Anda di halaman 1dari 4

Tren Ekranisasi dan Pengaruhnya dalam Dunia Kesusastraan Indonesia

Izdiharti Husniyah – 170211604547

Film ‘Dilan 1990’ dan ‘Dilan 1991’, ‘Bumi Manusia’, ‘Teman Tapi Menikah’, ‘Dua
Garis Biru’, adalah beberapa contoh film terkenal pada 2019 yang diangkat dari novel yang juga
sudah populer sebelumnya. Film-film tersebut sangat sukses di pasaran, khususnya bagi kaum
milenial Indonesia. Para pemain yang dihadirkan pun merupakan idola anak muda, seperti Iqbaal
Ramadhan, Vanesha Prescilla, Adipati Dolken, Mawar Eva de Jongh, Angga Yunanda, dan Zara
JKT48. Mereka lah artis-artis pendatang baru yang cukup menambah semarak perfileman
ekranisasi di Indonesia tahun 2019. Selain itu ada film ‘Terlalu Tampan’ dan ‘Eggnoid’ yang
masing-masing tayang pada Januari dan Desember 2019. Keduanya adalah film yang diangkat
dari serial webtoon (kartun web) populer yang juga dimainkan oleh pemain-pemain muda
berbakat seperti Ari Irham, Rachel Amanda, Nikita Willy, Morgan Oey, Sheila Dara, dan Kevin
Julio.

Sebelumnya ada banyak sekali film-film Indonesia hasil ekranisasi yang juga populer.
Misalnya, ‘Ayat-Ayat Cinta: 2008’, ‘Laskar Pelangi: 2008’, ‘Ketika Cinta Bertasbih: 2009’, ‘5
CM: 2012’, ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck: 2013’, ’99 Cahaya di Langit Eropa: 2013’,
‘Filosofi Kopi: 2015’ yang diangkat dari cerpen, dan film horror dari kisah nyata yang awalnya
ditulis dalam bentuk novel yaitu ‘Danur: 2017’, serta masih banyak lagi. Sebagaimana
pernyataan yang disampaikan oleh Kristanto (2017) bahwa di Indonesia tidak kurang dari 240
film dibuat berdasarkan novel, baik novel dari dalam negeri maupun novel dari luar negeri,
antara tahun 1927 dan 2014. Jumlah ini mewakili lebih dari tujuh persen dari semua film
Indonesia yang tercatat dalam Katalog Film Indonesia.

Antusiasme masyarakat yang besar terhadap karya-karya hasil ekranisasi membuktikan


bahwa karya-karya tersebut sangat besar pengaruhnya. Antusiasme dalam pengertian di sini tidak
selamanya ketika karya tersebut dipandang baik. Sebagian film ada yang menuai kontroversi
tentang apakah pantas film ini dialih wahanakan, atau apakah pemain tertentu cocok
memerankan tokoh dari sebuah novel ke dalam sebuah film. Seperti tokoh Minke dalam Bumi
Manusia yang diperankan oleh Iqbaal. Sebagian orang menilai Iqbaal tidak pantas memerankan
sosok Minke. Selain itu, kontroversi lain yang sering terjadi terhadap karya ekranisasi adalah
mengenai mampu tidaknya sebuah film menampilkan ruh novel yang sesungguhnya, sehingga
sering kali menuai perdebatan. Namun apapun reaksi masyarakat terhadap film ekranisasi
tersebut, yang pasti karya-karya tersebut berhasil menarik perhatian masyarakat yang besar, baik
dari sisi apresiasi maupun kritikan tajam.

Dibandingkan dengan kesuksesan film-film yang bukan dari ekranisasi karya yang
dipengaruhi oleh siapa saja orang-orang yang berhubungan dengan produksi, trailer film, ide
cerita, dan sebagainya. Selain hal-hal tersebut, maka kesuksesan film-film ekranisasi dipengaruhi
oleh seberapa sukses karya aslinya diterima masyarakat. Semakin besar kesuksesan karya
tersebut sebelumnya, maka antusiasme masyarakat terhadap ekranisasi (pengalihan wahana)
karya tersebut semakin besar pula. Karena mereka sudah cukup puas dan suka dengan karya
sebelumnya, maka kesukaan mereka itu akan menuntun mereka kembali untuk menikmati karya
tersebut yang sama dalam wujud yang lain.

Ada beberapa faktor yang membuat karya ekranisasi mampu menarik penonton yang
banyak, di antaranya akibat penonton tersebut memiliki rasa penasaran yang besar tentang
bagaimana seluruh kejadian dan tokoh-tokoh dalam dunia novel itu mampu diaudio-visualkan
wujudnya seolah hadir dan nyata. Atau untuk menjawab rasa penasarannya tentang versi lain dari
novel yang ia baca misalnya. Artinya, sebagian besar yang menonton atau menikmati karya
ekranisasi adalah untuk menjawab rasa penasaran mereka. Selain itu, dapat ditonton oleh mereka
yang memang lebih condong tertarik dengan bentuk karya yang berikutnya. Misalnya seseorang
lebih menikmati menonton film dibandingkan membaca novel.

Selain antusiasme masyarakat yang besar, tren ekranisasi di Indonesia tentu juga
dipengaruhi oleh bagaimana industri film itu berjalan. Berdasarkan cinemapoetica.com, bahwa
pengutamaan novel laris dalam praktik ekranisasi mencerminkan pemahaman bahwa film dibuat
sebagai komoditas yang dijual kepada konsumen (penonton). Bahkan ada film yang meski
kurang populer sebagai novel, tapi tetap diangkat ke layar perak karena genre atau penulisnya
populer. Sangat sering terjadi pula, jika film bisa memenuhi harapan penonton (lebih mirip
dengan novel) maka penonton lebih banyak yang menilai bagus meskipun secara umum belum
tentu kualitas filmnya bagus.

Keterbatasan ide dalam penulisan script selain membuat penulis skenario mengadaptasi
cerita dari bentuk lain, juga menyebabkan munculnya gejala plagiasi film. Gejala plagiarisme
film di Indonesia terlihat pada munculnya film-film bertema sama dalam waktu yang bersamaan.
Keringnya ide dalam proses kreatif penulisan script akan membuat penulis skenario memilih
cara cepat untuk menghasilkan script yang bagus. Novel merupakan salah satu sumber penulisan
script. Novel dengan penjualan baik atau memperoleh predikat best seller merupakan sumber
strategis dalam proses penulisan script. Novel best seller merupakan novel yang penjualannya
melebihi angka target penjualan (Praharwati & Romadhon, 2017).

Berdasarkan uraian sumber-sumber tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa tren


ekranisasi di Indonesia rupanya besar dipengaruhi oleh kepentingan industri film. Industri
tersebut lebih berpusat pada keuntungan dibanding karya itu sendiri. Karena novel-novel yang
sudah populer dan laris akan memiliki potensi keuntungan yang lebih besar, sebab produksi film
tentu menghabiskan biaya yang cukup besar dibandingkan novel. Film juga menyajikan unsur
seni yang lebih lengkap dan kompleks dari sekedar kata-kata dalam novel, seperti audio-visual,
unsur artistik, latar dan adegan yang akurat namun juga indah, dan sebagainya. Hal itu tak bisa
disalahkan juga karena banyak pula film-film ekranisasi yang memiliki kualitas baik dan patut
diapresiasi secara karya.
Sesungguhnya tidak selamanya industri film hanya memfilemkan karya-karya populer,
karena justru ada banyak film yang memperkenalkan sebuah karya novel melalui filmnya.
Sehingga orang-orang yang suka pada filmnya atau filmnya yang terkenal terlebih dahulu meski
karya novelnya yang lebih dahulu terbit, akan mulai mencari dan membaca karya novelnya
sebagai karya asli. Hal itu juga dilandasi dengan rasa penasaran penonton atau pembaca terhadap
bentuk lain dari karya tersebut atau sebagai wujud kecintaan mereka terhadap karya itu sendiri.
Menurut (Praharwati & Romadhon, 2017), beberapa contoh film yang justru hadir
memperkenalkan karya aslinya melalu film, misalnya ‘Mimpi Sejuta Dollar’, ‘Marmut Merah
Jambu’, ‘Assalamualaikum Beijing’, Bulan Terbelah di Langit Amerika’, Refrain’, ‘Air Mata
Surga’, dan masih banyak lagi.

Meski ekranisasi mampu mengangkat karya aslinya melalui film, namun hal tersebut
masih berlaku sama hanya pada novel-novel populer yang memiliki kemungkinan besar disukai
masyarakat. Menurut (ekspresionline.com) tren ekranisasi yang berfokus pada industri juga tidak
bisa dilepaskan dari langgam bacaan kapitalistik yang lekat di masyarakat. Konsumsi bacaan
seperti novel-novel pop memang lebih laku dari “novel sastra” dan tentu saja lebih
menguntungkan untuk difilmkan. Meski demikian, novel-novel yang dikategorikan “sastra
kanon” juga mendapat tempat dalam jagad ekranisasi. Sebut saja Atheis yang difilmkan Sjuman
Djaja, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah karangan
Hamka, juga film Sang Penari yang merupakan adaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari.

Hal yang menjadi masalah pada akhirnya, karena ekranisasi belum mampu mengangkat
karya-karya sastra ‘kanon’. Meski ada namun sedikit jumlahnya. Seharusnya, dengan
keberhasilan beberapa karya sastra yang difilmkan, dapat dijadikan pembelajaran untuk
membuat hal yang sama. Indonesia harus mampu menciptakan tren. Sebuah tren di mana, cerita-
cerita novel sastra ‘kanon’ sangat menarik untuk dikaji dan apabila djadikan film akan
menjadikan film tersebut kuat, bermakna, berkualitas, dan ‘dalam’ pengkajiannya. Misalnya
mengambil contoh kesuksesan ‘Bumi Manusia’.

Saya berharap akan banyak bermunculan produksi-produksi lain yang serius mengangkat
sastra ‘kanon’ tentu dengan kualitas yang baik dan setara dengan kualitas karya aslinya-
mengabaikan bagian-bagian yang berubah dalam film. Misal dengan kualitas-kualitas semacam
The Godfather, El Secreto de sus Ojos, atau No Country For Old Men. Memang sulit
mengharapkan karya yang merangkum kompleksitas manusia beserta dunianya dalam bentuk
audiovisual, namun patut dicoba. Pada dasarnya masyarakat akan tetap tertarik pada film-film
yang berkualitas dan menarik. Beban ini tentu diberikan kepada seluruh pihak yang bekerja di
dalam produksi film. Kemampuan produser, sutradara, penulis skenario dalam memahami,
mendalami, menginterpretasi sebuah karya dan film sangat diuji dan diasah dalam kasus ini.
Sehingga untuk dapat menghasilkan karya yang berkualitas dan menarik di mata masyarakat
mereka tak bisa sembarangan dalam membuat. Mereka juga harus mampu membaca peluang,
tren di masyarakat, atau bahkan menciptakan tren itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan,
justru tren ekranisasi di Indonesia ini dapat dimanfaatkan untuk lebih memperkenalkan karya-
karya sastra berkualitas kepada masyarakat dengan lebih baik.

Referensi:

https://cinemapoetica.com/adaptasi-novel-ke-film-praktik-ekranisasi-di-nusantara-1927-2014/
diakses pada tanggal 16 Februari 2020.
https://ekspresionline.com/2018/06/13/menanti-ekranisasi-yang-sebaik-baiknya-sehormat-
hormatnya/ diakses pada tanggal 16 Februari 2020.
Praharwati, Dyan Wahyuning & Romadhon, Sahrul. 2017. Ekranisasi Sastra: Apresiasi
Penikmat Sastra Alih Wahana. Buletin Al-Turas: Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan
Agama – XXIII(2)
Woodrich, Christopher. 2017. Sejarah Ekranisasi: Mengangkat Novel Menjadi Film di
Nusantara (1927–2014). Universitas Andalas.

Anda mungkin juga menyukai