Anda di halaman 1dari 47

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi massa adalah proses penciptaan makna bersama melalui

media massa dan khalayaknya 1 . Media massa dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan berbagai macam hal. Salah satu media massa yang sekarang ini

semakin diminati oleh khalayak luas ialah film, film bisa disebut sebagai medium

komunikasi yang ampuh, bukan hanya sebagai hiburan saja akan tetapi juga

sesuatu yang dapat mendidik2. Beragam jenis film tentunya menjadi daya tarik

tersendiri bagi penonton dalam hal ingin mencari sebuah hiburan, dari berbagai

jenis genre film tentunya hadir sebagai pilihan yang dapat memuaskan para

penonton.

Film sebagai produk media komunikasi massa yang berfungsi untuk

menyampaikan pesan hingga kini masih bertahan di tengah perkembangan new

media yang kian marak dalam berbagai aspek. Film dipandang dalam berbagai

perspektif yang berbeda baik sebagai Dalam UU Perfilman tahun 2009,

dinyatakan bahwa bahwa film sebagai karya seni budaya memiliki peran strategis

dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir

batin untuk memperkuat ketahanan nasional. Kedudukan media film juga dapat sebagai

1
Stanley J. Baran, PengantarKomunikasi Massa, (Jakarta; Erlangga, 2008), h.7.
2
Onong Uchjana Efendi, Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung; Cipta Aditya
Bakti, 2003), h.207
2

lembaga pendidikan nonformal dalam mempengaruhi dan membentuk budaya kehidupan

masyarakat sehari-hari melalui kisah yang ditampilkan.3

Film sebagai bentuk dari karya seni memiliki banyak maksud dan tujuan

yang terkandung di dalamnya tergantung dari bagaimana pembuat film ingin

memberikan maksud pesan lain dari film tersebut. Meskipun dengan cara yang

beragam dilakukan, namun tetap saja setiap Film mempunyai satu sasaran penting

yaitu agar mendapat perhatian dari khalayak penonton sekaligus terdapat pesan

lain yang ingin disampaikan kepada penonton, karena diketahui bersama bahwa

sebuah Film hadir tidak hanya memberikan sebuah hiburan tetapi ada makna lain

yang tersirat sebagai pesan dari pembuat Film.

Karya film selalu mengandung sebuah pesan atau amanah yang ingin

disampaikan, baik itu berupa pesan moral, pesan edukasi, dan sebagainya. Film

dapat menjadi media dakwah yang efektif karena dibuat dengan pendekatan seni

budaya berdasarkan kaidah sinematografi. Pesan dakwah dalam film disajikan

dalam bentuk cerita sehingga memiliki cara penyampaian yang lebih efektif

kepada penontonnya4.

Perkembangan perfilman di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat

pesat. Saat ini perfilman di Indonesia sudah mampu menunjukan keberhasilannya

untuk menampilkan film yang lebih dekat dengan budaya bangsa Indonesia. Kerja

3
Muhammad Tsabiet, Supriyadi, “Produksi Film PSA “Kita Indonesia” Sebagai Analisa
Media Komunikasi Berbasis Multimedia”, ejournal, Volume 9, No. 2, (Jurnal yang diterbitkan,
STIMIK Nusa Mandiri Jakarta, 2018), h. 211-212
4
Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Sebuah Studi Komunikasi, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2011), h.106
3

keras yang sudah dilakukan oleh sineas film, agar bisa menampilkan film yang

lebih berkualitas, kini sudah bisa dinikmati oleh penontonnya dilayar lebar.

Akan tetapi perfilman Indonesia disatu sisi berkembang pesat di sisi lain

saat ini tidak selalu mengalami kesuksesan. Hal ini dikarenakan cukup banyaknya

film berunsur pornografi atau kekerasan yang beredar di masyarakat. Sedikit

sekali adanya film yang memiliki kualitas yang baik dan memiliki nilai-nilai

positif yang bisa didapatkan, karena film adalah media massa komunikasi yang

tepat, bukan saja untuk hiburan, tetapi juga cerminan bagi para penonton yang

menyaksikan, dan sebagai media pembelajaran yang lengkap5.

Belakangan ini fenomena film dengan genre horor sedang berbondong-

bondong menghiasi layar kaca bioskop Indonesia. Hal ini menjadi tanda

kebangkitan kembali film horror Indonesia setelah sempat redup beberapa tahun

lalu. Sebut saja kemunculan film-film seperti Arwah Goyang Jupe-Depe, Pulau

Hantu yang berlanjut hingga Par III, Nenek Gayung, Rintihan Kuntilanak

Perawan, Tiran, Suster Keramas, Hantu Puncak Datang Bulan, Menculik Miyabi

dan masih banyak lagi. Film horor semakin berani dalam menyuguhkan

sensualitas dalam judul filmnya. Eksploitasi tubuh seorang perempuan mulai

banyak ditonjolkan dan digunakan sebagai komoditisasi alias pelaris. Perempuan

dalam film, ditempatkan sebagai salah satu alat produksi. Eksploitasi perempuan

dalam sebuah film, tak lepas dari peran sebagian perempuan yang sering bangga

dianggap sebagai perempuan seksi, sehingga sering mendapatkan pembenaran

dalam kalangan perempuan sendiri. Sementara sensualitas perempuan dalam film

5
Apriyanto, Film dan Asalanya, (Jakarta: Gramedia, 2006), h. 57
4

yang terlalu berlebihan, juga akan menimbulkan konflik sosial yang tidak sesuai

dengan budaya timur, yang mengedapankan tata krama. Dapat dikatakan bahwa

dalam beberapa media film horor di Indonesia menjadikan perempuan sebagai

obyek eksploitasi untuk meningkatkan penjualan film. Padahal UU perfilman

telah memberikan peringatan terkait dengan film yang imoral.6

Sementara sensualitas perempuan dalam film yang terlalu berlebihan, juga

akan menimbulkan konflik sosial yang tidak sesuai dengan budaya timur, yang

mengedapankan tata krama. Eksploitasi tubuh juga dilarang dalam Undang-

undang no 3 thn 1992 tentang perfilman pasal 36 yang menyatakan adanya

pelarangan film yang menonjolkan unsur cabul, imoral, perjudian,

penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam

beberapa media film horor di Indonesia yang menjadikan perempuan sebagai

obyek eksploitasi untuk meningkatkan penjualan film, bertentangan dengan social

budaya Timur dan UU perfilman.7

Horror yang biasanya mengalirkan kisah-kisah menyeramkan yang

mampu membuat bulu kuduk merinding, berubah menjadi dokumentasi

eksploitasi tubuh pemeran-pemerannya. Selebritis yang didapuk memerankannya

tentu saja mereka yang memiliki badan seksi menuju Vulgar8.

Cerita horor yang seharusnya memberikan kesan ketakutan kepada

khalayak telah diubah menjadi film yang seronok dengan menjual desahan

6
Ardiansyah Perdana Putra, “Representasi Perempuan Pada Film Horor (Studi Pada Film
Bangkitnya Suster Gepeng dan Tali Pocong Perawan)”, (Jurnal yang diterbitkan, Universitas
Brawijaya, 2015), h. 2-3
7
Ibid, h. 7-8
8
https://www.kompasiana.com/industri-horror-esek-esek-di-perfilman-indonesia-kapan-
berakhirArtikel ini diakses pada tanggal 23Februari 2019. Pukul 09.23
5

perempuan dan kemolekan tubuh perempuan. Perempuan dijadikan sebagai

komoditi dalam pasar film horor. Mereka dijadikan sebagai suatu objek yang

memiliki daya jual tinggi dipasar.9

Fenomena mengenai tubuh dan sesualitas perempuan dalam film horor ini

banyak disayangkan oleh para pengamat film di Indonesia. Seharusnya film horor

di Indonesia mampu menjadi kekuatan perfilman Indonesia, tetapi pertimbangan-

pertimbangan komersial sering menenggelamankan potensi kuat film Indonesia.

Hal ini diakibatkan oleh adanya kemalasan berfikir produser serta sineas

Indonesia dalam proses kreatifnya.10

Melihat film horor diminati penonton, maka produser dan sineas Indonesia

membuat film horor dengan tema yang sama dan terus-menerus mengenai

eksploitasi tubuh perempuan. Pertimbangan ekonomi yang dominan, film-film

horor di Indonesia tidak dibuat secara sungguh-sungguh. Biaya yang murah,

estetika yang kacau, jalan cerita yang tidak masuk akal menjadi buah dari

rangkaian kemalasan tersebut. Menurut Sasono (Rusdiarti, 2011: 12), hal ini dapat

menjatuhkan film Indonesia, khususnya genre horor ke dalam suatu jurang

pelecehan.11

Senada dengan yang dikemukakan Arswendo Atmowiloto ketika

mengomentari komentar banyak orang atas penerbitan tabloid Monitor yang

dipimpinnya. Ia mengeluarkan sebuah pernyataan yang cukup kontroversial, ia

menyebutkan bahwa “Wanita itu 65 % adalah simbol seks dan selebihnya adalah

9
Primada Qurrota Ayun, “Sensualitas dan Tubuh Perempuan dalam Film-film Horor di
Indonesia (Kajian Ekonomi Politik Media)”, Pendidikan Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Gadjah
Mada, (Jurnal yang diterbitkan, Universitas Gadjah Mada, 2012), h. 9-10
10
Ibid, h. 13
11
Ibid, h. 15
6

misteri...”. Film–film dengan tema seksual, mengekploitas perempuan untuk

memunculkan seksualitas yang dimilikinya. Eksploitasi tubuh perempuan ini

kemudian menjadi konsumsi publik yang disaksikan oleh jutaan pasang mata

melalui layar bioskop. Penggunaan sensualitas tubuh perempuan yang

dieksplorasi dalam perfilman horor saat ini, Eksploitasi perempuan dalam film

teridentifikasi melalui wacana seksual yang diekspos secara vulgar dalam film,

tubuh perempuan dipertontonkan secara erotisme dan eksotis. Artinya, tubuh

perempuan tidak ditampilkan apa adanya sesuai fungsi biologis atau dalam artian

normal dan tidak berlebihan, namun dibentuk atau dikonstruksi kembali sesuai

selera pasar yang diminati oleh para remaja.12

Film dalam hal ini menjadi ekonomi bagi peraup keuntungan pembuat film

tidak masalah jika eksploitasi tubuh pemain sebagai bumbu sedap film, namun

yang disayangkan adalah cara pandang tim produksi film horror Indonesia

mengenai genre yang ingin disuguhkan kepada masyarakat sebagai penonton.

Fokus cerita yang awalnya adalah bertema horror berubah menjadi adegan sexs

yang ditayangkan pada hampir semua film horror Indonesia.

Pada tanggal 15 November 2018, industri film Indonesia diramaikan oleh

sebuah film bertema horror yang berjudul Suzzana: Bernafas dalam Kubur. Film

ini diproduksi oleh Soraya Intercine Films dan disutradarai oleh Rocky Soraya

dan Anggy Umbara. Film ini merupakan awal untuk membangkitkan kembali rasa

rindu terhadap sang legendaris yang kerap dijuluki “ratu horror Indonesia” yaitu

Suzanna, dengan perpaduan dua film Suzanna, Beranak dalam Kubur (1970) dan
12
Dio Pratama. A, “Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Film “Air Terjun Pengantin”
Karya Rizal Mantovani”, eJournal Ilmu Komunikasi, Volume 2, No. 4, (Jurnal yang diterbitkan,
Universitas Mulawarman, 2014), h. 298-301
7

Bernafas dalam Lumpur (1971), namun menurut produser Sunil Soraya, kisah ini

benar-benar baru dengan di produksi tahun 2018. Film ini dibintangi oleh

beberapa aktor dan aktris terkenal di Indonesia, diantaranya Luna Maya, Herjunot

Ali, Clift Sangra, Teuku Rifnu Wikana, Alex Abbad, Verdi Solaiman, Kiki

Narendra, Asri Welas, Opie Kumis, dan Ence Bagus13.

Film Suzzana: Bernafas dalam Kubur menjadi salah satu film paling laris

di kancah perfilman Indonesia. Film yang dibintangi Luna Maya itu berhasil

memecahkan rekor opening day film horror Indonesia. Dalam waktu sehari

penayangan perdana, film Suzzana: Bernafas dalam Kubur mendapat sekitar

204.462 penonoton. Dan menjadikan film ini sukses sebagai pemecah rekor film

dengan penonton terbanyak di penayangan hari pertama dalam sejarah bioskop


14
Indonesia tahun 2018 . Dengan melihat kondisi angka penonton yang

membludak, ada potensi untuk bisa memberikan nuansa baru cara pandang

seseorang dalam hal menikmati film horor yang tidak terpaku pada sensualitas

saja yang ingin dijual.

Film “Suzzana: Bernafas dalam Kubur” ini merupakan Film dengan tujuan

untuk membangkitkan kembali rasa rindu terhadap sang legendaris yang kerap

dijuluki “ratu horror Indonesia” yaitu Suzanna, dengan perpaduan dua film

Suzanna, Beranak dalam Kubur (1970) dan Bernafas dalam Lumpur (1971),

namun menurut produser Sunil Soraya, kisah ini benar-benar baru dengan

produksi tahun 2018. Film ini menceritakan tentang sepasang suami istri yang

13
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suzanna:_Bernafas_dalam_KuburArtikel ini diakses
pada tanggal 23 Februari 2019. Pukul 09.56
14
https://m.solopos.com/entertainment/read/20181116/482/suzana-bernafas-dalam-kubur-
pecahkan-rekor-opening-day-film-horror-indonesiaArtikel ini diakses pada tanggal 20 Februari
2019. Pukul 15.37
8

sudah menikah selama 7 tahun hidup tentram dan bahagia. Akan tetapi ketika

Satria akan berangkat ke luar negeri dan meninggalkan istrinya seorang diri.

Momen tersebut yang dimanfaatkan oleh empat orang perampok yang kelak

menjadi pembunuh Suzzana15.

Secara garis besar, film ini menceritakan kehidupan sebuah keluarga yang

taat beribadah. Kesuksesan karir yang didapati sang suami tidak melupakan

kepada sang pencipta. Walau keluarga mereka selama 7 tahun menikah belum

diberi momongan, namun mereka tetap rajin meminta kepada sang pecipta. Akan

tetapi, naas menimpa keluarga mereka disaat suami bertolak ke luar negeri sang

istri dibunuh oleh perampok yang notabene adalah karyawan dari suami dimana ia

bekerja karena tidak diberi upah yang tinggi oleh Satria. Alhasil dibunuh lah

Suzzana yang melatar belakangi ia menuntut balas atas kematiannya. Akan tetapi

ketika Suzzana telah dibunuh ia masih saja tinggal dirumah hingga suaminya

kembali kerumah. Bahkan ketika Suzzana telah meninggal, ia masih saja

membangunkan suami untuk beribadah.

Film Suzzana: Bernafas dalam Kubur secara umum merupakan film

bergenre horror, di mana pada umumnya film horror menampilkan adegan yang

menyeramkan dan mampu membuat penontonnya merasa terkejut bahkan

ketakutan. Namun di sisi lain, alur cerita di film ini menampilkan nilai-nilai dan

aspek agama Islam di dalam adegannya. Kehadiran film ini telah berhasil

menggebrak hegemoni dunia film horror di Indonesia yang dalam beberapa tahun

ini selalu menampilkan bintang-bintang wanita seksi dan mempertontonkan

15
https://tirto.id/sinopsis-suzzana-bernafas-dalam-kubur-yang-tayang-mulai-hari-Artikel
ini diakses pada tanggal 20 Februari 2019. Pukul 19.06
9

adegan erotis, bahkan cenderung mengurangi kesan mistis dari film tersebut.

Dibalik balutan cerita horrornya yang menyeramkan, Suzzana: Bernafas dalam

Kubur hadir dengan menyisipkan pesan keagamaan di dalamnya. Hal ini tentu

memberikan sedikit sentuhan berbeda dan membuat film ini menarik untuk di

tonton.

Hadirnya film Suzzana: Bernafas dalam Kubur ini dalam industri

perfilman adalah tanda bahwa semakin banyak penikmat industri film horor di

Indonesia yang siap untuk memperkenalkan kepada penonton sebuah cerita dari

tradisi dan budaya mereka, bahkan dalam bentuk film horor yang menampilkan

makhluk supranatural yang didalam Islam pun kita wajib meyakini adanya

makhluk selain manusia yang diciptakan oleh Allah Swt. Bahwa didalam scene

film ini mengandung banyak arti tentang representasi nilai keislaman yang

digambarkan secara tidak langsung melalui scene horor.

Film horror ini merupakan film yang berbeda dengan film horror yang

lainnya, karena film-film horror lain lebih mengedepankan sesuatu yang tidak

masuk di akal atau di luar nalar akal pikiran manusia tidak ada pesan yang

disampaikan hanya sebatas hiburan untuk ditonton saja, sedangkan film Suzzana:

Bernafas dalam Kubur ini mengangkat nilai-nilai keagamaannya dalam alur cerita

yang dijadikan representasi nilai keIslaman di dalamnya.

Penggambaran dan adegan Suami dan Istri di Film Suzzana Bernafas

dalam Kubur ini telah menarik perhatian peneliti untuk memotret realitas yang

ditampilkan sebagai bahan acuan pembuatan skripsi, karena disadari atau tidak,

sebuah media film adalah media yang menggambarkan dan menyajikan kembali
10

realitas kehidupan dengan berbagai pernak-perniknya. Melalui penggambaran

representasi nilai-nilai Islam dalam film ini, dapatlah kiranya sebagai acuan untuk

dapat lebih jauh menilik sebuah karya film tidak hanya sebagai hiburan belaka.

Ditambah sangat jarang film horor dijadikan objek penelitian, padahal film ini

cukup diminati oleh masyarakat Indonesia tentu mempunyai potensi untuk

mempengaruhi orang banyak. Maka dari itu perlunya mengekplorasi film-film

horor Indonesia yang awalnya penuh adegan sensualitas dan film ini menjadi film

pembeda diantara yang ada. Itulah alasannya mengapa peneliti memilih film

Suzzana: Bernafas dalam Kubur sebagai obyek penelitian.

Melalui film Suzzana: Bernafas dalam Kubur ada beberapa contoh adegan

yang masuk dalam kriteria nilai-nilai Islam. Selama ini masih jarang film horor

Indonesia yang di dalamnya mengandung representasi nilai Islam, dan film

Suzzana ini adalah Film horor yang lain dari kebanyakan film horor yang ada.

Karena pada setiap scene adegan film horor terdapat makna-makna yang

merepresentasikan nilai-nilai dari Islam. Maka dari itu ini adalah sebuah hal yang

menarik untuk di analisis lebih dalam tentang representasi yang ada didalam film

ini. Seperti halnya dalam hal adegan ketika mengajak untuk sholat dan melakukan

pengajian ketika sedang ditimpa masalah. Inilah sedikit scene yang terdapat di

film ini dan dengan menggunakan analisis isi peneliti ingin mengkaji lebih

mendalam representasi apa saja yang banyak terdapat dalam film Suzzana:

Bernafas dalam Kubur”

Selanjutnya peneliti akan melanjutkan lebih dalam penelitian ini dengan

kacamata metode analisis konten kuantitatif untuk melihat lebih jauh representasi
11

nilai-nilai islam yang kemudian akan dianalisis peneliti dan dikategorikan menjadi

nili-nilai Islam dalam bentuk Aqidah, Syariah, dan Akhlak. Maka dari itu, peneliti

bermaksud untuk mengambil judul skripsi “Representasi Nilai-Nilai Keislaman

dalam Film Suzzzana: Bernafas dalam Kubur”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, untuk membatasi penelitian ini lebih

terfokus, maka peneliti membatasi kajian penelitiannya yakni pada adegan-adegan

(scene), teks serta dialog-dialog antar pemeran yang mengandung representasi

nilai-nilai Islam di Film horor yang berjudul Suzzana: Bernafas dalam Kubur

menggunakan metode analisis konten kuantitatif.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, apa saja Representasi Nilai-nilai

Islam yang paling banyak dalam film Suzzana: Bernafas dalam Kubur yang

terbagi menjadi tiga aspek, yaitu Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan, tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui Representase Nilai-nilai Islam yang terdapat dalam film

“Suzzana: Bernafas dalam Kubur”.

Penelitian ini signifikan untuk dilakukan karena:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih untuk menambah

khazanah bagi civitas akademika Program Studi KPI IAIN Palangka Raya

tentang Representase Nilai-nilai Islam melalui film;


12

2. Penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan kajian penelitian

komunikasi di Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, khususnya di bidang

perfilman;

3. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pemahaman

mahasiswa tentang bagaimana cara memahami Representasi Nilai-nilai yang

terkandung dalam sebuah film.

D. Definisi Operasional

Agar memperjelas dan menghindari dan menghindari adanya kesalahan

dalam memahami skripsi yang berjudul “REPRESENTASI NILAI-NILAI

KEISLAMAN DALAM FILM SUZZANA: BERNAFAS DALAM KUBUR”,

maka perlu dijelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam judul tersebut, yaitu

sebagai berikut:

1. Representasi

W.J.T Mitchell melalui teori gambar menyatakan bahwa representasi tidak

hanya memediasi pengetahuan kita namun juga menghalangi, memotong, dan

meniadakan pengetahuan itu. Dengan kata lain, representasi tidak hanya

memediasi pengetahuan yang kita konsumsi, representasi juga mempengaruhi

pengetahuan melalui fragmentasi, peniadaan, dan lain-lain.

Hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menganalisis representasi

dalam komunikasi visual adalah hubungan antara tanda dan obyek. Sebagian

besar representasi menggunakan lebih dari satu jenis hubungan tanda dan obyek.16

16
https://pakarkomunikasi.com/teori-representasi-dalam-komunikasi-visual Artikel ini
diakses pada tanggal 25 April 2019. Pukul 01.23
13

Representasi juga merupakan bagian penting dalam proses di mana sebuah

arti dibentuk dan digambarkan dengan budaya dalam sebuah karya. Maka dari itu

peneliti pada kesempatan ini juga akan mengungkap representasi pada film

“Suzzana: Bernafas dalam Kubur”.

2. Nilai-nilai Keislaman

Aspek nilai-nilai ajaran Islam dapat dibedakan menjadi 3 jenis,yaitu:

a. Nilai-nilai aqidah, mengajarkan manusia untuk percaya akan adanya Allah

Yang Maha Esadan Maha Kuasa sebagai Sang Pencipta alam semesta,

yang akan senantiasa mengawasi danmemperhitungkan segala perbuatan

manusia di dunia.Dengan merasa sepenuh hati bahwaAllah itu ada dan

Maha Kuasa, maka manusia akan lebih taat untuk menjalankan

segalasesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan takut untuk berbuat

dhalim atau kerusakan dimuka bumi ini.

b. Nilai-nilai ibadah, mengajarkan pada manusia agar dalam setiap

perbuatannya senantiasadilandasi hati yang ikhlas guna mencapai rido

Allah. Pengamalan konsep nilai-nilai ibadahakan melahirkan manusia-

manusia yang adil, jujur, dan suka membantu sesamanya.

c. Nilai-nilai akhlak, Mengajarkan kepada manusia untuk bersikap dan

berperilaku yang baiksesuai norma atau adab yang benar dan baik,

sehingga akan membawa pada kehidupanmanusia yang tenteram,damai,

harmonis, dan seimbang.17

3. Film Suzzana: Bernafas dalam Kubur

17
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-commea33da9b66full.pdf Artikel ini
diakses pada tanggal 25 April 2019. Pukul 02.11
14

Film adalah salah satu karya media komunikasi massa yang membentuk

konstruksi masyarakat terhadap suatu hal serta merekam dan kemudian

memproyeksikan ke layar.18

Film Suzzana: Bernafas dalam Kubur mengisahkan tentang keluarga

sederhana yang taat beragama yang notabene ini adalah film horor Indonesia.

Berdasarkan batasan-batasan yang ada di atas, peneliti ingin memahami

secara lebih mendalam mengenai representasi nilai-nilai keislaman dalam film

suzzana: bernafas dalam kubur, yang diuraikan baik secara dialog maupun visual

dan dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi.

E. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan susunan skripsi ini maka dibuatlah sistematika

penelitian yang dibagi menjadi 5 (lima) bab yang terdiri dari beberapa sub bab,

yaitu sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, pada bab ini peneliti akan menguraikan latar belakang

masalah, penelitian terdahulu, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II Kajian Pustaka, pada bab ini peneliti akan menguraikan tentang tinjauan

umum tentang film, tinjauan umum tentang film horror di Indonesia, tinjauan

umum tentang metode analisis konten kuantitatif, tinjauan umum tentang

Representase Nilai Islam, penelitian terdahulu dan beberapa hal yang berkaitan

dengan film horror Representasi Nilai-nilai Islam. Bab ini akan menjadi landasan

pemikiran berupa teori-teori dan literatur yang relevan dengan penelitian.

18
Elfira Rose Ardiansari, Representasi Toleransi dalam Film “My Name Is Khan”,
(Skripsi yang diterbitkan, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 2014), h. 6
15

BAB III Metodologi Penelitian, pada bab ini peneliti akan menguraikan secara

keseluruhan mengenai item-item dalam metodologi penelitian (metode penelitian,

objek dan subjek penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, metode

analisis data) yang berkaitan dengan judul penilitian yang telah peneliti tentukan.

BAB IV Temuan dan Analisis Data, pada bab ini peneliti akan menguraikan

tentang hasil dari temuan dan analisis data yang merujuk pada teori Analisis Isi.

BAB V Penutup, pada bab ini peneliti akan menguraikan tentang kesimpulan,

saran-saran, dan pada bagian terakhir memuat daftar pustaka dan lampiran-

lampiran.
16

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Deskripsi Teori

1. Tinjauan Representasi
Dalam bab 3 buku Studying Culture: A Practical Introduction, terdapat

tiga definisi dari kata ‘to represent’, yakni:

a. To stand in for. Hal ini dapat dicontohkan dalam kasus bendera suatu

negara, yang jika dikibarkan dalam suatu event olahraga, maka bendera

tersebut menandakan keberadaan negara yang bersangkutan dalam event

tersebut.

b. To speak or act on behalf of. Contoh kasusnya adalah paus menjadi orang

yang berbicara dan bertindak atas nama Katolik.

c. To re-present. Dalam arti ini, misalnya tujuan sejarah atau biografi yang

dapat menghadirkan kembali kejadian-kejadian di masa lalu.

Dalam prakteknya, ketiga makna representasi ini dapat saling tumpang

tindih. Oleh karena itu, untuk mendapat pemahaman lebih lanjut mengenai apa

makna dari representasi dan bagaimana caranya beroperasi dalam masyarakat

budaya, teori Hall akan sangat membantu.19

Teori Representasi (Theory of Representation) yang dikemukakan oleh

Stuart Hall menjadi teori utama yang melandasi penelitian ini. Pemahaman utama

dari teori representasi adalah penggunaan bahasa (language)untuk menyampaikan

19
Judy Giles dan Tim Middleton, Studying Culture A Practical Introduction, (Oxford:
Blackwell Publisher, 1999). h. 56-57
17

sesuatu yang berarti (meaningful) kepada orang lain. Representasi adalah bagian

terpenting dari proses dimanaarti (meaning) diproduksi dan dipertukarkan antara

anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi adalah

mengartikan konsep (concept)yang ada di pikiran kita dengan menggunakan

bahasa.Stuart Hallsecara tegas mengartikan representasi sebagai proses produksi

arti dengan menggunakan bahasa.

Menurut Hall sendiri dalam bukunya Representation: Cultural

Representation and Signifying Practice, “Representation connects meaning and

languange to culture . . . . Representation is an essential part of the process by

which meaning is produced and exchanged between members of culture” 20

melalui representasi, suatu makna diproduksi dan dipertukarkan antar anggota

masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa, representasi secara singkat adalah salah

satu cara untuk memproduksi makna.

Representasi bekerja melalui sistem representasi. Sistem representasi ini

terdiri dari dua komponen penting. Yakni konsep dalam pikiran dan bahasa.

Kedua komponen ini saling berelasi. Konsep dari sesuatu hal yang kita miliki

dalam pikiran kita, membuat kita mengetahui makna dari hal tersebut. Namun,

makna tidak akan dapat dikomunikasikan tanpa bahasa. Sebagai contoh

sederhana, kita mengenal konsep ‘gelas’ dan mengetahui maknanya. Kita tidak

akan dapat mengkomunikasikan makna dari ‘gelas’ (misalnya, benda yang

digunakan orang untuk minum) jika tidak dapat mengungkapkannya dalam bahasa

yang dapat dimengerti oleh orang lain.

20
Stuart Hall, The Work of Representation.” Representation: Cultural Representation
and Signifying Practice. Ed. Stuart Hall, (London: Sage Publicaton, 2003), h. 17.
18

Jadi dapat disimpulkan bahwa representasi adalah suatu proses untuk

memproduksi makna dari konsep yang ada dipikiran kita melalui bahasa. Proses

produksi makna tersebut dimungkinkan dengan hadirnya sistem representasi.

Namun, proses representasi tersebut tergantung pada latar belakang pengetahuan

dan pemahaman suatu kelompok sosial terhadap suatu tanda. Suatu kelompok

harus memiliki pengalaman yang sama untuk dapat memaknai sesuatu dengan

cara nyaris sama.

2. Konsep Nilai-nilai Keislaman

Nilai merupakan sebuah pedoman yang mendasar dalam diri manusia

untuk melakukan sesuatu. Nilai secara praktis merupakan sesuatu yang

bermanfaat dan berharga dalam kehidupan sehari-hari dan nilai menjadi sangat

berpengaruh dalam setiap perbuatan dan penampilan seseorang.21

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, nilai adalah sifat-sifat atau hal-hal

yang berguna dan penting bagi kemanusiaan. 22 Nilai (Value) merupakan suatu

ukuran, patokan, anggapan dan keyakinan. Hal yang demikian itu menjadi

panutan banyak orang dalam suatu masyarakat tertentu agar dapat memperoleh

suatu yang dianggap pantas, lluhur dan baik yang harus dilakukan atau

dipertahankan oleh anggota masyarakat.

Sedangkan kata Keislaman sepadan dengan kata religius berarti bersifat

religi atau keagamaan, atau yang bersangkut paut dengan religi (keagamaan),

dengan kata lain keislaman sama halnya dengan keagamaan. Nilai keagamaan

adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh masyarakat


21
Deddy Mulyana, Komunikasi Efektif, Suatu Pendekatan Lintas Budaya, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 43
22
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nilai diakses pada tanggal 5 Mei 2019 pukul 19:52
19

kepada beberapa masalah pokok dikehidupan yang bersifat suci, sehingga

menmjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang

bersangkutan.23

Islam sebagai agama yang samawi memliki doktrin yang komprehensif

dalam menuntun pemeluknya agar mampu menjalani kehidupan, baik didunia

maupun diakhirat. Di Indonesia agama Islam dianut oleh mayoritas penduduknya.

Secara bahasa Islam itu berasal dari bahasa Arab, diambil dari kata salima

yang berati selamat sentosa. Dari kata salima dibentuk kata aslama yang artinya

memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa, dan berarti pula menyerahkan

diri, tunduk, patuh, dan taat. Kata Aslama itulah menjadi pokok kata Islam,

mengandung segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang

yang melakukan aslama atau masuk Islam dinamakan muslim. Berati orang yang

telah menyatakan dirinya telah taat, menyerahkan diri dan patuh kepada Allah

SWT. Dengan melakukan aslama, selanjutnya orang itu terjamin keselamatan

hidupnya di dunia dan akhirat.24

Nilai-nilai keislaman itu bersumber kepada Al- Qur’an dan Sunnah. Untuk

itu kita tidak bisa sembarangan melakukan dan menyosialisasikan nilai-nilai

keislaman. Karena harus berdasarkan kaidah Al- Qur’an dan Sunnah.

Setidaknya ada 3 (tiga) ruang lingkup ajaran Islam, pertama masalah

aqidah. Kedua, masalah yang berhubungan dengan syari’ah dan ketiga masalah

akhlak. Penulis lain menyebutkan dengan istilah Iman, Islam dan Ihsan.

a. Aqidah
23
Ibid, diakses pada tanggal 5 Mei 2019 pukul 20:36 WIB

24
Nasaruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al- Ma’arif, 1984), h. 56.
20

Secara etimologi (lughatan) akidah berakar dari kata aqada-ya’qidu-

‘aqidatan. ‘Aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk

menjadi ‘aqidah berarti keyakinan.25

Adapun pembahasan akidah meliputi rukun iman, yaitu iman kepada

Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada Nabi

dan Rasul, iman kepada hari Kiamat, dan iman kepada qadha dan qadhar.

(1). Iman Kepada Allah SWT

Iman kepada Allah adalah yang paling pokok dan mendasari seluruh

ajaran Islam. Hasbi Ash-Shidiqqiy dalam bukunya Al-Islam menjelaskan bahwa

ada tiga cara untuk beriman kepada Allah. Pertama, membenarkan dengan yakin

adanya Allah. Kedua, membenarkan dengan yakin akan ke-esaan-Nya Allah, baik

dalam perbuatanNya, menjadikan alam makhluk seluruhya, maupun dalam

menerima ibadat (penyembahan) segenap mahluk (hamba). Ketiga, membenarkan

dengan yakin, bahwa Allah bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, suci dari

segala sifat kekurangan dan suci pula dari menyerupai segala sesuatu yang baru

(alam).26

Iman kepada Allah SWT artinya menurut peneliti mempercayai dan menyakini

dengan sepenuh hati bahwa Allah adalah Rabb (Pemelihara, Pengatur), Pemilik

dan Pencipta segala sesuatu; dan bahwa hanya Dialah yang berhak untuk diesakan

dengan ibadah, berupa shalat, puasa, doa, harap, takut, kerendahan dan

25
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1. 1023
26
Jirhanuddin, Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-agama, Cet.I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 159.
21

ketundukkan; dan bahwa Dia memiliki segala sifat kesempurnaan dan suci dari

segala sifat kekurangan.

(2). Iman Kepada Malaikat

Iman kepada malaikat ialah mempercayai bahwa Allah SWT itu

mempunyai makhluk yang dinamai malaikat, yang tidak pernah durhaka kepada

Allah SWT yang senantiasa melaksanakan tugas yang ditugaskan kepadanya,

dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya.27

(3). Iman Kepada Kitab-kitab

Iman kepada kitab Allah SWT ialah kita beri’tiqad bahwa Allah SWT ada

menurunkan beberapa kitab kepada Rasul-Nya untuk menjadi pedoman hidup

para manusia, menjadi tempart mengambil keputusan, aturan dan undang-undang

bermasyarakat.

(4). Iman Kepada Rasulullah

Iman yang keempat adalah kepercayaan kepada rasul. Iman kepada Rasul

ialah mempercayai bahwa Allah telah memilih diantara manusia, beberapa orang

wakil-Nya, yang berlaku sebagai orang perantara antara Allah dan Hamba-hamba-

Nya. Mereka bertugas menyampaikan kepada hamba Allah, segala yang diterima

dari Allah dengan jalan wahyu dan menunjukkan manusia ke jalan yang lurus,

menuntun, membimbing manusia dalam menempuh jalan kesejahteraan dan

keselamatan dunia akhirat.28

(5). Iman Kepada Hari Akhir

27
Ibid, h. 162
28
Ibid, h. 168
22

Adapun yang dimaksud iman kepada hari akhir adalah kehidupan yang

kekal setelah kehidupan dunia yang fana ini berakhir. Termasuk semua peristiwa

yang terjadi pada hari itu, mulai dari kehancuran alam semesta dan seluruh isinya,

serta berakhirnya seluruh kehidupan, kebangkitan seluruh umat manusia dari alam

kubur, dikumpulkan seluruh umat manusia di Mahsyar, perhitungan seluruh amal

baik-jahat sampai kepada pembalasan surga dan neraka.29

(6). Iman Kepada Qadha dan Qadhar

Merupakan rukun iman yang terakhir atau keenam. Qadha bisa bermakna

kehendak atau ketetapan hukum. Dalam hal ini, qadha adalah kehendak atau

ketetapan Allah SWT terhadap segala sesuatu. Sedangkan qadar bermakna ukuran

atau ketentuan. Dalam hal ini qadar merupakan ukuran atau ketentuan Allah SWT

terhadap segala sesuatu.30

b. Syari’ah

Makna asal syari’at adalah jalan ke sumber (mata) air. Dulu (di Arab)

orang mempergunakan kata itu untuk sebutan jalan setapak menuju ke mata

(sumber) air yang diperlukan manusia untuk minum dan membersihkan diri dan

keperluannya. Perkataan syari’at (syari’ah = bahasa Arab) berasal dari kata syari’.

Secara lughah syari’ berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim.

Syari’at merupakan salah satu bagian (ruang lingkup) ajaran Islam.

Berdasarkan konsep ajaran Islam, syari’at ditetapkan oleh Allah untuk menjadi

patokan hidup setiap muslim. Syari’at sebagai jalan hidup ia merupakan way of

29
Ibid, h. 172
30
Ibid, h. 175
23

life umat Islam. Syari’at sendiri terbagi menjadi 2 (dua) yaitu ibadah dan

muamalah.

(1). Ibadah

Ibadah, Abd’ (Bahasa Arab) berarti menyembah atau menghamba, maka

secara bahasa ibadah bias berarti penghambaan atau pengabdian. Dengan

demikian, uangkapan menyembah Allah secara etimologis adalah juga berarti

menghambakan diri kepada-Nya, menjadikan diri kita sebagai hamba-Nya atau

budak-Nya. Karena itu, ketaatan kepada Allah SWT itu wajib hukumnya.31

Ibadah merupakan salah satu bentuk pengabdian seorang hamba kepada

tuhannya. Melalui ibadah, seorang hamba dapat mendekatkan dirinya kepada

tuhan yang telah menciptakan dan memberikannya kehidupan di dunia ini.

Ibadah juga merupakan perwujudan dari ketaatan, kepatuhan, dan rasa

syukur manusia atas pemberian dari Allah. Ibadah sangat banyak sekali, dan bagi

siapa yang melaksanakan ibadah dengan ikhlas maka akan mendapat ganjaran

pahala dari Allah SWT, sebaliknya bagi orang yang enggan beribadah kepada

Allah, maka ia akan mendapatkan siksa dari-Nya. Yang termasuk perbuatan

ibadah diantaranya seperti thaharah, shalat, puasa, zakat dan haji.

(2). Muamalah

Muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur hidup

manusia dan kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial. Muamalah

merupakan aktivitas yang mencakup arti luas. Semua kegiatan dapat dilakukan

dan dapat bernilai ibadah apabila dilakukan dengan benar dan sesuai dengan

31
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. I, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 2.
24

tuntunan agama Islam. Adapun hal-hal yang termasuk ranah muamalah

diantaranya pembahasan tentang hukum keluarga, hukum privat, hukum pidana,

hukum ekonomi dan keuangan.32

c. Akhlak

Akhlak mulia merupakan pondasi utama bagi terciptanya hubungan yangh

baik antara manusia serta antara manusia dengan alam sekitarnya (hewan dan

tumbuh-tumbuhan).33

Akhlak merupakan kata Arab, jamak dari kata “khulu” yang artinya

perangai atau tabiat. Sesuai dengan arti bahasa ini, akhlak adalah bagian ajaran

Islam yang mengatur tingkah laku perangai manusia.

Akhlak secara etimologis berarti perbuatan dan ada sangkut pautnya

dengan khaliq pencipta, dan makhluk, yang diciptakan. Secara garis besarnya

akhlak Islam mencakup beberapa hal:

a) Akhlak manusia terhadap Khalik.

b) Akhlak manusia terhadap makhluk dan;

c) Akhlak manusia terhadap alam.34

3. Tinjauan Tentang Film

a. Pengertian Film

Onong Uchjana Effendy dalam bukunya Ilmu, Teori dan Filsafat

Komunikasi mendefinisikan film sebagai gambar yang bergerak secara mekanik

yaitu berbentuk gambar-gambar yang terbuat dari seluloid yang transparan dalam

32
Ibid, h. 4
33
Jirhanuddin, Perbandingan Agama: Pengantar Studi Memahami Agama-agama, Cet.I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.179
34
Endang Saefuddin Ansari, Wawasan Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 46
25

jumlah yang banyak apabila digerakkan melalui cahaya yang kuat, maka gambar

tersebut akan tampak seperti gambar hidup.35 Dalam prosesnya film berkembang

menjadi salah satu bagian dari kehidupan sosial yang memiliki pengaruh cukup

signifikan terhadap orang yang menonton atau melihatnya.

UU No 33 Tahun 2009 terntang Perfilman pada Bab 1 Pasal 1

menyebutkan yang dimaksud dengan film adalah karya seni budaya yang

merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan

kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan

b. Sejarah Film

Film merupakan alat komunikasi massa yang muncul pada akhir abad ke-

19. Film merupakan alat komunikasi yang tidak terbatas ruang lingkupnya dimana

di dalamnya menjadi ruang ekspresi bebas dalam sebuah proses pembelajaran

massa. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, yang

membuat para ahli film memiliki potensi untuk mempengaruhi pembentukan

suatu pandangan di masyarakat dengan muatan pesan di dalamnya. Hal ini

didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari realitas masyarakat. Film

selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dan

kemudian memproyeksikannya ke dalam layar.36

Film atau motuon pictures ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-

prinsip fotografi dan proyektor. Film yang pertama kali diperkenalkan kepada

publik Amerika Serikat adalah The Life of an American Fireman dan film The

35
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Bandung; Citra Aditya
Bakti. h.178
36
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2009), h.126-
127
26

Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun 1903. Tetapi

film The Great Train Robbery yang masa putarnya hanya 11 menit dianggap

sebagai film cerita pertama, karena telah menggambarkan situasi secara ekspresif,

dan menjadi pelekat dasar teknik editing yang baik.

Tahun 1906 sampai tahun 1916 merupakan periode paling penting dalam sejarah

perfilman di Amerika Serikat, karena pada dekade ini lahir film featur, lahir pula bintang

film serta pusat perfilman yang kita kenal sebagai Hollywood. Periode ini juga disebut

sebagai the age of Griffith karena David Wark Griffithlah yang telah membuat film

sebagai media yang dinamis. Diawali dengan film The Adventures of Dolly (1908) dan

puncaknya film The Birth of a Nation (1915) serta film Intolerance (1916). Griffith

mempelopori gaya berakting yang lebih alamiah, organisasi cerita yang makin baik, dan

yang paling utama mengangkat film sebagai media yang memiliki karakteristik unik,

dengan gerakan kamera yang dinamis, sudut pengambilan gmbar yang baik, dan teknik

editing yang baik.

c. Fungsi Film

Seperti halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama

adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film dapat terkandung

fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal itupun sejalan dengan

misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan,

film nasioanl dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaaan generasi

muda dalam rangka nation and character building.


27

Fungsi edukasi dapat terjalan apabila film nasional memproduksi film-film

sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari

kehidupan sehari-hari secara berimbang.37

1). Film Sebagai Media Dakwah

Berdakwah harus difahami dalam artian luas dan tidak terbatas

pada mimbar-mimbar formal keagamaan. Kemampuan dan potensi

seorang muslim harus diarahkan untuk keperluan dakwah sesuai apa yang

dia mampu lakukan. Misalnya seorang pedagang dapat berdakwah dengan

selalu berlaku jujur dalam takaran timbangan, seorang pegawai

berdakwah melalui kedisiplinan dan tidak korup, seorang seniman dapat

melakukan misi dakwahnya dalam setiap karya seni yang diciptakannya,

dan sebagainya.

Film sebagai salah satu media dakwah memiliki beberapa fungsi

yaitu:

(a). To inform

Fungsi informasi dalamhal ini film memiliki fungsi

menginformasikan sesuatu kepada pihak lain.

(b). To educate

Fungsi pendidikan, pada fungsi ini film berfungsi mendidik,

sehingga diharapkan dari film ini penerima film akan memperoleh

37
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, Komunikasi Massa Suatu Pengantar,

(Bandung: Refika Offset), h. 143-145


28

pengetahuan, nilai maupun hal-hal terkait yang bertujuan mencerdaskan

penerima film.

(c). To influence

Fungsi mempengaruhi, pada fungsi mempengaruhi ini film

diharapkan dapat mempengaruhi pada aspek kognisi (pemahaman), afeksi

(sikap) maupun psikomotor (tingkah laku).

(d). To entertaint

Fungsi hiburan, dalam fungsi hiburan ini film disamping memiliki

beberapa fungsi tersebut, dengan pemutaran film diharapkan dapat

memberikan hiburan kepada mad’u, sehingga kegiatan dakwah yang

dilakukan tidak monoton.

Dari beberapa fungsi film tersebut, dalam kaitannya dengan aktifitas

dakwah, film sebagai media dakwah diharapkan dapat memerankan dirinya

dengan baik dalam kaitannya menyampaikan dakwah, dengan film dapat

digunakan sebagai media informasi, dengan demikian da’i akan dapat lebih

banyak menginformasikan hal-hal positif tentang Islam meliputi beberapa materi;

akidah, syariah maupun akhlak. Film sebagai media dakwah juga digunakan untuk

mempengaruhi orang lain, dalam hal ini dengan pembuatan dan pemutaran film

diharapkan da’i dapat mempengaruhi kepada mad’u agar mad’u selaku penerima

dan sasaran dakwah dapat terpengaruh pemikiran dan ajaran Islam sehingga akan
29

menyetujui pendapat mad’u yang pada akhirnya akan menyetujui dakwah yang

disampaikan lewat film.38

Di samping itu, dengan film ini kegiatan dakwah tidak monoton tetapi ada

variasinya, karena film juga memiliki fungsi entertaint (hiburan), dengan hiburan

ini masyarakat selaku penerima dakwah akan terhibur ketika mengikuti kegiatan

dakwah, sehingga dakwah yang mereka terima menjadi sesuatu yang menarik dan

sayang untuk ditinggalkan.

Sebagai media dakwah film memiliki kelebihan dibanding media yang lain

diantaranya bahwa film memiliki tampilan yang berbeda dengan media lain,

karena ia termasuk dalam media alat pandang dengar (audio visual) sekaligus,

sehingga menarik untuk disaksikan. Da’i sebagai sumber dakwah hendaknya

pandai mengemas materi dakwah ke dalam film, dengan memilik pemain yang

mampu memainkan karakter dengan penuh penghayatan, menulis skenario dengan

sangat apik, serta penataan lampu yang sangat baik agar film yang diproduksi

benar-benar berkualitas baik dari sisi materi maupun produk filmnya.39

Meskipun film bukan satu-satunya media yang terbaik dalam berdakwah,

namun dengan menggunakan film sebagai media dakwah diharapkan mad’u akan

menemukan karakter positif dalam film tersebut, sehingga diharapkan dengan

menonton film tersebut mad’u akan terpengaruh pada karakter dalam film tersebut

dan diharapkan akan mengambil contoh/keteladanan dari film tersebut.

38
Mubasyaroh, “Film Sebagai Media Dakwah (Sebuah Tawaran Alternatif Media
Dakwah Kontemporer), At-Tabsyir, Jurnal Komunikasi Penyiaran Islam, Vol. 2, No.2, (STAIN
Kudus, 2014), h. 13.
39
Ibid, h. 14.
30

Disamping itu dengan pemutaran film diharapkan penonton/mad’u dapat

mengambil pelajaran/ibroh dari tayangan tersebut.

d. Karakteristik Film

Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar

lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis.

1). Layar Lebar,

Layar lebar : kelebihan media film dibandingkan dengan televisi

adalah layar yang digunakan untuk pemutaran film lebih berukuran besar

atau luas. Dengan layar film yang luas, telah memberikan keleluasaan

penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film.

2). Pengambilan Gambar

Dengan kelebihan film, yaitu layar yang besar, maka teknik

pengambilan gambarnya pun dapat dilakukan atau dapat memungkinkan

dari jarak jauh atau extreme long shot dan panoramic shot. Pengambilan

gambar yang seperti ini dapat memunculkan kesan artistik dan suasana

yang sesungguhnya. Beberapa macam shot-shot dasar yang biasa

digunakan dalam pembuatan film live shot maupun animasi, antara

lain : pertama, Extreme Close Up. Shot yang mengambil detail gambar.

Objek yang dishot merupakan objek atau area yang sangat kecil

sekali atau merupakan sebagian kecil dari objek yang besar atau luas.

Ketika shot ini diambil maka objek yang ditampilkan memenuhi besar

layar; kedua, Close Up. Shot yang menampilkan seluruh permukaan wajah

hingga sebagian dada. Close up akan membawa penonton ke dalam scene,


31

menghilangkan segala yang tidak penting untuk sesaat dan mengisolasi

apapun kejadian yang harus diberi suatu penekanan. Close up yang

digunakan dengan tepat akan dapat menambah dampak dramatik dan kejadian

visual pada kejadian; ketiga, Medium Close Up. Shot ini menampilkan seluruh

permukaan wajah hingga bagian dada atau bagian siku tangan atau kira-kira

pertengahan pinggang dan bahu ke atas kepala; keempat, Medium Shot. Shot ini

merekam dari batas lutut ke atas, atau sedikit di bawah pinggang. Shot ini

dapat merekam beberapa wajah pemain dan segala gerak-gerik mereka ketika

sedang berhadapan atau berdialog; kelima,Long Shot. Shot yang mampu

menampilkan seluruh wilayah dari tempat kejadian. Long shot digunakan

untuk menjelaskan kepada penonton hingga mereka mengetahui semua elemen

dari adegan, siapa saja yang terlibat dan dimana; keenam, Extreme Long Shot.

Shot ini dapat menggambarkan suasana atau pemandangan yang sangat luas

dari jarak yang sangat jauh. Shot ini mampu membuat penonton terkesan pada

suasana atau pemandangan yang hebat. Biasanya digunakan ketika pembukaan

film sehingga dapat menangkap perhatian penonton sejak awal; ketujuh, Over

The Shoulder Shot. Shot dilakukan dari belakang lawan pemain subjek, dan

memotong frame hingga belakang telinga. Wajah pemain subjek berada pada

1/3 frame. Shot ini membantu meyakinkan posisi pemain dan memberikan

kesan penglihatan dari sudut pandang lawan pemain subjek yang lain.40

(3). Konsentrasi Penuh

40
Adindha Miftania, Pembuatan Film Animasi 2D Berbasis 3D Menggunakan Teknik
Cell Shading Berjudul “The Postman Story”, Tugas Akhir, Surabaya; Sekolah Tinggi Manajemen
Informatika & Teknik Komputer, 2011. h.25-28.
32

Karena kita menonton film di bioskop, tempat yang memiliki

ruangan kedap suara, maka pada saat kita menonton film, kita akan fokus

pada alur cerita yang ada di dalam film tersebut. Tanpa adanya gangguan

luar.

(4). Identifitas Psikologis

Konsentrasipenuh saat kita menonoton di bioskop, tanpa kita sadari

dapat membuat kita benar-benar menghayati apa yang ada di dalam film

tersebut. Penghayatan yang dalam itu membuat kita secara tidak sadar

menyamakan diri kita sebagai salah seorang pemeran dalam film tersebut.

Menurut ilmu sosial, gejala yang seperti ini disebut sebagai identifikasi

psikologis.

Pada dasarnya film dikategorikan menjadi dua jenis utama, yaitu film atau

cerita (fiksi) dan film non-cerita (non-fiksi). Film fiksi adalah film yang dibuat

berdasarkan kisah fiktif. Film fiktif dibagi menjadi dua yaitu film cerita pendek

dan film cerita panjang. Perbedaan yang paling spesifik dari keduanya adalah

pada durasi. Film cerita pendek berdurasi di bawah 60 menit. Sedangkan film

cerita panjang pada umumnya berdurasi 90-100 menit, ada juga yang sampai 120

menit atau lebih. Film nonfiksi contohnya adalah film dokumenter, yaitu film

yang menampilkan tentang dokumentasi sebuah kejadian, baik alam, flora, fauna,

ataupun manusia.41

e. Jenis-jenis Film

41
Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, Siti Karlinah, Komunikasi Massa Suatu Pengantar,
(Bandung: Refika Offset), h. 143-145.
33

Tumbuh dan berkembangnya film sangat bergantung pada tekhnologi dan

paduan unsur seni sehingga menghasilkan film yang berkualitas. Berdasarkan

sifatnya film yang umumnya terdiri dari jenis-jenis sebagai berikut:

1). Film Cerita (story film)

Film yang mengandung suatu cerita, yang lazim dipertunjukan di

gedung – gedung bioskop yang dimainkan oleh para bintang sinetron yang

tenar. Film jenis ini didistribusikan sebagai barang dagangan dan

diperuntukan untuk semua publik.

(2). Film Berita (newsreal)

Film mengenai fakta, peristiwa yang benar – benar terjadi karena

sifatnya berita maka film yang disajikan pada publik harus mengandung

nilai berita (newsvalue).

(3). Film Dokumenter (documentary film)

Film dokumenter pertama kali diciptakan oleh John Gierson yang

mendefinisikan bahwa film dokumenter adalah “karya cipta mengarah

kanyataan (creative treatment of actuality) yang merupakan kenyataan –

kenyatan yang menginterprestasikan kenyataan. Titik fokus dari film

dokumenter adalah fakta atau peristiwa yang terjadi, bedanya dengan film

berita adalah film berita harus mengenai sesuatu yang mempunyai nilai

berita atau newsvalue.

(4). Film Kartun (cartoon film)

Timbulnya gagasan membuat film kartun berawal dari karya

seniman pelukis serta ditemukannya sinematografi telah menimbulkan


34

gagasan untuk menghidupkan gambar – gambar yang mereka lukis dan

lukisan itu menimbulkan hal – hal yang bersifat lucu.42

B. Penelitian Terdahulu

Sejauh upaya pencarian dan pengetahuan peneliti, belum ada kajian yang

membahas secara spesifik fokus pada objek penelitian yaitu film Suzzana:

Bernafas dalam Kubur. Namun demikian, terdapat beberapa penelitian jurnal yang

telah dilakukan dalam lingkup tema dan bahasan yang sama. Hal ini tentu saja

dapat membantu menambah informasi yang diperlukan dalam penelitian ini.

Sejauh pengkajian peneliti, karya-karya yang sudah membahas tema yang

berkaitan dengan tema skripsi ini adalah sebagai berikut.

Pertama, Wiwiek Afifah dalam jurnal yang berjudul “Representasi Nilai-

nilai Keislaman dalam Film “Children Of Heaven”dan Relevansinya dengan

Pendidikan Karakter” membahas tentang representasi nilai-nilai keislaman yang

terkandung dalam film Children Of Heaven dengan menggunakan analisis konten

inferensial. Menurut Ismayani, bahwa penanda dan petanda nilai Islam dalam film

“Children Of Heaven” di antaranya: Film “Children of Heaven” sarat akan nilai-

nilai keislaman sepert kesabaran , keikhlasan dan ketabahan, kejujuran, dan birul

walidaini (berbakti kepada kedua orang tua), kasih sayang, nilai kesederhanaan

(qonaah), dan motifasi untuk mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Selain

itu, film ini juga memiliki relevansi dengan pendidikan karakter khususnya

pendidikan yang diselenggarakan baik di formal, nonformal, dan informal.43

42
Ibid, h.147
Wiwiek Afifah, “Representasi Nilai-nilai Keislaman dalam Film “Children Of
43

Heaven”dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter”, Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, Vo2,
35

Kedua, Amanda Diani, Martha Tri Lestari, dan Syarif Maulana dalam

jurnal yang berjudul “Representasi Feminisme dalam Film Maleficent” dengan

menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika John Fiske.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna kode semiotika mengenai

feminisme dalam level realitas, level representasi dan level ideologi.

Berdasarkan analisis semiotika John Fiske yang telahdi lakukan dengan

mengamati 3 sequence maka dapat ditarik kesimpulan seperti di bawah ini :

Pemaknaan level realitas, Pemaknaan level realitas dari tiga sequence dan delapan

kode yang diteliti dalam film Maleficent menunjukkan bahwa nilai-nilai

feminisme terepresentasikan pada kode penampilan (appereance), tata rias (make

up), kostum (dress), perilaku (behavior), lingkungan (environment) dan cara

bicara (speech). Kode penampilan (appereance) menunjukkan karakter Maleficent

sebagai perempuan yang aktif namun tetap terlihat sisi femininnya dalam

beberapa adegan. Kode tata rias (make up) menunjukkan karakter mandiri,

pemberani, kuat dan tegas pada Maleficent melalui lipstik, shading pipi dan

bentuk alis. Kode kostum (dress) menunjukkan bahwa Maleficent memiliki

karakter yang kuat, kemurnian hati dan bersahabat. Kode perilaku (behavior)

menegaskan karakter kuat, pemberani dan bertanggung jawab pada diri

Maleficent yang terlihat dalam beberapa adegan. Kode lingkungan (environment)

menunjukkan bahwa Maleficent sebagai peri perempuan memiliki hubungan yang

erat dengan alam. Kode cara bicara (speech) menunjukkan ketegasan dan

kelembutan Maleficent sebagai seorang perempuan. Pemaknaan level representasi

No. 2, (Jurnal Yang diterbitkan, Sekolah Tinggi Pendidikan Islam Bina Insan Mulia Yogyakarta,
2017), h. 385-396
36

dari tiga sequence yang diteliti dalam film Maleficent menunjukkan bahwa nilai-

nilai feminisme terepresentasikan melalui kode teknik dan kode representasi

konvensional.

Pemaknaan level ideologi dari tiga sequence yang diteliti dalam film

Maleficent menunjukkan bahwa ideologi feminisme yang terkandung tidak hanya

direpresentasikan melalui isi cerita dan adegan di dalam film tetapi faktor

eksternal juga memberikan pengaruh tersampaikannya pesan feminisme dalam

film.44

Ketiga, Jill Arista Wibisono, Judy Djoko Wahjono Tjahjo, dan Megawati

Wahjudianata dalam jurnalnya yang berjudul “Representasi Orientalisme dalam

Film The Great Wall” yang membahas representasi orientalis yang terdapat

dalam film The Great Wall, dengan menggunakan semiotika televisi John Fiske

melalui 3 level yaitu, level realitas, level representasi, dan level ideologi. Setelah

melakukan penelitian, peneliti menemukan representasi orientalis dalam film The

Great Wall Terlihat jelas dengan pandangan orientalisme yang menjadi ideologi

dalam film ini dengan menggambarkan karakter Timur oleh Hollywood sebagai

sosok yang berenergi, berinisiatif, tulus, dan mulia. Serta budaya yang disajikan

erat dengan oriental budaya Timur dari awal hingga akhir film.45

Keempat, Daniel Surya Andi Pratama dalam jurnalnya yang berjudul

“Representasi Rasisme Dalam Film Cadillac Records” membahas tentang

44
Amanda Diani, Martha Tri Lestari, dan Syarif Maulana, “Representasi Feminisme
dalam Film Maleficent”, ProTVF, Volume 1, Nomor, 2, (Jurnal yang diterbitkan, Universitas
Telkom, 2017), h. 139-150
45
Jill Arista Wibisono, Judy Djoko Wahjono Tjahjo, dan Megawati Wahjudianata,
“Representasi Orientalisme dalam Film The Great Wall, Jurnal SCRIPTURA, Volume 7, No.1 ,
(Jurnal yang diterbitkan Universitas Kristen Petra Surabaya, 2017), h. 36-45
37

representasi rasisme yang terdapat dalam film Cadillac Records. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui bagaimana Rasisme direpresentasikan di dalam film

Cadillac Records Dengan genre film biopic yang menceritakan bagaimana awal

mula berkembangnya musik blus dan rock n roll pada tahun 1950 di Chicago.

Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis

penelitian deskriptif. Metode yang dipergunakan adalah semiotika televisi John

Fiske dengan 3 level, yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi.

Berdasarkan kode – kode tersebut peneliti menemukan penggambaran Rasisme

didalam penggambaran karakter, lingkungan, dan kebudayaan.

Hasil penelitian ini memperlihatkan bagaimana rasisme direpresentasikan

di dalam film Cadillac Records dengan menggambarkan kaum kulit hitam sebagai

barang komoditas secara implisit, kaum kulit putih mendominasi semua aspek

kehidupan dan diskriminasi berdasarkan ciri fisik yang ditunjukkan di dalam film

ini.46

Terakhir, Muhammad Rahmad Luhur dalam jurnalnya yang berjudul

“Representasi Nilai-nilai Agama Dalam Film Dokumenter Indonesia Bukan

Negara Islam Karya Jason Iskandar” membahas tentang bagaimana representasi

nilai-nilai agama dalam film dokumenter Indonesia bukan negara Islam karya

Jason Iskandar dengan menggunakan analisis semiotik Charles Sanders Peirce.

Menurut Muhammad Rahmad Luhur, dari penelitian yang sudah dilakukan maka

dapat ditarik kesimpulan bahwa Representasi Nilai-nilai Agama Dalam Film

Dokumenter Indonesia Bukan Negara Islam terlihat dari segi narasi cerita yang
46
Daniel Surya Andi Pratama, “Representasi Rasisme Dalam Film Cadillac Records”,
Jurnal E-Komunikasi, Volume 4, No.1, (Jurnal yang diterbitkan, Universitas Kristen Petra
Surabaya, 2016), h. 7-15
38

terjadi dalam film dan didukung oleh visual. Adapun hasil penelitian ini yang

berdasarkan pada Kognisi nilai-nilai agama dapat dilihat dalam setiap scene yang

dmuat pada hasil dimana bambang dan galih berpikir mengapa Indonesia semakin

lama semakin menjurus kepada negara Islam, padahal pada dasarnya Indonesia

merupakan negara Demokrasi yang berlandaskan kepada Pancasila.47

Berdasarkan deskripsi karya-karya diatas, dapat dikatakan bahwa Wiwiek

Afifah mengkaji tema representasi nilai keislaman serupa dengan penelitian ini.

Namun, dalam objek penelitiannya Wiwiek Afifah mengkaji objek penelitian dan

metode yang berbeda, Wiwiek Afifah memberi celah untuk melakukan penelitian

yang lebih jauh tentang representasi nilai keislaman dengan menambah

relevansinya dengan pendidikan karakter. Pada celah inilah saya akan mengangkat

representasi nilai keislaman yang terdapat dalam film Suzzana: Bernafas dalam

Kubur terlebih ini adalah film bergenre horor karya anak bangsa. Meskipun sama-

sama mengkaji representasi nilai keislaman dalam film, dengan perbedaan objek

dan jenis film yang diteliti, tentu membuat penelitian ini menjadi berbeda.

Terdapat perbedaan yang jelas antara penelitian Amanda Diani, Martha Tri

Lestari, dan Syarif Maulana dengan penelitian ini, yaitu judul dari yang akan

dijadikan penelitian dan jenis objek filmnya. Dan perbedaan selanjutnya adalah

bahwa subjek yang ingion dicari adalah dari feminisme, sedangkan penelitian

adalah nilai keislaman. Namun, Amanda Diani, Martha Tri Lestari, dan Syarif

Maulana menggali nilai representasi yang sama dengan peneliti menggali dengan

representasi. Dan penelitian mereka menggunakan metode semiotik John Fiske.


47
Muhammad Rahmad Luhur, “Representasi Nilai-nilai Agama Dalam Film Dokumenter
Indonesia Bukan Negara Islam Karya Jason Iskandar”, JOM Fisip, Volume 4, No.2, (Jurnal yang
diterbitkan, Universitas Riau Pekanbaru, 2017), h. 9-11.
39

Sedangkan penelitian ini menggali representasi nilai keislaman menggunakan

metode analisis isi.

Kajian Jill Arista, Daniel Surya, dan Muhammad Rahmad juga hampir

mirip dengan penelitian skripsi ini. Meskipun demikian, Jill Arista, Daniel Surya,

dan Muhammad Rahmad menggunakan metode analisis dan objek kajian yang

masing-masing berbeda.hanya saja dari ketiga penelitian mereka menggunakan

subjek representasi. Jill Arista dengan objek penelitiannya film The Great Wall,

Daniel Surya dengan objek film Cadillac Records, dan Muhammad Rahmad film

dokumenter Indonesia bukan negara Islam karya Jason Iskandar. Hanya peneliti

yang menggunakan objek film bergenre horor. Dengan demikian, penelitian ini

jelas berbeda dengan penelitian Jill Arista, Daniel Surya, dan Muhammad

Rahmad. Berdasarkan fakta ini, belum ada penelitian yang fokus mengkaji tentang

representasi nilai keislaman dalam film Suzzana: Bernafas dalam Kubur. Dengan

demikian, inilah celah yang akan peneliti isi dengan penelitian ini. Penelitian ini

akan memperkaya penelitian-penelitian sebelumnya tentang representasi nilai-

nilai keislaman dalam film bergenre horror Suzzana: Bernafas dalam Kubur.

Posisi penelitian representasi nilai-nilai keislaman dalam film

suzzana:bernafas dalam kubur adalah penelitian baru dalam hal film bergenre

horor. Berbeda dengan penelitian terdahulu yang menjadi objek adalah film yang

bukan bergenre film horor. Dan salah satu pembeda dengan penelitian terdahulu

adalah yang menjadi titik berat penelitian ini terdapat pada menmggali

representasi nilai-nilai keislaman. Sehingga dapat dilanjutkan unutk dijadikan

bahan penelitian selanjutnya.


40

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif,

yakni berupaya mendeskripsikan gejala atau fenomena dari satu variabel yang

diteliti tanpa berupaya menguji suatu hipotesis atau menjelaskan hubungan-

hubungan yang ada.48

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif dengan metode analisis isi (content analysis), yang menekankan pada

makna nilai-nilai yang termanifest dalam film Suzzana: Bernafas dalam Kubur.

Secara umum, analisis isi dimaksudkan sebagai suatu analisis yang mampu

memberikan interpretasi yang manifest (nampak) secara deskriptif, sistematik dan

kuantitatif. Analisis isi dapat didefinisikan sebagai teknik mengumpulkan dan

menganalisis isi dari suatu teks. “Isi” dalam hal ini dapat berupa kata, arti

(makna), gambar, simbol, ide, tema, atau beberapa pesan yang dapat

dikomunikasikan.49

B. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah film Suzzana: Bernafas dalam Kubur.

Menurut Burhan Bungin, objek penelitian merupakan fokus dan lokus penelitian,

48
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset
Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran, Ed.
Pertama, Cetakan ke-1, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 165.
49
Nanang Martono, Metodologi Penelitian Kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis Data
Sekunder, Cet. 2 (Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 86
41

50
yaitu apa yang menjadi sasaran penelitian. Sasaran penelitian ini tidak

tergantung pada judul penelitian, tetapi secara kongkret tergambarkan dalam

rumusan masalah penelitian. Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini

adalah representasi nilai-nilai keislaman yang terdapat dalam film Suzzana:

Bernafas dalam Kubur.

C. Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana sebuah data bisa diperoleh.51 Dalam

penelitian ini, sumber data dikelompokkan menjadi dua bagian,52 yaitu;

1. Sumber Data Primer


Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah rekaman

video film Suzzana: Bernafas dalam Kubur.

2. Sumber Data Sekunder


Sumber data sekunder penelitian ini meliputi berbagai literatur yang

berhubungan dengan tema penelitian ini. Sumber data ini digunakan untuk

mendukung sumber data primer dan diperoleh di luar objek material penelitian,

diantaranya seperti buku, jurnal, hasil penelitian terdahulu, dsb.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data

melalui :

1. Observasi
Menurut Nawawi dan Martini, observasi adalah pengamatan dan

pencatatan secara sistematis terhadap unsur-unsur yang tampak dalam suatu

50
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2010), h. 76.
51
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka
Cipta, 2006), h. 129
52
Cik Hasan Basri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi
(bidang ilmu agama Islam), (Jakarta: Logos, 1998), h. 59
42

gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian. 53 Peneliti akan mengamati

secara langsung terhadap objek yang diteliti dengan cara menonton dan

mengamati secara teliti akan dialog-dialog dan adegan yang berkaitan erat

dengan representasi nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam film Suzzana:

Bernafas dalam Kubur. Kemudian akan menganalisisnya sesuai dengan model

analisis yang telah ditentukan sebelumnya. Observasi dilakukan dengan

mengamati melalui tayangan film tersebut dengan aspek-aspek yang terdapat

pada nilai keislaman.

2. Dokumentasi
Untuk memudahkan pengumpulan data dalam penelitian ini, maka

peneliti menggunakan metode pengumpulan data dokumentasi. Menurut

Sugiyono, dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental

dari seseorang. Dokumen yang berbentuk tulisan, misalnya catatan harian, sejarah

kehidupan, cerita, biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk

gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Dokumen yang

berbentuk karya misalnya karya seni berupa gambar, patung, film, dan lain-lain.

Dokumentasi digunakan dalam rangka untuk mengumpulkan data yang

terkait dengan penelitian ini. 54 Dokumentasi disini dimaksudkan dengan

mengumpulkan scene-scene yang dipilih oleh peneliti yang terdapat representasi

nilai keislaman.

E. Tahapan Penelitian

1. Menentukan Unit Analisis

53
Yusuf Zainal Abidin, Metode Penelitian Komunikasi (Peneltian Kuantitatif : Teori dan
Aplikasi), (Bandung; PUSTAKA SETIA, 2015), h.74
54
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2013), h.308
43

Unit analisis secara sederhana dapat digambarkan sebagai bagian apa dari

isi yang kita teliti dan kita pakai untuk menyimpulkan isi dari suatu teks. Bagian

dari isi ini dapat berupa kata, kalimat, foto, scene (potongan adegan), paragraf.

Menentukan unit analisis sangat penting, karena unit analisis nantinya akan

menentukan aspek apa dari teks yang dilihat dan pada akhirnya hasil atau temuan

yang didapat.55 Adapun jenis unit analisis dalam penelitian ini dibagi menjadi dua,

yakni unit sampel (sampling units) dan unit pencatatan (recording units).

a. Unit Sampel (Sampling Units)


Unit sampel yakni apa yang akan diteliti dan apa yang tidak menjadi

perhatian dan karenanya tidak diteliti. Unit sampel adalah unit yang dipilih

(diseleksi) oleh peneliti untuk didalami. Unit sampel dalam penelitian ini adalah

teks dan scene.

b. Unit Pencatatan (Recording Units)


Unit pencatatan adalah unit analisis yang paling penting dalam analisis isi.

Unit ini berkaitan dengan bagian apa dari isi yang akan dicatat, dihitung, dan

dianalisis. Dalam penelitian ini, unit pencatatan yang ditentukan adalah unit

sintaksis (Syntactical Units).

Unit sintaksis adalah unit analisis yang menggunakan elemen atau bagian

bahasa dari suatu isi. Untuk bahasa tertulis ( berita, iklan baris, novel, buku

pelajaran, kitab suci), unit bahasa ini dapat berupa kata, ayat, kalimat, dan anak

kalimat. Untuk bahasa gambar (film, sinetron televisi, film kartun, dan iklan

televisi), bahasa ini dapat berupa potongan adegan (scene) dan sebagainya.56

55
Eriyanto, Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan
Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2011), Ed. Ke-1, h. 59
56
Ibid, h.62
44

2. Kategorisasi

Kategorisasi yaitu kategorisasi representasi nilai-nilai keislaman yang

terdapat di dalam film Suzzana: Bernafas dalam Kubur. Adapun nilai-nilai

tersebut berkaitan dengan teks-teks nilai-nilai Islam yang menjadi materi konsep

keislaman.

Dalam penelitian ini, peneliti mengkategorikan nilai kedalam tiga kategori

yakni akidah, syariah dan akhlak yang dirincikan dalam tabel berikut:

No Kategori Bidang

1 Akidah Iman kepada Allah SWT

Iman kepada Malaikat

Iman kepada kitab-kitab

Iman kepada nabi dan rosul

Iman kepada hari akhir

Iman kepada Qadha dan Qadhar

2 Syariah Ibadah

Muamalah

3 Akhlak Akhlak kepada Allah SWT

Akhlak kepada manusia

Akhlak kepada alam

Sumber: Hasil Analisis

3. Uji Reliabilitas

Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur (kategorisasi) dapat dipercaya atau diandalkan bila dipakai lebih dari
45

satu kali untuk mengukur gejala yang sama. Dalam analisis isi, alat ukur yang

dipakai adalah lembar coding (coding sheet). 57 Uji reabilitas dilakukan dengan

cara melakukan dokumentasi terlebih dahulu pada saat pengumpulan data dan

kemudian memasukkannya dalam lembar koding sesuai dengan kategorisasi yang

telah ditentukan. Kemudian seorang coder yang telah dipilih akan melakukan uji

reliabilitas terhadap kategorisasi tersebut.58 Perhitungan reabilitas atau tidaknya

kategorisasi dapat dilakukan dengan rumus yang dikemukakan oleh R. Hostly

(1969), yaitu:

2M
C. R =
N1 + N2

Keterangan:

C.R = Coefficient Reability

M = Jumlah pernyataan yang disetujui oleh dua pengode (peneliti dan

hakim)

N1, N2 = Jumlah pernyataan yang diberi kode oleh pengode dan peneliti.

F. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis data dengan

analisis isi (content analysis) yakni mendeskripsikan secara sistematis dan

objektif isi komunikasi atau teks yang nampak (manifest), dan dilakukan secara

objektif, valid, reliabel, dan dapat direplikasi.59 Analisis isi berupaya mengungkap

berbagai informasi dibalik data yang disajikan berupa apa yang dilihat dari isi

media (surat kabar, radio, film dan televisi).

57
Ibid, h.281
58
Ibid, h. 290
59
Ibid, h. 15
46

Dalam riset ini, peneliti menggunakan analisis data kuantitatif dengan

menggunakan statistik deskriptif, yakni untuk menggambarkan peristiwa, perilaku

atau objek tertentu lainnya tanpa berupaya menjelaskan hubungan-hubungan yang

ada. Kemudian untuk menghitung persentase representasi nilai-nilai keislaman

yang terdapat dalam film Suzzana: Bernafas dalam Kubur.

Data kemudian dianalisis dengan menggunakan tabulasi silang dalam tabel

frekuensi. Dari tabulasi tersebut akan dilakukan analisis terhadap persentase

mengenai akurasi, fairness, dan validitas pesan yang diungkapkan dalam film

Suzzana: Benrafas dalam Kubur\. Peneliti menggunakan tabel distribusi frekuensi

dengan rumus:

𝐹
𝑃= x 100%
𝑁

Keterangan:

P = Persentase

F = Frekuensi

N = Jumlah Item
47

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Yusuf Zainal. 2015. Metode Penelitian Komunikasi (Penelitian

Kuantitatif: Teori dan Aplikasi). Bandung: PUSTAKA SETIA.

Adha, Nurani. 2018. Pesan Dakwah dalam serial kartun ‘Upin & Ipin’

Episode Azam Puasa (Analisis Wacana: Teun Van Dijk). Skripsi yang tidak

diterbitkan. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Al Mandari, Ihsan. 2018. Makna Pesan Dakwah dalam Film Animasi Adit

dan Sopo Jarwo Episode 22 (Analisis Semiologi Roland Barthes). Skripsi yang

tidak diterbitkan. UIN Alauddin Makassar.

Anda mungkin juga menyukai