Walter Kaufman sebagai pengkaji dan penerjemah teks-teks Nietzsche dalam Bahasa
Inggris juga menjelaskan konteks terjemahan Die Frhliche Wissenschaft / La Gaya Scienza
menjadi The Gay Science. Kaufman dalam pengantarnya menulis: it is no accident that
the homosexuals as well as Nietzsche opted for gay rather than cheerful. Gay Science,
unlike Cheerful Science, has overtones of a light-hearted defiance of convention; it
suggests Nietzsches immoralism and his revaluation of values. Walter Kaufman dalam
Friedrich Nietzsche, The Gay Science - With a Prelude in Rhymes and An Appendix of Songs,
Translated & Commentary by Walter Kaufman, New York: Vintage Books, 1974, p. 4-5.
meminjam beberapa elemen yang ada di dunia ini, Arie berkisah tentang gadis
muda yang bermurung duka atas kematiannya. Si gadis tak mau beranjak dari kursi
yang didudukinya sebelum laki-laki pantomim berhasil membuat si gadis menerima
kematiannya dengan hati yang riang gembira. Keberanian Arie untuk menumpuk
konstruksi dunia lain dan dunia ini dalam satu set yang dikelola dari awal hingga
akhir cerita adalah keberanian yang bagi saya tidak biasa.
Selanjutnya, Polah adalah gerak yang tidak bisa disamakan dengan gerak biasa
(baca: obah). Polah adalah gerak yang tidak melulu punya tuju. Polah adalah
rangkaian gerak yang merangkum aspek kesadaran sekaligus ketidaksadaran
manusia dalam koridor konsekuensi yang akan diterima seseorang atas
tindakannya.
Dalam Polah, Arie bercerita tentang Jalu, peternak kuda yang punya kepekaan untuk
berinteraksi dengan makhluk halus, dan Lantip, kawan Jalu, seorang PNS yang
punya niat jahat terhadap Jalu. Kepekaan Jalu untuk berinteraksi dengan makhluk
halus membuahkan dua konsekuensi, di satu sisi Jalu mampu mengetahui suatu hal
yang akan terjadi padanya, namun di sisi lain ia mendapat kutukan dari makhluk
halus yang berubah menjadi patung perempuan telanjang. Dalam titik tertentu,
kutukan yang diterima Jalu bertemu secara tidak langsung dengan gelagat Lantip
untuk mencuri dan menjual seekor kuda milik Jalu.
Sampai sini, saya melihat Polah sebagai benturan antara mitos dan kenyataan,
antara yang halus dan yang kasar dalam narasi abu-abu tentang polah-tingkah
manusia di dunia ini. Lebih lanjut, Polah bagi saya juga bisa dihitung sebagai
keberhasilan Arie menakar campuran hitam dan putih-nya dunia ini dalam
rangkaian peristiwa yang aksidental.
***
Tunggul Banjaransari dan Tiga Fiksi Pendeknya
Memahami film sebagai teks berkonsekuensi pada keberadaan film sebagai produk
kebudayaan yang memiliki logika tekstualitasnya sendiri. Film semacam OEN
(Wilayah Dengan Penglihatan Berhenti) ini sepertinya dibuat memang untuk
dibaca ketimbang sekedar dilihat. Dalam OEN, Tunggul sengaja membentuk filmnya
tidak dengan struktur peristiwa yang saling beririsan secara kausal, namun Tunggul
lebih memberikan resonansi antara peristiwa yang satu dan lainnya. Adegan demi
adegan dalam OEN tidak ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan cerita,
namun untuk menunjukkan bahwa ada masalah dalam sebuah cerita. Dalam OEN
semua peristiwa yang hadir secara audio-visual kita akan menangkap setidaknya
tiga hal: manusia, kebutuhan, dan komoditas. Dan residu dari tiga hal tersebut
adalah permasalahan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
OEN dibuka dengan injeksi directing yang tampak sebagai potongan-sambung
dokumenter. Sequence yang berisi kerumunan orang di sebuah pasar barang rosok
yang sedang melakukan jual-beli dan tawar-menawar. Dalam salah satu dialog
antara penjual dan pembeli, DVD serial kartun Naruto, Kamera Kodak, dan barang
bekas lain hadir sebagai ikhwal lokal yang sebetulnya adalah global. Ini kemudian
menyeret saya pada pembacaan bahwa lokalitas pasar tradisional pun tak luput
dari cengkeraman hubungan internasional dengan spirit pasar bebasnya.
3
Setelah itu OEN hadir dengan adegan motion grapis sederhana yang bisa kita
definisikan sebagai sebuah mata yang berkedip-kedip. Dengan di iringi voice over
seorang perempuan yang menuturkan tutorial tentang tata cara pembuatan Pizza
Mieitaliano, informasi mengalir sebagai satir. Adegan kemudian meloncat ke
peristiwa air kran kamar mandi yang meluber di bak dan ember. Sebuah keluarga
sederhana yang terdiri ayah, ibu, kakak, dan adik terlihat cuek dan asyik dengan
aktivitas masing-masing. Ayah khusyuk menyimak sebuah siaran televisi yang
menawarkan berbagai produk untuk kaum elit. Adik asyik bermain mobil-mobilan.
Kakak melamun di meja makan, matanya menerawang ke luar. Dan ibu sibuk
memasak dan menyiapkan makanan cepat saji. Setelah makanan cepat saji jadi,
semua anggota berkumpul di meja makan. Mereka melahap makanan dengan cara
yang dramatik dan akrobatik.
Adegan-adegan dalam OEN, selanjutnya banyak melibatkan komoditas-komoditas
seperti air, tanah, dan tumbuhan, berikut adegan-adegan janggal namun simbolik
yang diselipkan sebagai bentuk komedi yang membingungkan. Dalam OEN, saya
cenderung melihat keanehan dan keunikan adegan-adegannya mendekatkan saya
pada pembacaan tentang kapitalisme global yang memungkinkan beberapa tank
tempur lewat di depan rumah kita. Pembacaan tersebut mungkin meleset. Namun
OEN bagi saya hanyalah teks-teks yang berjajar, yang kontekstualitasnya bisa kita
bentuk dengan acuan-acuan yang dekat dengan diri kita masing-masing.
Liburan adalah aktivitas bepergian yang dilakukan di waktu luang atau di hari libur
untuk lepas sejenak dari rutinitas yang membosankan. Liburan Keluarga adalah
film arahan Tunggul tentang liburan sebuah keluarga yang lekat dengan mitos.
Rangkaian peristiwa dalam Liburan Keluarga relatif masih bisa ikuti walaupun
loncatan-loncatan peristiwa seperti yang tampak dalam OEN tetap kita temui,
namun dengan porsi yang lebih kecil. Dalam Liburan Keluarga, Tunggul lebih
mencoba untuk mengelola lokalitas materi dan subjek sinemanya. Sebuah lokalitas
yang secara khusus hidup dalam kultur Jawa.
Liburan Keluarga dibuka dengan adegan dua anak kecil yang tengah menaiki kereta
mini di sebuah pusat perbelanjaan. Tak ada tawa maupun duka dalam wajah datar
dua anak kecil itu. Kereta mini terus melaju. Suara aneh kemudian muncul. Adegan
kemudian beralih ke wajah seseorang yang meniup gelembung sabun dengan cara
yang keliru. Sebuah keluarga besar yang berjumlah lebih dari 4 orang terlihat
sedang duduk di rerumputan. Hari itu malam, pemandangan gelap. Suasana tenang
kemudian gaduh, dan liburan keluarga penuh misteri dan komedi pun dimulai. Si
anak remaja pergi meninggalkan tempat keluarganya berkumpul. Ia membawa
seorang gadis sepantaran. Mereka menggelar jas hujan di sebalik semak-semak.
Suasana malam yang sepi. Keduanya mulai terangsang. Kemudian bercinta tanpa
permisi dengan makhluk kasat mata. Alhasil, keduanya gancet, keduanya kena
tulah. Adegan tersebut berpotensi besar untuk membuat kita tertawa sekaligus tak
habis pikir. Tunggul berhasil mengelola mitos gancet dan tulah yang kerap dialami
muda mudi yang senang bercinta di sembarang tempat.
Mitos lain yang dikelola Tunggul adalah weton dan sawan. Weton adalah hari
kelahiran dan pasaran dalam sistem penanggalan Jawa, sedangkan Sawan adalah
gawan atau bawaan atau shiodalam kultur Chinayang biasanya berwujud
4
Walter Kaufman (trans. & ed.), Basic Writings of Nietzsche, hal. 33. Dikutip dari Matius Ali,
Estetika Pengantar Filsafat Seni, Jakarta: Sanggar Luxor, 2011, hal. 147.
dalam arti bahwa film-film Arie dan Tunggul memberikan rasa akrab, hangat dan
menghibur, namun lebih ke arah bahwa film-film Arie dan Tunggul akhirnya mampu
memacu rasa ingin tahu kita perihal visi estetik yang mereka perjuangkan.
Saya kira baik Arie maupun Tunggul tentu punya visi ketika membuat film dengan
citra yang lembut ataupun kasar, yang terstruktur ataupun tidak, dan yang rasional
ataupun emosional. Entah disadari ataupun tidak, seorang kreator bagi saya punya
cara sendiri-sendiri untuk mengelola dualitas tersebut tanpa harus kenal Nietzsche,
Apollo ataupun Dionysos.***