Anda di halaman 1dari 16

BAB VI

LANDASAN PSIKOLOGI

Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri
adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar.
Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali kehidupan manusia, yang berada
dalam melekat dalam manusia itu sendiri.

Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Jiwa balita baru
berkembang sedikit sekali sejajar dengan tubuhnya yang juga masih berkemampuan sederhana
sekali. Makin besar anak itu makin berkembang pula jiwanya, dengan melalui tahap tahap
tertentu akhirnya anak itu mencapai kedewasaan baik dari segi kejiwaan maupun dari segi
jasmani.

Dalam perkembangan jiwa dan jasmani inilah seyogianya anak anak belajar, sebab pada
masa ini mereka peka untuk belajar, punya waktu banyak untuk belajar, belum berumah tangga,
belum bekerja, dan bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga. Masa belajar ini bertingkat
tingkat sejalan dengan fase fase perkembangan mereka. Oleh karena itu, layanan layanan
pendidikan terhadap mereka harus pula dibuat bertingkat tingkat agar perjalanan itu dapat
dipahami oleh anak anak.

Bab ini secara berturut turut akan membahas (1) psikologi perkembangan, (2) psikologi
belajar, (3) psikologi sosial, (4) kesiapan belajar dan aspek aspek individu, dan (5) implikasi
konsep pendidikan.

A.Psikologi Perkembangan

Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan pendekatan yang
dimaksud adalah: (Nana Syaodih, 1988)

1. Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan tahapan


tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri ciri khusus yang berbeda dengan ciri ciri pada
tahap tahap yang lain.
2. Pendekatan diferensial. Pendekatan ini memandang individu individu itu memiliki
kesamaan kesamaan dan perbedaan perbedaan. Atas dasar ini lalu orang orang membuat
kelompok kelompok. Anak anak yang memiliki kesamaan dijadikan satu kelompok.
Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras,
agama, status sosial ekonomi, dan sebagainya.
3. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat
saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara
individual.
Dari ketiga pendekatan ini, yang paling banyak dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan.

Pendekatan pentahapan ada 2 macam yaitu bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus.
Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang
diperhitungkan dalam menyusun tahap tahap perkembangan. Sedangkan yang bersifat khusus
hanya mempertimbang faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap tahap
perkembangan anak, misalnya pertahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.

Menurut Crijns (tt.) periode atau tahap perkembangan manusia secara umum adalah
sebagai berikut:

1. Umur 0-2 tahun disebut masa bayi. Pada masa ini, sibayi sebagian besar memanfaatkan
hidupnya untuk tidur, memandang, mendengarkan, kemudian belajar merangkak, dan
berbicara.
2. Umur 2-4 tahun disebut masa kanak kanak. Pada masa ini anak sudah mulai bisa berjalan
menyebut beberapa nama, pengamatan yang mula mula global, kini sudah mulai bisa
melihat struktur, permainan permainan mereka bersifat fantasi, masih suka mengahayal
sebab belum sadar akan lingkungannya. Mereka mengalami masa egosentris, sebab
menurut anak ini semua orang dan benda benda lain disekelilingnya adalah untuk
kepentingan dirinya. Masa krisis kemudian muncul ketika ia tetap tidak mengerti apa
fungsi benda benda dan orang orang itu. Membuat anak ini bingung dan ragu ragu.
3. Umur 5-8 tahun disebut masa dongeng. Anak anak pada masa ini mulai sadar akan
dirinya sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan tersendiri seperti halnya dengan
orang orang lain. Mereka mulai bisa bermain bersama dan melakukan tindakan tindakan
yang konstruktif. Kesadaran akan lingkungan yang sesungguhnya mulai muncul,. Namun
objektivitas ini masih dipengaruhi oleh subjektivitasnya sendiri sehingga ia atau mereka
suka pada dongeng dongeng.
4. Umur 9-13 tahun disebut masa Robinson Crusoe (nama seorang petualang). Dalam masa
ini mulai berkembang pemikiran kritis, nafsu persaingan, minat minat, dan bakat. Mereka
ingin mengetahui segala sesuatu secara mendalam., suka bertanya dan menyelidiki.
Hidup mereka berkelompok kelompok, anak laki laki terpisah dengan anak perempuan.
Mereka memainkan peranan peranan nyata seperti yang mereka lihat dimasyarakat.
Mereka suka menggoda, mengejek, dan sebagainya. Maka mereka dijuluki masa kejam.
5. Umur 13 tahun disebut masa pubertas pendahuluan. Misalnya anak anak ini mulai tertuju
kedalam dirinya sendiri, mereka mulai belajar bersolek, suka menyendiri, melamun, dan
segan olahraga. Mereka gelisah, cepat tersinggung, suka marah marah, keras kepala, acuh
tak acuh, dan senang bermusuhan. Terhadap jenis kelamin lain, mereka ingin bersama
sama tahu, tetapi masih canggung.
6. Umur 14-18 tahun disebut masa puber. Mereka kini mulai dasar akan pribadinya sebagai
seorang yang bertanggung jawab. Mereka sadar akan hak hak segala kehidupan dalam
lingkungannya. Mereka mulai tahu bahwa setiap orang punya arah dan jalan hidup
sendiri sendiri. Lalu mereka mulai mengoreksi diri sendiri, seperti mengapa dia ada dan
apa hubungannya dengan dunia ini, tetapi sering diakhiri dengan kegelisahan, kesedihan,
dan kadang kadang putus asa. Mereka takut dicampuri oleh orang dewasa ia hanya
berhubungan dengan teman teman seperasaan. Mereka menemui nilai nilai hidup itu,
tetapi mereka juga cepat beralih ke nilai nilai hidup yang lain. Ini merupakan periode
pembentuka cita.
7. Umur 19-21 tahun disebut masa adolesen. Anak anak pada masa ini mulai menemui
keseimbangan, mereka sudah punya rencana hidup tertentu dengan nilai nilai yang sudah
dipastikannya. Namun mereka belim berpengalaman, maka timbul lah sikap radikal,
ingin menolak, mencela, dan merombak hal hal yang tidak disetujuinya dalam politik,
agama, sosial, kesenian, dan sebagainya.
8. Umur 21 tahun keatas disebut masa dewasa. Pada masa ini remaja mulai insaf bahwa
pekerjaan manusia tidak mudah dan selalu ada cacatnya. Mereka mulaim berhati hati.

Periode perkembangan tersebut diatas merupakan periode secara umu artinya ada saja
perkembangan anak atau remaja yang menyimpang dari perkembangan umu itu. Sementara itu
hasil penelitian menunjukkan bahwa anak anak perempuan rata rata berkembang tiga tahun lebih
cepat daripada anak laki laki. Hal inilah yang membuat seringkali dalam kenyataan sehari hari
anak anak perempuan kelihatan lebih dewasa daripada anak laki laki yang sebaya.

Konsep perkembangan ini pula yang membuat para pendidik masa lampau memisahkan
pendidikan anak laki laki dengan anak perempuan agar sejalan dengan masa tertentu terjadinya
pertentangan antara kelompok perempuan dengan laki laki. Pemisahan ini biasanya dilakukan
ditingkat SMP. Tetapi hasil penelitian kemudian menyatakan bahwa pendidikan terpisah ini
dapat merugikan anak anak sebab mereka berkembang diluar kewajaran hidup manusia, yang
menyebabkan pendidikan terpisah ini dihentikan.

Kini, kita lihat psikologi perkembangan menurut Rouseau!

Dia membagi masa perkembangan anak atas 4 tahap yaitu:

1. Masa bayi dari 0-2 tahun yang sebagian besar merupakan perkembangan fisik
2. Masa anak dari 2-12 tahun yang dinyatakan perkembangannya seperti hidup manusia
primitif
3. Masa pubertas dari 12-15 tahun ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan
untuk berpetualang.
4. Masa Adolesen dari 15-25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, patah hati, dan
moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya

Sementara itu Stanley Hall penganut teori evolusi dan teori rekapitulasi membagi masa
perkembangan anak sebagai berikut: (Nana Syaodih, 1988)

1. Masa kanak kanak ialah umur 0-4 tahun sebagai masa kehidupan binatang.
2. Masa anak ialah umur 4-8 tahun merupakan masa sebagai manusia pemburu.
3. Masa muda ialah umur 8-12 tahun sebagai manusia belum berbudaya.
4. Masa adolesen ialah umur 12- dewasa merupakan manusia berbudaya.

Havinghurst menyusun fase fase perkembangan sebagai berikut: (Mulyani, 1988)

1. Tugas perkembangan masa kanak kanak:


Belajar berkata, makan makanan padat, berjalan, mengendalikan gerakan badan,
mempelajari peran jenis kelaminnya sendiri, stabilitas fisiologi, memberntuk konsep
sederhana tentang sosial dan fisik, belajar menghubungkan diri secara emosional dengan
orang orang lain, serta belajar membedakan yang benar dengan yang salah.
2. Tugas perkembangan masa anak:
Belajar keterampilan fisik untuk keperluan bermain, membentuk sikap diri sendiri,
belajar bergaul secara rukun, mempelajari peran jenis kelamin sendiri, belajar
keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, mengembangkan konsep konsep yang
dibutuhkan dalam kehidupan, membentuk kata hati, moral, dan nilai, membuat kebebasan
diri, dan mengembangkan sikap terhadap kelompok serta lembaga lembaga sosial.
3. Tugas perkembangan masa remaja:
Membuat huungan hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya dan kedua
jenis kelamin, memperoleh peran sosial yang cocok dengan jenis kelaminnya,
menggunakan badan secara efektif, mendapatkan kebebasan diri dan ketergantungan pada
orang lain, memilih dan menyiapkan jabatan, mendapatkan kebebasan ekonomi,
mengadakan persiapan perkawinan dan kehidupan berkeluarga, mengembangkan
keterampilan dan konsep konsep yang diperlukan sebagai warga Negara yang baik,
mengembangkan perilaku bertanggung jawab, dan memperoleh seperangkat nilai serta
etika sebagai pedoman berperilaku.
4. Tugas perkembangan masa dewasa awal:
Memilih pasangan hidup, belajar hidup rukun bersuami istri, memulai kehidupan punya
anak, belajar membimbing dan merawat anak, mengendalikan rumah tangga,
melaksanakan suatu jabatan atau pekerjaan, belajar bertanggung jawab sebagai warga
Negara, dan berupaya mendapatkan kelompok sosial yang tepat serta menarik.
5. Tugas perkembangan masa setengah baya:
Bertanggung jawab sosial dan menjadi warga Negara yang baik, membangun dan
mempertahankan standard ekonomi, membina anak remaja agar menjadi orang dewasa
dan bertanggung jawab serta bahagia, mengisi waktu senggang dengan kegiatan kegiatan
tertentu, membina hubungan suami istri sebagai pribadi, menerima serta menyesuaikan
diri dengan perubahan fisik diri sendiri, dan menyesuaikan diri dengan pertambahan
umur.
6. Tugas perkembangan orangtua:
Menyesuaikan diri dengan semakin menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan,
menyesuaikan diri terhadap menurunnya pendapatan atau karena pensiun, menyesuaikan
diri sebagai duda atau janda, menjalin hubungan dengan klub lanjut usia, memenuhi
kewajiban sosial sebagai warga Negara yang baik, dan membangun kehidupan fisik yang
memuaskan.
Tugas tugas yang harus dijalankan atau diselesaikan oleh setiap individu
sepanjang hidupnya seperti tertera diatas, memberi kemudahan kepada para pendidik
pada setiap jenjang dan tingkat pendidik untuk:
1. Menentukan arah pendidikan.
2. Menentukan metode atau model belajar anak anak agar mereka mampu
menyelesaikan tugas perkembangannya.
3. Menyiapkan materi pelajaran yang tepat.
4. Menyiapkan pengalaman belajar yang cocok dengan tugas perkembangan itu.

Tugas tugas perkembangan itu tampaknya disiapkan untuk pendidikan seumur hidup.
Terbukti dari adanya tugas perkembangan untuk masa setengah baya atau orang dewasa dan
untuk masa tua. Dua macam tugas terakhir ini amat berguna bagi pendidikan luar sekolah, baik
dirumah terhadap suami istri dan orang yang sudah tua maupun dilembaga lembaga pendidikan
yang ada dimasyarakat, seperti kursus kursus, perkumpulan sosial, agama, persatuan orang lanjut
usia dan sebagainya.

Kini mari kita teruskan membahas psikologi perkembangan ini yang memakai
pendekatan pentahapan tetapi bersifat khusus. Kita mulai dari konsep Jean Piaget yang
menekankan tingkat tingkat perkembangan khusus yaitu kognisi. Menurut Piaget ada empat
tingkat perkembangan kognisi, (Mulyani 1988, Nana Syaodih, 1988, dan Callahan, 1983).

1. Periode sensorimotor pada umur 0-2 tahun


Kemampuan anak terbatas pada gerak gerak refleks. Reaksi intelektual hamper
seluruhnya karena rangsangan langsung dari alat alat indra. Punya kebiasaan memukul
mukul dan bermain main dengan permainannya. Mulai dapat menyebutkan nama nama
objek tertentu.
2. Periode praoperasional pada umur 2-7 tahun
Perkembangan bahasa anak ini sangat pesat. Peranan instuisi dalam memutuskan sesuatu
masih besar, menyimpulkan hanya berdasarkan sebagian kecil yang diketahui. Analisis
rasional belum berjalan.
3. Periode operasi konkret pada umur 7-11 tahun
Mereka sudah berpikir logis, sistematis, dan memecahkan masalah yang bersifat konkret.
Mereka sudah mampu mengerjakan penambahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian.
4. Periode operasi formal pada umur 11-15 tahun
Anak anak ini sudah dapat berpikir logis terhadap masalah baik yang konkret maupun
yang absrak. Dapat membentuk ide ide dan masa depannya secara realistis.

Teori perkembangan piaget ini bermanfaat bagi pendidikan dalam mengorganisasi materi
pelajaran dan proses belajar terutama yang berkaitan dengan upaya mengembangkan kognisi
anak anak. Konsep ini ada pertaliannya dengan perkembangan kognisi menurut Bruner sebagai
berikut, (Toeti Soekamto, 1994).

1. Tahap enaktif, anak melakukan aktivitas aktivitas dalam upaya memahami lingkungan.
2. Tahap ikonik, anak memahami dunia melalui gambaran gambaran dan visualisasi verbal.
3. Tahap simbolik, anak telah memiliki gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh
bahasa dan logika.

Selanjutnya Bruner mengatakan bahwa perkembangan kognisi seorang bisa dimajukan dengan
jalan mengatur bahan pelajaran, antara lain dengan kurikulum spiral.

Laurence Kohlberg mengembangkan teori moral kognisi atas dasar teori Piaget. Menurut
dia ada tiga tingkat perkembangan moral kognisi, yang masing masing tingkat ada dua tahap
sebagai berikut: (McNeil, 1977 dan Nana Syaodih, 1988).

1. Tingkat prekonvensional
a. Tahap orientasi kepatuhan dan hukuman, seperti kebaikan, keburukan, ditentukan
oleh orang itu dihukum atau tidak.
b. Tahap orientasi egois yang naïf, seperti tindakan yang betul ialah yang memuaskan
kebutuhan seseorang.
2. Tingkat Konvesional
a. Tahap orientasi anak baik, seperti perilaku yang baik ialah bila disenangi orang lain.
b. Tahap orientasi mempertahankan peraturan dan norma sosial, seperti perilaku yang
baik ialah yang sesuai dengan harapan keluarga, kelompok, atau bangsa.
3. Tingkat Post-Konvensional
a. Tahap orientasi kontrak sosial yang legal, yaitu tindakan yang mengikuti standar
masyarakat dan mengkonstruksi aturan baru.
b. Tahap orientasi prinsip etika universal, yaitu tindakan yang melatih kesadaran
mengikuti keadilan dan kebenaran universal.

Inilah tingkat tingkat perkembangan moral anak atas dasar pemahamannya tentang moral
itu sendiri. Dalam mengembangkan moral anak anak, pendidik dapat mengikuti petunjuk
petunjuk tersebut diatas.

Dalam aspek afeksi, Erikson mencoba menyusun perkembangannya. Perkembangan


afeksi terdiri atas delapan tahap sebagai berikut, (Mulyani, 1988):

1. Bersahabat vs menolak pada umur 0-1 tahun.


Bayi yang diasuh dengan kasih sayang dan kebutuhan kebutuhan terpenuhi akan
merasa bersahabat dengan orang orang disekitarnya. Sebaliknya bila dia disia siakan
dan kebutuhannya tidak terpenuhi, maka ia akan menentang lingkungan. Perasaan
perasaan seperti ini akan dibawa ketingkat tingkat perkembangan berikutnya.
2. Otonomi vs malu dan ragu ragu pada umur 1-3 tahun
Anak merasa memiliki otonomi dan kebanggan, sebab ia sudah bisa berjalan,
memanjat, membuka, mendorong, dan sebagainya. Ia merasa dapat mengendalikan
otot ototnya, mengendalikan diri dan lingkungan. Tetapi bila orangtua terlalu
memanjakan, timbul malu malu dan keragu raguan anak itu tentang kemampuannya.
Dan hal ini pun akan berpengaruh pada tingkat tingkat perkembangan berikutnya.
3. Inisiatif vs perasaan bersalah pada umur 3-5 tahun
Anak anak pada masa ini banyak berinisiatif manakala diberi kesempatan oleh
orangtuanya, sebab mereka sudah punya kempuan lebih besar, seperti lari, naik
sepeda roda tiga, memukul, memotong, dan sebagainya. Begiti pula dalam berbahasa
dan berfantasi mereka berinisiatif sendiri. Orangtua perlu memberi kesempatan
kebebasan dan menjawab segala pertanyaannya. Kalau mereka tidak diperlakukan
seperti itu mereka akan merasa guilted (bersalah).
4. Perasaan produktif vs rendah diri pada umur 6-11 tahun.
anak anak ini cinta pada orangtua yang berlawanan jenis dan ada rasa persaingan
dengan yang sama jenis kelamin. Mereka sudah bisa berpikir deduktif, bermain
dengan peraturan peraturannya, dan terdorong untuk mengerjakan sesuatu sampai
berwujud nyata. Jika mereka dihargai dan diberi hadiah membuat peran produktif
berkembang. Tetapi anak anak yang bodoh cenderung punya perasaan rendah diri.
5. Identitas diri vs kebingungan pada umur 12-18 tahun.
Para remaja ini sudah mulai dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan pengalaman
pengalaman yang lampau. Ia sudah mengerti sebagai remaja, sebagai teman sekolah,
sebagai anggota pramuka, dan sebagainya. Perasaan dan keinginan keinginan baru
mulai tumbuh. Mereka juga sudah bisa berpikir jernih tentang hal hal disekelilingnya.
6. Intim vs mengisolasi diri pada umur 19-25 tahun.
Orang orang ini sudah bisa intim dalam suami istri dan mampu berbagi rasa pada
orang lain. Keberhasilan ini tidak hanya bergantung pada perlakuan orangtua,
melainkan juga pada temannya yang akan diajak bergaul. Dan bila tidak diajak
berhasil, ia akan mengisolasi diri.
7. Generasi vs kesenangan pribadi pada umur 25-45 tahun.
Orangtua atau orang seumur ini sudah mulai memikirkan generasi muda, masyarakat,
dan dunia tempat generasi ini tinggal. Mereka memikirkan pendidikan, kesejahteraan
dan pekerjaan generasi ini. Bila tidak, orangtua ini hanya mengejar kesenangan
pribadi saja.
8. Integritas vs putus asa pada umur 45 tahun keatas.
Integritas muncul kalau orangtua ini dapat membawa diri secara memuaskan dalam
pergaulan anak cucunya. Bila tidak, maka orang ini akan berputus asa.

Seperti hal nya dengan perkembangan kognisi, perkembangan afeksi ini pun memberi
kemudahan kepada para pendidik dalam mengembangkan afeksi orang dewasa dan orang orang
yang sudah tua, dengan cara mengikuti tahap tahap tersebut. Sehubungan dengan hal ini perlu
dikemukakan simpulan Baller dan Charles sebagai berikut, (Mulyani, 1988).
1. Anak yang berasal dari keluarga yang memberi layanan baik, akan bersikap ramah,
luwes, bersahabat, dan mudah bergaul.
2. Anak yang dilahirkan dalam keluarga yang menolak kelahiran itu, akan cenderung
menimbulkan masalah, agresif, menentang orangtua, dan sulit diajak berbicara.
3. Anak yang diasuh oleh keluarga yang acuh tidak acuh kepada anak, cenderung bersikap
pasif dan kurang popular diluar rumah.

Konsep perkembangan yang dibahas terakhir ini berasal dar Gagne, yang dapat disebut
sebagai perkembangan kemampuan belajar. Perkembangan itu adalah sebagai berikut,
(McNeil, 1977).

1. Multidekriminasi, yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b


dengan d.
2. Belajar konsep, yaitu belajar membuat respons sederhana, seperti huruf hidup, huruf
mati, dan sebagainya.
3. Belajar prinsip, yaitu mempelajari prinsip prinsip atau aturan aturak konsep.
4. Pemecahan masalah, yaitu belajar mengkombinasi dua atau lebih prinsip untuk
memperoleh sesuatu yang baru.

Pembahasan tentang psikologi perkembangan ini yang mencakup perkembangan


umum, kognisi, moral, afeksi, dan kemampuan belajar atau dapat disingkat menjadi teori
perkembangan umum, kognisi, dan afeksi, memberi petunjuk yang sangat berharga bagi
para pendidik dalam mengoperasikan pendidikannya. Karena itu, pendidik harus paham
akan tahap tahap perkembangan ini agar ia dapat membantu perkembangan anak anak
secara optimal pada segala jenjang dan tingkat sekolah.

B.Psikologi Belajar

Belajar adalah perubahan perilaku yang relative permanen sebagai hasil pengalaman
(bukan hasil perkembangan, pengaruh obat, atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada
pengetahuan lain serta mampu mengomunikasikannya kepada orang lain.

Ada sejumlah prinsip belajar menurut Gagne (1979) sebagai berikut:

1. Kogtiguitas, memberikan situasi atau materi yang mirip dengan harapan pendidik tentang
respons anak yang diharapkan beberapa kali secara berturut turut.
2. Pengulangan, situasi dan respons anak diulang ulang atau dipraktikkan agar belajar lebih
sempurna dan lebih lama diingat.
3. Penguatan, respons yang benar misalnya diberi hadiah untuk mempertahankan dan
menguatkan respons itu.
4. Motivasi positif dan percaya diri dalam belajar.
5. Tersedia materi pelajaran yang lengkap untuk memancing aktivitas anak anak.
6. Ada upaya membangkitkan keterampilan intelektual untuk belajar, seperti apersepsi
dalam mengajar.
7. Ada strategi yang tepat untuk mengaktifkan anak anak dalam belajar.
8. Aspek aspek jiwa anak harus dapat dipengaruhi oleh faktor faktor dalam pengajaran.

Tiga butir pertama disebut Gagne sebagai faktor faktor ekstern yang mempengaruhi hasil
belajar, sedangkan sisanya adalah sebagai faktor faktor intern. Faktor faktor ekstern lebih banyak
ditangani oleh pendidik, sementara itu faktor faktor intern dikembangkan sendiri oleh anak anak
dibawah arahan dan strategi mengajar atau pendidik.

Pembahasan selanjutnya adalah mengenal teori belajar itu snediri. Ada sejumlah teori belajar
yang bila dibuat secara 1988, dan Toeti Soekamto, 1994).

1. Teori belajar klasik:


a. Disiplin Mental Theistik.
b. Disiplin Mental Humanistik.
c. Naturalis atau Aktualisasi diri.
d. Apersepsi.
2. Teori belajar modern:
a. R-S Bond atau Asosiasi
b. Pengkondisian (kondisioning) instrumental.
c. Pengkondisian (kondisioning) Operan.
d. Penguatan
e. Kognisi
f. Belajar Bermakna
g. Insight atau Gestalt
h. Lapangan
i. Tanda (sign)
j. Fenomenologi

Teori belajar modern diatas dapat pula dibagi dua kelompok yaitu:

1. Behavioris yang mencakup nomor a sampai dengan d


2. Kognisi yang mencakup nomor e sampai dengan j

Pada abad terakhir muncul dua teori kognisi yang baru, yaitu teori konstruktifis dan kuantum.
Kini mari kita uraikan satu persatu dalam bagian berikut:

Teori belajar disipin Mental Theistik berasal dari Psikologi Data atau Psikologi Fakulti.
Menurut teori ini individu atau anak memiliki sejumlah daya mental seperti pikiran, ingatan,
perhatian, kemampuan, keputusan, observasi, tanggapan, dan sebagainya. Masa masa daya ini
dapat ditingkatkan kemampuannya melalui latihan latihan. Jadi, teori ini memandang mental
seperti urat daging yang bisa ditingkatkan kekuatannya melalui latihan latihan. Dengan
demikian, belajar adalah melatih daya daya.

Teori belajar Disiplin Mental Humanistik bersumber dari aliran Psikologi Humanistik
Klasik ciptaan Plato dan Aristoteles. Teori ini sama dengan Disiplin Mental Theistik diatas, yaitu
manakala daya daya itu dilatih, mereka akan semakin kuat, dan manakala sudah kuat, maka
individu bersangkutan dengan mudah dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.
Bedanya adalah pada proses latihan. Kalau teori diatas melatih bagian demi bagian daya atau
potensi anak, maka Disiplin Mental Humanistik menekankan keseluruhan sebagai potensi
individu secara utuh. Sebab itu pendidikan lebih menekankan pendidikan umum. Mereka
berpendapat kalau seseorang menguasai sesuatu yang bersifat umum, maka dengan mudah bisa
ditransfer atau diterapkan pada hal hal yang bersifat khusus.

Teori belajar Naturalis atau Aktualisasi Diri berpangkal dari Psikologi Naturalis
Romantik yang dipimpin oleh Rousseau. Sama hal nya dengan kedua teori diatas, teori naturalis
ini pun memandang setiap anak memiliki sejumlah potensi atau kemampuan. Potensi potensi ini
juga harus dikembangkan tetapi bukan oleh pendidik dengan cara melatih, melainkan oleh anak
itu sendiri. Sebab itu teori ini disebut juga teori Aktualisasi Diri. Agar anak anak dapat
berkembang sendiri dengan baik, pendidik perlu menciptakan situasi yang permisif atau rileks.
Hanya dalam situasi seperti inilah anak anak akan dapat berkembang secara bebas seperti hal nya
dengan makhluk makhluk yang lain. Makna naturalis berada pada perkembangan secara alami di
alam bebas.

Teori belajar klasik yang terakhir adalah Apersepsi. Teori ini berasal dari Psikologi
Struktur Ciptaan Herbart. Sebab itu ia dinamai Herbatisme. Psikologi ini memandang bahwa
jiwa manusia merupakan suatu struktur. Struktur ini bisa berubah dan bertambah manakala orang
bersangkutan belajar. Pertambahan ini di dapat melalui asosiasi melalui antara struktur yang
sudah ada dengan hal hal yang dipelajari. Berarti belajar adalah memperbanyak asosiasi asosiasi
sehingga membentuk struktur baru dalam jiwa anak. Atau disebut juga belajar adalah
membentuk masa apersepsi. Semakin banyak belajar semakin banyak terbentuk struktur baru
atau semakin banyak masa apersepsinya. Langkah langkah belajar menurut Herbart adalah
sebagai berikut:

1. Pendidik harus mengadakan persiapan dengan cermat.


2. Pendidikan dilaksanakan sedemikian rupa sehingga anak anak merasa jelas memahami
pelajaran itu, yang memudahkan asosiasi asosiasi baru terbentuk.
3. Asosiasi asosiasi baru terbentuk antara materi yang dipelajari dengan struktur jiwa atau
apersepsi anak yang telah ada.
4. Mengadakan generalisasi,pada saat ini terbentuklah suatu struktur baru dalam jiwa anak.
5. Mengaplikasikan pengetahuan yang baru didapat agar struktur terbentuk semakin kuat.
Teori psikologi belajar klasik,walaupun umurnya sudah lama,untuk hal tertentu masih bisa
dipakai.teori disiplin mental misalnya masih bermanfaat dalam melatih anak-anak menguasai
perkalian dibawah 100.Dengan dilatih berkali-kali mereka akan hapal perkalian itu diluar
kepala.Kemampuan seperti ini sangan dibutuhkan sampai sekarang.Sebab selain kegunaan
praktis kehidupan sehari-hari dalam mengerjakan matematika pun anak-anak tidak perlu lagi
setiap kali termenung berpikir atau mencari bantuan kalkulator.

Begitu pula halnya dengan latihan-latihan mengerjakan soal adalah memakai teori belajar
Disiplin Mental.Latihan ini banyak dilakukan disekolah baik untuk penguasaan bahan itu
sendiri maupun untuk menghadapi ujian Negara. Latihan latihan ini menggunakan sejumlah soal
yang sudah tentu ada kesamaan satu dengan yang lain untuk setiap jenisnya. Berarti ada
pengulangan yang dilakukan berkali kali untuk soal soal yang mirip.

Teori klasik lain yang juga masih sering digunakan adalah teori Psikologi Belajar Naturalis
atau Aktualisasi Diri. Pendapat kelompok ini yang mengatakan belajar itu sebaiknya dilakukan
secara wajar di alam bebas, bisa diterapkan pada pendidikan luar sekolah, terutama untuk belajar
seumur hidup. Mereka yang senang belajar, biasanya tidak membutuhkan orang lain sebagai
pembimbing khusus. Mereka mencari sendiri bahan-bahan pelajaran yang mereka inginkan,
mempelajarinya sendiri dan menerapkannya. Jadi, mereka akan belajar dimana saja dan dengan
cara apa saja dilingkungan kediaman mereka. Mereka mungkin belajar di perpustakaan, dirumah
teman-teman, di rumah sendiri, bahkan juga sambil pesiar. Cara mereka belajar pun bermacam
macam sesuai dengan kebiasaan dan kemauannya masing masing. Ada yang hanya membaca
saja, mencatat, meringkas, atau ada juga dengan membuat gambar atau skema. Pada hakikatnya
mereka mengaktualisasi diri sendiri, sejalan dengan teori belajar Naturalis.

Sekarang mari kita teruskan pembahasan ini dengan teori teori belajar modern! Pertama
tama adalah teori belajar R-S Bond atau Asosiasi. Teori inilah yang pertama kali dicetuskan oleh
kelompok Behavioris, dengan tokohnya Thorndike. Behaviorisme menginginkan agar studi
mereka benar benar dapat diamati, sepertu halnya dengan ilmu ilmu yang lain. Menurut mereka,
belajar akan terjadi kalau ada kontak hubungan antara orang bersangkutan dengan benda benda
yang ada diluar. Ini yang mereka namakan S-R Bond, yaitu S adalah stimulus dari luar diri
seseorang dan R adalah respons orang bersangkutan, sedangkan Bond adalah hubungan atau
asosiasi. Sebab itu mereka menyebutkan Psikologinya Koneksionisme atau Asosiasisme.

Berkaitan dengan teori belajar Asosiasi ini, Thorndike mencetuskan tiga hukum belajar sebagai
berikut:

1. Hukum kesiapan, artinya semakin siap anak itu semakin mudah terbentuk hubungan
antara stimulus dengan respons. Kesiapan disini terjadi pada sistem urat saraf seseorang.
Karena itu anak anak perlu disiapkan terlebih dahulu sebelum menerima pelajaran baru.
2. Hukum latihan atau pengulangan. Dikatakan bahwa hubungan anatara stimulus dengan
respons akan terbentuk bila hubungan itu sering diulang atau dilatih berkali kali.
3. Hukum dampak, maksudnya ialah hubungan antara stimulus dan respons akan terjadi bila
hubungan itu memberikan dampak yang menyenangkan.

Teori belajar pengkondisian instrumental atau R-S Bond berawal dari teori belajar
Pengondisian Klasik. Tokoh teori belajar pengondisian instrumental ini adalah Watson dan
Thorndike. Belajar menurut mereka adalah masalah melekatkan atau menguatkan respons yang
benar dan menyisihkan respons yang salah akibat pemberian hadiah dan tidak dihiraukannya
konsekuensi respons yang salah. Respons respons yang benar lalu diulang ulang sehingga
melekat betul pada anak anak.

Teori belajar ini dapat diterapkan pada anak anak yang belum sadar akan pentingnya belajar
kepada anak anak yang malas, dan kepada mereka yang belum paham akan tugas tugas dirumah
maupun dimasyarakat. Dengan menjanjikan hadiah kecil saja pada umumnya mereka mau
mengerjakan tugasnya. Nanti kalau sudah menjadi kebiasaan tentu hadiah hadiah seperti itu tidak
diperlukan lagi.

Teori belajar pengondisian operan diperkenalkan oleh Skiner. Kalau teori Pengondisian
Instrumental memberi kondisi sebelum respons, maka teori belajar pengkondisian operan
memberikan kondisi sesudah terjadinya respons. Cara seperti ini diyakini membuat respons
respons seperti itu akan lebih sering terjadi atau dilakukan oleh orang bersangkutan.

Sebagaimana biasanya, seseorang yang menerima stimulus akan melakukan respons.


Respons ini dapat sesuai dengan harapan orang yang memberi stimulus, dapat pula tidak sesuai.
Teori belajar penguatan atau Reinforcement lahir dari Psikologi Reinforcement yang dipimpin
oleh Hull. Pada prinsipnya teori ini tidak berbeda dengan teori belajar pengondisian operan,
mungkin namanya berbeda karena tokohnya berbeda. Teori ini memberi penguatan pada respons
respons yang benar atau yang sesuai dengan harapan. Pujian, hadiah, dan penghargaan adalah
penguatan penguatan agar individu individu bersangkutan tetap konsisten dengan tindakannya
yang sudah baik itu, bila perlu bisa ditingkatkan lagi. Dalam kaitannya dengan teori penguatan
ini, dikenal ada dua macam penguatan, yaitu:

1. Penguatan positif, ialah setiap stimulus yang dapat memantapkan respons pada
pengondisian instrumental dan setiap hadiah yang dapat memantapkan respons pada
pengondisian operan.
2. Penguatan negatif, ialah setiap stimulus yang perlu dihilangkan untuk memantapkan
respons yang terjadi. Misalnya tugas tugas yang terlalu berat perlu dihilangkan agar siswa
tetap rajin belajar.

Kini kita beralih pada teori teori kognitivisme! Pertama adalah tentang teori Kognisi ciptaan
Bruner (Connell, 1974) yang menekankan pada cara individu mengorganisasikan apa yang telah
ia alami dan pelajari. Sistem pengorganisasian ini merupakan kunci untuk memahami tingkah
laku seseorang. Sistem pengorganisasian ini juga merupakan alat untuk berpikir dan
memecahkan masalah.
Kedua adalah teori belajar bermakna yang diciptakan oleh ausubel. Seperti halnya dengan
bruner, ausubel juga menekankan cara seseorang mengorganisasi pengetahuan yang didapatnya.
Organisasi atau struktur kognisi ini dipandang sebagai faktor utama dalam belajar dan mengingat
bahan-bahan baru yang bermakna. Struktur kognisi itu terorganisasi secara bertingkat. Proses
menghubungkan informasi baru dengan elemen-elemen dalam struktur kognisi disebut
subsumption atau menyatukan menjadi bagian dari struktur itu. Dengan cara ini belajar menjadi
bermakna ausubel juga menakankan pentingnya konsep dan prinsip umum untuk belajar dan
mengingat.

Teori gestalt (Callahan, 1983). Teori ini memandang anak-anak telah memiliki sikap dan
keterampilan yang kompleks dari hasil belajarnya. Anak-anak memandang situasi belajar sebagai
satu sesatuan atau gestalt dan merespon terhadap keseluruhan itu merupakan suatu yang penting
untuk memahaminya. Dalam hal ini belajar juga menggunakan insight atau pemahaman, suatu
yang lepas dari kebingungan sehingga menemukan keteraturan dalam materi yang baru itu.

Teori lapangan atau field dalam belajar dipelopori oleh lewin (Callahan, 1983). Lewin
mencoba menjelaskan perilaku manusia melalui cara mereka merespons terhadap faktor faktor
lingkungan, terutama lingkungan sosial. Teori ini diberi nama teori Lapangan atau Ruang
Kehidupan. Ruang kehidupan seseorang adalah dunia psikologi tempat orang itu hidup. Ruang
kehidupan ini berubah dari waktu ke waktu. Dengan menstruktur kembali kekuatan kekuatan
fektornya, seseorang dapat mengisi sesuatu kebutuhan dan menilai kembali situasi itu. Belajar
adalah usaha untuk menilai kembali dengan mendapatakan kejelasan dari ruang kehidupan,
sehingga ruang kehidupan berkembang atau berubah.

Callahan (1983) melanjutkan teori lapangan dengan teori Tanda atau Sign dan teori
Fenomenologi sebagai berikut. Teori belajar Tanda dipelopori oleh Tolman, yang mengatakan
bahwa perilaku itu mengarah pada tujuan. Belajar adalah suatu harapan bahwa stimulus akan
diikuti oleh situasi yang jelas. Harapan ini lebih mungkin dalam bentuk peta kognisi daripada
berbentuk respons yang khas. Ini berarti belajar lebih konsem dengan pengertian dari pada
dengan pengkondisian. Istilah Sign disini dapat diartikan munculnya tanda tanda kejelasan atau
pengertian.

Teori belajar Fenomenologi diciptakan oleh Snygg dan Combs, yang memandang individu
itu berada dalam keadaan dinamis yang stabil dan memiliki persepsi bersifat fenomenologi.
Menurut mereka perilaku itu ditentukan oleh psikologi atau kenyataan fenomenologi bukan
kenyataan objektif yang dapat diamati oleh panca indra. Lingkungan itu adalah suatu persepsi
individu. Berarti kenyataan lingkungan buat seseorang tidak mesti sama dengan orang lain, sebab
setiap orang punya persepsi sendiri sendiri terhadap sesuatu. Belajar adalah proses wajar dan
normal sebagai dimensi pertumbuhan dan perkembangan. Belajar adalah hasil perubahan
persepsi kita terhadap diri kita sendiri dan lingkungan.
Teori belajar konstriktifis adalah teori belajar yang membiasakan peserta didik bertindak
seperti ilmuan. Mereka mencari sendiri ilmu itu dengan cara menganalisis fakta fakta yang ada,
kemudian mensintesis, lalu mengambil simpulan. Mereka mengkonstruksikan sendiri
pengetahuan pengetahuan yang mereka pelajari.

Dan teori belajar kuantum adalah teori belajar yang berusaha membuat peserta didik merasa
antusias seperti hal nya dengan dalam kehidupan sehari hari.yang diperhatikan dalam
pembelajaran adalah lingkungan yang kondusif, individualitas peserta didik, materi yang
menantang, suasana wajar, dan pendidik beserta peserta didik sama sama merasa tidak tertekan.
Setelah membahas semua teori belajar, maka kini dapat kita sarikan sebagai berikut:

1. Teori belajar klasik masih tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk menghafal
perkalian dan melatih soal soal (Disiplin Mental). Teori naturalis bisa dipakai dalam
pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hidup.
2. Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan perilaku perilaku nyata,
seperti rajin, mendapat skor tinggi, tidak berkelahi, dan sebagainya.
3. Teori teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari materi materi yang rumit yang
membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah, dan untuk mengembangkan ide.

C.Psikologi Sosial

Psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang dimasyarakat, yang
mengombinasikan ciri ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh
masyarakat terhadap individu dan antarindividu (Hollander, 1981). Hamper semua orangtua
saying terhadap anak anaknya, mereka selalu ingin dekat dengan anak anaknya.
Berkembangnya kasih saying ini disebabkan oleh dua hal yaitu, (Freedman, 1981).

1. Karena pembawaan atau genetika. Pembawaan kasih saying ini sebagai perangkat yang
penting untuk mempertahankan hidup sang bayi.
2. Karena belajar. Mereka belajar semua aturan berperilaku. Anak anak cinta pada orangtua,
sebab orangtua memberi makan, memberi kehangatan. Sebaliknya orangtua cinta pada
anak sebab anak memberi kebahagiaan orangtua.

Kini, akan dibahas konsep pembentukan kesan. Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain
memiliki tiga kunci utama, yaitu:

1. Kepribadian orang itu. Mungkin kita pernah mendengar orang itu sebelumnya, atau cerita
cerita yang mirip dengan orang itu, terutama tentang kepribadiannya.
2. Perilaku orang itu. Ketika melihat perilaku orang itu setelah berhadapan, maka kita
hubungkan dengan cerita cerita yang pernah didengar.
3. Latar belakang situasi. Kedua data diatas kemudian dikaitkan dengan situasi pada waktu
itu. Maka dari kombinasi ketiga data ini akan keluarlah kesan pertama tentang orang itu.
Orang orang dalam mencapai persepsi tentang dirinya sendiri adalah sama caranya dalam
menemukan tentang dirinya sendiri adalah sama caranya dalam menemukan atau melihat
persepsi orang lain. Hal ini lahir dari asumsi umum yang mengatakan bahwa emosi kita,
sikap, sifat, dan kemampuan kita sering tidak jelas dan ambigu bagi diri kita sendiri. Dengan
persepsi diri sendiri berkaitan dengan sikap dan perasaan, sikap adalah keadaan internal
individu yang mempengaruhi tindakannya terhadap objek, orang, atau kejadian (Gagne,
1979). Sikap dapat ditimbulkan, disamping sering muncul secara alami, yaitu (1) dengan
metode langsung seperti pengkondisian dan penguatan, manakala ia sukses dalam kegiatan
tertentu, maka ia akan bersikap positif terhadap kegiatan itu. Dan (2) dengan metode tidak
langsung seperti dengan melihat dan mempelajari sikap tokoh tertentu, misalnya dalam buku
bacaan, televisi, atau melihat langsung.

Motivasi juga merupakan salah satu aspek psikologi sosial, sebab tanpa motivasi tertentu
seseorang sulit untuk berpartisipasi dimasyarakat. Menurut klinger (savage, 1991) faktor-
faktor yang menentukan motivasi adalah :

1. Minat dan kebutuhan individu. Bila minat dan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak-
anak dipenuhi maka motivasi belajarnya akan muncul.
2. Persepsi kesulitan akan tugas-tugas. Bila anak memandang kesulitan pelajaran itu tidak
terlalu berat, melainkan cukup menantang, maka motivasi belajar mereka melainkan
cukup menantang, maka motivasi belajar mereka pun akan muncul. Bertalian dengan ini
pendidik perlu mengoreksi materi pelajaran setiap kali akan mengajar agar kesulitan
kesulitannya tidak menguras pikiran anak anak.
3. Harapan sukses. Harapan ini pada umumnya muncul karena anak itu sering sukses. Agar
anak anak bodoh juga punya kesempatan seperti ini, ada baiknya kalau materi pelajaran
dibuat bertingkat dan model evaluasi bersifat individual. Dengan cara ini semua anak
dalam kelas akan mempunyai motivasi yang positif untuk belajar. Metode seperti ini
telah dilakukan di SD Victoria Australia (Made Pidarta, 1966).

Selanjutnya mari kita bahas tentang keintiman hubungan! Altman dan Taylor (Freedman,
1981) mengembangkan teori keintiman yang ia namakan penetrasi sosial, bahwa terjadi
perilaku antar pribadi yang diikuti oleh perasaan subjektif. Penetrasi ini mencakup sejumlah
kehidupan pribadi dan kepribadian serta bersifat intim. Hubungan intin ini terjadi pada kasus
kasus tertentu seperti saling mentraktir, tentang ide yang sama, kecemasan yang sama, dan
sebagainya.

Perilaku yang bertentangan dengan hubungan intim adalah perilaku agresif. Yang
dimaksud dengan agresif adalah perilaku yang menyakiti orang lain atau yang dapat
menyakiti orang lain. Ada tiga kategori agresif yaitu: (Freedman, 1981).

1. Agresif anti sosial, misalnya perilaku yang suka menampar orang, memaksakan
kehendak, memaki maki, dan sebagainya.
2. Agresif pro sosial, misalnya perilaku memukul pencuri yang sedang mencuri, menembak
teroris, menyekap preman, dan sebagainya.
3. Agresif sanksi, misalnya wanita menampar karena badannya diraba laki laki, tuan rumah
menembak pencuri yang menjarah dirumahnya, wanita memaki maki orang yang
memfitnahnya, dan sebagainya.

Ada tiga faktor utama yang menyebabkan perilaku agresif. Faktor faktor yang dimaksud
adalah:

1. Watak berkelahi. Orang yang merasa lapar, kehausan, bernafsu seksual cenderung
berperilaku agresif. Disini insting berkelahi merealisasi diri dalam wujud agresif.
2. Gangguan atau serangan dari pihak lain membuat orang menjadi marah atau agresif.
Misalnya sedang asyik menonton film yang bagus ada telepon berdering.
3. Putus asa atau tidak mampu mencapai suatu tujuan cenderung membuat orang agresif.

Kesepakatan atau kepatuhan juga merupakan faktor penting dalam proses pendidikan. Ada
beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya kesepakatan yaitu:

1. Penjelasan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan


2. Perasaan takut akan disisihkan oleh teman-teman.
3. Keintiman anggota-anggota kelompok
4. Besarnya kelompok, ialah kelompok yang tidak terlalu besar.
5. Tingkat keahlian anggota kelompok, makin ahli dan makin homogen makin mudah
mendapat kesepakatan.
6. Kepercayaan diri masing-masing anggota. Semakin tinggi kepercayaan terhadap
kemampuan mereka untuk mendapatkan kesepakatan, semakin cepat pula kesempatan itu
tercapai
7. Keakraban dan perbauran anggota-anggota kelompok. Makin mudah mereka berbaur,
makin mudah pula mendapatkan kesepakatan.
8. Komitmen masing-masing anggota kelompok terhadap kewajibannya dalam kelompok.

Sekarang mari kita bicarakan tentang kepemimpinan. Kemampuan berbicara memegang peranan
penting untuk bisa menjadi pemimpin. Dalam proses belajar mengajar, guru adalah seorang
pemimpin kelas dan beberapa anak juga menjadi pemimpin keompok belajarnya masing-masing.
Tugas guru untuk membina anak-anak agar menjadi pemimpin-pemimpin yang baik.

Anda mungkin juga menyukai