Anda di halaman 1dari 9

Representasi dan Stereotip Perempuan Indonesia dalam Film KKN di Desa

Penari

Indra Pratama

14040119120030

Gender Communication

Pendahuluan

Film merupakan sarana hiburan untuk dipertontonkan bagi masyarakat. Pada film
bergenre horror lebih sering mengekploitasi perempuan dengan adegan-adegan yang
ditampilkannya (Ulvah A., 2015). Film di era modern seperti sekarang tidak hanya dijadikan
hiburan, tetapi juga media menyampaikan ide dari pembuatnya. Film berkembang secara
signifikan dengan mengangkat berbagai isu yang ada di sekitar. Salah satu isu yang marak
diperbincangkan oleh para kritikus film adalah permasalahan perempuan. Permasalahan
perempuan telah menjadi fokus utama dari gerakan feminisme selama 30 tahun ke belakang
(Byerly & Ross, 2006:17).

Film adalah salah satu media yang seringkali memposisikan wanita sebagai objek
kepuasan visual maupun mental. Dalam film, ada dua karakteristik perempuan yang biasanya
ditampilkan oleh seorang sutradara seperti yang dikatakan Durham & Kellner (2006:347):

“Traditionally, the women displayed have functioned on two levels: as erotic object for
characters within the screen story, and as erotic object for the spectators within the auditorium,
with a shifting tension between the looks on either side on the screen.”

Setiap film memiliki genre–genre tertentu. Salah satunya adalah genre horror yang
memberikan rasa takut, cemas, dan tegang. Sama halnya dengan media pada umunya, dalam
film juga melibatkan tokoh-tokoh penting dari perempuan untuk menarik minat penonton.
Tidak jarang, apalagi film horror di Indonesia ditampilkan pemeran wanita yang mendukung
visual atau perwajahan dari film tersebut. Film horror tersebut, seperti film suster keramas,
Tiran, Rintihan Kuntilanak Perawan, atau yang sangat baru ada KKN di Desa Penari.

Film yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah film horor populer di tahun 2022
yang berjudul KKN di Desa Penari yang disutradarai oleh Awi Suryadi, pria asal Sumatera.
Film ini menceritakan tentang sekelompok mahasiswa yang memiliki karakter yang berbeda-
beda berkumpul dan dikirim ke sebuah desa oleh institut tempat mereka belajar untuk
menjalankan program pengabdian atau KKN di sebuah desa terpencil di bagian timur pulau
jawa. Yang mana ternyata desa tersebut ternyata memiliki sisi gelapnya tersendiri.

Objek berupa film ini akan ditelaah dari sisis feminisme menggunakan teori Male Gaze.
Teori Male Gaze yang dikenalkan oleh Laura Mulvey dimana teorinya ini menyatakan
sebenarnya tayangan film, iklan memberikan suatu kelegaan, kepuasan ketika memperhatikan
dimana laki-laki menjadi kelompok yang aktif sementara perempuan menjadi kelompok yang
pasif menurut (Mulvey, 1989:19). Dimana sosok perempuan yang pasif sebagai sasaran seksual
dari tatapan laki-laki dimana ketertarikan seksual yang dilihatnya serta laki-laki yang
memandangi hal tersebut memiliki kenikmatan tersendiri.

Mulvey (1975:808) menjelaskan bahwa perempuan sering ditempatkan sebagai objek


hasrat pandangan bagi laki-laki:

“In a world ordered by sexual imbalance, pleasure in looking has been split between
active male and passive female. The determining male gaze its fantasion to the which is styled
accordingly”.

Sejalan dengan Tuchman, Mulvey (1975:809) mengatakan bahwa perempuan


ditampilkan sebagai objek seksual:

“Women displayed as sexual object is the leit-motif of erotic spectacle from pin-ups to
strip tease iegfeld to Busby Barkeley she holds the look, plays to and signifies male desire”.

Ide-ide tentang tubuh lahir melalui norma-norma turunan dari kepercayaan masyarakat
mengenai apa itu hal baik dan buruk. Membicarakan tubuh, tidak lepas dari membicarakan
wacana seksualitas, perempuan dan seksualitas sering diartikan sebagai dua kombinasi yang
membawa petaka dalam masyarakat dengan sistem pemerintahan yang patriarkis. Namun
masyarakat Indonesia membentuk dua karakteristik perempuan yaitu perempuan baik dan
perempuan tidak baik. Pertama, perempuan baik adalah perempuan yang menjalankan peran
fundamentalnya sebagai seorang ibu yang bertanggunya jawab untuk mendidik anak-anaknya
baik dari segi pengetahuan hingga moralitas. Karakteristik yang kedua adalah perempuan yang
tidak baik didefinisikan sebagai seorang perempuan yang pembangkang perusak norma,
perusak norna, pelacur, tidak bertanggung jawab terhadap perannya dalam membangun moral
generasi baru.

Seperti pada film KKN di Desa Penari, terdapat tiga tokoh wanita utama yang
digambarkan oleh sutradaranya, Awi Suryadi, yang merupakan seorang lelaki berkebangsaan
Indonesia. Ia menampilkan dua karakteristik perempuan dalam tiga tokoh utama wanitanya
lengkap dengan stereotip penampilan yang sesuai dengan perspektif penikmat sekaligus
pembuat dari film ini.

Terdapat beberapa penelitian sebelumnya tentang analisis male gaze yang terdapst
dalam film. Tidak banyak penelitian sebelumnya yang meneliti male gaze dari film horor.
Kebanyakan dari penelitian tersebut diambil dari sudut pandang unsur teknik sinematik yang
digunakan media dalam melihat bagaimana media memosisikan perempuan. Teknik sinematik
yang dimaksud antara lain lighting, editing, dan framing. Selain itu, juga perlu memahami kode
sinematik khusus, yaitu sistem memandang. Dalam hal ini adalah bagaimana perempuan
ditampilkan oleh media tersebut dipandang dan diposisikan. Dalam sejumlah sinema atau film,
Lauretis menjelaskan bahwa teknik sinematik mengonstruksi perempuan sebagai objek hasrat
pandangan bagi penonton dengan menggarisbawahi representasi tubuh perempuan sebagai sisi
utama seksualitas dan kesenangan visual.

Berbeda dengan penelitian ini yang menggunakan film horor Indonesia yang berjudul
KKN di Desa Penari garapan MD Pictures yang disutradarai oleh laki-laki asal Sumatera yang
bernama Awi Suryadi.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap bahwa terdapat unsur-unsur male gaze
dalam film ini yang bersumber dari perspektif sang serta tujuan dari male gaze tersebut. Yang
mana unsur-unsur tersebut memberikan sudut pandang khusus terhadap pandangan audiens
pria maupun wanita kepada tiga tokoh utama dalam film tersebut. Selain itu, penelitian ini juga
bertujuan untuk memberi edukasi mengenai isu perempuan dan feminisme agar para pembaca
lebih sadar akan kesetaraan perempuan dalam potret di media.

Analisis Teoritis

Film KKN di Desa Penari merupakan film horor yang pertama kali dirilis pada bulan
April 2022. Film ini menceritakan tentang lima mahasiswa sebuah perguruan tinggi yang
melakukan pengabdian ke sebuah desa yang ternyata memiliki sisi gelap tersendiri. Film ini
disutradarai oleh seorang laki-laki asal Sumatera yang bernama Awi Suryadi.

Fokus pembahasan dalam tulisan ini bukan pada cerita dalam film, namun lebih pada
penggambaran tokoh yang digunakan. Khususnya tiga tokoh utama perempuan yang menjadi
fokus dan bagian penting dari alur cerita dalam film tersebut. Tiga tokoh ini digambarkan
sesuai dengan perspektif sutradaranya yang merupakan seorang laki-laki sesuai dengan hasrat
memandang laki-laki (male gaze) beroperasi dalam film KKN di Desa Penari. Berikut bentuk-
bentuk male gaze yang terdapat dalam film KKN di Desa Penari terbagi menjadi karakter buruk
dan baik.

1. Ayu

Ayu merupakan salah satu pemeran utama penting yang ada dalam cerita film KKN di
Desa Penari. Di dalam cerita ini Ayu ditampilkan sebagai seorang gadis yang pemberani. Ia
biasa menggunakan pakaian terbuka dalam kesehariannya dan cenderung kasar. Dalam salah
satu adegan ditampilkan juga dimana Ayu merupakan sosok yang tidak amanah dengan
temannya.

Foto Ayu memakai pakaian terbuka

Laura Mulvey menyatakan bahwa wanita dalam film adalah objek pandangan pria.
Mulvey menjelaskan bahwa para penonton yang mencari kesenangan melihat objek itu dibagi
menjadi dua, penonton aktif (laki-laki) dan penonton pasif (perempuan). Laki-laki sebagai
penonton aktif lebih kuat untuk membuat keinginan mereka dari penonton melihat objek
(perempuan). Para penonton laki-laki mulai menatap dengan melihat objek (betina) dan tatapan
mereka menafsirkan kesenangan mereka untuk melihat perempuan sebagai objek seksual.
Kesenangan mereka melihat objek sebagai objek seksual disebut Scopophilia. Scopofilia
muncul dari kesenangan dalam menggunakan orang lain sebagai objek stimulasi seksual
melalui penglihatan.

Sebelumnya dalam film saat dimana ketiga tokoh baru saja sampai di sebuah rumah
tempat mereka akan tinggal selama pengabdian bersama ibu-ibu tua, di salah satu scene film,
Ayu juga mendapat sindiran keras dari salah satu penduduk desa bernama Ibu Sundari untuk
mengenakan pakaian yang lebih tertutup dan sopan demi menghargai masyarakat yang ada di
desa tersebut. Namun, Ayu tidak nampak ingin mengindahkan omongan dari ibu pemilik
rumah. Tokoh Ayu diceritakan harus meregang nyawa bersama Bima karena perbuatan
terlarang mereka yang dianggap tidak bermoral oleh masyarakat desa, yaitu melakukan
hubungan seksual di luar nikah atau berzina di tapak tilas.

Perempuan seringkali diminta untuk memiliki sifat lemah lembut, patuh, pasif secara
seksual, dan wajib mempertahankan virginitasnya, dalam masyarakat patriarkis, religius, dan
heteronomatif seperti di Indonesia. Perempuan sering terjerat dalam dikotomi yang membuat
mereka digolongkan dalam dua jenis makhluk, yaitu The Virgin and The Whore. Perempuan
masih perawan sampai ia menikah akan dianggap sebagai sosok yang ‘ideal’ dan suci (the holy
virgin). Sementara perempuan yang gagal menjaga virginitasnya dianggap sebagai pendosa. Di
film ini, Ayu masuk dalam kategori pendosa yang melanggar aturan agama dan tidak sesuai
dengan harapan masyarakat yang mengagungkan ideologi patriarki.

Pada salah satu adegan juga ditampilkan Ayu yang jatuh cinta kepada Bima, rela
menggadaikan nyawa teman-temannya hanya untuk dapat merasakan kesenangan semata
dengan Bima di dalam sebuah sendang kuno yang sudah sangat jelas sebelumnya di awal film
disebutkan bahwa seluruh mahasiswa dilarang untuk memasuki area dimana sendang atau
petilasan tersebut berada.

Akibat dari perbuatannya yang melanggar konstruksi gender perempuan dalam


masyarakat patriarki, Ayu dihukum dan sukmanya terperangkap di angkaramurka untuk
menari selamanya di bawah perintah Hantu Dawuh. Dalam hal ini Ayu dijadikan sebagai objek
dalam penggambaran perempuan yang buruk dan tidak beretika yang mana dalam masyarakat
tradisional erat kaitannya dengan cara berpakaian juga sifat yang dimiliki suatu individu.
Padahal sebetulnya fisik dengan stereotip buruk dan baik adalah dua sisi yang tidak dapat
disatukan atau disangkutpautkan. Dengan kata lain, tidak ada hubungannya Ayu yang memakai
pakaian terbuka dan memiliki sifat yang agak kasar tersebut pasti merupakan orang yang buruk
yang mudah dihasut oleh makhluk gaib dan rela mengabaikan adat demi kesenangan sementara
semata.

Pengarah film seakan-akan mendukung pemikiran tradisional di era seblumnya yang


berkembang luas dalam masyarakat patriarki bahwa perempuan memiliki standar tertentu
dalam fisik dan penampilan untuk mencapai kriteria baik atau buruk. Penggambaran sosok Ayu
yang spesifik dari sudut pandang sutradara merupakan suatu bentuk male gaze dalam dunia
perfilman Indonesia yang seringkali dimaklumi dan dianggap biasa oleh semua orang. Bahkan
memberi stereotip kepada penontonnya secara langsung untuk meneraokan hal-hal patriarkis
tersebut dalam kehidupan nyata.

2. Widya dan Nur

Foto Nur dan Widya dalam film

Widya dan Nur digambarkan sebagai dua orang perempuan peserta KKN yang
digambarkan dengan memakai pakaian yang tertutup, lebih religius, memiliki sifat yang halus
sebagimana perspektif laki-laki dalam memandang wanita yang menurut mereka “seharusnya”.
Nur dan Widya yang diasandingkan dengan Ayu di dalam cerita adalah perempuan-perempuan
yang dianggap ‘ideal’ karena mereka bisa dikatakan masuk ke dalam kategori yang diharapkan
oleh masyarakat.

Di sepanjang cerita, Widya digambarkan sebagai tokoh perempuan yang polos, lemah
lembut, santun, tidak agresif secara seksual, meskipun pada awalnya ia diincar dan digoda oleh
Badarawuhi untuk dijadikan Dawuh. Hal itu tidak berhasil karena Widya berhasil menjaga
sikap dia sebagai perempuan yang bak saat sedang dalam desa melakukan pengabdian.

Sementara itu, Nur digambarkan sebagai perempuan yang religius, ramah, sopan, dan
mampu menjaga sikapnya selama di desa sehingga ia pun tidak berhasil dicelakai oleh hantu
Badarawuhi. Widya dijadikan pengecoh untuk Ayu dan Bima yang sebenarnya merupakan
incara utama dari makhluk gaib yang terdapat dalam film tersebut. Nur merupakan perempuan
keturunan jawa yang memakai hijab dan sangat sopan. Widya tidak digambarkan setertutup
Nur dalam berpakaian, tetapi ia memang lebih sopan dari Ayu penampilan fisik serta sifat
kesehariannya dalam film tersebut. Widya pada awalnya dijadikan sebagai umpan untuk
menghasut Bima agar jatuh ke dalam jerat makhluk gaib. Setelah berhasil, Widya dimanfaatkan
untuk menjadi penghuni tetap dalam dunia gaib atau desa lelembut yang terdapat dalam desa
tersebut. Namun, karena Widya tidak melakukan kesalahan apapun sebelumnya, ia akhirnya
dapat diselamatkan oleh seorang tetua adat yang ada dalam cerita tersebut saat hampir saja ia
terperangkap dan tidak bisa keluar dari jeratan lelembut di desa penari. Seolah-olah karena
Widya adalah perempuan yang baik dan pakaiannya tertutup pemikiran pengarah film yang
patriarkis memberikan stereotip bahwa ia pantas untuk selamat.

Nur yang juga merupakan salah satu tokoh yang selamat dalam insiden tersebut juga
memiliki keistimewaan karena ia merupakan perempuan yang sangat religius dan
berpenampilan tertutup. Ia dilindungi oleh seorang arwah nenek moyangnya. Pengarah film
lagi-lagi memberi gambaran bahwa orang yang baik dan religius selalu saja merupakan orang
yang kalem, berpakaian tertutup, dan bertingkah laku halus layaknya pemikiran masyarakat
patriarkis biasanya.

Pengarah film seakan-akan mendukung pemikiran tradisional di era seblumnya yang


berkembang luas dalam masyarakat patriarki bahwa perempuan memiliki standar tertentu
dalam fisik dan penampilan untuk mencapai kriteria baik atau buruk. Penggambaran sosok Ayu
yang spesifik dari sudut pandang sutradara merupakan suatu bentuk male gaze dalam dunia
perfilman Indonesia yang seringkali dimaklumi dan dianggap biasa oleh semua orang. Bahkan
memberi stereotip kepada penontonnya secara langsung untuk meneraokan hal-hal patriarkis
tersebut dalam kehidupan nyata.

Film adaptasi novel yang sebelumnya merupakan utas dalam media sosial Twitter ini
cukup marak dalam beberapa tahun terakhir. Cerita ini juga mengadaptasi latar di tahun 1996
menurut penulis ceritanya. Latar waktu ini seharusnya dapat memberikan penggambaran
bahwa pada saat itu masyarakat Indonesia masih sangat kental dengan budaya tradisionalnya
sehingga pada saat beberapa mahasiswa datang untuk melakukan pengabdian, seharusnya
sutradara mengetahui logika narasi dari setiap pemain.

Film KKN di Desa Penari menyuguhkan isu male gaze dari sudut pandang sutradaranya
yang merupakan seorang laki-laki berkebangsaan Indonesia. Penggambaran Ayu yang dihasut
oleh makhluk gaib untuk bisa berhubungan dengan laki-laki yang ia sukai digambarkan sebagai
perempuan yang kurang sopan dan suka memakai pakaian terbuka. Sutradara seolah-olah
memberi stereotip kepada audiens bahwa perempuan yang nakal dan mudah dihasut adalah
perempuan yang suka memakai pakaian terbuka dan memiliki kepribadian yang kasar.
Sedangkan Widya dan Nur digambarkan sebagai perempuan yang baik-baik, menjaga tata
krama, memakai pakaian yang lebih tertutup dari Ayu dan mereka tidak mudah terhasut oleh
godaan makhluk gaib serta memberikan stereotip bahwa perempuan yang baik pada akhirnya
akan selamat, seperti Widya dan Nur.
Peran sutradara di sini memberikan stereotip yang melekat akan karakteristik
perempuan baik dan buruk yang banyak berkembang di masyarakat. Ia melanggengkan hal
tersebut dengan penggambaran karakter yang terdapat dalam filmnya. Hal ini berpotensi untuk
membuat para pemirsa film tersebut terpaku terhadap aturan-aturan yang memandang wanita
hanya berdasarkan tampilan fisiknya saja.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis teoritis di atas, dapat disimpulkan bahwa tiga karakter wanita
utama (Ayu, Widya, dan Nur) adalah objek kesenangan pria. Berdasarkan analisis aspek narasi
dan non-naratif film dengan menggunakan teori Male Gaze oleh Laura Mulvey. Lagi-lagi
subjek perempuan dan stereotip negatifnya ditemukan di film KKN Di Desa Penari sebagai
film horor terlaris saat ini. Dapat disoroti bagaimana ideologi dominan beroperasi melalui
wahana film sebagai budaya populer melalui representasi dan kontetasi penggambaran tokoh
yang diidealkan dan yang tidak.

Melalui bantuan film dengan efektivitasnya yang mampu menjangkau banyak


khalayak, konstruksi gender terkait perempuan menjadi tersampaikan sekaligus terkukuhkan.
Wanita menjadi objek kenikmatan dari kesenangan pria dalam hal ini adalah dari sudut
pandangan sang sutradara yang merupakan seorang pria. Sutradara, yang merupakan seorang
pria mengelola fantasi dirinya saat menyutradarai film tersebut dengan menerapkan stereotip-
stereotip fisik ‘populer’ yang disangkutpautkan dengan moral perempuan. Hal itu
menunjukkan bahwa wanita masih memainkan peran tradisional mereka menjadi objek dan
ditampilkan sebagai objek untuk kesenangan pria dan kepuasan kapitalis dari sutradara yang
juga merupakan seorang pria.

Daftar Pustaka

Byerly, C. M., & Ross, K. (2006). Women and media: A critical introduction. Malden, MA:
Blackwell Pub.

Gigi Durham, Meenakshi & Kellner, Douglas M. (2006). Media and Cultural Studies Key
Works, Revised Edition. Oxford: Blackwell Publishing Ltd.

Kurnianingsih, Dyah Ayu. 2016. Kamera Sebagai Alat Operasi Male Gaze: Analisis Male Gaze
dalam Film Horor “Pacar Hantu Perawan”. Jurnal Rekam, Vol. 12 No. 1.
https://journal.isi.ac.id/index.php/rekam/article/view/1384
Laura Mulvey, Visual Pleasure and Narrative Cinema, Screen, Volume 16, Issue 3, Autumn
1975. https://ia802801.us.archive.org/4/items/visual-pleasure-and-narrative-
cinema/Laura-mulvey-visual-pleasure-and-narrative-cinema.pdf

Rachma, Fatima Meutia & Ulya, Himmatul. (2021). Male Gaze Representation in Biopic Film
‘Lovelace’ (Semiotics Analysis by John Fiske). Jurnal Ilmiah Muqoddimah: Jurnal
Ilmu Sosial, Politik, dan Humaniora. Volume 5, Nomor 2. http://jurnal.um-
tapsel.ac.id/index.php/muqoddimah/article/download/3813/pdf

Setyowati, A. (2022, 05/16). KKN di Desa Penari: Membaca Persoalan Gender Melalui
Budaya Populer. Kompas.com.
https://www.kompas.com/tren/read/2022/05/16/113907565/kkn-di-desa-penari-
membaca-persoalan-gender-melalui-budaya-populer

Sindy, Twyke Ridhatilla Ayu. (2013). The male gaze in Chicago film (2002). Allusion Volume
02 Number 01. http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-
allusion1c8c09ef29full.pdf

Tuchman, G. (1979). Women’s Depiction by the Mass Media. Signs, 4(3), 528–542.
http://www.jstor.org/stable/3173399

Anda mungkin juga menyukai