Perempuan Tanah Jahanam memiliki naskah cerita yang kuat dan matang. Alur
cerita tersusun dengan baik dari awal hingga akhir, sehingga tak ada kesan yang
dipaksa muncul.
Bukan hanya dieksekusi dengan baik oleh Joko Anwar selaku sutradara dan
penulis, cerita juga dibawakan dengan cemerlang lewat akting para pemain serta
pengambilan gambar.
Bila sempat terbersit Perempuan Tanah Jahanam akan sama dengan Pengabdi
Setan yang juga digarap oleh Joko Anwar pada 2017, maka anggapan itu akan
terbantahkan.
Kesuksesan itu mungkin datang karena cerita dan akting yang kuat. Joko Anwar
berhasil menjaga unsur ini dalam Perempuan Tanah Jahanam.
Dari awal hingga akhir film, ketegangan datang secara intens meski ada canda
yang terselip di dalamnya.
Bila diamati lebih mendalam, keseraman yang terbangun dalam Perempuan Tanah
Jahanam lebih ditunjukkan lewat inti cerita, bukan hanya penampakan. Penonton
akan merasa lebih ketakutan bila benar-benar memahami cerita secara utuh.
Film berdurasi 106 menit ini semakin menarik karena misteri rumit dibuka secara
perlahan. Rasa penasaran penonton seolah dipupuk dari satu adegan ke adegan
lainnya dengan sangat rapi.
Penonton diajak terus berpikir dan menduga, mulai dari adegan Maya dan Dini
menemukan kuburan anak kecil hingga mereka digantung terbalik.
Karena itu, amat disarankan untuk benar-benar memperhatikan adegan dari awal
sampai akhir karena banyak yang saling berkaitan. Bila terlewat, bisa jadi
penonton tak memahami cerita secara utuh.
Dari segi akting, kemampuan Christine Hakim sebagai Nyi Misni dan Ario Bayu
sebagai Ki Saptadi tidak perlu diragukan lagi.
Namun bila membandingkan Tara dengan Asmara Abigail yang berperan sebagai
salah satu warga desa, akting Asmara lebih baik ketimbang Tara.
Meski terbilang bagus, Perempuan Tanah Jahanam juga punya kekurangan. Salah
satunya adalah logat medok dan penggunaan bahasa Jawa yang tidak konsisten.
Hal ini cukup mengganggu kenyamanan dalam menyaksikan Perempuan Tanah
Jahanam.