan dan
penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Ditingkat regional dan internasional, Komnas Perempuan didukung oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) menginisiasi pertemuan komisi-komisi nasional HAM perempuan di Asia. Pertemuan
ini dihadiri oleh komisi-komisi HAM perempuan se-Asia Pasifik. Komnas Perempuan juga aktif
memberikan laporan perkembangan kondisi pemenuhan HAM perempuan di Indonesia, terutama
melalui Pelapor Khusus PBB tentang Kekerasan terhadap Perempuan, Komite CEDAW dan Pelapor
115 |
n Hasil Asesmen P2TP2A di 16 Provinsi 2017
Khusus Anti Penyiksaan. Laporan ini menjadi bagian dari upaya Komnas Perempuan agar mendorong
Pemerintah Indonesia memenuhui tanggung jawabnya dalam memberikan jaminan hak-hak
perempuan.
Komnas Perempuan juga terus menguatkan kapasitas kelembagaannya demi merawat independensi dan
menguatkan efektivitasnya sebagai mekanisme penegakan hak asasi manusia. Kepemimpinan Komnas
Perempuan bersifat kolektif, dimana kekuasaan tertinggi ada di rapat paripurna para komisioner. Saat
ini, Komnas Perempuan telah menginjak kepemimpinan kelima, yaitu periode 2015-2019. Terdapat
15 orang komisioner yang berasal dari latar belakang yang beragam, baik segi agama dan suku, umur
dan jenis kelamin, maupun dari segi disiplin ilmu dan profesi. Sebuah tim independen dibentuk
untuk menyelenggarakan proses seleksi komisioner, yang didahului dengan konsultasi nasional untuk
menentukan kriteria komisioner, proses nominasi calon komisioner oleh lembaga/organisasi hak
perempuan dan hak asasi manusia pada umumnya, serta uji publik. Dalam pelaksanaan tugasnya, para
komisioner didukung oleh badan pekerja yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal.
Informasi lebih lanjut tentang Komnas Perempuan dapat dibaca melalui website di http://
www.komnasperempuan.go.id atau hubungi kami di 021-3903963.
iii). Tentang Forum Pengada Layanan (FPL) bagi Perempuan Korban Kekerasan
Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang
terus bermunculan, organisasi masyarakat yang memberikan layanan bagi perempuan dan Komnas
Perempuan menginisiasi lahirnya Forum Belajar pada bulan Februari tahun 2000 di Batu Malang
Jawa Timur. Untuk memperkuat kejelasan arah dan strategi perjuangan dalam mewujudkan
profesionalitasnya, kedaya-gunaannya serta kemandiriannya agar terus dikembangkan lebih strategis.
Pada tahun 2014 terjadi perubahan nama dari Forum Belajar menjadi Forum Pengada Layanan (FPL)
bagi perempuan korban kekerasan.
Bahwa FPL bagi perempuan korban kekerasan terdiri dari lembaga-lembaga yang memiliki visi
untuk penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan meningkatkan dukungan,
tanggung jawab negara dan masyarakat dalam memenuhi hak-hak perempuan korban kekerasan
melalalui kerja-kerja pendampingan dan pemulihan terhadap perempuan korban kekerasan di seluruh
Indonesia. Sejak awal pendiriannya, peran jejaring FPL dalam menghadirkan dan menguatkan
layanan bagi perempuan korban kekerasan di wilayahnya masing-masing sangat besar. Mulai dari
pendampingan korban, penguatan substansi layanan hingga advokasi kebijakan ke pemerintah mulai
dari tingkat nasional hingga tingat daerah. Hingga tahun 2015 keanggotaan Forum Pengada Layanan
ada 112 anggota yang tersebar di 32 Provinsi di Indonesia.
| 116
Lampiran II n
perempuan korban. Saat ini Forum FPL terdiri dari 3 (tiga) region yaitu region barat (Sumatra), region
tengah (Jawa-Bali-Kalimantan dan NTB) dan region timur (Sulawesi-Maluku-NTT dan Papua).
Visi :
Visi Forum Pengada Layanan adalah terpenuhinya hak-hak perempuan korban kekerasan atas
kebenaran, keadilan, pemulihan, serta jaminan atas ketidakberulangan sebagai perwujudan dan
dukungan atas upaya penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan melalui pelaksanaan
tanggungjawab negara, perubahan kondisi sosial yang lebih berkeadilan dan pemberdayaan perempuan
termasuk perempuan yang mengalami kekerasan.
Misi :
1. Melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan atas berbagai tindak kekerasan
terhadap perempuan;
2. Mendorong ketersediaan sistem layanan yang komprehensif, holistik, inklusi, berkualitas,
dan berkelanjutan yang berorientasi pada kebutuhan dan hak-hak korban;
3. Mengembangkan pengetahuan berbasis pengalaman;
4. Memperkuat kapasitas, profesionalitas, dan posisi tawar lembaga pengada layanan sebagai bagian
dari gerakan sosial di Indonesia;
5. mendorong tanggung jawab negara atas perlindungan, penghormatan, pemajuan dan pemenuhan
hak-hak perempuan korban kekerasan termasuk perubahan kebijakan, peraturan perundang-
undangan, sarana-prasarana, penganggaran yang responsif dan berpihak pada kebutuhan dan
hak-hak perempuan korban.
117 |
P E N G A D A L AYA N A N
BAGI PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN
ISBN: 978-602-330-021-1