Tentu saja tidak mudah menghadapi kenyataan hidup yang seperti itu. Hidup
menjadi seolah dipenuhi oleh bayang-bayang kematian. Terlebih, pemuda itu
hanya hidup seorang diri—hubungannya dengan ayahnya tidak terlalu baik
dan mereka seudah berpisah sepanjag empat tahun lamanya, sedangkan
ibunya sudah meninggal karena mengidap sakit yang sama dengan pemuda
itu saat ini—kecuali hanya ditemani oleh seekor kucing berwarna abu-abu
bernama Kubis.
Meskipun iblis Aloha digambarkan sebagai sosok yang jenaka dan senang
tertawa, permintaannya untuk menghilangkan benda-benda semakin sulit
untuk dipenuhi oleh pemuda tersebut. Benda-benda yang dihlangkan berupa
cokelat, telepon, film, lalu jam.
“Selama tiga puluh tahun hidupku ini, pernahkah aku melakukan sesuatu
yang benar-benar penting?” (hal. 160)
Lantas keajaiban terjadi pada Kubis, kucingnya yang gemuk dan berwarna
abu-abu itu. Bagaimanapun, iblis tetaplah iblis yang punya kemampuan
untuk mengelabuhi manusia. Dalam hal ini, tiba-tiba saja Kubis bisa berbicara
dengan bahasa manusia, meskipun tentu saja hal ini hanya bisa dipahami
oleh pemiliknya. Dan benda yang harus dihilangkan selanjutnya adalah
kucing. Tentu saja tidak mudah bagi pemuda itu untuk memutuskan.
“bahwa sebenarnya bukan manusia yang memelihara kucing, melainkan
kucinglah yang rela mendampingi manusia.” (hal. 192)
Jadi, apakah kamu mau tetap hidup jika kucing lenyap dari dunia? Adalah
pertanyaan yang sulit untuk segera diputuskan.
Novel ini menjadi sangat menarik karena hal-hal sederhana yang ditawarkan
seringkali luput dari perhatian. Tentang hal-hal yang ingin dilakukan sebelum
mati misalnya. Karena seringkali, segala sesuatu terasa terlalu jauh untuk
dijangkau ketika kesempatan masih sangat mungkin sebagai harapan demi
harapan yang diberikan hidup, sehingga pada akhirnya seseorang justru lebih
mungkin untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya kurang penting.