Anda di halaman 1dari 3

Representasi Gender Wanita Melalui Kacamata Male Gaze Pada Film Indonesia

Menurut Fakih (1994) gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi secara sosial-kultural. Sedangkan, menurut Eviota (1993) gender
berati perbedaan–perbedaan sifat laki-laki dan perempuan yang tidak berdasarkan biologis, akan
tetapi pada hubungan–hubungan sosial, budaya antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi
oleh struktur masyarakatnya. Dalam artian, gender adalah sebuah konsep konstruksi kultural
dengan tujuan membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-
laki dan perempuan yang berkembang dalam realitas sosial masyarakat. Gender sendiri diciptakan
oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Artinya konsep gender dapat berubah-ubah antara satu
jenis kelamin dengan jenis kelamin lainya karena gender dapat dikelompokan tergantung budaya
manusia. Dan representasi menurut Hartley (2010) adalah representasi dipandang sebagai suatu
bentuk usaha dalam mengonstruksi baik makna maupun realitas. Pada konteks media, bahasa, dan
komunikasi, representasi dapat berwujud kata, gambar, sekuen, cerita dan lain-lain yang mewakili
ide, emosi, fakta, dan lain sebagainya. Berdasarkan pengertian diatas, maka representasi gender
adalah suatu penggambaran oleh media mengenai peran, posisi, dan tanggung jawab antara laki-
laki dan perempuan. Seperti, media merepresentasikan bahwa laki-laki harus memiliki sikap yang
kuat tidak boleh menangis dan perempuan harus memiliki sikap yang lemah lembut, representasi
tersebut lah yang membuat suatu konsep gender pada masyarakat.
Pada saat ini, dimedia terutama media massa menjadi tempat yang tepat untuk membentuk
suatu konsep ataupun pola pikir terhadap masyarakat, salah satunya konsep gender sendiri. Banyak
sekali konsep gender yang sudah dibentuk oleh media massa, salah satunya di bidang media
perfilman. Film merupakan salah satu jenis media massa yang memiliki peran sebagai pembentuk
konstruksi khalayak atas realitas sosial terutama mengenai isu gender. Film juga dapat membuat
pengemasan gender yang membentuk budaya baru dalam pengembangan masyarakat,
pembentukan tersebut diciptakan oleh orang-orang pemegang kepentingan yang ada didalamnya.
Namun, seringkali pengemasan gender dalam film membuat kesenjangan antar gender terutama
terhadap wanita. Menurut Mulvey (1989:19) terdapat berbagai isu feminism dan masalah
kesenjangan antar gender yang dibingkai sedemikian rupa dalam budaya pop. Hal ini karena,
budaya pop sendiri seringkali menggunakan males gaze dalam mempresentasikan wanita. Menurut
Laura Mulvey dalam esainya yang berjudul “Visual Pleasure anda Narrative Cinema” (1975)
Male Gaze adalah gagasan dimana perempuan menjadi objektifitas lewat lensa kamera dan hanya
dilihat dengan cara tertentu dalam posisi pasif untuk audiens laki-laki. Hal tersebut dapat dilihat
dari film “Selesai” karya Tompi sebagai sutradara dan Imam Darto sebagai penulis naskah.
Film “Selesai” mengisahkan tentang rumah tangga Broto dan Ayu yang sedang mengalami
permasalahan besar hingga diujung tanduk akibat perselingkuhan antara Broto dan Anya.
Perselingkuhan Broto pun tidak hanya sekali tetapi berkali-kali dengan wanita yang sama yaitu
Anya hingga dua tahun yang membuat Ayu ingin menceraikan Broto, tetapi hal tersebut terhalang
karena kehadiran orang tua Broto yang tinggal di rumah mereka karena terjebak lockdown. Film
“Selesai” setelah kerilisanya di platform online banyak menuai kontroversi tentang wanita, karena
film tersebut dianggap terlalu menyudutkan wanita bahkan dalam pembuatan film tidak
melibatkan wanita didalam ke produksian tersebut, maka film “Selesai” dianggap menggunakan
kacamata Male Gaze bahkan seringkali lensa kamera tertuju pada seksis wanita yaitu Ayu dan
Anya. Contoh lensa kamera seksis yang paling menjijikan adalah ketika karakter Bambang ingin
melakukan hubungan seksual oleh Yani, namun hal tersebut ditolak oleh Yani karena harus
bekerja. Bambang malah melakukan mastrubasi dengan membayangkan sosok Ayu yang
kebetulan sedang berdiri disebrang Bambang dan hal tersebut dinormalisasikan, tentu saja dalam
adegan tersebut merepresentasikan gender wanita hanya sebagai objek seksualnya laki-laki. Tidak
hanya itu, terdapat beberapa representasi gender wanita yang buruk pada film “Selesai”.
Pertama, film “Selesai” juga merepresentasikan wanita sebagai karakter yang materialistik,
contohnya pada adegan Anya yang senang dan akan memberikan apapun termasuk tubuhnya
kepada Broto karena dibelikan apartement. Kedua, film ini juga merepresentasikan wanita selalu
dipoposi yang salah dalam konflik rumah tangga terutama konflik perselingkuhan, pada film ini
karakter Broto sama sekali tidak disalahkan karena melakukan selingkuh dengan Anya bahkan
seringkali berbohong pada Ayu, justru karakter Broto menyudutkan Ayu yang menyebabkan
perselingkuhan Broto. Tidak hanya itu, ketika ibu Broto dan Adik Broto ingin menyelesaikan
konflik tetap saja yang disalahkan adalah Ayu daripada Broto yang sudah selingkuh selama dua
tahun, hingga karakter Anya pun muncul dan berkata “aku positif hamil” kepada Broto tetap Ayu
menjadi korban dan tidak ada pembenaran sedikitpun pada karakter Ayu. Dan ketiga, film ini
merepresentasikan gender wanita sebagai objek seksual laki-laki dan alat repoduksi saja.
Contohnya pada adegan Bambang yang ingin datang ke rumah Yani hanya untuk melakukan
hubungan seks saja bahkan ketika Yani menolak Bambang terlihat kesal dan berkata “Sia-sia dong
aku nyamperin kamu kesini!”. Tidak hanya itu, karakter Ayu pun menjadi alat reproduksi ibu
Broto saja yang memaksa Ayu untuk cepat hamil karena ingin memiliki cucu tetapi ketika Anya
yang malah terlebih dahulu hamil, ibu Broto malah mengabaikan Ayu. Pada akhir perfilman
Selesai, karakter Ayu yang menjadi korban malah dibuat menjadi gangguan jiwa dan terlihat Ayu
yang salah dalam permasalahan rumah tangga ini karena mengalami gangguan jiwa.
Contoh lain pada perfilman Indonesia yang menggunakan kacamata Male Gaze adalah film
horror yaitu Rintihan Kuntilanak Perawan (2010) dan Hantu Puncak Datang Bulan (2010) yang
mana kedua film tersebut lebih menonjolkan keseksian wanita ketimbang alur ceritanya, hal
tersebut dapat kita lihat pada kedua poster film. Poster film Rintihan Kuntilanak Perawan,
memperlihatkan Angel Legal berparkaian seksi serta berpose seksi, dan poster pada film Hantu
Puncak Datang Bulan, memperlihatkan seorang wanita hanya menggunakan handuk saja dan
berpose seksi lalu bagian tubuhnya dipegang oleh tokoh hantu pada film tersebut. Tidak hanya
memperlihatkan postur tubuh wanita saja, tetapi film horror di Indonesia kerap kali menjadikan
wanita sosok antagonis atau menjadi karakter hantu di film tersebut, seolah gender wanita memang
yang cocok untuk menjadi penjahat.
Dari ketiga film tersebut dapat disimpulkan, bahwa kacamata Male Gaze membuat
representasi gender wanita terlihat negatif dan mengalami kesenjangan gender. Yang mana, gender
wanita seringkali jadi bahan objek seksualitas saja untuk laki-laki seperti film Selesai, Rintihan
Kuntilanak Perawan, dan Hantu Puncak Datang Bulan. Dan tentu saja hal tersebut harus segera
diubah, karena media perfilman dapat membentuk konsep gender dan pola pikir masyarakat yang
menonton. Seperti, adegan mastrubasi yang dilakukan Bambang bisa saja membuat masyarakat
berfikir hal tersebut normal, padahal adegan tersebut sangat menjijikan bagi wanita bahkan dapat
terjadi pelecehan. Oleh karena itu, ketika laki-laki ingin membuat film mengenai wanita alangkah
baiknya wanita ikut terlibat dalam pembuatan film, begitu juga dengan perempuan apabila ingin
membuat film mengenai laki-laki. Tidak hanya itu, pada setiap perfilman Indonesia khususnya
apabila tema film mengenai seksual alangkah baiknya untuk meriset dan memperbanyak edukasi
seks kepada penonton, agar penonton dapat lebih memahami dari maka seks itu sendiri dan akan
mengurangi kesenjangan gender pada dunia perfilman dan representasi gender lebih baik lagi.
Karena, sudah saatnya media perfilman di Indonesia lebih baik lagi dalam hal cerita dan makna
film tersebut terutama mengenai seksual karena perfilman adalah salah satu media yang digemari
oleh masyarakat Indonesia.

Sumber :

Kontroversi, Kritik, hingga Jawaban Tompi soal Film “Selesai.” (2021). Detik Hot.Com, 1.
https://hot.detik.com/celeb/d-5690264/kontroversi-kritik-hingga-jawaban-tompi-soal-film-selesai

Handayani, R. (2017). Male Gaze Dalam Fotografi Model: Objektifikasi Dan Komersialisasi
Tubuh Perempuan. Jurnal Jurnalisa, 3(1), 91–105. https://doi.org/10.24252/jurnalisa.v3i1.3086

Nabilla, F. (2021). Sinopsis Film Selesai: Perselingkuhan dalam Rumah Tangga Gading Marten
dan Ariel Tatum. Suara.Com, 1.
https://www.suara.com/entertainment/2021/08/18/170852/sinopsis-film-selesai-perselingkuhan-
dalam-rumah-tangga-gading-marten-dan-ariel-tatum?page=all

Pemita, D. (2018). Bukan Seram, Deretan Film Horor Indonesia Ini Justru Tampilkan Wanita
Seksi. Liputan6.Com, 1. https://www.liputan6.com/showbiz/read/3492753/bukan-seram-deretan-
film-horor-indonesia-ini-justru-tampilkan-wanita-seksi

Safira, 16321048 Tazkia. (2020). Gender dan Seksualitas dalam Kacamata Male Gaze (Analisis
Semiotika Film The Favourite). https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/29836

Sumarni. (2021). Dinilai Merendahkan Perempuan, Tompi Dihujat Bikin Film Selesai.
Suara.Com, 1. https://www.suara.com/entertainment/2021/08/20/113612/dinilai-merendahkan-
perempuan-tompi-dihujat-bikin-film-selesai

Anda mungkin juga menyukai