Anda di halaman 1dari 11

Outline Penelitian Universitas

Tugas Mata Kuliah Metode Penelitian Komunikasi Jenderal

Oleh: Soedirman
Ahmad Irfan Maulana (F1C014042)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Komunikasi

A. Judul Penelitian

Representasi Diri dan Identitas Virtual Tokoh Benjamin Engel Dalam Film Who Am I
(Analisis Semiotika Film Who Am I)

B. Tinjauan Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai film, semiotika, dan representasi diri telah diteliti oleh
beberapa peneliti dengan judul sebagai berkut: Changing narratives and images the
Holocaust: Tim Blake Nelsons film The Grey Zone(2001), The Crimes of Love. The
(Un)Censored Version of the Flood Story in Noah (2014), The Hunger Games:
Literature, Literacy, and Online Affinity Spaces, Socializing and Self-Representation
online: Exploring Facebook, Pseudo Virtual Identity: Computer and Internet
Addiction

Jurnal pertama ditulis oleh Axel Bangert dari University of Cambridge. Jurnal
ini ditulis dalam Jurnal New Cinemas: Journal of Contemporary Films pada tahun
2008. Bangert mencoba untuk menjelaskan pergeseran narasi dan images
(iconography) dalam film The Grey Zone (2001) karya Tim Blake Nelson. Bangert
menggunakan Teori Narasi dan Iconography sebagai pisau bedah utama dalam
penelitiannya. Teori Narasi ia gunakan untuk melihat pesan yang hendak disampaikan
dalam film melalui cerita film. Sementara Iconography membantunya untuk memberi
makna terhadap penggambaran visual dalam film. Meski tak secara langsung
menyebutkan menggunakan Kajian Semiotika baik dalam narasi jurnal maupun daftar
pustaka, ia menerapkan konsep tanda dan penanda dalam mengupas film The Grey
Zone.

Jurnal kedua ditulis oleh Wojciech Kosior dari Jagiellonian University. Jurnal
ini dipublikasikan pada Jurnal Journal of Religion and Film pada 2016. Film Noah,
yang diteliti dalam jurnal ini, sendiri banyak ditentang (dan dilarang tayang) di
berbagai negara, terlebih pada negara yang mayoritas penduduknya menganut Agama
Abrahamik (Yahudi-Kristen-Islam) karena dianggap tak sesuai dengan literatur
keagamaan yang ada. Koisor mengunakan Teori Cultural Studies dan pendekatan
cultural text analysis. Dalam narasi penelitiannya, ia menghubungkan teks keagamaan
dalam Injil dengan adegan dalam film. Hal tersebut guna memenuhi tujuan
penelitiannya yang salah satunya untuk membahasa potensi kontroversi yang mungkin
ditimbulkan oleh film ini.

Jurnal ketiga di tulis oleh Jen Scott Curwood dari University of Sidney. Jurnal
ini dipublikasikan pada Jurnal Language Art pada 2013. Curwood mencoba untuk
melihat sisi pendidikan pada budaya populer seperti film The Hunger Games yang ia
hubungkan pada literasi dan online affinity spaces. Teori yang digunakan Curwood
kebanyakan merupakan teori pendidikan secara kontemporer. Ia banyak mengambil
literasi mengenai revolusi sistem pendidikan pada era digital. Ia juga menggunakan
teori Cultural Studies dalam pendekatan budaya populer serta teori mengenai media
digital.

Jurnal keempat ditulis oleh dua orang, yaitu Gunn Sara Enli dari University of
Oslo dan Nancy Thumim dari University of Leeds. Jurnal ini di publikasikan pada OBS
Journal pada tahun 2016. Enli dan Thumim membahas mengenai semakin kaburnya
batas-batas jarak dan waktu dengan adanya internet dan terutama sosial media serta
kaitannya dengan representasi diri seseorang. Teori yang digunakan beberapa
merupakan teori komunikasi massa, media digital, dan tentang internet serta sosial
media. Dalam jurnal ini dibahas mengenai kecenderungan orang semakin dilihat
individu yang bebas di internet dan terutama sosial media Facebook. Lebih lanjut juga
dijelaskan mengenai sosialisasi dan representasi diri seseorang.

Jurnal terakhir ditulis oleh Alexandru Aurel Dumitru dari Christian University
Dimitrie Cantemir. Jurnal ini dipublikasikan pada Euromentor Journal pada tahun
2013. Penelitian dari Dumitru ini berbicara mengenai identitas virtual yang semu di
internet. Teori yang banyak digunakan dalam jurnal ini merupakan teori mengenai
internet dan juga teori-teori dalam pembentukan identitas. Dalam jurnal ini disebutkan
bahwa sekarang makin banyak orang yang menjadi candu akan dunia virtual dan
merasa dapat melakukan banyak hal lebih dari bertemu secara langsung.

2. Kajian Teori

a. Film
Film merupakan sebuah selaput tipis berbahan seluloid yang digunakan
untuk menyimpan gambar negatif dari sebuah objek. Film diartikan gambar
bergerak yang biasanya juga disimpan dalam media seluloid tipis dalam bentuk
gambar negatif. Walaupun begitu film sekarang juga dapat disimpan media digital.

Menurut sejarahnya, film tak dapat lepas dari fotografi dan alat
pendukungnya, yaitu kamera. Yang sebenarnya ide film (video) merupakan berawal
dari susunan beberapa foto yang membentuk gerakan objek tertentu. Dewasa ini,
semakin banyak kamera yang memang khusus dikeluarkan untuk video (gambar
gerak) yang tak kalah kualitasnya dengan foto (gambar diam).

Ide awal film terpikir secara tak sengaja dalam obrolan dari perkumpulan
pria Amerika pada tahun 1878, di antara mereka muncul sebuah pertanyaan: Apakah
keempat kaki kuda berada pada posisi melayang pada saat bersamaan ketika kuda
berlari? Pertanyaan ini dijawab oleh Eadweard Muybridge yang membuat 16
gambar kuda yang sedang berlari. 16 gambar ini berurutan yang jika dirangkaikan
akan membuat kesan kuda sedang berlari. Kemudian pertanyaan para pria di
Amerika terjawab bahwa ada waktu ketika kuda berlari, kakinya tak menyentuh
tanah sama sekali.

Setelah penemuan gambar gerak oleh Muybridge, inovasi kamera terus


dilakukan. Thomas Alva Edison mencoba untuk mengembangkan fungsi kamera
biasa menjadi kamera yang mampu merekam gambar gerak pada tahun 1888.

Film yang diakui sebagai sinema pertama yang diputar di dunia adalah film
dengan judul Workers Leaving the Lumire's Factory yang diputar di Bulevard des
Capucines pada 28 Desember 1895. Hari tersebut kemudian ditetapkan menjadi hari
lahirnya sinematografi yang menjadi tonggak awal adanya mega industri film saat
ini.

Sementara itu, berbicara mengenai film, sejarah film tak bisa dilepaskan
dengan sejarah film di Amerika Serikat. Film The Life of an American Fireman dan
The Great Train Robbery merupakan film pertama yang diperkenalkan pertama kali
pada publik AS (Hiebert, et al 1975: 246). Namun film The Great Train Robbery
yang berdurasi 11 menit dianggap sebagai film cerita pertama karena memiliki
penggambaran yang cukup ekspresif.
Satu dekade 1906 sampai 1916 menjadi periode penting dalam perfilman
AS (Ardianto, et al 2014: 144). Pada dekade tersebut lahir berbagai film feature,
para bintang film ternama, dan pusat perfilman Hollywood. Selain itu, yang tak
boleh dilupakan juga adalah lahirnya film komedi bisu legendaris Charlie Chaplin
buatan Mack Sennet. Kemudian setelah itu perkembangan film semakin pesat
dengan pembuatan film tak bisu pertama, yaitu Broadway pada tahun 1927
(Effendy, 1993:188).

Dalam semiotika, film pada tingkat penanda adalah teks yang memuat
serangkai gambar fotografi yang membuat penontonnya seakan melihat gerakan
dan tindakan dalam kehidupan nyata. Sementara itu, pada tingkat pertanda film
merupakan cermin kehidupan metaforis. Jelas bahwa topik dari film menjadi
sangat pokok dalam semiotika, karena di dalam genre film terdapat sistem
signifikansi yang ditanggapi orang-orang masa kini dan melalui film mereka
mencari rekreasi, inspirasi, dan wawasan, pada tingkat interpretant (Danesi, 2010:
134).

Film, dapat dikelompokkan dalam beberapa jenis menurut karakteristiknya


(Ardianto, et al 2014: 148). Pertama film cerita (story film) merupakan jenis film
yang memili rangkaian suatu cerita. Jenis film ini merupakan film yang paling
lazim ditemui di bioskop-bioskop. Cerita yang diangkat dalam film dapat berupa
fiksi atau cerita nyata yang dimodifikasi sehingga dapat lebih menarik diangkat
pada media film.

Kemudian, film berita (news reel) merupakan film yang berisi fakta atau
peristiwa yang benar-benar terjadi. Karena merupakan suatu berita, film berita
harus memiliki nilai berita untuk dapat disajikan pada publik.

Ketiga ada film dokumenter (documentary film) dapat didefinisikan


sebagai karya ciptaan mengenai kenyataan. Perbedaan dengan film berita adalah
jika film berita merupakan kenyataan yang terjadi, film dokumenter merupakan
hasil interpretasi pembuat film (sutradara) terhadap kenyataan tersebut.
Interpretasi sutradara tersebut dapat tercermin dari sudut pandang pengambilan
cerita, teknik pengambilan gambar, maupun narasi cerita.
Terakhir, film kartun (cartoon film) merupakan film yang dibuat khusus
untuk dinikmati anak-anak. Tujuan utama dari film kartun adalah untuk hiburan,
namun ada juga film yang ditujukan untuk tujuan pendidikan.

Berdasarkan pengelompokan film di atas, film Who Am I merupakan film


cerita yang ceritanya berasal dari cerita fiksi. Latar tempat utama film ini berada
di Jerman, kemudian beberapa latar pendukung seperti di Amerika dan Rusia untuk
mendukung jalannya cerita. Karakter dalam film juga sepenuhnya fiksi tanpa ada
kemiripan dengan tokoh dunia nyata.

Lebih lanjut mengenai pembagian jenis film berdasarkan keseluruhan


cerita yang dibawakan. Javandalasta (2011: 3) membagi jenis film dengan sebutan
genre, yaitu sebagai berikut:

1. Genre Film Action Laga

Genre ini biasanya bercerita mengenai perjuangan seorang tokoh untuk


bertahan hidup atau adegan pertarungan.

2. Genre Film Komedi

Genre film ini adalah film-film yang mengandalkan kelucuan-kelucuan baik


dari segi cerita maupun dari segi penokohan.

3. Genre Film Horor

Genre film ini adalah misteri, biasanya mengetengahkan cerita yang terkadang
berada di luar akal umat manusia.

4. Genre Film Thriller

Genre film ini selalu mengedepankan ketegangan yang dibuat tak jauh dari
unsur logika ataupun seperti pembunuhan.

5. Genre Film Ilmiah

Genre film ini biasa disebut dengan sci-fi. Ilmuan akan selalu ada dalam genre
film ini karna apa yang sesuatu mereka hasilkan akan menjadi konflik utama
dalam alur.

6. Genre Film Drama


Genre film yang biasanya banyak di sukai penonton karena dianggap sebagai
gambaran nyata sebuah kehidupan dan penonton dapat ikut merasakan adegan
dalam film.

7. Genre Film Romantis

Genre film ini mengisahkan romansa cinta sepasang kekasih. Kebanyakan

penonton yang melihat akan terbawa suasana romantis yang diperankan oleh
pemainnya.

b. Interaksi Simbolik

Pada awalnya teori yang dikembangkan oleh George Herbert Mead ini
dikaji pada disiplin ilmu sosiologi yang menghubungkannya dengan pembentukan
suatu masyarakat. Teori ini sebenarnya sangat berkaitan dengan konsep diri yang
secara garis besar adalah teori tentang bagaimana pembentukan konsep diri. Tiga
konsep dasar pada teori ini adalah meaning (makna), Language (bahasa), thought
(proses berpikir) yang ketiganya sangat penting dan saling berkaitan dalam
pembentukan konsep diri.

Interaksi Simbolik berbicara mengenai kesadaran diri, Kesadaran adalah


pemahaman manusia atas pengalamannya sendiri yang memungkinnya
mendefinisikan lingkungan dan keadaannya (Musgrove dalam Mulyana, 2013:
76). Dalam ceritanya Tokoh Engel merupakan orang pendiam dan tak terlihat di
masyarakat. Dengan kesadaran dirinya, ia merasa harus menunjukkan eksistensi,
terutama pada wanita yang ia sukai dan beberapa orang yang menganggap remeh
dirinya.

Teori ini juga menanggap penting adanya significant others. Menurut


Coolely (dalam Mulyana, 2013: 74) menganggap bahwa perasaan diri bersifat
sosial yang diciptakan melalui budaya dan bahasa bersama serta merupakan hasil
interpretasi subjektif individu terhadap orang lain yang dianggap penting
(significant others). Bagi Engel yang merasa tak dianggap di dunia nyata, ia
memiliki idola (significant others) yaitu seorang hacker dengan nama sandi MRX
yang prinsip dari MRX menjadi dasar Engel dalam melakukan hacking. Sementara
itu di dunia nyata, Max, salah satu anggota Clay, menjadi role model-nya yang
diceritakan memiliki kepribadian yang percaya diri dan atraktif, berbanding
terbalik dengan Engel.
Perspektif interaksi simbolik menyarankan bahwa perilaku manusia harus
dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur
perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi
mitra interaksi mereka (Mulyana, 2013: 70). Hal tersebut menunjukkan bahwa
setiap perilaku manusia tak dapat lepas dari orang lain. Pembentukan bahasa dan
simbol yang digunakan oleh seseorang diperolehnya dari proses interaksi dengan
orang lain. Kemudian, setiap tindakan manusia juga mempertimbangkan apa yang
diinginkan orang di sekitarnya.

Teori ini didasarkan pada 3 Konsep seperti yang telah disebutkan di atas,
yaitu makna, bahasa dan proses berpikir.

1) Meaning

Makna adalah pemahaman atau pengertian seseorang terhadap sesuatu. Makna


ini yang dijadikan dasar bagi seseorang untuk bereaksi terhadap sesuatu
tersebut, yaitu bagaimana sesuatu bermakna bagi seseorang. Setiap orang pasti
memiliki pemaknaan yang berbeda-beda untuk sesuatu, dan itu yang
menyebabkan perbedaan reaksi setiap orang apabila terjadi perubahan pada
sesuatu tersebut.

2) Language

Tidak bisa dipungkiri bahwa bahasa, baik verbal maupun nonverbal,


merupakan sumber segala pemaknaan terhadap sesuatu. Pemaknaan tersebut
bisa jadi adalah simbol-simbol yang dibuat seseorang untuk berkomunikasi
dalam tataran komunikasi antar personal, yaitu bagaimana kita memaknai
sebuah anggukan, atau sebuah teriakan, atau simbol-simbol lain.

3) Thought

Dengan berpikir, proses pemaknaan terhadap suatu simbol yang ada


dimasyarakat akan mudah. Proses berpikir ini dipengaruhi, dan juga dua
konsep sebelumnya, dipengaruhi oleh masyarakat. masyarakat membuat
norma-norma mengenai patut dan tidak patut yang sering kali memaksa kita
atau memojokkan kita mengenai pemaknaan terhadap suatu simbol.
Pemaknaan ini tentu tidak akan berhenti, akan tetapi selalu berproses dan
berubah-ubah.
c. Semiotika

Semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda atau sign
dalam bahasa Inggris itu adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda seperti:
bahasa, kode, sinyal, dan sebagainya. Semiotika atau penyelidikan simbol-simbol,
membentuk tradisi pemikiran yang penting dalam teori komunikasi tradisi
semiotika terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda
mempresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-
tanda tidak hanya memberikan cara untuk melihat komunikasi, melainkan
memiliki pengaruh yang kuat pada hampir semua perspektif yang sekarang
diterapkan pada teori komunikasi (Littlejohn dan Foss, 2008).

Roland Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat yang di


sebut sistem denotasi dan konotasi (Fiske, 2012: 145). Denotasi menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda di dalam tanda, dan juga antara tanda
dengan objeknya. Denotasi merujuk pada apa yang diyakini akal sehat atau orang
banyak (common sense), makna yang teramati dari sebuah tanda.

Tahap Pertama Tahap Kedua

Realitas Tanda Budaya

bentuk Konotasi
Denotasi Penanda

isi
Denotasi
Petanda

Bagan 2.1 Signifikansi dua tahap Barthes

Sumber: Fiske, 2012: 145

Kemudian, tingkat kedua pada sistem penandaan Barthes disebut konotasi.


Pada tingkat ini, keseluruhan tanda yang diciptakan dalam denotasi menjadi
penanda bagi babak kedua pemunculan makna. Petanda pada level ini adalah
konteks, baik personal maupun budaya, yang di dalamnya pembaca, pendengar,
atau pengamat tanda memahami dan menafsirkannya (Barton dan Beck, 2010).

Barthes (dalam Wibowo, 2006) melontarkan konsepnya tentang denotasi


dan konotasi secara lebih sederhana yang disebut sebagai glossematic sign.
Dengan mengabaikan dimensi bentuk dan substansi, ia mendefiniskan sebuah
tanda (sign) sebagai sebuah sistem yang terdiri dari (E) sebuah ekspresi atau
penanda dalam hubungannya (R) dengan konten atau petanda (C).

Lebih lanjut, Barthes juga menulis bahwa primary sign (denotatif) menjadi
ekspresi dari secondary sign (konotatif). Sehingga dalam Teori Semiotika Roland
Barthes ini, konotatif menjadi kunci dalam melakukan pemaknaan suatu tanda.

Pemaknaan tanda tidak serta merta dilakukan sebagai suatu proses


universal dalam masyarakat tapi juga memiliki tujuan tertentu. Strinati (2016, 134)
menyebutkan bahwa kode-kode maupun tanda-tanda tidak diberikan secara
universal, namun secara historis maupun sosial bersifat khusus sesuai dengan
kepentingan dan tujuan tertentu yang melatar belakanginya.

Tanda dimaknai sesuai dengan tujuan yang melatar belakanginya. Barthes


(dalam Strinati, 2016) mencontohkan bagaimana penanda dan petanda dalam
bunga mawar. Bunga mawar oleh Barthes dihubungkan dengan hasratnya, dalam
hal ini cintanya terhadap perempuan. Padahal secara empiris hanya ada bunga yang
diberi tanda bunga mawar tersebut, sehingga terdapat bunga mawar yang
dihasratkan.

Sebagaimana juga ilmu dalam paradigma kritis, semiotika juga


mengembangkan beberapa model. Salah satunya yang dikemukakan oleh MK
Halliday (dalam Sobur, 2001) yang disebut sebagai tiga unsur semiotika sosial.
Ketiga unsur tersebut antara lain:
C. Daftar Pustaka

Ardianto, Elvinaro dkk. 2014. Komunikasi Massa Sebuah Pengantar Edisi Revisi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bangert, Alex. (2008), Changing narratives and images the Holocaust: Tim Blake
Nelsons film The Grey Zone (2001). New Cinemas: Journal of Contemporary
Film. Vol 6. hal 1732.

Barton, Will dan Andrew Beck. 2010. Bersiap Mempelajari Kajian Komunikasi.
Terjemahan. Yogyakarta: Jalasutra.

Curwood, Jen Scott (2013) " The Hunger Games: Literature, Literacy, and Online
Affinity Spaces. Language Arts. Vol. 90 Num. 6. Hal. 417-427.

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra

Dumitru, Alexandru Aurel (2013). "Pseudo Virtual Identity: Computer and Internet
Addiction. Euromentor Journa. Vol. 4. Hal. 74-85.

Enli, Gunn Sara dan Nancy Thumim. (2013). " Socializing and Self-Representatin
online: Exploring Facebook. OBS Journal.. Vol. 6. Hal. 87-105.

Effendy, Onong Uchjana. 2002. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis.


Bandung: Penerbit Rosdakarya.

Hiebert, Ray Eldon, Donald F. Ungurait, Thomas W. Bohn. 1975. Mass Media: An
Introduction to Mass Communication. New York: David McKay Company.
Javandalasta, Panca. 2011. 5 Hari Mahir Bikin Film. Surabaya: Mumtaz Media.

Kosior, Wojciech (2016) "The Crimes of Love. The (Un)Censored Version of the Flood
Story in Noah (2014). Journal of Religion & Film. Vol. 20: Iss. 3, Article 27.

Littlejohn, Stephen W. and Karen Foss. 2011. Teori Komunikasi. Jakarta: PT Salemba
Humanika.

McQuail, Dennis. 2011. Teori Komunikasi Massa McQuail. Jakarta: Salemba


Humanika.

Mulyana, Deddy. 2013. Metode Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Strinati, Dominic. 2016. Popular Culture: Pengatar Menuju Teori Budaya Populer.
Terjemahan. Yogyakarta: Narasi Pustaka Promethea.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media. Bandung: Rosda Karya.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu. 2006. Semiotika: Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan
Penulisan Skripsi Mahasiswa Ilmu Komunikasi. Jakarta: Universitas Prof DR
Moestopo

Anda mungkin juga menyukai