PENDAHULUAN
terdapat satu fenomena menarik, yaitu banyaknya film yang dibuat oleh sutradara
(FFI) sejak tahun 2004, kategori sutradara terbaik selalu ada minimal satu nominasi
perempuan, kecuali pada tahun 2007. Tentu saja keberadaan sutradara perempuan
dalam perfilman nasional bukanlah hal baru. Namun, ramainya produksi film
Indonesia yang dipelopori perempuan dalam satu dasawarsa ini tetap saja
positif, baik secara komersial maupun kritikal, nasional maupun internasional. Ini
bisa jadi bukti bahwa kompetensi sutradara perempuan Indonesia tidak bisa dianggap
remeh.(http://www.muvila.com/read/sutradara-perempuan-penggerak-sinema-
Nama-nama seperti Nan T. Achnas, Nia Dinata, Upi (dahulu Upi Avianto),
Lasja Fauzia Susatyo, Viva Westi, Sekar Ayu Asmara, Ratna Sarumpaet, Djenar
Maesa Ayu, Lola Amaria, Titien Wattimena, Sammaria Simanjuntak, Mouly Surya,
Kamila Andini (putri dari Garin Nugroho). Hanya dalam kurun waktu 12 tahun,
1
berkualitas dan menorehkan prestasi membanggakan. Kita juga patut berbangga
karena luasnya ruang berkarya dan tingginya nilai saing sutradara perempuan di
salah satu nama yang sering terdengar karena menjadi salah satu yang paling
produktif. Sutradara yang mengawali karier di bidang video musik ini telah
dalam dua film omnibus Perempuan Punya Cerita (2007) dan Kita versus Korupsi
(2012). Lasja yang kerap berkolaborasi dengan Upi ini memulai debut layar lebar
dengan romansa remaja Lovely Luna (2004), dilanjutkan dengan kisah anak band
Dunia Mereka (2006), musikal pop Bukan Bintang Biasa: The Movie (2007), musikal
anak-anak Langit Biru (2011), Mika (2013) yang meraih cukup banyak penonton di
triwulan pertama tahun 2013. Karya Lasja selanjutnya yang rilis pada tahun yang
sama adalah Cinta dari Wamena (2013) yang masih mengusung isu HIV/AIDS
(http://www.muvila.com/read/sutradara-perempuan-penggerak-sinema-indonesia-
Film Indonesia yang mengangkat tentang penyakit menular yang sampai saat
ini belum ditemukan obatnya khususnya HIV/AIDS, 1 setidaknya ada 10 film yakni,
1
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sel darah putih didalam tubuh
(limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan
tubuh
2
Aids Phobia yang dirilis pada tahun 1986, Akibat Bebas Sex tahun 1996, Mencari
Madonna pada tahun 2005, Pesan Dari Surga tahun 2006, Karena Aku Sayang
Markus rilis tahun 2007, Perempuan Punya Cerita segmen cerita Jakarta tahun 2007,
Bidadari Jakarta tahun 2010, Akibat pergaulan Bebas tahun 2010, Cinta Dari
Film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika merupakan
film–film bergendre drama yang mengangkat isu mengenai penderita HIV dan AIDS 2
dikalangan masyarakat yang diangkat ke layar lebar oleh sutradara perempuan Lasja
Fauzia Susatyo yang merupakan lulusan Media Production dari Towson University
Maryland Amerika Seikat. Hanya saja, ketiga film bertema AIDS yang pernah
disutradarai olehnya terlihat hanya sebatas komoditas jaminan laku. Karya yang
(world view) dari para kreatornya. Dengan kata lain, jika sineas memindahkan
ideologi yang berasal dari struktur sosial melalui fakta-fakta, maka suatu karya kreatif
pada dasarnya menciptakan suatu dunia bentukan dari ideologi yang dianut
berada pada posisi mayoritas atau struktur kekuasaan, tercermin dari gambaran dalam
2
Yang selanjutnya akan disebut ODHA kepanjangan dari Orang Dengan HIV AIDS
3
Film idealnya menjadi ekspresi artistik dan mengutamakan gaya dan ideologi
pengarangnya, karena pengarang film yang baik memiliki gaya dan tema konsisten,
gaya tersebut tidak bisa dihilangkan dalam keseluruhan karya mereka. Ini karena
pengarang film yang baik memiliki gaya dan tema konsisten, gaya tersebut tidak bisa
film bertema AIDS yang pernah disutradarai oleh Lasja F Susatyo, terlihat tidak
permintaan pasar yang tidak berniat melahirkan teks yang mempertanyakan posisi
ODHA dalam suatu konstruksi sosial, sehingga tanpa disadari sering terjadi
budaya patriarkhi, dengan wajah kapitalis. Patriarkhi adalah budaya dominasi kultur
laki–laki terhadap aktivitas sosok perempuan dalam berbagai hal sehingga mereka
terus didominasi.
Punya Cerita-segmen cerita Jakarta ditulis oleh Melissa Karim, Film Mika diangkat
ke layar lebar berdasarkan kisah nyata yang diadaptasi dari novel laris yang juga
ditulis oleh perempuan berjudul Waktu Aku Sama Mika dan Karena Cinta Itu
Sempurna karangan Indi. Dapat dikatakan bahwa ini adalah karya perempuan. Hanya
saja, tampak tidak adanya relasi yang signifikan antara citra perempuan dalam sinema
4
yang dihasilkan oleh perempuan. Seperti masih dalam perangkap maskulinitas
masyarakat yang cenderung melihat lelaki sebagai pemeran utama dan perempuan
hanya sebagai pelengkap. Kedua film inipun masih seperti kebanyakan film–film
Indonesia pada umumnya. Kita jarang melihat wanita yang kuat dan mandiri,
sadar bahwa dirinya hanya dijadikan objek pelengkap dan hanya dijadikan objek
komoditas dalam sebuah film. Konstruksi sosial seperti ini berasal dari kekuasaan
patriarkhi mengakibatkan struktur sosial yang tidak adil dan bersifat tidak setara di
antara mayoritas dan minoritas dalam konteks ras, anutan agama, nilai kultural, dan
dan juga mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi dalam
apresiasi. Sebagai salah satu media komunikasi, film mengandung berbagai pesan
berbagai macam tanda yang terdapat dalam film. Oleh karena itu, film-film yang
mempunyai nilai moral yang positif sangat diperlukan untuk dipertontonkan kepada
masyarakat luas, sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi masyarakat tersebut.
Penyampaian pesan dalam film lebih bersifat variatif karena sebuah film dapat
5
menyimbolkan pesannya dalam dialog, narasi, dan tulisan sebagai pesan verbal.
gambar, musik latar, warna, dan tanda atau simbol lain yang memiliki arti tertentu
merupakan sarana komunikasi non verbal dari sebuah film. Film berperan sebagai
sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, selain media elektronik dan
media cetak seperti televisi, radio, majalah, koran, dan sebagainya. Film dapat
dikatakan sebagai tranformasi kehidupan masyarakat, karena film adalah potret dari
masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan
Berbicara mengenai konstruksi relitas maka tidak akan terlepas dari ideologi
yang terdapat didalamnya seperti yang dijelaskan oleh Karl Marx dan Federich
Engels dalam Alex Sobur, yang melihat bahwa ideologi sebagai fabrikasi atau
pemalsuan yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk membenarkan diri
mereka sendiri. Karena itu, konsep ideologi tersebut jelas sangat subjektif dan
Menurut mereka, ideologi atau gagasan politik dominan disetiap masyarakat akan
selalu mencerminkan kepentingan dari kelas yang berkuasa (Marx dalam Sobur
2002:64).
yang besar terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu
6
dipahami secara linier, artinya film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat
Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film
di masyarakat sebagai khalayak. Narasi yang dihasilkan media bersifat natural dan
universal, yang artinya bahwa media mempunyai kontrol dan kuasa yang penuh
berbagai makna dan mengarahkan audience dengan cara tertentu sesuai dengan
(ODHA) terjadi karena adanya keterkaitan antara penderitanya dengan seks, penyakit
dan kematian, serta perilaku yang mungkin melanggar hukum, haram, atau tabu,
seperti hubungan seks sebelum nikah dan di luar nikah, jasa pelayanan seks, seks
antar sesama pria, dan pemakaian narkoba melalui suntikan. Inilah yang menjadi
perlakuan tak sama yang diberikan kepada pihak tertentu. Perlakuan diskriminatif
terhadap ODHA bisa dari keluarga sendiri, teman dan kerabat, masyarakat sekitar,
ataupun pemerintah. Ketika identitas ODHA diketahui oleh keluarga dan lingkungan
sekitarnya, proses stigmatisasi dan diskrimininasi pun akan segera tertuju kepada
7
ODHA. Pemberian stigma dan perlakuan yang diskriminatif tentunya memberikan
tekanan yang tajam secara mental-psikologis pada ODHA. Karena itu pulalah orang
identitasnya sebagai ODHA dari lingkungan keluarga dan sekitar karena takut
menerima stigma dan tindakan diskriminatif secara langsung. Tidak dapat dipungkiri
bahwa HIV AIDS membawa dampak yang cukup signifikan bagi ODHA itu sendiri.
Trauma, sikap membisu, suka menghindar, tidak Percaya Diri (PD), merasa jelek,
terhina, dan sebagainya adalah beberapa contoh dari apa yang ODHA rasakan.
Struktur yang bersifat menindas dan diskriminatif ini mulai dari penindasan
terhadap setiap minoritas yang menyimpang dari garis jenis dan orientasi seksual
diskriminasi itu ditujukan kepada ODHA. Pemahaman yang baik terhadap ODHA
dapat diciptakan dan diperoleh melalui sarana pendidikan formal maupun informal.
informasi yang cukup tentang ODHA dan diharapkan menciptakan sikap yang penuh
dukungan dan pengertian terhadap ODHA. Di sinilah arti penting dari media film
karena dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang ODHA dan dikatakan
antisipatif karena dapat bermanfaat pula dalam upaya pencegahan penularan virus
8
Film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta menggambarkan
seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban karena tertular virus HIV (diperankan
oleh Susan Bachtiar) dari suaminya (Wingky Kurniawan) yang telah meninggal
karena over dosis dan ODHA, dan karena penyakit ini dia mendapatkan diskriminasi
Gambar 1.1
Diperlihatkan diatas bahwa suaminya meninggal dunia di toilet sebuah club malam
karena over dosis bersama perempuan lain. Sedangkan istrinya berdoa dalam sebuah
klenteng. Perempuan yang digambarkan sebagai mahluk lemah dan taat beragama
namun tetap saja tertindas dalam kekuasaan kaum laki–laki. Perempuan yang hanya
menjadi korban karena tertular HIV AIDS dari suaminya sendiri. Harus berjuang
melawan penyakit yang dideritanya seorang diri sekaligus berjuang supaya bisa
9
dengan putrinya namun pada akhirnya, iapun tak kuasa menahan penyakitnya yang
Film Mika merupakan catatan harian seorang gadis bernama Indi yang
menderita skoliosis, lalu jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Mika yang
menderita AIDS. Mika dan Indi kemudian berpacaran. Adegan film Mika berawal
dari sebuah blog berwarna merah muda, berjudul “Mika Malaikatku” bergambar
seorang lelaki bersayap hitam terbang dan awan biru, berkaos kuning dan bercelana
panjang, dengan bantuan narasi yang tertulis didalam blog tersebut yang tujuan
“Dear Mika, aku pernah janji sama kamu, aku akan membagi cerita ini
kalau aku sudah siap. Kamu tau Mika..? pertama kali kita ketemu, kamu
kelihatan bercahaya sekali. Kaya malaikat, dan semenjak saat itu aku
tahu, hidupku tak kan pernah sama seperti sebelumnya.”
Gambar I.2
Film Mika Menggambarkan bahwa HIV tidak menular dengan mudah, tidak
seperti virus Influenza atau Tubercolossis yang bisa melalui udara. Pengambaran lain
10
bahwa kita tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap orang yang hidup dan
terdampak oleh HIVAIDS. Kehadiran Mika dalam kehidupan Indi berhasil membuat
ia bersemangat. Dimata Indi, Mika adalah malaikat tanpa sayap yang membangunkan
ia dari mimpi gelapnya. Mika bagaikan pelita yang menerangi hidup Indi untuk terus
maju. Puncak konflik dari film ini terjadi pada saat orang-orang di sekitar Indi tahu
soal hubungannya dengan Mika yang hidup dengan HIV, dan Mika yang akhirnya
(http://www.odhaberhaksehat.org/2013/kisah-hiv-dan-aids-menjadi-inspirasi-
Punya Cerita- segmen cerita Jakarta dan Mika. Obyektifikasi, komodifikasi atau
ODHA dalam tokoh perempuan yang digambarkan sebagai sosok korban sedangkan
adalah subjek aktif narasi. Serta tidak adanya penelitian tentang narasi mengenai
media dalam ranah kesehatan masyarakat membuat penulis tertarik untuk melihat
bagaimana narasi orang dengan HIV AIDS (ODHA) dalam film Perempuan Punya
B. Rumusan Masalah
11
Dilihat dari latar belakang masalah di atas, maka dengan ini penulis dapat
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis struktur naratif pada
ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) yang digambarkan dalam struktur naratif
dalam film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika?
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
2. Manfaat Praktis
12
Penulis diharapkan dapat menambah wawasan mengenai narasi ODHA (orang
Jakarta, dan Mika. Selain itu diharapkan penelitian ini memiliki manfaat
E. Kerangka Teori
Media film telah hadir dimana citra, suara, dan lensa membantu
tentang makna dari menjadi seorang pria atau wanita, dari kesusksesan atau
kegagalan, berkuasa atau tidak berkuasa, juga memberikan bahan banyak orang
untuk membangun naluri tentang kelas mereka, tentang etnis dan ras, kebangsaan,
pandangan umum tentang dunia dan nilai–nilainya yang paling dalam dengan
mendefinisikan apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif, bermoral atau
biadab. Kisah dan citra media memberikan simbol, mitos, dan sumber yang
dunia dewasa ini. Media turut membentuk pandangan kita terhadap dunia, opini
publik, nilai dan sikap, dan karenanya, merupakan forum penting pergulatan dan
13
tempat makna diproduksi, sedangkan citraan visual dalam film merupakan konsep–
proses yang melibatkan pembuatnya dan penonton film tersebut (Stokes,2007 :18).
Kedua film yang menjadi objek dalam penelitian ini, disutradarai oleh perempuan dan
naskah yang dibuat oleh perempuan, kedua film ini bisa dikatakan sebagai film
perempuan.
media massa. Menurutnya, konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah
sebuah konstruksi sosial yang berasal dari kekuasaan kaum mayoritas mengakibatkan
struktur sosial yang tidak adil dan bersifat tidak setara di antara mayoritas dan
minoritas dalam konteks ras, anutan agama, nilai kultural, dan kecenderungan
seksual. Stigma negatif dan ketidakadilan terhadap ODHA pada dasarnya merupakan
implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas, selain
terdapat dalam ranah privat, juga terjadi di ranah publik. Dalam hal ini adalah
media publik yaitu film. ODHA sepertinya selalu ditampilkan sebagai kutukan
14
dan mahluk terbuang dalam bentuk visualisasi penindasan, bullying. Hal ini
sosial kaum mayoritas berperan besar. Film menampilkan wacana yang dapat
dijadikan pintu untuk memahami kondisi suatu masyarakat pada era tertentu.
halnya dengan masalah mengenai perempuan yang selalu menarik untuk dibicarakan
dan tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Pandangan masyarakat mengenai
perempuan sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh
selalu berpotensi menjadi ancaman bagi laki–laki. Hal itu dikarenakan apabila citra
perempuan ditampilkan lebih positif maka bagi laki–laki akan memperlihatkan sosok
laki–laki menjadi sama dengan feminim. Oleh karenanya dalam sinema dominan
terdapat dua cara pandang untuk mengalihkan ancaman tersebut yaitu fetisisme dan
voyerisme. Fetisisme mengubah perempuan menjadi citra yang aman, dimana tubuh
perempuan tidak diperlihatkan secara utuh namun hanya beberapa bagian tubuh saja,
15
seperti kaki atau rambut. Voyerisme yaitu menganggap perempuan dapat
tersebut bukan membuat perempuan sebagai citra yang baik tapi menjadi sumber
pajangan, setara benda mati. Seberapapun pentingnya perempuan ini, bukanlah untuk
bagi tokoh laki–laki dalam film, begitupun penonton. Sebab, penonton akan
atau lebih mudah disebut sebagai industri profit dengan sistem ekonomi media.
kerja, dan lain sebagainya. Media massa tidak hanya dianggap sekedar sebagai
hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan penerima pada lain pihak. Lebih
dari semua itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya
16
terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk
Media pada dasarnya adalah cermin dan refleksi dari masyarakat secara
umum. Karena itu, media bukanlah saluran yang bebas, dia juga subyek yang
Penanaman dan sisipan ideologi tertentu dalam sebuah tayangan di media massa
dapat menjadi keharusan bagi orang–orang yang mempunyai tujuan tertentu. Karir
politik, rating dan profit merupakan tujuan umum yang harus dicapai oleh para
penguasa media. Tayangan tentang ODHA, adalah suatu kemalangan yang dijadikan
komoditas oleh para penguasa media. Dianggap dapat memberikan rating yang tinggi
dengan cerita yang menguras air mata, sehingga mampu mendatangkan income yang
karena konstruksi ODHA merupakan bagian dari ideologi dominan kaum mayoritas.
kehidupan keterasingan sosok ODHA. Mereka yang juga memiliki kebebasan hidup
tanpa imbalan apapun, bebas dari segala sesuatu belenggu oleh kaum penindas
mulai dari budaya patriarkhi sampai budaya kapitalisme, yakni budaya yang hanya
menginginkan profit dalam industri bisnis. Mereka bergerak secara halus dalam
17
memanipulasi konstruksi realitas dalam media. Tanpa kita sadari, diskriminasi
profit, pada dasarnya sebagai institusi bisnis, sebenarnya tidak relevan mengaitkan
berekspresi merupakan acuan nilai bersama (shared value) yang menjamin hak publik
ruang publik. Benefit sosial bagi khalayak ditandai dengan tumbuhnya apresiasi
dalam konteks sosial dan kultural yang lebih baik terhadap ruang publik, sehingga
keberadaannya di ruang publik dapat diwujudkan dengan peran yang lebih baik pula.
titik tolak dari proses kreatif. Masalah yang perlu diapresiasi adalah bentuk-bentuk
penindasan yang berasal dari nilai mayoritas. Penindasan dapat bergerak dalam
bentuk kekerasan fisik sampai kekerasan simbolis yang bersifat psikhis. Penindasan,
pemberian stigma negatif serta bullying terhadap Odha misalnya, dapat dipandang
sebagai kekerasan simbolis jika tujuan akhir adalah kepentingan hegemoni pasar
agencies (McQuails, 2005:98). Keempat hal inilah yang menurut McQuail, menjadi
aktor besar sebagai konsepsi dalam industri media yang serba kapitalis. Namun, aktor
18
yang dominan dalam pembentukan media massa yang kapital adalah media
untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa, kelompok agama,
kandidat dan pergerakan poltik, organisasi bisnis, sekolah, serikat buruh, bahkan regu
olah raga profesional dan orkes rock. Tetapi, menurut Lull, istilah itu paling sering
ekonomi-politik berskala besar. Dalam pengertian ini, cara–cara berpikir yang terpilih
didukung melalui berbagai macam saluran oleh meraka yang mempunyai kekuasaan
19
Alex sobur, dalam bukunya “Analisis Teks Media” mengatakan bahwa
pekerjaan media adalah hasil dari para pekerja media mengkonstruksikan berbagai
realitas yang dipilihnya. Realitas yang dikonstruksi sangat bergantung pada ideologi
yang berada dibelakangnya, atau kepentingan yang bermain dibelakang meja kerja
para pekerja media tersebut. Sobur menambahkan bahwa seluruh isi media adalah
bersama secara subyektif. Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial dikonstruksi
pandangan mereka, tidak berlangsung dalam ruang hampa atau kondisi netral, namun
berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Media massa
bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki ketertarikan dengan realitas.
Jelasnya, bahwa ada berbagai kepentingan yang bermain dan menguasai media
massa. Selain kepentingan ideology masyarakat dan negara, dalam diri media massa
20
sebagainya. Lebih jauh, media sebagai hegemoni “penguasa ekonomi” terhadap
masyarakat pemirsa. Konteks ini terlihat jelas pada gagasan konstruksi sosial menjadi
bagian dari kekuasaan kapitalis dan alat kapitalisme dalam mengkonstruksi ideologi
sosial, realitas adalah ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi realitas
dengan teori kepanikan moral (moral panic) diperkenalkan oleh Stanley Cohen
dianggap menyimpang dari nilai dan norma sosial serta budaya yang berlaku. Para
penjaga moral (tokoh masyarakat, agamawan, dan editor) bersatu padu dalam
tidak akurat suatu tindakan tertentu atau karena tindakan tersebut dianggap lebih
sebuah pola tertentu. Dia membedakan antara empat fase, yaitu sebagai berikut:
menunjukkan bahaya dari suatu kelompok, orang atau tindakan. Pada fase ini, mulai
21
muncul kesadaran (awareness) dari sejumlah masyarakat mengenai dampak negatif
berupa munculnya serangan, respons yang belum terorganisir atas tindakan, orang
atau kelompok. Pada tahap in, kelompok atau perilaku tertentu sudah didefinisikan
sebagai musuh (folk devils) yang harus dimusuhi. Ketiga, inventory. Tahapan ini
berupa penggambaran yang sistematis (dan buruk) mengenai kelompok atau orang,
beserta dengan akibat–akibat yang ditimbulkan. Dalam fase ini, media massa
Adanya respons yang formal untuk mengatasi dampak buruk tindakan. Misalnya
Eriyanto, 2013:223)
kemasyarakatan dan dianggap brutal serta berbahaya bagi “orang kebanyakan”. Folk
devils adalah istilah yang dipakai oleh Cohen untuk menggambarkan kelompok,
lesbian, punk, hubungan tanpa nikah (kumpul kebo) dan juga terhadap ODHA.
22
Kepanikan moral (moral panic) adalah mekanisme bagi suatu komunitas
untuk menjaga nilai–nilai bersama seperti nilai kepantasan, moralitas, kesantunan dan
sebagainya. Jika ada suatu perilaku yang dipandang tidak sesuai dengan nilai–nilai
menjaga nilai tersebut. Perilaku itu ditampilkan secara buruk dan menyimpang
(deviance), sebagai akibatnya ada alasan untuk memberikan retriksi pada perilaku itu
3. Genre Film
Istilah Genre berasal dari bahasa Perancis yang bermakna “bentuk” atau
“tipe”. Dalam film, genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari
sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama seperti; setting, isi dan
subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, serta
petualangan, drama, komedi, horor, roman dan sebagainya. Dengan demikian fungsi
genre bisa dikatakan adalah untuk memudahkan klasifikasi film, genre membantu
(Pratista,2008 :10)
Selain itu, genre juga bisa sebagai antisipasi penonton terhadap film
yang akan ditonton. Jika seseorang telah menentukan untuk melihat film dengan
kepalanya tentang film yang akan ia tonton. Sehubungan dengan penelitian ini,
23
genre digunakan untuk melihat dan memahami ideologi apa yang ditunjukkan
yang telah ada dan popular sejak perkembangan sinema era 1900-an hingga 1930-
an, misalnya aksi, drama, komedi, horror, fantasi, serta fiksi ilmiah. Genre
detektif, thriller, spionase, dan superhero. Perlu dicatat bahwa sebuah film bisa
memiliki klasifikasi multi genre, hal ini merupakan pengembangan trend film dan
pasarnya (Pratista,2008:11).
Bordwell & Thompson menekankan bahwa bintang atau artis yang ikut
dalam pembuatan film juga bisa digunakan sebagai indikator untuk menentukan
genre.
“As a visual medium, cinema can also define genre through conventional
iconography. Even stars can become iconography – Judy Garland for the
musical, John Wayne for the Western, Arnold Schwarnegger for the action
picture, Bill Murray for comedy. (Sebagai media visual, film juga bisa
mendefinisikan genre dengan iconography. Bahkan bintang juga bisa
menjadi iconography – Judy Garland untuk musikal, John Wayne untuk
Western, Arnold Schwarnegger untuk film aksi, Bill Murray untuk
komedi” (David Bordwell & Kristin Thompson, 2004:111)
Sama halnya dengan bintang dan artis Indonesia, karena di sini ada juga
beberapa artis yang hanya bermain di genre tertentu sehingga bisa menjadi ikonografi
genre film Indonesia. Misalnya saja, Suzanna untuk film horor mistik, Warkop DKI
24
untuk komedi, dan Vino Sebastian untuk film drama. Film drama sering kali
terinspirasi dari kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Temanya berasal
karakter, serta suasana yang memotret kehidupan nyata. Konflik bisa dipicu oleh
lingkungan, diri sendiri, maupun alam. Kisahnya sering kali menggugah emosi,
Materi Kuliah Teori Film)”. Sehingga dalam film bergenre drama, kesuksesan
filmnya juga ditentukan dengan kebenaran sosial tercermin dalam “kebenaran” film
tersebut.
4. Narasi Film
Narasi berasal dari kata latin narre, yang artinya “membuat tahu”. Dengan
demikian, narasi berkaitan dengan upaya untuk memberitahu sesuatu atau peristiwa.
episode yang penuh makna. Naratif merupakan sebuah cara akan penalaran dan
25
sebuah representasi baik melalui berbagai media (lisan atau tertulis) seperti novel,
Film dibentuk oleh dua unsur pembentuk yakni; unsur naratif, dan
satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masing–masing unsur tidak akan
dapat membentuk film jika berdiri sendiri-sendiri. Bisa dikatakan bahwa unsur
naratif adalah bahan atau materi yang akan diolah, sedangkan unsur sinematik
Dalam film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita film. Jika
naratif adalah pembentuk cerita, maka unsur sinematik adalah semua aspek
teknis dalam produksi sebuah film. Dengan kata lain jika naratif adalah nyawa
sebuah film, maka unsur sinematik adalah tubuh fisiknya. Namun bukan berarti
sinematik kalah penting dari naratif, karena unsur sinematik inilah yang
membuat sebuah cerita menjadi sebuah karya audio visual berupa film
(Pratista,2008:3).
Peran sinematik dalam penelitian ini adalah untuk memberi koridor yang
lebih spesifik terhadap karakter - karakter dalam film Perempuan Punya Cerita-
segmen cerita Jakarta, dan Mika bentuk mise-en-scene. Unsur sinematik meliputi
a. Mise en scene adalah segala aspek yang berada didepan kamera yang
akan diambil gambarnya, yakni setting (penunjuk ruang dan waktu untuk
26
memberikan informasi yang kuat dalam mendukung cerita filmnya), tata
kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mancakup
yang telah diambil; tahap setelah filmnya selesai: teknik yang digunakan
d. Suara dalam film dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar
dalam sinematografi meliputi aspek kamera, framing dan durasi gambar. Di bagian
ini akan diperinci aspek sinematografi yang lebih fokus kepada visualisasi
kamera dengan objek yang diambilnya, framing sangat pent ing dalam sebuah
27
peristiwa dan menentukan persepsi si penonton terhadap sebuah gambar atau shot.
Framing berkaitan erat dengan jarak, sudut, serta pergerakan kamera terhadap
1. Jarak kamera
Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap objek yang
diambil, adapun dimensi jarak kamera terhadap objek secara garis besar dibagi
menjadi tiga yakni Long shot, Medium shot, dan Close-up, secara mendetil dan
a. Long shot
Pada jarak ini wujud fisik manusia telah tampak jelas. Shot ini
shot-shot yang lebih dekat. Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah
b. Medium shot
Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gestur
personal.
28
c. Close up
lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta
2. Sudut kamera
Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap objek yang berada
a. Straight angle;
Sudut ini mampu membuat sebuah objek seolah tampak lebih kecil, lemah
serta terintimidasi.
Sudut ini membuat sebuah objek tampak lebih besar, dominan, percaya diri
29
Kedua elemen yang membentuk sebuah framing tersebut selain alasan
film, penonton bisa dibuat merasa terancam ketika sosok monster terlihat besar
sekali dengan menggunakan teknik low angle. Demikian juga dalam film-film
bertema AIDS yang disutradari oleh Lasja F Susatyo, framing ini akan digunakan
Bagian yang penting dalam analisis naratif adalah cerita (story) dan alur
cerita (plot). Kedua aspek ini penting dalam memahami suatu narasi, bagaimana
narasi bekerja, bagian mana dari suatu peristiwa yang ditampilkan dalam narasi, dan
dalam sebuah teks. Karena itu, dalam analisis naratif akan dilihat perbandingan
waktu. Ada tiga aspek penting untuk dilihat dalam analisis mengenai waktu, yakni
a. Durasi, adalah waktu dari suatu peristiwa. Pertama, durasi cerita merujuk
kepada keseluruhan waktu dari suatu peristiwa dari awal hingga akhir. Kedua,
durasi dari cerita ini bisa bulan, tahun, bahkan ratusan tahun, tergantung dari
peristiwa. Durasi plot merujuk kepada waktu keseluruhan dari alur (plot)
suatu narasi. Durasi plot umumnya lebih pendek dibandingkan dengan durasi.
Ketiga, durasi teks, ini merujuk kepada waktu dari suatu teks.
30
b. Urutan peristiwa (order), adalah rangkaian peristiwa satu dengan peristiwa
yang lain sehingga membentuk narasi. Pertama, urutan cerita (story order).
order). Dalam plot, rangkaian peristiwa bisa bersifat kronologis, bisa juga
tidak kronologis. Penulis cerita bisa masuk ke peristiwa saat ini, dan
(flashback). Ketiga, urutan teks (screen order). Sama seperti urutan plot,
dalam teks atau screen, urutan adegan bisa berupa kronologis bisa juga tidak
peristiwa yang sama ditampilkan (Luc & Bart Vervaeck 2001: 66). Dalam
cerita (order), kategori frekuensi pasti tidak ada. Karena peristiwa dalam
kondisi nyata, pasti hanya terjadi satu kali, dan tidak mungkin diulang. Tetapi
dalam plot atau teks (screen), mungkin saja peristiwa dihadirkan beberapa
kali. Pertama, frekuensi plot. Ini merujuk kepada berapa kali suatu peristiwa
menekankan makna tertentu dalam narasi. Kedua, frekuensi teks. Ini merujuk
(Eriyanto,2013:35).
31
Selain waktu, aspek penting lain dari sebuah narasi adalah ruang. Sama
dengan waktu, dalam ruang (space), ada tiga perbedaan: ruang cerita (story space),
ruang alur (plot space), dan ruang teks (screen space) (Gillespie,2006:96). Adapun
yang dimaksud dengan ruang alur (plot space) adalah ruang yang disajikan secara
eksplisit dalam sebuah narasi. Tempat–tempat yang diacu dalam narasi disajikan dan
diceritakan secara eksplisit dalam narasi. Ruang teks (screen space) adalah ruang atau
tempat yang bukan hanya disajikan secara eksplisit tetapi juga ditampilkan
keasliannya dalam narasi. Dalam sebuah film, umumnya ini dilakukan dengan jalan
pengambilan gambar (shot) narasi yang diceritakan. Sementara ruang cerita (story
space) adalah ruang atau tempat yang tidak disajikan secara eksplisit dalam narasi,
tetapi khalayak bisa membayangkan tempat tersebut lewat hubungan sebab akibat
atau kaitan antara satu tokoh dengan tokoh lain dalam narasi (Eriyanto,2013:38).
Dari unsur naratif inilah kita bisa melihat alur cerita, dan juga
juga menyampaikan ideologi sebuah budaya, dan merupakan cara yang di dalamnya
(Stokes,2007:72-73).
32
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
atau penelitian naratif ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling
bahkan populasi atau sampling sangat terbatas. Didalam riset ini yang lebih
ditekankan persoalan kedalaman data (kualitas) data dan bukan banyaknya (kuantitas)
naratif kualitatif yakni menggunakan teks dalam sebuah narasi sebagai bahan
satu jalinan cerita. Karena itu, titik sentral dalam analisis naratif adalah mengetahui
bagaimana peristiwa disusun dan jalinan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain–
akhir, bagaimana peristiwa satu dan peristiwa lain dirangkai menjadi satu kesatuan
(Eriyanto,2013:15)
dan nilai diproduksi dan sebarkan dalam masyrakat. Memahami bagaimana dunia
sosial dan politik diceritakan dalam pendangan tertentu yang dapat membantu kita
mengetahui kekuatan dan nilai sosial dominan dalam masyrakat (Ronald &
33
Media narratives, like all narratives, are told form particular
perspectives, privileging certain viewpoints and versions of events over
others. Knowing what (and whose) stories get told or remain untold is
crucial to understanding the exercise of power in society. Stories about
events and characters, real or fictional, may be shaped in ways that serve
the interest of powerful institusions such as goverment or bussiness
(Gillespie,2006:83)
Melalui analisis naratif kita misalnya bisa mengetahui aktor atau karakter
mana yang diposisikan sebagai pahlawan dan sebaliknya bisa mengetahui karakter
mana yang diposisikan sebagai penjahat. Film disajikan dalam bentuk cerita, dan
dalam cerita tersebut sebenarnya terdapat nilai–nilai dan ideologi yang ingin
ditonjolkan oleh pembuat film. Narasi berperan dalam membentuk apa yang
dipandang benar dan apa yang dipandang salah, apa yang boleh dan tidak boleh.
Narasi tidak hanya berisi tentang peristiwa dan karakter, tetapi didalamnya juga
Menurut John Fiske, ideologi bisa dipahami sebagai proses umum produksi
sistem keyakinan yang dipercaya oleh masyarakat. Kepercayaan itu diterima oleh
anggota masyarakat sebagai sesuatu yang absah dan dipandang benar. Disini tidak
begitu penting untuk mengetahui apakah kepercayaan dan keyakinan itu diperoleh
lewat paksaan atau sukarela, yang paling penting anggota masyarakat menerima
keyakinan atau kepercayaan itu sebagai sebuah kebenaran dan mengikat masyarakat.
Sekarang ini, istilah ideologi memang mempunyai dua pengertian yang bertolak
34
belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia
ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk
Lewat cerita, karakter dan peristiwa, anggota masyarakat diperkenalkan apa yang
baik dan apa yang buruk. Cerita–cerita tersebut menjadi panduan bagi anggota
cerita (story) dan plot, struktur narasi dan karakter. Menurut Algirdas Greimas (dalam
menggunakan model aktan dan memperhatikan oposisi segi empat dalam narasi.
Dengan model aktan peneliti akan melihat bagaimana karakter dalam narasi
diposisikan serta melihat relasi antar karakter yang ada dalam narasi. Hal ini bisa
berupa film serta bagaimana gejala–gejala sosial terjadi dan dinarasikan dalam
sebuah film.
35
Dengan menganalisis menggunakan oposisi segi empat dalam narasi, akan
membantu peneliti melihat fenomena dengan lebih detail dan akan mendapat banyak
masukan fenomena dan peristiwa secara tersirat selain yang sudah jelas didalam film.
Karena dalam kenyaataanya realitas tidak hanya terbagi dalam dua sisi yang saling
bertentangan, misalnya baik dan buruk. Sehingga diharapkan penelitian ini mampu
menganalisis nilai–nilai dominan dan ideologi yang terdapat dalam obyek penelitian.
2. Tahap–tahap Penelitian
dan Mika (Analisis Naratif Orang Dengan HIV AIDS dalam Film Perempuan Punya
Cerita–Segmen Jakarta (2007) dan Mika (2013), peneliti akan menganalisis melalui
Segmen Jakarta (2007) dan Mika (2013) dari membeli VCD, menonton film kedua
film tersebut, kemudian menganalisis film dengan fokus pada beberapa elemen yaity
story & plot, struktur narasi, fungsi dan karakter narasi. Dengan menganalisis
menentukan scene–scene yang telah dipilih dari obyek film . Dengan cara
tersebut, kemudian diuraikan karakter dan fungsi narasi yaitu objek, subjek, pengirim
Dari rangkaian adegan yang telah diuraikan fungsi dan karakternya tersebut, penulis
kemudian diharapkan bisa melihat kontradiksi, konsistensi, dan peran dari masing–
36
masing karakter dalam narasi. menganalisis kedua film tersebut dengan
memfokuskan pada dua hal yakni : Odha dalam sosok laki – laki sebagai pahlawan
dalam film Mika dan Odha dalam sosok perempuan sebagai korban dalam film
Tabel 1.1
Scene dan dialog perbedaan Odha dalam film Mika dan
Perempuan Punya Cerita – segmen cerita Jakarta
1.
37
3.
4.
5.
38
a. Tema Penelitian
Orang dengan HIV AIDS yang digambarkan dalam struktur naratif film Perempuan
Punya Cerita–Segmen Jakarta dan Mika, keduanya bertema sama namun memiliki
oleh pembuatnya
b. Obyek Penelitian
Dalam penelitian ini film yang menjadi obyek penulis dalam penelitian adalah
struktur naratif yang terdapat dalam film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta
dan Mika yang bertema ODHA. Dari kedua film tersebut adalah :
ketakutan yang hanya mengada-ada terhadap HIV AIDS, penyakit yang di nilai
sebagai penyakit negatif di angkat didalam cerita ini. Hingar bingarnya kota Jakarta
HIV AIDS yang dideritanya dan juga memperjuangkan Belinda, anaknya ketika
Laksmi adalah seorang ibu dengan satu anak. Walau ingin memperjuangkan
segalanya dan ingin meraih mimpi-mimpi indahnya bersama Belinda putri semata
wayangnya. Dia tetap seorang ibu yang bijaksana dan kuat. Namun ditengah usaha
39
2. Mika rilis pada tahun 2013.
perempuan penderita scoliosis yang sebelumnya pendiam, polos dan tidak percaya
diri. Sikap pasif tersebut disebabkan karena tidak mudah mencari teman seumurannya
yang bisa meneriama kondisi cacat tulang belakangnya. Lalu datanglah Mika (Vino G
Sebastian) dalam kehidupan Indi. Dia mengenalnya pada saat dia sedang berlibur di
rumah baru omnya. Hari pertama berkenalan Mika mengatakan bahwa dia sakit HIV.
Indi menilai Mika adalah sosok yang jujur. Sebaliknya, Ibu Indi malah menganggap
Mika adalah beban. Akhirnya mereka berdua berpacaran, Mika selalu menjadi
pahlawan bagi Indi. Berkat Mika, Indi meninggalkan sifat pasifnya menjadi lebih
ceria dan percaya diri. Namun akhirnya Mika harus menyerah dengan penyakit HIV
1. Dokumentasi
menonton kedua film bertema ODHA dalam bentuk video yaitu film Perempuan
Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika, sehingga diharapkan nantinya akan
40
membantu mengetahui mengenai struktur dalam narasi–narasi terhadap orang dengan
HIV AIDS (ODHA) dalam film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta dan Mika
2. Studi Pustaka
Teknik ini merupakan cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan kategori
dokumen maupun buku–buku, koran majalah dan tulisan–tulisan pada media internet.
H. Sumber Data
1. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pengamatan yang dilakukan
dengan melihat, mencermati dan mengamati kedua film yang bertema ODHA yaitu
Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika yang dalam bentuk video.
2. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh melalui sumber–sumber lain, seperti buku–buku, jurnal,
media online, serta media lain yang menunjang dalam penelitian ini.
Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan
hasil observasi, studi pustaka dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti
tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Hal ini
41
bertujuan agar data yang telah diperoleh lebih mudah untuk dibaca dan
diinterpretasikan.
tertulis atau lisan dari informan dalam penelitian. Data deskriptif tersebut berupa
narasi–narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil analisis video kedua film bertema
AIDS dalam film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika.
Adapun analisis tekstual atau teks pada penelitian ini menggunakan teks media
berupa video dari kedua film tersebut menggunakan elemen–elemen sebagai berikut:
Cerita dan alur (plot) berbeda. Plot adalah apa yang ditampilkan secara
eksplisit dalam sebuah teks. Sementara cerita (story) adalah urutan kronologis dari
suatu peristiwa, dimana peristiwa tersebut bisa ditampilkan dalam teks bisa juga tidak
ditampilkan dalam teks. Sebuah narasi pada dasarnya mengangkat suatu peristiwa
tertentu. Peristiwa yang utuh (dari awal hingga akhir) disebut dengan cerita (story).
Peristiwa utuh ini bisa ditampilkan bisa juga tidak ditampilkan dalam teks. Sementara
alur (plot) adalah peristiwa yang eksplisit yang ditampilkan dalam teks
(Lacey,2000 :16).
42
Berdasarkan urutan peristiwa, cerita (story) menampilkan peristiwa secara
berurutan, kronologis dari awal hingga akhir. Sementara alur (plot), urutan peristiwa
untuk membuat narasi yang disajikan menarik. Karena itu, urutan peristiwa yang
disajikan tidak selalu mengikuti kronologi waktu, tetapi diatur peristiwa mana yang
menarik terlebih dahulu, baru disusul dengan peristiwa pendukung yang tidak
menarik, pembuat cerita juga ingin khalayak bisa menikmati narasi, karena itu urutan
waktu diatur agar menimbulkan ketegangan bagi pembaca narasi. Dengan memahami
perbedaan cerita (story) dengan plot, kita bisa menggambarkan apakah narasi
tertentu. Jika urutan peristiwa tidak disajikan secara kronologis, bagaimana urutan
B. Struktur Narasi
berhubungan. Seorang ahli sastra dan budaya asal Bulgaria, Tzveten Todorov
mengajukan gagasan mengenai struktur dari suatu narasi. Gagasan Todorov menarik
karena ia melihat teks mempunyai susunan atau struktur tertentu. Pembuat teks
disadari atau tidak menyusun teks ke dalam tahapan atau struktur tersebut, sebaliknya
khalayak juga membaca narasi berdasarkan tahapan atau struktur tersebut. Bagi
43
kronologis, motif dan plot, dan hubungan sebab akibat dari sebuah peristiwa
hingga akhir. Narasi dimulai dari adanya keseimbangan yang kemudian terganggu
oleh adanya kekuatan jahat. Narasi diakhiri oleh upaya untuk menghentikan
seorang tokoh. Narasi diakhiri dengan kembalinya keteraturan. Dalam banyak cerita
fiksi, ini misalnya ditandai dengan musuh yang berhasil dikalahkan, pahlawan yang
hidup bahagia, masyarakat yang bisa dibebaskan sehingga menjadi makmur dan
98). Lacey dan Gillespie memodifikasi struktur narasi tersebut menjadi lima bagian.
terjadinya gangguan dan klimaks (gangguan memuncak). Bagian terpenting lain yang
44
Tabel 1.2
Tabel perbandingan struktur narasi menurut Lacey dan Gilliepie
No Lacey Gillespie
Penjelasan dan diskripsi dari perbandingan struktur narasi menurut Lacey dan
Dalam narasi tentang superhero, umumnya diawali oleh kondisi kota yang
damai, kerajaan yang makmur, dan seterusnya. Atau narasi tentang sebuah
Bagian atau struktur kedua dari narasi adalah adanya gangguan (disruption). Ini
adanya tokoh atau tindakan tertentu berubah menjadi tidak teratur. Dalam film
45
tentang superhero misalnya, babak kedua ini ditandai oleh kehadiran musuh
(villain) yang melakukan tindakan jahat yang mengubah ketertiban sebuah kota.
Penduduk menjadi terancam dan tidak tertib. Gangguan ini juga bisa berupa
tindakan tertentu dari aktor yang bisa mengubah ketertiban. Suatu keluarga
yang harmonis, berubah kacau ketika sang ayah melakukan selingkuh, atau anak
Pada tahap ketiga, gangguan (disruption) makin besar, dan dampaknya makin
dirasakan. Pada tahap ini, gangguan umunya mencapai titik puncak (klimaks).
Dalam narasi mengenai superhero, babak ini ditandai oleh kekuatan musuh
yang makin kuat. Musuh berhasil memperoleh pengikut dan dampak yang
ditimbulkan oleh musuh tersebut, makin besar dirasakan oleh penduduk. Atau
sebuah cerita keluarga, pada tahap ini kekacauan mengalami titik puncak.
Pada tahap ini, narasi biasanya berisi tentang hadirnya sosok pahlawan (hero)
yang berupaya untuk memperbaiki kondisi. Di tahap ini, sudah ada upaya untuk
46
kegagalan. Dalam narasi mengenai superhero misalnya, ditahap ini sudah
Tahap ini adalah babak terakhir dri suatu narasi. Kekacauan yang muncul pada
Penduduk bisa bekerja dengan aman, keluarga menjadi harmonis kembali dan
Didalam narasi (cerita) terdapat karakter, yakni orang atau tokoh yang
fungsi dalam narasi, sehingga narsi menjadi koheren (menyatu). Narasi tidak hanya
mengungkapkan gagasannya. Karakter disini bisa sesuatu yang dekat atau jauh dari
realitas (Uri Margolin dalam David Herman,2007:71). Sebagai misal, pembuat cerita
ingin menyampaikan pesan bahwa kebaikan akan berhasil melawan kejahatan meski
kejahatan didukung oleh kekuatan besar. Agar pesan tersampaikan, pembuat cerita
47
membutuhkan karakter–karakter yang bisa mewakili isi pesan, mulai dari karakter
dan penjahat.
(semantic structure). Mirip sebuah kalimat yang terdiri atas rangkaian kata–kata,
setiap kata dalam kalimat menempati posisi dan fungsinya masing–masing (sebagai
subjek, objek, predikat, dan seterusnya) (Eriyanto,2013:95-96). Kata yang satu juga
mempunyai relasi dengan kata yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheren
dan mempunyai makna. Narasi menurut Greimas juga harus seperti sebuah semantik
dalam kalimat. Karakter dalam narasi menempati posisi dan fungsinya masing–
masing. Lebih penting dari posisi itu adalah relasi dari masing–masing karakter.
Sebuah narasi dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut Greimas sebagai aktan
(actan) dimana aktan tersebut berfungsi mengarahkan jalannya cerita. Karena itu,
analisis Greimas ini kerap juga disebut sebagai model aktan. Keenam peran tersebut
48
Tabel 1.3
Tabel Karakter Greimas
No Karakter Deskripsi
Greimas melihat ketertarikan antara satu karakter dengan karakter lain. Dari
fungsi – fungsi dalam sebuah narasi, secara sederhana bisa dibagi ke dalam tiga relasi
49
1. Relasi struktural antara subjek versus objek.
Relasi ini disebut juga sebagai sumbu hasrat atau keinginan (axis of desire).
Objek adalah tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Menurut Cohan and Shires,
hubungan antara subjek dengan objek adalah hubungan langsung yang bisa
diamati secara jelas dalam teks (Steven Cohan & Linda,1998:69-70). Relasi
antara subjek dan objek ini bisa berupa hubungan yang dikehendaki oleh kedua
penculik ingin menyekap korbannya). Objek ini tidak harus selalu berupa orang,
tetapi juga berupa keadaan. Misalnya keinginan dari pahlawan (subjek) untuk
membebaskan suatu negeri dari raja yang kejam (objek). Dalam film Mika bisa
dilihat bahwa Mika (subjek) ingin membebaskan Indi (Objek) dari rasa minder,
Relasi ini disebut juga sebagai sumbu pengirim (axis of transmission). Pengirim
memberikan nilai, aturan, atau perintah agar objek bisa dicapai. Sementara
penerima adalah manfaat setelah objek berhasil agar dicapai oleh subjek.
agar membebaskan putri (objek) yang ditawan oleh seorang penyihir. Objek
dari cerita ini adalah membebaskan putri, yang menjadi inti atau tujuan dari
50
keselurihan cerita. Sementara penerima (receiver) adalah putri. Dalam film
Mika, Mika meminta kepada kedua sahabatnya untuk menjaga Indi (receiver)
Relasi ini disebut juga sebagai sumbu kekuasaan (axis of power). Pendukung
objek. Sebagai misal, dalam suatu cerita, pahlawan mendapat bantuan dari
orang pintar, pedang, kuda, sementara pahlawan juga mendapat halangan dari
empat semiotik (semiotic square). Dalam oposisi segi empat, fakta atau realitas bisa
dibagi ke dalam empat sisi (S1, S2, S1, S2 ). Hubungan antara S1 dengan S2 dan S1 antara
51
S1 S2
S1 S2
Keterangan :
: Relasi oposisi (kebalikan)
: Relasi kontradiksi
: Relasi implikasi
Melalui oposisi segi empat bisa dijelaskan berbagai latar dan kondisi
masyarakat, serta peristiwa yang bukan hanya dari hal yang berlawanan saja,
melainkan juga sisi lain ditengah–tengah itu. Melalui oposisi segi empat, kita bisa
ini. Pertama, membagi gambaran ODHA dalam empat sisi, peneliti mengambil
gambaran sosok ODHA dalam tokoh laki-laki sebagai kepahlawanan dan perempuan
Laki-laki kepahlawanan
52
Perempuan korban
Gambar 1.4, Gambaran Odha dalam oposisi segi empat dari Greimas
Tabel 1.4
Dimensi Struktur dan semik
Relasi Dimensi Struktur Struktur Semik
53