TELEKOMUNIKASI
Kata Kunci: Liquidity Ratio, Asset Management Ratio, Debt Management Ratio, Profatability Ratio,
Market Value Ratio, MVA, EVA
Pendahuluan
Seiring dengan semakin berkembangnya zaman, kebutuhan manusia akan telekomunikasi semakin
terasa penting. Sehingga dewasa ini peran para pelaku industri yang bergerak dalam bidang
telekomunikasi semakin terasa nyata. Setiap perusahaan atau lembaga yang bersifat terbuka (go public)
dituntut memberikan kinerja yang tidak hanya bernilai bagi perusahaannya sendiri, melainkan
masyarakat luas. Perusahaan terbuka belum tentu memiliki kinerja yang bagus, hal itu tergantung dari
kondisi perusahaan seperti kinerja keuangan maka perlu adanya penilainya yang harus dilakukan untuk
menentukan sejauh mana kinerja sebuah perusahaan. Pengukuran kinerja keuangan perusahaan ini
dilakukan dengan menggunakan analisis rasio keuangan.
Penyampaian laporan tentang kondisi keuangan perusahaan dan hasil dari operasional perusahaan yang
terbuka dimaksudkan agar setiap pihak internal perusahaan dan pihak eksternal perusahaan dapat
memperolah serta mengetahui informasi laporan keungan yang sangat akurat sehingga dianggap
laporan keuangan dalam perusahaan tersebut sehat. Akan tetapi menjadi tidak berarti jika dalam
penyampaian informasi keuangan tidak disertai dengan adanya analisis terhadap laporan keuangan
tersebut. Melihat adanya pihak internal dan eksternal maka menjadi dua pandangan,bagi pihak internal
perusahaan di masa yag akan dating untuk mengambil keputusan dan kebijakan dimasa yang akan
datang
Sedangkan bagi pihak eksternal perusahaan sendiri informasi laporan keuangan akan dijadikan tolak
ukur dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi di pasar modal.
Tinjauan Literatur
Kinerja Keuangan
Menurut Jumingan (2009) Kinerja keuangan adalah gambaran kondisi keuangan perusahaan pada suatu
periode tertentu baik menyangkut aspek penghimpunan dana maupun penyaluran dana, yang biasanya
diukur dengan indikator kecukupan modal, likuiditas, dan profitabilitas.
Laporan Keuangan
Menurut Saraswati, dkk (2013) Laporan keuangan merupakan sumber informasi yang diperlukan
sebagai salah satu alat untuk menilai keberhasilan manajemen diharapkan pula mampu memberikan
informasi mengenai kemajuan dan perkembangan suatu perusahaan.
Menurut Wild, dalam Analisis Laporan Keuangan (2005) mendefiniskan Analisis Laporan keuangan
sebagai berikut: Analisis laporan keungan adalah aplikasi dari alat dan Teknik analisis untuk laporan
keuangan yang bertujuan umum dan data-data yang berkaitan untuk menghasilkan estimasi dan
kesimpulan yang bermanfaat dalam analisis bisnis.
Rasio Likuiditas adalah rasio yang menunjukan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
atau membayar utang jangka pendeknya (Hery 2016:149).
Kasmir (2013) mengatakan bahwa rasio likiuditas yang biasa digunakan perusahaan adalah sebagai
berikut:
1. Current Ratio
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
× 100%
𝐾𝑒𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
2. Quick ratio
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑎 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 − 𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛
× 100%
𝐾𝑒𝑤𝑎𝑗𝑖𝑏𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟
3. Cash ratio
Asset management ratio sering disebut juga rasio aktivitas atau asset utilization ratio. Rasio ini
bertujuan untuk menjelaskan seberapa efektif sebuah perusahaan menggunakan asetnya dalam
penjualan (Ross, Westerfield, & Jordan, 2003). Baker & Powell (2005) mengatakan asset management
ratio juga disebut sebagai asset efficiency ratio yang digunakan untuk mengukur kemampuan sebuah
perusahaan dalam mengelola aset yang telah digunakan.
Brigham (2011) mengatakan bahwa Aset Manajemen Rasio yang biasa digunakan perusahaan adalah
sebagai berikut:
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
𝐼𝑛𝑣𝑒𝑛𝑡𝑜𝑟𝑦
𝑅𝑒𝑐𝑒𝑖𝑣𝑎𝑏𝑙𝑒𝑠
𝐴𝑛𝑛𝑢𝑎𝑙 𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
𝑁𝑒𝑡 𝐹𝑖𝑥𝑒𝑑 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
Debt Management Rasio mengungkapkan sejauh mana perusahaan menggunakan pembiayaan utang,
dan apakah ada kemungkinan gagal bayar pada menjalani kewajiban utangnya (Brigham 2011:95).
Yang termasuk Debt Management Rasio adalah Debt Ratio, Debt to Equity Ratio, Time Interest Earned
Ratio, Ebitda Coverage Ratio.
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑒𝑠
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑒𝑠
𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦
𝐸𝐵𝐼𝑇
𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑒𝑠𝑡 𝐶ℎ𝑎𝑟𝑔𝑒𝑑
Brigham (2011) mengatakan bahwa Profatibility Rasio yang biasa digunakan perusahaan adalah
sebagai berikut:
𝐸𝐵𝐼𝑇
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠
𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠 − 𝐶𝑂𝐺𝑆
4. BEP
𝐸𝐵𝐼𝑇
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠
5. ROE
6. ROA
Market Value Ratio (Brigham 2011: 110) menghubungkan harga saham perusahaan dengan
pendapatannya, arus kas, dan nilai buku per saham, sehingga memberikan manajemen indikasi tentang
apa yang investor pikirkan tentang kinerja masa lalu dan prospek masa depan perusahaan. Ini termasuk
rasio harga/penghasilan, rasio harga/arus kas, dan rasio pasar/buku.
1. PER
EVA (Economic value added) merupakan metode penilaian kinerja keuangan perusahaan berdasarkan
nilai tambah (Value added). Menurut Tunggal (2001) dalam Iramani dan Erie (2005:3) “EVA/NITAMI
adalah metode manajemen keuangan untuk mengukur laba ekonomi dalam suatu perusahaan yang
menyatakan bahwa kesejahteraan hanya dapat tercipta manakala perusahaan mampu memenuhi semua
biaya operasi (operating cost) dan biaya modal (cost of capital)”.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif, dengan metode pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan teknik dokumentasi dan kepustakaan.
Teknik analisis data yang digunakan adalah rasio-rasio kinerja keuangan yang terdiri dari Liquidity
Ratio, Asset Management Ratio, Debt Management Ratio, Profatability Ratio, Market Value Ratio,
MVA, EVA. Sedangkan lokasi penelitian di PT. Telkom Indonesia TBK, dan PT Indosat TBK.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diambil dalam periode 2016 sampai 2020. Penelitian
ini memerlukan data sebagai berikut:
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah dua perusahaan Telekomunikasi di Indonesia, yang
terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia), khususnya PT. Telekom Indonesia. Tbk dan PT. Indosat. Tbk.
Pada penilitian ini, peniliti mengambil data untuk dijadikan bahan analisis melalui (www.wsj.com).
Tempat objek penelitian ini ialah suatu perusahaan yang bergerak dalam
layanan dan komunikasi yaitu PT. Telkom Tbk dan PT. Indosat (Indosat) Tbk dalam periode 2016-
2020.
Hasil Analisis dan Pembahasan
perusahaan dalam selang lima tahun dikategorikan dalam keadaan “kurang baik” Rata-rata Current
Ratio PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, adalah sebesar 96,9% . Untuk tahun 2016 adalah sebesar
147,6%, turun pada tahun 2017 menjadi 104,8%, kemudian turun pada tahun 2018 menjadi 93,5%,
kemudian turun lagi pada tahun 2019 dan 2020 yakni menjadi 71,5% dan 67,3%. Penurunan yang
terjadi dipicu oleh naiknya beban yang masih harus dibayar perusahaan, dan utang usaha. Menurut
Kasmir (2008) standar industry Current Ratio adalah sebanyak 2 kali. Mengacu pada standar
industri dikatakan bahwa rata-rata rasio lancar perusahaan berada dibawah rata-rata industry atau
perusahaan hanya memiliki asset lancar sekitar 0,97 kali dari total kewajiban lancar, artinya aktiva
lancer mampu menjamin kewajiban lancar hanya sebanyak 0,97 kali saja sehingga dapat
disimpulkan bahwa kinerja keuangan dalam selang lima tahun dikategorikan “kurang baik”.
b. Quick Ratio
Quick Ratio selama lima tahun adalah 95,5 % dimana jika melihat rasio yang dicapai tahun 2016
adalah sebesar 145,8% kemudian turun menjadi 103, 4% pada tahun 2018 kemudian turun menjadi
92% dan pada tahun 2019 dan 2020 juga mengalami penurunan menjadi 70.5 % dan 66%.
Penurunan yang terjadi dipicu oleh naiknya kewajiban lancar dari tahun ke tahun. Rata-rata standar
industry menurut Kasmir (2008) yaitu 150 % atau 1,5 kali, dengan melihat rata-rata rasio cepat
diatas maka dapat disimpulkan bahwa Quick Ratio perusahaan berada dibawah standar indutsri.
Artinya setiap Rp. 1 kewajiban lancar dapat dijamin oleh Rp. 0,96 aset sangat lancar. Dengan ini
dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan dalam keadaan “Kurang Baik”.
c. Cash Ratio
Rata-rata Rasio Kas PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk selama 5 tahun terakhir adalah sebesar
49,3 %. Dengan Rasio Kas pada tahun 2016 adalah sebesar 92,1% turun sebanyak 55,4%
menjadi 37,7% pada tahun 2018, kemudian terjadi sedikit penurunan pada tahun 2019 yakni
menjadi 31,3% dan untuk tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 29,8%. Penurunan yang
terjadi dipicu oleh naiknya kewajiban lancar dan turunnya kas-dan setara kas pada tahun-tahun
sebelumnya. Menurut Kasmir (2008) standar industry rasio kas yaitu sebesar 50%. Dengan
melihat rata-rata rasio kas perusahaan selama 5 tahun terakhir sebesar 49,3 kali, artinya setiap
Rp. 1 kewajiban lancar dapat dijamin oleh Kas dan Setara kas sebesar Rp. 0,49. Dan
disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan dilihat dari indikator Kas dan Setara kas
ternyata berada dalam keadaan “cukup baik” karena hampir mencapai standar industry cash
ratio.
2. Liquidity Ratio PT. Indosat. Tbk
a. Current Ratio
perusahaan dalam selang lima tahun dikategorikan dalam keadaan “kurang baik” Rata-rata Current
Ratio PT Indosat Tbk, adalah sebesar 39,7% . Untuk tahun 2016 adalah sebesar 42,3%, dan terjadi
kenaikan tahun 2017 menjadi 58,5%, kemudian turun kembali pada tahun 2018 menjadi 26,2%,
kemudian naik lagi pada tahun 2019 menjadi 44,6% dan 2020 turun yakni menjadi 27,03%.
Penurunan yang terjadi dipicu oleh naiknya beban yang masih harus dibayar perusahaan, dan utang
usaha. Menurut Kasmir (2008) standar industry Current Ratio adalah sebanyak 2 kali. Mengacu
pada standar industri dikatakan bahwa rata-rata rasio lancar perusahaan berada dibawah rata-rata
industry atau perusahaan hanya memiliki asset lancar sekitar 0,40 kali dari total kewajiban lancar,
artinya aktiva lancer mampu menjamin kewajiban lancar hanya sebanyak 0,40 kali saja sehingga
dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan dalam selang lima tahun dikategorikan “tidak baik”.
b. Quick Ratio
Quick Ratio selama lima tahun adalah 39,4 % dimana jika melihat rasio yang dicapai tahun 2016
adalah sebesar 41,9% kemudian naik menjadi 58,0% pada tahun 2017 kemudian turun menjadi
26,0% dan pada tahun 2018 dan 2019 mengalami kenaikan menjadi 44,5 % dan turun kembali
menjadi 26,9%. Quick ratio ini merupakan perhitungan hutang jangka pendek yang lebih teliti
karena nilai persediaan dikurangi dari nilai total aktiva lancar yang dianggap sedikit ditak likuid
dan kemungkinan akan menjadi sumber kerugian. Rata-rata standar industry menurut Kasmir
(2008) yaitu 150 % atau 1,5 kali, dengan melihat rata-rata rasio cepat diatas maka dapat
disimpulkan bahwa Quick Ratio perusahaan berada dibawah standar indutsri. Artinya setiap Rp. 1
kewajiban lancar dapat dijamin oleh Rp. 0,39 aset sangat lancar. Dengan ini dapat disimpulkan
bahwa kinerja keuangan perusahaan dalam keadaan “Kurang Baik”.
c. Cash Ratio
Rata-rata Rasio Kas PT Indosat, Tbk selama 5 tahun terakhir adalah sebesar 12,3 %. Dengan
Rasio Kas pada tahun 2016 adalah sebesar 10,3 % dan naik pada tahun 2017 sebanyak 11%
menjadi 5,4% pada tahun 2018, kemudian terjadi kenaikan kembali pada tahun 2019 yakni
menjadi 26,7% dan untuk tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 7,9%. Penurunan yang
terjadi dipicu oleh naiknya kewajiban lancar dan turunnya kas-dan setara kas pada tahun-tahun
sebelumnya. Menurut Kasmir (2008) standar industry rasio kas yaitu sebesar 50%. Dengan
melihat rata-rata rasio kas perusahaan selama 5 tahun terakhir sebesar 12,3 kali, artinya setiap
Rp. 1 kewajiban lancar dapat dijamin oleh Kas dan Setara kas sebesar Rp. 0,12. Dan
disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan dilihat dari indikator Kas dan Setara kas
ternyata berada dalam keadaan “tidak baik”.
3. Asset Management Ratio PT. Telekom Indonesia. Tbk
a. Inventory Turn Over
Semakin tinggi nilai Inventory Turn Over maka perusahaan dikatakan efisien dalam melakukan
manajemen inventorynya. Dilihat dari hasil analisis data pada tabel diatas, Inventory Turn Over
PT Telekomunikasi Indonesia (persero), Tbk pada tahun 2016 adalah 199,2 kali, naik menjadi
203,3 kali pada tahun 2017, dan pada tahun 2018 terjadi penurunan yakni menjadi 182,4 kali
dan tahun 2019 naik kembali sebesar 232 kali dan 2020 turun menjadi 139 kali dengan rata-rata
selang lima tahun terakhir (2016-2020) adalah sebesar 191 kali ini artinya sediaan barang
dagangan diganti sebanyak 191 kali atau terjadi penjualan persediaan sebanyak 191 kali dalam
lima tahun terakhir. Dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perusahaan berada
dalam keadaan “Cukup Baik” karena perusahaan dikatakan efektif dalam mengendalikan
persediaannya dan menjual persediaan yang dibelinya.
b. Day Sales Outstanding
Melalui perhitungan di atas ternyata DSO memiliki rata-rata 33 hari selama 5 tahun terakhir
sebelum piutang terkumpul, di mana secara umum DSO di bawah nilai 45 dianggap rendah.
c. Fixed Assets Turn Over
Fixed Assets Turn Over perusahaan pada tahun 2016 dan 2017 adalah sebesar 1,3 kali,
kemudian pada tahun 2015 naik 0,04 dari menjadi 1,03 kali, kemudian untuk tahun 2018 terjadi
penurunan sebesar 1,2 kali dan pada tahun 2019 dan 2020 terjadi penurunan lagi menjadi 1,1
dan 1,0. Dengan melihat analisis data tahun 2016-2020 diketahui bahwa kelima tahun tersebut
memiliki rasio peputaran aset tetap berada dibawah rata-rata industry hal
ini disebabkan oleh perusahaan yang memiliki aset tetap yang besar akan tetapi perusahaan
belum memanfaatkan aset untuk menciptakan penjualan. Menurut Kasmir (2008) rata-rata
standar industry untuk Perputaran Aset Tetap adalah 5 kali. Maka dapat disimpulkan bahwa
kinerja keuangan perusahaan selang lima tahun terakhir dalam keadaan “kurang baik” karena
rata-rata selama lima tahun yang dicapai oleh perusahaan hanya 1,02 dan dikatakan berada
dibawah rata-rata standar industry. Artinya, setiap Rp. 1 aset tetap turut berkontribusi
menciptakan Rp. 1,02 penjualan.
d. Total Asset Turnover Ratio
Dari hasil analisis data pada tabel diatas, TATO PT Telekomunikasi Indonesia (persero), Tbk
tahun 2016 dan 2017 adalah 0,65 kali, tahun selanjutnya yakni tahun 2018 turun menjadi 0,63.
Penurunan kembali terjadi pada tahun 2019 dan 2020 sebesar 0,61 dan 0,55. Penurunan yang
terjadi dikarenakan perusahaan memiliki kelebihan total aset dimana perusahaan belum
memanfaatkan total aset secara maksimal untuk menciptakan penjualan. Dengan rata-rata
TATO perusahaan tahun 2016- 2020 adalah 0.62 kali dan dengan melihat standar industry
menurut Kasmir (2008) sebesar 2 kali dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan
cenderung berada dalam keadaan “Kurang Baik” karena rata-rata TATO berada dibawah
standar industry. Artinya, setiap Rp. 1 total aset hanya berkontribusi menciptakan Rp. 0,62
penjualan saja.
4. Asset Management Ratio PT. Indosat. Tbk
a. Inventory Turn Over
Semakin tinggi nilai Inventory Turn Over maka perusahaan dikatakan efisien dalam
melakukan manajemen inventorynya. Dilihat dari hasil analisis data pada tabel diatas, Inventory
Turn Over PT Indosat (persero), Tbk pada tahun 2016 adalah 368,2 kali, dan turun pada tahun
2017 menjadi 340,8. Naik kembali pada tahun 2018 dan 2019 menjadi 283, 2 dan 888,2. Tajun
2020 Inventory Turn Over turun menjadi 701,4. Dengan rata- rata 5 tahun terkahir sebesar 556
kali. Ini artinya terjadi penjualan persediaan sebanyak 556 kali dalam lima tahun terakhir.
Dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perusahaan dalam keadaan “baik” karena
perusahaan dikatakan efektif dalam mengendalikan persediannya.
Akan tetapi Jika rasio turnover terlalu tinggi, itu mungkin berarti Indosat tidak memiliki cukup
persediaan untuk unit tersebut. Masalah ini dapat diperburuk dengan penundaan pengiriman.
b. Day Sales Outstanding
Melalui perhitungan di atas ternyata DSO memiliki rata-rata 41 hari selama 5 tahun terakhir
sebelum piutang terkumpul, di mana secara umum DSO di bawah nilai 45 dianggap rendah.
c. Fixed Assets Turn Over
Fixed Assets Turn Over perusahaan Indosat pada tahun 2016 adalah sebesar 0,7 kali dan
meningkat pada tahun 2017 menjadi 0,8. Untuk tahun 2018 -2020 Fix Assets Turn Over
memiliki nilai yang sama sebesar 0,6 kali. Dengan melihat analisis data tahun 2016 -2020
diketahui bahwa kelima tahun tersebut memiliki rastio perputaran aset tetap berada dibawah
rata-rata industry. Rasio fixed assets turnover perusahaan yang berada dibawah rata- rata
industri menunjukan bahwa perusahaan dapat dikatakan tidak mampu bersaing dalam hal
efektivitas penggunaan aset tidak lancar dalam menghasilkan penjualan. Perputaran aset tetap
rata-rata industri sendiri adalah 5 kali.
d. Total Asset Turnover Ratio
Dari hasil analisis data pada tabel diatas, TATO PT Indosat (persero), Tbk tahun 2016 sebesar
0,57. Meningkat pada tahun 2017 menjadi 0,59 kali,Akan tetapi terjadi penurunan pada tahun
2018 dan 2019 menjadi 0,44 kali dan 0,22 kali. Dan terdapat peningkatan pada tahun 2020
menjadi 0,44 kali. Dengan rata- rata TATO perusahaan tahun 2016-2020 adalah 0,49 kali.
standar industry menurut Kasmir (2008) sebesar 2 kali dapat disimpulkan bahwa kinerja
keuangan perusahaan cenderung berada dalam keadaan “Kurang Baik” karena rata-rata TATO
berada dibawah standar industry. Artinya, setiap Rp. 1 total aset hanya berkontribusi
menciptakan Rp. 0,49 penjualan saja.
5. Debt Management Ratio PT. Telekomunikasi Indonesia TBK
a. Debt Ratio
Debt ratio perusahaan setiap tahunnya mengalami fluktuasi dimana pada tahun 2016 debt
ratio yang dicapai adalah sebesar 42,24%. Dan mengalami peningkatan di tahun 2017 menjadi
43.51%. Kemudian turun pada tahun 2018 menjadi 43,11%. Dan terus mengalami
peningkatan pada tahun 2019 -2020 menjadi 47% dan 51.05%. Dengan rata-rata Debt ratio
dalam 5 tahun terakhir adalah 45,18%. Menurut Kasmir (2008) standar industri dari debt ratio
adalah sebesar 35%. Dengan Debt Ratio diatas rata-rata industri menyiratkan bahwa resiko
keuangan perusahaan cukup besar.
b. Debt to Equity Ratio
Standar industri untuk debt to equity ratio (DER) menurut Kasmir (2008:164) adalah sebesar
90%. Jika melihat table diatas DER PT. Telekomunikasi Indonesia TBK memiliki rata-rata
DER 88,2 % dalam lima tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa Kinerja keuangan
perusahaan selama lima tahun terakhir berada dibawah standar industri dan dalam keadaan “
Cukup baik”.
c. Time Interest Earned Ratio
Pada tahun 2016 Time Interest Earned yang dicapai adalah sebesar 14,9 kali yang mana berarti
sedikit diatas standar industri, kemudian meningkat untuk tahun 2016 menjadi 16 kali, setelah
itu dari tahun 2018 dan 2019 mengalami penurunan dari 10,9 kali menjadi 10,0 kali. Dan
terjadi penurunan kembali pada tahun 2020 menjadi 9,7 kali.. Dengan melihat rata- rata
industri menurut Kasmir (2008) untuk Time Interest Earned adalah 10 kali, dengan rata- rata
Time Interest Earned tahun 2016-2020 PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, yakni sebesar 12,3
kali maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan berada dalam keadaan
“Baik” artinya beban bunga dapat ditutup 12 kali dari laba sebelum Bunga dan pajak atau
dengan kata lain bahwa perusahaan memiliki kemampuan dari laba sebelum Bunga dan pajar
membayar bunga sebanyak 12,3 kali.
d. EBITDA Coverage Ratio
Rata- rata Debt Ratio PT Indosat Tbk adalah 75,53% pada 5 tahun terakhir dari tahun 2016
hingga 2020, Menurut Kasmir (2008) standar industri dari debt ratio adalah sebesar 35%.
Dengan Debt Ratio diatas rata-rata industri menyiratkan bahwa resiko keuangan PT Indosat
memiliki resiko yang tinggi.
b. Debt to Equity Ratio
Standar industri untuk debt to equity ratio (DER) menurut Kasmir (2008:164) adalah sebesar
90%. Jika melihat table diatas DER PT. Indosat TBK memiliki rata-rata DER 316,6 % dalam
lima tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa Kinerja keuangan perusahaan selama
lima tahun terakhir berada dibawah standar industri dan dalam keadaan “Tidak Baik”.
Dengan Debt to Equity Ratio diatas 100% akan menghamabat Kreditur memberi pinjaman
tambahan terhadap Indsat, karena resikonya akan bertambah besar juga.
Melihat rata-rata diatas, TIE PT Indosat Tbk adalah 1 kali,Dengan melihat rata- rata industri
menurut Kasmir (2008) untuk Time Interest Earned adalah 10 kali, dengan rata- rata Time
Interest Earned tahun 2016-2020 PT Indosat Tbk, yakni sebesar 1 kali maka dapat
disimpulkan bahwa kinerja keuangan perusahaan berada dalam keadaan “Tidak Baik” artinya
dengan penurunan TIE akan menyebabkan masalah dan berujung pada kegagalan membayar
bunga.
d. EBITDA Coverage Ratio
Berdasarkan pehitungan diatas, rata-rata Ebitda Coverage Ratio PT. Indosat TBK adalah
sebesar 1,7. Dimana ini berarti dibawah rata-rata industri yaitu sebesar 4,3 (Brigham,2013).
7. Profitability Ratio PT. Telekomunikasi Indonesia TBK
a. Net Profit Margin
Hasil analisis pada table diatas menggambarkan Net Profit Margin PT Telekomunikasi
Indoesia, Tbk diperoleh pada tahun 2016 adalah sebesar 16,6%, dan terjadi peningkatan
pada tahun 2017 menjadi 17,3%. Pada tahun 2018 dan 2019 memiliki nilai yang sama yaitu
13,8% Dan terjadi peningkatan di tahum 2020 sebesar 15,2%. Dengan rata-rata selama lima
tahun sebesar 15%. Berdasarakan standar industri Net Profit Margin menurut Kasmir (2008)
adalah 20%, maka dapat disimpulkan bahwa NPM perusahaan dalam keadaan kurang baik
karena berada dibawah rata-rata industri. Artinya setiap RP 1 penjualan bersih turut
berkontribusi menciptakan RP 15 laba bersih.
b. Operating Profit Margin
Dari data perhitungan pada table, menunjukkan marjin laba operasional yang diperoleh
pada than 2016 adalah 36%, turun menjadi 34,6% pada tahun 2017. Pada tahun 2018
terjadi penurunan kembali menjadi 29,3%. Untuk tahun 2019 dan 2020 keduanya
mengalami kenaikan menjadi 31,2% dengan nilai yang sama. Dengan rata-rata OPM
selama 5 tahun terakhir adalah 33%. Dapat disimpulkan bahwa OPM perusahaan dalam
keadaan “Baik” karena berada di atas rata-rata industri yakni sebesar 30%
(Kasmir,2008).
c. Gross Profit Margin
Marjin Laba Kotor perusahaan pada tahun 2016 dan 2017 memiliki nilai yang sama yaitu
43%, dan pada tahun 2018 hingga 2020 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2018 GPM yang
diperoleh adalah sebesar 37,1%, kemudian mengalami pengingkatan pada tahun 2019
menjadi 38,9% dan kembali lagi terjadi peningkatan pada tahun 2020 sebesar 39,5%.
Dengan rata-rata GPM pada 5 tahun terkahir adalah 40,4%. Rata-rata standar Industri GPM
menurut Kasmir (2008) adalah 30%. Maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan
perusahaan dilihat dari GPM berada dalam keadaan “cukup baik”karena berada sedikit
diatas rata-rata industri.
d. Basic Earning Point (BEP) ratio
Hasil ini menunjukkan rata-rata ROE pada tahun 2016-2020 adalah sebesar 20,8% dan rata-
rata industry menurut Kasmir (2008) untuk ROE 40 % ternyata berada di bawah standar
industri, hal ini menunjukkan perusahaan belum maksimal dalam menghasilkan laba dari
setiap dan yang tertanam dalam total ekuitas. Artinya setiap Rp 1 ekuitas turut berkontribusi
menciptakan Rp 20,8 laba bersih. Maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keungan
perusahaan dilihat dari ROE dalam keadaan “Kurang Baik”.
f. ROA
Return on Assets perusahaan pada tahun 2016 adalah10,8%, kemudian terjadi kenaikkan
menjadi 11,2% pada tahun 2017. Dan menurun pada tahun 2018 menjadi 8,7%. Kemudian
menurun kembali pada tahun 2019 dengan persentase yang sama di tahun 2020 sebesar
8,4% Penurunan yang terjadi dipicu oleh naiknya total aktiva serta turunnya laba bersih
selain itu perusahaan juga menunjukkan ketidakmampuan dalam memanfaat aseet secara
efektif dengan memperoleh laba. Dengan meilhat rata-rata ROA tahun 2016- 2020 sebesar
9,5% dan dengan melihat rata-rata standar industri menurut Kasmir (2008) untuk ROA
adalah 30% maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keungan perusahaan dilihat dari ROA
berada dalam keadaan “ Kurang baik”.
8. Profitability Ratio PT. Indosat TBK
a. Net Profit Margin
Hasil analisis pada table diatas menggambarkan Net Profit Margin PT Indosat, Tbk
diperoleh pada tahun 2016 dan 2017 adalah sebesar 3,8%, dan terjadi peningkatan pada
tahun 2018 menjadi 10,4%. Pada tahun 2019 mengalami penurunan menjadi 6,0% dan pada
tahun 2020 memiliki penurunan yang signifikan sebesar 2,6%.Berdasarakan standar industri
Net Profit Margin menurut Kasmir (2008) adalah 20%, maka dapat disimpulkan bahwa
NPM perusahaan dalam keadaan tidak baik karena berada dibawah rata-rata industri.
Artinya setiap RP 1 penjualan bersih turut berkontribusi menciptakan RP 5 laba bersih.
Dari data perhitungan pada table, menunjukkan marjin laba operasional yang diperoleh
pada than 2016 adalah 13,3%, turun menjadi 13,1% pada tahun 2017. Pada tahun 2018
terjadi penurunan kembali menjadi 7,6 %. Pada tahun 2019 turun menjadi 6,7% dan tahun
2020 menurun menjadi 5,2%. Dengan rata-rata OPM selama 5 tahun terakhir adalah 9%.
Dapat disimpulkan bahwa OPM perusahaan dalam keadaan “Kurang Baik” karena berada
di bawah rata-rata industri yakni sebesar 30% (Kasmir,2008).
c. Gross Profit Margin
Marjin Laba Kotor perusahaan pada tahun 2016 dan 2017 memiliki nilai 21,2% dan 21,4%,
dan pada tahun 2018 hingga 2020 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2018 GPM yang
diperoleh adalah sebesar 2,6%, kemudian mengalami pengingkatan pada tahun 2019
menjadi 8,6% dan kembali lagi terjadi peningkatan pada tahun 2020 sebesar 10,6%.
Dengan rata-rata GPM pada 5 tahun terkahir adalah 12,9%. Rata-rata standar Industri GPM
menurut Kasmir (2008) adalah 30%. Maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan
perusahaan dilihat dari GPM berada dalam keadaan “kurang baik”karena berada dibawah
rata-rata industri.
d. Basic Earning Point (BEP) ratio
Hasil ini menunjukkan rata-rata ROE pada tahun 2016-2020 adalah sebesar 11,3% dan
rata-rata industry menurut Kasmir (2008) untuk ROE 40 % ternyata berada di bawah
standar industri, hal ini menunjukkan perusahaan belum maksimal dalam menghasilkan
laba dari setiap dan yang tertanam dalam total ekuitas. Artinya setiap Rp 1 ekuitas turut
berkontribusi menciptakan Rp 11,3 laba bersih. Maka dapat disimpulkan bahwa kinerja
keungan perusahaan dilihat dari ROE dalam keadaan “Kurang Baik”.
f. ROA
Return on Assets perusahaan pada tahun 2016 dan 2017 adalah2,2%, kemudian terjadi
kenaikkan menjadi 4,5% pada tahun 2018. Dan menurun pada tahun 2019 menjadi 2,5
dan pada tahun 2020 menurun kembali jadi 1,1%.
Dan menurun pada tahun 2018 menjadi 8,7%. Kemudian menurun kembali pada tahun
2019 dengan persentase yang sama di tahun 2020 sebesar 8,4% Dengan meilhat rata-rata
ROA tahun 2016- 2020 sebesar 2,5% dan dengan melihat rata-rata standar industri
menurut Kasmir (2008) untuk ROA adalah 30% maka dapat disimpulkan bahwa kinerja
keuangan perusahaan dilihat dari ROA berada dalam keadaan “ Tidak baik”.
Hal ini menunjukkan tingkat efisien dan efektivitas penggunaan aktiva perusahaan untuk
menghasilkan laba sangat kecil pada industrinya. Dan jika dibandingkan dengan kinerja
perusahaan pada tahun-tahun sebelumnya, rasio ROA cenderung menurun setiap
tahunnya, sehingga dapat dinilai rasio ROA perusahaan tidak baik.
9. Market Value Ratio PT Telekomunikasi Indonesia TBK
Rata-Rata PER PT Telekomunikasi Indonesia TBK pada 5 tahun terakhir adalah 19,1 kali,
dimana rata-rata PER Industri Telekomunikasi adalah 6, 26 kali. Hal ini mengartikan bahwa
PER Telekomunikasi Indonesia (TLKM) berada diatas rata-rata industri. Dengan demikian nilai
PER TLKM dikategorikan tinggi.
Nilai rasio PBV rata-rata TLKM adalah 3,64 kali yang mana mengindikasikan harga saham di
TLKM cukup tinggi, yang mana rata-rata PBV industri adalah 1,5 kali.
Jadi pada dasarnya rasio nilai pasar TLKM memiliki prospek yang bagus dalam jangka Panjang
atau memiliki nilai pertumbuhan yang baik.
10. Market Value Ratio PT Indosat TBK
Rata-Rata PER PT Indosat TBK pada 5 tahun terakhir adalah 11,9 kali, dimana rata-rata PER
Industri Telekomunikasi adalah 6,26 kali. Hal ini mengartikan bahwa PER Indosat (ISAT)
berada diatas rata-rata industri. Dengan demikian nilai PER ISAT dikategorikan cukup tinggi.
Nilai rasio PBV rata-rata ISAT adalah 1,2 kali yang mana mengindikasikan harga saham di
ISAT tergolong murah karena masih dibawah rata-rata industri, yang mana rata-rata PBV
industri adalah 1,5 kali.
Jadi pada dasarnya rasio nilai pasar ISAT memiliki prospek yang kurang bagus dalam jangka
Panjang atau memiliki nilai pertumbuhan yang cukup baik.
Sementara jika melihat hasil perhitungan Market Value Added (MVA), PT.Telkom
Indonesia Tbk. juga mampu menciptakan nilai MVA yang positif pada tahun 2016-
2020. Maka dapat dikatakan bahwa perusahaan berhasil meningkatkan nilai modal
yang telah diinvestasikan oleh penyandang dana (pemegang saham).
Melihat hasil perhitungan data diatas, dapat dilihat bahwa pada tahun 2016 -2019 nilai
Economic Value Added (EVA) PT.Indosat Tbk memiliki nilai yang positif, maka pada
posisi ini berarti manajemen perusahaan telah berhasil menciptakan nilai tambah
ekonomis bagi perusahaan. Angka yang cukup besar tersebut menunjukkan
kemampuan dalam memperoleh keuntungan (profitabilitas) perusahaan adalah baik,
dimana manajemen mampu menciptakan laba yang diharapkan oleh pemegang saham.
Akan tetapi pada tahun 2020 EVA PT. Telekomunikasi Indonesia TBK memiliki angka
negatif. Nilai EVA yang negatif mengindikasikan perusahaan berada dalam situasi yang tidak
baik dan menyebabkan keuntungan perusahaan habis digunakan untuk membayarkan beban-
beban.
Sementara jika melihat hasil perhitungan Market Value Added (MVA), PT.Telkom
Indonesia Tbk. juga mampu menciptakan nilai MVA yang positif pada tahun 2016-
2020. Maka dapat dikatakan bahwa perusahaan berhasil meningkatkan nilai modal
yang telah diinvestasikan oleh penyandang dana (pemegang saham).
MVA & EVA Melihat hasil perhitungan Berdasarkan hasil penelitian dapat
data diatas, dapat dilihat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan
bahwa pada tahun 2016 nilai kinerja Economic Value Added dan
Market Value Added secara simultan
Economic Value Added
pada PT. Telekomunikasi Indonesia.
(EVA) PT.Telekomunikasi Tbk dan PT. Indosat dan keduanya
Indonesia Tbk memiliki nilai berada dalam kategori MVA positif;
yang positif, Maka dapat
dikatakan bahwa perusahaan
berhasil meningkatkan nilai
modal yang telah
diinvestasikan oleh
penyandang dana (pemegang
saham).
14. Kesimpulan
• hasil kinerja keuangan PT. Telekomunikasi Indonesia dan PT. Indosat dangat
signifikan, PT Telkom lebih unggul dibandingkan PT Indosat hal ini dpat dilihat
walaupun terkadang keduanya memiliki tren yang negative, tapi PT Telekomunikasi
Indonesia memiliki kinerja yang lebih baik dan mampu menghasilkan laba yang lebih
positif sehingga bisa tetap beroperasi sampai sekarang. Dan PT Indosat terdapat
perbedaan yang signifikan salah satunya dalam mengasilkan laba.
• Dari hasil analisis data yang telah diperhitungkan, dapat dilihat bahwa
rasio likuiditas dan rasio profitabilitas pada PT. Telekomunikasi TBK dan PT Indosat,
Tbk samasama mengalami ketidakstabilan (berfluktuasi) pada tiap tahunnya. Namun
perbedaannya pada rasio likuiditas untuk PT Indosat
memiliki nilai yang sangat drastis dibandingkan dengan PT Telekomunikasi Indonesia.
15. Saran
• Dari hasil analisis, kinerja dari masing- masing perusahaan perlu meningkatkan rasio
keuangannya mengingat keduanya mengalami penurunan di setiap rasionya. Dan untuk
PT Telekomunikasi Indonesia mempunyai nilai yang cukup baik dibandingkan dengan
PT Indosat.TBK.
• Untuk meningkatan kinerja keuangan Perusahaan PT Indosat Tbk dan PT
Telekomunikasi Indonesia Tbk dengan menggunakan ROA, kedua perusahaan tersebut
harus mengimbangkan antara aset yang dimiliki dengan laba yang diperoleh agar nilai
ROA dapat melebihi standar industri yang sudah ada.
• Untuk meningkatkan kinerja keuangan dengan menggunakan ROE, kedua perusahaan
harus mengimbangi antara penjualan yang dimiliki dengan laba yang diperoleh agar
nilai ROE lebih dari standar yang sudah ada.
• PT. Indosat, Tbk harusnya mengkaji dan menimbang ulang dalam hal
menawarkan tarifnya kepada konsumen agar pendapatan yang diperoleh
dapat diraih dengan lebih optimal dan juga harus memperbaiki jaringan
infrastrukturnya.
• Diharapkan melalui hasil penelitian dapat mempertimbangkan untuk melakukan
investasi kepada PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT. Indosat Tbk. Dalam hal
ini investor maupun calon investor juga tetap harus cermat dalam menilai kinerja
keuangan yang dihasilkan perusahaan sehingga bisa mengetahui bagaimana prospek
bisnis perusahaan kedepannya.
Kelebihan rasio keuangan menurut Harahap 2011:298 antara lain sebagai berikut:
1. Rasio keuangan merupakan angka-angka atau ikhtisar statistik yang lebih mudah dibaca dan
ditafsirkan.
2. Rasio keuangan menjadi pengganti yang lebih sederhana dari informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan yang sangat rinci dan rumit.
a. Mengetahui posisi keuangan ditengah industri lain.
d. Lebih mudah membandingkan perusahaan yang satu dengan perusahaan lain atau
melihat perkembangan perusahaan secara periodik time series. 24 7. Lebih mudah
melihat tren perusahaan serta melakukan prediksi dimasa yang akan datang.
Dalam praktiknya, walaupun rasio keuangan yang digunakan memiliki fungsi dan kegunaan
yang cukup banyak bagi perusahaan dalam mengambil keputusan, bukan berarti rasio
keuangan yang dibuat sudah menjamin 100 kondisi dan posisi keuangan yang sesungguhnya.
Artinya kondisi sesungguhnya belum tentu terjadi seperti hasil perhitungan yang dibuat.
Memang dengan hasil rasio yang diperoleh, paling tidak dapat diperoleh gambaran yang
seolah-olah sesungguhnya terjadi.
Namun, belum dapat dipastikan menjamin kondisi dan posisi keuangan yang sebenarnya. Hal
itu dikarenakan rasio-rasio keuangan yang digunakan memiliki banyak kelemahan. Ada
beberapa keterbatasan analisis rasio keuangan menurut Harahap 2011:298 yaitu sebagai
berikut:
1. Kesulitan didalam memilih rasio yang tepat yang dapat digunakan untuk kepentingan
pemakainnya.
2. Keterbatasan yang dimiliki akuntansi atau laporan keuangan juga menjadi keterbatasan teknik
ini seperti:
• Bahan perhitungan rasio atau laporan keuangan itu banyak mengandung taksiran dan
judgment yang dapat dinilai bias atau subjektif.
• Nilai yang terkandung didalam laporan keuangan dan rasio adalah nilai perolehan
cost bukan harga pasar.
• Klasifikasi dalam laporan keuangan bisa berdampak pada angka rasio.
• Metode pencatatan yang tergambar dalam standar akuntansi bisa diterapkan berbeda.
3. Jika data untuk menghitung rasio tidak tersedia, akan menimbulkan kesulitan menghitung
rasio.
5. Dua perusahaan dibandingkan bisa saja teknik dan standar akuntasi yang dipakai tidak sama.
Oleh karenanya jika dilakukan perbandingan bisa menimbulkan kesalahan.
Referensi
Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
https://www.wsj.com/market-data/quotes/id/tlkm
https://www.wsj.com/market-data/quotes/id/ISAT
Lampiran