Anda di halaman 1dari 28

BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM LILAKNO KARYA IMAM

SYAFI’I

Disusun sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar Strata I


pada Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi dan Informatika

Oleh:
WANGGA RAMADESSELA
L100170095

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2022
i
ii
iii
BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM LILAKNO KARYA IMAM SYAFI’I
Abstrak

Film Lilakno (2017) merupakan film karya Imam Syafi’I yang awalnya digunakan untuk
memenuhi tugas akhir yang kemudian mendapatkan penghargaan dalam Asian Youth
Indie Film Festival 2018 dan Film Pendek Mahasiswa Malang Film Festival 2018. Film
Lilakno menceritakan tentang sebuah perasaan rela dari seorang istri yang suaminya
berselingkuh dengan karyawannya sendiri. Penelitian ini mengupas beberapa tanda
patriarki dalam film Lilakno dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes
yang menjelaskan tanda melalui konotasi denotasi dan mitos. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif dengan paradigma kritis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwasannya Film Lilakno menampilkan beberapa scene yang mengandung dominasi
laki – laki terhadap perempuan dalam rumah tangga maupun luar rumah tangga. Budaya
patriarki yang pekat dalam masyarakat membuat perempuan tidak dapat bergerak bebas
dan perempuan tidak dapat menyampaikan apa yang ia inginkan. Budaya patriarki juga
menjadikan dominasi laki – laki menjadi semakin kuat sehingga dapat mengatur
produktivitas serta seksualitas perempuan.

Kata kunci: patriarki, film, semiotika.

Abstract

Lilakno (2017) is a film by Imam Syafi'I which was originally used to complete a final
project and it was got some awards at the Asian Youth Indie Film Festival 2018 and the
2018 Malang Film Festival Student Short Film. Lilakno tells the story of wife whose
husband is having an affair with her own employee. This research analyze some
patriarchal signs in Lilakno film using Roland Barthes' semiotic analysis that explain the
sign through denotative, connotative and myth. This research is a qualitative descriptive
study with a critical paradigm. The results of the study show that the Lilakno film displays
several scenes that contain male domination over women inside and outside the
household. The thick patriarchal culture in society makes women can’t being free and say
what they want. The patriarchal culture also makes male domination stronger and it makes
regulate female productivity and sexuality.

Keywords: patriarchy, film, semiotic.

1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Film tidak hanya hiburan semata, sebagian besar film digunakan untuk menyampaikan
pesan melalui tanda dalam setiap scenenya. Film seringkali digunakan sebagai sarana
komunikasi yang dapat menyampaikan keresahan – keresahan masyarakat. Menurut
Sobur dalam Maulida & Maulida (2020) film dianggap selalu memberikan pengaruh dan
membentuk opini masyarakat berdasarkan pesan yang ada didalamnya. Film merupakan

1
media hiburan, sumber segala informasi, pendidikan, propaganda serta pembentukan
opini dalam diri manusia. Dalam Yousaf (2017) peran film dalam dunia modern bukanlah
hal remeh. Film dapat dikatakan sebagai media massa paling efektif yang memiliki
keunggulan dibanding media lain.
Film seringkali digunakan sebagai media penyampaian pesan. Menurut Asri
(2020) film dapat dikatakan sebagai bagian dari media massa yang memiliki sifat audio
visual ditujukan untuk penyampaian pesan sosial dan moral tertentu kepada audiensnya.
Dalam Kusuma (2018) menjelaskan bahwasannya film merupakan hasil interaksi antar
sekelompok individu dengan lingkungan sosialnya, yang didalamnya terdapat beberapa
peristiwa dari kebudayaan dan nilai sosial tertentu yang disampaikan melalui
pembabakan dalam film. Film seringkali menyajikan berbagai pesan yang tersirat
maupun tersurat didalamnya. Pesan tersebut berupa tanda yang digunakan untuk
menyampaikan sebuah makna dengan pesan sosial dan moral tertentu.
Makna tanda dalam sebuah film dapat dilihat dengan menggunakan kajian
semiotika. Menurut Chandler dalam Lee (2017) semiotika merupakan ilmu yang
mengkaji tentang tanda beserta artinya. Dalam Fiske (2011) setiap tanda dalam media
memiliki pesan berpola yang mana terdapat makna didalamnya. Tanda dalam media
massa seperti film juga terdapat beberapa pesan berpola yang mana arti pesan tersebut
dapat dijabarkan dengan kajian semiotika.
Dalam penelitian ini akan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.
Menurut Danesia dalam Noor & Wahyuningratna (2017) Barthes menggambarkan
semiotika sebagai struktur dimana makna tersirat suatu hal dapat diketahui dalam sebuah
pertunjukan film, konsep umum dan juga tontonan masyarakat. Dalam Pratiwi (2018)
Roland Bartes membuat sebuah proses negoisasi, pemaknaan ide dan juga interaktif yang
mana terdapat ide dengan dua tatanan signifikasi berupa denotasi dan konotasi, kemudian
dikembangkan menjadi konotasi, denotasi dan mitos. Roland Barthes membuat tiga
pemaknaan dari tanda tersembunyi dalam film berupa konotasi, denotasi dan mitos.
Film dapat mewakili gambaran kehidupan budaya dalam masyarakat, sebagai
contoh adalah budaya patriarki. Salah satu film Indonesia yang menggambarkan budaya
patriarki yaitu film Lilakno karya Imam Syafi’i. Dalam film tersebut memperlihatkan
dimana laki – laki memiliki kekuasaan diluar maupun didalam keluarga. Budaya patriarki
masih sangat familiar di Indonesia melansir dari Kompas.com dengan judul "Budaya

2
Patriarki Jadi Pemicu Ketimpangan Gender di Indonesia" (diakses pada 11 September
2021) patriarki seringkali dijumpai dalam tatanan masyarakat baik dalam ranah
pendidikan, sosial maupun politik. Patriarki membuat ruang gerak perempuan dibatasi
yang mana membuat perempuan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi dirinya
sendiri.
Lilakno merupakan film pendek karya Imam Syafi’i yang mengusung genre
drama keluarga. Lilakno merupakan film yang dibuat pada tahun 2017 sebagai film untuk
memenuhi tugas kuliah. Pada tahun 2018 Lilakno masuk dalam nominasi Asian America
International Film Festival dan memenangkan penghargaan spesial juri di Amerika. Film
yang memiliki durasi 10 menit 44 detik ini menceritakan tentang Herlina yang
menemukan bukti bahwa suaminya telah berselingkuh dengan pegawainya sendiri yaitu
Cut. Bukti tersebut adalah sebuah alat kontrasepsi yang ditemukan anak Herlina dalam
gudang ketika mereka sedang bermain. Herlina mencari bukti lain kemudian ia terkejut
dan sedih setelah menemukan sebuah kancing baju yang ia kenali. Kancing baju tersebut
milik Cut pegawai Herlina sendiri. Herlina yang seketika menjadi marah lalu meminta
penjelasan kepada suaminya dan suami mengaku bahwasannya ia melakukan hal tersebut
karena ingin memiliki anak perempuan.
Dialog yang kuat dari seorang perempuan serta tindakan nonverbal dari film
tersebut memperkuat konflik yang dibangun oleh sutradara. Pengambilan shot yang
sederhana tidak mengurangi makna dari film Lilakno. Makna yang terdapat pada film
Lilakno mengambarkan tentang kelemahan seorang perempuan diatas kekuasaan laki –
laki. Film tersebut juga memperlihatkan laki – laki yang menjadi dominan diatas
segalanya seperti didalam keluarga maupun diluar keluarga. Melalui film Lilakno audiens
dapat melihat secara gamblang bagaimana laki – laki memiliki kekuasaan atas
keluarganya. Meskipun tidak ditayangkan secara luas film Lilakno dapat diakses melalui
Vidsee dengan gratis.
Menurut Wood (2009 p:31) Istilah patriarki umumnya mengacu kepada ideologi,
struktur sosial dan juga praktik yang mana diciptakan oleh laki – laki. Hal tersebut
mencerminkan nilai - nilai prioritas dan juga pandangan laki – laki sebagai kelompok
yang berkuasa. Menurut Bhasin dalam Adipoetra (2016) patriarki yang memiliki makna
secara harfiah yaitu bapak, awalnya digunakan untuk menyebut jenis keluarga yang
terdiri dari perempuan, laki – laki, anak dan pembantu rumah tangga yang berada dalam

3
kekuasaan laki – laki. Namun saat ini istilah patriarki digunakan untuk menyebut
kekuasaan laki – laki terhadap perempuan melalui berbagai macam cara. Laki – laki
dipandang sebagai sosok yang berkuasa atas diri perempuan, yang awalnya hanya
memiliki arti kata “bapak” namun saat ini patriarki lebih mengarah kepada sosok yang
berkuasa atas perempuan dengan berbagai cara.
Dalam Christ (2016) menjelaskan patriarki secara harfiah sebagai aturan ayah
yang diartikan sebagai kekuasaan yang dipegang oleh laki – laki elit dan diturunkan
kepada anak laki – laki mereka. Menurut Munti dalam Adipoetra (2016) patriarki
merupakan kekuasaan laki – laki dimana perempuan ditindas melalui institusi sosial,
politik dan ekonomi. Kekuasaan laki – laki yang disetujui oleh masyarakat membuat laki
– laki memiliki dominasi dimanapun, didalam keluarga maupun dalam tatanan negara.
Adanya kewajaran yang dibangun masyarakat membuat kekuasaan laki – laki dalam
keluarga menjadi hal wajar.
Di Indonesia budaya patriarki belum bisa sepenuhnya hilang. Melansir
Kompas.com dengan judul "Kasus Perkosaan Anak di Bawah Umur oleh Oknum Polisi
dan Efek Patriarki" dalam berita tersebut membahas adanya patriarki di Indonesia yang
mana patriarki itu sendiri mengajarkan dan membenarkan hal yang tidak sebagaimana
mestinya antara laki – laki dengan perempuan, yang mana laki – laki berada diposisi yang
selalu diuntungkan sedangkan perempuan berada diposisi yang selalu dirugikan.
Sementara itu dominasi serta kekuasaan laki – laki membuat mereka menjadi sosok yang
berani untuk melakukan apapun pada perempuan. Dikuatkan lagi dengan kebiasaan
masyarakat yang menganggap rendah perempuan membuat budaya patriarki susah
dihilangkan. Dampak dari sistem patriarki dalam masyarakat juga dapat dilihat dalam
film Lilakno dimana sosok laki – laki lebih dominan dan berani berselingkuh tanpa
memikirkan perempuan.
Menurut Butsi dalam Anita, Yoanita, & Wahjudianata (2019) budaya patriarki
akan tetap berada dalam masyarakat selagi masyarakat tetap mengkonstruksikan status
dan peran dari patriarki itu sendiri. Selagi masyarakat Indonesia masih
mengkonstruksikan peran patriarki dalam kehidupan sehari – hari maka perempuan akan
tetap menjadi sosok yang terus dirugikan dan budaya patriarki tersebut tidak dapat
dihilangkan. Menurut Shohel (2021) Budaya patriarki menjadikan mobilitas perempuan
terbatas serta mengurangi kesempatan perempuan untuk mendapatkan penghasilan dari

4
pekerjaan yang produktif. Laki – laki memiliki kekuasaan dalam ranah publik maupun
pribadi, dimana hal tersebut dapat membuat laki – laki berbuat sesuai keinginannya
terlebih kepada perempuan. Perempuan seringkali ditampilkan sebagai korban atau
bahkan sebagai sosok yang tidak berdaya.
Dalam Kusumawardhana & Abbas (2018) meyakinkan bahwasannya perempuan
telah terdiskriminasi dari kesetaraan gender yang ada pada tatanan masyarakat dan juga
disepakati oleh Komisi Nasional Perempuan Indonesia. Melansir www.kompas.com
(diakses 31 Mei 2021) Kiai Haji Husein Muhammad pejuang advokasi kesetaraan dan
keadilan gender berpendapat, bahwa sistem patriarki yang ada di Indonesia sangat
membebani perempuan, terutama bagi wanita berumah tangga dan budaya patriarki ini
telah menjadi budaya yang telah ada sejak dulu. Didasari hal tersebut penelitian ini layak
diteliti karena patriarki telah menjadi bagian budaya yang merugikan salah satu pihak
yaitu perempuan terutama di Indonesia.
Penelitian serupa telah ada sebelumnya dengan judul “Budaya Patriarki dalam
Film Batas” ditulis oleh Fanny Gabriella Adipoetra. Film Batas merupakan film yang
menggambarkan sebuah harapan, akan tetapi harapan tersebut hanya berpihak pada kaum
laki – laki saja. Perempuan tetap dalam ranahnya yang tidak memiliki kesempatan sama
dengan laki – laki. Sehingga film ini memberikan pemahaman mengenai ideologi
patriarki Adipoetra (2016). Perbedaan penelitian terdahulu dan penelitian ini yaitu dalam
metode semiotika yang digunakan. Dalam penelitian terdahulu peneliti menggunakan
semiotika Charles S Pierce yang membedakan tipe – tipe tanda menjadi: ikon, indeks, dan
simbol, namun dalam penelitian ini menggunakan semiotika Roland Barthes yang
mengkaji mengenai denotasi, konotasi dan mitos. Terdapat tiga temuan data pada
penelitian ini yang pertama perempuan bekerja diranah domestik yaitu kesempatan yang
dimiliki perempuan tidak sama dengan laki – laki ditambah adanya perlakuan
diskriminasi yang cenderung menempatkan perempuan pada ranah domestik. Yang kedua
perempuan menjadi korban yang berarti perempuan sebagai sesosok yang lemah dan
selalu menjadi objek seksual bagi laki – laki yang menjadikan perempuan tidak memiliki
kontrol atas dirinya sendiri. Yang ketiga perempuan memiliki ketergantungan pada laki
– laki dimana perempuan seringkali dianggap sebagai individu yang tidak mandiri, hal
ini salah satunya disebabkan oleh budaya patriarki yang ada dimasyarakat.

5
Kemudian dalam penelitian film Lilakno sendiri peneliti ingin menunjukkan
bahwa perempuan tidak dapat berkutik dalam mengambil keputusan. Perempuan dituntut
untuk memenuhi kebutuhan laki – laki dan memberikan apa yang mereka inginkan.
Peneliti ingin menunjukkan kepada masyarakat melalui budaya film tersebut
bahwasannya patriarki bukanlah hal wajar. Banyak yang harus dikorbankan ketika
patriarki terus berlanjut. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana Budaya
Patriarki dalam Film Lilakno Karya Imam Syafi’i?”

1.2 Semiotika Roland Barthes


Teori semiotika merupakan salah satu teori yang mengkaji tentang tanda. Tanda yang
dimaksud dapat ditemukan dalam berbagai karya seperti film, gambar ataupun teks.
Semiotika ini menganalisis tentang gambar bergerak maupun tidak bergerak dari objek
penelitian secara umum, namun maknanya tetap utuh. Menurut Adipoetra (2016)
semiotika merupakan suatu ilmu yang berfokus kajiannya pada tanda. Tanda merupakan
hal yang sangat penting untuk mencari sesuatu dalam dunia, ditengah manusia dan
bersama dengan manusia. Menurut Butchart (2016) semiotika merupakan tanda yang
digunakan untuk memahami logika serta kode dari budaya, fenomenologi dan digunakan
untuk menggambarkan kode dari pengalaman manusia.
Sobur dalam Yustiana & Junaedi (2019) menjelaskan bahwa analisis semiotika
Roland Barthes menggunakan dua tahap yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi
merupakan makna nyata atau makna sebenarnya dari sebuah tanda sedangkan konotasi
merupakan tahap kedua yang menjelaskan makna mendalam. Hal tersebut menjelaskan
interaksi dari kedua tahap yang nantinya akan bertemu dengan nilai – nilai budaya dan
emosi seseorang yang akhirnya membentuk suatu mitos. Menurut Junaidi dalam Faisal
(2019) Roland Barthes memaknai dua susunan penanda yaitu denotasi terdiri atas
penanda dan pertanda yang akan menghasilkan makna sebenarnya. Kemudian konotasi
yaitu tanda dimana penandanya mempunyai makna berbeda dari aslinya, hal ini didapat
dari pengalaman budaya dan personal. Selanjutnya terdapat mitos, yang mana merupakan
bentuk pengungkapan terhadap nilai – nilai dominan yang telah disepakati.
Analisis semiotika milik Roland Barthes ini membentuk tiga tahap yaitu denotasi,
konotasi dan mitos yang dapat digunakan untuk menganalisis suatu tanda dalam sebuah
karya agar makna terdalamnya dapat diketahui. Dalam Pratiwi (2018) menjelaskan
bahwasannya teori semiotika Roland Barthes dibagi menjadi tiga tahapan.

6
a. Denotasi
Denotasi dianggap sebagai makna awal dari tanda yang terlihat. Tahapan awal ini
menjelaskan hubungan signifier dan signified dalam tanda dan realitas. Denotasi ini dapat
diartikan sebagai tanda yang diyakini oleh akal sehat dan makna sebenarnya dari sebuah
tanda.
b. Konotasi
Konotasi disini memiliki peran untuk menjelaskan interaksi antar tanda ketika bertemu
dengan emosi dari nilai kebudayaan, ideologi dan penggunanya. Roland Barthes
menjelaskan bahwasannya denotasi merupakan apa yang kita lihat dalam suatu karya
sedangkan konotasi merupakan proses pembuatan karya tersebut.
c. Mitos
Roland Barthes menjelaskan bahwasannya mitos merupakan cara kerja kedua tanda
dimana berbentuk kata – kata yang menunjukkan sikap ketidakpercayaan penggunanya.
Mitos ini merupakan sebuah kata – kata atau kalimat yang menjelaskan realitas dalam
suatu kebudayaan yang ada.

1.3 Patriaki
Selain menggunakan teori semiotika, penelitian ini juga menggunakan teori patriarki.
Dalam Cahyaning (2018) patriarki muncul akibat konsep dimana laki – laki merasa lebih
memiliki kekuatan dari pada perempuan yang mana hal tersebut menjadi budaya dalam
masyarakat. Dalam bukunya Wood (2009 p:31) berpendapat bahwasannya akibat dari
konsep tersebut terutama cara komunikasi masyarakat dalam lingkungannya membuat
patriarki tercipta dan perspektif tersebut dipertahankan hingga menjadi hal normal dan
dibenarkan dalam pandangan budaya masyarakat. Konsep patriarki sendiri terbentuk
akibat dari laki – laki merasa lebih kuat dari pada perempuan dan masyarakat
menganggapnya hal wajar sehingga patriarki menjadi budaya dalam masyarakat.
Menurut pandangan Walby dalam Theorizing Patriarchy (Walby, Theorizing
Patriarchy (1990) - Chap 1.Pdf, n.d.) perkembangan zaman juga mempengaruhi posisi
patriarki, seperti pada abad ke 19 posisi utama patriarki berada pada ranah pribadi,
kemudian abad 20 ranah tersebut meluas dimana laki – laki menjadi kepala keluarga,
mengendalikan perempuan dan juga bergerak langsung dalam ranah pribadi dalam
keluarga atau rumah tangga. Dalam Cahyaning (2018) menjelaskan bahwasannya teori
patriarki muncul karena adanya teori feminisme dikarenakan laki – laki merasa memiliki

7
kekuatan lebih daripada perempuan. Posisi patriarki yang dulunya berada pada ranah
pribadi saja saat ini telah memasuki ranah publik, hal tersebut dikarenakan laki – laki
merasa memiliki kekuatan lebih daripada perempuan.
Dalam buku Theorizing Patriarchy (Walby, Theorizing Patriarchy (1990) - Chap
1.Pdf, n.d.) patriarki didefinisikan sebagai praktik dari struktur sosial yang mana laki –
laki memberikan dominasi dan mengeksploitasi perempuan. Walby juga mengemukakan
enam struktur dalam patriarki yaitu kekerasan laki – laki, budaya, sensualitas, pekerjaan
dengan upah, negara dan produksi. Menurut Bhasin dalam Adipoetra (2016) patriarki
memiliki lima aspek dalam sistemnya. Pertama tenaga kerja perempuan dan daya
produktifnya, kedua reproduksi perempuan, ketiga kontrol atas seksualitas yang dimiliki
perempuan, keempat ruang gerak perempuan dan kelima kepemilikan kekayaan. Para ahli
mendefinisikan patriarki dalam beberapa aspek yang mana hal tersebut dapat merugikan
perempuan.
Bashin dalam Adipoetra (2016) berpendapat patriarki memiliki lima aspek dalam
sistemnya yaitu :
a. Tenaga kerja perempuan dan daya produktifnya dimana produktivitas perempuan
dikontrol oleh laki – laki, Walby membuat sebutan mode produksi patriarkal dimana
tenaga kerja perempuan diperdaya oleh suami dan juga laki – laki yang ada dalam
keluarga. Sedangkan diluar rumah tangga laki – laki menguasai perempuan dengan
berbagai macam cara. Mereka mencegah perempuan untuk berkembang bahkan
mereka mengontrol perempuan agar mendapatkan keuntungan pribadi. Seperti dalam
gambaran film Lilakno dimana Cut (karyawan Herlina) dan Herlina (istri sah) berada
dalam kontrol satu laki – laki yaitu suami Herlina.
b. Reproduksi perempuan, disini laki – laki mengontrol reproduksi perempuan seperti
kesusahan perempuan dalam mengontrol berapa anak yang akan ia miliki ataupun
kapan ia akan memiliki anak. Patriarki juga mencoba untuk memberi batasan kepada
perempuan dalam kepemilikan anak, ketentuan memiliki anak berada ditangan suami
dan perempuan hanya bisa menuruti hal tersebut.
c. Laki – laki memiliki ruang untuk mengatur seksualitas perempuan, dimana
perempuan diwajibkan memberikan pelayanan kepada laki – laki sesuai dengan
kebutuhan laki – laki. Pemerkosaan dan juga ancamannya merupakan cara lain
dominasi laki – laki terhadap perempuan yang mengakibatkan korban memiliki

8
gagasan mengenai “kehormatan” dan rasa “malu” akibat perlakuan tersebut.
Seksualitas perempuan juga dikontrol melalui tindakan, aturan dan juga pakaian
mereka. Laki – laki juga mencari kepuasan dengan tindakan mengontrol seksualitas
perempuan.
d. Ruang gerak perempuan sangat dibatasi, disini laki – laki membatasi apapun yang
dilakukan oleh perempuan, dominasi laki – laki menjadi sangat kuat karna ruang
gerak perempuan diambil ahli oleh laki – laki. Ruang gerak perempuan juga diatur
melalui cara laki – laki mengontrol mobilitas dan kebebasan perempuan untuk
berpendapat sehingga keinginannya tidak dapat tersampaikan.
e. Kepemilikan kekayaan yang mana sebagian besar kekayaan dikontrol oleh laki – laki.
Sebagian besar kekayaan dalam sebuah keluarga nantinya akan diwariskan kepada
laki – laki. Seperti halnya dari ayah kepada anak laki – lakinya. Meskipun dalam
hukum perempuan memiliki hak untuk mendapatkan kekayaan namun hal tersebut
tidak sebanding dengan laki – laki. hal tersebut dikarenakan terdapat tekanan dari
kebiasaan, saksi sosial dan juga tekanan perasaan yang mencegah perempuan dapat
mengontrol atas kekayaan.
Menurut Habiba dalam You (2019) dijelaskan bahwasannya patriarki merupakan
kontrol dan kekuasaan yang rumit dalam masyarakat dimana dominasinya dipegang oleh
laki – laki. Menurut (Walby, Theorizing Patriarchy (1990) - Chap 1.Pdf, n.d.) sistem
patriarki ini terdiri dari praktik sosial dan strukturnya dimana laki – laki mengontrol,
menindas dan mengeksploitasi perempuan. Laki – laki memiliki kekuasaan dalam praktik
sosial yang mana hal tersebut terbentuk akibat budaya patriarki dan menjadikan laki –
laki lebih bebas untuk melakukan apa yang diinginkan. Dalam film Lilakno karya Imam
Syafi’i peneliti akan berfokus pada tanda patriarki yang terkandung dalam beberapa
scenenya. Tanda – tanda patriarki dalam film Lilakno dapat diketahui dengan
menggunakan semiotika. Dengan demikian peneliti dapat menemukan makna terdalam
dari tanda yang ada melalui tahap denotasi, konotasi dan mitos.

2 METODE
Jenis penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif dengan pendekatan metode analisis
semiotika. Menurut Soejono & Abdurrahman (2015) jenis penelitian deskriptif
merupakan penelitian yang bermaksud untuk membuat penggambaran atau suatu

9
deskripsi mengenai situasi atau kejadian tertentu. Sugiyono dalam Nurdin & Hartati
(2019) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang diaplikasikan
dalam kondisi objek alamiah atau juga dapat disebut tidak meggunakan model tematik
dan statistik. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis semiotika yang
dikemukakan oleh Roland Barthes. Dalam penelitian ini akan menggunakan paradigma
kritis menurut Muslim (2016) paradigma kritis adalah suatu kebenaran yang berbeda beda
dari setiap orang dan bersifat tidak netral diketahui melalui relasi kuasa, ideologi dan
struktur sosial kemudian menghasilkan beberapa perbedaan sudut pandang.
Pengamatan atau observasi dalam penelitian ini dilakukan melalui aplikasi
Viddsee dengan subjek penelitian yaitu film Lilakno. Sedangkan objek dari penelitian
yaitu budaya patriarki yang mana merupakan fokus dari sesuatu yang akan diteliti.
Purposive sampling adalah teknik pengambilan sumber data dengan pertimbangan
tertentu Sugiyono (2010). Peneliti nantinya akan memilih dan menganalisis beberapa
scene dari film Lilakno. Alasan menggunakan purposive sampling karena peneliti
mempertimbangkan pemilihan scene mana saja yang akan diteliti. Scene yang dipilih
akan berfokus pada tanda dari budaya patriarki itu sendiri.
Teknik pengumpulan data dilakukan secara primer dan sekunder. Pengumpulan
data secara primer dilakukan dengan melakukan observasi pengamatan langsung dan
bebas dari objek penelitian. Peneliti menonton film Lilakno dan mengamati tanda dari
setiap scenenya lalu mengcapture scene tersebut. Sedangkan pengumpulan data secara
sekunder dengan mencari dokumentasi seperti refrensi jurnal atau buku yang berkaitan
dengan materi budaya patriarki yang akan diangkat. Unit Analisa dalam penelitian ini
yaitu beberapa scene yang terdapat tanda patriarki dalam film Lilakno. Dengan demikian
scene yang tidak menunjukkan tanda patriarki, tidak masuk dalam penelitian. Penelitian
ini bertujuan agar dapat mendalami studi dalam bidang semiotika yang mana dapat
mengkaji pemaknaan tanda patriarki khususnya dalam film Lilakno.
Terdapat beberapa tahapan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini seperti melakukan pengamatan dalam setiap scene film dengan fokus budaya tanda
patriarki. Dengan demikian peneliti dapat mengetahui scene yang terdapat tanda patriarki
didalamnya. Kemudian peneliti melakukan coding yang mana berguna untuk memilih
scene yang nantinya akan dikelompokkan perkategori. Kemudian setelah data diperoleh

10
dari hasil coding akan disajikan dengan unsur verbal dan visual. Selanjutnya data akan
dianalisis dengan metode analisis semiotika milik Roland Barthes.
Analisis semiotika yang dikembangkan oleh Roland Barthes dengan fokus pada
tahapan Denotasi, konotasi dan mitos. Semiotika merupakan salah satu metode yang
digunakan untuk menganalisis atau mengetahui makna dari tanda yang ada pada pesan
tertentu Pawito dalam Hariyani (2018). Pemaknaan semiotika Barthes menggunakan
pendekatan dengan tiga tahap yaitu denotasi, konotasi dan mitos. Data penelitian yang
dikumpulkan berasal dari beberapa aspek seperti adegan, tanda verbal maupun nonverbal
dan juga dialog dalam Hariyani (2018). Validitas data pada penelitian kualitatif lebih
menunjukan pada tingkat sejauh mana data yang diperoleh secara akurat mewakili realitas
atau gejala yang diteliti Pawito (2007:97). Validitas Data dalam penelitian ini
menggunakan Triangulasi teori guna menghindari subjektivitas peneliti. Teori yang
digunakan yaitu semiotika dari Roland Barthes dan teori patriarki.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


Bedasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan observasi secara langsung dalam
film Lilakno melalui Vidsee peneliti menemukan beberapa scene yang menggambarkan
budaya patriarki. Patriarki digambarkan melalui dominasi laki – laki dimana laki – laki
membatasi ruang gerak perempuan, mengatur reproduksinya serta budaya patriarki yang
dibenarkan dalam masyarakat. Untuk menjelaskan bagaimana budaya patriarki pada film
Lilakno maka peneliti menggunakan pemaknaan dengan aspek denotasi, konotasi dan
mitos. Pemaknaan patriarki tersebut menggunakan analisis semiotika yang dikemukaan
oleh Roland Barthes.

3.1 Budaya Patriarki dalam Masyarakat


Sturuktur sosial yang mencerminkan dominasi patriarki seringkali terbentuk dari praktik
sosial bedasarkan gender. Dalam You (2019) dimana struktur sosial tersebut
membenarkan dominasi laki – laki terhadap perempuan dalam berbagai urusan baik
dalam rumah tangga maupun luar rumah tangga. Ida dalam Setiawati (2020) berpendapat
bahwasannya masyarakat Indonesia sebagian besar menganut budaya patriarki dimana
mereka menempatkan laki – laki dalam posisi yang lebih tinggi. Budaya tersebut didasari
oleh pandangan yang mana norma laki – laki dianggap menjadi pusat dari tatanan sosial

11
dalam masyarakat. Dengan adanya pemikiran demikian maka terbentuklah budaya
patriarki dalam masyarakat menjadi sulit dihilangkan.
Tabel 1. Budaya patriarki dalam masyarakat

Scene 6 Menit 06:35


Denotasi Cut dan suami Herlina melaksanakan ijab qobul.
Pernikahan suami Herlina dengan Cut menandakan
bahwa adanya ketidakadilan pada Herlina dimana
Herlina sebenarnya tidak rela akan pernikahan tersebut
Konotasi tetapi pernikahan tetap berlangsung, perasaan tidak rela
Herlina tidak dapat merubah keadaan atau keputusan
suami Herlina yang ingin menikahi cut dengan alasan
menginginkan anak perempuan.
Pernikahan suami Herlina dengan Cut dilatarbelakangi oleh perselingkuhan
dimana suami Herlina ingin mendapatkan anak perempuan, pernikahan tersebut
memberikan ketidakadilan bagi Herlina selaku istri sah yang tidak bisa memberikan anak
perempuan. Menurut Alfian Rokhmansyah dalam Sakina (2017) budaya patriarki
memberikan ketidakadilan dan juga kesenjangan dalam gender dimana hal tersebut
mempengaruhi keberbagai kegiatan sehari –hari. Perempuan hanya memiliki sedikit
pengaruh yang dapat merubah kegiatan ataupun keputusan secara sosial, politik, ekonomi
bahkan dalam hal instunsi pernikahan.

12
Tabel 2. Budaya patriarki dalam masyarakat

Scene 5 Menit 07:10


Herlina melamun melihat suami dan Cut berada dalam
pelaminan, disamping itu kedua anak Herlina bertengkar
Denotasi merebutkan mainan, Herlina melerai pertengkaran
tersebut kemudian mereka bertiga duduk untuk
menyaksikan pernikahan suaminya.
Anak laki – laki Herlina merebutkan satu benda sambil
berkata “ini milikku” hal tersebut menandakan bahwa
perkataan “ini milikku” merupakan kata hati Herlina.
Herlina melerai pertengkaran anaknya sama dengan ia
melerai pertengkaran dengan dirinya sendiri ia
mengatakan “jangan berantem” yang artinya ia
mengatakan pada dirinya sendiri untuk tidak bertengkar
dengan batinnya dan merelakan apa yang ia miliki.
Konotasi Herlina mengajak kedua anaknya untuk melihat ijab
qobul suaminya ini menandakan bahwa Herlina harus
bersikap adil dan kuat dalam keadaan tersebut.
Budaya patriarki yang ditampilkan dalam film tersebut
menegaskan bahwasannya perempuan tidak dapat
bertindak sesuai keinginannya. Perempuan kalah
dominasi dari laki – laki meskipun laki – laki tersebut
merupakan orang terdekatnya. Ia tidak bisa
mengungkapkan perasaannya, bukan hanya tidak berani

13
namun ia memahami posisi suaminya yang ingin
mendapatkan anak perempuan sehingga ia memendam
sendiri perasaan sedih, marah dan gelisa yang ia miliki.
Adegan tersebut menggambarkan dominasi suami terhadap istri. Dominasi
tersebut terjadi akibat kentalnya budaya patriarki dalam keluarga yang menyebabkan
keharusan perempuan untuk memenuhi keinginan laki – laki. Sakina (2017) berpendapat
bahwa budaya patriarki mempengaruhi kekuasaan dan kekuatan laki – laki yang melebihi
perempuan, yang menyebabkan seorang istri memiliki keterbatasan untuk menentukan
keinginan ataupun pilihannya dan cenderung selalu mengikuti keinginan suami meskipun
keinginan itu tidak pantas.
Tabel 3. Budaya patriarki dalam masyarakat

Scene 6 Menit 08:13


Herlina menyaksikan ijab qobul namun, ia menangis
Denotasi
dipelukan anak laki – lakinya.
Anak laki – laki Herlina memeluknya saat menangis,
memperlihatkan bahwa budaya patriarki telah dibentuk
dalam keluarga dimana laki – laki memegang tanggung
jawab atas apa yang terjadi didalam keluarga. Hal
tersebut secara tidak langsung menjadikan perempuan
Konotasi
sebagai sesosok yang lemah, Herlina menangis sebagai
tanda tidak rela dan sakit hati. Tangisan Herlina
menunjukkan bagaimana budaya patriarki membuat
Herlina menjadi perempuan yang cenderung pasrah
terhadap keinginan laki – laki. Tangisan Herlina juga

14
menandakan bahwasanya terdapat kekerasan psikologis
yang diberikan suaminya untuk memenuhi keinginannya
memiliki anak perempuan
Dominasi laki – laki terlihat jelas dari respon Herlina ketika terlaksananya ijab
qobul. Dalam Sakina (2017) berpendapat bahwasannya laki – laki mendominasi
perempuan karena budaya patriarki yang ada pada masyarakat menciptakan konstruksi
sosial dimana perempuan merupakan pihak lemah dan dapat disakiti baik menyakiti
dalam bentuk fisik maupun hatinya.
Budaya patriarki telah terbentuk dari dalam keluarga dimana anak laki – laki
Herlina yang masih kecil sudah terlihat memiliki tanggung jawab atas kesedihan ibunya.
Seperti menurut Parker dan Reckdenwald dalam You (2019) terbentuknya patriarki dalam
masyarakat diawali dari keluarga yang mana laki – laki diajarkan memegang tanggung
jawab atas apa yang terjadi dalam keluarga sehingga ia memiliki kekuasaan dalam
mengendalikan keluarganya. Budaya pariarki juga menyerang psikologis, tangisan
Herlina merupakan dampak dari kekerasan psikologis berupa tekanan dari keinginan
suaminya yang tidak dapat ia tolak. Seperti dalam You (2019) menjelaskan bahwa
kekerasan psikologis terjadi ketika suami dengan sengaja menyakiti perasaan istri untuk
mendapatkan sesuatu yang diinginkannya tanpa memikirkan perasaan yang
bersangkutan. Hal tersebut menyebabkan budaya patriarki menjadi sulit dihilangkan
karena kekuatan laki – laki tidak hanya menyerang fisik namun juga psikologis.

3.2 Laki – Laki Membatasi Ruang Gerak Perempuan


Dalam Ningsih (2014) menjelaskan dalam sistemnya patriarki membenarkan
bahwasannya perempuan memiliki ruang gerak yang minim sementara laki – laki
mendapatkan kebebasan untuk melakukan apa yang diinginkan. Dalam Sakina (2017)
menjelaskan juga bahwasannya perempuan tidak memiliki kebebasan dalam menolak
keinginan laki – laki. Kebebasan perempuan selain dalam ranah publik dibatasi dalam hal
mengambil keputusan dan menyuarakan keinginanya pun juga dibatasi oleh laki – laki.

15
Tabel 4. Laki – laki membatasi ruang gerak perempuan

Scene 4 Menit 05:45


Herlina menjabat dan mencium tangan suaminya yang
hendak pergi. Transisi dengan bergantinya latar waktu
Denotasi pernikahan. Dengan pakaian yang berbeda Herlina
melepas jabat tangan suaminya kemudian
menggelengkan kepala.
Kepergian suami Herlina bukan merupakan pergi untuk
berpindah tempat secara harfiah namun ia pergi untuk
menikahi Cut dengan alasan ingin mempunyai anak
perempuan. Herlina menerima jabat tangan suaminya,
Konotasi
menandakan ia memberi izin atas kepergian suaminya
tetapi Herlina menggelengkan kepala menandakan
bahwa sebenarnya Herlina tidak rela atas pernikahan
suami dengan Cut tetapi Herlina tetap memberikan izin.
Adegan dimana Herlina menggelengkan kepala dimana perasaan tidak rela
muncul namun tidak dapat berbuat apapun karena ia tidak memiliki kekuasaan. Ia tidak
mampu menahan suaminya yang akan pergi untuk menikahi Cut. Dalam Setiawati (2020)
berpendapat bahwa perempuan merupakan pihak yang hanya bisa menerima perlakuan
dari laki – laki tanpa bisa mengutarakan apa yang sesungguhnya ia inginkan. Menurut
Bashin dalam Adipoetra (2016) ruang gerak perempuan sangat dibatasi, disini laki – laki
membatasi apapun yang dilakukan oleh perempuan dominasi laki – laki menjadi sangat
kuat karna ruang gerak perempuan diambil ahli oleh laki – laki.

16
Tabel 5. Laki – laki membatasi ruang gerak perempuan

Scene 6 Menit 07:30


Denotasi Herlina menyaksikan ijab qobul suaminya dengan Cut.
Hubungan yang dijalin oleh Cut dan suami Herlina yang
berlatar belakang perselingkuhan dengan alasan suami
Herlina ingin mempunyai anak perempuan membuat
mereka melaksanakan pernikahan yang sebenarnya tidak
diinginkan oleh Herlina. Disini terlihat bahwa patriarki
digambarkan melalui dominasi laki – laki diluar maupun
didalam keluarga. Ruang gerak kedua perempuan
Konotasi tersebut dibatasi oleh hubungan yang dibuat oleh laki –
laki. Dimana Herlina tidak memiliki pilihan untuk
menolak adanya pernikahan tersebut karena sang suami
yang menginginkan anak perempuan dan Cut harus
menikah dengan laki – laki beristri akibat dari perbuatan
laki – laki tersebut terhadapnya. Kedua perempuan
berada dalam posisi yang tidak diuntungkan dimana
mereka dipaksa untuk mengikuti keinginan laki – laki.
Menurut Bhasin dalam Adipoetra (2016) patriarki memiliki lima aspek salah
satunya yaitu adalah produktivitas perempuan dikontrol oleh laki – laki, baik diluar
maupun didalam rumah tangga. Seperti halnya Herlina dan Cut dimana keduanya
terdominasi oleh satu laki – laki. Akibatnya ruang gerak keduanya dikontrol oleh laki –
laki demi memenuhi keinginan laki – laki untuk mendapatkan anak perempuan.
Pengorbanan yang dilakukan Cut untuk berhubungan dengan suami orang merupakan

17
bentuk patriarki meskipun hal tersebut merupakan perbuatan negatif. Menurut
Haryatmoko dalam Novarisa (2019) patriarki adalah kekerasan yang membuat
perempuan terjebak dalam menentukan cara pandang, berfikir, bertindak dan merasakan.
Perempuan mematuhi keinginan laki – laki yang seolah olah dianggap wajar.
Tabel 6. Laki – laki membatasi ruang gerak perempuan

Scene 1 Menit 02:22

Scene 2 Menit 03:16


Cut sedang duduk melaksanakan acara ijabqobul
bersama suami Herlina.
Denotasi
Herlina duduk sambil menunggu jalannya pernikahan,
lalu Herlina berkata “ibu tidak apa apa” kepada anaknya.
Cut yang sedang melaksanakan ijab qobul menandakan
bahwa Cut secara sadar tidak sadar ia telah menyetujui
kondisi dan keinginan laki – laki, Cut berusaha
Konotasi
menyembunyikan hubungannya demi kepentingan laki –
laki tersebut karena ia telah beristri. Dengan demikian
Cut rela berkorban demi kepentingan suami Herlina

18
tanpa memikirkan dirinya. Cut tidak memiliki alasan
yang jelas untuk melakukan hubungan dengan suami
orang namun laki – laki tersebut memiliki alasan jelas
dimana ingin memiliki anak perempuan. Sehingga
membuat Cut menerima dominasi suami Herlina secara
tidak sadar dan membuatnya dibawah kekuasaan suami
Herlina serta membuat ruang gerak Cut menjadi terbatas.
Perkataan Herlina “ibu tidak apa apa” dengan raut muka
sedih lalu melepas cincin pernikahan diganti dengan
scene suami Herlina yang menaruh cincin sebagai emas
kawin untuk pernikahan suami Herlina dengan Cut
Menandakan bahwa Herlina adalah korban dari adanya
dominasi laki – laki sehingga ruang gerak Herlina
menjadi dibatasi pada akhirnya Herlina yang berstatus
istri sah hanya bisa mengalah dan berkorban demi
kepentingan suami Herlina sendiri yang ingin
mempunyai anak perempuan serta rela menahan
penderitaannya.
Kedua scene tersebut memperlihatkan dominasi suami
Herlina didalam maupun luar keluarga dan suami Herlina
yang menyebabkan ruang gerak Herlina dan Cut menjadi
terbatasi dan menyepelekan tanggung jawabnya sebagai
seorang suami yang harus menghormati istrinya.
Terdapat dua korban patriarki dalam film Lilakno yaitu Herlina dan Cut.
Perselingkuhan membuat Cut secara tidak sadar dipaksa untuk menyetujui kepentingan
laki – laki. Dalam Novarisa (2019) patriarki membuat perempuan menerima dominasi
laki – laki secara tidak sadar dan membuatnya berada dibawah kekuasaan laki – laki.
Sedangkan dalam posisi Herlina yang merupakan perempuan dengan status sah
digambarkan dengan sosok yang mengalah, berkorban demi keinginan laki – laki dan rela
menahan penderitaan. Dalam Novarisa (2019) menjelaskan bahwasannya perempuan
menjadi istri yang tunduk dengan suaminya akibat adanya dominasi laki – laki.

19
3.3 Laki – Laki Mengatur Reproduksi dan Seksualitas Perempuan
Perempuan seringkali dianggap lemah dalam masyarakat begitu juga kontrol atas
reproduksinya yang tidak dapat ia atur sendiri membuatnya terlihat lebih lemah lagi.
Dalam Setiawati (2020) kontrol atas reproduksi perempuan semestinya berada pada
dirinya dimana perempuan seharusnya menikmati kebebasan seperti menentukan
keinginannya terkait reproduksinya sendiri. Namun kenyataan yang ada, reproduksi
perempuan seringkali diatur oleh laki – laki. Sementara itu menurut Bashin dalam
Adipoetra (2016) menjelaskan bahwasannya perempuan memiliki kewajiban untuk
memberikan kepuasan seksualitas terhadap keinginan dan kebutuhan laki – laki.
Tabel 7. Laki – laki mengatur reproduksi dan seksualitas perempuan

Scene 3 Menit 07:45


Herlina sedang menangis dipelukan suaminya dan
Denotasi
meminta penjelasan atas situasi yang terjadi.
Pada adegan tersebut suami Herlina berkata “koe ora iso
wenehi aku anak wedhok” (kamu tidak bisa memberikan
aku anak perempuan). Kalimat tersebut menggambarkan
bahwasanya laki – laki mengharuskan perempuan untuk
memenuhi kepuasan atas keinginannya. Suami Herlina
Konotasi menjalin hubungan dengan perempuan lain agar
keinginannya terpenuhi. Herlina melahirkan dua anak
laki – laki akan tetapi suami ingin anak perempuan maka
reproduksi perempuan berada dalam kuasa laki – laki,
oleh karena itu perempuan tidak memiliki ruang untuk
mengatur reproduksinya sendiri.

20
Menurut Walby dalam Adipoetra (2016) terdapat lima aspek bentuk patriarki
salah satunya. Laki – laki memiliki ruang untuk mengatur seksualitas perempuan.
Perempuan diwajibkan memberi pelayanan terhadap laki – laki sesuai dengan kebutuhan
dan keinginan laki – laki. Kasus tersebut digambarkan dalam film Lilakno yang mana
suami Herlina mencari kepuasan dalam hubungannya kepada perempuan lain yaitu Cut
dikarenakan Herlina tidak dapat memberikan kepuasan berupa anak perempuan.
Perkataan suami Herlina “koe ora iso wenehi aku anak wedhok” (kamu tidak bisa
memberikan aku anak perempuan) menunjukkan bahwa laki – laki mengatur reproduksi
perempuan. Menurut Walby dalam Adipoetra (2016) patriarki menunjukkan bahwa
perempuan tidak dapat mengatur berapa anak yang ia miliki, kuasa atas kepemilikan anak
tergantung kepada laki – laki.
Dalam penggambaran pada film tersebut budaya patriarki tergambarkan pada
perbuatan suami Herlina yang mendominasi Herlina dan Cut, baik itu dalam keluarga
maupun luar keluarga, serta ruang gerak Herlina dan Cut yang dibatasi, membuat suami
Herlina menjadi bebas untuk melakukan apapun yang diingkin kepada Herlina
sedangkan Herlina dan Cut tidak memilik kebebasan dalam menolak keinginan suami
Herlina dan tidak memiliki kebebasan untuk menyampaikan apa yang diinginkannya serta
tidak memiliki kebebasan mengambil keputusan. Suami Herlina juga mencari kepuasan
dalam hubungannya kepada perempuan lain yaitu Cut dikarenakan Herlina yang tidak
mampu memberikan anak perempuan, disini terlihat bahwa reproduksi perempuan diatur
oleh laki – laki dan perempuan dituntut untuk memberikan kepuasan seksualitas terhadap
keinginan dan kebutuhan laki – laki.

4 PENUTUP
Berdasarkan analisa peneliti dalam film Lilakno terdapat beberapa scene yang
menggambarkan budaya patriarki didalamnya. Patriarki digambarkan dengan
menggunakan analisis semiotika milik Roland Barthes yang menunjukkan bahwa budaya
patriarki masih terlihat jelas dalam masyarakat Indonesia. Film ini memeperlihatkan
bahwasannya laki – laki memiliki dominasi dalam keluarga maupun luar keluarga. Laki
– laki digambarkan memiliki kekuatan yang dapat memenuhi keinginannya tanpa
memikirkan perasaan perempuan. Budaya patriarki yang dimaklumi oleh sebagian besar
masyarakat membuat laki – laki menjadi lebih berani untuk menunjukkan dominasinya.

21
Film Lilakno menggambarkan budaya patriarki yang berkembang dalam
masyarakat membuat perempuan menjadi korban dominasi laki – laki. Budaya patriarki
tersebut menyebabkan perempuan terutama seorang istri memiliki keterbatasan untuk
menentukan pilihannya sendiri. Budaya patriarki juga dapat menyerang kondisi
psikologis perempuan khususnya perempuan dalam rumah tangga. Selain itu patriarki
juga membuat ruang gerak perempuan dibatasi dimana kebebasan dalam menyampaikan
keinginanya tidak dapat ia utarakan. Patriarki menyebabkan perempuan menjadi manusia
tunduk atas perintah dan keinginan laki – laki. Selain itu patriarki juga membuat wanita
tidak dapat mengontrol reproduksinya sendiri. Dimana laki – laki memiliki ranah lebih
luas untuk mengontrol reproduksi perempuan seperti keinginannya untuk memiliki anak
perempuan. Laki – laki sebagai dominasi juga mengatur seksualitas perempuan yang
mana ia dapat menentukan kapan dan dimana perempuan harus memberikan kepuasan
seksualitas.
Budaya patriarki yang melekat dalam masyarakat kita membuat salah satu pihak
dirugikan. Terlebih patriarki yang ada dalam keluarga membuat budaya patriarki lebih
sulit untuk dihilangkan. Sebagian masyarakat Indonesia secara sadar tidak sadar masih
membudayakan patriarki dalam keluarga yang mana istri harus menuruti keinginan suami
sekalipun keinginan tersebut hal buruk.

DAFTAR PUSTAKA
Adipoetra, F. G. (2016). Budaya Patriarki dalam Film “ Batas .” Jurnal E-Komunikasi, 4,
1–11.
Anita, D., Yoanita, D., & Wahjudianata, M. (2019). Budaya Patriarki dalam Film “A Star
Is Born.” Jurnal E-Komunikasi, 7(2). Retrieved from
http://publication.petra.ac.id/index.php/ilmu-komunikasi/article/view/10285
Asri, R. (2020). Membaca Film Sebagai Sebuah Teks: Analisis Isi Film “Nanti Kita Cerita
Tentang Hari Ini (NKCTHI).” Jurnal Al Azhar Indonesia Seri Ilmu Sosial, 1(2),
74. https://doi.org/10.36722/jaiss.v1i2.462
Ningsih, Kurnia., (2014). Woman Image in Literary Works. jurnal pendidikan bahasa,
sastra dan seni. XV(1).
Butchart., (2016). The communicology of Roland Barthes ’ Camera Lucida : reflections
on the sign – body experience of visual communication. 15(2), 199–219.
https://doi.org/10.1177/1470357215624308
Cahyaning, Vintari., (2018). Pesan Moral Sikap Gigih dalam Film Kartini (Analisis

22
Semiotika Model Roland Barthes).
Christ, C. P. (2016). A New Definition of Patriarchy : Control of Women ’ s Sexuality ,
Private Property , and War. https://doi.org/10.1177/0966735015627949
Faisal, M., Ananta, W., Studi, P., Komunikasi, I., Komunikasi, F., Informatika, D. A. N.,
& Surakarta, U. M. (2019). TUNGGAL DALAM FILM SUSAH.
Hariyani, N. (2018). Analisis Semiotika Budaya Citra Perempuan Dalam Film Kartini.
SOSIAL: Jurnal Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 19(1), 19–42. Retrieved from
http://showbiz.liputan6.
Kusumawati, Hesty., (2018). Patriarki Domestik Novel Perempuan Berkalung Sorban.
2(1), 36–43.
Kusuma, R. S., & Sholihah, Z. (2018). Budaya Etnis Tionghoa dalam Film “Ku Kejar
Cinta Ke Negeri Cina” dan “Ngenest”. Mediator, 11(2), 165-176.
Kusumawardhana & Abbas. (2018). Indonesia di Persimpangan: Urgensi “Undang-
Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender” di Indonesia Pasca Deklarasi Bersama
Buenos Aires pada Tahun 2017. 9(2), 153–174.
Lee, J. W. (2017). Semiotics and sport communication research: Theoretical and
methodological considerations. Communication and Sport, 5(3), 374–395.
https://doi.org/10.1177/2167479515610764
Maulida, J., & Maulida, J. (2020). BUDAYA PATRIARKI DALAM FILM KARTINI ( 2017
) PATRIARCHY CULTURE IN KARTINI FILM ( 2017 ) BY HANUNG
BRAMANTYO. 2(April), 15–27.
Muslim. (2016). Staf Pengajar pada Progam Ilmu Komunikasi, FISIB, Universitas
Pakuan 77. 1(10), 77–85.
Noor, F., & Wahyuningratna, R. N. (2017). Budaya Sensualitas Perempuan dalam Iklan
New Era Boots di Televisi (Kajian Semiotika Roland Barthes). IKRA-ITH
HUMANIORA: Jurnal Sosial Dan Humaniora, 1(2), 1–10.
Novarisa, G. (2019). Dominasi Patriarki Berbentuk Kekerasan Simbolik Terhadap
Perempuan Pada Sinetron. Bricolage : Jurnal Magister Ilmu Komunikasi, 5(02),
195. https://doi.org/10.30813/bricolage.v5i02.1888
Nurdin, I., & Hartati, S. (2019). Metodologi Penelitian Sosial. Media Sahabat Cendekia.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kreatif. Yogyakarta: PT LkiS Pelangi.
Pratiwi, A. (2018). Budaya Citra Politik Harry Tanoesoedibjo (Studi Semiotika Roland
Barthes Dalam Video Mars Partai Perindo). Profetik: Jurnal Komunikasi, 11(2),
17. https://doi.org/10.14421/pjk.v11i2.1426
Sakina, A. I., & A., D. H. S. (2017). Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia. Share :
Social Work Journal, 7(1), 71. https://doi.org/10.24198/share.v7i1.13820
Setiawati, T. (2020). Budaya Budaya Patriarki Dalam Film Istri Orang. Komunika, 7(2),
66–76. https://doi.org/10.22236/komunika.v7i2.6328

23
Shohel, T. A., Niner, S., & Gunawardana, S. (2021). How the persistence of patriarchy
undermines the financial empowerment of women microfinance borrowers?
Evidence from a southern sub-district of Bangladesh. PloS one, 16(4), e0250000.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0250000
Soejono & Abdurrahman. (2005). Metodologi Penelitian Suatu Pemikiran dan
Penerapannya, Jakarta: Rineka Cipta
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif R&D. Bandung :
Alfabeta
Walby, Theorizing patriarchy (1990) - Chap 1.pdf. (n.d.).
You, Y. (2019). Relasi Gender Patriarki Dan Dampaknya Terhadap Perempuan Hubula
Suku Dani, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Sosiohumaniora, 21(1), 65.
https://doi.org/10.24198/sosiohumaniora.v21i1.19335
Yousaf, Z. (2017). Challenges of Patriarchal Ideologies in Pakistani Cinema : A Case of
Feminist Depiction in Films. (01), 1–21. https://doi.org/10.1210/jc.2018-01321
Yustiana, M., & Junaedi, A. (2019). Budaya Feminisme dalam Film Marlina si Pembunuh
dalam Empat Babak (Analisis Semiotika Roland Barthes). Koneksi, 3(1), 118.
https://doi.org/10.24912/kn.v3i1.6154
Wood, JT., GENDERED LIVES Communication, Gender, and Culture - eighth edition.
Publisher: Lyn Uh

24

Anda mungkin juga menyukai