Anda di halaman 1dari 3

FAKULTAS FILM DAN TELEVISI

INSTITUT KESENIAN JAKARTA


Jl. Cikini Raya 73 Jakarta Pusat

LEMBAR JAWABAN
UJIAN AKHIR SEMESTER
Nama : Rakha Ariya
NIM : 1160150143
MATA KULIAH : SOSIOLOGI FILM
DOSEN PENGAMPU : Mohamad Ariansah, M.Sn

● Jawaban:

1. Budaya sendiri dapat kita pahami sebagai sebuah teks, keyakinan, tindakan, dan artefak
atau barang ciptaan manusia. Namun teks disini bukan saja berarti tulisan, tapi segala
sesuatu yang mengandung makna dan dapat dipahami. Seperti film yang dapat kita
baca dan pahami maknanya.

Namun dapat hal yang dapat dipahami di sebuah wilayah belum tentu dapat dipahami
di wilayah lainnya. Sebagai contoh pada film ‘Marlina si pembunuh dalam 4 babak’
yang menceritakan seorang perempuan yang hidup sendirian semenjak suaminya telah
meninggal. Diceritakan suatu hari perampok mendatangi rumah Marlina untuk
merampok seluruh harta dan ternak Marlina. Bukan hanay itu saja namun perampok
tersebut juga hendak menyetubuhi Marlina dan mengatakan bahwa Marlina sangat
beruntung, namun kemudian ia menyembelih ketua perampok tersebut dan membawa
kepalanya pergi. Yang kemudian perampok tersebut mengejar Marlina demi
mendapatkan kepala yang ia bawa.

Dalam konteks ini banyak sekali budaya yang dikandung pada film tersebut, dimana
perempuan dicap lemah dan sangat beruntung bila dipuaskan hasrat seksualnya. Selain
itu kondisi dimana mayat yang tidak mempunyai kepala dianggap hal tabu juga
merupakan budaya yang belum tentu dipahami orang dari wilayah lain.
FAKULTAS FILM DAN TELEVISI
INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Jl. Cikini Raya 73 Jakarta Pusat

Dalam hal ini kita dapat melihat bahwa film sendiri merupakan sebuah bentuk Praktik
budaya yang dipergunakan untuk memperlihatkan teks, tindakan dan keyakinan dalam
suatu kebudayaan.

2. Kritisisme kultural sendiri merupakan bagaimana kita menggunakan teori budaya


berusaha memahami strruktur film dan menempatkannya dalam praktik budaya dan
konteks budaya yang mengelilinginya.

Contohnya saya akan membuat dua perbandingan singkat film ‘Darah dan doa – Usmar
Ismail (1950)’ yang merupakan sebuah High art dengan Film ‘5cm – Rizal Mantovani
(2012)’ yang merupakan low art.

Film darah dan doa, merupakan film pertama yang dianggap film nasional pertama
yang dibuat Indonesia. Dibuat oleh tokoh perfilman Indonesia yang dianggap Bapak
perfilman Indonesia.
Film 5cm, juga merupakan salah satu film terbaik di tahun beredarnya dan berhasil
memenangkan kategori Pengarah Sinematografi terbaik di FFI 2013.

Kedua film tersebut bis akita katakana mempunyai premis yang sama yaitu tentang
sebuah perjalanan Panjang menuju sebuah tujuan. Dimana perjalanan tersebut
menghadapi banyak rintangan. Dari segi keaktoran Darrrah dan doa menggunakan
aktor baru dengan gaya keaktoran yang terkesan baku dan formal, sedangkan 5cm
menggunakan aktor-aktor ternama pada eranya dan gaya Bahasa yang digunakan juga
tidak formal dan merupakan Bahasa gaul dengan sentuhan yang agak tidak senonoh.
Format rasio yang kedua film gunakan juga berbeda yang mana Darah dan doa
menggunakan rasio gambar yang lebih kecil dari 5cm karena perbedaan teknologi pada
masanya.
FAKULTAS FILM DAN TELEVISI
INSTITUT KESENIAN JAKARTA
Jl. Cikini Raya 73 Jakarta Pusat

3. Film dapat kita anggap sebagai media atau teknologi politik, dimana melalui film kita
dapat menciptakan dan memanipulasi ide, badan dan relasi kekuasaan.
Contohnya di Indonesia merupakan Film ‘Di balik 98’ yang disutradarai Lukman Sardi.
Film terrsebut menceritakan tentang taragedi pada tahun 1998 dimana tokoh utamanya
merrupakan mahasiswa yang turut menuntut turunnya Presiden kala itu. Di dalam film
ini menurut saya sarat akan unsur politik yang mana menceritakan keburukan rezim
dan pemerintahan lalu dan banyaknya perubahan yang dapat dilakukan oleh pemerintah
setelahnya.

4. Dalam studi tentang budaya kita cenderung membuat pengelompokan seni tinggi dan
seni rendah, juga mana seni yang serius dan populer sehingga menimbulkan sebuah
segmentasi. Dikarenakan film sebagai budaya populer jarang mengangkat isu tentang
nilai artistik sinema dan seni maka kajian sosiologis film hampir tidak dianggap
menjadi suatu yang baik dan mendapat kecaman dari beberapa pihak.

5. Makro-sosiologis berarti mengkaji hubungan antara film dengan system sosial yang
luas terkait dengan spasial-temporalnya. Sedangkan Mikro-sosiologis berarti mengkaji
pada hubungan internal dan perkembangannya yang terdapat pada film.
Contoh kajian makro sosiologis pada film ‘Di balik 98’ adalah bila kajian tersebut
mengkaji hubungan sosial masyarakat pada saat kejadian tersebut, sifat masyarakat dan
tindakan yang dilakukan masyarakat umun pada tragedi 98. Sedangkan Mikro-
sosiologis hanya akan megkaji bagaimana hubungan sosial tokoh utama terhadap
keluarganya yang memiliki pandangan yang bersebrangan dari pandangannya.

Anda mungkin juga menyukai