Anda di halaman 1dari 25

A.

Latar Belakang

Media memiliki cara yang ampuh untuk menyampaikan pesan,


kesan dan makna. Salah satu media yang dimaksud adalah film. Film
dapat dianalogikan berupa bentuk gambar yang dapat bergerak dan
bersuara yang bermaksud untuk menyampaikan makna atau maksud. Film
ini juga memiliki banyak pesan yang terkandung dan ketika ditonton
dimaknai oleh presepsi yang berbeda. Kenyataan yang ditayangkan atau
ditampilkan dalam sebuah film merupakan sebuah kenyataan yang
sebenarnya, atau juga berupa kenyataan khayalan. Setiap film yang
diproduksi memiliki ataupun menawarkan sesuatu pesan yang ingin
disampikan dari pihak yang memperoduksi kepada penontonnya. Melalui
media film harapanya setiap pesan yang ingin disampaikan dapat diterima
dengan baik oleh para penontonnya dan pihak pembuat film selalu
memiliki misi atau tujuan tertentu kepada para penontonnya. Penyampaian
tujuan film terhadap penontonpun memiliki beberapa jenis atau genre
seperti: action, komedi, fantasi, kartun, romantis, sport, dokumentasi,
horor dan lain-lain. Tema ceritanya pun berbeda-beda dalam sebuah film
ada yang menceritakan politik, pendidikan dan juga ketidakadilan
perempuan.
Membahas mengenai film yang bergenrekan tentang perempuan,
terdapat film yang senantiasa memposisikan perempun berada di posisi
yang lemah. Perempuan banyak memerankan peran-peran yang mengarah
ke profesi yang lebih femininitas seperti resepsionis, seketaris, ibu rumah
tangga dan lain sebagainya. Selain itu banyak ditampilkan perempuan
yang menggambarkan ketertindasan baik secara seksualitas dan (Gamble,
2010:117).
Film yang mengambarkan perempuan berada diposisi yang lemah
yaitu, seperti film Cinderella menceritakan kalau perempuan berada
diposisi yang lemah, film tersebut diproduksi Walt Disney yang membuat
film itu sangat terkenal. film Cinderella (2015) yang menceritakan tentang

1
seorang gadis miskin yang dinikahi oleh seorang pangeran, lalu kehidupan
Cinderella menjadi lebih baik dan terangkat derajatnya. Lalu film Moana
yang diproduksi Walt Disney yang menceritakan seorang remaja
perempuan yang bernama Moana. Moana ingin menyelematkan sukunya
akan tetapi dia tidak bisa melakukanya kalau tidak dibantu oleh Maui,
yaitu sosok laki-laki perkasa setengah dewa. Hal itu dapat
mengungkapkan bahwa film Cinderella dan film Moana menanamkan
ideologi patriarkal dimana perempuan dianggapkan sebagai sosok yang
lemah mudah tertindas oleh laki-laki dan mendikte perempuan untuk
berpikir bahwa mereka harus bergantung pada seorang laki-laki.
Stereotipe-stereotipe yang dihasilkan digunakan untuk memperkuat serta
menciptakan prasangka penonton laki-laki, dan juga untuk merusak
presepsi diri serta membatasi aspirasi sosial perempuan (Gamble,
2010:119).
Persoalan penindasan perempuan dalam media film ini tidak
terlepas dari kondisi realitas yang terjadi, bagaimana banyaknya
penindasan yang terjadi kepada perempuan di suatu negara. Film itu
merupakan representasi kondisi sosial yang ada. Pakar film Siegfried
Kraucer dalam Permana menyatakan bahwa teknik, isi cerita, serta
perkembangan film suatu negara bisa dipahami secara utuh dalam
hubungannya dengan pola psikologis aktual dari suatu negara. Artinya,
perkembangan film dari suatu negara hanya dapat dipahami jika
perkembangan tersebut dilihat melalui hubungannya dengan latar belakang
perkembangan sosial budaya dari suatu negara. Melihat pernyataan
Kraucer di atas, dapat penulis simpulkan bahwa film di suatu negara, dan
perkembangan tersebut salah satunya dipengaruhi oleh kondisi sosial
budaya yang ada di suatu negara (Permana, 2001: 559-560).
Perkembangan feminisme di zaman sekarang bisa dibilang pesat,
dimana kini sudah banyaknya komunitas yang memperjuangkan
feminisme secara terang-terangan dari aspek sosial, politik hingga
pendidikan. Hal ini dikarenakan penindasan sistematik terhadap wanita

2
yang disebabkan oleh struktur kemasyarakatan yang memberi kekuasaan
lebih kepada laki-laki sehingga membuat laki-laki dapat mendominasi
perempuan (Sunarto, 2009: 33). Sudut pandang ini terus diupayakan agar
keadilan bagi perempuan itu dapat dirasakan, menyadarkan masyarakat
dan juga dibantu oleh tokoh-tokoh terkenal yang telah menyuarakan untuk
keadilan bagi perempuan. Aktivitas feminisme yang saling memberikan
dukungan untuk melawan penindasan patriarki ini, hal ini terjadi karena
ketidakadilan yang dirasakan oleh perempuan. Dari segi gender,
pendidikan, seksual, bahasa, agama dan film, eksistensi feminisme ini
membuat kita sudah tahu apa yang dimaksud dengan feminisme. Akan
tetapi bukan berarti semua tujuan feminisme telah tercapai.
Tetapi apa sebenarnya feminisme? Sebuah definisi umum
menyatakan bahwa feminisme adalah sebuah kepercayaan bahwa
perempuan semata-mata karena mereka adalah perempuan di perlakukan
dengan tidak adil dalam masyarakat yang dibentuk untuk memprioritaskan
cara pandang laki-laki serta kepentinganya. Ketidakadilan dalam pola
patriarkal, perempuan menjadi semua hal yang bukan laki-laki (atau citra
yang tidak diingkan laki-laki) dimana laki-laki dingaggap kuat, perempuan
lemah, laki-laki dianggap rasional, perempuan dianggap emosional, laki-
laki dianggap aktif sedangkan perempuan dianggap pasif dan sebagainya.
Pada dasar pemikiran yang menyejajarkan mereka dengan gambaran-
gambaran negatif, perempuan tidak mendapat kesempatan yang sama
untuk masuk dalam dunia yang menjadi perhatian publik maupun dunia
yang mencerminkan budaya. Singkatnya, feminsme mencoba untuk
mengubah situasi ini (Gamble, 2010). Menurut Kasiyan, feminisme adalah
menunjuk pada pengertian sebagai indiologi pembebasan perempuan,
karena yang melekat dalam semua pendekatanya, adalah keyakinan bahwa
perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin (Kasiyan,
2008:73). Feminisme ini di representasiken untuk menjelaskan atau
mewakili feminisme dalam film Brave . Menurut Hartley dalam Nilasari,
representasi merupakan suatu bentuk konkret (penanda) yang digunakan

3
untuk menjelaskan konsep-konsep yang abstrak (Nilasari, 2014). Menurut
Stuart Hall dalam Nilasari dalam teori representasinya mengatakan bahwa
representasi memiliki tiga buah pendekatan untuk menjelaskan bagaimana
representasi makna melalui bahasa bekerja (Nilasari, 2014). Ketiganya
antara lain pendekatan reflektif, intensional, dan konstruksionis atau
konstruktivis.
Salah satu film yang menggambarkan representasi feminisme yaitu
film Brave. Brave adalah film animasi bertema putri (Princess) yang
produksi oleh Pixar Animation Studio dan di distribusi Walt Disney
Pictures. Film tersebut memenangkan kategori film animasi terbaik
(2013). Film ini banyak tanda dan penanda yang menunjukan bahwa
perempuan tersebut tidak bisa berbuat sesukanya, karena ada batasan
pendapat dan tindakannya untuk tradisi, kenyamanan dan keseharusanya
sebagai perempuan. Sebagaimana perempuan didikte oleh laki-laki,
perempuan itu sendiri maupun lingkungan juga bisa sebagai aspek
mendikte perempuan yang sebagaimana diinginkan. Perlakuan tersebut
menyebabkan perempuan di pandang menjadi negatif, seperti lemah,
ketergantungan dll. Sedangkan laki-laki di pandang positif, seperti tegas,
kuat dan dominan.

Gambar 1. Cover Film Brave (www.rogerebert.com)

4
Film ini menceritakan dari Kerajaan Dunbroch yang terletak di
Skotlandia, benua Eropa dan masuk dalam Kerajaan besar Great Britain
(Yunizar, 690). Dalam cerita, Merida berada pada era-abad pertengahan.
Terlihat dari pakaian utama yang dia gunakan. Dia memakai gaun
tradisional berwana teal gelap, terbuat dari katun, dengan celah di sikunya.
Gaun lengan panjangnya bertali dibagian dada dan roknya menjuntai
hingga kaki (Yunizar, 690). lalu juga ada lagu-lagu atau alat musik yang
sangat khas dari skotlandia seperti bagpipe.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada latar belakang, maka


rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana representasi pergerakan
feminisme dalam bentuk tanda bahasa pada film Brave?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini tidak hanya dilakukan untuk mengungkapkan


sesuatu apa yang dilihat dari luarnya saja, tapi juga penulis menyentuh
persoalan pada bagian-bagian tertentu yang tersembunyi akan hal
feminisme seperti perkataan dan tindakan yang ada di dalam film Brave.
Dari rumusan masalah yang di ambil untuk menjawab
permasalahan maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
pergerakan feminisme yang direpresentasikan dalam bentuk tanda bahasa
pada film Brave.

5
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Kegunaan penelitian ini secara teoritis yaitu untuk menambah
literatur penelitian kualitatif ilmu komunikasi khususnya mengenai
analisis semiotika pada film. Selain itu mampu memberikan gambaran
bagaimana feminisme dipresentasikan dengan bantuan teori
penokohan dalam film.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini akan memberikan kegunaan praktis berupa
pengetahuan untuk memahami film tidak hanya berfungsi sebagai
media hiburan, namun sebagai sumber informasi dan persuasi. Karena
adanya penelitian ini, maka penulis berharap dapat memberikan
informasi dan pengetahuan kepada masyarakat bahwa ada makna
feminisme dibalik film Brave.

E. Tinjauan Pustaka

1. Kerangka Teoretik
a. Semiotika
Simiotik adalah ilmu tentang tanda. Tanda adalah segala hal,
baik fisik maupun mental, baik di dunia maupun di jagat raya,
baik di dalam pikiran manusia maupun sistem biologi manusia
dan hewan, yang diberi makna bagi manusia (Hoed, 2014: 5)
dan juga semiotika merupakan suatu studi ilmu atau metode
analysis untuk mengkaji tanda dalam suatu konteks skenario,
gambar, teks, dan adegan di film menjadi sesuatu yang dapat
dimaknai (Mudjiono, 2011: 129). Jadi, tanda adalah tanda
hanya apabila bermakna bagi manusia dan dapat dipahami.
Teori Saussure adalah prinsip yang mengatakan bahwa bahasa
itu adalah sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun atas dua

6
bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda)
(Mudjiono, 2011: 130). Menurut Saussure dalam (Mudjiono,
2011: 130) bahasa merupakan suatu sistem tanda, dan setiap
tanda kebahasaan, menurutnya pada dasarnya menyatakan
sebuah konsep dan suatu citra suara (sound image), bukan
menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Sesuatu yang penting
dalam sistem semiotika ini adalah bagaimana tanda-tanda
tersebut dapat diterima dan dipahami oleh penonton. Ferdinand
de Saussure ingin mengemukakan bahwa bahasa dapat dikaji
dengan teori yang mandiri yang disebutnya “linguistique”.
Dalam kaitan ini ada 4 konsep penting menurut de Saussure,
yaitu:

1) Teori sosial tentang bahasa dan tanda bahasa: signifiant-


signifie
Bahasa adalah alat komunikasi dalam masyarakat
yang menggunakan sistem tanda yang maknanya dipahami
secara konvensional oleh anggota masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Tanda bahasa terdiri dari dua unsur yang tak
terpisahkan, yakni unsur citra akustik (bentuk)
(signifiant/penanda) dan unsur konsep (signifie/petanda).
Kedua unsur itu tidak dapat dipisahkan seperti dua sisi
selembar kertas. Hubungan antar penanda dan petanda,
yakni antar bentuk dan makna, didasari konvensi dalam
kehidupan sosial. Kedua unsur itu terdapat dalam kognisi
para pemakai bahasa (Hoed, 2014: 66).

2) Hubungan (relasi) antar tanda


Bahasa menggunakan tanda yang dimaknai secra
konvensional. Tanda-tanda bahasa itu tersusun dalam
rangkaian yang disebutnya rangkaian “sintagmatik”. Dalam

7
hal ini, tanda bahasa berada dalam relasi sintagmatik, yakni
rangkaian tanda yang berada dalam ruang dan waktu yang
sama atau relasi in praesentia. Contoh yang dapat kita
berikan dari bahasa Indonesia adalah kalimat
Ali makan nasi. Urutan ketiga kata itu tidak dapat
bersifat sembarangan (arbitrary, manasuka), tetapi
dipedomani oleh kaidah (langue) bahasa Indonesia. Jadi,
arah panah pada contoh di atas tidak hanya untuk
memperlihatkan urutan (karena bahsa bersifat linier), tetapi
juga hubungan fungsi sintaktis Subjek Predikat Objek.
Namun, meskipun urutan diubah, fungsi gramatikalnya
tetap, misalnya Nasi Ali makan atau Makan
nasi Ali (Hoed, 2014: 66).

3) Teori tentang “langue” dan “parole”


Dalam memahami bahasa sebagai alat komunikasi
dan sebagai gejala sosial, De Saussure melihat ada dua
tataran yang berkaitan satu sama lain. Bahasa sebagai gejala
sosial disebutnya “langage”, yang terdiri dari dua tataran.
Tataran pertama pada tataran sosial atau lintas individu
adalah yang disebutnya “langue”, yakni tataran konsep dan
kaidah. Tataran dibawahnya adalah yang disebutnya
“parole”, yakni tataran konsep dan kaidah. Tataran
dibawahnya adalah yang disebutnya “parole”, yakni tataran
praktik berbahasa dalam masyarakat. Menurut de Saussure
langue (kaidah) menguasai prole (praktik berbahasa). Tanpa
menguasai langue seseorang tidak dapat ikut serta
memperaktikan langage dalam sebuah masyarakat bahasa
(Hoed, 2014: 68).

8
4) Bahasa yang utama adalah yang lisan

Menurut de Saussure bahasa tulis merupakan


“tuturan” dari bahasa lisan. Jadi bahasa yang utama adalah
bahasa lisan. Bahasa yang sebenarnya adalah bahasa lisan.
Ini merupakan kritik terhadap para peneliti bahasa yang
terlampau terfokus bada bahasaa tulis yang de Saussure
pandang sebagai “tidak alamiah”. Setelah berbicara tentang
“langue” dan “parole” sebagai bagian dari “langage”, de
Saussure membicarakan pentingnya bahasa lisan. “langage”
yang utama adalah bahasa lisan yang merupakan objek
kajian utama linguistiki. Selama itu menurut de Saussure
tulisan sering dianggap bahasa yang menurunkan bahasa
lisan karena penelitian bahasa-bahasa kuno (seperti Yunani,
Latin dan Sangsekerta) memberikan citra bahwa bahsa
tertulis lebih berperstise. Padahal, tulisan adalah turunan dari
bahasa lisan yang menurut de Saussure diatur oleh
“langue”, sedangkan tulisan merupakan sistem yang
berbeda. Bahasa lisan juga dinggap yang utama karena
menurut de Saussure makna lebih dekat pada yang lisan dari
pada yang tertulis. Objek kajian utama lingustik adalah
bahasa lisan (Hoed, 2014: 68).

2. Oprasionalisasi Konsep
Adapun oprasional konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Feminisme
Feminisme adalah menunjuk pada pengertian sebagai idiologi
pembebasan perempuan, karena yang melekat dalam semua
pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami
ketidakadilan karena jenis kelamin (Kasiyan, 2008:73). Berdasarkan
penjelasan Kasiyan dapat dilihat secara umum feminisme adalah

9
gerakan perempuan untuk setara dengan laki-laki karena terdapatnya
pembatasan hak atau ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.
Feminisme bukanlah hanya perjuangan emansipasi dari kaum
perempuan terhadap kaum laki-laki saja, karena mereka juga
menyadari bahwa laki-laki khususnya kaum proletar mengalami
penderitaan yang diakibatkan oleh dominasi, eksploitasi, dan represi
dari sistem yang tidak adil (Zulfa, 2015:14). Tujuan feminisme adalah
untuk menunjukkan bagaimana penilaian tentang suatu kondisi sosial
di mana perempuan menempuh kehidupan mereka membuka
kesempatan untuk merekontruksi dunia mereka dan menawarkan
kepada mereka prospek keebebasan di masa depan (puspitawati, 2013:
125). Dapat disimpulkan bahwa tujuan feminisme adalah untuk
mengeluarkan kaum perempuan dari kondisi ketidakadilan.
Orang yang menganut paham feminisme disebut dengan
feminis. Feminisme pun terbagi bagi menjadi beberapa aliran.
Menurut Tong dalam (Zelviana 2017:23) ada delapan macam aliran
feminisme yang dianut oleh para feminis. Diantaranya adalah:
Feminisme Liberal, Feminisme Radikal, Feminisme Marxis dan
Sosialis, Feminisme Psikoanalisis dan Gender, Feminisme
Eksistensialis, Feminisme Posmodern, Feminisme Multikultural dan
Global, dan Ekofeminisme.
Feminisme tidak lepas dari apa yang dimaksud dengan
ketidakadilan gender. Menurut Fatmariza dalam Hayati ketidakadilan
gender terjadi dalam keluarga, sekolah, media massa, dan masyarakat
serta di tempat kerja dalam berbagai bentuk (Hayati, 2012:165).
Ketidakadilan ini menurut Fakih dalam Hayati termanifestasikan
dalam berbagai bentuk yang terjadi di berbagai tingkatan masyarakat,
yakni marginalisasi (peminggiran atau pemiskinan ekonomi),
subordinasi (penomorduaan), stereotip (citra baku), kekerasan
(violence), dan beban kerja ganda (double burden). Dapat disimpulkan
bahwa ketidakadilan gender adalah suatu kondisi yang tidak adil untuk

10
perempuan dan laki-laki melalui berbagai proses yang menghilangkan
hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki.
Manifestasi ketidakadilan ini tidak bisa dipisah‐pisahkan, karena saling
berkaitan dan berhubungan, serta saling mempengaruhi secara dialektis
(Hayati, 2012:165-166).

Penelitian ini akan membahas tentang feminme yang


diperjuangkan perempuan. Bentuk-bentuk feminsime yang
diperjuangkan tersebut beragam, mulai dari tidak mematuhi, berdebat
dan pengambilan keputusan dalam bentuk lisan ataupun gambar
misalnya: Merida: aku mengikuti aturanya!| Elinor: kau tak mengerti!|
Merida: aku tak peduli| Elinor: akan ada perang jika tidak diatur
dengan tepat| Merida: dengarkan aku!| Elinor: aku ratu! Kau yang
dengankan aku!| Merida: Oh! Ini sangat tidak adil!| Elinor: Huh! Tidak
adil?| Merida: kau tdak pernah ada untuk ku! Pernikahan ini yang kau
mau ! apa kau pernah bertanya apa yang ku mau? tidak! Kau hanya
mondar-mandir memberitahu yang boleh dan tidak dilakukan!
Mencoba menjadikanku sepertimu! Aku tidak akan menjadi seperti
mu!| Elinor: Ach! Kau seperti anak kecil!| Merida: dan kau kejam!
Itulah dirimu!| [Merida mengarahkan pedangnya pada permadani
keluarga yang sedang dikerjakan Elinor]| Elinor: Merida!| Merida: aku
takkan pernah menjadi sepertimu!| [Merida menempelkan ujung
pedangnya ke permadani]| Elinor: tidak! hentikan!| Merida: aku lebih
baik mati dari pada menjadi sepertimu!| [Tiba-tiba Merida menyayat
permadani, sebuah garis di antara dia dan anggota keluarga kerajaan
lainnya, Elinor begitu kesal sehingga dia mengambil busur Merida]

Dalam hal ini, feminisme yang dimaksud adalah


memperjuangkan hak dan kebebasan perempuan karena katidakadilan
yang dirasakan dalam film Brave. Dalam penelitian ini, penulis akan
mengambil unsur-unsur feminisme dalam film tersebut, seperti tidak
mematuhi, berdebat dan pengambilan keputusan.

11
b. Film sebagai media
Film menurut (Zelviana, 2017: 1) adalah medium ekspresi
artistik sebagai suatu alat para seniman dan insan perfilman dalam
rangka mengungkapkan gagasan-gagasan dan ide cerita. Nilasari
(Nilasari, 2014) juga mengatakan film adalah karya cipta yang
merupakan media komunikasi massa dengar-pandang yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan bahan baku celluoid, pita
video, piringan video, dan atau bahan penemuan teknologi lainnya
dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses
elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara yang dapat
dipertunjukkan, ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,
elektronik, dan atau lainnya. Dapat disimpulkan bahwa film adalah
salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan ide atau
gagasan dalam bentuk audio visual kepada masyarakat luas.
Ada beberapa genre film seperti action, komedi, fantasi, kartun,
romantis, sport, dokumentasi, horor dan lain-lain. Beberapa fungsi film
yang diproduksi sering kita temui misalnya ; fungsi informasional
dapat ditemukan pada film berita (newsreel), fungsi instruksional dapat
dilihat dalam film pendidikan, fungsi persuasif terkandung dalam film
dokumenter, sedangkan fungsi hiburan dapat ditemukan pada jenis
film cerita. Perlu diketahui dan diingat bahwasanya setiap film selalu
mengandung unsur hiburan. Film informasional, instruksional, maupun
persuasif selain mengandung pesan yang memungkinkan terlaksananya
fungsi juga harus memberikan kesenangan atau hiburan kepada
khalayak (Mudjiono 2011:137).
Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, media yang menjadi
objek penelitian adalah film Brave yang diproduksi oleh Pixar
Animation. Film Brave merupakan film kartun yang bertemakan
feminisme. Penulis akan membatasi film Brave yang akan diteliti, pada
tata bahasa, dan diaolog. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis

12
juga menggunakan teks, gambar dan suara/bunyi sebagai penguat
analisis dalam bahasa.

c. Bahasa dan kebubudayaan


Menurut Tarigan dalam Devianty (2017:230), ada dua definisi
bahasa yaitu pertama, bahasa ialah suatu sistem yang sistematis,
barangkali juga sistem generatif. Kedua, bahasa ialah seperangkat
lambang-lambang mana suka ataupun simbol-simbol arbitrer. Chaer
dalam Devianty (2017:229) menegaskan bahwa bahasa sebagai suatu
lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok
anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Dapat
disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang mana pikiran
dan perasaan dinyatakan dalam bentuk lisan, tulisan dan isyarat.
Menurut Devianty (2017: 128) bila fungsi bahasa secara umum
itu dirinci, maka dapat dikatakan bahwa bahasa mempunyai fungsi
untuk:
1) Tujuan praktis, yaitu untuk mengadakan antarhubungan
(interaksi) dalam pergaulan sehari-hari.
2) Tujuan artistik, yaitu kegiatan manusia mengolah dan
mengungkapkan bahasa itu dengan seindah-indahnya guna
pemuasan rasa estetis.
3) Menjadi kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain
4) Tujuan filologis, yaitu mempelajari naskah-naskah tua untuk
menyelidiki latar belakang sejarah manusia, sejarah kebudayaan,
dan adat istiadat, serta perkembangan bahasa itu sendiri.

Bahasa merupakan bagian dari budaya. Seperti yang dikatakan


oleh Bungin, kebudayaan adalah produk dari seluruh rangkaian proses
sosial yang dijalankan oleh manusia dalam masyarakat dengan segala
aktivitasnya (Bungin, 2006: 52). Dengan demikian proses aktivitas
budaya selalu berhubungan dengan bahasa, yang sebagai alat
komunikasi antar makhluk hidup. Menurut Kluckhohn melalui

13
Universal Categories of Culture dalam Bungin (2006: 53) merumuskan
7 unsur kebudayaan yang universal dan salah satunya ada bahasa, yaitu:
1) Sistem teknoligi, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup
manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjat,
alat-alat produksi transport dan sebagainya).
2) Sitem mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi
(pertanian, perternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan
lainya).
3) Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik,
sistem hukum dan sistem perkawinan).
4) Bahasa (lisan dan tulisan)
5) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
6) Sistem pengetahuan.
7) Religi (sistem kepercayaan).

Bahasa sangat berpengaruh terhadap kebudayaan. Karena seperti


yang telah dijelaskan di atas, kunci proses terjadinya budaya pasti
melalui interaksibahas dan sebagai alat komunikasi untuk proses
tersebut. Setiap bunyi atau ucapan dan gerak manusia belum tentu
disebut bahasa kalau tidak mempunyai makna. Dalam sosiologi
komunikasi yang mempelajari tentang intersaksi sosial antar
masyarakat, komunikasi dibagi menjadi 5 jenis, yaitu 1. Komunikasi
individu dengan individu, 2. Komunikasi kelompok, 3. Komunikasi
organisasi, 4. Komunikasi sosial, 5. Komunikasi massa (Bungin,
2007: 31-32).
Setiap masyarakat pasti memiliki kebiasaan atau budaya yang
berbeda yang salah satunya terdapat pada unsur bahasa, misalnya
masyarakat Muntok memaknai mual itu sebagai tanda mau muntah
dan sedangkan bagi masyarakat Belitung mual itu berarti mengiyakan.
Dapat disimpulkan bahwa bahasa dapat mencerminkan bagaimana
cara orang berinteraksi, kepribadian masyarakat dan karakter

14
seseorang. Begitu halnya dengan penelitian ini penulis akan
membatasi kebudayaan yang ada di dalam film Brave dari faktor
bahasa.

3. Alur Berfikir
Alur dalam film ini, seorang remaja atau anak perempuan dari
raja yang bernama Merida di representasikan sebagai sosok feminisme
untuk melawan patriarki, budaya dan juga ketidakadilan gender yang
dia hadapi. Berdasarkan gambar 2, penulis menjelaskan bahwa
penelitian ini penulis akan menggunakan metode analisis semiotik
Ferdinand de Saussure untuk melihat penanda (Signifier) dan Petanda
(Signified) untuk kemudian menganalisisnya.
Untuk mempermudah pemahaman dalam proses penelitian,
penulis menyajikan alur pikir/skema proses penelitian yakni sebagai
berikut:

FIlm Brave

Representasi Feminisme

Dialog dan Adegan

Analisis Semiotika Ferdinand De Saussure

Penanda Petanda
(Signifier) (Signified)

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

15
4. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian terdahulu
sebagai tolak ukur dan acuan untuk menyelesaikannya. Penelitian
terdahulu memudahkan penulis dalam menentukan langkah yang
sistematis untuk penyusunan penelitian dari segi teori maupun konsep,
berikut ini adalah tabel penelitian terdahuluyang menjadi bahan
referensi yang menunjang penulis untuk melakukan penelitian terkait
dengan representasi feminisme:
Penelitian pertama yang dilakukan oleh Fanny Puspitasari Go
(2013) yang berjudul “ Representasi Stereotipe Dalam Fim Breave”.
Penelitian ini mengkaji tentang representasi stereotipe perempuan
dengan dilihat dari struktur narasinya. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa film Brave gagal mendobrak pola kerja sistem patriarki.
Memang pada awalnya, narasi film Brave berusaha mematahkan
stereotipe-stereotipe perempuan yang selalu ditampilkan Disney.
Namun, akhir film ini justru mengukuhkannya. Penelitian ini
menunjukkan bagaimana Pixar ikut mengkomodifikasi stereotipe
perempuan melalui narasi film Brave dengan mengikuti standardisasi
terhadap film-film putri Disney.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis yaitu dalam
penelitian penulis, penulis lebih menjelaskan analisis yang
menggunakan analisis semiotika Ferdinand de Saussure. Analisis ini
menjelaskan dari penanda (gambar, bunyi, coretann) dan petanda
(makna yang berasal daripenanda). lalu penelitian ini menganalisis
menggunakan analisis naratif Vladimir Propp yang menjelaskan
keseluruhan teks dengan berfokus pada struktur kisah atau narasi. Sebab
itu yang benar-benar membedakan penelitian ini, ketertarikan peneliti
pada jalan cerita Brave dibanding dengan melihat tanda-tanda yang di
jelaskan oleh penulis dalam penelitianya.
Penelitian kedua yang dilakukan oleh Yolanda Hana Chornelia
(2013) yang berjudul “ Representasi Feminisme Dalam film Snow

16
White And Huntsman”. Penelitian ini mengkaji tentang perempuan
digambarkan dalam menganalisa yaitu feminisme dalam pengambilan
keputusan, feminisme dalam kekuatan, dan feminisme dalam
kepemimpinan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa film ini
mampu mematahkan streotipe-streotipe perempuan itu lemah dan
tergantung pada laki-laki, seperti cerita terdahulunya “Snow White”.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis yaitu penelitian
ini menggunakan teori kode-kode televisi (television codes) John Fiske.
John Fiske mengkategorikan kode-kode televisinya ke dalam beberapa
level yaitu, yakni level realitas, level representasi, dan level ideologi.
Sedangkan penelitian penulis menggunakan teori analisis semiotika
Ferdinand de Saussure. Analisis ini menjelaskan dari penanda (gambar,
bunyi, coretann) dan petanda (makna yang berasal daripenanda).
Penelitian ketiga yang dilakukan oleh Fadila Rahma (2013)
yang berjudul “Representasi Perjuangan Perempuan dalam film Mona
Lisa Smile (Studi Analisa Semiotika)”. Penelitian ini mengkaji tentang
representasi perjuangan perempuan dalam film “Mona Lisa Smile”.
Tanda dan makna apa saja yang digunakan dalam film “Mona Lisa
Smile” dalam merepresentasikan perempuan dengan menggunakan
pendekatan semiotika John Fiske. Hasil penelitian ini menunjukkan
menunjukkan tanda dan makna yang digunakan dalam
merepresentasikan perempuan ditandai dengan level realitas seperti
kode lingkungan yaitu di aula sekolah dan ruang perkuliahan.
Kemudian kode penampilan menggunakan blouse berkerah dengan
lengan ¼ , mengenakan toga, syal dan sweater. Pada level representasi
kode teknis meliputi kata, kalimat , proporsi foto, teknik pencahayaan
key light dan high key light. Teknik pengambilan gambar extreme long
shot, very long shot, medium long shot, long shot, close up dan big
close up. Pada level ideologi terdapat Feminisme Islam, Feminisme
Liberal, Feminsime Postmodern dan budaya patriarki. Selanjutnya
peneliti juga menemukan 4 representasi perjuangan perempuan: (1)

17
representasi perjuangan perempuan di sektor publik, (2) representasi
perjuangan perempuan dalam mengubah sudut pandang pemikiran di
Wellesley, (3) representasi perjuangan perempuan dalam mengubah
tradisi yang berlaku di Wellesley, (4) representasi perjuangan
perempuan dalam meninggalkan nilai konservatif dan budaya
tradisional di Wellesley.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis yaitu
penelitian ini menggunakan tanda dan makna di film “Mona Lisa
Smile” dalam merepresentasikan perempuan dengan menggunakan
pendekatan semiotika John Fiske dan menjelaskan perjuangan
ketidakadilan gender dalam ranah agama. Sedangkan penulis
menggunakan analisis semiotika Ferdinand de Saussure. Yang
menjelaskan dari penanda (gambar, bunyi, coretann) dan petanda
(makna yang berasal dari penanda).

F. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian
Metode penelitian yang digunakan untuk menggali fakta, data,
dan informasi dalam penelitian tentang representasi feminisme dalam
film Brave. Metode yang digunakan bersifat kualitatif, maka secara
umum teknik analisis datanya menggunakan alur yang lazim digunakan
dalam metode penulisan kualitatif, yakni mengidentifikasi objek yang
diteliti untuk dipaparkan, dianalisis, dan kemudian ditafsirkan
maknanya observasi agar dapat mengamati langsung ke objek penelitian
dan dokumentasi.
Penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
analisis semiotik. Analisis semiotik yang digunakan dalam penelitian
ini mengambil dari persprektifnya Ferdinand De Saussure. Semiotik
Ferdinand De Saussure sebagai alat analisis pada penanda dan petanda.

18
Analisis penelitian ini dilakukan meliputi bunyi/suara, tata
bahasa, teks gambar ataupun simbol dan dialog dalam setiap scene.
Danesi dalam Zelviana menjelaskan Saussure menggambarkan tanda
sebagai struktur biner, yaitu struktur yang terdiri dari dua bagian:
pertama, bagian fisik, yang disebut sebagai penanda (signifier), dan
kedua, bagian konseptual, yang disebut petanda (signified) (Zelviana,
2017:26).
Maka disini data utama yang penulis gunakan berupa tata
bahasa, dan diaolog. Untuk memperkuat penelitian ini maka penulis
juga menggunakan teks, gambar dan suara/bunyi sebagai penguat
analisis dalam bahasa.
2. Fokus Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan film Brave.
Objek penelitiannya adalah feminisme yang terdapat di dalam film itu
sendiri. Penulis tidak melakukan penelitian ke lapangan, karena penulis
cukup melihat serta mengamati tayangan yang ada di dalam film
tersebut dengan sedetail mungkin dalam setiap adegan yang
ditampilkan.

3. Jenis dan Sumber Data


Jenis sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Data primer
Data primer, yaitu buku-buku yang secara langsung berkaitan
dengan objek material penelitian (Kaelan, 2012:156). Data primer
adalah sumber data yang paling utama. Data primer dalam penelitian
ini diperoleh dengan cara pengamatan secara langsung terhadap
objek yang diteliti film Brave yang diproduksi oleh Pixar Animation
pada tahun 2012. Data primer yang akan diambil oleh yaitu dialog
dan tata bahasa.

19
b. Data sekunder
Data sekunder, yaitu sumber daqta yang berupa buku-buku serta
kepustakaan yang berkaitan dengan objek material, akan tetapi tidak
secara langsung merupakan karya tokoh budaya, agama atau filsuf
tertentu yang menjadi objek penelitian (Kaelan, 2012:157). Data
sekunder adalah sumber data untuk menunjang data primer. Dalam
penelitian ini data sekunder didapatkan dari teks, gambar dan
suara/bunyi yang memiliki kaitan dengan penelitian yang akan
diteliti.

4. Subjek dan Teknik Penentuan Informasi


Dalam penelitian ini penulis memfokuskan penelitian pada
karakter tokoh, penampilan, lingkungan dengan dukungan dialog dan
tata bahasa yang merujuk pada perilaku feminisme yang terdapat dalam
film Brave. Karakter dalam adegan (scene) dengan dukungan dialog
dan tata bahasa yang telah penulis pilih.
Data yang sudah di pilih tersebut akan dianalisis menggunakan
metode analisis semiotik Ferdinand De Saussure.
Menurut Ferdinand De Saussure penanda (signifier) yaitu bunyi,
gambar, atau coretan dan pertanda (signified) yaitu konsep dan makna
yang berasal dari penanda. Penulis juga menggunakan penokohan untuk
mengambarkan bagaimana penciptaan citra tokoh agar dapat dikenal
oleh pembaca sehingga penulis dapat mengetahui bagaimana
representasi feminisme yang terdapat di dalam film Brave.

5. Teknik Pengumpulan Data


Pada saat pengumpulan data tersebut, penulis mengunakan
beberapa teknik yaitu:
a. Observasi
Observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap
objek penelitian. Dalam pengamatan tersebut, peneliti mengamati dan

20
mencatat secara langsung situasi yang ada di lapangan (Rahman,
Ibrahim, 2009:43). Menurut Idrus (2009: 101) observasi merupakan
aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis.
Observasi pada umumnya dilakukan pada lapangan. Tapi karena
penelitian ini adalah penelitian media, maka observasi ini dilakukan
pada objek. Penelitian dilakukan dengan mengamati film yang
mempresentasikan bagaimana feminisme di tampilkan dalam film
Brave.
b. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari dokumen-
dokumen yang ada atau catatan-catatan yang tersimpan, baik itu berupa
arsip, buku, surat kabar, foto-foto dan lain sebagainya yang dijadikan
sumber data (Rahman, Ibrahim, 2009:43). Dapat disimpulkan
dokumentasi adalah suatu cara yang digunakan untuk memperoleh data
atau informasi dalam bentuk buku, arsip, dokumen, gambar dan lain-
lain yang dapat mendukung penelitian dan kemudian dikaji oleh
penulis. Dalam penelitian ini, penulis akan mencari data atau informasi
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan femisnme, semiotik dan film
Brave melalui dokumen-dokumen yang ada kaitanya dengan penelitian
ini.

6. Teknik Analisis Data


Penulis menggunakan metode analisis semiotik Ferdinand De
Saussure yang menjelaskan mengenai tanda, yang terbagi menjadi:
a. Penanda (Signifier)
Menurut Vera dalam Zelviana penanda adalah bentuk-bentuk
medium yang diambil oleh suatu tanda, seperti sebuah gambar, bunyi,
atau coretan (Zelviana, 2017:27). Dalam penelitian ini bunyi/suara,
tata bahasa, teks gambar ataupun simbol dan dialog adalah sebuah
komponen yang tak terpisahkan dengan tanda.

21
b. Petanda (Signified )
Menurut Vera dalam Zelviana petanda adalah konsep dan
makna-makna yang berasal dari penanda (Zelviana, 2017:27). Dalam
penelitian ini petanda adalah bagian sistem dari penanda

G. Sistematika Penulisan

Agar pola penyusunan hasil penelitian menjadi jelas dan struktur


maka hasil penelitian disusun dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Pada bab pertama menjelaskan beberapa tahap yang akan dijelaskan.
Pertama, pendahuluan yan menyajikan uraian latar belakang tentang objek
penelitian, rumusan masalah yang mencakup uraian identifikasi masalah,
tujuan penelitian yang merupakan turunan dari rumusan masalah, manfaat
peneliltian berdasarkan topik penelitian.
Bab kedua berisi tinjauan pustaka, penulis mencantumkan beberapa
penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, kerangka teoritis
sebagai alat untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini,
menggunakan teori untuk menganalisis permasalahan. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori Ferdinand De Saussur tentang
semiotika. Kemudian alur berfikir yang memiliki tujuan agar lebih
mempermudah pemehaman dalam menjelaskan yang digambarkan dalam
sebuah bagan. dan yang terakhir.
Bab ketiga berisi metode penelitian, yang memuat beberapa aspek
terkait penelitian yang akan dilakukan penulis berdasarkan pendekatan
penelitian kualitatif. Pendektan ini meliputi jenis dan pendekatan
penelitian, objek penelitian, sumber data berupa primer dan sekunder,
teknik pengumpulan data berupa observasi dan dokumentasi serta teknik
analisa data yang berdasarkan analisis semiotika.

22
Bab keempat mengenai gambaran umum. Bab ini penulis akan
memberi gambaran profil film, sipnosis film, tim produksi, karakter
pemain dan pemain film, profil sutradara, penulis film dan produser film.
Bab kelima merupakan hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini
penulis mengindentifikasi tata bahasa dan dialog pada scene yang
mengandung feminsme dan menganalisa tata bahasa dan dialog yang
sesuai dengan scene tersebut dengan menggunakan semiotika dari
Ferdinand De Saussure.
Kemudian bab keenam, bab ini merupakan bab penutup yang berisi
tentang kesimpulan dan saran yang diperlukan. Kesimpulan berupa
jawaban dari rumusan masalah dalam penelitian dan saran yang berupa
masukan untuk menjadi lebih baik.

23
Daftar Pustaka

Sumber Buku
Gamble, Sarah. 2010. Feminisme Dan PostFeminisme. Jilid I. Yogyakarta:
Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2014. Semiotika Dan Dinamika Sosial Budaya. Edisi Ketiga.
Depok: Komunitas Bambu.
Kasiyan. 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan.
Yogyakarta: Ombak.
Rahman, Bustami dan Ibrahim. 2009. Menyusun Proposal Penelitian. Pangkal
Pinang: UBB Press.
Sunarto. 2009. Televisi Kekerasan Dan Perempuan. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara.
Kaelan. 2012. Metode Penelitian Kualitatif Interdispliner. Yogyakarta:
Paradigma.
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial.Jakarta: Erlangga.
Bungin, Bruhan. 2006. Sosiologi komunikasi Teori, Paradigma dan Diskursus
Teknologi Komunikasi Di Masyarakat. Jakarta: Fajar Interpratama Offset.
Sumber Jurnal dan Skripsi
Hayati, Yenni. 2012. Representasi Ketidakadilan Gender Dalam Cerita Dari
Blora. Karya Pramoedya ananta Teori: Kajian Feminisme. 15(2), hlm.
165-166.
Mudjiono, Yoyon. 2011. Kajian Semiotika Dalam Film. Jurnal Ilmu Komunikasi,
1, (1), hlm. 129, 130, 137 .
Nilasari, Febryana Dewi. 2014. Representasi Nasionalisme Warga Perbatasan
Kalimantan Barat Dalam Film (Analisis Semiotika Pada Film Tanah
Surga...Katanya). Semarang, Universitas Dipenogoro Semarang.
Permana, Karis Singgih Angga. 2011. Analisis Genre Film Horor Indonesia
Dalam Film Jelangkung. 3(3), hlm. 559-560.
Puspitawati, Herien.2013. Konsep Teori Dan Analisis Gender. Hlm. 125.

Yunizar, Cahya Haniva. Wacana Perempuan Dalam Film Animasi Princess


“Brave”, 3, (3), hlm. 690.

24
Zelviana, Dini. 2017. Representasi Feminisme dalam Film The Huntsman:
Winter’s War. Lampung, Universitas Lampung.

Zulfa, Maulana. 2015. Eksistensi Perempuan Pejuangan Dalam Novel Wanita


Bersabuk Dua Karya Sakti Wibowo Kajian Feminisme Eksistensialis.
Semarang, Universitas Negeri Semarang.
Devianty, Rina. 2017. Bahasa sebagai Cermin. Jurnal Tarbiyah Vol 24. No 2, hlm
228-230

Sumber Internet
Ebert, Robert. 2012. Reviews https://www.rogerebert.com/reviews/brave-2012 Di
akses pada tanggal 25 juni 2019 pukul 13:30 WIB.

25

Anda mungkin juga menyukai