KOMUNIKASI GENDER
Dosen Pengampu :
Dr. Sunarto
Ada apa dengan Cinta karya Rudi Soedjarwo yang diluncurkan pada 8
Februari 2002 meraih sukses besar di Indonesia bersama film musikal anak-anak
yang berjudul Petualangan Sherina (2000) besutan sutradara Riri Reza, kedua film
inilah yang menandai kebangkitan kembali dunia perfilman Indonesia. Selain itu, ada
beberapa film lain yang laris manis dan menggiring penonton ke bioskop seperti
Jelangkung, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Laskar Pelangi maupun Naga
Bonar Jadi 2. Genre film juga kian variatif, meskipun tema-tema yang diusung
terkadang hanya sekedar mengikuti arus jaman, ketika sedang ramai horor, banyak
yang mengambil tema horor, begitu juga dengan tema-tema remaja/anak sekolah.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun
untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi
karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang
membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang
dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara
sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hongkong telah merebut posisi tersebut.
Selain film-film komersil itu, ada juga film-
film nonkomersil yang berhasil memenangkan
penghargaan di mana-mana, seperti Pasir Berbisik
yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan
Christine Hakim dan Didi Petet. Selain itu, ada juga
film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti
Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang
kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film
Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin
Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah
yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film-film
seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali
kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada
tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
http://ceritafilm.com/film-indonesia.html
Di samping derasnya produksi film-film layar lebar, ada juga film indie yang
dibuat dengan modal seadanya. Film dengan format indie label ini biasanya lebih
kearah non-komersial dan terkadang temanya lebih kearah masalah sosial dan realita
kehidupan yang ada di sekitar kita. Perbedaan dari film indie ini lebih kepada
industrinya. Persoalan talenta, tidak ada yang memungkiri kalau film-film indie
terkadang lebih bagus daripada film-film mainstream yang muncul di layar lebar. Jadi
disini hanya masalah uang, karena industri film berbasis kepada profit, production
house menanamkan modal yang besar untuk mencari keuntungan yang lebih besar.
Tema-tema seperti itu pasti sangat menghibur sekali, bagaimana tidak karena
film yang mengusung tema seperti itu selalu dibumbui oleh ketiga unsur tersebut
sarat dengan hiburan yang bisa dibilang cocok dengan “mata” orang Indonesia, tetapi
sangat disayangkan dengan kurang adanya nilai moral yang terkandung dalam film-
film tersebut.
Jika kita telisik lagi lebih dalam, dibalik ketiga unsur tersebut, yaitu komedi,
seks dan horor, bisa dibilang terdapat sebuah pencitraan terhadap kaum perempuan.
Salah satu film Indonesia yang menggambarkan perempuan sebagai objek adalah film
Kawin Kontrak. Pada keseluruhan filmnya perempuan masih terus menjadi objek
utama dari alur ceritanya dan sebagian besar menjadi korban dari kawin kontrak.
Fenomena kawin kontrak ini sebenarnya tidak hanya terjadi dalam suatu
adegan di depan kamera, tetapi dalam kehidupan nyata pun sudah bukan rahasia
umum lagi jika benar-benar terjadi. Fenomena inilah yang kemudian diangkat
menjadi sebuah film yang diputar di layar lebar dengan judul Kawin Kontrak. Setelah
sukses dengan film tersebut kemudian dibuat lagi film yang berjudul Kawin Kontrak
Lagi, jalan ceritanya pun tidak jauh beda dengan film sebelumnya.
2. PERUMUSAN MASALAH
Film Kawin Kontrak yang diputar di berbagai bioskop di tanah air bukanlah
satu-satunya film yang bisa dibilang hanya untuk sekedar hiburan semata karena
kurang terdapat nilai pendidikan dan pesan moral. Banyak film lainnya, khususnya
film-film bergenre horor yang justru didalamnya berisikan adegan-adegan syur yang
kurang layak untuk dipertontonkan. Namun yang menjadikan film Kawin Kontrak ini
cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah realita bahwa tentang adanya
perjanjian kawin kontrak yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Ketika fenomena kawin kontrak ini dikemas dalam sebuah film, lalu apakah
film ini akan menceritakan seperti halnya sebuah investigasi tentang seputar kawin
kontrak? Mungkin rasanya akan begitu hambar ketika penonton hanya disuguhkan
hal-hal yang berat tanpa ada bumbu hiburan. Karena tidak dipungkiri jika sebagian
besar masyarakat kita sendiri lebih membutuhkan sebuah hiburan dalam sebuah film.
“Mata” kita sudah terbiasa dimanjakan untuk menyaksikan hal-hal yang
menyenangkan.
Cerita film Kawin Kontrak Lagi ini bermula dari kelompok cupu The Gigs
yang terdiri dari Menfo (Yogi Aldi), Hakim (Aditya), dan Fredo (Hardi Fadillah),
yang sangat ingin merasakan sensasi seks untuk pertama kalinya. Merekapun
berusaha untuk meminta Jody (Ricky Harun) sebagai guru yang bisa mengajarkan
bagaimana cara agar bisa mendapatkan pasangan.
Jodi yang sebelumnya hidup serba mewah, harus menelan kenyataan pahit
karena ayahnya ditangkap KPK karena terlibat korupsi. Hidupnya pun berubah drastis
dan dia harus membiayai kuliahnya sendiri.
Suatu ketika Jody bertemu dengan Kang Sono (Lukman Sardi) di suatu
tempat. Nasib mereka ternyata sama yaitu menjadi orang miskin baru. Jody yang
sedang memutar otak untuk mencari uang biaya kuliah, rupanya mendapat ide
cemerlang dengan datangnya Trio The Gigs yang ingin merasakan sensasi seks tanpa
resiko bersedia melakukan kawin kontrak. Kang Sono pun ikut membantu dalam
bisnis ini.
The Gigs akhirnya dibawa ke yayasan milik Bos Maung (Teno Ali), di Desa
Pakelonan. Yayasan ini menampung gadis desa yang akan di kirim ke kota untuk
dipekerjakan sebagai PSK kelas tinggi. Menfo, Hakim, dan Fredo pun membayar dan
memilih gadis yang akan dikawin kontrak.
Namun salah satu diantara mereka ada yang tak mulus jalannya saat
bereksperimen seks sehingga selalu gagal bereksperimen. Sassi (Thalita Latief)
adalah salah satu gadis desa yang baru, Sassi ternyata dijual oleh orang tuanya ke
yayasan Maung untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya. Dalam
perjalanan tersebut akhirnya Jody
bertemu kembali dengan Euis mantan
istri kawin kontraknya terdahulu. Euis
pun berusaha menolong Sassi dari
cengkeraman bos Maung.
Sampai akhirnya Sus Miranda (Cut Mini), bos besar dari Jakarta datang dan
ingin mengirim beberapa gadis ke Jakarta, dan mengetahui bahwa Sassi masih
perawan dan menginginkannya karena ada rekannya di Jakarta yang mau membayar
mahal.
Aksi rebutan pun tak terhindarkan antara pihak Kang Sono dan Jody dengan
kelompok Bos Maung. Dan tiba-tiba saja Euis mendapatkan ilmu silat yang kemudian
berhasil mengalahkan kelompok Bos Maung dan berhasil menggagalkan rencana Bos
Maung.
http://cinema3satu.blogspot.com/2009/05/kawin-kontrak-2_31.html
Dalam film edisi kedua ini alur ceritanya tidak jauh berbeda dengan film
pertamanya, namun yang cukup membedakan dalam edisi kedua ini terdapat nilai
perlawanan dari kaum perempuan kawin kontrak tersebut. Tetapi esensi
perlawanannya masih terbungkus oleh bayang-bayang dominasi lelaki karena hampir
tokoh yang mengendalikan jalannya cerita didominasi mereka, hampir semua adegan
film ini berkekuatan maskulinitas.
Maskulin disini bukan berarti kekuatan otot saja melainkan struktur sosial
yang terbentuk dalam setiap adegan, dari penonjolan tokoh banyak karakter pria lebih
kuat dibandingkan wanitanya.
Kekuatan maskulis dengan wajah feminis terlihat dari adegan terakhir ketika
Euis melakukan perlawanan terhadap kelompok Bos Maung. Euis tiba-tiba
mendapatkan ilmu silat yang kemudian berhasil mengalahkan kelompok Bos Maung.
Dari adegan tersebut, sebenarnya film ini ingin menunjukkan suatu
perlawanan wanita terhadap kaum laki-laki. Ada kesalahan bentuk yang ingin
disampaikan ketika wanita bisa sederajat dengan laki-laki, tetapi dalam film ini cara
yang dilakukan harus dengan melakukan beladiri yang notabenenya identik dengan
kekerasan.
Padahal perlawanan wanita terhadap kaum laki-laki tidak harus dengan cara
kekerasan, tapi masih ada cara lain yang lebih baik. Sehingga konsep feminitas yang
didengungkan belakangan ini bukan konsep yang melahirkan maskulinitas dengan
baju feminis.
4. KESIMPULAN
Adapun citra gender yang dibentuk dalam film ini cenderung merupakan
bentuk maskulinitas yang mana kesetaraan gender harus diperjuangkan dengan cara-
cara kekerasan. Padahal masih banyak cara-cara yang lebih baik yang dapat ditempuh
untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Internet :
Feminisme
http://langkahkecilkaki.blogspot.com/2009/08/feminisme.html
Film Indonesia
http://ceritafilm.com/film-indonesia.html
Foto Konten :
Beberapa foto yang diambil dengan meng-capture langsung dari Film Kawin Kontrak
Lagi