Anda di halaman 1dari 29

Nama : Laode Muhammad Nuzul Fiqi

NIM : 2018-41-197

Mata Kuliah : Kapita Selekta Jurnalistik

Dosen : Nasrullah Kusadjibrata, S.Sos, M.Si

ANALISIS SEMIOTIKA CHARLES SANDERS PIERCE TERHADAP

REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM KARTINI 2017

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan budaya patriarki, perlawanan tokoh Kartini terhadap
budaya patriarki, dan reaksi tokoh lain terhadap perlawanan Kartini dalam film Kartini. Adapun teori
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotika. Sumber data dalam penelitian kualitatif
ini adalah film Kartini dengan teknik pengumpulan data observasi atau pengamatan dan studi literatur.
Adapun teknik analisis data dilakukan sejak, sebelum, selama, dan setelah proses penelitian. Hasil
penelitian ini berupa kumpulan deskripsi budaya patriarki, perlawanan tokoh Kartini terhadap budaya
patriarki, dan reaksi tokoh lain terhadap perlawanan Kartini dalam film Kartini.

PENDAHULUAN

Film merupakan salah satu bentuk dari komunikasi massa. Film bersifat audio visual. Film
merekam realitas yang berkembang dalam masyarakat kemudian memproyeksikan ke layar lebar.
Kemampuan film dalam menciptakan gambar dan suara dapat menjangkau berbagai segmen sosial
dan berpotensi untuk mempengaruhikhalayaknya. Film selalu mempengaruhi dan membentuk
masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya (Sobur, 2013:127).

Film menjadi alat propaganda yang cukup efektif untuk memasukkan ideologi dan ajaran
tertentu dalam masyarakat. Dilansir dari tirto.id, sejumlah studi di bidang neurosains membuktikan
bahwa film memang dapat mengendalikan sentimen orang.Melalui functional magnetic resonance
imaging (FMRI), para ilmuwan dari New York University mengetahui reaksi otak manusia terhadap
adegan, warna, dan musik latar dalam film; dan hal itu menjadikan film-film yang mempunyai tujuan
tertentu, misalnya menakut-nakuti, sukses menancapkan pengaruh dan pesan di kepala para
penontonnya. Pesan-pesan atau nilai-nilai yang terkandung dalam film dapat mempengaruhi penonton
baik secara kognitif, afektif,dan konatif.

Graeme Turner (dalam Sobur, 2013:127) menolak untuk melihat film sebagai refleksi
masyarakat. Bagi Turner, makna film sebagai representasi realitas masyarakat berbeda dengan film
sekadar sebagai refleksi realitas. Sebagai refleksi realitas, film sekadar memindahkan realitas ke layar
tanpa mengubah realitas itu. Sementara itu, sebagai representasi realitas, film membentuk dan
menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi dari
kebudayaan.

Alkhajar (2013:190) mengungkapkan bahwa film bukanlah sebuah entitas yang netral dan
bebas nilai. Film tidak pula lahir dari ruang kosong. Lebih dari itu, film merupakan media yang efektif
dalam membawa pesan-pesan yang memang dilekatkan dan ditanamkan padanya untuk kemudian
disampaikan kepada segenap penontonnya.

Budaya patriarki sebagai manifestasi adat istiadat masyarakat Jawa sering diangkat sebagai
subtema layar lebar. Perempuan dalam konteks budaya patriarki sering dianggap sebagai pihak
inferior, sedangkan laki-laki sebaliknya. Pernyataan tersebut didukung pendapat Raharjo (dalam
Anggreni, 2015:57) bahwa peran dan status wanita telah diciptakan oleh budaya. Citra seorang wanita
seperti yang telah dianggap oleh budaya, antara lain, lemah lembut, penurut, tidak membantah, dan
tidak boleh “melebihi” laki-laki. Peran yang diidealkan bagi wanita, misalnya mengurus rumah
tangga, pendukung suksesnya pekerjaan suami, serta istri yang penurut dan ibu dari anak-anaknya.
Sedangkan citra yang dibuat untuk laki-laki antara lain, “serba tahu”, menjadi panutan yang harus
“lebih” dari wanita, rasional, dan agresif. Peran laki-lakiyang ideal adalah sebagai pencari nafkah
keluarga, pelindung, “pengayom”, dan kepala keluarga (Raharjo, 1995).

Film Kartini merupakan film karya Hanung Bramantyo yang mengangkat kisah inspiratif
perjuangan Kartini melawan dominasi maskulin dan belenggu feodalisme di Jepara. Film yang dirilis
pada tahun 2017 ini dibintangi oleh Dian Satrowardoyo sebagai Kartini, Christine Hakim sebagai
Ngasirah, Deddy Sutomo sebagai Raden Sosroningrat, Acha Septriasa sebagai Roekmini, Ayushita
sebagai Kardinah, Reza Rahadian sebagai Sosrokartono, Djenar Maesa Ayu sebagai Raden Adjeng
Moeriam, dan berbagai bintang pemeran lainnya. Film ini bercerita tentang kisah Kartini yang
dipersiapkan menjadi Raden Ayu kelak ketika dewasa. Hanung Bramantyo menggambarkan Kartini
dalam film ini sebagai sosok yang berbeda dengan saudara- saudara perempuannya yang feminim dan
penurut. Kartini hidup untuk memperjuangkan kesetaraan bagi semua orang, terutama untuk para
perempuan. Kemudian ia mengajak kedua saudarinya, Roekmini dan Kardinah untuk membuat
sekolah bagi kaum miskin dan menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat Jepara.

Film Kartini menjadi salah satu wujud perlawanan masyarakat modern terhadap konstruksi
budaya patriarki di masyarakatmelalui produk komunikasi massa. Film ini juga mengisyaratkan
bahwa perempuan dapat berkiprah di sektor publik dan sejajar dengan laki-laki, baik di ranah
keluarga, pekerjaan, pendidikan, maupun sosial. Selain menyuarakanperlawanan terhadap budaya
patriarki, film karya Hanung Bramantyo ini juga mengangkat potret feodalisme dan pernikahan dini di
Jawa pada awal abad 19. Tujuan penelitian ini ada beberapa hal, yaitumendeskripsikan representasi
budaya patriarki, perlawanan tokoh Kartini terhadap budaya patriarki;serta reaksi tokoh lain terhadap
perlawanan Kartini dalam film Kartini.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan teori kritik
feminis untuk menjabarkan budaya patriarki dan praktik feodalisme dalam film Kartini. Sumber data
penelitian ini yaitu sebagai berikut. (1) Film Kartini sebagai objek material penelitian ini dan (2) buku
teks dan jurnal-jurnal yang relevan dengan penelitian ini.

Prosedur pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik melihat/menonton, mencermati,


mencatat, dan menganalisis data berdasarkan isi film Kartini. Peneliti melihat/menonton, mencermati,
dan menganalisis data dalam film Kartini secara berulang-ulang untuk memahami makna yang
terkandung dalam film. Peneliti bertindak sebagai instrumen kunci dalam penelitian ini. Kedudukan
peneliti sebagai instrumen kunci berpengaruh pada hasil akhir penelitian karena peneliti berperan
sebagai pihak yang menganalisis dan menyimpulkan data yang sudah ditemukan dalam Film Kartini.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Kebudayaan Jepara Jawa Tengah

Menurut Nostrad (1985) budaya adalah sikap dan kepercayaan, cara berpikir,
berperilaku Jepara tempat Kartini dilahirkan, memiliki banyak adat istiadat. Dahulu Jepara
dipimpin Bupati bangsawan yang menikahi bangsawan yang disebut Raden Ayu. Anak-anak
perempuan Bupati, baik dari istri bangsawan maupun bukan, harus menjadi seorang Raden
Ayu.Jika berjalan melewati Bupati harus berjongkok, anak perempuan melewati masa
pingitan sebelum jadi Raden Ayu dan lebih rendah dari laki-laki. Sebagai anak ningrat dan
Bupati Jepara, Kartini merasa terbelenggu adat dan dia mengabari sahabatnya di Belanda
tentang ketidakadilan perempuan Indonesia (Susanto, 2017).

2. Representasi Budaya Patriarki dalam Film Kartini

Budaya patriarki adalah budaya yang tidak mengakomodasi kesetaraan, keseimbangan,


sehingga keberadaan perempuan menjadi tidak penting. Secara umum patriarki dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki (ayah). Dalam sistem ini, laki-laki
yang berkuasa untuk menentukan (Murniati, 2004:81).

Selain itu, budaya patriarki muncul akibat institusi hasil budaya manusia. Melalui pendidikan
keluarga, anak laki-laki dididik untuk agresif, pergi ke luar, bermain di luar rumah. Sementara
anak perempuan didik untuk memasak, kerasan di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah,
melayani ayah dan saudara laki-laki. Pendidikan ini akan berakibat laki-laki dilayani dan
perempuan melayani (Murniati, 2004:96).

Budaya patriarki masih dianggap wajar dalam masyarakat patriarki. Kekuasaan masing-
masing oleh kedua pihak dianggap “wajar” sebab diakui sebagai wewenang masing-masing.
Dalam masyarakat patriarki, suami dan istri dianggap wajar bahwa suamilah yang banyak
mengambil keputusan dalam macam-macam hal yang bersangkutan dalam kehidupan keluarganya
(Sajogyo, 1985:41).

Ketidaksetaraan gender ini sering dikaitkan dengan posisi perempuan yang dianggap tidak
menguntungkan. Patriarki sering ditinjau dari posisi laki-laki dan perempuan dalam keluarga.
Adanya ketidaksetaraan gender akibat dominasi laki-laki dapat menimbulkan budaya patriarki.
Sakina (2017:72) menyatakan bahwa sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat
menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang mempengaruhi berbagai aspek
kegiatan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat,
sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak
pada wilayah- wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan bahkan
psikologi, termasuk di dalamnya intitusi pernikahan.

Film Kartini banyak menyorot kehidupan perempuan Jawa pada akhir abad ke- 19 hingga
abad ke-20. Dalam film tersebut, digambarkan bagaimana posisi perempuan yang tertindas dalam
masyarakat. Sistem adat yang kental dengan ideologi patriarki membuat perempuan Jawa menjadi
kaum tertindas. Ideologi patriarki dalam film Kartini digambarkan melalui budaya poligami,
keterbungkaman perempuan Jawa, serta diskriminasi dan subordinasi yang dialami oleh
perempuan Jawa.

Sebagaimana yang diceritakan dalam film Kartini, budaya Jawa pada abad 19 kental dengan
ideologi patriarki. Dari kelas bangsawan hingga rakyat jelata, kaum lelaki di kelas yang sama
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Perempuan hanya dipandang sebagai
‘kanca wingking’yang berkutat pada sektor domestik: seperti dapur, sumur,dan kasur. Pendidikan
adalah kemewahan yang tidak bisa dinikmati oleh perempuan Jawa masa itu, termasuk Kartini.
Sakina (2017:75) menegaskan bahwa sejarah nasional pun menguak sebuah fakta dimana kaum
perempuan tidak diperbolehkan untuk menempuh pendidikan, kecuali perempuan tersebut berasal
dari kelas priyayi atau bangsawan.

Sesuai dengan adat istiadat yang berlaku dalam budaya Jawa, Kartini harus dipingit ketika
mengalami menstruasi pertama sampai laki-laki bangsawan datang meminangnya. Hatmaja
(2019:4) menyatakan bahwa pingitan atau pengantin adalah tradisi pra-nikah biasanya dilakukan
sebelum hari pernikahan, calon pengantin tidak boleh keluar rumah maupun bertemu calon
suaminya sampai dilangsungkannya ijab kabul. Begitu pula yang dialami Kartini dalam menjalani
masa pingitan, Kartini dilarang keluar rumah dan kadipaten. Melakukan pingitan berarti seorang
perempuan Jawa disiapkan untuk menjadi Raden Ajeng. Sebagai anak keturunan bupati ningrat,
Kartini harus mewariskan darah ningratnya. Tidak hanya Kartini saja yang harus mengalami
pingitan, kedua adiknya yakni Roekmini dan Kardinah pun diberlakukan pingitan.

Kartini adalah perempuan yang gemar membaca dan menulis. Ketika kedua adik
perempuannya, Kardinah dan Roekmini, berada dalam kamar pingitan bersamanya, Kartini diam-
diam menunjukkan buku-buku yang dimilikinya. Di dalam kamar pingitan, Kartini melepaskan
semua peraturan yang mengekang adik-adiknya ketika di luar, termasuk menunduk, jalan
jongkok, dan bicara pelan.

Setiap orang yang mendukung kesetaraan gender akan berupaya menghapuskan keberadaan
budaya patriarki. Hal ini pula yang dilakukan oleh Kartini. Ia mulai mengkritik banyak hal seperti
poligami, posisi perempuan dalam kehidupan rumah tangga, dan hak pendidikan bagi perempuan.
Poligami pada masa itu seperti sudah menjadi hal yang wajar dan tidak disalahkan. Hingga
Kartini menyaksikan hal tersebut menimpa adik perempuannya yang bernama Kardinah. Tidak
hanya itu, praktik poligami juga dilakukan oleh Ayahnya.

Perlawanan Kartini terhadap praktik poligami di kalangan bangsawan Jawa akhirnya


membawanya pada kesadaran bahwa dirinya sendiri sudah hidup dalam bayang-bayang musuh
yang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat,
didukung adat-istiadat masyarakat, juga dibenarkan oleh ajaran agama saat itu.

Kartini juga mempermasalahkan bagaimana posisi perempuan dalam kehidupan berumah


tangga. Pada masa itu, keputusan keluarga sepenuhnya berada di tangan laki-laki selaku kepala
keluarga. Perempuan tidak berhak menyuarakan pendapatnya, keberadaan perempuan saat itu
hanya dibutuhkan sebagai pengurus rumah dan pengasuh anak. Hal inilah yang menurut Kartini
salah, menurutnya kaum laki-laki seharusnya memperlakukan istri mereka dengan lembut, juga
memperlakukannya sebagai rekan hidup yang setara posisinya.

Dalam film, Kartini diposisikan sebagai pihak yang harus menaati aturan yang berlaku
dalam kalangan bangsawan Jawa, dan seolah hal itu telah menjadi nasib yang harus dialami oleh
perempuan dalam budaya Jawa. Pada masa itu, masyarakat Jawa merepresentasikan perempuan
sebagai pengabdi bagi laki-laki. Dalam budaya Jawa, laki-laki memegang kekuasaan atas diri
perempuan dalam praktik kehidupan.

Perempuan Jawa pada masa itu diposisikan sebagai kaum yang terbelenggu oleh kultur
patriarkal. Belenggu tersebut salah satunya bisa dilihat pada karakter tokoh dan adegan yang
diperankan oleh beberapa tokoh, salah satunya kakak tiri laki-laki Kartini yang memohon pada
ayahnya untuk mengontrol perilaku Kartini supaya tidak menyalahi kodratnya sebagai
perempuan. “Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak
akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” (Kartini).

Dengan dalih kodrat, kakak tiri dan ibu tirinya menentang keinginan Kartini untuk
mengajukan beasiswa di Belanda, meskipun ayahnya sendiri sudah memberi ijin. Sebagai anak
dari keluarga ningrat, Kartini melihat adanya kultur diskriminatif terhadap perempuan dalam
sistem keningratan Jawa. Tidak ada dukungan untuk mengejar pendidikan tinggi hanya karena
dirinya seorang perempuan. Perjuangan Kartini adalah perjuangan memerdekakan kaum
perempuan dari penindasan dan kebodohan.

3. Penolakan Tokoh Kartini terhadap Budaya Patriarki

Pemberontakan Kartini terhadap praktik feodalisme dan patriarki telah tumbuh ketika ia masih
kecil. Ia menolak memanggil ibunya (Ngasirah) yang berasal dari kalangan rakyat biasa dengan
sebutan “Yu” (panggilan untuk pelayan perempuan di kadipaten). Ia juga enggan disebut sebagai
“Raden Ajeng” (sebutan untuk perempuan bangsawan). Kartini kecil bahkan melakukan
perlawanan ketika akan dipindahkan ke “rumah depan” dan tinggal bersama ayah dan Raden
Ajeng Moeryam. Ia ingin tetap tinggal bersama Yu Ngasirah di rumah belakang dan menolak
mennjalani prosesi menjadi seorang raden ajeng. Rumah depan adalah penyebutan untuk tempat
tinggal keluarga bangsawan, sedangkan rumah belakang adalah tempat tinggal pelayan kadipaten.
Meskipun Yu Ngasirah adalah ibu kandung Kartini, ia harus tetap tunduk pada budaya Jawa dan
menghamba pada anak-anaknya yang bergelar bangsawan. Status rakyat jelata menjadikannya
sejajar dengan pelayan kadipaten lain.

Menginjak dewasa, perlawanan Kartini terhadap budaya patriarki tergambar melalui


keinginannya lepas dari tradisi pingit. Sejak menstruasi pertama, Kartini memang harus menjalani
masa pingitan dan dilarang keluar rumah hingga laki-laki bangsawan datang memperistrinya.
Wujud penolakan Kartini terhadap budaya patriarki juga tergambar melalui usahanya
mengajarkan bahasa Belanda kepada perempuan- perempuan dari kalangan rakyat jelata (kawula
cilik). Hal ini ia lakukan sebagai upaya mengentaskan kebodohan kaum perempuan Jawa. Usaha
Kartini didasari atas pemikiran bahwa pendidikan merupakan satu-satunya cara untuk menghapus
ketidakadilan gender.

Kartini kecil yang sudah mengenal dan menikmati budaya sekolah formal tidak mau
menerima diskriminasi berdasarkan gender ini. Ia menginginkan hak bersekolah dan melanjutkan
sekolah yang sama dengan kakak-kakaknya yang laki-laki. Meskipun Ayah Kartini berpikiran
progresif, ia tidak bisa mengabaikan adat pingitan ini. Hal ini bisa dimaknai sebagai betapa
kuatnya akar tradisi pingitan ini dalam kehidupan para bangsawan Jawa. Kedudukannya sebagai
pejabat daerah dan pemangku adat juga mempengaruhipertimbangannya dalam mengambil
keputusan yang berseberangan dengan budaya kaum bangsawan Jawa (Asmarani, 2017:9).
Kartini aktif menyuarakan penderitaan kaum perempuan Jawa masa itu melalui tulisan-
tulisannya yang dimuat dalam Jurnal Antropologi dan Bahasa terbitan Lembaga Riset Kerajaan
Belanda. Ia memakai nama pena Het Klaveblaad atau daun semanggi untuk menutupi identitas
aslinya. Kartini bergerilya melawan tradisi leluhur dan stigma masyarakat mengenai hierarkhis
gender melalui artikel-artikelnya. Meskipun menuai kecaman dari kalangan bangsawan Jawa,
Kartini tidak lantas berhenti menulis. Kedua kakak laki-laki Kartini, Raden Slamet dan Raden
Busono, pun ikut menentang pemikiran-pemikirannya. Bahkan mereka memperketat pengawasan
terhadap adik- adiknya agar tidak dapat lolos dari pingitan. Namun, Kartini tidak kehilangan akal.
Ia menulis surat diam-diam kepada Nyonya Ovink Soer agar membantunya lepas dari pingitan.
Dengan bantuan Nyonya Ovink-Soer, tulisan-tulisan Kartini dapat dipamerkan di Den Haag
dalam rangka memperingati pengangkatan Ratu Willhemnia. Kartini, Roekmini, dan Kardinah
juga diberi kesempatan untuk memamerkan produk ukir-ukiran Jepara di Den Haag. Motif ukir-
ukiran yang dipamerkan di Den Haag adalah hasil kreasi Kardinah, adik Kartini. Ia
mengombinasikan tokoh wayang dalam motif ukir- ukiran Jepara. Pesanan ukir-ukiran Jepara
melonjak pesat setelah pameran seni di Den Haag. Pulihnya sektor perekonomian Jepara kala itu
tidak lepas dari kiprah Kartini dan kedua adiknya.

Menyadari pentingnya peran perempuan sebagai motor penggerak perekonomian, tumbuh


keinginan Kartini untuk melanjutkan pendidikannya. Ia percaya pendidikan bagi kaum perempuan
menjadi solusi pengentasan kemiskinan dan ketimpangan gender di Jepara. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Muhardi (2004:480) mengenai pengaruh keberhasilan pendidikan terhadap
perkembangan ekonomi dan sosial masyarakat. Ia menyatakan bahwa pondasi pendidikan yang
kokoh dan tepat akan dapat diwujudkan cita-cita mulia suatu bangsa dalam berbagai sektor dan
aspek kehidupan termasuk kedisiplinan, etos kerja, nilai, dan moral suatu bangsa.

Menyadari pentingnya peran perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik, Kartini
mengajukan beasiswa kepada pemerintah kolonial Belanda agar bisa meneruskan pendidikannya
dan membantu perempuan Jawa memperoleh hak-haknya. Namun, sebelum pemerintah kolonial
Belanda menyetujui pengajuan beasiswanya, Kartini telah lebih dahulu dipinang oleh Bupati
Rembang. Ia terpaksa merelakan keinginannya pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan.
Sebelum mengiyakan pinangan Bupati Rembang, Kartini sempat meminta syarat kepada calon
suaminya, yaitu sebagai berikut. 1) Tidak mencuci kaki calon suaminya, Kanjeng Adipati
Joyodingrat, ketika di pelaminan; 2) tidak dibebani pranata sopan santun yang rumit; 3)
diperlakukan sebagai orang biasa; 4) Adipati Joyodiningrat harus membantunya mendirikan
sekolah bagi perempuan dan orang miskin; dan 5) Yu Ngasirah, ibu kandungnya, harus dipanggil
dengan sebutan Mas Kanjeng serta ditempatkan di rumah depan.
Menurut konsep level realita yang dikemukakan oleh John Fiske dalam The Television of
Codesdari, obyek audio visual dapat diuraikan sebagai kode-kode sosial dalam film. Level realita
merupakan tampilan secara tersurat keadaan dalam film meliputi; penampilan (appearance),
pakaian (dress), riasan (make-up), lingkungan (setting), gaya berbicara (speech), dan ekspresi
yang terdapat dalam film Kartini. Analisis level realita dalam Film Kartini nampak pada
penolakan Kartini mencuci kaki suaminya di pelaminan. Penolakan Kartini merepresentasikan
keinginannya untuk disejajarkan dengan laki-laki. Dalam hal ini, mencuci kaki suami
melambangkan kedudukan perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki dalam keluarga.
Selain itu, Kartini hanya menggunakan riasan sederhana ketika acara pernikahannya, berbeda
dengan kakak dan adiknya yang menggunakan paesan dan aksesoris pengantin Jawa. Visualisasi
Kartini yang menggunakan riasan sederhana ketika menikah melambangkan keinginannya
melepas stereotip perempuan sebagai simbol kecantikan dan keanggunan.

Perjuangan Kartini melawan budaya patriarki dan feodalisme tidak berhenti setelah ia
menyandang status istri Kanjeng Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Justru dengan
dukungan suaminya, Kartini bisa membangun sekolah perempuan di pendopo Kadipaten
Rembang. Ia juga tetap aktif menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang emansipasi dan
pendidikan bagi kaum perempuan melalui artikel dan surat- suratnya. Surat-suratnya kemudian
dibukukan dengan judul Door Duiternis Tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang.

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas, maka kesimpulan penelitian ini adalah sebagai
berikut.

1. Representasi budaya patriarki dalam film Kartini nampak dalam tatanan nilai-nilai budaya
Jawa yang mengharuskan perempuan bangsawan menjalani masa pingitan, perempuan tidak
memilik hak atas pendidikan sebagaimana laki-laki apalagi berkarier di ranah politik dan
perekonomian, perempuan Jawa diwajibkan mengurus sektor domestik (urusan rumah tangga,
melayani suami, dan lain-lain).
2. Penolakan Kartini terhadap budaya patriarki ditunjukkan melalui sikapnya yang
membangkang dan menentang tatanan nilai-nilai Jawa, terutama adat Jawa yang
mengungkung dan merendahkan martabat perempuan. Wujud penolakan Kartini terhadap
praktik patriarki juga tergambar melalui syarat-syarat yang ia ajukan kepada calon suaminya,
Bupati Rembang.
ANALISIS SEMIOTIKA ROLAND BARTHES TERHADAP

REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM KARTINI 2017

Abstak
Film “Kartini” karya Hanung Bramantyo merupakan film yang menggambarkan tentang
Kartini dikenal sebagai seorang tokoh perjuangan emansipasi wanita dan secara khusus
sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Alasan memilih film “Kartini” ialah karena
melalui film ini peneliti ingin ingin mendobrak stereotip di masyarakat mengenai pemikiran
bahwa peran perempuan seharusnya hanya berada diwilayah domestik. Perempuan
diidentikkan dengan pekerjaan rumah tangga dengan segala sifat kefeminimannya, sedangkan
laki-laki berperan diluar rumah sebagai sosok maskulin yang memimpin rumah tangga dan
bertanggung jawab atas segala hal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui upaya
keseteraan gender yang terdapat dalam film Kartini melalui kajian semiotika Roland Barthes.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dengan menggunakan metode
analisis semiotika Roland Barthes. Analisis Roland Barthes digunakan untuk mengetahui
makna denotasi, konotasi, dan mitos pada suatu gambar yang terdapat pada visualisasi
artistik, act, maupun dilaog-dialog dalam film “Kartini”. Hasil dari penelitian ini dapat
dianalisis bahwa makna konotasi dari Film Kartini Dalam Perspektif Kesetaraan Gender ialah
upaya memperjuangkan kesetaraan gender yang dilakukan Kartini sebagai seorang wanita
yang suka menulis dan mengajarkan baca tulis pada orang lain sedangkan makna denotatif
upaya memperjuangkan kesetaraan gender dalam film Kartini adalah Kartini berjuang lewat
jalan literasi karena literasi merupakan salah satu jalan yang baik untuk memperjuangkan
kesetaraan gender, dengan literasi dia mendobrak budaya jawa yang mengganggap
perempuan tidak setara dengan laki-laki dan memiliki kemampuan di bawah laki-laki.
PENDAHULUAN
Selain membentuk konstruksi masyarakat akan suatu hal, film juga merupakan
rekaman realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian
memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2006: 127). Begitu pula halnya dengan masalah
mengenai perempuan yang selalu menarik untuk dibicarakan dan tidak akan pernah ada
habisnya untuk dibahas. Pandangan masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga
terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh media massa, terutama sinema atau
film.
Berbagai penelitian banyak mengangkat bahasan seputar persoalan jender dalam film.
Misalnya pada penelitian mengenai aspek jender dalam film Indonesia yang dilakukan oleh
Abdul Firman Ashaf bekerjasama dengan Dinas Pendidikan menunjukkan bahwa film
Indonesia menggambarkan relasi jender yang timpang. Ketimpangan tersebut diidentifikasi
melalui tiga hal yaitu: domestifikasi perempuan dan politik relasi jender, segregasi perempuan
dalam realitas simbolik film, serta perempuan sebagai objek seks (Wisnubroto, 2010).
Penelitian sejenis lainnya juga terdapat pada penelitian berjudul “ Representasi Perempuan
Jawa dalam Film R.A Kartini” yang ditulis oleh Edwina Ayu Dianingtyas tahun 2010, dari
Universitas Diponegoro Semarang.. Film tersebut menunjukan ketidakadilan gender dalam
budaya Jawa yang identik dengan ideologi patriarki. Dalam film R.A Kartini ditampilkan
diskriminasi dan subordinasi yang dialami oleh perempuan Jawa. Film ini juga menunjukan
perjuangan perempuan Jawa untuk melawan ketidakadilan gender yang sangat menindas
kaumnya. Pada akhirnya perempuan Jawa dalam film R.A Kartini dapat mendobrak mitos
yang selama ini dilabelkan negatif pada diri perempuan Jawa.
R.A Kartini adalah putri dari seorang bangsawan yang bernama R.M.A Sosroningrat,
Kepala distrik Mayong. Kartini lahir di Desa Mayong, Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21
april 1879. Kartini menempuh pendidikan di Sekolah Belanda (Europese Lagere School).
Setelah lulus sekolah Belanda tersebut, orang tua Kartini melarangnya untuk melanjutkan ke
jenjang yang lebih tinggi. Ia di pingit sambil menunggu waktu untuk dinikahi. Pada masa-
masa inilah R.A Kartini mengalami dilema yang luar biasa. Untuk menghilangkan perasaan
sedihnya dan untuk mengisi waktu luang, Kartini mengumpulkan berbagai macam buku
pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya untuk dibaca di taman rumahnya.Melalui buku-
buku itulah, Kartini tertarik terhadap kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Dalam diri
Kartini pun muncul pemikiran untuk memajukan perempuan Indonesia. Menurutnya
perempuan tidak harus berurusan dengan dapur, tetapi juga harus memiliki ilmu pengetahuan.
Dari sinilah kemudian gagasan Kartini mengenai emansipasi wanita muncul.
Hal menarik yang perlu diteliti dalam film Kartini (2017) adalah perjuangan tokoh
R.A Kartini dalam mewujudkan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan.
Perjuangan R.A Kartini yang ingin mendobrak stereotip dimasyarakat mengenai pemikiran
bahwa peran mereka seharusnya hanya berada diwilayah domestik. Perempuan diidentikkan
dengan pekerjaan rumah tangga dengan segala sifat kefeminimannya, sedangkan laki-laki
berperan diluar rumah sebagai sosok maskulin yang memimpin rumah tangga dan
bertanggung jawab atas segala hal.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengacu pada teori
semiotika Roland Barthes untuk mengetahui makna dari Representasi Film Kartini Dalam
Perspektif Budaya Patriarki. Jenis data yang digunakan berasal dari data primer yakni film
Kartini dan data sekunder berasal dari literatur-literatur yang mendukung data. Kemudian
pada teknik pengumpulan data terdiri dari dokumentasi studi kepustakaan, kemudian teknik
analisa datanya dianalisa dengan mengambil ptongan-potongan scene yang terdapat dalam
film Kartini kemudian dianalissi bentuk-bentuk representasi dari kesetaraan gender yang
merupakan bagian dari Perspektif Budaya Patriarki.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Film kartini merupakan film yang dirilis pada tahun 2017. Film ini bercerita tentang
Kartini (yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo) yang tumbuh dengan melihat langsung
ibunya yang bernama Ngasirah (yang diperankan oleh Christine Hakim) menjadi orang
terbuang di rumahnya sendiri. Hal ini terjadi dikarenakan tidak memiliki darah ningrat dan
menjadi seorang pembantu. Sang ayah bernama Raden Sosroningrat (Deddy Sutomo) yang
sangat mencintai Kartini tidak berdaya melawan tradisi yang sudah turun temurun. Sepanjang
perjalanan hidupnya, Kartini berjuang untuk menyetarakan hak bagi semua orang baik ningrat
ataupun bukan. Terutama hak pendidikan untuk perempuan, Bersama kedua saudarinya yang
bernama Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita), Kartini berjuang mendirikan
sekolah untuk kaum miskin dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi semua masyarakat
Jepara.
Teori Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut De Saussure.
Sebagaimana yang dikatakan Saussure, Barthes juga meyakini bahwa hubungan antara
penanda dan petanda tidak berbentuk secara alamiah, melainkan bersifar arbiter. Bila
Saussure hanya menekankan penandaan dalam tatanan denotatif, maka Barthes
menyempurnakan semiologi Saussure dengan mengembangkan sistem penandaan pada
tingkat konotatif. Sebuah tanda adalah gabungan dari satu petanda dan satu penanda. Ranah
petanda adalah membahas ranah ekspresi, sedangkan penanda berkaitan dengan ranah isi.
Hakikatnya penanda mengisyaratkan catatan yang kurang lebih sama dengan catatan untun
petanda, karena penanda merupakan suatu relatum yang definisinya tidak bisa dipisahkan
dengan petanda. Penanda dapat dipancarkan dengan materi tertentu yakni kata dan subtansi
dari penanda selalu dalam bentuk material yakni bunyi, objek, citra Sedangkan petanda hanya
dapat didefinisikan melalui proses penandaan atau dengan cara kausi-tautologis. Petanda
adalah sesuatu yang dimaksud oleh orang dengan menggunakan tanda tertentu. Inti dari ranah
ekspresi misalnya, subtansi yang mengandung bunyi, diucapkan, non-fungsional sedang
subtansi dari isi meliputi misalnya, aspek emosional, ideologis, atau makna positif dari
penanda.
Dalam bab ini akan dibahas mengenai tanda tanda yang mewakili atau
merepresentasikan upaya dalam menegakkan kesetaraan gender. Dalam upaya kesetaraan
gender, film ini menggambarkan tentang upaya yang dilakukan oleh Kartini yang malakukan
gerakan di bidang di pendidikan. Di masyarakat Jawa zaman dahulu sendiri, seperti yang
tergambar di film kartini bahwa terdapat beberapa anggapan tentang masyarakat. Salah satu
upaya Kartini untuk menegakkan kesetaraan gender awalnya dimulai dari dirinya sendiri dan
lalu dia mengajak adik-adiknya untuk ikut serta dalam usahanya. Kartini dan adik-adiknya
sangat suka membaca, karena mereka melihat hal itu adalah suatu hal yang penting bagi
seorang perempuan karena membaca dapat membuka pikiran dan membuat seseorang
mengerti tentang berbagai pelajaran hidup yang penting

Scene pada tabel di atas berlatar di dalam kamar Kartini, sebagai tradisi, jika sudah cukup
umur maka seorang gadis akan berada di dalam suatu kamar khusus untuk dipingit. Dalam
adegan di atas, Kartini berbicara pada adiknya untuk membaca buku.
Konotasi
Konotasi adalah makna subjektif atau emosional dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari
makna umum (denotasi) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna
denotative hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa
dicerna oleh mereka yang jumlahnya relative lebih kecil. Berikut ini adalah makna konotasi
yang terdapat dalam scene-scened pada film Kartini.

Pada scene di atas, Kartini dan adik-adiknya berada dalam satu kamar dan sedang menjalani
masa pingitan. Kamar itu bisa menjadi layaknya penjara bagi seorang wanita karena wanita
tersebut tidak diperbolehkan untuk berinteraksi dengan dunia luar sampai ada seorang yang
melamarnya. Dari hal itu terlihat jelas bahwa Kartini dan adik-adiknya selaku gadis jawa
mengalami diskiriminasi gender di mana mereka tidak punya kuasa atas diri mereka sendiri.
Seperti yang dikatakan Kartini pada adik-adiknya, Kartini memerintahkan adiknya untuk
berkata informal dan berlaku santai terhadapnya serta menyuruh adiknya untuk bebas
mengekspresikan diri. Hal itu merupakan salah satu upaya Kartini untuk melawan ketidak
setaraan gender atas dirinya. Makna konotasi dari scene di atas adalah bahwa salah satu upaya
memperoleh kesetaraan gender adalah dengan membebaskan diri dari belenggu lewat ilmu
yang didapat dari membaca buku. Karena tidak peduli di mana pun raga berada, pikiran
seseorang akan terus bebas karena buku akan membawanya berkelana ke cakrawala tanpa
batas. Karena buku adalah jendela dunia sedangkan wanita pada zaman itu tidak
diperbolehkan untuk keluar rumah, sehingga upaya yang dilakukan Kartini adalah terus
mengasah pikirannya dengan menambah wawasan melalui buku bacaan dan dia
memerintahkan adik-adiknya untuk membaca juga, karena sebagai sesama perempuan jawa,
mereka mengalami bentuk penindasan yang sama.

KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan tentang konsep upaya memperjuangkan
kesetaraan gender dalam film Kartini dengan menggunakan analisis semiotika menurut
Roland Barthes. Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam film “Kartini”
terdapat salah satu scene Kartini berada bersama adiknya di dalam kamar lalu mengajak
adiknya unjuk membaca buku. Makna konotasi pada scene ini ialah Kartini tidak ingin
mengikuti kultur feodal yang mengharuskan seseorang wanita jawa untuk berdiam diri di
rumah. Kartini juga mengajari adiknya untuk dapat mengekspresikan dirinya sendiri dengan
bebas dan menyarankan untuk membaca buku karena Kartini tahu, bahwa membaca adalah
cakrawala dunia yang bisa membebaskan seorang wanita dari belenggu kehidupan yang tidak
adil. Sedangkan makna denotasi yang dimaksudkan dalam scene ini ialah bahwa dapat dilihat
pada scene tersebut bahwa Kartini sedang bersama adiknya pada sebuah kamar dan ia
mengambil sebuah buku lalu kemudian diberikan kepada adiknya untuk dibaca, ini
menunjukan bahwa Kartini merupakan seorang yang gemar membaca. Dalam salah satu
scene juga menjelaskan tentang kemampuan Kartini dalam bernegosiasi kepada pemerintahan
belanda untuk bekerja sama dalam suatu pameran karya seni. Pada saat itu Kartini membuat
produksi ukiran Jepara. Hal ini menunjukan bahwa perempuan juga pintar dalam hal relasi
atau kerja sama, dengan negara.
ANALISIS SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE TERHADAP

REPRESENTASI BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM KARTINI 2017

Abstrak

Film “Kartini” karya Hanung Bramantyo adalah film yang diangkat dari kisah nyata kehidupan
pahlawan emansipasi perempuan Indonesia yaitu Raden Ajeng Kartini. Film ini menggambarkan
bagaimana perempuan Jawa yang sangat terbelakang dalam segala hal, namun ada seseorang yang
tidak dapat menerimanya begitu saja. Ia berjuang tanpa putus asa demi meraih cita-citanya yaitu
menyetarakan hak kaum perempuan dengan kaum laki-laki. Penelitian ini menggunakan pendekatan
deskriptif kualitatif. Peneliti menggunakan analisis semiotika untuk menganalisis objek yang diteliti.
Teknik analisis data dilakukan menggunakan model semiotika dari Roland Barthes. Roland Barthes
memaknai simbol menggunakan penanda dan petanda hingga dapat ditemukan makna denotasi,
konotasi dan mitos. Setelah itu, data juga dianalisis menggunakan teori identifikasi dan teori
komunikasi tentang identitas. Semua analisis tersebut memiliki tujuan yaitu untuk mengidentifikasi
dan mendeskripsikan representasi modernitas perempuan Jawa dalam film “Kartini” karya Hanung
Bramantyo. Setelah tanda dimaknai secara mendalam telah didapatkan hasil dari penelitian ini yaitu,
adanya tradisi Jawa yang berlaku di era tertentu dan dianggap mitos pada era berikutnya. Pada film
“Kartini” karya Hanung bramantyo tokoh Kartini digambarkan lebih modern dibandingkan dengan
penggambaran tokoh Kartini yang sudah digambarkan pada karya sebelumnya.

PENDAHULUAN

Indonesia telah banyak melahirkan karya perfilman yang berkualitas, tak kalah saing
dengan produksi film luar negeri. Industri perfilman Indonesia tak mau tertinggalan
dengan mempersembahan hasil karya anak bangsa. Film merupakan salah satu media massa
yang terus-menerus mengikuti perkembangan, baik secara perkembangan teknologi, ide
kreatifitas, serta sumber daya manusia yang juga mempengaruhi. Film merupakan salah satu
hasil produksi media yang disajikan untuk masyarakat konsumsi, selain itu juga film merupakan
realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian
memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2006: 127).

Film Kartini adalah film tentang perempuan karya Sutradara Hanung Bramantyo yang
mengisahkan perjuangan yang dilakukan Kartini agar perempuan Indonesia memiliki kesetaraan
hak dengan laki-laki. Kisah hidup Kartini yang dirangkai menyerupai kehidupan nyata, dari satu
peristiwa ke peristiwa selanjutnya yang memiliki unsur kesinambungan. Alur cerita yang dibuat
sedemikian rupa menarik sehingga masyarakat dibuat penasaran dengan kelanjutan adegan yang
diperankan oleh artis-artis ternama Indonesia, seperti Dian Sastrowardoyo, Ayushita, Acha
Septriasa dan masih banyak lagi pemain lainnya.
Film yang bertemakan perempuan biasa erat kaitannya dengan citra perempuan yang pada
umumnya sabar, tabah, penyang, keibuan, patuh, suka mengalah, sumber kedamaian,
dan keadilan, pandai mengurus suami, anak-anak dan rumah tangga, serta stereotype yang
juga hadir yaitu bodoh, dungu, emosional, dan tidak bisa diajak bicara (Siregar,
1999:9). Penggambaran sosok perempuan seperti itu juga hadir dalam Film Kartini.

Kartini seorang tokoh pahlawan perempuan Indonesia yang terikat jerat dalam adat
sehingga membelenggu para perempuan pada masa itu menjadi benang merah pada film ini.
Tradisi adat yaitu pingitan yang harus di jalani para perempuan termasuk Kartini, untuk
belajar menjadi perempuan yang seutuhnya sembari menunggu kedatangan calon suami yang
akan melamarnya dari kaum bangsawan juga.Namun demikian penggambaran sosok
Kartini itu tidak pernah lepas dari budaya patriarki. Maka di dalam adegan-adegan ini juga
dipenuhi oleh adegan yang menggambarkan, bagaimana budaya patriarki mengekang
kehidupan perempuan pada waktu itu.

Dalam pandangan masyarakat tradisional, patriarki dipandang sebagai hal yang tidak perlu
dipermasalahkan karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaan adikodrati
yang tidak terbantahkan. Hal tersebut bukan saja terjadi dalam keluarga, tetapi telah melebar
ke dalam kehidupan masyarakat (Bemmelen, Habsjah, Setyawati, 2000:436).

Didalam film Kartini juga terdapat unsur budaya Patriarki. Kartini hanya seorang anak
perempuan yang harus tunduk dengan peraturan Romo serta kakak laki-lakinya. Sejak dulu hingga
sekarang budaya patriarki tetap ada mengelilingi masyarakat Indonesia hingga tergambar di
dalam film Kartini 2017.

Tentu dibalik suksesnya sebuah film yang telah berhasil menarik perhatian masyarakat,
terdapat narasi dan adegan yang perlu di pelajari para pemain agar dapat menjiwai perannya
masing-masing. Narasi yang dibuat harus disusun berdasarkan alur dan cerita yang
saling terhubung dan saling berkaitan sehingga cerita tersebut dapat dipahami dengan baik.

Melalui narasi juga dapat diketahui makna yang terkandung dengan melakukan penelitian
secara mendalam menggunakan analisis naratif. Dengan menganalisis naratif Film
Kartini dapat mengetahui makna yang tersembunyi dalam suatu teks, bagaimana logika dan
nalar dari si pembuat film ketika mengangkat suatu tema yang diusungnya.

Dalam produksi film sendiri, ideologi berperan penting. Ideologi yang muncul kerap
kali mendominasi suatu kelompok melalui hegemoni yang biasa dilakukan untuk
membungkam kaum minoritas dan akhirnya menguatkan kaum mayoritas. Kaum minoritas
disini ialah kaum perempuan, anak-anak, orang miskin. Sedangkan kaum mayoritas
ialah orang yang memiliki kuasa, mempunyai harta, dan juga sosok laki-laki.
METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam analisis film kartini 2017 ini mengacu pada teori analisis semiotika
Ferdinand De Saussure. Selain itu, penelitian ini juga mengacu pada kerangka kerja model Sara Mills.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sara Mills memiliki pengalaman dengan banyak menulis mengenai teori wacana, namun
meletakan titik perhatiannya mengutamakan pada bacaan atau tulisan mengenai feminisme:
bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam novel, gambar, foto, ataupun dalam berita
(Eriyanto, 2017).

Dalam buku Diskursus karya Sara Mills, menjelaskan bahwa pada abad sembilan belas, masalah
perempuan dan membaca hanyalah salah satu bukti adanya kesulitan besar yang ditemukan kaum
perempuan (Mills, 2007, p.120). Penanaman struktur diskursif yang dirancang untuk perempuan
dengan menekankan tugas dan kewajiban mereka sebagai istri dan ibu, yang tidak memberi ruang
bagi mereka untuk menegosiasikan kesenangannya (Mills, 2007).

Perspektif dalam wacana feminis adalah menunjukkan bagaimana teks sangat mungkin berada
dalam menampilkan sosok atau karakter perempuan. Perempuan cenderung ditunjukkan sebagai pihak
yang salah, ketidakadilan, dan buruk di dalam teks (Eriyanto, 2017).

Ada begitu banyak perbedaan di antara perempuan, antara lain perbedaan kelas, ras, usia,
pendidikan, kekayaan. kategori’perempuan’ sangat sulit dipertahankan, karena mungkin ada banyak
perbedaan di antara perempuan dengan pria (Mills, 1998, p.3).

Analisis Wacana Kritis Sara Mills, mengedepankan feminisme, maka fokus analisisnya adalah
perempuan (Brida & Sukaesi, 2017). Sara Mills menuliskan teori wacana, terutama mengenai
feminisme. Ttitik perhatian teori ini menunjukkan bagaimana perempuan ditunjukkan dalam teks dan
ditampilkan sebagai pihak yang salah dibandingkan dengan laki-laki. Analisis Sara Mills lebih
tertujukkan bagaimana posisi-posisi aktor dimunculkan dalam teks, siapa yang menjadi subjek
penceritaan, siapa yang menjadi objek penceritaan, dan melibatkan bagaimana pembaca dan penulis
atau dalam penelitian ini pembuat film dan penonton ditampilkan (Eriyanto, 2009).

Kerangka kerja model Sara Mills mempelajari bagaimana karakter dalam teks dijelaskan oleh
penulis dan melihat posisi masing-masing karakter dalam setiap konteks sosial, seperti apa ide-idenya,
dan seperti apa acara itu (Brida, Sukaesi, 2017). Teori ini menghubungkan representasi perempuan
dengan representasi karakter perempuan tersebut beserta identitas diri dan pengalaman perempuan
secara umum (Mills, 1998).

Ariefa dan Mutiawanthi mendefinisikan representasi sebagai konsep yang mempunyai beberapa
pengertian (Ariefa, Mutiawanthi, 2016). Representasi merujuk kepada proses suatu tanda.
Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-
bentuk yang kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan
melalui sistem berupa tanda-tanda misalnya melalui dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan
sebagainya. Sehingga bisa dimaknai bahwa representasi adalah sesuatu yang penting untuk
memproduksi kebudayaan. Termasuk di dalamnya adalah produksi film sebagai bagian dari
kebudayaan itu sendiri.

Film yang juga merupakan media yang menghibur untuk masyarakat dan mampu menembus
segala tingkat kelas sosial. Kemampuan film dapat menjangkau berbagai segmen kelas sosial,
sehingga membuat film memiliki berpotensi untuk mempengaruhi masyarakat yang menikmatinya.
Nilai sebuah film tidak hanya sebatas sebagai hiburan, film juga berpotensi sebagai media edukasi,
yang dapat memberikan pesan pendidikan secara efektif, bahkan mampu mempengaruhi perilaku
seseorang (Trianton, 2013).

Film telah menjadi bagian dari kehidupan kita. Apa yang kita kerjakan, yang kita omongkan,
yang menjadi sikap kita, gaya busana yang kita kenakan, bahkan gagasan-gagasan yang sering kita
sampaikan acap kali merupakan bentuk turunan atau variasi dari segala hal yang pernah kita lihat
dalam film. Film menjadi demikian dekat dengan kehidupan kita. Inilah yang dimaksud Douglas
Kellner bahwa film merupakan salah satu produk budaya media yang turut menempa identitas kita
(Trianton, 2013).

Film memberikan suatu rekonstruksi mengenai kejadian yang ingin ditunjukan oleh si pembuat
film kepada penonton. Film memiliki kombinasi antara suara dan gambar. Pengalaman mental dan
budaya yang dimiliki penonton juga mempengaruhi pemahaman mereka terhadap sebuah film, secara
sadar maupun tidak (Pratista, 2017).

Sztompka (2017) dalam arti sempit tradisi adalah kumpulan benda materiel dan gagasan yang
diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu. Tradisi lahir melalui dua cara, yaitu, yang pertama
muncul dari bawah secara spontan dan tidak diharapkan serta melibatkan banyak masyarakat. Cara
kedua, yaitu muncul dari atas melalui paksaan. Sesuatu yang dianggap tradisi dipilih dan dijadikan
perhatian atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa.

Melihat konsep tradisi yang demikian ketat tersebut maka menjadi masuk akal ketika perubahan
jaman selalu berkelidan dan tarik ulur dengan kehidupan tradisi. Hal ini pun terjadi di Indonesia,
khususnya di tanah Jawa yang sampai sekarang masih dirasakan sangat kuat mempertahankan budaya
dan kebudayaan Jawa. Menurut Koentjaraningrat, budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan
dan hasil karya manusia dengan cara belajar (Mujianto, Elmubarok, dan Sunahrowi, 2010).

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan
akal. Manusia Jawa adalah manusia yang menganggap kehadiran adanya kebudayaan Jawa.
Kebudayaan Jawa dengan sendirinya tidak sama atau sejenis. Orang Jawa menyadari adanya
keberagaman, bersifat daerah, sepanjang daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Keanekaragaman
budaya Jawa ini sesuai dengan ciri khas, yaitu logat bahasa Jawa dan terlihat dalam unsur yang
membentuknya, seperti ciri khas makanan, upacara, rumah tangga, pakaian, kesenian rakyat, dan seni
suara (Hardiningtyas, 2015).

Hermawati (2007) menyebutkan bahwa budaya Jawa memiliki banyak istilah yang
menempatkan posisi perempuan lebih rendah daripada laki-laki dan itu sudah tertanam dalam dalam
masyarakat, sehingga dimaklumi dan diterima begitu saja. Kita bisa melihat dari film Kartini bahwa
perempuan tidak diperbolehkan untuk berpendidikan tinggi dan harus menjadi istri yang patuh atas
seluruh perintah suami. Dalam kebudayaan Jawa, citra, peran dan status sebagai perempuan, telah
diciptakan oleh budaya. Citra bagi seorang perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya Jawa,
antara lain, lemah lembut, penurut, tidak membantah, tidak boleh “melebihi” laki-laki. Peran yang
diidealkan seperti mengurus rumah tangga, sebagai pendukung karir suami, istri yang penurut.

Citra yang dibuat untuk laki-laki antara lain, “serba tahu”, sebagai panutan harus “lebih” dari
perempuan, rasional, agresif. Peran lakilaki yang ideal adalah sebagai pencari nafkah keluarga,
pelindung, “mengayomi”, sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga, Raharjo, seperti yang
dikutip oleh Hermawati (2007). Kata “gender‟ dapat diartikan sebagai pembeda peran, fungsi, status
dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan sosial budaya yang
tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi. Dengan demikian gender adalah hasil
kesepakatan antar manusia dan bukan kodrat. Gender tidak bersifat kodrati, gender dapat berubah dan
dapat dipertukarkan pada manusia berdasarkan budaya setempat. (Puspitawati, 2012).

Gender mengandung aturan sosial, berkaitan dengan jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan
perempuan. Perbedaan biologis, yaitu alat reproduksi antara laki-laki dan perempuan merupakan
fungsi reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui;
laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis merupakan ciptaan Tuhan, bersifat
kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman (Puspitawati,
2012). Kebudayaan yang didasari oleh budaya patriarki menafsirkan perbedaan biologis menjadi
acuan dalam perilaku yang akhirnya berujung pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan
menikmati manfaat dari sumberdaya dan informasi. Mengakibatkan tuntutan peran, tugas, kedudukan
dan kewajiban yang pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan
oleh laki-laki atau perempuan bervariasi dan ditentukan dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya
(Puspitawati, 2012).

Pada film Kartini terdapat scane yang merupakan subjek adalah Kartini kecil yang merengek
karena ingin tidur dengan ibu kandungnya, sedangkan objek dalam adegan ini adalah Kartini yang
dilarang tidur dengan ibu kandungnya. Ibu kandungnya dianggap pembantu dan Kartini harus
memanggilnya dengan sebutan “Yu”. Pembuat Film menunjukkan kisah Kartini dalam film ini bahwa
Sejak kecil kartini dipisahkan tempat tinggal dari ibu kandungnya. Ibu kandungnya yang bukan
keturunan Ningrat tinggal di pendopo kerajaan dan statusnya dianggap sebagai pembantu rumah
tangga. Dalam scene ini Kartini marah karena ingin tidur bersama ibunya dan tidak mau menyebut
“Yu” (pembantu) untuk ibunya. Dalam adegan ini perempuan dianggap sebagai objek yang tertindas,
harus menurut dengan perintah suami dan tradisi. Bahkan bisa sangat direndahkan apabila status
sosialnya tidak tinggi (dalam film Kartini disebut Ningrat).

Dalam scane berikutnya ada adegan yang merupakan Kartini sedang dikurung, menjalani masa
pingitan, sedangkan objeknya adalah Kartini murung dan sedih, tidak menerima bahwa dirinya
dipaksa menjalani masa pingitan. Pembuat Film menampilkan Perempuan dengan keturunan Ningrat
Jawa ketika memasuki masa pubertas harus menjalani masa pingitan. Masa pingitan membuat Kartini
sangat terbatas, ia dilarang keluar dari kompleks rumahnya, belajar jalan jongkok yang benar, dan
melakukan perawatan tubuh. Dalam adegan ini perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah
lembut dan harus anggun. Perawatan tubuh dan jalan jongkok adalah hal utama yang harus dilakukan
untuk menghormati suami.Perempuan tidak boleh meneruskan pendidikannya, agar tidak lebih unggul
dari pada suaminya. Subjek dalam gambar 3, adegan ini adalah kartini hendak mengantarkan
tulisannya kepada Ny. Ter Horst, sedangkan objek pada adegan ini adalah Kartini dilarang
mengantarkan surat kepada Ny. Ter Horst dan dicegat oleh Pak Atmo (penjaga gerbang pendopo).
Pembuat film menampilkan Kartini hendak mengantarkan surat dan karya tulisan kepada Ny. Ter
Horst.

Pada adegan Kartini mengunjungi perkampungan dibelakang pendopo, Kartini mengetahui bahwa
perempuan disana banyak yang menikah diusia muda, bahkan dibawah umur, yaitu 12 tahun.
Ternyata hal tersebut bukanlah hal yang diinginkan oleh mereka, melainkan karena paksaan. Mereka
dijadikan istri kedua bahkan ketiga atau keempat karena ada pria dengan status ekonomi lebih tinggi
dari mereka ingin menikahi dan mereka terpaksa menerima karena terdesak oleh keadaan ekonomi
mereka yang sulit dikala itu.

Dalam analisis wacana kritis Sara Mills dikatakan bahwa perempuan yang bersedia dipekerjakan
dalam pelbagai tugas sebagai seorang istri dan anak (perempuan), seorang ibu dan seorang teman,
menjadi jauh lebih bermanfaat disbanding perempuan lainnya (Mills, 2017). Sudah kewajiban sorang
perempuan menjadi sosok yang mengerjakan tugas rumah tangga dan sebagai pengasuh anak, tidak
mengerjakan hal lainnya diluar itu. Seorang perempuan Jawa dapat menerima segala situasi bahkan di
situasi yang paling buruk sekalipun Mereka pintar memendam penderitaan dan memaknainya, mereka
kuat dan mampu bertahan (Fauziyah, Y., 2008).
Dalam film Kartini, sosok perempuan Jawa ditunjukkan sebagai makhluk yang pasrah dan tidak
melakukan kegiatan lain selain mengurus rumah tangga. Menurut Arief Budiman yang dikutip oleh
Budiati (2010) tujuan perempuan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarg dan hampir
seluruh kehidupannya diserahkan untuk keluarga. Film Kartini memberikan suatu gambaran
perempuan jawa di kala itu kebebasan hidupnya terbatas karena harus menikah, tidak bisa
melanjutkan pendidikannya, sehingga tujuan mereka hanya menikah dan membentuk keluarga.

Sosok Kardinah yang dipaksa menikah karena sang ayah sudah terlanjur janji dengan Bupati
Tegal Pangeran Ario Reksonegoro adalah sosok perempuan yang akhirnya pasrah dan mengalah.
Konsep pengakuan bagi teoretis feminis yang menganalisis perilaku dan tulisan keagamaan tentang
perempuan, serta hubungan antara pengakuan dan kepatuhan pada yang lebih berkuasa, perempuan
adalah sosok yang selalu mengalah dan mengkonstruksi dirinya sebagai subjek yang selalu mengalah
(Mills, 2007).

Sosroningrat sebagai bupati dan pemangku adat harus menepati janjinya, terlebih lagi janji
kepada relasinya, yaitu Bupati Tegal Pangeran Ario Reksonegoro sehingga tidak ada pilihan lain bagi
Kardinah selain pasrah dan mengalah. Kartini pun sebagai sosok kakak dan pejuang kebebasan
perempuan dikala itu tidak bisa berbuat apa-apa karena sosok perempuan masih dianggap rendah dan
harus mematuhi tradisi yang ada. Ajaran-ajaran dalam budaya Jawa adalah nilai-nilai budaya yang
kurang mendukung posisi kesetaraan perempuan dalam kehidupan (Budiati, 2010).

Perempuan Jawa diajarkan untuk menikah, melayani suami, mengurus anak dan rumah tangga
beserta dengan ajaran sopan santun lainnya. Perempuan Jawa tidak dapat mengaktualisasikan dirinya,
seperti yang dikutip oleh Budiati (2010) dalam Budiman (1985), “Tujuan perempuan seakan-akan
hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga sesudahnya hamper seluruh kehidupannya
dilewatkan dalam keluarga. Dalam keadaan ini perempuan jadi tergantung pada laki-laki secara
ekonomis karena pekerjaan yang dilakukan di rumah tidak menghasilkan gaji, dengan ditambah lagi,
perempuan seakan-akan dipenjarakan di suatu dunia yang tidak merangsang kepribadiannya.” Pada
tahun 1870-an, kaum perempuan di Jawa tidak dapat bergerak leluasa di tengah masyarakat, posisinya
tidak setara dengan lakilaki, harus dipingit di dalam rumah sehingga tidak dapat bersekolah di luar
lagi dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat sebagai perempuan (Wicaksana, 2018).

Sebagai seorang perempuan yang akan menjadi Raden Ayu, Roekmini sangat takut terhadap
kehidupan setelah menikah, seperti poligami dan tidak ada lagi kebebasan untuk berpendidikan.
Segala usaha ia lakukan bersama sang kakak, Kartini untuk terus berkarya dan menuntut ilmu
walaupun sedang dalam masa pingitan. Roekmini memohon kepada ibunya Raden Ajeng Moeryam
untuk tetap bisa bersekolah, tetapi hal tersebut sangat ditolak dan tidak akan pernah terkabulkan.
Perempuan kerap kali ditampilkan sebagai pihak yang salah dibandingkan dengan pihak laki-laki
(Eriyanto, 2017).
Film Kartini memberikan gambaran Kartini dan adik-adik perempuannya merasa serba salah dan
terdesak dengan keadaan tradisi. Mereka tetap harus mengikutin pingitan, tetapi mereka juga tahu
bahwa menikah akan ada dampak buruknya bagi mereka, seperti poligami dan hilangnya kesempatan
menuntut ilmu, tetapi mereka juga salah jika keluar dari rumah untuk melakukan kegiatan pendidikan
karena itu melanggar tradisi dan melecehkan harkat dan martabat sebagai perempuan di kala itu.

KESIMPULAN

Film Kartini karya Hanung Bramantyo menunjukkan Representasi Kesetaraan Gender Atas
Sosok Perempuan Dalam Kukungan Tradisi Jawa. Terlihat dari beberapa potongan adegan yang
menampilkan sosok perempuan berada di bawah kuasa laki-laki.Keadaan perempuan pada tahun
1880-an dengan tradisi ningrat Jawa dibangun atas peraturan tradisi dan laki-laki sebagai sosok yang
lebih berkuasa menunjukkan kesetaraan gender menjadi isu besar di masa itu.

Ideologi partriarki dalam Film Kartini ditunjukkan dalam adegan pingitan, perempuan dilarang
keluar pendopo, dan seorang istri atau ibu yang bukan keturunan ningrat harus tidur di belakang
rumah. Ajaran-ajaran dalam sistem budaya Jawa adalah nilai-nilai budaya yang kurang mendukung
suatu posisi perempuan untuk menjadi setara dalam berbagai sektor kehidupan (Budiati, 2010).

Perempuan Jawa diajarkan untuk menikah, melayani suami, mengurus anak dan rumah tangga
beserta dengan ajaran sopan santun lainnya. Perempuan Jawa tidak dapat mengaktualisasikan dirinya,
seperti yang dikutip oleh Budiati (2010) dalam Budiman (1985), “Tujuan perempuan seakan-akan
hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga sesudahnya hamper seluruh kehidupannya
dilewatkan dalam keluarga. Dalam keadaan ini perempuan jadi tergantung pada laki-laki secara
ekonomis karena pekerjaan yang dilakukan di rumah tidak menghasilkan gaji, dengan ditambah lagi,
perempuan seakan-akan dipenjarakan di suatu dunia yang tidak merangsang kepribadiannya.” .

Pada tahun 1870-an, kaum perempuan di Jawa tidak dapat bergerak leluasa di tengah
masyarakat, posisinya tidak setara dengan laki-laki, harus dipingit di dalam rumah sehingga tidak
dapat bersekolah di luar lagi dengan tujuan untuk menjaga harkat dan martabat sebagai perempuan
(Wicaksana, 2018). Sebagai seorang perempuan yang akan menjadi Raden Ayu, Roekmini sangat
takut terhadap kehidupan setelah menikah, seperti poligami dan tidak ada lagi kebebasan untuk
berpendidikan. Segala usaha ia lakukan bersama sang kakak, Kartini untuk terus berkarya dan
menuntut ilmu walaupun sedang dalam masa pingitan. Roekmini memohon kepada ibunya Raden
Ajeng Moeryam untuk tetap bisa bersekolah, tetapi hal tersebut sangat ditolak dan tidak akan pernah
terkabulkan.

Perempuan cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah dibandingkan dengan
pihak laki-laki (Eriyanto, 2017). Film Kartini memberikan gambaran Kartini dan adik-adik
perempuannya merasa serba salah dan terdesak dengan keadaan tradisi. Mereka tetap harus
mengikutin pingitan, tetapi mereka juga tahu bahwa menikah akan ada dampak buruknya bagi
mereka, seperti poligami dan hilangnya kesempatan menuntut ilmu, tetapi mereka juga salah jika
keluar dari rumah untuk melakukan kegiatan pendidikan karena itu melanggar tradisi dan melecehkan
harkat dan martabat sebagai perempuan di kala itu. Posisi Subjek-Objek menampilkan adeganadegan
film berupa peristiwa yang terjadi di masa Kartini menjadi sosok perempuan yang berada di bawah
kuasa laki-laki.Penonton melihat adanya kesenjangan sosial antara perempuan dengan laki-laki pada
film Kartini ini.

Ketidakadilan gender dalam film Kartini menyebabkan adanya kesenjangan peran yang dapat
dilihat bahwa perempuan selalu tertindas oleh kaum laki-laki. Konsep adat Jawa yang membelenggu
perempuan Jawa di kala itu sedikit demi sedikit diruntuhkan oleh Kartini karena sikapnya yang berani
membuat perubahan dan membukakan pikiran orang-orang di sekitarnya, baik laki-laki maupun
perempuan tentang ketidakadilan gender.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi menfaat bagi akademisi yang membutuhkan terkait
dengan perempuan dan kesetaraan gender. Penelitian berikutnya diharapkan dapat membahas lebih
luas lagi mengenai sejarah kehidupan emansipasi perempuan, seperti pendidikan untuk perempuan
dan orang miskin yang dibangun oleh Kartini. Pembaca mampu menyikapi secara bijak atas segala
bentuk ketidakadilan gender antara perempuan dengan laki-laki agar tidak terjadi lagi ketidakadilan
tersebut.
BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM KARTINI

MENURUT ANALISIS TEORI KRITIS DAN TEORI INTERPRETIF

Abstrak

Feminisme cukup berpengaruh pada budaya populer. Ini bisa diketahui dari banyak produk budaya
populer (seperti film, misalnya) yang mengangkat tema feminisme. Penelitian ini ingin mengetahui
bagaimana konstruksi feminisme dalam film Indonesia oleh sutradara Sjuman Djaya (1982) dan
Hanung Brahmantyo (2017).Objek penelitian ini adalah: R.A Kartini (1982) dan Kartini (2017).
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode analisis wacana
kritis, dengan mengadopsi model Sara Mills. Dengan melakukan analisis dua tingkat, yaitu tingkat
mikro dan tingkat makro, diperoleh hasil bahwa ada konstruksi feminisme dalam film yang menjadi
objek penelitian, sebagai berikut: Dalam analisis tingkat mikro, ada beberapa aspek dari pusat yang
menjadi perhatian, yaitu: tema, latar, karakter, dialog, kostum, fotografi, dan musik. Dari semua aspek
tersebut dapat diketahui bagaimana film-film mengkonstruksi feminisme. Dalam analisis level makro,
ada beberapa aspek yang digunakan, yaitu penggunaan berbagai sapaan dan hubungan antara konteks
sosial dengan film. Sementara itu, konstruksi feminisme yang banyak tersedia dalam film-film ini
adalah feminisme liberal, di antaranya meningkatkan karier hak-hak perempuan, hak-hak perempuan
dalam hal seksual, dan hak perempuan untuk menentukan masa depannya.

PENDAHULUAN

Film sebagai salah satu media komunikasi massa, sekaligus produk budaya populer, dipercaya
mempunyai andil besar dalam mengkonstruksi berbagai realitas. Salah satu yang populer adalah
realitas media. Realitas media tersebut seringkali berupa simbol-simbol atau tanda-tanda tertentu yang
terdapat dalam isi dari produk suatu media massa. Sehingga, bisa disimpulkan bahwa realitas media
adalah simbol simbol yang terdapat dalam isi dari suatu produk media (Bungin, 2007).

Adapun realitas media yang paparkan di atas diuraikan dalam tulisan berjudul “Analisis Wacana
Ideologi Gender dalam Film Kartini 2017”. Perbedaan gender adalah perbedaan peran dari masing-
masing gender di tengah masyarakat. Perbedaan gender menghasilkan pembagian peran gender yang
dikenal sebagai pembagian kerja berdasarkan seksual. Lebih tepatnya adanya pembagian tugas antara
perempuan dan laki-laki. Perbedaan tersebut misalnya perempuan yang diasumsikan berada pada
sector domestic sebagai ibu rumah tangga dan berada di dapur.

Sementara kaum laki-laki bekerja di sector masyarakat luas atau sector publik. Kedua sector
tersebut memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Misalnya sector domestic diasumsikan sebagai
sector yang komsumtif dan statis sementara sector public adalah sector dinamis dan memegang
kekuasaan dalam berbagai bidang.
Adapun fokus dari penelitian ini adalah wacana feminisme, bagaimana perempuan ditampilkan
dalam teks. Perempuan cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang lemah, marjinal
dibanding dengan pihak laki-laki. Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk mengenai perempuan
inilah yang menjadi sasaran utama penelitian ini. Hal serupa juga terjadi dalam media berita. Banyak
berita yang menampilkan perempuan sebagai objek pemberitaan. Berita mengenai hambatan karir
pada perempuan merupakan salah satu dimensi dari berita yang menampilkan perempuan sebagai
objek pemberitaan.

METODE PENELITIAN

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian Film Kartini karya sutradara Hanung Brahmanto
ini yaitu metode dengan Analisis wacana kritis dari model analisis Sarah Mills sebagai panduan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

a. Konstruksi Feminisme dalam Film Kartini (2017) Level Mikro


1. Tema
Pada film Kartini karya Hanung Brahmanto, juga membahas tentang kesenjangan gender
dan perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki, perbedaan kesetaraan Pendidikan,
serta perempuan harus melaksanakan tradisi pinyitan. Selanjutnya Kartini berusaha untuk
melawan berbagai macam penindasan terhadap kaum perempuan tersebut.
2. Setting
Film Kartini (2017) menggambarkan situasi pada masa Jawa Kuno yang pada saat itu
dikuasai colonial Belanda yakni pada tahun 1930-an. Adapun settingnya sendiri dapat
diketahui dari bentuk rumah yang terlihat masih kuno, perabotan serta prop klasik untuk
syuting. Adapun pada film ini sudah menggunakan kereta kuda sebagai alat transportasi.
3. Karakter
Tokoh Kartini dalam film ini tentu saja merupakan tokoh protagonist yang dibalut dengan
watak Jawa yang kental, cantic, berani dan pintar. Hal itu membuatnya menjadi dambaan
kaum penguasa seperti bupati. Berkat kepintarannya Kartini dekat dengan istri Ovink-
soer, oran yang membuka jalan Kartini untuk menyebarkan artikel-artikelnya. Artikel
itulah yang kelak menjadi titik balik perjuangan bagi Pendidikan kaum perempuan.
4. Dialog
Dialog dalam film tersebut menggunakan Bahasa Indonesia, Jawa Kuno dan Bahasa
Belanda. Selain itu, dalam film ini juga beberapa kali dibubuhi dengan Bahasa Inggris.
Penggunaan bahasa inggris memperkuat kesan bahwa memang mereka adalah kalangan
high class dan modern, dan bahasa Jawa Kuno menimbulkan kesan rukun, sederhana dan
guyub.
5. Kostum
Tokoh Kartini kerap terlihat memakai pakaian khas perempuan Jawa, yaitu dengan
kebaya. Selain itu, adik–adik Kartini juga menggunakan kebaya pada perayaan
pernikahan Soelastri dengan seorang Bupati.
6. Fotografi
Film Kartini (2017) terlihat lebih lugas, karena teknik pengambilan gambar yang lebih
modern, dan kualias gambar yang dihasilkan lebih dinamis. Dengan teknik semacam ini,
penonton seakan akan diajak untuk menjadi seperti sang tokoh yang sedang melakukan
monolog.
7. Music
Musik tradisional Jawa mendominasi film ini. Namun, ada juga musik yang berasal dari
gambang kromong, atau gamelan. Selain itu terdapat juga musik yang berasal dari
gambang kromong, atau gamelan. Dengan menampilkan adegan yang dilatarbelakangi
musik gamelan Jawa, maka semakin menunjukkan asal daerah Kartini yang merupakan
perempuan Jepara. Sementara itu, musik gamelan dan lagu dengan lirik bahasa jawa
semakin memperkuat karakter dan asal daerah Kartini.
b. Konstruksi Feminisme dalam film Kartini (2017) Level Makro
Analisis ini pada dasarnya berhubungan dengan segala hal yang berada di luar teks
yang dianalisis. Hal-hal tersebut sesungguhnya akan menunjukkan kekuatan-kekuatan sosial
yang dominan di kalangan masyarakat dalam rangka mendukung wacana yang ditampilkan
dalam teks. Dilihat dari analisis level makro, hal ini juga bisa menunjukkan konteks dari
diproduksinya teks wacana tersebut. Dengan adanya monolog yang dilakukan oleh para
tokoh– tokoh utama perempuan dalam film – film tersebut, menunjukkan bahwa audiens
menjadi bagian dari cerita yang ditampilkan di dalam film, sehingga efek sosialnya jelas,
audiens merasakan hubungan sosial yang erat dengan para tokoh dalam film, karena monolog
tersebut ditampilkan dengan bahasa akrab, seperti layaknya curahan hati dari seorang teman
dekat pada sahabatnya.
Dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis Sarah Mills, peneliti melihat beberapa
wacana Feminisme Kartini dan gambaran perempuan yang terkandung dalam film. Hanung
Bramantyo mewacanakan Feminisme Kartini dalam berbagai sisi yang akan dijabarkan di
bawah ini:
1. Analisis level teks
a. Gugatan kartini terhadap tradisi pingitan
b. Kesetaraan Pendidikan antara Laki-Laki dan Perempuan
c. Penolakan terhadap Poligami
2. Analisis level wacana
a. Karakter
Dalam film, memunculkan karakter Kartini yang memiliki jiwa bebas, pemberani,
tidak membatasi dirinya hanya sebagai perempuan yang tunduk akan adat istiadat
yang langgeng dalam masyarakat, dan kritis terhadap isu sosial yang ada di
sekitarnya.
b. Fragmentasi
Dalam film ini beberapa tokoh perempuan seperti Mas Ayu Ngasirah, rakyat jelata,
dan para selir Bupati Sosroningrat dihadirkan sebagai sosok perempuan Jawa yang
pasif. Mereka hanya berkutat pada ranah privat seperti rumah tangga dan mengurus
anak dan suami. Sedangkan sosok R. A. Kartini digambarkan sebagai perempuan
cerdas, mandiri, kuat, dan pantang menyerah. Kartini memiliki pengaruh besar pada
masyarakat, terutama bagi kaum perempuan dalam bidang pendidikan.
c. Fokalisasi
Film Kartini ini lebih banyak menggunakan suara dan sudut pandang perempuan.
Dialog-dialog serta penggambaran perempuan melalui teknik pengambilan gambar
membuat film ini seakan-akan lebih ditujukan kepada penonton perempuan. Strategi
pemunculan kekuasaan Kartini sebagai pemikir dan pejuang memperlihatkan
dominasi karakter serba ingin tahu, pemikir, dan pembawa perubahan. Hal yang di
munculkan adalah pemikiran Kartini tentang isu-isu kesetaraan gender terkait dengan
budaya patriarki dan adat feodal yang membelenggu kaum perempuan di era Kartini.

KESIMPULAN

Karakter Tokoh Kartini dalam film ini tentu saja merupakan tokoh protagonist yang dibalut dengan
watak Jawa yang kental, cantic, berani dan pintar.

Fotografi Film Kartini (2017) terlihat lebih lugas, karena teknik pengambilan gambar yang lebih
modern, dan kualias gambar yang dihasilkan lebih dinamis.

Konstruksi Feminisme dalam film Kartini (2017) Level Makro Analisis ini pada dasarnya
berhubungan dengan segala hal yang berada di luar teks yang dianalisis.

Dengan adanya monolog yang dilakukan oleh para tokoh– tokoh utama perempuan dalam film – film
tersebut, menunjukkan bahwa audiens menjadi bagian dari cerita yang ditampilkan di dalam film,
sehingga efek sosialnya jelas, audiens merasakan hubungan sosial yang erat dengan para tokoh dalam
film, karena monolog tersebut ditampilkan dengan bahasa akrab, seperti layaknya curahan hati dari
seorang teman dekat pada sahabatnya.

Dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis Sarah Mills, peneliti melihat beberapa wacana
Feminisme Kartini dan gambaran perempuan yang terkandung dalam film.

Anda mungkin juga menyukai