Anda di halaman 1dari 26

Prosa fiksi merupakan hasil cipta pengarang berdasarkan bahan bahan yang diangkat dan

realitas atau pengalaman hidup penulis atau hasil penghayatan penulis terhadap kehidupan
disekitarnya, dalam memahami sebuah naskah drama secara menyeluruh kita dapat
melakukan dengan cara fokus terhadap gejala gejala atau dialog yang ditunjukkan oleh
karya sastra ataupun kita dapat membandingkan dengan konteks konteks lain yang ada
diluar karya sastra tersebut khususnya
pada naskah drama. Sehingga untuk dapat memahami prosa fiksi secara mendalam dalam
kawasan kontekstual ini diperlukan aktivitas dialog secara intensif antara penghayatan dan
pemahaman terhadap apa yang ditulis oleh penulis dengan pengetahuan dan pengalaman hidup
seorang apresiator.

Dalam naskah drama berjudul godlob karya Danarto ini terdapat pembuktian
pembuktian logika realitas sekumpulan manusia yang mempertanyakan keeksistensian
dirinya dalam lingkup sosial masyarakatnya, manusia yang ingin terpandang, sehingga tidak
memikirkan apapun yang terpenting baginya adalah ia bisa terpandang dihargai, dan
keegoisan manusia masing masing muncul dalam naskah drama berjudul Godlob ini.
Godlob bercerita tentang realitas kehidupan yaitu digambarkan dengan lelaki tua yang sangat
terobsesi dengan gelar sebagai seorang pahlawan, tidak hanya itu diangkat juga pertentangan
dari kedzaliman tersebut yaitu digambarkan melalui seorang lelaki muda yang tidak lain
adalah anak dari lelaki tua, ia ditemukan oleh lelaki tua saaat ia dalam keadaan pasrah dan
tidak bisa melakukan apapun juga, karena lukanya yang sangat parah sehingga gagak pun
mengellilinginya. Lelaki muda ini digambarkan sebagai pertentangan dari ayahnya, kebalikan
dari ayahnya, anaknya tidak menginginkan gelar sebagai pahlawan ia ikhlas melakukan bela
Negara, menurutnya itu sudah sangat baik. Dilain pihak terdapat tokoh orang besar yang
digambarkan egois oleh semua tokoh dan dari kesemuanya terdapat tokoh perempuan yang
menegakkan kebenaran melalui kejujuran hatinya dan rasa kasih dari seorang ibu kepada
anaknya.
Pendekatan yang digunakan pada naskah drama ini ialah pendekatan kontekstual yaitu
mengaitkan antara karya sastra yaitu naskah drama yang berjudul Godlob dengan konteks
sosial pengarang, dimulai dari pembuktian judul godlob ini terlihat sekali bahwa penulis
karya sastra ini merupakan seorang ahli sufistik dibuktikan dengan penjabaran dari Noor,
2001:XI yang menyebutkan bahwa danarto adalah pengarang yang intensif dan
memanfaatkan paham paham sufistik sebagai jiwa dalam cerpen cerpennya jika pendapat
ini dikaitkan dengan naskah drama yang berjudul godlob ini dapat diambil suatu penjabaran
ada unsure yang sufi yang sengaja dimasukkan oleh danarto pada karyanya ini, yaitu terdapat
pada judul GODLOB, yang berasal dari bahasa arabyang dapat diartikan sebagai kemurkaan,
dan jika diamati secara seksama melalui karya sastra tersebut memang menceritakan tentang
kemurkaan, kemurkaan seorang rakyat kecil yang tertindas, kemurkaan seorang ibu kepada
suaminya karena telah membunuh anaknya, dan kemurkaan sang orang besar kepada
rakyatnya karena ia tak ingin disalahkan. (Pembuktian Pada Data 1). Dan sangat terlihat ia
memasukkan aliran sufistik juga pada cerita dalam dialog antara anak (lelaki muda) dan ayah
(lelaki tua), lelaki muda beranggapan ia milik tuhan dan ia selalu dijaga oleh tuhan sedangkan
tokoh lelaki tua karena sudah tertutupi oleh nafsu mengingkarinya.(pembuktian terhadap ini
terdapat pada data 2)

Aliran pendekatan kontekstual juga mengaitkan antara konteks sosial dalam karya
sastra dengan konteks sosial yang sebenarnya atau konteks sosial jaringan produksi karya
sastra akan diperoleh pemahaman yang baik dan mendalam. Dalam naskah drama ini
dijabarkan tentang peperangan pembuktian pada monolog 1 yang jika dikaitan berhubungan
dengan penumpasan G30SPKI yang menghasilkan banyaknya mayat dan pertumpahan darah,
jika ditelusuri dari tanggal pembuatan karya cipta sastra ini dapat dikaitkan antara kenyataan
bahwa pada tahun 1967 terjadi peristiwa pergantian orde lama ke orde baru , dimana pada
saat itu terjadi gonjang ganjing struktur sosial dan masyarakat, karena orde baru terjadi
setelah terjadinya peperangan internal dalam Negara indonesia itu sendiri, banyak para
aktivis yang tidak dapat mengaspirasikan pendapatnya ini di jabarkan pada data 3 yang berisi
dialog antara lelaki tua yang meratapi nasibnya sendiri. Dan juga pada masa itu jika dikaitkan
dengan sosial masyarakat yang terjadi memang terdapat kesewenangan dan kesenjangan
antara rakyat biasa dan pemerintahan pada waktu itu seolah olah pemerintah memang
melupakan semua jasa para pejuang sehingga digambarkan oleh tokoh tentang keegoisan
orang besara yang hanya mengurusi urusannya belaka tanpa memerhatikan kesulitan rakyat
dan tanpa mengijinkan rakyat untuk mengaspirasi pendapatnya dan tidak ada penghargaan
sama sekali atas apresiasi dengan data lampiran 4. Dalam naskah drama tersebut terlihat
kentara sekali penulis ingin menyampaikan struktur sosial yang terjadi saat itu, tentang
kesenjangan yang terjadi, tentang kemunafikan sisi manusia agar dapat terus dihargai dan
tentang keegoisan manusia yang telah menjadi pemimpin dan merasa telah menguasai
segalanya, dan juga tentang kejujuran yang sangat sulit sekali ditegakkan dan ini menjadi
cambuk bagi masyarakat pembaca tentang apa yang terjadi, dan membuat masyarakat
pembaca sadar akan apa yang telah terjadi dalam lingkup sosial itu yang sebenarnya menurut
pandangan Danarto.
Pandangan danarto ini pun bukan hanya berlaku saat itu saja tetapi pada saat ini
realita yang terjadi benar sama dengan yang terjadi saat ini yaitu orang orang yang merasa
besar ataupun penguasa merasa dirinya paling benar dan dapat berbuat apapun tanpa
terhalang dan dapat dihalangi walaupun pada saat itu masih terkesan kentara sekali
kediktatorannya dan saat ini terkesan terselubung, dan pada naskah drama ini digambarkan
sifat alamiah manusia yang munafik dan menghalalkan segala cara untuk dapat mencapai apa
yang diinginkan tanpa bisa melihat kalau ia lah milik Nya atau tuhan dan kejujuran sangat
murka akan kebohongan sehingga terjadilah kemurkaan sang kebaikan yang digambarkan
pada data 4. Dan Obsesi manusia seperti yang digambarkan oleh karakter seorang ayah dan
kasih sayang ddari seorang ibu yang diperankan oleh lelaki tua dan perempuan merupakan
sifat baik dan buruk manusia yang digambarkan dengan halus melalui karyanya oleh seorang
Danarto yang merupakan penganut ajaran sufi. Serta sifat lelaki muda yang digambarkan oleh
Danarto dapat dilihat itu merupakan symbol perwujudan seorang yang ikhlas melakukan
sesuatu dan selalu yakin dirinya adalah milik tuhan. (terdapat pada data 1)

Data lampiran
Data 1
Laki laki tua
7. lelaki tua
(berdiri dan merentangkan tangannya)
Oh, bunga penyebar bangkai
Disana, disana, pahlawanku tumbuh mewangi
(termangu kemudian tertawa) sajak itu cukup baik, cukup bermutu bukan? Anakku, kau tahu
bedanya sajak yang dibuat oleh seorang politikus dengan seorang penyair? (mengamati
sekeliling) kalau ada seseorang menderita luka datang kepada politikus, maka dipukulilah
luka itu hingga orang itu berteriak kesakitan dan lari tunggang langgang. Sedangkan kalau ia
datang kepada penyair, luka itu akan dielus elusnya hingga orang itu merasa seolah olah
lukanya telah tiada. Jadi, tak seorangpun dari orang macam itu berusaha mengobati luka itu.
Bagaimana pendapatmu, anakku?
Dan 43. Lelaki tua
(Menunjuk seorang pembesar yang datang) sebaliknya, aku kena tipu oleh mereka! (yang
ditunjuk berhenti) kita semuanya kena tipu mentah mentah. Lihatlah aku! Keluargaku
ludes! Tidak ada sesuatupun yang ku dapatkan!
Dan sesi perempuan
40. perempuan
(dengan menangis) anakku, mengapa engkau harus mengalami nasib seperti ini? Aku, sebagai
ibumu, tak terima atas perlakuan ini semua. Aku protes atas kesewenang wenangan yang
menimpaku.
42. perempuan
(menunjuk seorang laki laki yang datang) ini dia orangnya! Ia adalah suamiku, namum
sejak kugali mayat anakku ini, ia telah kuceraikan semalam ia telah bercerita panjang lebar
tentang garis depan. Akhirnya ia pulang dengan membawa tipu tipuan buat kita. Mayat ini
sama sekali bukan pahlawan. Aku tahu tabiat anak anakku. Dialah (mendekati) orang laki
laki ini yan membikinnya jadi pahlawan! Dia membunuhnya! Dia Menipu kita!
Pembesar
44. Pembesar
(lantang) Pengkianat!!!
Lelaki Muda
18. Lelaki Muda
Ayah, cukuplah. Seharusnya keluarga kita berbangga. Perang yang susul menyusul, kita telah
mampu menyumbangkan tenaga kita.
23. lelaki Muda
(gelisah) ayah! Apakah ayah tidak bisa melihat hikmah yang terkandung dalam semua
kejadian ini?

Data 2
31. Lelaki Muda
(marah) ayah! Dengan demikian ayah hendak menjadikan pahlawan? Ayah menghalalkan?
Aku dan ayah adalah dua manusia. Dimata Tuhan, kita masing masing berdiri sendiri
sendiri. Aku mempunyai Sang Nasib Pengasuhnya sendiri! Ayah diatur orang lain!
32. lelaki tua
Anakku, kali ini pengasuhmu menyerahkanmu kepadaku!
33. Lelaki Muda
Tidak! Tidak mungkin! Pengasuhku bekerja konstruktif!
34. Lelaki tua
Tidak selalu! Sekali kali ia boleh menyeleweng!
35. Lelaki Muda
Ayah !!!
Data 3
MONOLOG 1
SEBUAH PEMANDANGAN CARUT-MARUT DI TENGAH-TENGAH SISA
PEPERANGAN, SEORANG LELAKI TUA MENGIBAS-NGIBASKAN BAJUNYA
UNTUK MENGUSIR BURUNG-BURUNG GAGAK
15. LELAKI TUA
Nasibkulah, Anakku! Nasibkulah yang menyebabkanku bicara, sehingga tidak cukup sekian
saja. Aku sudah menyerahkan empat nyawa anak-anakku kepada Sang Politikus dan tidak ada
sesuatu apapun yang kuterima. Sekarang ia merenggut anakku yang terakhir dan nyawa yang
paling kusayangi, kau! Sesuatu yang bagaimanakah dan bentuk kebenaran macam apakah
menghalalkan itu semuanya? Anakku! Tak bias kutanggungkan lagi
27. LELAKI MUDA
(tercengang) Ayah ingin aku jadi pahlawan?
47. LELAKI TUA
Adakah nilai-nilai objektip? Semuanya adalah subjektip
49. LELAKI TUA
Apa yang bisa aku harapkan dari kalian? (memandang sekeliling dan menatapi wajah demi
wajah). Kalian orang-orang kecil, sekali-sekali boleh pergi ke garis depan. Hingga kita juga
bisa berbicara tentang perang!
Data 4
KAJIAN SEMIOTIKA DALAM NASKAH DRAMA BONEKA SETENGAH WARAS
KAJIAN SEMIOTIKA DALAM NASKAH DRAMA BONEKA SETENGAH WARAS
KARYA CONNIE C SEMA
Oleh: Dedi Damhudi
1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Karya sastra merupkan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai
mediumnya. Berbeda dengan seni lain, misalnya seni musik dan seni lukis yang
mediumnya netral, dalam arti belum mempunyai makna. Seni sastra yang mediumnya
adalah bahasa sudah mempunyai arti, mempunyai sistem dan konvensi. menurut
Effendi (dikutip Aminudin, 2004: 35) mengemukakan bahwa apresiasi sastra adalah
kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh, sehingga menimbulkan
pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik
terhadap karya sastra.
Drama yang merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di
panggung. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat, kadangkadang konflik yang disajikan dalam drama sama dengan konflik batin mereka sendiri.
Menurut (Waluyo, 2001: 1) drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka,
pahit manis, dan hitam putih kehidupan manusia. Sedangkan menurut Mouton (dikutip
Sohleh dan Saptaria, 2008: 2) mendefinisikan drama sebagai kehidupan yang dilukiskan
dengan gerak. Sementara, Ferdinand (dalam Azhari (Ed), 2008: 2) memberi kebebasan
dalam drama untuk melahirkan kehendak denganaction selain itu. Vallhagen (dalam
Azhari (Ed), 2008 : 2) juga membatasi drama sebagai kesenian untuk melukiskan sifat
manusia dengan gerak.
Genre drama pun mempunyai konvensi-konvensi yang lain dari konvensi-konvensi
puisi dan prosa, misalnya konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita yang sifat
naratifnya misalnya plot, penokohan, latar atau setting, dan klimaks cerita pada sebuah
drama. Yang membuat konvensi-konvensi tersebut berbeda dengan genre sastra lain ialah
konvensi dalam sebuah drama biasanya divisualisasikan dalam bentuk dialog atau
percakapan dan gerak yang dilakukan tokoh dalam sebuah lakon.
Sesuai dengan penyataan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji naskah drama
berjudul Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema karena dalam naskah drama ini
terdapat konflik-konflik sosial yang begitu akrab dengan kehidupan sehari-hari di
lingkungan masyarakat dewasa ini. Naskah drama ini dibuat pada tahun 1992 dan pernah
dipentaskan oleh salah satu seniman Palembang pada tahun 1993 oleh Efvhan Fajrullah,
Teater 26 MaretUniversitas Muhammadiyah Palembang serta dipentaskan oleh mahasiswa
Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas PGRI Palembang. Selain itu
juga penelitian ini dimaksudkan untuk membantu perkembangan drama pada umumnya
dan untuk pembelajaran seni drama pada khususnya.

1.2 Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kajian semiotika dalam naskah
drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema.
Berdasarkan masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.

Bagaimanakah kode sastra yang terdapat dalam naskah drama Boneka Setengah

Waras karya Connie C Sema.


2.

Bagaimakah kode budaya yang terdapat dalam naskah drama Boneka Setengah

Waras karya Connie C Sema


1.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
kajian semiotika dalam naskah drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema.
2.

PEMBAHASAN
Sinopsis Naskah Drama Boneka Setengah Waras Karya Connie C Sema
Naskah drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema menceritakan

tentang intrik-intrik realita kehidupan yang dialami oleh masyarakat pada saat ini. Cerita
drama ini berawal dari kegelisahan seorang tokoh dalam naskah tersebut yaitu Boneka I, ia
mendeklamasikan kegelisahannya kepada seluruh dunia yang ada di hadapannya. Ia tetap
berdeklamasi dan berteriak walau tangan, kaki, bahkan seluruh tubuhnya terikat oleh talitali yang menjerat dan dikendalikan oleh sang Dalang. Si Dalang sendiri diperankan oleh
tokoh yang bernama Bingkai. Si Bingkai memperlakukan Boneka I layaknya sebuah
wayang yang tak mampu berbuat apa-apa. Boneka I hanya bisa berteriak dan
berdeklamasi. Tak lama kemudian muncul tokoh berikutnya yaitu Koor, yang mencemooh
dan mencaci Bingkai. Koor tidak mau bernasib seperti Boneka I yang hanya bisa bergerak
dan bertindak sesuai kemauan si dalang (Bingkai), walaupun si Bingkai tak mampu untuk
mencegah Boneka I untuk berbicara sesuka hati. Tapi Boneka tetaplah Boneka ia tak lebih
dari itu.
Sosok I dan sosok II merupakan tokoh yang tak peduli akan keadaan dunia, mereka
hanya mau mencari dan mewujudkan mimpi mereka. Tak peduli pada kesukaran yang
tengah melandah. Mereka kemudian berseteruh dengan Koor dan mulai bertengkar juga
antar sesamanya (Sosok I dan Sosok II). Ketiga tokoh ini dibuai dalam pertengkaran yang
mengangkat permasalahan mimpi yang diinginkan oleh masing-masing individu yaitu
Koor, Sosok I dan Sosok II. Di tengah pertengkaran mereka, kemudian muncul Boneka II
yang datang dengan mengejutkan. Boneka II tertawa terbahak hingga seisi panggung sesak
dengan tawa tersebut. Ia datang dengan mimpi-mimpi yang diinginkan oleh Koor, Sosok I

juga Sosok II. Dengan mengumbar mimpi ia menarik simpati dan mengumpulkan
dukungan untuk merobohkan kekuasaan dari penguasa yang tengah berjaya (Bingkai).
Boneka II mulai mendesak tokoh Bingkai untuk memberi ia kekuasaan agar ia dapat
memenuhi setiap mimpi yang diharapkan oleh setiap tokoh yang ada di panggung. Bingkai
sendiri tidak mau melepaskan kekuasaan yang dimilikinya, ia tetap berkeras
mempertahankan posisi tersebut.
Merasa tak bisa merebut kekuasaan dengan jalan damai, maka Boneka II pun mulai
memaksa dan melakukan kudeta terhadap Bingkai yang dianggap tidak becus untuk
memimpin. Ia memperlakukan Bingkai dengan tidak senonoh, ia hukum tokoh Bingkai
dengan alasan si Bingkai tak mau bekerjasama membentuk sebuah pemerintahan baru
yang lebih kuat dan tangguh.
Dengan merebut puncak kekuasaan dari tangan Bingkai, kini Boneka II menjadi
pemimpin yang arogan dan sombong. Ia bahkan meminta semua budaknya (Koor, Sosok I,
dan Sosok II) untuk memanggilnya dengan sebutan TUHAN. Ia ingin merubah sejarah
peradaban manusia. Tapi tak ada kekuasaan yang sempurna, tak lama berselang ketika
Boneka II sedang mengadakan ritual penyiksaan terhadap budaknya. Boneka I kembali
masuk kedalam panggung, dengan bercucur air mata Boneka I melihat hal yang diperbuat
oleh Boneka II. Boneka II mulai menyadari bahwa seakan ia melihat dirinya, seperti
berkaca di sebuah cermin. Ia merasa bahwa Boneka I yang ada di hadapannya merupakan
gambaran dirinya. Gambaran diri yang terlihat dari sisi baik. Walau tubuh, wajah, mata,
bahkan lengan dan kaki sama persis dengan dirinya, tapi mereka mempunyai tabiat yang
sungguh berbeda. Boneka II baru menyadari bahwa ia telah melanggar etika, adat istiadat,
norma bahkan hukum dari kehidupan yang ada. Ia merasa kehilangan sebagian dari dirinya
yaitu sisi baik, arif dan bijak. Ia mulai menangis dan tertunduk di kaki Boneka I, kini
Boneka II menemukan siapa ia sesungguhnya. Diri yang bukan ia rasakan sekarang, diri
yang penuh dengan nafsu, penuh dengan intrik, naif dan tak mampu lagi bagaimana
menggambarkan buruk dirinya kini.
2.2 Pengertian Semiotik
Semiotik atau studi tentang sistem lambang pada dasarnya merupakan lanjutan dari
strukturalisme. Sebab itulah semiotik sering disebut sebagai strukturalisme semiaotik.
Jabrohim (2003: 67) mengemukakan bahwa semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda.
ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu
merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sitem-sistem, aturan-aturan, konvensikonvensi

yang

memungkinkan

tanda-tanda

tersebut

mempunyai

arti.

Menurut

Preminger (dalam Jabrohim, 2003: 69) semiotik merupakan penerangan yang memandang
objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatau langue (bahasa) yang
mendasari tata bahasanya yang harus dianalisis.
Pendekatan semiotika sesungguhnya merupakan lanjutan dari pendekatan strukturalisme,
dengan kata lain semiotika merupakan perkembangan strukturalisme. Bahkan Culler
(dikutip Ratna, 2008:97) menyebutkan bahwa strukturalisme dan semiotika sebagai dua
teori yang identik, strukturalisme memusatkan perhatian pada karya sedangkan semiotika
pada tanda.
Secara sederhana semiotika berarti ilmu tentang tanda. Semiotika memperlajari sistemsistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mempunyai arti. Ia memiliki tujuan untuk mengetahui sistem tanda-tanda yang
menentukan konvensi-konvensi apa saja yang memungkinkan karya sastra mempunyai
makna. Kajian semiotika ini mempunyai asumsi dasar bahwa fenomena sosial atau
masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Seperti dikatakan di atas bahwa semiotika merupakan lanjutan dari strukturalisme dan
memang kedua teori ini tidak dapat dipisahkan. Alasannya, karya sastra merupakan
struktur tanda-tanda yang bermakna. Tanpa memperhatikan sistem tanda, makna, serta
konvensi tanda, maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara
optimal.
Tanda dalam semiotika terdiri dari penanda dan petanda. Penanda (signifter) adalah bentuk
formal yang menandai petanda. Petanda (signified) sendiri adalah sesuatu yang ditandai
penanda itu, yakni artinya. Menurut Pradopo (2007:121), berdasarkan hubungan antar
penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda pokok, yakni ikon, indeks, dan simbol.
Ikon adalah tanda hubungan antara penanda dan petandanya bersifat persamaan bentuk
alamiah, misalnya potret orang menandai orang yang dipotret (berarti orang yang
dipotret).Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda
dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab-akibat, misalnya asap menandakan
api. Simbol adalah tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan
petandanya, melainkan hubungan yang bersifat arbitrer (manasuka). Misalnya,
kata Ibu berarti orang yang melahirkan kita, hal ini terjadi akibat konvensi atau
perjanjian yang dalam masyarakat Indonesia. Berbeda halnya dalam bahasa Inggris yang
menyebutnya dengan sebutan mother.
Dalam penganalisisan sastra secara semiotika dapat dilakukan dengan cara menyendirikan
satuan-satuan minimal yang digunakan sistem tanda tersebut dengan memakai hubungan

paradigmatik

dan

sintagmatik.

Kemudian

menentukan

konvensi-konvensi

yang

memungkinkan karya sastra mempunyai makna. Dalam kajian semiotika, ada tiga metode
yang dikenal. Pertama, konvensi ketaklangsungan ekspresi, yakni mengenali makna tanda
dengan beberapa cara yaitu: menelaah perganti arti (displacing of meaning),
memperhatikan penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (crativy of
meaning).
Kedua, intertekstual yakni membandingkan, mengajarkan, dan mengkontraskan karya
sastra tersebut dengan teks lain dengan mencari hypogram atau landasan penciptaan yang
menghubungkan

karya

sastra

tersebut

dengan

karya

lain

sebelumnya

yang

diserap. Ketiga,heuristik dan hermeneutik. Heuristik yakni membaca karya sastra


berdasarkan struktur dan memperjelas artinya, bila perlu menyisipkan kata atau sinonim
kata-kata dengan ditaruh dalam tanda kurung karya tersebut. Selanjutnya hermeneutik,
yakni menafsirkannya dengan berusaha memahami secara keseluruhan sebuah karya
tersebut.
2.3 Pengertian Naskah Drama
Drama merupakan karya sastra yang tidak terlepas dari naskah. Jadi, naskah
merupakan karangan yang masih asli ditulis tangan atau diketik secara manual: karangan
seseorang yang dianggap sebagai karya asli: bahan-bahan berita yang siap diedit dan
diberitakan.
Menurut Wiyanto (2007: 31) mengemukakan yang dimaksud dengan naskah
adalah karangan yang berisi cerita atau lakon. Dalam naskah tersebut termuat nama-nama
tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan oleh para tokoh, dan keadaan panggung yang
diperlukan.
2.4 Pengertian Drama
Drama yang merupakan tiruan kehidupan manusia memiliki pengertian yang
begitu luas. Drama berasal dari bahasa Yunani yaitu draomai yang berarti berbuat, berlaku,
bertindak, atau beraksi. Menurut Waluyo (2001: 1) drama adalah potret kehidupan
manusia, potret suka duka, pahit manis, dan hitam putih kehidupan manusia. Dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan drama ialah kisah terutama yang memiliki
konflik yang disusun untuk sesuatu pertunjukan teater atau kejadian yang menyedihkan.
Drama adalah suatu aksi atau perbuatan (Bahasa Yunani). Sedangkan dramatik
adalah jenis karangan yang dipertunjukkan dalan suatu tingkah laku, mimik dan perbuatan.
Sandiwara adalah sebutan lain dari drama di mana Sandi adalah rahasia dan Wara adalah
pelajaran. Orang yang memainkan drama disebut aktor atau lakon.

Wiyanto (2007: 3) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan drama adalah semua
bentuk tontonan yang mengandung cerita yang dipertunjukkan di depan orang banyak.
Sedangkan dalam pendapat lain drama dapat diartikan sebagai kisah hidup manusia dalam
masyarakat yang diproyeksikan ke atas panggung, disajikan dalam bentuk dialog dan
gerak berdasarkan naskah, didukung tata panggung, tata lampu, tata musik, tata rias, dan
tata busana. Hal yang menjadi titik fokus dari pengkajian semiotik adalah kode sastra dan
kode budaya.
2.5 Kode Sastra
Kode sastra merupakan suatu sistem tanda primer bahwa informasi antara
pengucap atau pengirim dan pendengar, penerjemah selanjutnya, melalui kode sastra dapat
diungkapkan beberapa struktur sastra seperti setting, penokohan, alur, dan tema.
Drama mempunyai konvensi yang berhubungan dengan bentuk cerita dan sifat
naratifnya, misalnya plot, tokoh dan penokohan, latar atau setting dan tema. unsur-unsur
tersebut dapat kita kenali dari pemahaman tanda-tanda struktur konvensi drama.
2.5.1

Alur
Alur atau plot secara umum dapat digambarkan berdasarkan hukum sebab akibat.

Menurut Aminudin (2004: 83) alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapantahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadiri oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Menurut Brooks (dalam Tarigan, 1971: 126) alur adalah stuktur gerak yang
terdapat dalam fiksi.
Lobak (dikutip Aminudin (2004: 84) menggambarkan gerak tahapan alur cerita
seperti halnya gelombang. Gelombang itu berawal dari (1) eksposisi, (2) komplikasi atau
intrik-intrik awal yang akan berkembang menjadi konflik hingga menjadi konflik, (3)
klimaks, (4) relevansi atau resolusi atau penyingkatan tabir suatu problema, dan (5)
penyelesaian yang membahagiakan atau yang menyedihkan. Sedangkan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2005) yang dimaksud dengan alur adalah plot, rangkaian suatu
cerita yang terdapat didalam suatu karya sastra.
Secara umum alur yang terdapat pada naskah drama Boneka Setengah Waras karya
Connie C Sema adalah alur maju. Dalam penjabaran pada penelitian ini, alur akan
diuraikan per adegan. Alur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Pada adegan pertama, cerita ini berawal dari kegelisahan seorang tokoh dalam
naskah tersebut yaitu Boneka I, ia mendeklamasikan kegelisahannya kepada seluruh dunia
yang ada di hadapannya. Ia tetap berdeklamasi dan berteriak walau tangan, kaki, bahkan
seluruh tubuhnya terikat oleh tali-tali yang menjerat dan dikendalikan oleh sang Dalang. Si

Dalang sendiri diperankan oleh tokoh yang bernama Bingkai. Kisah ini berlajut dengan
cemohoan yang dilontarkan oleh tokoh koor. Tak lama berselang sosok I dan sosok II pun
muncul dengan mimpi-mimpi yang menginginkan kehidupan yang lebih baik, mereka
terus mencari ruang untuk mendapatkan kedudukan yang terhormat dengan menaruh
pengharapan pada ruang kosong. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Boneka I :

(Ada dalam bingkai yang bergerak) warangganawarangganasuara

sumbang musim sumbing, ada wangsit orang jawa. Mbalelo.. tolonglah mereka, beri
sangkur untuk nyangkul, beri pil kalem biar tak onar, lalu tidurkan mereka semua di
Monpera. Lantas bopong ke dalam sebuah mobil jenazah. Mereka bertamasya dari mimpi
ke mimpi, sementara bunyi gamelan pangeran menemani semalam suntuk dari balik
semak-semak yang berkeringat. Akhwaranggana, otot leher mereka nyaris putus di meja
pengadilan kata. Panggil kampret, panggil dedemit, perintahkan para begundal dan kaum
bajingan menulis graffiti di tembok pengasingan.
Koor

(Kepada boneka dan bingkai) Mbalelombalelo! Ini teater musim

sumbing!
Boneka I : Gendeng, kowe! Gendeng, kowe!
Koor

Mbalelombalelo! Ini gerak nusantara, panggung negeri Indonesia.

Heep ta! Heep ta! Mainkan dongeng kebangsaan!


Sosok I

Aku mencari ruang kosong (kepada bingkai) aku mau bercinta, bantulah

aku. Beri aku cinta!


Sosok II : Aku mencari bentuk, kemana bentukku yang hilang entah kemana?. Beri kami
bulan, cahaya, dan dongeng yang terputus, agar bentukku akan nampak lebih jelas!.
Semua

Dongengkan kami ruang yang kosong. Dongengkan rumah hijau dan

anak ajaib. (Boneka Setengah Waras, halaman 2)


Secara semiotik kutipan di atas merupakan penanda yang menunjukan petanda yang
berupa gambaran kehiduapan manusia yang meninggalkan atau melupakan adat istiadat
dan kebudayaannya sendiri. Hal ini terjadi akibat kemajuan zaman yang semakin pesat dan
sudah tercampur baur dengan budaya asing yang tidak selaras dengan budaya bangsa. Di
sini juga digambarkan bahwa manusia-manusia sekarang tak peduli lagi akan etika
ketimuran yang selalu dijunjung tinggi. Kesemuanya ini seakan banjir besar yang tidak
bisa dilawan dan mau tidak mau harus dijalankan. Jika dihubungkan dengan kenyataan
yang ada, ini merupakan realita yang tidak bisa dielakkan lagi. Kelunturan budaya baik itu
dari segi adat istiadat maupun dari segi politik pancasila yang arif. Telah banyak

ditemukan di tengah masyarakat bagaimana politik kini hanya menjadi polemik yang
menggerogoti keutuhan bangsa.
Polemik politik ini terlihat jelas dari gambaran perilaku para oknum pemerintahan
baik itu sipil maupun aparat. Maraknya kasus-kasus penyogokan demi memperoleh
kedudukan, sampai pada budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dan kesemuanya
telah merasuk ke berbagai dimensi kehidupan negara kita.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa alur pada adegan pertama adalah alur
maju. Hal dapat kita lihat dari dialog yang terdapat pada kutipan di atas. Pada bagian ini
dijelaskan bahwa terdapat tahap pengenalan konflik yang menjadi klimaks dalam naskah
drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema.
Pada adegan kedua, konflik berawal dari munculnya tokoh Boneka II yang
membawa mimpi-mimpi kosong. Si Boneka II mulai membangun konflik untuk mencapai
ambisinya merebut tampuk kekuasaan. Hal ini tergambar dari kutipan dialog berikut.
Koor

: Jaman telah berubah. Bisnis berjalan lancar.

Bingkai

: Jangan terlalu sempit.

Koor

: Jangan bermata sempit.

Boneka
dan

II

bagaimana

Benar,

ini

kan

cuma

: Berusaha dan berjuang.

Boneka II

: Pakai apa?

Koor

: Sangkurrrrrr!!

Boneka II

: O, seperti kodok-kodok botak berdasi

Koor

: Benar seperti Dharma Putra yang

Bingaki

: Jangan

yang

(kepada
kirim

Boneka II

rejeki

mendapatkannya.

Bingkai

berubah

soal

boneka).

itu.
agung.

ngelantur.
Sekarang

Jaman
cepat

katakan

telah
siapa

kabar kepadamu!
: Mimpi. Ya. Sang mimpi. (Boneka

Setengah Waras, halaman 7)

Dari kutipan di atas, jika dilihat secara semiotik dapat dijelaskan bahwa si tokoh
(boneka II) mempunyai ambisi untuk menjatuhkan kekuasaan dari Bingkai. Hal ini sama
artinya dengan kudeta yang terjadi pada masyarakat kita dari zaman ke zaman hingga kini.
Secara tersirat pada adegan ini terdapat semacam usaha penghasutan yang dilakuka oleh
tokoh Boneka II kepada tokoh-tokoh lain. Pada kalimat Benar, ini kan cuma soal rejeki
dan bagaimana cara mendapatkannya? dari kalimat ini terlihat jelas tabiat dari boneka II
yang mulai menghasut tokoh lain. Dengan kata lain kalimat tersebut menyatakan bahwa

dewasa ini mempunyai taraf ekonomi yang riskan atau mengkhawatirkan, hal ini terjadi
akibat kelalaian pemimpin yang tidak bertanggung jawab.
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa alur yang terdapat pada adegan
kedua ini mulai mengalami penanjakan. Konflik-konflik yang dibangun telah lebih
mengarah pada klimaks yang ingin dicapai yaitu intrik poitik dan perebutan kekuasaan.
Adegan ketiga merupakan klimaks dari seluruh rangkaian konflik yang dibangun.
Adegan ini juga merupakkan bagian terpenting yang ingin disampaikan pengarang dalam
naskah drama Boneka Setengah Waras. Konflik yang terjadi adalah perebutan puncak
kekuasaan dan secara nyata menimbulkan intrik politik yang terjadi. Hal ini terlihat dari
penggalan dialog berikut.
Boneka II :

(Kepada bingkai) Nah! Dengar kegelisan mereka? Sekarang segera

beri aku mimpi! Agar aku bisa mengabulkan segala keinginan mereka, karena aku adalah
seorang calon pemimpin agung yang dikirim sang mimpi untuk meninabobokan mereka.
Kau.... kau sudah tak berguna lagi, kau hanya tinggal onggokan tulang berbalut kulit
keriput yang sudah tak ada gunanya.
Bingkai

Baik. Tapi jangan libatkan aku dalam mimpimu.

Boneka II :

Solosi tanpa tekanan. Panggil saya raksasa!

Koor

Raksasaaaaa!

Boneka II :

Panggil saya jenderal!

Koor

Jenderaaaaaaaaall!

Boneka II :

Panggil saya Tuhan!

Koor

(Ragu) TuTuTu Haaaaaaann! (Boneka Setengah Waras,

halaman 12)
Secara semiotik kutipan di atas merupakan penanda yang menunjuk ke petanda
bahwa, kekuasaan merupakan hal yang selalu diperebutkan oleh setiap orang. Semua
manusia menginginkan kekuasaan yang paling tinggi, walaupun cara mendapatkan
kekuasaan tersebut dengan mengorbankan orang lain. Tak peduli apakah orang lain akan
menderita atau terluka. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat kita sekarang, para
pemimpin bahkan telah berani meniadakan Tuhan Yang Maha Esa. Banyak yang menjadi
korban karena keserakahan tersebut.
Pada adegan keempat, alur tetap merupakan alur maju. Pada adegan ini terjadi
peleraian dari adegan sebelumnya dengan kata lain terjadinya penurunan klimaks. Hal ini
merupakan kelemahan yang cukup mencolok dari naskah drama ini, jika hanya dilihat dari

segi penaskahan karena peleraian yang terjadi begitu drastis. Hal ini dapat dilihat pada
kutipan berikut.
Boneka II

(Pada cahaya dan bunyi) Segalanya telah kumuliki. Lihatlah! Aku

tak ubahnya tokoh faust yang dungu dan tak lebih bijak dari seorang pecundang. Mengapa
aku diturunkan di tempat ini? Tempat tak ber-Tuhan. Aku sesak. Mimpi ini menyiksaku.
Tak ada Tuhan di sini. Tuhan telah terlambangkan oleh kebutuhan. Lidahku keluh, karena
kata telah berubah kekuasaan oh, sang waktu, mengapa kau minta mereka memainkan
sejarah. Mengapa kau biarkan mereka menyebutku Tuhan? Mengapa kau suruh mereka,
kau suruh mereka mengabdi? (pause) Hai! Cahaya, bunyi dan waktu! Aku butuh
kebebasan. Lepaskan aku dari bingkaimu! Aku butuh kematian. Beri aku KEMATIAN!
(Boneka Setengah Waras, halaman13)
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa adegan ini merupakan kelemahan dari
naskah drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema jika dilihat dari segi
penaskahan, namun sebaliknya adegan ini merupakan keunggulan tersendiri jika dilihat
dari segi tampilan panggung. Hal ini disebabkan karena pada adegan ini dapat dilakukan
penggarapan pentas teatrikal yang menyiratkan makna yang begitu banyak.
Secara semiotik, kutipan di atas merupakan penanda yang menunjuk ke petanda
yang menyatakan bahwa, terjadinya penurunan dari klimaks yang menunjukan perebutan
kekuasaan, intrik politik bahkan keserakahan. Pada adegan ini terlihat bagaimana
terjadinya peleraian atau penurunan konfik yang terjadi pada tokoh utama. Jika
dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari hal ini sering terjadi, hanya saja pengarang
mengkontrastifkan dengan kejadian nyata. Dalam naskah tersebut dijabarkan bahwa tokoh
utama mengalami penyesalan atau penyadaran disaat si tokoh utama telah mendapat segala
sesuatu yang menjadi ambisinya, namun dalam kehidupan nyata sering terjadi penyadaran
seperti yang dialami tokoh utama pada saat segalah sesuatu seperti jabatan, harta benda
juga martabat telah hilang.
Adegan kelima adalah adegan terakhir dalam susunan naskah drama ini. Pada
adegan ini merupakan penyelesaian dari klimaks yang terjadi dalam naskah drama Boneka
Setengah Waras karya Connie C Sema. Hal dapat dilihat dari kutipan berikut.
Boneka I

O, panggung berbeban berat. Boneka tambun, ia bukan Godot,

bukan Godlob! Tuhan, mereka semua seperti binatang dungu yang mati enggan hidup tak
mau!

Beri

mereka

ruang

kosong.

waranggana. Tidurkan mereka di ruang itu.

Tanpa

keingainan,

tanpa

nafsu.

O.

Boneka I

Warangganawaranggana! Inilah perjalanan sejarah yang putus.

Manusia meninggalkan pertapaan moyangnya. Mereka menaiki kereta Trans-Nasional,


bermuatan puing-puing kepercayaan yang berceceran. Senjakala Kiwari dan abad yang
sesat.
Boneka I

Astaga! Kereta segera menjemput. Terompetnya memecah telinga.

O, Senjakala Kiwari yang sesat. Mahluk-mahluk simbolik, boneka yang lamban. Kereta
Trans-Nasional. Kereta-kereta setengah waras. Bawalah mereka kea bad yang gila.
Boneka II

Kematian. Beri aku KEMATAIN! (Boneka Setengah Waras,

halaman 15)
Secara semiotik kutipan di atas merupakan penanda yang menunjuk pada petanda
yang menyatakan bahwa manusia bukanlah mahluk yang paling kuat yang tidak
terkalahkan. Pada kutipan di atas terdapat kalimat O, panggung berbeban berat. Boneka
tambun, ia bukan Godot, bukan Godlob! pada kalimat tersebut dinyatakan secara tersirat
bahwa manusia bukanlah sesuatu yang paling sempurna. Dapat dijelaskan dari kalimat
tersebut bahwa, kalimat O, panggung berbeban berat. berarti sekarang bumi atau dunia
telah penuh dengan para pendosa (manusia). Pada kalimat Boneka tambun, ia bukan
Godot, bukan Godlob!, yang berarti manusia bukanlah sesuatu yang paling agung hingga
mampu mengalahkan keagungan Tuhannya. Sedangkan kata Godot adalah judul dari
sebuah naskah drama yang sangat terkenal pada zaman italia kuno tepatnya pada masa
kejayaan Konstantin Stanilavsky, naskah tersebut dikarang oleh Samuel Pickett salah
seorang tokoh dramawan terkemuka dunia. Dan Godlob sendiri merupakan karya dari
salah seorang dramawan Indonesia yaitu Danarto yang mengisahkan perjuangan seorang
pemuda membela negaranya.
2.5.2 Tokoh dan Penokohanan
Peristiwa dalam karya sastra seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari,
selalu diemban oleh tokoh tertentu. Menurut Aminuddin (2004: 79) yang dimaksud
dengan tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga
peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh
atau pelaku itu disebut dengan penokohan.

Menurut Boulton (dikutip Aminudin, 2004:

79) penokohan adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga itu
mampu menjadi cerita. Penggambarkan atau memunculkan tokoh itu dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara. Mungkin pengarang menampilkan tokoh sebagai pelaku

yang hanya hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam
mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan manusia
sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan diri sendiri.
Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda.
Seorang tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh
inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peran tidak penting karena
pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh
tambahan atau tokoh pembantu.
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005) yang dimaksud dengan
penokohan adalah penciptaan citra tokoh didalam suatu karya sastra. Menurut Wiyanto
(2007: 27) penokohan atau karakter adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam
lakon drama.
Dilihat dari fungsinya, tokoh-tokoh yang terdapat dalam naskah drama Boneka
Setengah Waras. Terdiri atas tokoh sentaral (tokoh utama), antagonis, tokoh bawahan
(peran pembantu).
Manusia itu terlahir dengan karakter dan situasi kondisi yang berbeda-beda, ada
yang baik dan ada pula yang buruk. Kehidupan zaman sekarang lebih banyak orang yang
memerankan tokoh yang bersifat baik, namun hal tersebut dilakukan untuk tujuan tertentu
pula. Ada pula yang berbuat baik dengan ketulusan hati dan sebaliknya.
Tokoh sentral pada naskah ini adalah boneka I dan boneka II. Sedangkan tokoh
bawahan yaitu koor, sosok I, dan sosok II. Kemudian tokoh antagonis adalah bingkai.
Labih jelas dijabarkan sebagai berikut.
2.5.2.1 Tokoh Sentaral
Pada umumnya, tokoh utama atau tokoh sentaral merupakan tokoh yang berperan
sebagai karakter yang baik dan selalu dianggap sebagai pahlawan dalam suatu cerita.
Sebaliknya pada naskah drama ini, tokoh utama lebih dibatasi sebagai tokoh yang menjadi
sorotan atau tolok ukur dari klimaks yang akan dibangun. Tokoh utama (sentaral) pada
sebuah naskah drama tidak hanya dibatasi oleh satu orang tokoh tapi juga bisa menjadi
dua orang tokoh.
1.

Boneka II
Yang menjadi sorotan pada naskah drama ini adalah tokoh boneka II yang

digambarkan sebagai tokoh yang ambisius dan serakah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
dari kutipan berikut.

Boneka

II

Inilah

dunia

baru. Post

manusia-manusia

mimpi

(pada

bingkai). Aku inginkan umat. Beri aku umat selengkap mereka dalam duniaku. Dalam
kekuasaanku. (Boneka Setengah Waras, halaman 12)
Pada kutipan di atas, terlihat jelas bahwa boneka II digambarkan sebagai tokoh
yang ambisius dan serakah karena menginginkan umat dalam genggamannya.
2.

Boneka I
Tokoh boneka I digambarkan oleh pengarang sebagai tokoh yang memiliki

karakter bijak dan memiliki kekhawatiran terhadapat perkembangan dunia pada saat ini.
Tokoh ini dianggap tokoh utama, karena boneka I merupakan tokoh pembangun konflik
utama dan pertama serta sebagai tokoh yang mengakhiri konflik dalam cerita ini. Hal ini
dapat dilihat dari kutipan berikut.
Boneka I

O, panggung berbeban berat. Boneka tambun, ia bukan Godot,

bukan Godlob! Tuhan, mereka semua seperti binatang dungu yang mati enggan hidup tak
mau!

Beri

mereka

ruang

kosong.

Tanpa

keingainan,

tanpa

nafsu.

O.

waranggana. Tidurkan mereka di ruang itu.


Boneka I

Warangganawaranggana! Inilah perjalanan sejarah yang putus.

Manusia meninggalkan pertapaan moyangnya. Mereka menaiki kereta Trans-Nasional,


bermuatan puing-puing kepercayaan yang berceceran. Senjakala Kiwari dan abad yang
sesat.
Boneka I

Astaga! Kereta segera menjemput. Terompetnya memecah telinga.

O, Senjakala Kiwari yang sesat. Mahluk-mahluk simbolik, boneka yang lamban. Kereta
Trans-Nasional. Kereta-kereta setengah waras. Bawalah mereka ke abad yang gila.
(Boneka Setengah Waras, halaman15)
Dari kutipan tersebut terlihat jelas bahwa boneka I merupakan tokoh penyelesai
konflik atau penutup dari rangkaian cerita dalam naskah dan merupakan tokoh yang
memiliki karakter bijak melihat kondisi dunia yang kian memanas dengan terjadinya
perebutan kekuasaan.
2.5.2.2 Tokoh Bawahan
1.

Koor
Dalam cerita ini koor digambarkan sebagai tokoh yang selalu mendukung tokoh

utama dengan karakter penghasut. Hal terlihat dari kutipan berikut.

Koor

Akurakur! Prosesi manusia seribu rupah dan perwakilan Tuhan

atas nama takdir dan mitos-mitos. Tinggal pencet tombol, kami siap mengabdi. (Boneka
Setengah Waras, halaman 10)
Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa tokoh koor merupakan seorang yang
mudah dikuasai oleh tokoh utama (pendukung tokoh utama).
2.

Sosok I
Sosok I merupakan tokoh yang digambarkan sebagai tokoh yang memiliki karakter

yang tidak mempunyai pendirian. Hal ini tergambar dari kutipan berikut.
Sosok I

Aku mencari ruang kosong (kepada bingkai) aku mau bercinta,

bantulah aku. Beri aku cinta! (Boneka Setengah Waras, halaman 11)
Dari kutipan di atas terlihat bagaimana sosok I sedang mencari jati diri dan
kecukupan hidupnya.
3.

Sosok II
Sosok II merupakan tokoh yang mempunyai karakter yang sama dengan karakter

sosok I, namun hal ini jika dilihat dari segi penaskahan. Jika dilihat dari segi tampilan
pentas sosok II mempunyai karakter karikatur guna menunjang kebutuhan pentas layak
seorang pantomim.
Sosok II

: (Menoleh tapi tak peduli). (Boneka Setengah Waras, halaman 11).

Dari kutipan di atas terlihat bahwa karakter sosok II lebih dituntut untuk memiliki
karakter pantomim, yang menyampaikan pesan kepada penonton melalui gerak tubuh.
2.5.2.3 Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis merupakan tokoh penentang tokoh utama (sentral). tokoh
antagonis dalam naskah drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema, lebih
mengarah pada tokoh yang mempunyai peran baik secara umum, yaitu pada tokoh
bingkai. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut.
Bingkai

Ini bukan dongeng sepanjang jaman ketika Tuhan mendengar diam-

diam bersama waktu, ketika orang-orang membuka kesadaran. Hiduplah kalian ketika
tidur! Mereka semua mencarai cahaya jatuh demi mengharap sebuah peruntungan yang
entah kemana berkelana. Oh, segala yang Esa, aku bukan Adam, aku bukan Hawa. Aku
kekasih Mu(Boneka Setengah Waras, halaamn 14).
Pada kutipan di atas terlihat jelas bahwa, tokoh bingkai merupakan tokoh yang
mempunyai karakter baik secara umum. Hal ini bertentangan dengan tokoh utama yaitu
boneka II yang mempunyai karakter yang ambisius dan serakah. Dijabarkan lebih jelas
bahwa tokoh bingkai merupakan sosok seorang manusia yang dekat dengan Tuhan dan

pemimpin yang baik yang menyeruhkan Hiduplah kalian ketika tidur yang berarti
menyeruhkan mari menyadari diri dalam keterpurukan yang dialami. Jangan pernah
berputusa asa, tetap berusaha untuk menggapai cita-cita walau dengan keadaan yang sulit
sekalipun.
2.5.3 Latar atau Setting
Latar atau setting adalah gambaran tempat, suasana, waktu, dan atmosfer yang
terdapat dalam sebuah cerita, akibat adanya konflik dalam sebuah karya sastra yang
diciptakan oleh pengarang. Setting juga mampu menuansakan suasana-suasana tertentu.
Suasana tertentu akibat adanya penataan setting oleh pangarang itu lebih lanjut juga akan
berhubungan dengan suasana penuturan yang terdapat dalam suatu cerita.
Menurut Brooks (dalam Tarigan,1971: 136) latar adalah latar belakang fisik, unsur
tempat dan ruang, dalam suatu cerita. Hamalian dan Karel (dalam Aminuddin, 2004: 68)
menjelaskan bahwa setting dalam karya sastra bukan hanya berupa tempat, waktu,
peristiwa, suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga berupa
suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup
suatu masyarakat dalam menangapi suatu problema tertentu. Sementara itu, Wiyanto
(2007: 28) berpendapat bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu
adegan.
Dalam naskah drama Boneka Setengah Waras karya boneka setengah waras
Connie C Sema terdapat tiga macam latar yang melatar belakangi cerita, yaitu latar
tempat, latar waktu, dan latar sosial. Adapun latar tempat dalam naskah drama ini adalah
ilustrasi dari sebuah istana kenegaraan. Sedangkan latar waktu dalam naskah
drama Boneka Setengah Waraskarya Connie C Sema tidak terlalu jelas diketahui kapan
terjadinya, latar waktu hanyalah digambarkan melalui peristiwa yang terjadi pada saat
keadaan sebuah negara yang sedang goyang.
Adapun latar sosial dalam naskah Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema
adalah latar kehidupan para pemain menggambarkan kehidupan literatur masyarakat yang
terdiri dari para petinggi negara sampai pada para bawahannya.
2.5.4 Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai
pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang dijabarkannya. Penyikapan
terhadap tema yang diberikan pengarang dengan pembaca umumnya terbalik. seorang
pengarang harus memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melakasanakan
proses kreatif penciptaan.

Menurut Scharbach (dalam Aminudi, 2004: 91) menjelaskan bahwa tema is not
synony mous with moral or massage... them does relate to meanning and purpose, in the
sense. Sedangkan menurut Brooks (dikutip Aminudin, 2004: 92) mengungkapkan bahwa
dalam mengapresiasi tema suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu-ilmu humanitas
karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil kontemplasi pengarang yang
berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal.
Dalam buku lainnya Brooks, Puser, dan Waren (dalam Tarigan, 1971: 125)
menggatakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu
mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun
dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra. Sedangkan menurut Wiyanto (2007: 23)
yang dimaksud dengan tema adalah pikiran pokok yang mendasari lakon dalam drama.
Tema dalam naskah drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema adalah
Intrik Politik dan Perebuatan Kekuasaan. Secara semiotik tema intrik politik dan
perebutan kekuasaan ini menunjuk petanda bahwa intrik politik dan perebutan kekuasaan
yang terdapat di dalam naskah Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema ini serupa
dengan intrik politik dan perebutan kekuasaan yang terjadi pada kenyataannya, politik
yang penuh dengan persaingan tidak sehat dan saling menjatuhkan antara pihak yang satu
dengan pihak yang lain. Disamping itu, politik juga hanya memberikan mimpi-mimpi
manis yang tidak nyata kepada masyarakat yang membuai masyarakat dalam mimpimimpi kosong itu. Hal ini meyerupai keadaan politik yang sedang terjadi saat ini, baik
yang terjadi pada tingkatan nasional (pusat) maupun regional (daerah).
Pencerminan tema ini tersirat dari sikap tokoh utama Boneka II yang
menggambarkan ambisi untuk merebut tampuk kekuasaan dan memberi mimpi-mimpi
kosong kepada tokoh-tokoh lain. Hal ini dapat dilihat dari kutipan dialog berikut.
Boneka II: Terserah, yang penting kebutuhan dan kekuasaanku dapat terwujud.Aku punya
tenaga untuk menguasai umatku.
Bingkai :
Boneka II:

Tinggal pencet tombol dan mereka akan ada dalam perintahmu?


Tidak Cuma itu, aku memiliki dongeng-dongeng. Masa di panggung ini

akan ramai dengan koor manusia serba rupa (pause). Bagaimana?. (Boneka Setengah
Waras, halaman 8)
Pada kutipan tersebut, terlihat jelas adanya unsur perebutan kekuasaan dan
mengumbar janji-janji yang tak pasti. tidak cuma itu, aku memiliki dongeng-dongeng.
Kalimat tersebut secara semiotik dengan pemahaman melalui pembacaan hermeneutik
dapat kita artikan bahwa, si tokoh memiliki hal yang dapat membuai budaknya untuk

menuruti segala keinginannya guna mencapai tujuan. Misalnya berupa materi (uang) dan
dijanjikan akan diberi kedudukan yang terhormat jika si budak rela untuk mengabdi
kepadanya (menjilat).
2.6 Kode Budaya
Dalam menganalisis karya sastra, selain membahas kode sastra harus pula dibahas
kode budayanya. Dengan pengetahuan kode budaya akan memperluas wawasan dan
pengatahuan serta keterampilan penafsiran karya sastra yang dihasilkan dalam suatu
masyarakat akan mencerminkan suatu kondisi. Kode budaya yang merupakan cakupan
yang dapat memperluas wawasan dan ketepatan penafsiran, mengingat karya sastra yang
dihasilkan dalam suatu masyarakat akan mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Hal
ini disebabkan karena karya sastra yang lahir pada suatu waktu berawal dari kondisi dan
suasana lingkungan secara luas di tempat karya sastra tersebut lahir, selain itu karya sastra
juga ditunjang dari latar belakang pengarang itu sendiri. yang tidak kalah penting, karya
sastra merupakan penjelmaan dari pengalaman, pengamatan dan imajenasi pengarang atau
orang lain yang mempunyai hubungan dengan sang pengarang.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kode budaya adalah
sesuatu yang terdapat dalam sastra yang merupakan ekspresi kebudayaan yang berkaitan
dengan latar sosial budaya yang memungkinkan perubahan-perubahan masyarakat dan
kesinambungan antara satu dengan yang lainnya.
2.6.1 Aspek-aspek Budaya
Aspek kebudayaan adalah ide-ide tradisional terutama sekali nilai-nilai yang
melekat padanya. Dalam pengertian ini, kebudayaan merupakan reka bentuk sebagai
kehidupan yang secara relatif membuat ketentuan-ketentuan yang telah dijadikan dasar
mengenai apa yang mesti, apa yang harus, apa yang boleh dikerjakan, apa yang tak
digalakkan, dan apa yang dilarang dikerjakan.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa aspek budaya adalah nilai-nilai
yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan. Dalam drama ini aspek budaya dapat
diketahui melalui bahasa yang dipakai dalam drama ini dan aspek budaya yang dipakai
dalam drama ini yaitu bahasa jawa. Aspek-aspek budaya yang terdapat dalam naskah
drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema adalah :
2.6.1.1

Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Tuhan


Nilai budaya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan merupakan nilai budaya

yang seringkali ditemukan dalam setiap elemen masyarakat. Begitu juga dalam naskah

drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema terdapat pencirian nilai budaya
hubungan manusia dengan tuhan. Hal ini tergambar dari kutipan berikut.
Boneka II

Tidak adil, masak mimpi saja dilarang, mimpi saja ditembak mati.

Pokoknya tidak adil. Aku protes keras. Kulaporkan ke Tuhan.


Bingkai

Tuhan mu sakit bludrek. Dia terjangkit penyakit uring-uringan. Tak

ada Tuhan di atas panggung ini. Laporanmu percuma. Tak bakalan diperhatikan.
Boneka II

Aku bikin Tuhan sendiri.(Boneka Setengah Waras, halaman 15).

Dari kutipan di atas terlihat jelas bahwa hubungan manusia dengan Tuhan pada
zaman sekarang sudah mulai menipis. Tergambar dengan gambalang dalam kutipan
tersebut bagaimana manusia sudah mulai berani meniadakan Tuhan yang Maha Esa yang
menciptakan semesta alam beserta isinya termasuk manusia. Jika dilihat dari sisi semiotik,
pada kutipan tersebut terlukis bahwa manusia kini sudah mulai menuhankan materialistis.
Kebanyakan yang terjadi di tengah masyarakat, seseorang lebih mementingkan jabatan,
kedudukan, dan kekayaan dari pada akhlak. Tak peduli bagaimana cara mendapatkan
kesemuanya.
2.6.1.2

Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Alam


Tak dapat dipungkiri bahwa alam merupakan tempat hidup manusia di dunia

sekaligus pasilitator yang menyediakan segala kebutuhan manusia untuk menjalani


kehidupan. Dalam naskah Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema digambarkan
bahwa alam merupakan penyokong yang besar bagi kehidupan manusia. Tapi disisi lain
alam juga merupakan sumber bencana yang mengancam kehidupan manusia, tergantung
dari manusia sendiri bagaimana mengolah dan memanfaatkan alam tersebut. Hal ini
terlihat dari kutipan berikut.
Boneka I

Aku mendengar suara bayi dari Bukit Siguntang, Halaman segar Kitab

Sriwijaya. Inilah perjalanan sejarah yang putus. Manusia meninggalkan pertapaan nenek
moyangnya, menaiki kereta Trans-nasional bermuatan puing-puing kepercayaan yang
berceceran. Ideologi yang tinggal remah-remah Apes! Tidak! waranggana, tidak!
Persolannya cuma retorika. Mereka blingsatan menghadapi musim pancaroba. Mereka
muncul dari cerobong pabrik. Ada yang setuju dan tidak setuju, mendukung dan tidak
mendukung. Tergantung hoki pasar bebas yang membuncitkan perut mereka.(Boneka
Setengah Waras, halaman 9).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa alam merupakan ancaman yang nyata bagi
kehidupan manusia, hal ini dapat kita lihat pada Mereka blingsatan menghadapi musim
pancaroba yang berarti manusia mulai mengalami kesulitan dimasa alam mulai tidak

bersahabat. Namun kesemuanya itu disebabkan oleh kesalahan yang dibuat manusia,
seperti terdapat pada kutipan di atas bahwa Mereka muncul dari cerobong pabrik. Ada
yang setuju dan tidak setuju, mendukung dan tidak mendukung. Tergantung hoki pasar
bebas yang membuncitkan perut mereka. Hal ini berarti kesalahan manusia dalam
memelihara alam sehingga membuat bencana. Pemanfaatan alam demi mencari nilai
materialis yang tinggi untuk kemakmuran mereka tanpa memperhatikan kesinambungan
alam.
2.6.1.3

Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Masyarakat


Dalam naskah Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema banyak ditemukan

nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat, antara lain terlihat dari kutipan
berikut.
Boneka II :

(Kepada bingkai) Nah! Dengar kegelisan mereka? Sekarang segera beri

aku mimpi! Agar aku bisa mengabulkan segala keinginan mereka, karena aku adalah
seorang calon pemimpin agung yang dikirim sang mimpi untuk meninabobokan mereka.
Kau.... kau sudah tak berguna lagi, kau hanya tinggal onggokan tulang berbalut kulit
keriput yang sudah tak ada gunanya. (Boneka Setengah Waras, halaman 4).
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa nilai budaya hubungan manusia
dengan masyarakat mulai kehilangan rasa tulusnya. Hubungan manusia dengan
masyarakat sudah mulai tergantikan dengan rasa kebutuhan yang mendesak, hubungan
manusia (idividu) dengan masyarakat pada masa sekarang ini sangat begitu terasa
dipaksakan. Jika dikaitkan dengan kehidupan nyata, pada saat ini telah terjadi hubungan
yang dipaksakan antara seorang calon pejabat pemerintah dengan para pendukungnya.
2.6.1.4

Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Manusia Lain


Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa bantuan dari

orang lain. Hubungan manusia yang satu dengan manusia yang lain tidak selalu selaras
sesuai dengan apa yang diharapkan, seringkali terjadi perselisihan antar sesama manusia
tersebut. Di dalam naskah Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema tergambar
hubungan tersebut melalui kutipan berikut.
Boneka II

: Nah, kau dengar sendiri (kepada bingkai) solusi tiada tekanan. Wajar, tak

mengada-ada. Mereka bosan dengan ketertiban. Mereka minta mimpi.


Bingkai

: Tak akan kuberi.

Koor

: Kami paksa! Ini misi di atas misi. Yang menolak dan tidak solid, harus

disingkirkan.(Boneka Setengah Waras, halaman 5).

Dari kutipan tersebut tergambar bagaimana hubungan antar sesama manusia yang
mengalami selisih paham. Pada kutipan di atas terjadi pemaksaan secara nyata untuk
menyerahkan kekuasaan yang dimilikinya. Hal ini membuktikan bahwa terjadinya
hubungan secara langsung atau tidak langsung antara manusia yang satu dengan yang lain.
Di samping itu hal ini merupakan gambaran dari kondisi masyarakat pada saat ini mulai
tidak mengetahui batasan antara hak dan kewajiban baik bagi dirinya sendiri maupun
orang lain.
2.6.1.5

Nilai Budaya Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri


Manusia tidak hanya memiliki konflik dengan manusia lain tapi juga memiliki

konflik terhadap dirinya sendiri. Dalam naskah Boneka Setengah Waras karya Connie C
Sema tergamnar melalui kutipan berikut.
Boneka II

(Pada cahaya dan bunyi) Segalanya telah kumuliki. Lihatlah! Aku

tak ubahnya tokoh Faust yang dungu dan tak lebih bijak dari seorang pecundang. Mengapa
aku diturunkan di tempat ini? Tempat tak ber-Tuhan. Aku sesak. Mimpi ini menyiksaku.
Tak ada Tuhan di sini. Tuhan telah terlambangkan oleh kebutuhan. Lidahku keluh, karena
kata telah berubah kekuasaan oh, sang waktu, mengapa kau minta mereka memainkan
sejarah. Mengapa kau biarkan mereka menyebutku Tuhan? Mengapa kau suruh mereka,
kau suruh mereka mengabdi? (pause) Hai! Cahaya, bunyi dan waktu! Aku butuh
kebebasan. Lepaskan aku dari bingkaimu! Aku butuh kematian. Beri aku KEMATIAN!
(Boneka setengah Waras, halaman 13).
Pada kutipan di atas tergambar jelas terjadinya konflik batin di dalam diri tokoh
boneka II, digambarkan bagaimana si tokoh berusaha menyadari keberadaan dirinya pada
kondisi manusia yang seutuhnya sebagai mahluk lemah dihadapan Yang Esa. Pada
kehidupan nyata hal ini sering dialami oleh setiap manusia, tak terkecuali penulis sendiri.
Hubungan manusia terhadap dirinya sendiri dapat diaplikasikan dengan nyata melalui
sikap yang ditunjukan dalam kehidupan sehari-hari.

3.

SIMPULAN
Hasil analisis semiotik terhadapat naskah drama Boneka Setengah Waras karya

Connie C Sema dinilai sebagai sistem penanda yang menunjukan petanda bahwa, kode
sastra dan kode budaya dalam naskah ini tersusun secara terpadu dan saling berinteraksi
dalam bentuk suatu makna yang bulat dan utuh. Makna yang diperoleh itu adalah intrik
politik dan perebutan kekuasaan selalu terjadi dari masa ke masa yang keberadaannya

harus diminimalisir semaksimal mungkin oleh semua pihak. Karena keduanya merupakan
hal yang dapat memicu keadaan yang kurang kondusif. Makna yang muncul dalam naskah
ini merupakan suatu ungkapan dalam realita kehidupan yang ingin disampaikan oleh
pengarang.
Naskah drama Boneka Setengah Waras karya Connie C Sema ini menggambarkan
bagaimana sikap-sikap aparatur pemerintah di dalam dunia politik. Dari penelitian ini
dapat diketauhi bagaimana nilai-nilai budaya baik terhadap diri sendiri, orang lain, alam,
masyarakat maupun terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Jabrohim. 2001. Metodelogi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT Ptrasetia Widia Pratama.
Sema, Connie. C. 1992. Kumpulan Drama. Pelembang: Tidak Diterbitkan.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Banung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur.1971. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Waluyo, Herman.J. 2001. Teori Drama dan Pengajaran. Yogyakarta: Hanindita.
Wiyanto, Asul. 2007.Terampil Bermain Drama.Jakarta: Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai