Anda di halaman 1dari 3

Analisis The Con-Heartist

“The Con-Heartist” adalah film romcom yang berbalut  crime karena terdapat kasus penipuan
yang didasari oleh rasa cinta. Emang bucin goblok jadi saking cintanya, Ina (Baifern)
memberikan uang yang menjadi harta paling berharga pada seorang laki-laki bajingan. Ina
kemudian hidup dengan kesulitan finansial yang cukup parah sebagai seorang kasir.

Suatu hari, Ina menjadi korban penipuan dengan modus penelpon palsu. Tidak ingin
kembali tertipu, Ina membalikkan situasi dan bikin si penelpon itu mati kutu. Tower
(Nadech), si penelpon yang merasa terancam, kemudian menawarkan bantuan di
mana ia akan membantu Ina melunasi hutang yang ada. Kesempatan, Ina
memanfaatkan hal ini buat membalas dendam kepada mantannya sekaligus
merebut kembali uang yang doi bawa kabur.

“The Con-Heartist” diawali oleh pertemuan antara Ina dan Tower dulu, baru deh
setelah itu kita dikasih eksposisi soal Ina yang ditipu mantannya. Denger-denger
kasus penipuan macam begini suka terjadi, sih. Apalagi kalau kita lihat di media
sosial. Nah, setelah itu baru deh misi ini dimulai dengan akal bulus Tower yang
sudah berpengalaman dan bisa membaca gerakan bibir seseorang.

Namanya juga komedi, semua ditampilkan dengan receh. Tapi jangan salah, di sini
lah titik krusialnya karena kita bisa melihat sepeka apa sih sutradara Mez Tharatorn
menyajikan komedi tersebut. Mez sendiri sebelumnya sukses lewat film “I’m Fine
Thank You, Love You”, yang mana filmnya tersebut sampai dibikin remake versi
Indonesia nya.

Ternyata, sensibilitas kerecehan Mez perlu diapresiasi. Hal ini terlihat dengan jelas,
dan mungkin arahan dari Mez tersebut belum pernah diaplikasikan pada film sejenis
dari Indonesia. Dalam “The Con-Heartist”, film sering banget
menggunakan gimmick sinematik untuk menguatkan tuntutan naratif.
Penggunaannya adalah dengan memasukkan suara yang bersifat non-diagetic
sound. Non-diagetic sound adalah elemen suara yang berasal dari luar dunia cerita
filmnya.

Kita sebagai penonton bisa mendengar bunyi ini, namun karakter dalam filmnya tidak
bisa. Nah ini sering banget dimainin oleh film, apalagi scene-scene yang
menggambarkan sebuah situasi tertentu di mana karakter protagonis secara
sengaja memancing karakter antagonis lewat dialog-dialog mengundang.

Simbolisasinya secara cerdas digambarkan dalam bentuk binatang, di mana yang


ngundang adalah domba sementara yang kena undangannya adalah serigala.
Kemudian teknik-teknik lain yang semakin menyokong kerecehan ini juga bisa kita
saksikan. Contohnya ketika film menerapkan split screen. Split screen adalah salah
satu cara untuk memberikan kesan menyenangkan, cuman asiknya lagi film
mengembangkan teknik ini sesuai dengan tuntutan naratif. Scene yang ada saat itu
adalah cekcok di telepon.

Nah nanti kita bisa melihat salah satu bagian dari split screen semakin lama semakin
mengecil karena “tekanan” yang dialami oleh karakter yang sedang berbicara di
bagian split screen itu. Kemudian ada juga receh yang ditimbulkan dari akting salah
satu karakter yang sangat kentara. Ia adalah kakak dari Tower, yaitu John.
Penampilannya sih rapih, tapi kelakuannya ya gitu deh lol.

Oh, belum lagi ada satu karakter yang melicu dengan cara yang jorok. Lain dari itu,
“The Con-Heartist” ngingetin kita kalau film Thailand memang jago dalam membuat
gimmick-gimmick yang memanfaatkan backsound lucu, mimik muka aktor/aktrisnya,
dan penyajiannya yang dinamis.

Masih nyambung sama hal di atas, untuk urusan menjadi konyol ini semakin
mengingatkan juga sama kemampuan yang dimiliki oleh Baifern. Dia itu bisa
dikatakan langka, ya. Tidak hanya karena kecantikan atau manisnya, namun juga
bagaimana kemampuannya dalam berakting funny hingga silly. Tetap terlihat
menawan dan kocak secara bersamaan itu bukanlah sesuatu yang bisa diterapkan
dengan mudah.

Sementara itu, Nadech karakternya tipikal, lah. Seorang penipu ulung yang ganteng,
berpenampilan keren, dan cerdik. Meski begitu Ia juga punya kelemahan yang dirancang
bertolak belakang sama traits yang sudah kami sebutkan sebelumnya. Chemistry yang
dibangun antar karakter mereka berdua erat kaitannya dengan heist yang direncanakan, lalu
bagaimana konflik bergulir semakin menonjolkan apa yang menjadi hal utama dari dinamika
hubungan mereka.

Dari sisi Tower kita bisa melihat adanya kepedulian. Ini jelas banget ditunjukin dalam salah
satu dialognya kepada Ina. Dari sisi Ina poin yang muncul adalah kepercayaan. Nah poin
yang ini nih yang nantinya akan menjadi tools sangat penting di tahap resolusi.

Untuk tipu-tipunya sendiri, “The Con-Heartist” menyertakan kerja tim yang baik. Di sini para
anggota timnya memiliki keunikan masing-masing dan hal tersebut kelihatan menonjol.
Tahap resolusi menjanjikan tipuan yang lebih asyik dibanding yang ada di tahap
konfrontasi. Obstacle  juga dimunculkan dalam bentuk kejadian yang tak terduga
Karakter antagonisnya lebih stand-out dari segi penampilan, kemudian aktingnya
sebagai serigala yang mengincar mangsa juga bagus. Tipe cowok brengsek dengan
wajah tampan, bahkan terkesan babyface. Senyumannya maut dengan tambahan
gimmick, namun karakter ini tidak intimidatif. Karakter Ina krusial perannya di tipu-
tipu tahap resolusi. Lewat build-up yang baik, di mana eksposisinya menampilkan Ina
yang kesannya lemah dan dapat diperalat, ini menjadi batu pijakan yang bagus untuk
tahap resolusinya nanti.
Lewat cara twist, film menonjolkan karakter Ina sebagai tokoh utama dengan layak.
Ia lah yang akan menuntaskan masalahnya sendiri dengan memanfaatkan dirinya
yang merupakan seseorang yang dirasa lemah dan dapat diperalat. Tidak lupa,
humor turut menyertai aksi ini sehingga film tetap terasa ringan dari awal hingga
akhir.

Aksi tipu-tipu receh yang menghibur. “The Con-Heartist” menampilkan warna humor
yang bisa diprediksi dan mereka benar-benar meng-embrace itu. Resiko? Tentu ada,
karena yang namanya humor gak lepas dari selera. Mana lagi ada humor yang
terasa roaming di sini. Cuman, sensibilitas film dalam menyampaikan kerecehan ini
kerasa dari beberapa keputusan kreatif yang dibuat di unsur sinematiknya
Hal ini juga didukung oleh penampilan aktornya, terutama Baifern yang kayaknya
udah jadi makanan dia. Proses penipuannya oke, di mana yang perlu dicatat adalah
film terlihat lebih mengedepankan hal terkait tipu-tipu dibanding cinta-cintaannya.

Untung lah, karena sempat muncul kekhawatiran mengenai ini. Tapi apakah di setiap
momen romansa film dapat menyampaikannya dengan baik? Well, manis-manisnya
film lebih berasa di akhir, dengan sedikit ‘teaser’ menjelang tahap resolusi. Macam
sebuah kulminasi dari apa yang sudah dijalankan oleh Ina dan Tower sejauh ini.

Anda mungkin juga menyukai