Abstrak
Penelitian ini mempertanyakan kembali penamaan bagi Film Islam Indonesia yang se-
ringkali dilabeli sebagai kosmopolit. Pelabelan kosmopolitan dan transnasional tidak saja
kurang tepat, tetapi keliru. Pemakaian istilah kosmopolit ini bermula dari booming-nya Ayat-
Ayat Cinta di tahun 2008 diikuti film senada lainnya. Untuk itu penelitian ini menganalisis
tren narasi dari film Ayat-Ayat Cinta, 99 Cahaya di Langit Eropa, Haji Backpacker, dan
Assalamualaikum Beijing dengan menggunakan analisis ‘The Third Meaning’ Roland Bar-
thes. Analisis pertama ini bertujuan menemukan unsur filmis untuk menjawab pertanyaan
mengenai identitas Muslim yang dihadirkan. Analisis ini menemukan sosok Muslim (kelas
menengah) Indonesia yang dihadirkan empat film tersebut sebagai Muslim yang melankolik,
yaitu Muslim yang gagal meratapi kehilangan kebesaran/kejayaan Islam. Muslim Melanko-
lik ini sedang mengonstruksi atau menulis kembali sejarah dunia (Islam), sejarah hubungan
Timur-Barat. Subjek melankolik yang seolah ingin berdamai dengan trauma (sejarah) justru
merepetisi orientalisme. Melalui teori objek of desire virtual Deleuze, konstruk dunia yang
dibayangkan oleh Muslim melankolik ini adalah peradaban dunia yang berhutang budi pada
peradaban Islam. Maka, dunia akan lebih baik dengan adanya (kejayaan) Islam.
Kata kunci: film Islam, narasi, Muslim melankolik, melankolia, budaya populer, objek
a virtual
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik 207
Gusnita Linda
(Desain Komunikasi Visual, Fak. Rekayasa Industri & Desain, Institut Teknologi Telkom Purwokerto)
dunia asing yang ingin ditemui. dan bagian duanya7 berlatar tempat di
Film Ayat-Ayat Cinta tak sendiri. Ia Austria, Perancis, Spanyol, dan Mekkah,
diulang dan diikuti (menjadi tren) oleh Arab Saudi. Ketiga, Haji Backpacker8
film sejenis dengan image yang populer memilih sembilan negara menuju Mek-
hingga hari ini.1 Mulai dari film Ketika kah dengan jalur darat (Jalur Sutra).
Cinta Bertasbih, 99 Cahaya di Langit Keempat, Assalamualaikum Beijing9
Eropa (sekuelnya hingga empat film), memilih Jakarta dan Tiongkok sebagai
Haji Backpacker, dan Assalamualaikum latar utama film.
Beijing memiliki banyak kesamaan.2 Empat film ini memilih ragam luar
Eric Sasono mengatakan bahwa ini ada- negeri yang kompleks. Mulai dari Asia,
lah film yang mengimajinasikan Muslim Timur Tengah, hingga Eropa. Film-
transnasional.3 Ia memiliki ciri-ciri kos- film tersebut dianggap cukup mewakili
mopolit, akan tetapi justru menebalkan perbincangan mengenai film Islam yang
identitas tertentu. Benarkah bisa kita na- membicarakan isu-isu kosmopolit. Pe-
mai dengan Muslim kosmopolit? ngaruh film ini begitu besar bagi kaum
Penelitian ini mengkhususkan em- muda Islam perkotaan.10
pat film sebagai sumber utama objek pe- Empat film ini begitu berlimpah
nelitian. Pertama, film Ayat-Ayat Cinta4 dengan penanda simbolik mengenai ke-
dan Ayat-Ayat Cinta Dua5 yang berlatar jayaan Islam di masa lalu. Bagaimana
tempat di Kairo, Mesir. Kedua, 99 Ca- memaknai ini agar tidak terjebak dalam
haya di Langit Eropa bagian pertama6 kritik normatif?
Mancanegara tampil eksotis se-
1 Disebut dalam beberapa buku; Ariel Heryanto bagai latar cerita, mengusung berbagai
(editor), Identitas dan Kenikmatan:
Politik Budaya Layar Indonesia (Jakarta: ‘fakta’ sejarah Islam. Hal ini persis se-
Kepustakaan Populer Gramedia, 2015). Alicia perti kita melihat acara turisme sejarah
Izharuddin, Gender and Islam in Indonesian Islam di berbagai belahan dunia ketika
Cinema (Singapura: Springer Nature, 2017). bulan puasa. Klaim soal kejayaan Islam
Thomas Alexander Charles Barker, “A Cultural
Economy of The Contemporary Indonesian di masa lalu di berbagai tempat diha-
Film Industry” (PhD disertasi, Philosophy dirkan begitu intens. Bangunan megah,
Department of Sociology University of penemuan teknologi, dan ahli/pemikir
Singapore, 2011).
Islam dimunculkan secara bersamaan.
2 Yulaika Ramadhani, “Hikmat Darmawan:
Kritik Film Bukan Pemandu Belanja”, Namun, seringkali kesan kejayaan Islam
Cinemapoetica. Diakses 26 April 2016, http:// di masa lalu diakhiri dengan semacam
cinemapoetica.com/hikmat-darmawan-kritik- penyesalan dan kekecewaan bahwa se-
film-bukan-pemandu-belanja/.
3 Eric Sasono, “Kinemata: Eric Sasono’s
Personal Blog”. Diakses 3 Januari 7 Guntur Soeharjanto, sutradara, 99 Cahaya di
2015, https://ericsasono. wordpress. Langit Eropa 2 (Jakarta: Maxima Pictures,
com/2015/01/03/mencatat-film-indonesia- 2014), DVD.
2014-bagian-1/. 8 Danial Rifki, Haji Backpacker (Jakarta: Falcon
4 Hanung Bramantyo, sutradara, Ayat-Ayat Cinta Pictures, 2014), DVD.
(Verses of Love) (Jakarta: MD Pictures, 2008), 9 Guntur Soeharjanto, Assalamualaikum Beijing
DVD. (Jakarta: Maxima Pictures, 2014), DVD.
5 Guntur Soehardjanto, sutradara, Ayat-Ayat 10 Hariyadi, “Islamic Films and Identity:
Cinta 2 (Verses of Love 2) (Jakarta: MD The Case of Indonesian Muslim Youths”,
Pictures, 2017), DVD. dalam The 5th International Conference on
6 Guntur Soeharjanto, sutradara, 99 Cahaya Indonesian Studies: Etnicity and Globalization
di Langit Eropa (Jakarta: Maxima Pictures, Jilid 1, diedit oleh Irmayanti Meliono (Depok:
2013), DVD. Universitas Indonesia, 2013), 205-227.
jarah telah berlalu dan tak bisa ditemui B. “Pesan” dalam Keempat Film
lagi, yang ada hanya jejak kejayaan-
nya. Klaim kejayaan dibalut oleh rasa Sebelum menjawab rumusan per-
kehilangan yang khas dan dibumbui pe- tanyaan penelitian, kita perlu mengupas
nokohan berkarakter saleh dan ideal da- “pesan” yang ada di dalam film dengan
lam pergaulan internasional11. Muslim mengelompokkan informasi penting me-
seperti apa yang sedang kita saksikan ngenai latar (setting/lokasi film), tokoh
di dalam tren film Islam semacam ini? dan penokohan, relasi antar tokoh, tata
Penamaan Muslim kosmopolit dalam rias busana, dan gaya bahasa. Pengelo-
berbagai kritik film tematik ini masih laan data “pesan” dalam unsur intrinsik
belum cukup kuat untuk mewakili so- ini sebagai langkah awal untuk mene-
sok Muslim yang dihadirkan di film-film mukan tanda dalam analisis semiotika.14
tersebut.12 Pengalaman kehilangan ma- Tanda ini berfungsi sebagai landasan
cam apa yang sedang mereka nikmati awal untuk menjelaskan penanda dalam
sehingga menciptakan film-film ter- analisis tingkat kedua dan ketiga yang
tentu secara terus-menerus, khususnya akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian
pada pengalaman kehilangan akan ke- berikutnya.
jayaan Islam di masa lalu? Pengalaman Ada beberapa “pesan” yang
kehilangan ini menjadi fokus penelitian ditemukan dalam keempat film ini, yaitu
dengan menggunakan pendekatan kritis pertama adalah lanskap internasional
estetika melankolia.13 Dari uraian latar yang turistik. Kedua, penokohan yang
belakang di atas, fokus pertanyaan pene- ideal dan normatif. Ketiga, relasi yang
litian dirumuskan sebagai berikut: Tren meliyankan (tidak setara). Keempat, rias
narasi film seperti apa yang dibangun busana yang kaffah dan syar’i. Kelima,
dalam beberapa film yang telah dipilih gaya bahasa keminggris. Dalam keem-
sebagai objek penelitian? Bagaimana pat film ini, ada berbagai bahasa yang
model/tren narasi tersebut membangun/ bertaburan. Film AAC menggunakan
membicarakan imajinasi wacana Mus- beberapa bahasa, yaitu Arab, Jerman,
lim melankolik? Islam atau Muslim se- Inggris, dan bahasa Indonesia. Bahasa
perti apa yang dikonstruksi melalui nara- Indonesia menjadi bahasa utama yang
si film tersebut? digunakan dalam keseluruhan film. Mes-
ki dengan pencitraan aktor dari berbagai
negara, tetapi mereka fasih berganti ba-
11 Seperti kritik Hikmat Darmawan yang hasa, dari Arab ke Indonesia dan yang
mengatakan bahwa tak perlu lagi lainnya. Bahasa yang digunakan dalam
membicarakan Film Islam berlatar luar dialog publik seperti di bus kota dan si-
negeri; Yulaika Ramadhani, “Hikmat
Darmawan: Kritik Film Bukan Pemandu dang pengadilan Mesir adalah bahasa In-
Belanja”, Cinemapoetica. Diakses 26 April donesia. Begitu juga halnya dengan tiga
2016, http://cinemapoetica.com/hikmat- film lainnya.
darmawan-kritik-film-bukan-pemandu-
belanja/.
12 Adrian Jonathan Pasaribu, dkk., Merayakan 14 Roland Barthes, Imaji Musik Teks: Analisis
Film Nasional (Jakarta: Direktorat Sejarah Semiologi atas Fotografi, Iklan, Film,
DIRJEN Kebudayaan Kementerian Musik, Alkitab, Penulisan dan Pembacaan
Pendidikan dan Kebudayaan, 2017). serta Kritik Sastra oleh Roland Barthes
13 Bokanowski, Thierry, dkk. (editor), On (Esai-Esai Terpilih dan Diterjemahkan oleh
Freud’s “Mourning and Melancholia” Stephen Heath), penerj. Agustinus Hartono
(London: Karnac, 2009), 19-34. (Yogyakata: Jalasutra, 2010), 41.
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik 209
Gusnita Linda
(Desain Komunikasi Visual, Fak. Rekayasa Industri & Desain, Institut Teknologi Telkom Purwokerto)
identifikasi diri lewat other/liyan. Da- ject of desire) merupakan hasrat yang se-
lam membincangkan liyan Muslim ini lalu ingin dicapai oleh setiap subjek ba-
terdapat semacam pernyataan implisit hasa. Di dalam film, hasrat ini adalah roh
mengidealkan Muslim Indonesia. utama dari film tersebut, yang mengen-
Secara lebih luas, liyan di empat dalikan/mendorong berjalannya alur dan
film ini adalah masyarakat global dari plot sebuah film.19
berbagai negara. Mereka bertemu (na- Setelah memaparkan makna sim-
mun tak sepenuhnya berinteraksi) de- bolik yang dibahas pada makna tingkat
ngan orang-orang dari berbagai negara. kedua, kita bisa uraikan ke dalam dua
Mereka ingin diterima/diakui di dunia pokok objek/desire yang terdapat di em-
global. Artinya, mereka ingin menja- pat film ini, yaitu:
di kosmopolitan, menjadi warga dunia.
Pengadeganan dan scene dalam film ini 1. Moralitas
justru mempertebal identitas mereka Normatif, bahwa yang ideal itu
(Muslim Indonesia). Namun, karakter li- adalah yang bermoral, yaitu Islam yang
yan digunakan terbalik. Penokohan liyan kaffah. Menandai diri sebagai yang ide-
tak serius dan solid dalam garapan empat al, dari proses imajiner dengan liyan.
film ini. Hasilnyam penokohan menjadi Tak ada yang sama dengan dirinya/tak
‘Wagu’ ketika karakter berbagai negara ada yang seideal dirinya. Dalam hal ini,
bisa berbahasa Indonesia-Inggris (dan tokoh utama dalam empat film ini me-
bahasa lainnya) saling bergantian tanpa rupakan sosok yang ideal dan heroik. Ia
alasan yang logis. menjadi sorotan ideal oleh tokoh lain-
nya. Salah satu sosok yang tidak begitu
b. Mencari Filmis: Objek (a) yang ideal di awal film adalah Mada. Namun,
Hilang pada akhirnya Mada bertobat dan berhaji
Selanjutnya, naik pada level ketiga ke Mekkah, Arab Saudi. Hal ini menja-
dari tiga tingkat makna Roland Barthes dikannya seorang Muslim yang baik dan
tak pernah mudah. Filmis tak bersifat ideal. Empat film ini menjadikan liyan
mekanis.18 Menemukan filmis mesti sejajar dengan demon/kafir, ateis, ber-
dibantu dengan kajian ilmu salah satu- perilaku bebas, konyol, seenaknya me-
nya dengan teori psikoanalisa Lacan, langgar ‘aturan’, dan tidak mendapatkan
khususnya objek a dalam pemenuhan hidayah.
hasrat. Untuk menemukan makna ke- Film ini mengusung standar mora-
tiga (filmis/objek a) kita harus mene- litas pada keislaman tertentu (berislam
mukan terlebih dahulu simptom yang secara kaffah) dan memiliki kecende-
ada. Simptom adalah jejak-jejak yang rungan memaksakan idealitas keislaman
muncul dari sebuah represi akan lack. tertentu. Berislam harus utuh (kaffah).
Di dalam bahasa, simptom muncul da- Kalau tidak, kita jadi berbeda (seketika
lam fase imajiner dan simbolik, seperti meliyankan). Yang ditakutkan dari hal
yang sudah diuraikan pada makna kedua seperti ini adalah berujung menjadi fasis.
sebelumnya.
Mengapa objek a begitu penting
19 Jon Roffe, “Notes on a Deleuzean Theory of
dan setara dengan filmis? Objek a (ob- Melancholia: Object, Cinema, World”, dalam
Crisis & Critique, vol. 3, no. 2 (2016), 150.
Diakses 26 April 2016, http://crisiscritique.
18 Roland Barthes, Imaji Musik Teks, 41. org/special09/roffe.pdf
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik 211
Gusnita Linda
(Desain Komunikasi Visual, Fak. Rekayasa Industri & Desain, Institut Teknologi Telkom Purwokerto)
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik 213
Gusnita Linda
(Desain Komunikasi Visual, Fak. Rekayasa Industri & Desain, Institut Teknologi Telkom Purwokerto)
Menjadi agen Islam dan sosok ide- negara Barat yang hari ini jauh terlihat
al, menutupi perasaan (penyangkalan) lebih modern.22 Film ini melanggeng-
kehilangan akan kejayaan Islam. Untuk kan wacana kolonial dalam kenikmatan
itu, Muslim yang bepergian ke man- (jouissance parsial), memenuhi object
canegara ini harus membuktikan bahwa of desire¸ ambisi untuk terlihat setara di
mereka adalah representasi Muslim yang mata Barat karena Barat adalah sumber
hebat dan luar biasa bagi dunia global. kemajuan dan peradaban dunia, semen-
Representasi sosok ideal di mata global, tara peradaban Islam yang diagungkan
di satu sisi merupakan keinginan untuk saat ini sudah tak terlihat lagi. Yang ada
diterima oleh pergaulan dunia. Melalui hanyalah jejaknya, peninggalan dari ke-
film ini kita melihat mereka ingin menja- jayaan Islam tersebut. Hal itulah yang
di warga dunia yang melampaui teritori, selalu ingin dijemput kembali. Hal ini
menjadi kosmopolitan. menunjukkan ambivalensi dalam Mus-
Akan tetapi, kosmopolitan yang lim melankolik itu sendiri.
digadang-gadang dibangun di atas sekat Berusaha membalik relasi kuasa
agama yang begitu tajam. Terlihat jelas ‘khas’ cara pandang Barat; bahwa kami
film tersebut justru menebalkan teritori yang terbaik, liyan bisa baik karena jasa
dan agama mereka: Muslim Indonesia subjek. Bahwa Eropa maju karena ber-
yang ideal dibandingkan warga mana utang terhadap ilmuwan Islam dan pe-
pun di dunia, bahkan Muslim lainnya di ngaruh peradaban Islam. Pada adegan
mancanegara dengan mengidentifikasi melihat lukisan The Virgin and Child
diri seolah paling kosmopolitan, teta- menjadi penanda relasi kuasa Islam
pi dengan cara meliyankan yang selain yang ingin melegitimasi Kristen (Barat).
mereka. Wacana ini mempertegas ke- Melalui Museum Louvre dan Vienna
nyataan bahwa mereka melupakan se- menyimpan ‘jejak kejayaan’ Islam, se-
jarah relasi kuasa Barat-Timur sebelum olah Barat mau tak mau mengakui per-
membangun wacana yang bertaburan adaban Islam itu sendiri. Lukisan The
kejayaan Islam tersebut. Virgin and Child dianggap lebih fenome-
nal dibandingkan dengan lukisan Monal-
d. Melankolia yang melanggengkan isa karena diklaim sebagai fakta sejarah
wacana kolonial yang mencatat kalimat suci umat Islam.
Kejayaan Islam menjadi pengalam- Di dalam pengantar Oriental-
an terancam (insecurity mayoritas/play- isme23, disimpulkan empat jenis relasi
ing victim) di dalam sebuah relasi kua- kuasa khas orientalisme Said:
sa. Namun, film ini seolah ambigu akan Kekuasaan politis (pembentukan
relasi kuasa yang sedang bekerja pada kolonialisme dan imperialisme),
mereka. Mereka mengerucutkannya kekuasaan intelektual (mendidik
pada relasi kuasa agama semata. Mereka Timur melalui sains, linguistik, dan
tersesat oleh ambiguitas mereka sendiri.
Akan tetapi, kita bisa melihat perta- 22 Dapat menjadi kritik terhadap pemikiran
rungan dikotomis antara Barat-Timur ala Hassan Hanafi ketika ingin membalikkan
dikotomi Barat-Timur menjadi Timur-Barat.
wacana kolonial masih berlanjut di da- Rujukan: Hassan Hanafi, Oksidentalisme;
lam film ini. Relasi kuasa yang menjadi Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat (Jakarta:
jembatan Barat-Timur seolah dilupakan Paramadina, 2000).
begitu saja oleh film ini sehingga kesan 23 Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni
betapa Timur (Islam) tak kalah hebat dari Barat dan Mendudukkan Timur sebagai
Subjek, 10.
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik 215
Gusnita Linda
(Desain Komunikasi Visual, Fak. Rekayasa Industri & Desain, Institut Teknologi Telkom Purwokerto)
diran (kejayaan) Islam (kembali). Dalam nya Ayat-Ayat Cinta yang mencengang-
film ini, dunia dikonstruksi berdasarkan kan jagat perfilman sekaligus masyara-
sudut pandang tertentu (keislaman ter- kat Muslim muda perkotaan. Mereka
tentu) yaitu Muslim kelas menengah In- dapat melihat diri mereka di layar lebar,
donesia. bioskop. Media yang sebelumnya ‘di-
haramkan’ dan distigma sebagai ladang
C. Penutup maksiat rupanya menjadi idola baru un-
tuk berdakwah setelah era film dakwah
Bagi saya sendiri perkembangan Is- Roma Irama lama meredup.
lam dan budaya populer ternyata cukup Tren film Islam dalam empat film
menjadi fenomena mengagetkan. Me- yang diteliti ini sedang membangun cit-
nimbulkan banyak pertanyaan mengenai ra Islam yang lebih baik di mata dunia
eksistensi Muslim di dunia yang berlari- internasional meski disuguhkan kepa-
an dengan cepat seperti sekarang. Dunia da penonton dalam negeri sendiri saja.
digempur berbagai budaya populer yang Narasi film yang dihadirkan melulu soal
bentuknya bisa melewati lintas teritori anak muda saleh yang nyaris sempurna.
yang ada. Agama (Islam) sebagai salah Mereka muda, rupawan, intelek, memi-
satu produk budaya yang paling tua bu- liki gaya, punya segudang prestasi, dan
kannya melemah, tetapi justru semakin yang paling penting, saleh. Moderni-
menguat (setidaknya begitu di Indone- tas dan kesalehan menjadi entitas yang
sia). Rupanya perkembangan komodi- tunggal pada mereka. Mereka mengide-
fikasi produk budaya memberi manfaat alisasi diri di dalam ruang lingkup per-
pada perkembangan Muslim kelas me- gaulan global dan membedakan diri dari
nengah Indonesia.28 Ia mendapat tem- yang lain, bahkan dari Muslim mana pun
pat di alam sosial politik Indonesia yang di dunia. Muslim Indonesia dianggap
semakin terbuka, terlebih setelah Orde yang paling ideal dan canggih.
Baru tumbang. Film-film ini tidak punya nara-
Muslim Indonesia mulai menulis si yang jelas sebagai sebuah film ceri-
kembali tentang dirinya, menulis ulang ta fiksi. Film ini lebih banyak disusupi
dan mengidentifikasi diri melalui budaya oleh aktivitas turistik. Aktivitas turistik
populer, yaitu film Islam. Fenomena yang ingin memperlihatkan (dan mem-
film Islam bukan hal baru di perfilman bangkitkan) kejayaan/kebesaran Islam
Indonesia. Ia telah ada semenjak orang di masa lalu. Namun, dengan visualisasi
Indonesia belajar membuat film sendiri. Eropa yang glamor dan eksotisme khas
Sebagai agama mayoritas tentu wajar turistik, hal ini justru semakin memperli-
jika tema film Islam menjadi objek yang hatkan mental inferior.
menarik dijajaki oleh para sineas. Seti- Mereka membangun citra kos-
daknya pasar/konsumen telah tersedia mopolit, tetapi imajinasi kosmopolit me-
untuk mereka. reka compang-camping. Mereka men-
Film Islam kembali menjadi tren dakwa diri sebagai Muslim ideal dan
ketika gerakan Islam populis menca- heroic, ingin melawan wacana global
pai ‘keberhasilannya’ pada awal tahun yang salah kaprah memandang Islam
2000-an. Hal ini ditandai dengan hadir- (Islamophobic). Alih-alih ingin melawan
‘dunia’, mereka justru memuja sepenuh
hati dunia yang sedang mereka lawan
28 Jati, Politik Kelas Menengah Muslim dengan meminjam dan melanggeng-
Indonesia, 16.
kan cara pandang yang khas bagaimana lis kembali sejarah hubungan Timur-
Barat melihat Timur. Barat. Subjek melankolik di satu sisi
Tokoh di film-film ini berusaha merasa ideal, di sisi lain playing victim
menghadirkan citra Islam yang penuh atau selalu merasa menjadi korban dari
masa keemasan, kejayaan, dan kebe- kesalahpahaman antara Timur-Barat.
saran di masa lalu. Terkadang mereka Alih-alih ingin berdamai dengan trauma
menyadari bahwa kejayaan itu sudah (sejarah), yang ada adalah meminjam
lewat, tetapi berusaha mengingkarinya logika kolonial dan merepetisi oriental-
dengan cara memaparkan ‘fakta-fakta’ isme. Mengapa dimungkinkan menulis
kejayaan Islam di seluruh dunia. Hal ini kembali hubungan Timur-Barat? Karena
terlihat, misalnya dalam Ayat-ayat Cinta keinginan yang menggebu-gebu untuk
di Timur Tengah dengan meminjam Su- menciptakan Islam yang baru atau denga
ngai Nil. Lalu, pada 99 Cahaya di Langit kata lain Islam yang sesuai dengan imaji-
Eropa dengan menampilkan lukisan The nasi mereka sebagai Muslim melankolik.
Virgin and Child dan Napoleon Bona- Deleuze mengatakan di dunia modern
parte. Napoleon adalah salah satu tokoh kapitalisme yang sedang sakit, merumus
orientalisme yang paling berpengaruh ulang dunia dalam wacana tertentu (aga-
mengonstruk Timur dan ketimuran. ma) menjadi salah satu cara untuk ber-
Hal tersebut direpetisi dengan mak- tahan menjadi ‘waras’. Konstruk dunia
sud hati ingin membuka cakrawala pe- yang sedang dibayangkan oleh Muslim
nonton terhadap kebesaran Islam. Dalam melankolik ini yaitu bahwa peradab-
penelitian ini, hal tersebut adalah ruang an dunia berutang budi pada peradaban
kosong dan objek yang hilang dari Mus- Islam. Dengan begitu, dunia akan lebih
lim yang kita bicarakan. Kejayaan Islam baik dengan adanya (kejayaan) Islam.
merupakan objek yang hilang tersebut. Dari penelitian ini bisa kita lihat
Objek yang menjadi hasrat untuk terus bahwa penelitian budaya populer men-
dikejar dan dipenuhi. Hasrat ini memberi jadi penting untuk dilakukan. Selain itu,
roh yang besar terhadap film-film yang penelitian ini juga penting untuk melihat
diteliti. Meski kehilangan (kejayaan Is- film populer dan Muslim Indonesia de-
lam) merupakan sesuatu yang menyakit- ngan cara yang berbeda (dari biasanya).
kan, tetapi juga memberikan kenikmatan Penelitian ini ikut menyumbang analisis
karena dengan membayangkan kejayaan formal dan kritik film Indonesia. •
itu hadir kembali hari ini, mereka sudah
merasakan kenikmatan yang luar biasa
meskipun belum mencapai level sublim Daftar Pustaka
dalam teori psikoanalisa Lacanian. Ke-
hilangan objek a berupa kejayaan Islam Barker, Thomas Alexander Charles.
membuat kita bisa menyimpulkan sub- “A Cultural Economy of The
jek Muslim yang sedang kita bicarakan, Contemporary Indonesian Film
yaitu Muslim melankolik. Muslim yang Industry”. Disertasi, Philosophy
Department of Sociology University
kehilangan kebesaran (kebanggaan) ter-
of Singapore, 2011.
hadap Islam. Barthes, Roland. Imaji Musik Teks: Analisis
Islam seperti apa yang sedang Semiologi atas Fotografi, Iklan,
dikonstruksi oleh Muslim melankolik Film, Musik, Alkitab, Penulisan dan
ini? Mereka ingin menulis kembali se- Pembacaan serta Kritik Sastra oleh
jarah (Islam) di dunia, terutama menu- Roland Barthes (Esai-Esai Terpilih
https://e-journal.usd.ac.id/index.php/Retorik 217
Gusnita Linda
(Desain Komunikasi Visual, Fak. Rekayasa Industri & Desain, Institut Teknologi Telkom Purwokerto)
Gusnita Linda, S.Sn., M.Hum. Perempuan kelahiran Padang, 18 Agustus 1985 ini
akrab disapa Linda. Ia menempuh pendidikan sarjana satu di Jurusan Televisi dan
Film, ISI Padangpanjang (lulus 2012) dan melanjutkan pascasarjana di Kajian Budaya,
Universitas Sanata Dharma (lulus 2019). Saat ini menetap di Purwokerto sebagai dosen
Desain Komunikasi Visual (DKV), Institut Teknologi Telkom Purwokerto (ITTP),
Purwokerto. Riset dan tulisannya fokus pada isu-isu seni (media) visual, desain, gender,
dan humaniora. Selain mengajar, Linda menjadi Koordinator Departemen Pengelola
Jurnal Internal Fakultas Rekayasa Industri dan Desain (FRID) ITTP yang bernama
“Askara: Jurnal Seni dan Desain”.