Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan meningkatnya produksi film Indonesia belakangan ini,

terdapat satu fenomena menarik, yaitu banyaknya film yang dibuat oleh sutradara

perempuan. Salah satu dampaknya, dalam penyelenggaraan Festival Film Indonesia

(FFI) sejak tahun 2004, kategori sutradara terbaik selalu ada minimal satu nominasi

perempuan, kecuali pada tahun 2007. Tentu saja keberadaan sutradara perempuan

dalam perfilman nasional bukanlah hal baru. Namun, ramainya produksi film

Indonesia yang dipelopori perempuan dalam satu dasawarsa ini tetap saja

mengundang perhatian. Apalagi, sebagian besar hasil karyanya mendapat sambutan

positif, baik secara komersial maupun kritikal, nasional maupun internasional. Ini

bisa jadi bukti bahwa kompetensi sutradara perempuan Indonesia tidak bisa dianggap

remeh.(http://www.muvila.com/read/sutradara-perempuan-penggerak-sinema-

indonesia-masa-kini/ akses tanggal 17 Desember 2013).

Nama-nama seperti Nan T. Achnas, Nia Dinata, Upi (dahulu Upi Avianto),

Lasja Fauzia Susatyo, Viva Westi, Sekar Ayu Asmara, Ratna Sarumpaet, Djenar

Maesa Ayu, Lola Amaria, Titien Wattimena, Sammaria Simanjuntak, Mouly Surya,

Kamila Andini (putri dari Garin Nugroho). Hanya dalam kurun waktu 12 tahun,

terbukti sudah banyak film-film karya sutradara perempuan Indonesia yang

1
berkualitas dan menorehkan prestasi membanggakan. Kita juga patut berbangga

karena luasnya ruang berkarya dan tingginya nilai saing sutradara perempuan di

Indonesia, dalam profesi yang dulunya didominasi kaum lelaki ini.

Jika membicarakan kuantitas, maka nama Lasja Fauzia Susatyo merupakan

salah satu nama yang sering terdengar karena menjadi salah satu yang paling

produktif. Sutradara yang mengawali karier di bidang video musik ini telah

menyutradarai enam film, sebagiannya berhubungan dengan musik, selain terlibat

dalam dua film omnibus Perempuan Punya Cerita (2007) dan Kita versus Korupsi

(2012). Lasja yang kerap berkolaborasi dengan Upi ini memulai debut layar lebar

dengan romansa remaja Lovely Luna (2004), dilanjutkan dengan kisah anak band

Dunia Mereka (2006), musikal pop Bukan Bintang Biasa: The Movie (2007), musikal

anak-anak Langit Biru (2011), Mika (2013) yang meraih cukup banyak penonton di

triwulan pertama tahun 2013. Karya Lasja selanjutnya yang rilis pada tahun yang

sama adalah Cinta dari Wamena (2013) yang masih mengusung isu HIV/AIDS

(http://www.muvila.com/read/sutradara-perempuan-penggerak-sinema-indonesia-

masa-kini/ akses tanggal 17 Desember 2013).

Film Indonesia yang mengangkat tentang penyakit menular yang sampai saat

ini belum ditemukan obatnya khususnya HIV/AIDS, 1 setidaknya ada 10 film yakni,
1
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sel darah putih didalam tubuh
(limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan
tubuh

2
Aids Phobia yang dirilis pada tahun 1986, Akibat Bebas Sex tahun 1996, Mencari

Madonna pada tahun 2005, Pesan Dari Surga tahun 2006, Karena Aku Sayang

Markus rilis tahun 2007, Perempuan Punya Cerita segmen cerita Jakarta tahun 2007,

Bidadari Jakarta tahun 2010, Akibat pergaulan Bebas tahun 2010, Cinta Dari

Wamena yang dirilis 13 Juni 2013, MIKA 17 Januari 2013.

(http://filmindonesia.or.id/search/all/HIV+AIDS akses tanggal 1 Desember 2013)

Film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika merupakan

film–film bergendre drama yang mengangkat isu mengenai penderita HIV dan AIDS 2

dikalangan masyarakat yang diangkat ke layar lebar oleh sutradara perempuan Lasja

Fauzia Susatyo yang merupakan lulusan Media Production dari Towson University

Maryland Amerika Seikat. Hanya saja, ketiga film bertema AIDS yang pernah

disutradarai olehnya terlihat hanya sebatas komoditas jaminan laku. Karya yang

dilahirkan sepenuhnya mencerminkan sikap dan pandangan hidup tentang dunia

(world view) dari para kreatornya. Dengan kata lain, jika sineas memindahkan

ideologi yang berasal dari struktur sosial melalui fakta-fakta, maka suatu karya kreatif

pada dasarnya menciptakan suatu dunia bentukan dari ideologi yang dianut

kreatornya. Ideologi atau pandangan dunia yang mentoleransi penindasan karena

berada pada posisi mayoritas atau struktur kekuasaan, tercermin dari gambaran dalam

film yang diciptakan.

2
Yang selanjutnya akan disebut ODHA kepanjangan dari Orang Dengan HIV AIDS

3
Film idealnya menjadi ekspresi artistik dan mengutamakan gaya dan ideologi

pengarangnya, karena pengarang film yang baik memiliki gaya dan tema konsisten,

gaya tersebut tidak bisa dihilangkan dalam keseluruhan karya mereka. Ini karena

pengarang film yang baik memiliki gaya dan tema konsisten, gaya tersebut tidak bisa

dihilangkan dalam keseluruhan karya mereka (Lewis&Christian,1994:1). Dari kedua

film bertema AIDS yang pernah disutradarai oleh Lasja F Susatyo, terlihat tidak

adanya konsistensi dan cenderung sebagai karya yang hanya mementingkan

permintaan pasar yang tidak berniat melahirkan teks yang mempertanyakan posisi

ODHA dalam suatu konstruksi sosial, sehingga tanpa disadari sering terjadi

ketergelinciran sehingga meneguhkan konstruksi sosial dalam stigma negatif,

diskrimisansi maupun ketidaksetaraan gender. Kecenderungan ini tidak terlepas dari

budaya patriarkhi, dengan wajah kapitalis. Patriarkhi adalah budaya dominasi kultur

laki–laki terhadap aktivitas sosok perempuan dalam berbagai hal sehingga mereka

terus didominasi.

Film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika disutradarai

oleh sutradara perempuan sekaligus penulis skenario oleh perempuan, Perempuan

Punya Cerita-segmen cerita Jakarta ditulis oleh Melissa Karim, Film Mika diangkat

ke layar lebar berdasarkan kisah nyata yang diadaptasi dari novel laris yang juga

ditulis oleh perempuan berjudul Waktu Aku Sama Mika dan Karena Cinta Itu

Sempurna karangan Indi. Dapat dikatakan bahwa ini adalah karya perempuan. Hanya

saja, tampak tidak adanya relasi yang signifikan antara citra perempuan dalam sinema

4
yang dihasilkan oleh perempuan. Seperti masih dalam perangkap maskulinitas

masyarakat yang cenderung melihat lelaki sebagai pemeran utama dan perempuan

hanya sebagai pelengkap. Kedua film inipun masih seperti kebanyakan film–film

Indonesia pada umumnya. Kita jarang melihat wanita yang kuat dan mandiri,

hubungan yang setara, ataupun pria yang memperlakukan wanita dengan

penghormatan dan perhatian yang sungguh–sungguh. Perempuan kebanyakan tidak

sadar bahwa dirinya hanya dijadikan objek pelengkap dan hanya dijadikan objek

komoditas dalam sebuah film. Konstruksi sosial seperti ini berasal dari kekuasaan

patriarkhi mengakibatkan struktur sosial yang tidak adil dan bersifat tidak setara di

antara mayoritas dan minoritas dalam konteks ras, anutan agama, nilai kultural, dan

kecenderungan seksual. Ketidakadilan gender ini pada dasarnya merupakan implikasi

dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas.

Film memiliki kekuatan yang signifikan untuk mengkonstruksi realitas sosial

dan juga mampu menangkap gejala-gejala dan perubahan yang terjadi dalam

masyarakat yang kemudian disajikan kembali kepada masyarakat untuk mendapat

apresiasi. Sebagai salah satu media komunikasi, film mengandung berbagai pesan

yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Pesan-pesan tersebut dibangun dari

berbagai macam tanda yang terdapat dalam film. Oleh karena itu, film-film yang

mempunyai nilai moral yang positif sangat diperlukan untuk dipertontonkan kepada

masyarakat luas, sebagai salah satu bahan pembelajaran bagi masyarakat tersebut.

Penyampaian pesan dalam film lebih bersifat variatif karena sebuah film dapat

5
menyimbolkan pesannya dalam dialog, narasi, dan tulisan sebagai pesan verbal.

Sedangkan perilaku, karakter, ekspresi, penampilan, pencahayaan, sudut pengambilan

gambar, musik latar, warna, dan tanda atau simbol lain yang memiliki arti tertentu

merupakan sarana komunikasi non verbal dari sebuah film. Film berperan sebagai

sarana untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, selain media elektronik dan

media cetak seperti televisi, radio, majalah, koran, dan sebagainya. Film dapat

dikatakan sebagai tranformasi kehidupan masyarakat, karena film adalah potret dari

masyarakat dimana film itu dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan

berkembang dalam masyarakat dan kemudian memproyeksikan ke dalam layar.

Berbicara mengenai konstruksi relitas maka tidak akan terlepas dari ideologi

yang terdapat didalamnya seperti yang dijelaskan oleh Karl Marx dan Federich

Engels dalam Alex Sobur, yang melihat bahwa ideologi sebagai fabrikasi atau

pemalsuan yang digunakan oleh sekelompok orang tertentu untuk membenarkan diri

mereka sendiri. Karena itu, konsep ideologi tersebut jelas sangat subjektif dan

keberadaannya hanya untuk melegitimasi kelas penguasa ditengah masyarakat.

Menurut mereka, ideologi atau gagasan politik dominan disetiap masyarakat akan

selalu mencerminkan kepentingan dari kelas yang berkuasa (Marx dalam Sobur

2002:64).

Kekuatan dan kemampuan film menjangkau banyak segmen sosial, karena

film memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayaknya. Film memberikan dampak

yang besar terhadap masyarakat, hubungan antara film dan masyarakat selalu

6
dipahami secara linier, artinya film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat

berdasarkan muatan pesan (message) di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya.

Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film

adalah potret dari kehidupan masyarakat (Irwanto dalam Sobur, 2004:127)

Media menciptakan sebuah narasi yang kemudian dapat membentuk realitas

di masyarakat sebagai khalayak. Narasi yang dihasilkan media bersifat natural dan

universal, yang artinya bahwa media mempunyai kontrol dan kuasa yang penuh

untuk membuat narasi tentang sebuah peristiwa. Media mempunyai kewenangan

untuk mengkonstruksi atau membangun dan memanipulasi kisah untuk memproduksi

berbagai makna dan mengarahkan audience dengan cara tertentu sesuai dengan

kepentingan yang ada dibelakangnya.

Selama ini media menggambarkan mengenai orang dengan HIV AIDS

(ODHA) terjadi karena adanya keterkaitan antara penderitanya dengan seks, penyakit

dan kematian, serta perilaku yang mungkin melanggar hukum, haram, atau tabu,

seperti hubungan seks sebelum nikah dan di luar nikah, jasa pelayanan seks, seks

antar sesama pria, dan pemakaian narkoba melalui suntikan. Inilah yang menjadi

alasan perlakuan diskriminatif terhadap ODHA, diskriminatif ini dalam bentuk

perlakuan tak sama yang diberikan kepada pihak tertentu. Perlakuan diskriminatif

terhadap ODHA bisa dari keluarga sendiri, teman dan kerabat, masyarakat sekitar,

ataupun pemerintah. Ketika identitas ODHA diketahui oleh keluarga dan lingkungan

sekitarnya, proses stigmatisasi dan diskrimininasi pun akan segera tertuju kepada

7
ODHA. Pemberian stigma dan perlakuan yang diskriminatif tentunya memberikan

tekanan yang tajam secara mental-psikologis pada ODHA. Karena itu pulalah orang

yang telah terjangkit HIV/AIDS lebih cenderung untuk menyembunyikan

identitasnya sebagai ODHA dari lingkungan keluarga dan sekitar karena takut

menerima stigma dan tindakan diskriminatif secara langsung. Tidak dapat dipungkiri

bahwa HIV AIDS membawa dampak yang cukup signifikan bagi ODHA itu sendiri.

Trauma, sikap membisu, suka menghindar, tidak Percaya Diri (PD), merasa jelek,

terhina, dan sebagainya adalah beberapa contoh dari apa yang ODHA rasakan.

Struktur yang bersifat menindas dan diskriminatif ini mulai dari penindasan

terhadap setiap minoritas yang menyimpang dari garis jenis dan orientasi seksual

seperti mayoritas heteroseksual terhadap minoritas homoseksual, juga penindasan dan

diskriminasi itu ditujukan kepada ODHA. Pemahaman yang baik terhadap ODHA

dapat diciptakan dan diperoleh melalui sarana pendidikan formal maupun informal.

Media film sebagai pendidikan informal dianggap mampu untuk memberikan

informasi yang cukup tentang ODHA dan diharapkan menciptakan sikap yang penuh

dukungan dan pengertian terhadap ODHA. Di sinilah arti penting dari media film

sebagai pendidikan yang sifatnya informatif dan antisipatif. Dikatakan informatif

karena dapat memberikan informasi dan pemahaman tentang ODHA dan dikatakan

antisipatif karena dapat bermanfaat pula dalam upaya pencegahan penularan virus

HIV/AIDS terhadap kerentanannya dari segi medis.

8
Film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta menggambarkan

seorang ibu rumah tangga yang menjadi korban karena tertular virus HIV (diperankan

oleh Susan Bachtiar) dari suaminya (Wingky Kurniawan) yang telah meninggal

karena over dosis dan ODHA, dan karena penyakit ini dia mendapatkan diskriminasi

oleh mertuanya dengan harus dipisahkannya dari anaknya.

Gambar 1.1

Adegan awal yang dalam film Perempuan Punya Cerita–segmen cerita

Jakarta memperlihatkan kekontrasan antara antara laki–laki dan perempuan.

Diperlihatkan diatas bahwa suaminya meninggal dunia di toilet sebuah club malam

karena over dosis bersama perempuan lain. Sedangkan istrinya berdoa dalam sebuah

klenteng. Perempuan yang digambarkan sebagai mahluk lemah dan taat beragama

namun tetap saja tertindas dalam kekuasaan kaum laki–laki. Perempuan yang hanya

menjadi korban karena tertular HIV AIDS dari suaminya sendiri. Harus berjuang

melawan penyakit yang dideritanya seorang diri sekaligus berjuang supaya bisa

membesarkan putrinya. Meskipun terlihat adanya perlawanan untuk tetap bersatu

9
dengan putrinya namun pada akhirnya, iapun tak kuasa menahan penyakitnya yang

semakin hari kian melemahkan fisiknya sehingga harus menyerahkan kuasa

perwalian anaknya kepada mertuanya.

Film Mika merupakan catatan harian seorang gadis bernama Indi yang

menderita skoliosis, lalu jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Mika yang

menderita AIDS. Mika dan Indi kemudian berpacaran. Adegan film Mika berawal

dari sebuah blog berwarna merah muda, berjudul “Mika Malaikatku” bergambar

seorang lelaki bersayap hitam terbang dan awan biru, berkaos kuning dan bercelana

panjang, dengan bantuan narasi yang tertulis didalam blog tersebut yang tujuan

membangun ketertarikan para penonton.

“Dear Mika, aku pernah janji sama kamu, aku akan membagi cerita ini
kalau aku sudah siap. Kamu tau Mika..? pertama kali kita ketemu, kamu
kelihatan bercahaya sekali. Kaya malaikat, dan semenjak saat itu aku
tahu, hidupku tak kan pernah sama seperti sebelumnya.”

Gambar I.2

Film Mika Menggambarkan bahwa HIV tidak menular dengan mudah, tidak

seperti virus Influenza atau Tubercolossis yang bisa melalui udara. Pengambaran lain

10
bahwa kita tidak boleh bersikap diskriminatif terhadap orang yang hidup dan

terdampak oleh HIVAIDS. Kehadiran Mika dalam kehidupan Indi berhasil membuat

ia bersemangat. Dimata Indi, Mika adalah malaikat tanpa sayap yang membangunkan

ia dari mimpi gelapnya. Mika bagaikan pelita yang menerangi hidup Indi untuk terus

maju. Puncak konflik dari film ini terjadi pada saat orang-orang di sekitar Indi tahu

soal hubungannya dengan Mika yang hidup dengan HIV, dan Mika yang akhirnya

kalah dalam perjuangan melawan penyakitnya dan meninggal dunia.

(http://www.odhaberhaksehat.org/2013/kisah-hiv-dan-aids-menjadi-inspirasi-

tontonan-film-bioskop/ diakses tanggal 1 Desember 2013)

Ketika sosok ODHA bersentuhan dengan gender dalam film Perempuan

Punya Cerita- segmen cerita Jakarta dan Mika. Obyektifikasi, komodifikasi atau

subordinasi seakan menjadi “nama umum” untuk melabeli ODHA. Penggambaran

ODHA dalam tokoh perempuan yang digambarkan sebagai sosok korban sedangkan

sosok heroik dalam penggambaran ODHA dalam tokoh laki–laki. Seolah–olah

meneguhkan bahwa perempuan hanya sebagai objek pasif, sedangkan laki–laki

adalah subjek aktif narasi. Serta tidak adanya penelitian tentang narasi mengenai

media dalam ranah kesehatan masyarakat membuat penulis tertarik untuk melihat

bagaimana narasi orang dengan HIV AIDS (ODHA) dalam film Perempuan Punya

Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika.

B. Rumusan Masalah

11
Dilihat dari latar belakang masalah di atas, maka dengan ini penulis dapat

merumuskan sebuah permasalahan yaitu : Bagaimana narasi ODHA (orang

dengan HIV AIDS) dalam film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita

Jakarta, dan Mika?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis struktur naratif pada

obyek yang telah dipilih, sehingga mendapatkan temuan tentang bagaimana

ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) yang digambarkan dalam struktur naratif

dalam film Perempuan Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian yang penulis lakukan ini adalah :

1. Manfaat Akademis

Dapat memiliki manfaat bagi perkembangan dan pendalaman bagi peminat

studi komunikasi khususnya tentang film sehingga mampu menjadi acuan

bagi studi–studi berikutnya terutama dalam metode penelitian kualitatif

analisis tekstual menggunakan analisis naratif.

2. Manfaat Praktis

12
Penulis diharapkan dapat menambah wawasan mengenai narasi ODHA (orang

dengan HIV AIDS) dalam film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita

Jakarta, dan Mika. Selain itu diharapkan penelitian ini memiliki manfaat

ktitik sosial khususnya dalam rangka meningkatkan kesadaran kritis

masyarakat terhadap media perfilm–an di Indonesia saat ini.

E. Kerangka Teori

Media film telah hadir dimana citra, suara, dan lensa membantu

menghasilkan rajutan kehidupan sehari–hari, mendominasi waktu luang, membentuk

pandangan–pandangan politik dan sikap sosial, dan memberikan bahan yang

digunakan orang untuk membangun identitas pribadi. Film memberikan contoh

tentang makna dari menjadi seorang pria atau wanita, dari kesusksesan atau

kegagalan, berkuasa atau tidak berkuasa, juga memberikan bahan banyak orang

untuk membangun naluri tentang kelas mereka, tentang etnis dan ras, kebangsaan,

seksualitas, tentang “kita” dan “mereka”. Media juga membantu membentuk

pandangan umum tentang dunia dan nilai–nilainya yang paling dalam dengan

mendefinisikan apa yang dianggap baik atau buruk, positif atau negatif, bermoral atau

biadab. Kisah dan citra media memberikan simbol, mitos, dan sumber yang

membantu terbentuknya budaya bersama bagi sebagian orang di berbagai belahan

dunia dewasa ini. Media turut membentuk pandangan kita terhadap dunia, opini

publik, nilai dan sikap, dan karenanya, merupakan forum penting pergulatan dan

kekuatan sosial (Douglas,2010:47) Film sebagai bahasa memberikan tanda–tanda

13
tempat makna diproduksi, sedangkan citraan visual dalam film merupakan konsep–

konsep yang dikombinasikan atau dipertukarkan dalam proses presentasi, sebuah

proses yang melibatkan pembuatnya dan penonton film tersebut (Stokes,2007 :18).

Kedua film yang menjadi objek dalam penelitian ini, disutradarai oleh perempuan dan

naskah yang dibuat oleh perempuan, kedua film ini bisa dikatakan sebagai film

perempuan.

1. Gender dan Kapitalisme Media

Paul Watson salah seorang pendiri Greenpeace menyatakan tentang perilaku

media massa. Menurutnya, konsep kebenaran yang dianut media massa bukanlah

kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap masyarakat sebagai kebenaran.

Ringkasnya, kebenaran ditentukan oleh media massa (Abrar,1995:59). Media

sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu

melalui penyebaran informasi.

Diskriminasi dan ketidakadilan terhadap ODHA merupakan produk dari

sebuah konstruksi sosial yang berasal dari kekuasaan kaum mayoritas mengakibatkan

struktur sosial yang tidak adil dan bersifat tidak setara di antara mayoritas dan

minoritas dalam konteks ras, anutan agama, nilai kultural, dan kecenderungan

seksual. Stigma negatif dan ketidakadilan terhadap ODHA pada dasarnya merupakan

implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas, selain

terdapat dalam ranah privat, juga terjadi di ranah publik. Dalam hal ini adalah

media publik yaitu film. ODHA sepertinya selalu ditampilkan sebagai kutukan

14
dan mahluk terbuang dalam bentuk visualisasi penindasan, bullying. Hal ini

menunjukkan telah terjadi komodifikasi ODHA dalam media, dimana konstruksi

sosial kaum mayoritas berperan besar. Film menampilkan wacana yang dapat

dijadikan pintu untuk memahami kondisi suatu masyarakat pada era tertentu.

Film dipandang sebagai proses ideologi, sehingga konstruksi sosial yang

membentuk masyarakat juga dapat dilihat melalui film.

Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam

masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar lebar. Begitu pula

halnya dengan masalah mengenai perempuan yang selalu menarik untuk dibicarakan

dan tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Pandangan masyarakat mengenai

perempuan sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh

media massa, terutama sinema atau film.

Dalam konteks gender (perempuan), konstruksi sosial muncul dalam

penampilan perempuan dalam peran-peran mereka di film tersebut seperti seksualitas,

feminitas dan stereotip perempuan (Siregar,2000:4). Citra perempuan dalam sinema

selalu berpotensi menjadi ancaman bagi laki–laki. Hal itu dikarenakan apabila citra

perempuan ditampilkan lebih positif maka bagi laki–laki akan memperlihatkan sosok

laki–laki menjadi sama dengan feminim. Oleh karenanya dalam sinema dominan

terdapat dua cara pandang untuk mengalihkan ancaman tersebut yaitu fetisisme dan

voyerisme. Fetisisme mengubah perempuan menjadi citra yang aman, dimana tubuh

perempuan tidak diperlihatkan secara utuh namun hanya beberapa bagian tubuh saja,

15
seperti kaki atau rambut. Voyerisme yaitu menganggap perempuan dapat

dikendalikan dan merupakan subjek kekuasaan laki–laki. Berdasarkan pandangan

tersebut bukan membuat perempuan sebagai citra yang baik tapi menjadi sumber

kenikmatan laki–laki dan bukan sebagai ancaman.

Menurut Mulvey, kehadiran perempuan dalam film adalah sebagai

pajangan, setara benda mati. Seberapapun pentingnya perempuan ini, bukanlah untuk

kepentingan perempuan itu sendiri. Melainkan untuk memenuhi hasrat voyeuristik

bagi tokoh laki–laki dalam film, begitupun penonton. Sebab, penonton akan

mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh laki–laki dalam film, kemudian menikmati

perempuan sebagaimana tokoh tersebut menikmatinya (Mulvey,1992:750-751).

Mulvey menambahkan bahwa citra perempuan dalam sinema mainsream yang

dihasilkan sebagai tontontan untuk pandangan laki–laki. Perempuan ditampilkan

sebagai objek pasif, sedangkan laki–laki adalah subjek aktif narasi.

Media massa memiliki ketergantungan yang relatif terhadap industri bisnis

atau lebih mudah disebut sebagai industri profit dengan sistem ekonomi media.

Selubung kapitalisme ini merupakan basis kepentingan kaum borjuis untuk

mengeksploitasi kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Budaya ini lahir tanpa

disadari, baik dalam bentuk visualisasi semiotika, pengelompokkan, pembagian

kerja, dan lain sebagainya. Media massa tidak hanya dianggap sekedar sebagai

hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan penerima pada lain pihak. Lebih

dari semua itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya

16
terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk

memproduksi makna berkaitan dengan peran teks didalam kebudayaan. Pendekatan

seperti ini disebut pendekatan strukturalisme yang bisa dikontraskan dengan

pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske,1990:39).

Media pada dasarnya adalah cermin dan refleksi dari masyarakat secara

umum. Karena itu, media bukanlah saluran yang bebas, dia juga subyek yang

mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.

Penanaman dan sisipan ideologi tertentu dalam sebuah tayangan di media massa

dapat menjadi keharusan bagi orang–orang yang mempunyai tujuan tertentu. Karir

politik, rating dan profit merupakan tujuan umum yang harus dicapai oleh para

penguasa media. Tayangan tentang ODHA, adalah suatu kemalangan yang dijadikan

komoditas oleh para penguasa media. Dianggap dapat memberikan rating yang tinggi

dengan cerita yang menguras air mata, sehingga mampu mendatangkan income yang

besar. Masyarakat perlu memahami bagaimana media menyampaikan kemalangan,

karena konstruksi ODHA merupakan bagian dari ideologi dominan kaum mayoritas.

Berbagai konsekuensi yang muncul akibat dari penyimpangan terhadap

kehidupan keterasingan sosok ODHA. Mereka yang juga memiliki kebebasan hidup

tanpa imbalan apapun, bebas dari segala sesuatu belenggu oleh kaum penindas

sebagai kaum mayoritas. Namun, mereka memiliki topeng yang bermacam-macam,

mulai dari budaya patriarkhi sampai budaya kapitalisme, yakni budaya yang hanya

menginginkan profit dalam industri bisnis. Mereka bergerak secara halus dalam

17
memanipulasi konstruksi realitas dalam media. Tanpa kita sadari, diskriminasi

ODHA menjadi dialektika sejarah kehidupan sosial.

Manakala media massa bergerak semata-mata dari dorongan modal untuk

profit, pada dasarnya sebagai institusi bisnis, sebenarnya tidak relevan mengaitkan

keberadaannya dengan norma kebebasan berekspresi. Sebab kaidah kebebasan

berekspresi merupakan acuan nilai bersama (shared value) yang menjamin hak publik

untuk mendapat informasi maupun hiburan yang sesuai dengan kepentingannya di

ruang publik. Benefit sosial bagi khalayak ditandai dengan tumbuhnya apresiasi

dalam konteks sosial dan kultural yang lebih baik terhadap ruang publik, sehingga

keberadaannya di ruang publik dapat diwujudkan dengan peran yang lebih baik pula.

Kesadaran tentang konstruksi sosial menjadi penting, sebab akan menjadi

titik tolak dari proses kreatif. Masalah yang perlu diapresiasi adalah bentuk-bentuk

penindasan yang berasal dari nilai mayoritas. Penindasan dapat bergerak dalam

bentuk kekerasan fisik sampai kekerasan simbolis yang bersifat psikhis. Penindasan,

pemberian stigma negatif serta bullying terhadap Odha misalnya, dapat dipandang

sebagai kekerasan simbolis jika tujuan akhir adalah kepentingan hegemoni pasar

dalam struktur kapitalisme.

Menurut McQuail, media kapitalis ada empat komponen aktor, yakni

audience, financial agency, media production and distribution, and regulative

agencies (McQuails, 2005:98). Keempat hal inilah yang menurut McQuail, menjadi

aktor besar sebagai konsepsi dalam industri media yang serba kapitalis. Namun, aktor

18
yang dominan dalam pembentukan media massa yang kapital adalah media

production dan financial agencies. Dua konsepsi lainnya merupakan komponen

yang relatif terpinggirkan dalam dominasi kapitalis, audience dan regulator.

Para produser mengendalikan isi medianya melalui cara–cara tertentu untuk

menyandikan pesan–pesan. Becker menggambarkan proses tersebut sebagai berikut:

Events do not signify...to be intelligible events must be put into


symbolic form..the communicator has a choice of codes or sets of symbols.
The one chosen affects the meaning of the events for receivers. Since every
langauge –every symbol—coincides with an ideology, the choice of a set
of symbols is, whether conscious or not, the choice of an ideology
(Peristiwa tidak bisa menunjukkan...agar bisa dipahami peristiwa harus
dijadikan bentuk–bentuk simbolis...si komunikator mempunyai pilihan
kode–kode atau kumpulan simbol. Pilihan tersebut akan mempengaruhi
makna peristiwa bagi penerimanya. Karena setiap bahasa---setiap bahasa
hadir bersamaan dengan ideologi, pilihan atas seperangkat simbol, sengaja
atau tidak, merupakan pilihan atas ideologi). (Littlejohn dalam Sobur
2002:93).

James Lull berpendapat, ideologi merupakan ungkapan yang paling tepat

untuk mendeskripsikan nilai dan agenda publik dari bangsa, kelompok agama,

kandidat dan pergerakan poltik, organisasi bisnis, sekolah, serikat buruh, bahkan regu

olah raga profesional dan orkes rock. Tetapi, menurut Lull, istilah itu paling sering

menunjukkan hubungan antara informasi dan kekuasaan sosial dalam konteks

ekonomi-politik berskala besar. Dalam pengertian ini, cara–cara berpikir yang terpilih

didukung melalui berbagai macam saluran oleh meraka yang mempunyai kekuasaan

politik dan ekonomi dalam masyarakat (Lull dalam Sobur 2002:65).

2. Konstruksi ODHA dan Teori Kepanikan Moral

19
Alex sobur, dalam bukunya “Analisis Teks Media” mengatakan bahwa

pekerjaan media adalah hasil dari para pekerja media mengkonstruksikan berbagai

realitas yang dipilihnya. Realitas yang dikonstruksi sangat bergantung pada ideologi

yang berada dibelakangnya, atau kepentingan yang bermain dibelakang meja kerja

para pekerja media tersebut. Sobur menambahkan bahwa seluruh isi media adalah

realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) (Sobur,2002:62).

Istilah konstruksi atas realitas sosial (social construction of reality) menjadi

terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Ia

menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, dimana individu

menciptakan secara terus–menerus suatu realitas yang dimilikinya dan dialami

bersama secara subyektif. Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial dikonstruksi

melalui proses eksternalisasi, objektivitas dan internalisasi. Konstruksi sosial, dalam

pandangan mereka, tidak berlangsung dalam ruang hampa atau kondisi netral, namun

sarat dengan kepentingan–kepentingan (Bungin,2008:13)

Media sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan

berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Media massa

bukan sesuatu yang bebas, independen, tetapi memiliki ketertarikan dengan realitas.

Jelasnya, bahwa ada berbagai kepentingan yang bermain dan menguasai media

massa. Selain kepentingan ideology masyarakat dan negara, dalam diri media massa

itu sendiri juga terselubung kepentingan lain. Misalnya, kepentingan kapitalisme

pemilik modal, kepentingan keberlangsungan lapangan kerja para karyawan dan

20
sebagainya. Lebih jauh, media sebagai hegemoni “penguasa ekonomi” terhadap

masyarakat pemirsa. Konteks ini terlihat jelas pada gagasan konstruksi sosial menjadi

bagian dari kekuasaan kapitalis dan alat kapitalisme dalam mengkonstruksi ideologi

masyarakat tentang diri dan kebutuhan masyarakat. Akhirnya dalam pandangan

sosial, realitas adalah ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan konstruksi realitas

sosial, dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu

berdasarkan subyektifitas individu lain dalam institusi sosialnya.

Proses pemapanan ideologi dalam masyarakat lewat narasi bisa dikaitkan

dengan teori kepanikan moral (moral panic) diperkenalkan oleh Stanley Cohen

(Stanley Cohen,1973:4-5). Kepanikan moral menurut Cohen adalah reaksi

masyarakat yang tidak proposional terhadap tindakan orang, kelompok, yang

dianggap menyimpang dari nilai dan norma sosial serta budaya yang berlaku. Para

penjaga moral (tokoh masyarakat, agamawan, dan editor) bersatu padu dalam

mendefenisikan suatu perilaku yang dianggap menyimpang. Dasar kepanikan moral

adalah rasa terancam masyrakat yang terlalu dibesar–besarkan karena representasi

tidak akurat suatu tindakan tertentu atau karena tindakan tersebut dianggap lebih

serius daripada hal lain.

Cohen menambahkan, perkembangan kepanikan moral selalu mengikuti

sebuah pola tertentu. Dia membedakan antara empat fase, yaitu sebagai berikut:

Pertama, peringatan (Warning). Ini ditandai dengan munculnya tanda–tanda yang

menunjukkan bahaya dari suatu kelompok, orang atau tindakan. Pada fase ini, mulai

21
muncul kesadaran (awareness) dari sejumlah masyarakat mengenai dampak negatif

perilaku/kelompok tertentu bagi masyarakat. Kedua, dampak (impact). Fase ini

berupa munculnya serangan, respons yang belum terorganisir atas tindakan, orang

atau kelompok. Pada tahap in, kelompok atau perilaku tertentu sudah didefinisikan

sebagai musuh (folk devils) yang harus dimusuhi. Ketiga, inventory. Tahapan ini

berupa penggambaran yang sistematis (dan buruk) mengenai kelompok atau orang,

beserta dengan akibat–akibat yang ditimbulkan. Dalam fase ini, media massa

memainkan peran sentral dalam menciptakan pengacau masyarakat. Keempat, reaksi.

Adanya respons yang formal untuk mengatasi dampak buruk tindakan. Misalnya

muncul peraturan, pembatasan aktivitas kelompok dan sebagainya (Cohen dalam

Eriyanto, 2013:223)

Media memainkan peranan penting dalam kepanikan moral (moral panic).

Ini terutama lewat kecenderungan mendistorsi dan melebih–lebihkan arti penting

peristiwa–peristiwa tertentu. Media secara aktif juga mengkonstruksi folk devils–

pengacau masyarakat, yakni kelompok–kelompok yang mengancam nilai–nilai

kemasyarakatan dan dianggap brutal serta berbahaya bagi “orang kebanyakan”. Folk

devils adalah istilah yang dipakai oleh Cohen untuk menggambarkan kelompok,

orang, perilaku yang menjadi “musuh media” karena dipandang membahayakan

nilai–nilai moral masyarakat. Di indonesia misalnya adalah kelompok gay maupun

lesbian, punk, hubungan tanpa nikah (kumpul kebo) dan juga terhadap ODHA.

22
Kepanikan moral (moral panic) adalah mekanisme bagi suatu komunitas

untuk menjaga nilai–nilai bersama seperti nilai kepantasan, moralitas, kesantunan dan

sebagainya. Jika ada suatu perilaku yang dipandang tidak sesuai dengan nilai–nilai

yang hidup dalam masyarakat, masyarakat mempunyai mekanisme diri dalam

menjaga nilai tersebut. Perilaku itu ditampilkan secara buruk dan menyimpang

(deviance), sebagai akibatnya ada alasan untuk memberikan retriksi pada perilaku itu

agar tidak berkembang (Eriyanto, 2013:227).

3. Genre Film

Istilah Genre berasal dari bahasa Perancis yang bermakna “bentuk” atau

“tipe”. Dalam film, genre dapat didefinisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari

sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama seperti; setting, isi dan

subyek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi, serta

karakter. Klasifikasi tersebut menghasilkan genre-genre popular seperti aksi,

petualangan, drama, komedi, horor, roman dan sebagainya. Dengan demikian fungsi

genre bisa dikatakan adalah untuk memudahkan klasifikasi film, genre membantu

kita memilah-milah film-film tersebut sesuai dengan spesifikasinya

(Pratista,2008 :10)

Selain itu, genre juga bisa sebagai antisipasi penonton terhadap film

yang akan ditonton. Jika seseorang telah menentukan untuk melihat film dengan

genre tertentu, maka sebelumnya ia telah mendapat gambaran umum (ide) di

kepalanya tentang film yang akan ia tonton. Sehubungan dengan penelitian ini,

23
genre digunakan untuk melihat dan memahami ideologi apa yang ditunjukkan

oleh film-film Lasja F Susatyo, sehingga dalam analisis mempermudah pembacaan

representasinya dalam konteks ideologi film tersebut.

Genre dibagi menjadi; Genre primer: merupakan genre-genre pokok

yang telah ada dan popular sejak perkembangan sinema era 1900-an hingga 1930-

an, misalnya aksi, drama, komedi, horror, fantasi, serta fiksi ilmiah. Genre

sekunder: merupakan turunan atau pengembangan dari genre primer misalnya

detektif, thriller, spionase, dan superhero. Perlu dicatat bahwa sebuah film bisa

memiliki klasifikasi multi genre, hal ini merupakan pengembangan trend film dan

pasarnya (Pratista,2008:11).

Bordwell & Thompson menekankan bahwa bintang atau artis yang ikut

dalam pembuatan film juga bisa digunakan sebagai indikator untuk menentukan

genre.

“As a visual medium, cinema can also define genre through conventional
iconography. Even stars can become iconography – Judy Garland for the
musical, John Wayne for the Western, Arnold Schwarnegger for the action
picture, Bill Murray for comedy. (Sebagai media visual, film juga bisa
mendefinisikan genre dengan iconography. Bahkan bintang juga bisa
menjadi iconography – Judy Garland untuk musikal, John Wayne untuk
Western, Arnold Schwarnegger untuk film aksi, Bill Murray untuk
komedi” (David Bordwell & Kristin Thompson, 2004:111)

Sama halnya dengan bintang dan artis Indonesia, karena di sini ada juga

beberapa artis yang hanya bermain di genre tertentu sehingga bisa menjadi ikonografi

genre film Indonesia. Misalnya saja, Suzanna untuk film horor mistik, Warkop DKI

24
untuk komedi, dan Vino Sebastian untuk film drama. Film drama sering kali

terinspirasi dari kejadian yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Temanya berasal

dari isu sosial skala besar seperti ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi,

ketidakharmonisan, masalah kejiwaan, penyakit masyarakat, kemiskinan, dan

sebagainya. “Film-film drama umumnya berhubungan dengan tema, cerita, set,

karakter, serta suasana yang memotret kehidupan nyata. Konflik bisa dipicu oleh

lingkungan, diri sendiri, maupun alam. Kisahnya sering kali menggugah emosi,

dramatik, dan sering menguras air mata (tearjeker) penontonnya (Pratista,2008:

Materi Kuliah Teori Film)”. Sehingga dalam film bergenre drama, kesuksesan

filmnya juga ditentukan dengan kebenaran sosial tercermin dalam “kebenaran” film

tersebut.

4. Narasi Film

Narasi berasal dari kata latin narre, yang artinya “membuat tahu”. Dengan

demikian, narasi berkaitan dengan upaya untuk memberitahu sesuatu atau peristiwa.

Narasi adalah representasi dari peristiwa–peristiwa atau rangkaian dari peristiwa–

peristiwa (Eriyanto,2013:1-2). Narasi merupakan rangkaian peristiwa yang disusun

melalui hubungan sebab akibat dalam ruang waktu tertentu

(Brodwell&Thompson,2000:83). Naratif adalah sebuah cara utama tentang

bagaimana manusia mengatur pengalaman–pengalaman mereka dalam sebuah

episode yang penuh makna. Naratif merupakan sebuah cara akan penalaran dan

25
sebuah representasi baik melalui berbagai media (lisan atau tertulis) seperti novel,

surat, film, sinetron (Fulton,2005:27)

Film dibentuk oleh dua unsur pembentuk yakni; unsur naratif, dan

unsur sinematik. Kedua unsur tersebut saling berinteraksi dan berkesinambungan

satu sama lain untuk membentuk sebuah film. Masing–masing unsur tidak akan

dapat membentuk film jika berdiri sendiri-sendiri. Bisa dikatakan bahwa unsur

naratif adalah bahan atau materi yang akan diolah, sedangkan unsur sinematik

adalah cara dan gaya untuk mengolahnya (Pratista,2008:11).

Dalam film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita film. Jika

naratif adalah pembentuk cerita, maka unsur sinematik adalah semua aspek

teknis dalam produksi sebuah film. Dengan kata lain jika naratif adalah nyawa

sebuah film, maka unsur sinematik adalah tubuh fisiknya. Namun bukan berarti

sinematik kalah penting dari naratif, karena unsur sinematik inilah yang

membuat sebuah cerita menjadi sebuah karya audio visual berupa film

(Pratista,2008:3).

Peran sinematik dalam penelitian ini adalah untuk memberi koridor yang

lebih spesifik terhadap karakter - karakter dalam film Perempuan Punya Cerita-

segmen cerita Jakarta, dan Mika bentuk mise-en-scene. Unsur sinematik meliputi

a. Mise en scene adalah segala aspek yang berada didepan kamera yang

akan diambil gambarnya, yakni setting (penunjuk ruang dan waktu untuk

26
memberikan informasi yang kuat dalam mendukung cerita filmnya), tata

cahaya, kostum dan tata rias wajah, serta pergerakan pemain.

b. Sinematografi secara umum dapat dibagi menjadi tiga aspek, yakni:

kamera dan film, framing, serta durasi gambar. Kamera dan film mancakup

teknik-teknik yang dapat dilakukan melalui kamera dan stok filmnya.

Framing adalah hubungan kamera dengan objek yang akan diambil,

seperti batasan wilayah gambar atau frame, jarak, ketinggian, pergerakan

kamera dan seterusnya. sementara durasi gambar mencakup lamanya

sebuah obyek diambil gambarnya oleh kamera.

c. Editing tahap pasca produksi: pemilihan serta penyambungan shot-shot

yang telah diambil; tahap setelah filmnya selesai: teknik yang digunakan

untuk menghubungkan tiap shot-nya.

d. Suara dalam film dapat kita pahami sebagai seluruh suara yang keluar

dari gambar, yakni dialog, musik, dan efek suara.

Sinematografi secara sederhana merupakan aspek teknis dalam film, aspek

dalam sinematografi meliputi aspek kamera, framing dan durasi gambar. Di bagian

ini akan diperinci aspek sinematografi yang lebih fokus kepada visualisasi

gambar dalam film yaitu framing (Pratista,2008:89). Framing merupakan relasi

kamera dengan objek yang diambilnya, framing sangat pent ing dalam sebuah

film karena melalui “jendela” inilah penonton disuguhkan semua jalinan

27
peristiwa dan menentukan persepsi si penonton terhadap sebuah gambar atau shot.

Framing berkaitan erat dengan jarak, sudut, serta pergerakan kamera terhadap

objek, penjelasannya sebagai berikut: (Pratista,2008:100)

1. Jarak kamera

Jarak yang dimaksud adalah dimensi jarak kamera terhadap objek yang

diambil, adapun dimensi jarak kamera terhadap objek secara garis besar dibagi

menjadi tiga yakni Long shot, Medium shot, dan Close-up, secara mendetil dan

disesuaikan dengan kebutuhan efek yang ingin dicapai bisa dikelompokkan

menjadi tiga besar yakni:

a. Long shot

Pada jarak ini wujud fisik manusia telah tampak jelas. Shot ini

digunakan sebagai establishing shot yakni shot pembuka sebelum digunakan

shot-shot yang lebih dekat. Pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah

lutut sampai ke atas, objek utama dan latar terlihat seimbang.

b. Medium shot

Pada jarak ini memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gestur

serta ekspresi wajah mulai tampak. Menunjukkan hubungan yang bersifat

personal.

28
c. Close up

Umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki, atau sebuah objek kecil

lainnya. Teknik ini mampu memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta

gesture yang mendetil, biasanya digunakan untuk adegan dialog yang

intim (Pratista, 2008:104-105).

2. Sudut kamera

Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap objek yang berada

dalam frame, secara umum dibagi menjadi tiga sudut yaitu:

a. Straight angle;

Posisi kamera berbanding lurus dengan objek yang diambil, sebagian

besar gambar dalam film biasanya menggunakan angle ini.

b. High angle / tilt down

Sudut ini mampu membuat sebuah objek seolah tampak lebih kecil, lemah

serta terintimidasi.

c. Low angle / tilt up

Sudut ini membuat sebuah objek tampak lebih besar, dominan, percaya diri

serta kuat (Pratista,2008:106)

29
Kedua elemen yang membentuk sebuah framing tersebut selain alasan

teknis juga mampu membawakan penggambaran sebuah sebuah peristiwa dalam

film, penonton bisa dibuat merasa terancam ketika sosok monster terlihat besar

sekali dengan menggunakan teknik low angle. Demikian juga dalam film-film

bertema AIDS yang disutradari oleh Lasja F Susatyo, framing ini akan digunakan

untuk melihat posisi hubungan karakter-karakter saat dalam sebuah adegan,

sehingga akan menunjukkan emosi yang dibawakan oleh mereka.

Bagian yang penting dalam analisis naratif adalah cerita (story) dan alur

cerita (plot). Kedua aspek ini penting dalam memahami suatu narasi, bagaimana

narasi bekerja, bagian mana dari suatu peristiwa yang ditampilkan dalam narasi, dan

bagian mana yang tidak ditampilkan (Eriyanto,2013:15-16). Sebuah narasi tidak

mungkin memindahkan waktu yang sesungguhnya (dalam realitas dunia nyata) ke

dalam sebuah teks. Karena itu, dalam analisis naratif akan dilihat perbandingan

waktu. Ada tiga aspek penting untuk dilihat dalam analisis mengenai waktu, yakni

sebagai berikut (Eriyanto,2013:24) :

a. Durasi, adalah waktu dari suatu peristiwa. Pertama, durasi cerita merujuk

kepada keseluruhan waktu dari suatu peristiwa dari awal hingga akhir. Kedua,

durasi dari cerita ini bisa bulan, tahun, bahkan ratusan tahun, tergantung dari

peristiwa. Durasi plot merujuk kepada waktu keseluruhan dari alur (plot)

suatu narasi. Durasi plot umumnya lebih pendek dibandingkan dengan durasi.

Ketiga, durasi teks, ini merujuk kepada waktu dari suatu teks.

30
b. Urutan peristiwa (order), adalah rangkaian peristiwa satu dengan peristiwa

yang lain sehingga membentuk narasi. Pertama, urutan cerita (story order).

Dalam cerita (story), urutan bersifat kronologis, cerita adalah peristiwa

sesungguhnya, sehingga pasti bersifat kronologis. Kedua, urutan plot (plot

order). Dalam plot, rangkaian peristiwa bisa bersifat kronologis, bisa juga

tidak kronologis. Penulis cerita bisa masuk ke peristiwa saat ini, dan

kemudian peristiwa sebelumnya disajikan dalam bentuk kilas balik

(flashback). Ketiga, urutan teks (screen order). Sama seperti urutan plot,

dalam teks atau screen, urutan adegan bisa berupa kronologis bisa juga tidak

(Teresa,dalam David Herman, 2007: 57).

c. Frekuensi peristiwa yang ditampilkan, mengacu kepada berapa kali suatu

peristiwa yang sama ditampilkan (Luc & Bart Vervaeck 2001: 66). Dalam

cerita (order), kategori frekuensi pasti tidak ada. Karena peristiwa dalam

kondisi nyata, pasti hanya terjadi satu kali, dan tidak mungkin diulang. Tetapi

dalam plot atau teks (screen), mungkin saja peristiwa dihadirkan beberapa

kali. Pertama, frekuensi plot. Ini merujuk kepada berapa kali suatu peristiwa

ditampilkan dalam plot. Suatu peristiwa ditampilkan berulang–ulang untuk

menekankan makna tertentu dalam narasi. Kedua, frekuensi teks. Ini merujuk

kepada berapa kali suatu adegan ditampilkan dalam keseluruhan narasi

(Eriyanto,2013:35).

31
Selain waktu, aspek penting lain dari sebuah narasi adalah ruang. Sama

dengan waktu, dalam ruang (space), ada tiga perbedaan: ruang cerita (story space),

ruang alur (plot space), dan ruang teks (screen space) (Gillespie,2006:96). Adapun

yang dimaksud dengan ruang alur (plot space) adalah ruang yang disajikan secara

eksplisit dalam sebuah narasi. Tempat–tempat yang diacu dalam narasi disajikan dan

diceritakan secara eksplisit dalam narasi. Ruang teks (screen space) adalah ruang atau

tempat yang bukan hanya disajikan secara eksplisit tetapi juga ditampilkan

keasliannya dalam narasi. Dalam sebuah film, umumnya ini dilakukan dengan jalan

pengambilan gambar (shot) narasi yang diceritakan. Sementara ruang cerita (story

space) adalah ruang atau tempat yang tidak disajikan secara eksplisit dalam narasi,

tetapi khalayak bisa membayangkan tempat tersebut lewat hubungan sebab akibat

atau kaitan antara satu tokoh dengan tokoh lain dalam narasi (Eriyanto,2013:38).

Dari unsur naratif inilah kita bisa melihat alur cerita, dan juga

karakter-karakter yang memainkan sebuah film. Selain menyampaikan cerita, narasi

juga menyampaikan ideologi sebuah budaya, dan merupakan cara yang di dalamnya

nilai-nilai dan ideal-ideal direproduksi secara kultural. Karena itu, analisis

naratif kerap digunakan untuk membongkar maksud ideologis sebuah karya

(Stokes,2007:72-73).

32
F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang merupakan

sebuah riset yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena sedalam–dalamnya. Riset

atau penelitian naratif ini tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling

bahkan populasi atau sampling sangat terbatas. Didalam riset ini yang lebih

ditekankan persoalan kedalaman data (kualitas) data dan bukan banyaknya (kuantitas)

(Kriyanto,2006:58). Adapun dalam penelitian ini menggunakan metode analisis

naratif kualitatif yakni menggunakan teks dalam sebuah narasi sebagai bahan

analisisnya. Narasi pada dasarnya adalah penggabungan berbagai peristiwa menjadi

satu jalinan cerita. Karena itu, titik sentral dalam analisis naratif adalah mengetahui

bagaimana peristiwa disusun dan jalinan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain–

misalnya mengapa peristiwa satu ditampilkan diawal sementara peristiwa lain di

akhir, bagaimana peristiwa satu dan peristiwa lain dirangkai menjadi satu kesatuan

(Eriyanto,2013:15)

Analisis naratif membantu kita memahami bagaimana pengetahuan, makna

dan nilai diproduksi dan sebarkan dalam masyrakat. Memahami bagaimana dunia

sosial dan politik diceritakan dalam pendangan tertentu yang dapat membantu kita

mengetahui kekuatan dan nilai sosial dominan dalam masyrakat (Ronald &

Sobieraj,2007:7). Banyak cerita (seperti narasi sejarah) lebih merepresentasikan

kekuatan dominan, kelompok berkuasa yang ada dalam masyrakat.

33
Media narratives, like all narratives, are told form particular
perspectives, privileging certain viewpoints and versions of events over
others. Knowing what (and whose) stories get told or remain untold is
crucial to understanding the exercise of power in society. Stories about
events and characters, real or fictional, may be shaped in ways that serve
the interest of powerful institusions such as goverment or bussiness
(Gillespie,2006:83)

Melalui analisis naratif kita misalnya bisa mengetahui aktor atau karakter

mana yang diposisikan sebagai pahlawan dan sebaliknya bisa mengetahui karakter

mana yang diposisikan sebagai penjahat. Film disajikan dalam bentuk cerita, dan

dalam cerita tersebut sebenarnya terdapat nilai–nilai dan ideologi yang ingin

ditonjolkan oleh pembuat film. Narasi berperan dalam membentuk apa yang

dipandang benar dan apa yang dipandang salah, apa yang boleh dan tidak boleh.

Narasi tidak hanya berisi tentang peristiwa dan karakter, tetapi didalamnya juga

terdapat nilai–nilai benar–salah, baik–buruk yang ada dalam masyarakat. Dalam

konteks ini, narasi berkaitan dengan ideologi.

Menurut John Fiske, ideologi bisa dipahami sebagai proses umum produksi

makna dan gagasan (Fiske,1990:166). Ideologi berkaitan dengan pandangan atau

sistem keyakinan yang dipercaya oleh masyarakat. Kepercayaan itu diterima oleh

anggota masyarakat sebagai sesuatu yang absah dan dipandang benar. Disini tidak

begitu penting untuk mengetahui apakah kepercayaan dan keyakinan itu diperoleh

lewat paksaan atau sukarela, yang paling penting anggota masyarakat menerima

keyakinan atau kepercayaan itu sebagai sebuah kebenaran dan mengikat masyarakat.

Sekarang ini, istilah ideologi memang mempunyai dua pengertian yang bertolak

34
belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia

(worldview) yang menyatakan nilai–nilai kelompok sosial tertentu untuk membela

dan memajukan kepentingan–kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif,

ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk

melakukan penipuan dengan cara memutar balikkan pemahaman orang mengenai

realitas sosial (Jorge Larrin dalam Sunarto,2001:31). Narasi mengikat dan

memperkuat ideologi (keyakinan dan kepercayaan) yang ada dalam masyarakat.

Lewat cerita, karakter dan peristiwa, anggota masyarakat diperkenalkan apa yang

baik dan apa yang buruk. Cerita–cerita tersebut menjadi panduan bagi anggota

masyarakat dalam berperilaku dan bersikap.

Dalam penelitian ini, penulis menganalisis dengan mengamati bagaimana

cerita (story) dan plot, struktur narasi dan karakter. Menurut Algirdas Greimas (dalam

Eriyanto,2013:197), analisis naratif dapat dilakukan dengan menganalisis karakter

menggunakan model aktan dan memperhatikan oposisi segi empat dalam narasi.

Dengan model aktan peneliti akan melihat bagaimana karakter dalam narasi

diposisikan serta melihat relasi antar karakter yang ada dalam narasi. Hal ini bisa

memperjelas peristiwa yang terjadi. Relasi antar karakter akan membantu

menjelaskan bagaimana proses perwujudan sebuah makna dalam medium komunikasi

berupa film serta bagaimana gejala–gejala sosial terjadi dan dinarasikan dalam

sebuah film.

35
Dengan menganalisis menggunakan oposisi segi empat dalam narasi, akan

membantu peneliti melihat fenomena dengan lebih detail dan akan mendapat banyak

masukan fenomena dan peristiwa secara tersirat selain yang sudah jelas didalam film.

Karena dalam kenyaataanya realitas tidak hanya terbagi dalam dua sisi yang saling

bertentangan, misalnya baik dan buruk. Sehingga diharapkan penelitian ini mampu

menganalisis nilai–nilai dominan dan ideologi yang terdapat dalam obyek penelitian.

2. Tahap–tahap Penelitian

Dalam penelitian “Odha dalam Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta

dan Mika (Analisis Naratif Orang Dengan HIV AIDS dalam Film Perempuan Punya

Cerita–Segmen Jakarta (2007) dan Mika (2013), peneliti akan menganalisis melalui

beberapa tahap. Pertama, peneliti mendapatkan film Perempuan Punya Cerita–

Segmen Jakarta (2007) dan Mika (2013) dari membeli VCD, menonton film kedua

film tersebut, kemudian menganalisis film dengan fokus pada beberapa elemen yaity

story & plot, struktur narasi, fungsi dan karakter narasi. Dengan menganalisis

karakter menggunakan model aktan dan semantic square Greimas dengan

menentukan scene–scene yang telah dipilih dari obyek film . Dengan cara

menguraikan adegan–adegan yang terdapat dalam film. Dari masing–masing adegan

tersebut, kemudian diuraikan karakter dan fungsi narasi yaitu objek, subjek, pengirim

(destinator), penerima (receiver), pendukung (adjuvant), dan penghalang (traitor).

Dari rangkaian adegan yang telah diuraikan fungsi dan karakternya tersebut, penulis

kemudian diharapkan bisa melihat kontradiksi, konsistensi, dan peran dari masing–

36
masing karakter dalam narasi. menganalisis kedua film tersebut dengan

memfokuskan pada dua hal yakni : Odha dalam sosok laki – laki sebagai pahlawan

dalam film Mika dan Odha dalam sosok perempuan sebagai korban dalam film

Perempuan Punya Cerita–segmen cerita Jakarta.

Tabel 1.1
Scene dan dialog perbedaan Odha dalam film Mika dan
Perempuan Punya Cerita – segmen cerita Jakarta

No Odha laki–laki sebagai Odha perempuan sebagai Korban


pahlawan dalam film Mika dalam film Perempuan Punya
Cerita–segmen cerita Jakarta

1.

Adegan: laki-laki meninggal dunia


Adegan blog bergambar seorang dengan jarum suntik di lengan
laki–laki bersayap terbang diatas (representasi drug user). Salah satu
awan penularan HIV/AIDS adalah
melalui jarum suntik IDU (injections
drug user)
2.

Adegan menggambarkan sosok


Adegan wajah Mika bercahaya, wanita yang sedang melakukan
representasi dari malaikat sembahyang di klenteng,
Dialog : Kamu tau Mika..? merepresentasikan tipe perempuan
pertama kali kita ketemu, kamu baik–baik yang taat beragama.
kelihatan bercahaya sekali. Kaya
malaikat.

37
3.

Adegan tokoh Indi menggambar


Mika sebagai sosok malaikat Dialog Laksmi dan seorang penagih
bersayap dalam buku diarynya hutang : “kamu pasti tahu, kelakuan
suami kamu”.

4.

Dialog :“ápa aku bilang pap. Si


Dialog : Kamu selalu menguatkan Reno kena AIDS gara-gara dia. Ini
aku saat aku lagi lemah buktinya. Ternyata dia juga positif,
kita harus bawa cucu kita”. dialog
tersebut merepresentasikan Laksmi
sebagai korban dari fitnah orang tua
Reno. Sehingga melarikan diri dari
rumah bersama putrinya.

5.

Dialog : kadang hidup memang Adegan yang bersetting di dalam


aneh, kadang seseorang yang klenteng memiliki frekuensi yang
meninggal ternyata malah bisa cukup sering, merepresentasikan
membuat orang yang wanita yang taat beribadah
ditinggalkannya jadi lebih hidup.

38
a. Tema Penelitian

Orang dengan HIV AIDS yang digambarkan dalam struktur naratif film Perempuan

Punya Cerita–Segmen Jakarta dan Mika, keduanya bertema sama namun memiliki

perbedaan. Keduanya mewakili masing–masing cerita dan nilai yang disampaikan

oleh pembuatnya

b. Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini film yang menjadi obyek penulis dalam penelitian adalah

struktur naratif yang terdapat dalam film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta

dan Mika yang bertema ODHA. Dari kedua film tersebut adalah :

1. Perempuan Punya Cerita–segmen cerita Jakarta rilis pada tahun 2007.

Film Perempuan Punya Cerita–segmen cerita Jakarta menceritakan sebuah

ketakutan yang hanya mengada-ada terhadap HIV AIDS, penyakit yang di nilai

sebagai penyakit negatif di angkat didalam cerita ini. Hingar bingarnya kota Jakarta

tidak menyurutkan perjuangan Laksmi (Susan Bachtiar) untuk mengalahkan penyakit

HIV AIDS yang dideritanya dan juga memperjuangkan Belinda, anaknya ketika

dituduh menularkan penyakit itu ke suaminya oleh mertuanya (Ratna Riantiarno).

Laksmi adalah seorang ibu dengan satu anak. Walau ingin memperjuangkan

segalanya dan ingin meraih mimpi-mimpi indahnya bersama Belinda putri semata

wayangnya. Dia tetap seorang ibu yang bijaksana dan kuat. Namun ditengah usaha

kerasnya, Laksmi harus menyerahkan hak perwalian anaknya kepada mertuanya

karena penyakit HIV AIDS yang dideritanya.

39
2. Mika rilis pada tahun 2013.

Film Mika menceritakan tentang Indi (Velove Fexia) adalah seorang

perempuan penderita scoliosis yang sebelumnya pendiam, polos dan tidak percaya

diri. Sikap pasif tersebut disebabkan karena tidak mudah mencari teman seumurannya

yang bisa meneriama kondisi cacat tulang belakangnya. Lalu datanglah Mika (Vino G

Sebastian) dalam kehidupan Indi. Dia mengenalnya pada saat dia sedang berlibur di

rumah baru omnya. Hari pertama berkenalan Mika mengatakan bahwa dia sakit HIV.

Indi menilai Mika adalah sosok yang jujur. Sebaliknya, Ibu Indi malah menganggap

Mika adalah beban. Akhirnya mereka berdua berpacaran, Mika selalu menjadi

pahlawan bagi Indi. Berkat Mika, Indi meninggalkan sifat pasifnya menjadi lebih

ceria dan percaya diri. Namun akhirnya Mika harus menyerah dengan penyakit HIV

AIDS yang menggerogoti tubuhnya dan meninggal dunia.

G. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membutuhkan data–data untuk

keperluan penelitian. Peneliti mendapatkan data–data sebagai berikut :

1. Dokumentasi

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan observasi melalui pengamatan dan

menonton kedua film bertema ODHA dalam bentuk video yaitu film Perempuan

Punya Cerita- segmen cerita Jakarta, dan Mika, sehingga diharapkan nantinya akan

40
membantu mengetahui mengenai struktur dalam narasi–narasi terhadap orang dengan

HIV AIDS (ODHA) dalam film Perempuan Punya Cerita–Segmen Jakarta dan Mika

2. Studi Pustaka

Teknik ini merupakan cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan kategori

bahan–bahan tertulis yang berhubungan dengan penelitian, baik dari sumber

dokumen maupun buku–buku, koran majalah dan tulisan–tulisan pada media internet.

H. Sumber Data

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari pengamatan yang dilakukan

dengan melihat, mencermati dan mengamati kedua film yang bertema ODHA yaitu

Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika yang dalam bentuk video.

2. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh melalui sumber–sumber lain, seperti buku–buku, jurnal,

media online, serta media lain yang menunjang dalam penelitian ini.

I. Teknik Analisi Data

Analisis data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis catatan

hasil observasi, studi pustaka dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti

tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain. Hal ini

41
bertujuan agar data yang telah diperoleh lebih mudah untuk dibaca dan

diinterpretasikan.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data kualitatif dimana

dalam penelitian kualitatif akan menghasilkan data deskriptif berupa kata–kata

tertulis atau lisan dari informan dalam penelitian. Data deskriptif tersebut berupa

narasi–narasi kualitatif yang diperoleh dari hasil analisis video kedua film bertema

AIDS dalam film Perempuan Punya Cerita-segmen cerita Jakarta, dan Mika.

Adapun analisis tekstual atau teks pada penelitian ini menggunakan teks media

berupa video dari kedua film tersebut menggunakan elemen–elemen sebagai berikut:

A. Story & Plot

Cerita dan alur (plot) berbeda. Plot adalah apa yang ditampilkan secara

eksplisit dalam sebuah teks. Sementara cerita (story) adalah urutan kronologis dari

suatu peristiwa, dimana peristiwa tersebut bisa ditampilkan dalam teks bisa juga tidak

ditampilkan dalam teks. Sebuah narasi pada dasarnya mengangkat suatu peristiwa

tertentu. Peristiwa yang utuh (dari awal hingga akhir) disebut dengan cerita (story).

Peristiwa utuh ini bisa ditampilkan bisa juga tidak ditampilkan dalam teks. Sementara

alur (plot) adalah peristiwa yang eksplisit yang ditampilkan dalam teks

(Lacey,2000 :16).

42
Berdasarkan urutan peristiwa, cerita (story) menampilkan peristiwa secara

berurutan, kronologis dari awal hingga akhir. Sementara alur (plot), urutan peristiwa

bisa dibolak–balik (Herman,2007:43). Pembuat cerita (story teller) berkepentingan

untuk membuat narasi yang disajikan menarik. Karena itu, urutan peristiwa yang

disajikan tidak selalu mengikuti kronologi waktu, tetapi diatur peristiwa mana yang

menarik terlebih dahulu, baru disusul dengan peristiwa pendukung yang tidak

menarik, pembuat cerita juga ingin khalayak bisa menikmati narasi, karena itu urutan

waktu diatur agar menimbulkan ketegangan bagi pembaca narasi. Dengan memahami

perbedaan cerita (story) dengan plot, kita bisa menggambarkan apakah narasi

menampilkan peristiwa secara utuh, apakah peristiwa berdasarkan urutan kronologis

tertentu. Jika urutan peristiwa tidak disajikan secara kronologis, bagaimana urutan

tersebut ditampilkan dalam teks.

B. Struktur Narasi

Sebuah narasi mempunyai struktur. Jika sebuah narasi dipotong–potong, maka

narasi mempunyai beberapa bagian (sub) dimana masing–masing bagian saling

berhubungan. Seorang ahli sastra dan budaya asal Bulgaria, Tzveten Todorov

mengajukan gagasan mengenai struktur dari suatu narasi. Gagasan Todorov menarik

karena ia melihat teks mempunyai susunan atau struktur tertentu. Pembuat teks

disadari atau tidak menyusun teks ke dalam tahapan atau struktur tersebut, sebaliknya

khalayak juga membaca narasi berdasarkan tahapan atau struktur tersebut. Bagi

Todorov, narasi adalah apa yang dikatakan, karenannya mempunyai urutan

43
kronologis, motif dan plot, dan hubungan sebab akibat dari sebuah peristiwa

(Todorov,1977:111). Menurut Todorov, suatu narasi mempunyai struktur dari awal

hingga akhir. Narasi dimulai dari adanya keseimbangan yang kemudian terganggu

oleh adanya kekuatan jahat. Narasi diakhiri oleh upaya untuk menghentikan

gangguan sehingga keseimbangan (ekuilibrium) tercipta kembali. Jika digambarkan,

struktur sebuah narasi sebagai berikut (Todorov,1997:111) :

Ekuilibrium Gangguan Ekuilibrium


(keseimbangan) (kekacauan) (keseimbangan)

Narasi diawali dari sebuah keteraturan, kondisi masyarakat yang tertib.

Keteraturan tersebut kemudian berubah menjadi kekacauan akibat tindakan dari

seorang tokoh. Narasi diakhiri dengan kembalinya keteraturan. Dalam banyak cerita

fiksi, ini misalnya ditandai dengan musuh yang berhasil dikalahkan, pahlawan yang

hidup bahagia, masyarakat yang bisa dibebaskan sehingga menjadi makmur dan

bahagia selamanya. Sejumlah ahli memodifikasi struktur Todorov tersebut, misalnya

yang dilakukan oleh Nick Lacey (lacey,2000:29) dan Gillespie (Gillespie,2006:97-

98). Lacey dan Gillespie memodifikasi struktur narasi tersebut menjadi lima bagian.

Modifikasi terutama dibuat untuk tahapan antara gangguan ke ekuilibrium. Tahapan

yang ditambahkan misalnya gangguan yang makin meningkat, kesadaran akan

terjadinya gangguan dan klimaks (gangguan memuncak). Bagian terpenting lain yang

ditambahkan adalah adanya upaya untuk menyelesaikan gangguan.

44
Tabel 1.2
Tabel perbandingan struktur narasi menurut Lacey dan Gilliepie

No Lacey Gillespie

1. Kondisi keseimbangan dan keteraturan Eksposisi, kondisi awal

2. Gangguan (disruption) terhadap Gangguan, kekacauan


keseimbangan
3. Kesadaran terjadi gangguan Komplikasi, kekacauan
makin besar
4. Upaya untuk memperbaiki gangguan Klimaks, konflik memuncak

5. Pemulihan menuju keseimbangan Penyelesaian akhir

Penjelasan dan diskripsi dari perbandingan struktur narasi menurut Lacey dan

Gilliespie adalah sebagai berikut:

1. Kondisi awal, kondisi keseimbangan dan keteraturan.

Narasi umumunya diawali dari situasi normal, ketertiban dan keseimbangan.

Dalam narasi tentang superhero, umumnya diawali oleh kondisi kota yang

damai, kerajaan yang makmur, dan seterusnya. Atau narasi tentang sebuah

keluarga, diawali dengan kondisi keluarga yang harmonis dan bahagia.

2. Gangguan (disruption) terhadap keseimbangan

Bagian atau struktur kedua dari narasi adalah adanya gangguan (disruption). Ini

bisa berupa tindakan atau adanya tokoh yang merusak keharmonisan,

keseimbangan, atau keteraturan. Kehidupan yang normal dan tertib, setelah

adanya tokoh atau tindakan tertentu berubah menjadi tidak teratur. Dalam film

45
tentang superhero misalnya, babak kedua ini ditandai oleh kehadiran musuh

(villain) yang melakukan tindakan jahat yang mengubah ketertiban sebuah kota.

Penduduk menjadi terancam dan tidak tertib. Gangguan ini juga bisa berupa

tindakan tertentu dari aktor yang bisa mengubah ketertiban. Suatu keluarga

yang harmonis, berubah kacau ketika sang ayah melakukan selingkuh, atau anak

mengonsumsi narkotika. Tindakan itu mengubah keluarga menjadi tidak

harmonis, hubungan yang baik menjadi buruk dan seterusnya

3. Kesadaran terjadi gangguan

Pada tahap ketiga, gangguan (disruption) makin besar, dan dampaknya makin

dirasakan. Pada tahap ini, gangguan umunya mencapai titik puncak (klimaks).

Dalam narasi mengenai superhero, babak ini ditandai oleh kekuatan musuh

yang makin kuat. Musuh berhasil memperoleh pengikut dan dampak yang

ditimbulkan oleh musuh tersebut, makin besar dirasakan oleh penduduk. Atau

sebuah cerita keluarga, pada tahap ini kekacauan mengalami titik puncak.

Perselingkuhan yang dilakukan oleh ayah misalnya membuat konflik dikeluarga

makin besar, keluarga diambang perceraian.

4. Upaya untuk memperbaiki gangguan

Pada tahap ini, narasi biasanya berisi tentang hadirnya sosok pahlawan (hero)

yang berupaya untuk memperbaiki kondisi. Di tahap ini, sudah ada upaya untuk

menciptakan keteraturan kembali, meskipun upaya itu digambarkan mengalami

46
kegagalan. Dalam narasi mengenai superhero misalnya, ditahap ini sudah

muncul perlawanan terhadap musuh. Tetapi musuh terlalu kuat, umumnya

pahlawan (hero) digambarkan kalah terlebih dahulu.

5. Pemulihan menuju keseimbangan

Tahap ini adalah babak terakhir dri suatu narasi. Kekacauan yang muncul pada

babak dua, berhasil diselesaikan sehingga keteraturan bisa dipulihkan kembali.

Penduduk bisa bekerja dengan aman, keluarga menjadi harmonis kembali dan

seterusnya. Dalam narasi superhero, tahapan ini biasnya digambarkan

bagaimana pahlawan (hero) berhasil mengalahkan musuh.

C. Fungsi dan Karakter Narasi

Didalam narasi (cerita) terdapat karakter, yakni orang atau tokoh yang

mempunyai sifat atau perilaku tertentu. Karakter tersebut masing–masing mempunyai

fungsi dalam narasi, sehingga narsi menjadi koheren (menyatu). Narasi tidak hanya

menggambarkan isi, tetapi juga di dalamnya terdapat karakter–karakter. Dengan

adanya karakter, akan memudahkan bagi pembuat cerita (storyteller) dalam

mengungkapkan gagasannya. Karakter disini bisa sesuatu yang dekat atau jauh dari

kehidupan sehari–hari khalayak tetapi membantu untuk menggambarkan dunia atau

realitas (Uri Margolin dalam David Herman,2007:71). Sebagai misal, pembuat cerita

ingin menyampaikan pesan bahwa kebaikan akan berhasil melawan kejahatan meski

kejahatan didukung oleh kekuatan besar. Agar pesan tersampaikan, pembuat cerita

47
membutuhkan karakter–karakter yang bisa mewakili isi pesan, mulai dari karakter

pahlawan (orang baik), penjahat hingga karakter–karakter yang membantu pahlawan

dan penjahat.

Seorang ahli bahasa asal Lithuania, Algirdas Greimas mengembangkan lebih

lanjut gagasan Propp. Greimas menganalogikan narasi sebagai struktur makna

(semantic structure). Mirip sebuah kalimat yang terdiri atas rangkaian kata–kata,

setiap kata dalam kalimat menempati posisi dan fungsinya masing–masing (sebagai

subjek, objek, predikat, dan seterusnya) (Eriyanto,2013:95-96). Kata yang satu juga

mempunyai relasi dengan kata yang lain sehingga membentuk kesatuan yang koheren

dan mempunyai makna. Narasi menurut Greimas juga harus seperti sebuah semantik

dalam kalimat. Karakter dalam narasi menempati posisi dan fungsinya masing–

masing. Lebih penting dari posisi itu adalah relasi dari masing–masing karakter.

Sebuah narasi dikarakterisasi oleh enam peran, yang disebut Greimas sebagai aktan

(actan) dimana aktan tersebut berfungsi mengarahkan jalannya cerita. Karena itu,

analisis Greimas ini kerap juga disebut sebagai model aktan. Keenam peran tersebut

bisa digambarkan sebagai berikut (Greimas,1983:202)

48
Tabel 1.3
Tabel Karakter Greimas
No Karakter Deskripsi

1. Subjek Menduduki peran utama sebuah cerita, tokoh utama yang


mengarahkan jalannya cerita.

Merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Objek bisa


2. Objek berupa orang, tetapi bisa juga sebuah keadaan atau kondisi
yang dicita – citakan.
Merupakan penentu arah, memberikan aturan dan nilai – nilai
3. Pengirim dalam narasi. Pengirim umumnya tidak bertindak secara
(destinator) langsung, ia hanya memberikan perintah atau aturan – aturan
kepada tokoh dalam narasi.
Karakter ini berfungsi sebagai pembawa nilai dari pengirim
4. Penerima (destinator). Fungsi ini mengacu kepada objek tempat dimana
(reciever) pengirim menempatkan nilai atau aturan dalam cerita
Pendukung Karakter ini berfungsi sebagai pendukung subjek dalam
5. (adjuvant) usahanya mencapai objek.
Penghalang Karakter ini berfungsi sebaliknya dengan pendukung, dimana
6. (traitor), karakter ini menghambat subjek dalam mencapai tujuan.

Pengirim Objek penerima


(Destinator) (Receiver)

Pendukung Subjek penghambat


(Adjuvant) (Traitor)

Greimas melihat ketertarikan antara satu karakter dengan karakter lain. Dari

fungsi – fungsi dalam sebuah narasi, secara sederhana bisa dibagi ke dalam tiga relasi

struktural, sebagai berikut: (Silverman,1993:74-75)

49
1. Relasi struktural antara subjek versus objek.

Relasi ini disebut juga sebagai sumbu hasrat atau keinginan (axis of desire).

Objek adalah tujuan yang ingin dicapai oleh subjek. Menurut Cohan and Shires,

hubungan antara subjek dengan objek adalah hubungan langsung yang bisa

diamati secara jelas dalam teks (Steven Cohan & Linda,1998:69-70). Relasi

antara subjek dan objek ini bisa berupa hubungan yang dikehendaki oleh kedua

belah pihak (misalnya, seorang pahlawan sebagai subjek yang ingin

membebaskan putri dari penculikan penjahat) atau tidak dikehendaki (seorang

penculik ingin menyekap korbannya). Objek ini tidak harus selalu berupa orang,

tetapi juga berupa keadaan. Misalnya keinginan dari pahlawan (subjek) untuk

membebaskan suatu negeri dari raja yang kejam (objek). Dalam film Mika bisa

dilihat bahwa Mika (subjek) ingin membebaskan Indi (Objek) dari rasa minder,

tidak percaya diri dan sifat tertutupnya.

2. Relasi antara pengirim (destinator) versus penerima (receiver).

Relasi ini disebut juga sebagai sumbu pengirim (axis of transmission). Pengirim

memberikan nilai, aturan, atau perintah agar objek bisa dicapai. Sementara

penerima adalah manfaat setelah objek berhasil agar dicapai oleh subjek.

Sebagai misal, seorang raja (pengirim) memberikan perintah kepada prajurit

agar membebaskan putri (objek) yang ditawan oleh seorang penyihir. Objek

dari cerita ini adalah membebaskan putri, yang menjadi inti atau tujuan dari

50
keselurihan cerita. Sementara penerima (receiver) adalah putri. Dalam film

Mika, Mika meminta kepada kedua sahabatnya untuk menjaga Indi (receiver)

3. Relasi struktural antara pendukung (adjuvant)

Relasi ini disebut juga sebagai sumbu kekuasaan (axis of power). Pendukung

melakukan sesuatu untuk membantu subjek agar bisa mencapai objek,

sebaliknya penghambat melakukan sesuatu untuk mencegah subjek mencapai

objek. Sebagai misal, dalam suatu cerita, pahlawan mendapat bantuan dari

orang pintar, pedang, kuda, sementara pahlawan juga mendapat halangan dari

penyihir, naga, dan sebagainya (Eriyanto,2013:95-97).

Greimas juga memperkenalkan sebuah terminologi yang disebut sebagai segi

empat semiotik (semiotic square). Dalam oposisi segi empat, fakta atau realitas bisa

dibagi ke dalam empat sisi (S1, S2, S1, S2 ). Hubungan antara S1 dengan S2 dan S1 antara

dengan S2 adalah hubungan oposisi. Hubungan antara S1 dengan S2 dan antara S2

dengan S1 adalah hubungan kontradiksi. Sementara hubungan antara S1 dengan S1 dan

antara S2 dengan S2 adalah hubungan implikasi. (Greimas & Courtes,1979,308-311)

51
S1 S2

S1 S2

Keterangan :
: Relasi oposisi (kebalikan)
: Relasi kontradiksi
: Relasi implikasi

Gambar 1.3, Oposisi segi empat/ semiotika dari Greimas


Sumber : Julien Greimas and Jean Courtes (1979), Semiotics and
Language : An Analytical Dictionary, Blomington : Indiana University
Press, hal 309

Melalui oposisi segi empat bisa dijelaskan berbagai latar dan kondisi

masyarakat, serta peristiwa yang bukan hanya dari hal yang berlawanan saja,

melainkan juga sisi lain ditengah–tengah itu. Melalui oposisi segi empat, kita bisa

menafsirkan suatu narasi lenbih baik dibandingkan dengan menggunakan oposisi

biner (Eriyanto,2013:202). Beberapa langkah dilakukan dalam tahapan segi empat

ini. Pertama, membagi gambaran ODHA dalam empat sisi, peneliti mengambil

gambaran sosok ODHA dalam tokoh laki-laki sebagai kepahlawanan dan perempuan

sebagai korban, seperti bagan dibawah ini:

Laki-laki kepahlawanan

52
Perempuan korban
Gambar 1.4, Gambaran Odha dalam oposisi segi empat dari Greimas

Relasi kebalikan (oposisi), kontradiksi dan implikasi diantara oposisi segi

empat tersebut juga mempunyai struktur yang lebih rumit. Greimas

menggambarkan sebagai dimensi struktur (structural dimensions) dan struktur

semik (semic structure). Selengkapnya hubungan tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 1.4
Dimensi Struktur dan semik
Relasi Dimensi Struktur Struktur Semik

Kebalikan (oposisi) Sumbu S (kompleks) S1 + S2


Sumbu S ( netral) S1 + S2
Kontradiksi Skema 1 S1 + S1
Skema 2 S2 + S2
Implikasi Deixis 1 S1 + S2
Deixis 2 S2 + S1
Sumber: Algerdas Jullien Greimas, 1987, On Meaning : Selected Writing in
Semiotic Theory, London : Frances Printer, hal 51

53

Anda mungkin juga menyukai