Anda di halaman 1dari 6

The Gay Cinema:

Focus on Arie Surastio & Tunggul Banjaransari


Oleh: Suluh Pamuji
Saya perlu menjernihkan dulu konteks alih bahasa tentang penjudulan program ini.
The Gay Cinema sama sekali tidak merujuk pada sejenis orientasi seksualitas
tertentu. The Gay Cinema mengkonteks pada eksperimentasi gagasan dan cara
tutur sinema yang kompleks dan beragam. The Gay Cinema dengan demikian, lebih
saya Indonesia-kan menjadi Sinema yang Mengasyikkan. Terjemahan tersebut
persis dengan konteks yang saya adaptasi dari buku Friedrich Nietzsche yang
berjudul The Gay Science1 atau Ilmu Pengetahuan yang Mengasyikkan.
Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman abad ke-19 yang fenomenal dengan
bukunya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra. Sebelum Thus Spoke Zarathustra
terbit, Nietzsche telah menulis The Gay Science yang berisi aforisme-aforisme puitik
yang mengkritik metode ilmu pengetahuan abad ke-19 yang cenderung
membekukan kebenaran dengan struktur yang cenderung baku.
Dalam konteks sinema, kebakuan struktur juga diberlakukan untuk memproduksi
narasi sinematik yang benar, yang mampu memenuhi kaidah sebab-akibat
peristiwa dengan tertib dan teratur. Strategi penceritaan semacam itu kemudian
lazim kita sebut sebagai struktur cerita tiga babak yang meliputi eksposisi, konflik,
dan penyelesaian. Manifestasi dari struktur semacam itu bisa kita lihat dalam filmfilm Holywood dan film Indonesia yang banyak diakomodasi bioskop arus utama.
The Gay Cinema sebagai salah satu judul program focus on dalam Sewon Screening
2015 adalah kesediaan saya untuk ikut menambah hembusan angin segar dan
upaya saya untuk ikut merawat keberagaman estetika sinema Indonesia. Lebih
lanjut, The Gay Cinema jelasnya adalah cara saya untuk menampilkan dan
mengelola wacana tentang bagaimana struktur cerita yang telah baku coba
ditabrak atau dipermak menjadi struktur sinema yang lain, yang lebih beragam.
Dalam kerangka tersebut kemudian saya memilih film-film karya Arie Surastio dan
Tunggul Banjaransari, karena keduanya saya anggap mampu menampilkan estetika
sinema yang mengarah pada upaya untuk menabrak dan memermak formula tiga
babak menjadi sebentuk karya sinema yang berbeda, menantang, dan
mengasyikkan untuk diwacanakan. Program The Gay Cinema secara spesifik akan
menampilkan 3 film fiksi pendek arahan Arie Surastio dan 3 fiksi pendek arahan
Tunggul Banjaransari.

Walter Kaufman sebagai pengkaji dan penerjemah teks-teks Nietzsche dalam Bahasa
Inggris juga menjelaskan konteks terjemahan Die Frhliche Wissenschaft / La Gaya Scienza
menjadi The Gay Science. Kaufman dalam pengantarnya menulis: it is no accident that
the homosexuals as well as Nietzsche opted for gay rather than cheerful. Gay Science,
unlike Cheerful Science, has overtones of a light-hearted defiance of convention; it
suggests Nietzsches immoralism and his revaluation of values. Walter Kaufman dalam
Friedrich Nietzsche, The Gay Science - With a Prelude in Rhymes and An Appendix of Songs,
Translated & Commentary by Walter Kaufman, New York: Vintage Books, 1974, p. 4-5.

Secara teknis, 6 film tersebut akan ditampilkan secara berurutan berdasarkan


kronologi tahun produksi yang paralel dengan kronologi proses kreatif Arie dan
Tunggul. Enam film tersebut adalah Seperti Ikan di Daratan a.k.a Kettle of Fish
(2007), Cum Suis (2008), Polah (2014) arahan Arie Surastio; sedangkan film arahan
Tunggul Banjaransari adalah OEN (2011), Liburan Keluarga (2012), Udhar (2014).
Enam film tersebut saya pilih karena memiliki benang merah yang sama, yakni
keberaniannya menawarkan alternatif struktur dan strategi penceritaan yang
berusaha lepas dari struktur cerita tiga babak.
***
Arie Surastio dan Tiga Fiksi Pendeknya
Sinema awalnya lebih berpretensi untuk memperlihatkan ketimbang menarasikan.
Adapun narasi yang kemudian kita kenali sebagai bagian dari keseluruhan sinema
adalah kemampuan sinema untuk menyerap seni sastra pada perkembangan lebih
lanjut. Seperti Ikan di Daratan a.k.a Kettle of Fish arahan Arie Surastio bagi
saya lebih berpretensi untuk memperlihatkan ketimbang menceritakan.
Dalam Seperti Ikan, Arie memperlihatkan pada kita bahwa ombak telah menepikan
seorang laki-laki dengan pelampung di lehernya ke daratan. Suara debur yang
menjadi atmosfer auditif untuk tiga potong gambar yang terdiri dari gulungan
ombak, buah kelapa, dan manusia yang tengkurap tak berdaya kemudian
mengarahkan persepsi kita pada peristiwa kecelakaan pesawat yang masih hangat.
Film ini tampil tanpa dialog yang diutarakan karakter-karakternya. Paling banter
hanya suara batuk dari seorang karakter yang berhasil bertahan hidup, selebihnya
adalah debur ombak dan suara angin di hamparan gumuk pasir.
Dengan rekaman kamera analog yang mampu menampilkan gambar, cahaya, dan
warna yang khas, Seperti Ikan di Daratan a.k.a Kettle of Fish berhasil
memperlihatkan dirinya sebagai metafora untuk seseorang yang terdampar di
ruang hidup yang asing. Seperti ikan yang terdampar di daratan, seperti seseorang
yang terdampar di ruang hidup yang asing, yang hanya bisa menggelinjang lemas
minta pertolongan.
Cum Suis adalah frase asing yang sebetulnya telah akrab dalam percakapan harian
kita. Kita mungkin pernah memakainya, namun tak tahu benar apa artinya. Cum
Suis adalah kepanjangan dari C.S., yang artinya dan kawan-kawan. Frase Cum
Suis yang dipilih Arie sebagai judul film akhirnya menemukan sinerginya dengan
konstruksi narasi dalam dunia asing yang elemen material dan non-materialnya
masih bisa kenali: kabut asap, daun-daun gugur, rumah, pohon, kursi yang diduduki
seorang gadis murung bergaun warna-warni, beberapa orang berjubah hitam yang
berlalu-lalang, kemudian lelaki pantomim yang berusaha membuat si gadis bergaun
warna-warni tersenyum dan tertawa gembira. Adapun elemen non-material yang
hadir bisa kita kenali sebagai alunan musik liris, suara anjing yang menyalak,
burung-burung yang berkicau, suara daun-daun kering yang berguguran, dan masih
banyak lagi.
Secara struktur, Cum Suis lekat dengan struktur tiga babak yang dipermak dengan
cara diperlambat. Secara gagasan, Cum Suis bagi saya adalah upaya Arie untuk
mengimajinasikan keberadaan manusia dalam dunia lain melalui sinema. Dengan
2

meminjam beberapa elemen yang ada di dunia ini, Arie berkisah tentang gadis
muda yang bermurung duka atas kematiannya. Si gadis tak mau beranjak dari kursi
yang didudukinya sebelum laki-laki pantomim berhasil membuat si gadis menerima
kematiannya dengan hati yang riang gembira. Keberanian Arie untuk menumpuk
konstruksi dunia lain dan dunia ini dalam satu set yang dikelola dari awal hingga
akhir cerita adalah keberanian yang bagi saya tidak biasa.
Selanjutnya, Polah adalah gerak yang tidak bisa disamakan dengan gerak biasa
(baca: obah). Polah adalah gerak yang tidak melulu punya tuju. Polah adalah
rangkaian gerak yang merangkum aspek kesadaran sekaligus ketidaksadaran
manusia dalam koridor konsekuensi yang akan diterima seseorang atas
tindakannya.
Dalam Polah, Arie bercerita tentang Jalu, peternak kuda yang punya kepekaan untuk
berinteraksi dengan makhluk halus, dan Lantip, kawan Jalu, seorang PNS yang
punya niat jahat terhadap Jalu. Kepekaan Jalu untuk berinteraksi dengan makhluk
halus membuahkan dua konsekuensi, di satu sisi Jalu mampu mengetahui suatu hal
yang akan terjadi padanya, namun di sisi lain ia mendapat kutukan dari makhluk
halus yang berubah menjadi patung perempuan telanjang. Dalam titik tertentu,
kutukan yang diterima Jalu bertemu secara tidak langsung dengan gelagat Lantip
untuk mencuri dan menjual seekor kuda milik Jalu.
Sampai sini, saya melihat Polah sebagai benturan antara mitos dan kenyataan,
antara yang halus dan yang kasar dalam narasi abu-abu tentang polah-tingkah
manusia di dunia ini. Lebih lanjut, Polah bagi saya juga bisa dihitung sebagai
keberhasilan Arie menakar campuran hitam dan putih-nya dunia ini dalam
rangkaian peristiwa yang aksidental.
***
Tunggul Banjaransari dan Tiga Fiksi Pendeknya
Memahami film sebagai teks berkonsekuensi pada keberadaan film sebagai produk
kebudayaan yang memiliki logika tekstualitasnya sendiri. Film semacam OEN
(Wilayah Dengan Penglihatan Berhenti) ini sepertinya dibuat memang untuk
dibaca ketimbang sekedar dilihat. Dalam OEN, Tunggul sengaja membentuk filmnya
tidak dengan struktur peristiwa yang saling beririsan secara kausal, namun Tunggul
lebih memberikan resonansi antara peristiwa yang satu dan lainnya. Adegan demi
adegan dalam OEN tidak ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan cerita,
namun untuk menunjukkan bahwa ada masalah dalam sebuah cerita. Dalam OEN
semua peristiwa yang hadir secara audio-visual kita akan menangkap setidaknya
tiga hal: manusia, kebutuhan, dan komoditas. Dan residu dari tiga hal tersebut
adalah permasalahan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
OEN dibuka dengan injeksi directing yang tampak sebagai potongan-sambung
dokumenter. Sequence yang berisi kerumunan orang di sebuah pasar barang rosok
yang sedang melakukan jual-beli dan tawar-menawar. Dalam salah satu dialog
antara penjual dan pembeli, DVD serial kartun Naruto, Kamera Kodak, dan barang
bekas lain hadir sebagai ikhwal lokal yang sebetulnya adalah global. Ini kemudian
menyeret saya pada pembacaan bahwa lokalitas pasar tradisional pun tak luput
dari cengkeraman hubungan internasional dengan spirit pasar bebasnya.
3

Setelah itu OEN hadir dengan adegan motion grapis sederhana yang bisa kita
definisikan sebagai sebuah mata yang berkedip-kedip. Dengan di iringi voice over
seorang perempuan yang menuturkan tutorial tentang tata cara pembuatan Pizza
Mieitaliano, informasi mengalir sebagai satir. Adegan kemudian meloncat ke
peristiwa air kran kamar mandi yang meluber di bak dan ember. Sebuah keluarga
sederhana yang terdiri ayah, ibu, kakak, dan adik terlihat cuek dan asyik dengan
aktivitas masing-masing. Ayah khusyuk menyimak sebuah siaran televisi yang
menawarkan berbagai produk untuk kaum elit. Adik asyik bermain mobil-mobilan.
Kakak melamun di meja makan, matanya menerawang ke luar. Dan ibu sibuk
memasak dan menyiapkan makanan cepat saji. Setelah makanan cepat saji jadi,
semua anggota berkumpul di meja makan. Mereka melahap makanan dengan cara
yang dramatik dan akrobatik.
Adegan-adegan dalam OEN, selanjutnya banyak melibatkan komoditas-komoditas
seperti air, tanah, dan tumbuhan, berikut adegan-adegan janggal namun simbolik
yang diselipkan sebagai bentuk komedi yang membingungkan. Dalam OEN, saya
cenderung melihat keanehan dan keunikan adegan-adegannya mendekatkan saya
pada pembacaan tentang kapitalisme global yang memungkinkan beberapa tank
tempur lewat di depan rumah kita. Pembacaan tersebut mungkin meleset. Namun
OEN bagi saya hanyalah teks-teks yang berjajar, yang kontekstualitasnya bisa kita
bentuk dengan acuan-acuan yang dekat dengan diri kita masing-masing.
Liburan adalah aktivitas bepergian yang dilakukan di waktu luang atau di hari libur
untuk lepas sejenak dari rutinitas yang membosankan. Liburan Keluarga adalah
film arahan Tunggul tentang liburan sebuah keluarga yang lekat dengan mitos.
Rangkaian peristiwa dalam Liburan Keluarga relatif masih bisa ikuti walaupun
loncatan-loncatan peristiwa seperti yang tampak dalam OEN tetap kita temui,
namun dengan porsi yang lebih kecil. Dalam Liburan Keluarga, Tunggul lebih
mencoba untuk mengelola lokalitas materi dan subjek sinemanya. Sebuah lokalitas
yang secara khusus hidup dalam kultur Jawa.
Liburan Keluarga dibuka dengan adegan dua anak kecil yang tengah menaiki kereta
mini di sebuah pusat perbelanjaan. Tak ada tawa maupun duka dalam wajah datar
dua anak kecil itu. Kereta mini terus melaju. Suara aneh kemudian muncul. Adegan
kemudian beralih ke wajah seseorang yang meniup gelembung sabun dengan cara
yang keliru. Sebuah keluarga besar yang berjumlah lebih dari 4 orang terlihat
sedang duduk di rerumputan. Hari itu malam, pemandangan gelap. Suasana tenang
kemudian gaduh, dan liburan keluarga penuh misteri dan komedi pun dimulai. Si
anak remaja pergi meninggalkan tempat keluarganya berkumpul. Ia membawa
seorang gadis sepantaran. Mereka menggelar jas hujan di sebalik semak-semak.
Suasana malam yang sepi. Keduanya mulai terangsang. Kemudian bercinta tanpa
permisi dengan makhluk kasat mata. Alhasil, keduanya gancet, keduanya kena
tulah. Adegan tersebut berpotensi besar untuk membuat kita tertawa sekaligus tak
habis pikir. Tunggul berhasil mengelola mitos gancet dan tulah yang kerap dialami
muda mudi yang senang bercinta di sembarang tempat.
Mitos lain yang dikelola Tunggul adalah weton dan sawan. Weton adalah hari
kelahiran dan pasaran dalam sistem penanggalan Jawa, sedangkan Sawan adalah
gawan atau bawaan atau shiodalam kultur Chinayang biasanya berwujud
4

binatang-binatang. Elemen tersebut hadir melalui karakter si anak bungsu dalam


Liburan Keluarga. Si bungsu tiba-tiba menderita demam tinggi. Sang kakek
menyarankan untuk segera membawa si bungsu ke Nyai Sumseorang dukun atau
dokter tradisional yang bisa menyembuhkan demam dengan cara tertentu. Sampai
di rumah Nyai Sum, si bungsu malah berjalan seperti macan ketika diobati. Dialog
tentang weton dan sawan macan terjadi ketika si bungsu keluar dengan jubah putih
dan rias wajah yang tidak biasa. Film kemudian berakhir dengan mengambang, dan
dengan cara itu berhasil mengganggu kita yang menunggu-nunggu peristiwa
lanjutan yang rupanya tidak disediakan. Di situlah, saya kemudian merasa bahwa
Liburan Keluarga adalah sebuah perjalanan yang lebih panjang dari akhir yang
sebelumnya telah saya terka.
Selanjutnya, saya tak tahu persis arti dari kata Udhar dalam konteks film Tunggul.
Boleh jadi Udhar hanyalah teks yang dipilih dengan arti tertentu, namun tidak untuk
mewakili presentasi cerita film secara keseluruhan. Udhar menceritakan tentang
seorang ibu yang bermimpi kehilangan cincin ketika mengelilingi kabah. Ia tinggal
bersama anak laki-lakinya yang gemar bermain basket di dalam rumah; dan
seseorang yang terlihat oleh kita, namun tak terlihat oleh karakter-karakter yang
terlibat di dalam film.
Dalam Udhar, Tunggul kembali menggali lokalitas, namun lokalitas yang
mengemuka sebagai personalitas dan kebiasaan-kebiasaan yang hanya mungkin
terjadi di dalam rumah. Selebihnya, persinggungan tentang keyakinan dan
kepercayaan agama tertentu hadir sebagai praktik sekaligus fenomena yang boleh
kita tangkap sebagai problema, pun boleh tidak. Dalam sebuah adegan si anak
memangkas daun pisang dengan helm di kepalanya, dan berbicara dengan seorang
romo yang ada di sebalik tembok. Membalik posisi kita sebagai yang tidak bisa
melihat, namun kali ini terlihat oleh karakter dalam film. Permainan tentang
penglihatan ini dimainkan Tunggul dengan pemahaman yang baik tentang kapasitas
dan batas penggunaan medium sinema. Udhar bagi saya adalah manifestasi dari
praktik kebebasan sinema yang tidak lupa dan memaksa batas-batas yang dimiliki
sinema.
***
Sebelum sampai ke paragraf penutup, saya ingin mengutip pernyataan Nietzsche
tentang pengetahuan estetik. Menurut Nietzsche, pengetahuan estetik bukan
diperoleh dari hukum logis tentang sebab-akibat, tetapi melalui visi bahwa
perkembangan seni secara terus menerus terkait dengan dualitas Apollonian dan
Dionysian.2 Apollonian mengacu pada nama dewa di Yunani Kuno, yakni Apollo
yang mewakili citra lembut, terstruktur, dan rasional; sedangkan Dionysian
mengacu pada nama dewa di Yunani Kuno, yakni Dionysos yang mewakili citra
kasar, tak terstruktur, dan emosional.
Eksperimentasi dari Udharjuga lima film yang di muka telah saya uraisecara
spontan memberikan keberanian pada saya untuk mengonstruksi program
pemutaran yang hendak mewacanakan sebuah praktik sinema yang
mengasyikkan (The Gay Cinema). Keasyikkan yang saya maksud tentu bukan
2

Walter Kaufman (trans. & ed.), Basic Writings of Nietzsche, hal. 33. Dikutip dari Matius Ali,
Estetika Pengantar Filsafat Seni, Jakarta: Sanggar Luxor, 2011, hal. 147.

dalam arti bahwa film-film Arie dan Tunggul memberikan rasa akrab, hangat dan
menghibur, namun lebih ke arah bahwa film-film Arie dan Tunggul akhirnya mampu
memacu rasa ingin tahu kita perihal visi estetik yang mereka perjuangkan.
Saya kira baik Arie maupun Tunggul tentu punya visi ketika membuat film dengan
citra yang lembut ataupun kasar, yang terstruktur ataupun tidak, dan yang rasional
ataupun emosional. Entah disadari ataupun tidak, seorang kreator bagi saya punya
cara sendiri-sendiri untuk mengelola dualitas tersebut tanpa harus kenal Nietzsche,
Apollo ataupun Dionysos.***

Anda mungkin juga menyukai