Anda di halaman 1dari 14

Review Ziarah

Ada cerita yang beredar di masyarakat, biasanya, orang tua yang merasa ajalnya sudah dekat
banyak bertingkah aneh. Banyak meminta sesuatu yang rasanya susah untuk diwujudkan dan
tidak lazim. Kalau sudah seperti itu, kerabatnya yang akan kebingungan untuk mewujudkan
permintaannya. Tapi sebagaimana kita sebagai anak, cucu, atau generasi yang lebih muda dan
pernah dirawat oleh mereka tentunya kita akan melaksanakannya bukan? Kecuali memang
kita sudah tidak peduli dengan orang tua dan menolak mentah-mentah permintaan mereka.
Hal inilah yang coba dibawakan oleh film Ziarah yang disutradarai oleh B.W. Purba Negara.
Dalam rangka Pekan Mahasiswa Baru Jogja Film Academy 2017, saya akan coba mereview
film Ziarah untuk anda. Sebelum membahas bagaimana film ini, ada baiknya kita membahas
sinopsis film Ziarah terlebih dahulu. Selamat membaca.
Ziarah bercerita tentang mbah Sri (Ponco Sutiyem) yang ingin dimakamkan bersama
mendiang suaminya. Suami mbah Sri adalah pejuang yang gugur di era Agresi Militer II
Belanda. Masalahnya, pihak keluarga tidak ada yang tahu dimana makam suami mbah Sri
berada. Dengan bermodal cerita-cerita dari sesama veteran perang, mbah Sri melakukan
perjalanan mengelilingi Yogyakarta untuk mencari dimana makam suaminya berada.

Keunggulan film Ziarah ada pada kesederhanaan cerita. Cerita yang dimiliki film Ziarah bisa
dengan mudah kita temui di kehidupan kita sehari-hari. Apalagi jika kita memiliki latar
belakang yang kurang lebih sama seperti keluarga mbah Sri. Lantas, kenapa sederhana justru
menjadi keunggulan? Ingat semboyan “Sederhana itu Indah”? Semboyan tadi dapat
diterjemahkan sangat baik oleh B.W. Purba Negara selaku Sutradara, Penulis Cerita, dan
Penulis Naskah film Ziarah. Cerita sederhana dipenuhi dengan berbagai fakta (atau kejutan
jika kalian menghendakinya) yang muncul seiring mbah Sri mencari tahu nasib suaminya
dikuburkan dimana terasa tidak dipaksakan. Apalagi jika kita ikut coba memahami
bagaimana situasi Yogyakarta saat AM II. Ada rasa “abu-abu” yang muncul disini. Untuk
beberapa orang, mungkin ada bagian “cheesy” yang akan dirasa. Contohnya ketika cucu dari
mbah Sri mengunjungi salah satu teman seperjuangan mbah Pawiro (suami mbah Sri) untuk
menanyakan keberadaan mbah Sri. Apes, teman seperjuangan mbah Pawiro terlebih dahulu
meninggal dunia. Perlu diingat, kejadian seperti ini lumrah dijumpai di kehidupan nyata.
Terkadang kita pun mengalami kejadian seperti ini.

Nuansa mistis yang coba ditambahkan di film Ziarah menambah kuat rasa di film ini. Bagi
orang zaman dulu, hal-hal mistis adalah salah satu metode yang digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sulit diselesaikan. Terlebih watak yang kita dapat lihat dari
mbah Sri adalah nrimo dengan semua info yang ia dapatkan. Alunan musik di film Ziarah dan
beberapa kalimat pembuka di awal film juga menguatkan unsur mistis Ziarah. Ada lagi yang
layak mendapat apresiasi sendiri. Mbah Ponco Sutiyem yang memerankan mbah Sri sangat
berhasil memerankan peran tersebut. Apalagi mbah Ponco Sutiyem baru terlibat di dunia
film. Tapi, inilah yang menjadi daya tariknya. Jika kita memutuskan untuk menggunakan
aktris senior yang sudah memiliki jam terbang banyak dan tidak asing di mata penonton,
justru akan terasa ganjil dan bisa jadi image yang terbentuk oleh masyarakat untuk aktris
senior tersebut dari film sebelumnya ikut terbawa di film ini dan akhirnya tidak dapat
menyatu dengan baik di jajaran cast di film ini. Tanpa bermaksud menyamakan, saya sendiri
teringat Emmanuelle Riva di film Amour ketika melihat bagaimana mbah Ponco
membawakan perannya sebagai mbah Sri.

Pengambilan gambar di Ziarah juga terasa minimalis. Ada beberapa sumber yang
mengatakan bahwa proses syuting film ini menggunakan peralatan seadanya. Tidak
menggunakan kamera canggih seperti yang banyak digunakan film yang memiliki budget
yang tinggi. Dikarenakan kesederhanaan ini, sang sutradara harus pintar-pintar mengambil
angle yang pas sehingga hasil yang didapat menjadi maksimal. Satu kendala besar saya di
Ziarah adalah pemilihan endingnya yang terbuka. Ini lebih pada pilihan pribadi saya, semua
keputusan tentu sutradara dan penulis yang lebih berhak menentukan bagaimana endingnya.
Namun karena emosi saya sudah terbawa di film ini, saya merasa gantung yang akhirnya
malah berakibat kasihan. Sekali lagi, hanya pendapat pribadi. Tidak perlu diperdebatkan lebih
jauh. Akhir kata, terima kasih pak B.W. Purba Negara yang sudah memberikan petualangan
emosi yang kuat melalui Ziarah.

bhkr
Review Breathless (A Bout De Souffle)

Kalimat yang pas untuk menggambarkan film Breathless adalah “Sekuat-kuatnya kita
berusaha, pada akhirnya yang berkuasa juga yang menentukan.”. Breathless adalah karya
pertama dari Jean-Luc Godard dan menjadi salah satu patokan utama dalam pergerakan
sinema yang disebut “French New Wave”. Sebuah pergerakan yang ingin menjadi beda dari
keadaan sinema Prancis di kala itu dengan lebih menonjolkan keadaan sosial di sekitar dan
bereksperimen dengan film. Sebagai tugas dari Pekan Maba Jogja Film Academy 2017, saya
akan coba mereview Breathless untuk anda semua. Selamat membaca.
Breathless bercerita tentang seorang kriminal muda bernama Michel (Jean-Paul Belmondo).
Setelah melakukan pencurian mobil, nasib malang menimpanya. Polisi mengejarnya dan
dengan terpaksa Michel membunuh polisi tersebut. Tidak memiliki uang sepeserpun, Michel
mengunjungi teman Amerikanya yang bernama Patricia (Jean Seberg) untuk meminta
pertolongan dan mengajaknya kabur ke Italia.

Jujur, saya asing dengan film model seperti ini. Jika dibuat dengan gaya sekarang, Breathless
akan jadi penuh aksi dan plot twist di akhir film. Saya kaget ternyata film dengan cerita
seperti ini bisa dibawakan dengan tone yang ceria. Kurang lebih itu yang saya rasakan
pertama kali. Cerita dari Breathless sendiri didapat dari artikel koran tentang kejadian serupa
yang dulu pernah terjadi di Prancis. Treatment yang diberikan Godard (terkesan
komedik/ceria, karakter yang narsis, dan tidak bisa ditebak bagaimana watak aslinya) sebagai
penulis di film ini sangat pas dengan keadaan sinema saat itu yang terkesan monoton menurut
Godard dan beberapa sutradara lain Claude Chabrol dan Jaques Rivette. Kebosanan itu
sendiri mereka rasakan karena pekerjaan awal mereka adalah kritikus film. Siapa sangka dari
kegelisahan seperti itu justru membuahkan hasil yang bagus dipuji generasi sekarang.

Pengambilan gambar di film Breathless untuk zaman dulu yang peralatannya tidak secanggih
sekarang pun dapat dinikmati dengan baik. Banyak terdapat tracking shot yang tersaji dengan
indah. Salah satunya adalah adegan percakapan Michel dan Patricia ketika menawarkan
koran kepada warga. Ada satu yang saya sadari ketika melihat Breathless. Editting yang ada
di film ini terasa kasar/terloncat. Seperti di adegan mobil. Setelah saya mencari tahu, memang
itu adalah teknik yang digunakan sang sutradara untuk memberikan kesan waktu telah berlalu
cepat. Alunan musik di film ini juga sangat membantu memberi kesan ceria dan optimis yang
coba dibangun oleh sang sutradara meskipun pada akhirnya.....silakan anda cari tahu sendiri
bagaimana akhir dari Breathless. Akhir kata, saya merasa beruntung bisa diperkenalkan
dengan film seperti Breathless. Film yang banyak disebut pekerja dan penikmat film sebagai
film penting.

bhkr
Review Hero

Anda suka film? Suka film action? Ingin mencoba mencari tahu bagaimana film action di
Asia bisa bersaing dengan Amerika? Ingin berkenalan dengan genre film wuxia? Hero adalah
jwabannya. Ya tentunya selain Hero ada banyak macam fim action lain di luar aliran wuxia
seperti Hard Boiled John Woo dan Once Upon A Time in China-nya Tsui Hark. Tapi karena
di Pekan Maba Jogja Film Academy 2017 film yang ditayangkan adalah Hero, maka saya
akan membahas film ini dan kenapa menurut saya Hero adalah film wuxia terbaik sampai
sekarang. Selamat membaca.

Hero bercerita tentang seorang pendekar tanpa nama (Jet Li) yang berhasil mengalahkan tiga
pendekar terkuat; Broken Sword (Tony Leung); Flying Snow (Maggie Cheung); dan Long
Sky (Donnie Yen) yang sudah lama mengancam keselamatan raja Qin (Chen Daoming).
Kesuksesan Nameless membuat raja Qin mengundangnya ke istana untuk bercerita dan
memberikan hadiah pada Nameless atas usahanya. Bagaimana kelanjutannya? Silakan
saksikan sendiri.

Sebelum masuk ke review, terlebih dahulu akan saya jelaskan apa itu genre atau aliran action
wuxia. Wuxia adalah aliran sastra atau film yang beredar di daerah China. Wuxia
menitikberatkan pada bela diri (baik dengan senjata atau tidak) dan beberapa nilai
kekesatriaan dan kejahatan seperti tokoh yang menginginkan kedamaian, tokoh penjahat yang
sebenarnya hanya ingin membalaskan dendam pada seseorang, tokoh utama yang mengalami
tragedi, dan beberapa pola lainnya. Cerita wuxia sendiri biasanya menggunakan atau terdapat
unsur-unsur alam di karakter yang terdapat di ceritanya.

Dari segi penceritaan, Hero akan mengingatkan kita pada Rashomon garapan Akira
Kurosawa. Letak kesamaannya adalah dari penceritaan Nameless dengan raja Qing yang
memiliki beberapa versinya sendiri. Penonton diajak untuk ikut berpikir dan menebak, cerita
mana yang lebih logis. Versi Nameless atau versi raja. Cerita yang juga ikut ditulis oleh sang
sutradara, Zhang Yimou, mengalir dengan indah dan transisi yang terjadi untuk menandakan
bahwa alur cerita sudah kembali atau masih di lampau terjadi dengan halus dan terasa tidak
dipaksakan. Satu yang saya senangi dari cerita wuxia adalah proses pencarian kedamaian. Ini
hal yang berhasil dibawa dengan sukses oleh Zhang Yimou di Hero. Proses pencarian
kedamaian yang penuh pengorbanan dan siapa sangka sangat tidak pandang bulu.

Jet Li berhasil membawakan peran Nameless dengan sangat baik. Perubahan ekspresi yang
dimunculkan untuk tiap versi cerita dan interaksi dengan raja dapat dibawakan sangat baik.
Namun yang paling menarik perhatian adalah Tony Leung dan Maggie Cheung. Mereka
berhasil membawa penampilan terbaik mereka masing-masing dan membuat penonton
percaya bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersatu. Seperti tipikal cerita wuxia yang
ada. Satu kendala saya adalah sedikitnya waktu tampil Donnie Yen. Mungkin karena
memang karakter yang diperankannya tidak begitu signifikan seperti yang lainnya. Sekilas
info, Donnie Yen adalah aktor yang telat bersinar meski sudah terjun lama di dunia film aksi.
Donnie Yen lebih sering memerankan karakter antagonis sebelum akhirnya mulai laris
setelah membintangi Ip Man.
Dua hal yang menjadikan Hero begitu dihormati dan direkomendasikan oleh beberapa
pekerja dan penikmat film adalah sinematografi dan koreografi. Zhang Yimou dan
Christopher Doyle berani bermain warna di film ini. Terdapat beberapa warna yang berbeda
untuk tiap situasi dan versi cerita. Hal ini merupakan salah satu trademark dari Zhang Yimou.
Koreogafi yang diarahkan oleh Tony Ching juga sangat menawan, khas film wuxia dengan
spesial efek yang sangat memadai. Untuk yang asing dengan film seperti ini, tentunya akan
ganjil melihat koreografi yang tidak masuk akal seperti di film Hero. Tapi bagi yang terbiasa
dengan cerita silat dan semacamnya, menonton koreografi Hero adalah kenikmatan tersendiri.
Ditambah dengan original score yang megah dari Tan Dun, adegan epik di Hero terasa lebih
spektakuler. Saya sangat menganjurkan Hero sebagai tontonan wajib untuk anda sekalian.
Hero menampilkan sebuah tontonan yang berkualitas dari tiap aspek film yang selayaknya
dapat dilihat banyak orang.

bhkr
Review A Separation

Perceraian bukan suat yang diharapkan oleh sebuah keluarga, atau tiap individu untuk lebih
spesifiknya. Namun apadaya, tiap individu terlahir dengan egonya masing-masing dan
meskipun individu tersebut pintar untuk menutupi ego tersebut agar tidak muncul pada
akhirnya akan muncul juga di suatu momen. Inilah yang coba diangkat Asghar Farhadi pada
film A Separation. Peristiwa yang bisa kita temui atau bisa jadi kita rasakan suatu waktu ini
diangkat menjadi sebuah film drama penuh dengan konsekuensi dari tiap pilihan yang
diambil kedua tokoh utama di film ini.

A Separation menceritakan tentang pasangan suami istri bernama Simin (Leila Hatami) dan
Nader (Peyman Moaadi) yang memutuskan untuk bercerai setelah mereka bertengkar
memutuskan untuk pindah ke luar negeri atau tidak. Nader tidak setuju dengan ide tersebut
karena harus merawat ayahnya yang terkena Alzheimer, sedangkan Simin ingin pindah ke
luar negeri karena merasa keluarga mereka bisa hidup lebih baik di luar negeri. Pada akhirnya
mereka bercerai. Masalah muncul ketika perawat yang disewa Nader untuk merawat ayahnya
tidak bekerja sesuai ketentuan. Bagaimana kelanjutannya? Bisa anda saksikan sendiri di film
A Separation.
Kekuatan utama dari A Separation adalah cerita dan dialog yang kuat. Cerita yang umum kita
jumpai, dengar, atau mungkin bagi beberapa orang alami sendiri dipoles dengan baik oleh
Asghar Farhadi sebagai penulis dan sutradara. Konsekuensi yang harus dialami oleh anggota
keluarga Simin dan Nader terasa begitu alami. Tidak dipaksakan. Coba kita bayangkan
berada dalam posisi kedua tokoh utama ini, besar kemungkinan fokus dan bagaimana cara
kita memutuskan sesuatu akan terpengaruh dengan besar. Satu percikan saja bisa memicu
kejadian lainnya yang sangat tidak kita harapkan. Belum lagi jika kita melihat keadaan orang
sekitar kita yang ada di dalam pengambilan keputusan itu. Itulah yang berhasil ditonjolkan
Asghar Farhadi di A Separation. Ditambah dengan percakapan yang begitu alami dan
pemotongan pernyataan dari tiap pemain yang sangat baik. Perdebatan di film ini
tergambarkan dengan panas.

Satu yang jadi poin tambahan dari cerita A Separation adalah diambilnya juga keadaan dari
sang anak dari Simin dan Nader. Ingat, korban utama dari perceraian adalah anak-anak.
Memasukan pandangan mereka akan sangat menambah cerita yang kita buat menjadi lebih
nyata. Penulisan cerita yang membuat kedua karakter utama terlihat “abu-abu” juga
keputusan yang sangat baik. Tidak ada yang benar, semua memiliki kepentingannya masing-
masing yang mereka harap bisa tercapai. Ada satu hal juga yang saya lihat di A Separation,
Asghar Farhadi seperti ingin melihatkan bagaimana sistem peradilan Iran yang bagi orang di
luar Iran akan merasa janggal dan pengimplementasian dari peradilan itu tersebut dengan
larangan-larangan dari agama yang dianut di Iran.
Sebagai orang yang baru melihat bagaimana film Iran, saya terpukau dengan akting para
pemain yang terlibat. Semua terlihat natural. Tidak ada yang terlihat kaku. Sinematografi di
A Separation juga enak untuk dilihat. Terkesan sederhana, tapi dapat menangkap ekspresi
tiap karakter dan keadaan mereka dengan baik. A Separation adalah film yang sangat
dianjurkan jika kalian menyukai drama yang penuh dengan kejutan karena keputusan dari
tiap karakternya. Film ini juga membuka mata kita bagaimana majunya Iran dibanding kita di
bidang penulisan cerita yang baik. Tontonan yang tidak boleh dilewatkan.

bhkr
Review Psycho

Psycho adalah film klasik. Psycho adalah sebuah masterpiece. Psycho adalah pemicu utama
munculnya genre horror splatter. Dan Psycho disutradarai oleh salah satu sutradara terbaik
sepanjang masa, Alfred Hitchcock. Jadi tunggu apalagi? Jika kalian belum melihat Psycho,
hentikan membaca tulisan ini dan segera lihat Psycho. Sekian.
Loh? Masih membaca? Ya sudah saya perkuat lagi alasan untuk kalian melihat Psycho.
Berikut sinopsis Psycho.

Psycho bercerita tentang pencurian yang dilakukan oleh Marion Crane (Janet Leigh) di
tempatnya bekerja. Pencurian ini ia lakukan untuk menolong kekasihnya, Sam Loomis (John
Gavin). Tidak asing dengan nama Sam Loomis? Atau Janet Leigh? Akan saya berikan
infonya sedikit nanti. Lanjut ke sinopsis, ketika melarikan diri dengan uang curian tadi,
Marion yang merasa diikuti oleh seorang polisi memutuskan untuk berhenti di sebuah motel.
Bagaimana kelanjutan ceritanya? Bisa kalian saksikan di Psycho.

Alfred Hitchcock adalah master suspense. Dengan predikat tersebut, tidak salah jika kalian
mengharapkan ketegangan yang terbangun secara perlahan dan akhirnya meledak pada satu
momen. Itulah yang terjadi di Psycho. Tempo film yang berjalan lambat benar-benar
dimanfaatkan oleh Hitchcock untuk membangun ketidaktenangan penonton ketika melihat
karakter Marion. Dimulai dari pancingan berupa karakter bosnya yang muncul sekilas di
jalan, polisi yang curiga, pertemuan dengan Norman Bates dan akhirnya memuncak pada
adegan shower. Bagi yang menikmati horror dengan adegan yang lebih frontal, peristiwa-
peristiwa tersebut akan membuat jengkel mereka. Tapi bagi yang menikmati proses teasing
yang dilakukan oleh Hitchcock akan mengakui bagaimana pintarnya beliau mengajak
penonton melihat nasib Marion. Satu hal yang merusak Psycho, khususnya untuk anak muda
yang baru-baru ini untuk melihat Psycho adalah meme dan spoiler yang sudah banyak
beredar. Bisa dibilang, itu adalah resiko yang harus kita tanggung karena memang bukan di
zaman kita film ini besar.
Akting dari tiap pemain sangat bagus. Terutama Anthony Perkins sebagai Norman Bates.
Hanya dengan kita memperhatikan raut muka yang beliau tampilkan, kita bisa melihat ada
gelagat aneh yang ia simpan. Meskipun kita tidak bisa menebak apa yang dipikirkan oleh
karakter tersebut. Begitu juga Martin Balsam sebagai Detektif Arbogast. Beliau berhasil
memberikan tekanan dengan baik kepada karakter lainnya ketika melakukan interogasi. Ada
perasaan tidak nyaman yang berhasil ditampilkan dan diberikan untuk setiap interogasi.
Tidak heran juga jika melihat rekam jejak beliau yang sudah senior jika dibandingkan dengan
lawan mainnya di Psycho (beliau juga bermain di film 12 Angry Men). Bagian yang vital
untuk menjaga ketegangan di film adalah musik. Untuk bidang itu, Bernard Herrmann
berhasil memberikan musik yang sangat ikonik (bahkan sampai sekarang) dan sangat
membantu menjaga tensi Psycho. Apalagi di shower scene. Sampai sekarang, mungkin
sedikit yang belum pernah mendengar musik tersebut. Sangat populer. Sekilas info, Janet
Leigh adalah ibu dari Jamie Lee Curtis. Pemeran Laurie Strode di film Halloween. Lantas apa
hubungannya dengan Sam Loomis? Silakan googling Sam Loomis. Yang saya lihat, ini
adalah sebuah tribute kepada Psycho dari John Carpenter. Pada akhirnya, Psycho adalah film
dengan banyak sumbangsih pada bidang film. Tidak terpaku pada genre horror saja, namun
dari banyak aspek lainnya.

bhkr

Anda mungkin juga menyukai