Anda di halaman 1dari 16

Anggota Kelompok:

Dwi Sanjaya Vicko Marthin S. (1543010004)


Aditya Putra Pratama (1543010034)
M. Syahril Furqon (1543010121)
Rizaldi Rivan Kurniawan (1543010123)

Analisis Resepsi Perempuan Terhadap Sifat Maskulin Tokoh


Sitkom OK JEK
(Studi Deskriptif Kualitatif Tokoh Sarah Dalam Sitkom OK JEK)

Bab I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Media massa menurut Defleur dan Denis (Winarso, 2005 : 171) merupakan suatu
alat yang digunakan untuk komunikasi dalam penyampaian pesan dengan
menggunakan suatu teknologi, dimana sasaran media tersebut merupakan khalayak
yang besar dan masal yang menyimak dan merasakan terpaan pesan dengan caranya
sendiri. Fungsi media massa menurut Jay Black dan F.C Whitney yaitu media massa
memberikan hiburan, melakukan persuasi dan sebagai transmisi budaya atau tempat
berlalunya nilai-nilai budaya dan sosial diluar kita. Fungsi media massa secara umum
dalam berbagai wacana ada empat fungsi untuk mempengaruhi. Keempat fungsi
tersebut sangatlah melekat erat dalam media massa secara utuh dan fungsi-fungsi
tersebut sering berhubungan, mempengaruhi atau mendukung satu dengan lainnya
sehingga pelaksanaannya harus dilakukan secara bersama-sama tanpa
mengesampingkan salah satu diantaranya (Winarso, 2005 : 28). Salah satu fungsi
media massa sebagai hiburan dapat ditemukan pada tayangan televisi.

Media massa televisi adalah bentuk penggambaran dari realita yang terjadi dalam
masyarakat.Televisi menampilkan realitas sosial yang ada di masyarakat melalui
tayangan-tayangannya, termasuk menampilkan realitas tentang kehidupan antara
perempuan dan laki – laki. Salah satu program televisi yang paling banyak diminati
oleh masyarakat adalah program komedi. Komedi situasi atau sitkom merupakan
bagian dari suatu humor yang menjadi hiburan di kalangan penonton. Penggambaran
kehidupan antara perempuan dan laki – laki dalam setiap sitkom Indonesia juga
menampilkan penggambaran perempuan yang didominasi oleh laki – laki, ada satu
komedi situasi baru yang berusaha menampilkan realitas kehidupan yang berbeda.
Serial komedi situasi yang tayang.

Selain di Indonesia, situasi komedi juga ditayangkan di negara lain dengan


sebutan yang lain juga, misalnya sitkom yang merupakan serial komedi televisi di
negara-negara kawasan Amerika. Istilah sitkom adalah akronim dari situasi dan komedi.
Sitkom diproduksi secara elektronis diatas pita magnetik. Komedi Situasi (Sitkom)
diproduksi dan ditayangkan tidak terlepas dari konteks budaya yang melatar
belakanginya. Penonton bisa menikmati suatu tayangan apabila penonton mengenali
dan merasa akrab dengan konteks budaya yang melatar belakanginya. Pada sitkom,
Konteks budaya justru harus ditampilkan kuat karena sifat komedi yang kultural.
Penonton hanya bisa tertawa atau merasa tergelitik jika penonton mengenali
konteksbudayanya.

Pada umumnya dalam media, perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang
tidak jauh dari peran domestik seperti masalah dapur, mengurus anak, belanja untuk
kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Tak jarang dipososikan sebagai subornidat laki-
laki, misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran- peran melayani atau
menopang kebutuhan laki-laki. Sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan
bermasyarakat; banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan
kebiasaan atau adat masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini.

Maskulinitas adalah sebuah konstruksi sosial laki-laki dan perempuan berkaitan


erat dengan permasalah gender. Menurut Zimmerman menjelaskan bahwa gender
(yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak
melekat dalam diri seseorang. Tetapi, dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu.
Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang
tepat adalah diaktifkan secara situasional.

Senada dengan itu menurut Mosse mengungkapkan secara mendasar gender


berbeda dengan jenis kelamindimana kita dilahirkan sebagai laki-laki dan perempuan.
Namun yang menjadikan kita kemudian disebut maskulin dan feminine adalah
gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang
‘memaksa’ kita mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan masyarakat
bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Mosse mengumpamakan sebagai
kostum dan topeng teater dimana kita berperan sebagai feminine dan maskulin.
Melihat pernyataan Mosse serta Zimmerman di atas bahwa konsepsi individu tentang
perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan bahwa
gender berbeda dengan jenis kelamin dalam artian gender dapat dipertukarkan dan
berubah berdasarkan kepentingan situasional. Dengan demikian sah-sah saja
perempuan memposisikan dirinya berperan sebagaimana laki-laki, dia tidak lagi
feminine seperti anggapan umumnya seperti lemah lembut, lemah fisik, halus, rendah
hati, bersikap manis dan sejenisnya. Namun maskulin : rasional, cerdas, pengambil
keputusan yang baik, tegas dan perkasa (Mosse, 2007 : 2).

Komedi Situasi (Sitkom) OK-JEK tayangan yang memakan waktu selama 20-30
menit dengan tema berubah-berubah dari waktu ke waktu tetapi menggunakan latar,
lokasi, dekorasi, dan karakter yang hampir sama setiap kali tayang televisi. Cocok
untuk penonton yang menginginkan hiburan ringan dan tidak terlalu berdrama seperti
sinetron ataupun telenovela. OK-JEK adalah sebuah sitkom bergenre drama komedi
yang ditayangkan oleh stasiun televisi NET. Sinetron ini menganggat fenomena yang
sedang populer saat ini yaitu tukang ojek online. Cerita Komedi Situasi (Sitkom) OK-
JEK berfokus kepada para driver OK-JEK dan orang-orang disekitar mereka,
jugamasalah-masalah yang sering dialami para driver dan managementnya. Komedi
Situasi (Sitkom) OK-JEK mencoba menghadirkan dan menampilkan maskulinitas
dalam penokohan Sarah yaitu seorang driver perempuan OK-JEK.

Tokoh Sarah berbeda dengan stereotipe perempuan dalam media. Perempuan


dalam media ataupun yang banyak digambarkan sebagai sosok yang lemah dan pasrah
terhadap keadaan, namun berbeda dengan Sarah, walaupun masih digambarkan
sebagai wanita cantik mempunyai beberapa karakter maskulin. Televisi merupakan
bagian dari komunikasi massa yang digunakan sebagai medium penyampaian pesan.
Menurut laswell, “who says what which channel and what effect”, dianalogikan
dengan sitkom sebagai pesan (yang ingin disampaikan), televisi sebagai media, dan
ideologi feminisme tersampaikan melalui sitkom.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, peneliti tertarik untuk melakukan


penelitian mengenai analisis resepsi perempuan terhadap sifat perempuan maskulin
dalam tokoh Sarah di Sitkom OK JEK NET TV. Karakter Sarah yang maskulin
ditunjukkan dengan rasa ingin menghasilkan uang sendiri dengan cara menjadi tukang
ojek online dan tidak sungkan berkumpul dengan para tukang ojek lainnya. Hal-hal
inilah yang membuat peneliti tertarik dengan objek penelitianini karena film ini
menampilkan sosok perempuan yang memiliki ciri-ciri fisik berbeda dengan
stereotype perempuan tradisional dalam film kebanyakan yang biasanya
mengidentikkan dengan keramahan, lemah, sensitive dan ciri perempuan feminine
lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan


membuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari
pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi alami (Creswell, 1998 : 15).
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling,
yaitu cara penentuan informan yang ditetapkan secara sengaja atas dasar kriteria dan
pertimbangan tertentu. Kriteria informan dalam penelitian ini adalah perempuan,
berdomisili di Surabaya, pernah menonton sitkom OK JEK dan cukup memahami
unsur maskulin dan tokoh Sarah yang terdapat pada sitkom tersebut. Menurut Bogdan
dan Taylor (Moloeng, 2007 : 3) metode pengumpulan data yang penulis gunakan
yaitu analisis resepsi. Konsep teoritik terpenting dari analisis resepsi adalah bahwa
teks media penonton/pembaca bukanlah makna yang melekat pada teks media
tersebut melainkan makna yang diciptakan dalam interaksinya antara khalayak
(penonton) dan teks. Dengan kata lain, makna yang diciptakan karena menonton atau
membaca dan memproses teks media. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat
bagaimana perempuan di Surabaya menerima pesan yang di berikan oleh media yaitu
sifat maskulin dalam tokoh Sarah. Penelitian dilakukan di kota Surabaya, karena kota
Surabaya memiliki banyak figur perempuan – perempuan berprestasi, cerdas, beretika
baik, lemah lembut, dan rendah hati.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai


berikut: Bagaimana penerimaan perempuan terhadap sifat maskulin dalam tokoh
Sarah di sitkom OK JEK?
1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menegetahui bagaimana penerimaan


perempuan di Surabaya terhadap sifat maskulin dalam tokoh Sarah di sitkom OK
JEK.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam


perkembangan kajian mengenai media, khusunya komunikasi massa. Selain
itu diharapkan penelitian ini dapat memberikan pandangan baru dalam kajian
ilmu komunikasi khususnya mengenai program acara televisi (sitkom),
terutama jika dilihat dari sudut pandang analisis resepsi.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penerimaan


perempuan di Surabaya terhadap sifat maskulin dalam tokoh Sarah di sitkom
OK JEK.

1.4.3 Kegunaan Akademis

Secara akademis hasil penelitian ini dapat memperkaya kajian ilmu


komunikasi yang menjelaskan keberlakuan teori – teori komunikasi mengenai
penerimanaan terhadap sifat maskulin tokoh perempuan yang terdapat di
dalam media. Selain itu penelitian ini dapat dijadikan bahan bagi peneliti
selanjutnya.
Bab II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Peninjauan terhadap penelitian terdahulu tentunya diperlukan untuk


menghindari kesamaan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, serta
dapat dijadikan referensi untuk memperkaya wawasan peneliti. Hasil peninjauan
tersebut sebagai berikut:

1. Skripsi berjudul Representasi Perempuan Maskulin Sebagai Perlawanan


Terhadap Patriarki Dalam Sitkom OK-JEK (Analisis Semiotika Charles
Sanders Pierce) yang disusun Luna Safitri Salsabil pada tahun 2016 dari
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Melihat aspek perempuan maskulin
pada sitkom OK-JEK dengan menggunakan analisis semiotik Charles
Sanders Pierce. Hasil penelitian ini adalah maskulin merupakan konstruksi
sosial, perempuan bisa memiliki karakteristik maskulin, hegemoni
patriarki dipatahkan oleh situasi komedi ini.
2. Jurnal Perempuan, Agama, dan Gender Volume 10, Nomor 2 yang
berjudul Diskriminasi Gender di Media Televisi yang disusun Nursalim
pada tahun 2011 dari Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Suska Riau. Melihat aspek bagaimana wanita mempresentasikan
kepada masyarakat di televisi. Hasil dari penelitian ini adalah perempuan
adalah makhluk yang belum sepenuhnya berdiri sendiri, tetapi masih
membutuhkan laki-laki untuk melindungi diri. Pandangan ini tidak akan
berubah jika media dan masyarakat pada umumnya tidak berusaha untuk
mengubahnya. Padahal manusia itu pada hakikatnya sama dan tergantung
pada diri untuk mencari persamaan tersebut.
3. Skripsi yang berjudul Pemaknaan Remaja Terhadap Lambang Pada Iklan
Provider Seluler (Studi Pada Iklan Televisi IM3 Versi Kamseupay) yang
disusun oleh Nur Anisa Hamid pada tahun 2012 dari Program Studi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Melihat aspek pemaknaan non verbal seperti tanda, simbol dan lambang
yang terdapat pada iklan dengan menggunakan pendekatan analisis resepsi
serta menggunakan remaja sebagai informan. Hasil penelitian ini adalah
penerimaan makna non verbal yang berupa lambang pada iklan televisi
IM3 Versi Kamseupay terhadap remaja.

2.2 Landasan Teori

2.1.1 Komunikasi Massa

Komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass


communication yang artinya adalah media komunikasi massa. Media yang dimaksud
adalah media massa yang dihasilkan oleh teknologi modern. Hal ini perlu ditekankan
sebab ada media yang bukan media massa yakni media tradisional seperti kentongan,
angklung, gamelan, dan lain – lain. Jadi, disini jelas media massa menunjuk pada
hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalan komunikasi massa. (Nurrudin,
2007 : 4)

2.1.2 Televisi Sebagai Media Komunikasi Massa


Wardhani (2008: 31) mengemukakan televisi adalah media yang mampu
menyajikan pesan dalam bentuk suara, gerak pandangan, dan warna secara bersamaan,
sehingga mampu menstimuli indera pendengaran dan penglihatan, sedangkan Bungin
(dalam Hartiningsih, 2014: 35), menyebutkan televisi adalah media massa yang paling
sempurna karena media ini berfungsi audiovisual. Media televisi juga dipandang sebagai
media yang memiliki status sosial, sehingga posisi televisi dimasyarakat menjadi media
paling populer.

Fungsi televisi sama dengan fungsi media massa lainnya (surat kabar dan radio
siaran), yakni memberi informasi, mendidik, menghibur, dan membujuk. Tetapi fungsi
menghibur lebih dominan pada media televisi sebagimana hasil penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Komunikasi UNPAD, yang menyatakan
bahwa pada umumnya tujuan utama khalayak menonton televisi adalah untuk
memperoleh hiburan, selanjutnya untuk memperoleh informasi.(Ardianto, dkk,
2009:137).

2.1.4 Situasi Komedi (Sitkom) dalam Televisi

Komedi situasi atau sering disingkat komsit atau sitkom merupakan salah satu
genre komedi yang berasal dari radio, tetapi saat ini kebanyakan hanya dapat dijumpai
di televisi. Sitkom biasanya terdiri dari karakter yang selalu sama dengan hanya satu
latar seperti rumah atau tempat kerja. Program televisi komedi situasi mungkin
direkam di depan penonton studio, bergantung pada format produksi program. Efek
penonton studio langsung dapat dibuat atau ditambahkan dengan penggunaan suaraan
tertawa. Komedi situasi mendapat penilaian yang baik dari kalangan penonton yang
menginginkan hiburan ringan. Komedi situasi ini mudah diolah dan dideskripsikan
karena hanya memakan waktu selama 20 - 30 menit dengan tema yang berubah-ubah
dari waktu ke waktu tetapi menggunakan latar, lokasi, dekorasi, dan karakter yang
hampir sama setiap kali tayang di televisi. (sumber: wikipedia.com)

2.1.5 Program OK JEK di Stasiun Televisi NET

OK-JEK adalah sebuah acara televisi bergenre komedi yang ditayangkan oleh
stasiun televisi NET. Sitkom ini bercerita tentang kehidupan para tukang ojek online
dan seluruh staff di kantor OK-JEK. Nama dan cerita sitkom ini terinspirasi dari
aplikasi ojek online populer. Tayang mulai 28 Desember 2015, setiap Senin-Jumat
pukul 19.00-19.30, OK-JEK disambut dengan antusias oleh pemirsa televisi. Seperti
halnya sitkom-sitkom lain yang tayang di NET, OK-JEK memang mengangkat
pengalaman keseharian yang dekat dengan masyarakat. Ide ceritanya pun diambil dari
cerita-cerita naik ojek online yang ada di dunia maya. Tentu saja dengan penambahan
sedikit drama atau terkesan agak karikatural untuk mengundang tawa penonton.
Sekarang sitkom ini ditayangkan setiap hari Senin sampai Jumat pada pukul 19.00-
20.00 WIB. Mulai 17 Juli 2017, OK-JEK telah memasuki musim ke 2.

2.1.6 Audiens Komunikasi Massa

Nurudin (2011: 104) mengatakan audience yang dimaksud dalam komunikasi


massa sangat beragam, dari jutaan penonton televisi, ribuan pembaca buku, majalah,
koran, atau jurnal ilmiah. Masing-masing audience berbeda satu sama lain diantaranya
dalam hal beerpakaian, berpikir, menanggapi pesan yang diterimanya, pengalaman, dan
orientasi hidupnya. Akan tetapi, masing-masing individu bisa saling mereaksi pesan yang
diterimanya. McLuhan (dalam Elvinaro, dkk, 2009: 40), mengatakan audience hampir
tidak bisa menghindar dari media massa, sehingga beberapa individu menjadi anggota
audience yang besar, yang menerima ribuan pesan media massa, dan menurut Hiebert,
at.al (dalam Nurudin, 2011:105), mengatakan audience dalam komunikasi massa setidak-
tidaknya mempunyai lima karakteristik yaitu :

1. Audience cenderung berisi individu-individu yang condong untuk berbagi


pengalaman dan dipengaruhi oleh hubungan sosial diantara mereka. Individu - individu
ini memilih produk media yang mereka gunakan berdasarkan kebiasaan dan kesadaran
sendiri.

2. Audience cenderung besar. Besar disini berarti tersebar ke berbagai wilayah


jangkauan sasaran komunikasi massa. Meskipun begitu, ukuran luas ini sifatnya bisa
jadi relatif.

3. Audience cenderung heterogen, mereka berasal dari berbagai lapisan dan kategori
sosial. Beberapa media tertentu mempunyai sasaran, tetapi heterogenitasnya juga tetap
ada.

4. Audience cenderung anonim, yakni tidak mengenal satu sama lain. Bagaimana
mungkin audience bisa mengenal khalayak televisi yang jumlahnya jutaa. Tidak
mengenal tersebut tidak ditekankan satu kasus perkasus, tetapi meliputi semua audience.

5. Audience secara fisik dipisahkan dari komunikator dan dapat juga dikatakan audience
dipisahkan oleh ruang dan waktu.

2.2.4 Gender Dalam Media Televisi

Iskra Panevska menyatakan bahwa status sosial perempuan ditentukan oleh


jumlah perempuan yang sebagian besar berada pada sektor awam (public sector) dan
situasi dimana mereka bekerja. Secara objektif bahwa persamaan perempuan itu
mungkin boleh dilihat dari berapa jumlah perempuan yang aktif dalam sektor publik
dan mendapatkan posisi dalam ruang publik tersebut. Tema-tema perempuan dalam
media antara lain adalah; a) Perempuan berada pada posisi yang minority dan
underrepresented; b) Perempuan dan laki – laki ditampilkan dengan cara-cara yang
stereotaip untuk pengekalan dan peneguhan terhadap pandangan-pandangan gender ;
c) Tampilan hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih menekankan pada
peranan-peranan gender tradisional dan ketidakadilan kekuatan antara laki-laki dan
perempuan.
Di sisi lain, media sering menampilkan laki-laki sebagai orang yang aktif,
berpetualang, kuat, agresif (sexual) dan tidak banyak melibatkan diri dengan orang
lain. Sedangkan perempuan selalu ditampilkan sebagai budak-budak (childish),
lemah, cantik, kurus, pasif, ketergantungan dan tidak mempunyai keahlian.
Kebanyakan laki-laki yang ditampilkan dalam televisi adalah independent (tidak
bergantung), agresif dan kuat. Semua program-program televisi menampilkan laki-
laki sebagai orang yang serius, confidence (percaya diri), cakap dan mempunyai
kuasa. Contohnya dalam film Fight Club, Armageddon, Gladiator, dan lain
sebagainya yang menggambarkan maskulin laki-laki, yaitu hard, taough, independent,
aggressive (sexuality), unfraid, violent, totally in control of emotion (dapat
mengkawal emosi) dan tentunya tidak feminine5.

Laki-laki juga dominan dalam majalah terkenal. Jackson Katz menyatakan


bahwa media mengajarkan laki-laki untuk menjadi "real man" yang mempunyai
kekuatan dan mampu mengkawal. Kadang-kadang media mengekspos perempuan
pada peranan-peranan yang tidak tradisional atau ditampilkan dengan kualitas yang
tidak biasa. Banyak media menampilkan budaya-budaya yang dibina dalam masa
yang lama dengan stereotaip perempuan dan feminin. Perempuan yang ideal adalah
muda, kurus dan selalu terlibat dengan laki-laki dan anak-anak, menarik dalam
berhubungan atau bekerjasama dan juga yang berkaitan dengan kerja-kerja rumah
tangga. Pandangan tradisional tentang feminin bahkan tampak pada acara-acara
bahwa perempuan harus tampak muda, seksi, atraktif, dan menjadi pendamping laki-
laki.

Dalam kaitannya dengan feminin-maskulin, media sering menggambarkan


perempuan sebagai seorang yang berada dalam ruangan domestik yang bergantung
pada kekuatan dan kekuasaan laki-laki. Manakala laki-laki adalah sebaliknya, yaitu,
sentiasa berada dalam ruangan awam dan tidak bergantung pada kekuasaan
perempuan. Begitu juga dengan tema-tema media yang juga menampilkan hubungan
feminin-maskulin dimana laki-laki selalu tampil sebagai seorang yang mempunyai
kemampuan yang dapat menjaga perempuan yang dianggap sebagai seorang yang
tidak mempunyai kemampuan. Televisi sebagai media komunikasi massa merupakan
media yang strategis dalam mensosialisasikan nilai-nilai dan ide (gagasan).
Televisipun mempunyai pengaruh dalam pembentukan karakter individu dan mampu
mendorong individu untuk meyakini suatu standard kebenaran.

"Kebenaran" yang disosialisasikan televisi dapat menjadi dasar referensi


penonton. Masalah perempuan di publik pun akan semakin kuat, baik televisi
menyadari atau tidak bahwa ikut mensosialisasikan ide dan nilai-nilai yang
mengandung bias gender tersebut. Jika para pemilik dan jurnalis televisi tidak
memiliki sensitifitas terhadap berbagai persoalan ketidakadilan gender, maka televisi
mempunyai peran dalam menumbuhkembangkan praktek ketidakadilan gender di
tengahtengah masyarakat.

Bias gender sentiasa hadir dalam sejumlah tayangan televisi. Dalam tayangan
senetron bersiri ‘Putri yang ditukar” kehidupan perempuan "digambarkan" hanya
pada peranan-peranan domestik (rumah tangga) atau individu yang tidak lebih pintar
dari laki-laki, yang posisinya hanya menjadi pelayan laki-laki, serta berbagai
stereotaip yang mengarahkan bahwa perempuan adalah kodrat yang tidak qualified
untuk masuk dalam ruangan awam (public sphere). Senetron-senetron yang ada jarang
menampilkan perempuan sebagai sosok (profile) pengambil keputusan dalam
berbagai kebijakan publik, perempuan masih dianggap sebagai peran pembantu dalam
kehidupan awam. Misalnya, dalam sebuah sinetron seorang perempuan sering
ditampilkan sebagai sekretaris dan jarang ditampilkan sebagai direktur/bos atau
pemimpin sebuah lembaga awam.

Bias perempuan lainnya yang dapat disaksikan di layar televisi adalah acara-
acara pertandingan kecantikan (seperti, miss universe, ratu kecantikan, dan lain
sebagainya) yang menampilkan perempuan sebagai peserta pertandingan.
Pertandingan yang diadakan biasanya hanya menekankan penilaian pada keindahan
tubuh perempuan yang dapat membangkitkan libido laki-laki dibandingkan dengan
upaya mengeksplorasi kecerdasan yang ada dalam diri perempuan peserta
pertandingan. Acara yang ada tersebut lebih pada upaya memuaskan hasrat/nafsu
kelaki-lakian (spirit of patriarchal). Kenyataan-kenyataan sebagaimana yang
ditampilkan di televisi terkesan lebih memihak kepada kaum laki-laki, karena
sebagian besar televisi masih didominasi (dikuasai) oleh para laki-laki, baik dalam hal
penguasaan aset permodalan ataupun para pekerja tehniknya. Oleh karena itu,
cadangan terhadap berbagai acara televisi mutlak dilakukan oleh berbagai pihak yang
peduli akan adanya keadilan gender di ruang publik.

Prio SM, jurnalis televisi, membahas bagaimana pemberitaan tentang


perempuan yang dipandang lebih sensasional dibanding fakta yang melibatkan laki-
laki. Pada aspek informasi hiburan, Veven Sp Wardhana dalam buku Eksplorasi
Gender di Ranah Jurnalisme dan Hiburan memaparkan tentang posisi perempuan di
dunia hiburan seperti drama atau film televisi. Perempuan digambarkan sebagai
makhluk yang pasrah, lemah, pemaaf, perayu, jahat, atau masih banyak sifat lainnya
yang tercermin dalam drama kita saat ini. Dan jika dilihat dari aspek iklan, dunia
periklanan ternyata merupakan lahan yang banyak diminati oleh perempuan. Tetapi,
apakah perempuan mempunyai bargaining posisi dalam menerima peranan yang
ditawarkan dalam iklan? Atau apakah keinginan perempuan yang hanya mencari
nama dan uang sering menjadi alasan bahwa perempuan sering terlihat dilecehkan dan
diremehkan dalam iklan.dibandingkan pembaca berita perempuan.

2.1.5 Perempuan Dalam Media Televisi

Iskra Panevska menyatakan bahwa status sosial perempuan ditentukan oleh


jumlah perempuan yang sebagian besar berada pada sektor awam (public sector) dan
situasi dimana mereka bekerja. Secara objektif bahwa persamaan perempuan itu
mungkin boleh dilihat dari berapa jumlah perempuan yang aktif dalam sektor publik
dan mendapatkan posisi dalam ruang publik tersebut. Tema-tema perempuan dalam
media antara lain adalah; a) Perempuan berada pada posisi yang minority dan
underrepresented; b) Perempuan dan lakilaki ditampilkan dengan cara-cara yang
stereotaip untuk pengekalan dan peneguhan terhadap pandangan-pandangan gender ;
c) Tampilan hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih menekankan pada
peranan-peranan gender tradisional dan ketidakadilan kekuatan antara laki-laki dan
perempuan.

Kadang-kadang media mengekspos perempuan pada peranan-peranan yang


tidak tradisional atau ditampilkan dengan kualitas yang tidak biasa.Banyak media
menampilkan budaya-budaya yang dibina dalam masa yang lama dengan stereotaip
perempuan dan feminin. Perempuan yang ideal adalah muda, kurus dan selalu terlibat
dengan laki-laki dan anak-anak, menarik dalam berhubungan atau bekerjasama dan
juga yang berkaitan dengan kerja-kerja rumah tangga. Pandangan tradisional tentang
feminin bahkan tampak pada acara-acara bahwa perempuan harus tampak muda,
seksi, atraktif, dan menjadi pendamping laki-laki.

2.1.5 Maskulinitas

Gender merupakan kategori dasar dalam budaya, yakni sebagai proses dengan
identifikasi tidak hanya orang, tetapi juga pembedaharaan kata, pola bicara, sikap dan
perilaku, tujuan dan aktifitas seperti maskulinitas atau femininitas. Konsep berpikir
yang berkembang dalam masyarakat ketika mengkotak-kotakan gambaran pria
maupun wanita secara ideal. Yang disebut stereotip gender. Stereotip terkadang
bersifat positif dan negatif. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya mengenal
lebih dulu perspektif mengenai seksualitas, sebagai berikut:

 Perspektif ensensialis
meyakini bahwa seksualitas adalah sesuatu yang alamiah atau apa adanya.

 Perpektif non-esensialis atau konstruksionis


seksualitas dipandang sebagai sebuah konstruksi dan erat kaitannya dengan
subjektivitas. Konstruksi femininitas dalam masyarakat, dinilai lemah lembut,
pasif, inferior dan lain sebagainya, menempatkan posisi wanita termarjinalkan.48
Munculnya hal tersebut meyakinkan kaum feminis untuk keluar dari permasalah
gender tersebut. Tujuan dasar dari feminis adalah untuk memerangi penindasan
perempuan, yang mereka yakini sebagai upaya feminisme untuk menekan
patriaki. Dengan demikian, tanpa feminisme, tidak mungkin bahwa akan ada
disiplin akademis atau ilmu mengenai dominasi laki-laki.

Pada dasarnya secara jenis kelamin laki-laki dan perempuan memiliki


perbedaan. Namun secara gender ada beberapa perilaku yang akhirnya menjadi
konstruksi sosial yaitu:

Tabel 2.1 Pembedaan antara men (laki-laki) dengan women (perempuan)

MEN are (should be) WOMEN are (should be)

Masculine Feminine
Dominant Submissive

Strong Weak

Aggressive Passive

Intelligent Intuitive

Rational

Emotionsl
Active (do things) Communicative (talk about things)

MEN like WOMEN like

Cars/technology Shopping/make up

Getting drunk Social drinking with friends

Casual sex with many partner Commited relationship

Sumber: Helen MacDonald (tt). ―Magazine Advertising and Gender‖ dalam


http://www.mediated.or.uk/posted_documents/MagzineAdverts.html49

Perbedaan pada laki-laki melekat ciri maskulinitas dan pada perempuan


melekat ciri feminitas. Sifat maskulin laki-laki diidentikkan dengan sifat kuat, berotot,
superior, dan berkuasa, sementara perempuan dikatakan feminin dengan makna
lemah, tidak berotot, subordinat, dan dikuasai. Tidak ada ruang ketiga untuk laki-laki
yang mempunyai sifat feminin dan perempuan yang mempunyai sifat maskulin.

Tabel 2.2 Perbedaan maskulinitas dan feminitas

Masculinity Feminity

Strength – physical and intellectual Beauty (within narrow conventions)

Power Size/physique (again, within narrow


conventions)
Sexual attractiveness (which may be Sexuality (as expressed by the above)
based on the above)
Physique Emotional (as opposed to intellectual)
dealings
Independence (of thought, action) Relationship (as opposed to
independence/freedom)
Being isolated as not needing to rely Being part of a context (family, friends,
on others (the lone hero) colleagues)

Sumber: www.mediaknowall.com/gender.html

Walaupun masih dinilai baru, namun kajian mengenai perempuan dan


maskulinitasnya sudah banyak diangkat diberbagai pembahasan di beberapa
kalangan masyarakat. Stereotip gender dianggap sebagai tuntutan sosial kultural.
Konsep maskulinitas yang berlaku selama ini adalah konsep yang berdasarkan
ideologi patriarki, mengutamakan dan menganggap pria sebagai makhluk superior.
Pada dasarnya, tidak ada satupun kelas maupun kelompok yang dapat menentukan
konstruksi maskulinitas sesungguhnya. Masing-masing pandangan maskulinitas
dapat muncul ketika satu kekuasaan besar mendominasi dan memberikan
asumsi.Asumsi-asumsi tersebut dengan cepat dapat berkembang.

2.1.6 Teori Analisis Resepsi

Analisis resepsi mengacu kepada studi tentang makna, produksi dan


pengalaman khalayak dalam interaksi mereka dengan teks media. Studi ini terfokus
pada proses decoding, interpretasi dan membaca inti dari konsep analisis reception.
Hall mendefiisikan ideologi sebagai kerangka mental/mental frameworks berupa
bahasa, konsep, kategori, bayangan pemikiran dan representasi yang digunakan oleh
berbagai kelas atau kelompok sosial untuk memaknai, mendefinisikan, mencari tahu,
dan memahami cara proses kerja hal-hal di masyarakat, dimana kebanyakan
masyarakat tidak menyadari ideology dirinya sendiri dan dampaknya terhadap
kehidupan (Griffin, 2009:344)

Hall berpendapat bahwa masyarakat yang dianggap tidak berdaya ini tidak
serta merta akan menerima begitu saja. Masyarakat bisa jadi sama kuatnya dalam
melawan ideologi dominan sehingga mereka akan menerjemahkan sebuah pesan
sesuai dengan cara yang lebih mereka sukai. Dalam hal ini ada tiga cara decoding
yang dikemukakan oleh Hall yaitu :

 Melakukannya pada koridor dominan, dimana mereka memproduksi pesan dan


masyarakat mengkonsumsinya sehingga cara membaca pemirsanya sama dengan
preferred reading

 Menerapkan kode yang sudah ternegosiasi, dimana pemirsa mengasimilasi ideology


utama dan diterapkan secara umum , namun menolak penerapannya pada kasus-kasus
tertentu

 Menggantinya dengan kode yang sifatnya bertentangan dimana pemirsa melihat


adanya bias dari cara media mempresentasikan sebuah peristiwa, yang kemudian coba
dibantahkan (demythologize/demitologisasi) oleh pemirsanya. (Griffin, 2009:251)

Ketiga perbedaan cara decoding tersebut membentuk tiga posisi pembaca yang
juga dikenal dengan nama dominant/hegemony, negotiated, dan oppositional.
Dominat-hegemonic terjadi ketika khalayak memaknai pesan yang terkonotasi
misalnya dari sebuah berita televisi dan menyandi balik pesan sama seperti ketika
pesan itu disandi. Posisi ini merupakan contoh ideal dari sebuah komunikasi yang
transparan. Hall mengatakan bahwa setiap individu bertindak terhadapa sebuah kode
sesuai apa yang paling mendominasinya dan memilki kekuatan lebih dari pada kode-
kode lain. (West & Turner, 2007:399)

Anda mungkin juga menyukai