Anda di halaman 1dari 2

Perempuan Tanah Jahanam, Film Horor yang Betul-Betul Jahanam!

Perempuan Tanah Jahanam adalah sebuah film horor psikologis yang menceritakan
tentang perjalanan seorang perempuan dalam mengungkap misteri keluarganya. Film
layar lebar berdurasi 106 menit ini dirilis pada tanggal 17 Oktober 2019 dan
disutradarai oleh sutradara sekaligus penulis skenario, Joko Anwar. Tak tanggung-
tanggung, film yang diproduksi bersama Base Entertainment, Ivanhoe Pictures, CJ
E&M division, dan Rapi Films ini digarap kurang lebih 10 tahun oleh Joko Anwar.
Terhitung sejak tahun 2008 silam, Joko Anwar selesai menulis naskah tersebut dan
mulai mendalami cerita ciamik ini. Pemeran utama dalam film ini adalah Tara Basro
(Maya), Marissa Anita (Dini), Asmara Abigail (Ratih), Christine Hakim (Nyai
Misni), dan Ario Bayu (Ki Saptadi). Adapun beberapa pemeran pendukung seperti
Faradina Mufti (Nyai Shinta), Aghnini Haque (Laras), Dini Hakim (Ki Donowongso)
dan masih banyak lagi pemeran lainnya yang kemampuan aktingnya tidak kalah
cakap. Selain itu, Joko Anwar juga sengaja melakukan syuting film di desa terpencil
sekitar Malang, Gempol, Lumbang, Bromo, Lumajang, Ijen, dan Banyuwangi, Jawa
Timur.
Perempuan Tanah Jahanam menceritakan tentang perjalanan Maya dalam
mengungkapkan misteri keluarga di kampung halamannya. Bersama Dini, ia pergi ke
sebuah Desa untuk mencari tahu mengenai harta peninggalan keluarganya yang
mungkin bisa ia jadikan sebagai modal usahanya di Jakarta. Siapa sangka, Desa yang
mereka datangi tersebut penuh dengan misteri. Dimulai dari adanya bayi yang
meninggal setiap hari, hingga orang-orang yang mencoba mencari tahu tentang
“Siapakah perempuan yang bernama Rahayu?”. Maya pun megetahui bahwa dialah
perempuan bernama Rahayu dan alasan bayi-bayi tersebut meninggal dibunuh (oleh
Ki Saptadi, seorang dalang sekaligus petinggi desa) adalah karena mereka terlahir
tanpa kulit. Desa tersebut ternyata terkena kutukan setelah seorang dalang bernama
Ki Donowongso dianggap telah menggunakan ilmu hitam dalam usaha
menyelamatkan anaknya yang terlahir tanpa kulit dan diberi nama Rahayu.
Sementara itu, Dini yang mencoba mengaku sebagai Rahayu untuk mempercepat
proses penyerahan surat properti dibunuh dan dikuliti oleh Nyai Misni dan orang
suruhannya. Masyarakat desa percaya dengan membunuh perempuan bernama
Rahayu, mereka semua akan terbebas dari kutukan.
Setelah mengetahui bahwa temannya dibunuh, Maya pun mulai mencari jalan kabur
dari desa menyeramkan tersebut. Dalam hal ini, Maya dibantu oleh seorang penduduk
desa bernama Ratih. Berkat kegigihannya, Maya berhasil mengungkap kebenaran
bahwa ternyata bukan ritual dirinya dan orangtuanyalah yang menyebabkan
malapetaka di desa tersebut, melainkan Nyai Misni yang berusaha melindungi
anaknya (Ki Saptadi) setelah melakukan hubungan terlarang dengan Nyai Shinta,
ibunda Rahayu. Penyelesaian alur film ditutup dengan Maya yang melakukan
beberapa ritual seperti menguburkan mayat anak-anak yang digunakan sebagai
tumbal serta mengetahui kenyataan bahwa Ki Saptadi merupakan ayah kandungnya.
Tak perlu diragukan lagi, Joko Anwar sangat pandai dalam menyajikan cerita dan
mampu membuat penonton merasakan ketakutan yang sama dengan tokoh dalam
film. Dengan kata lain, beliau sukses membawa penonton ikut masuk ke dalam cerita.
Kesuksesan itu mungkin datang karena cerita dan akting para pemain yang kuat. Dari
awal hingga akhir film, ketegangan datang secara intens meski ada candaan yang
terselip di dalamnya. Proses penggarapan yang cukup lama juga sepertinya menjadi
alasan tersendiri mengapa film ini patut disebut ‘sangat matang’ dalam hal produksi.
Selain itu, sinematografi sekaligus suara yang mendukung juga menambah poin lebih
dalam film ini. Akan tetapi, sayangnya terdapat beberapa adegan yang menurut saya
tidak masuk akal dan justru menimbulkan banyak pertanyaan. Seperti salah satunya
adalah ketika Nyai Misni menggantung kulit Dini yang pada saat itu sangat tidak
masuk akal karena terlihat seperti sebuah mainan karet. Selain itu, penggunaan logat
medok dan penggunaan Bahasa Jawa yang tidak konsisten juga sedikit mengganggu
di telinga penonton.
Meskipun begitu, secara keseluruhan film ini sangat sayang untuk dilewatkan.
Berbeda dengan film horor pada umumnya, film horor psikologis ini dapat memberi
kesan lain bagi para pecinta film horor. Selain itu, terdapat pesan moral penting yang
disampaikan yaitu mengenai pentingnya seorang manusia dalam mengendalikan
hawa nafsu, serta mengingatkan bahwasanya kita sebagai manusia mencintai manusia
lain dalam batas sewajarnya saja.

Anda mungkin juga menyukai