Anda di halaman 1dari 8

Sejarah Sinematografi

Sejarah sinematografi sangat panjang, namun di sini tidak akan dibahas tentang
perjalanan sinematografi dari awal. Kemajuan teknologi akan terus berkembang,
demikian juga dengan teknologi sinematografi, sehingga kini dikenal dengan
sinematografi digital. Kemajuan ini tentu saja akan lebih memudahkan para sineas
dalam berkarya. Sebelum lebih lanjut membahas sinematografi, baiknya kita fahami
dulu makna dari sinematografi itu sendiri. Sinematografi adalah kata serapan dari
bahasa Inggris cinematograhy yang berasal dari bahasa latin kinema gambar.
Sinematografi sebagai ilmu serapan merupakan bidang ilmu yang membahas tentang
teknik menangkap gambar dan menggabung gabungkan gambar tersebut hingga
menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide.
Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap pantulan
cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka peralatannya pun mirip.
Perbedaannya fotografi menangkap gambar tunggal, sedangkan sinematografi
menangkap rangkaian gambar. Penyampaian ide pada fotografi memanfaatkan
gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi memanfaatkan rangkaian
gambar.Jadi sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik
rangkaian gambar atau dalam senematografi disebut montase atau montage

Pengertian Sinematografi
Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris Cinematography yang
berasal dari bahasa Latin kinema 'gambar'. Sinematografi sebagai ilmu terapan
merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan
menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang
dapat menyampaikan ide (dapat mengemban cerita).
Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap pantulan
cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka peralatannyapun mirip.
Perbedaannya, peralatan fotografi menangkap gambar tunggal, sedangkan
sinematografi menangkap rangkaian gambar. Penyampaian ide pada fotografi
memanfaatkan gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi memanfaatkan

rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan


teknik perangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut montase
(montage).Sinematografi sangat dekat dengan film dalam pengertian sebagai media
penyimpan maupun sebagai genre seni. Film sebagai media penyimpan adalah pias
(lembaran kecil) selluloid yakni sejenis bahan plastik tipis yang dilapisi zat peka
cahaya. Benda inilah yang selalu digunakan sebagai media penyimpan di awal
pertumbuhan sinematografi. Film sebagai genre seni adalah produk sinematografi.

Pengertian Film / Sinematografi


Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, film berarti (1) selaput tipis yang dibuat dari
seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) / untuk tempat
gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop) (2) lakon (cerita) gambar hidup
(KBBI, 2002: 316).
Film adalah gambar hidup dari seonggok seluloid dan dipertontonkan melalui
proyektor. Dimana sekarang produksi film tidak hanya menggunakan pita seluloid
(proses kimia), tetapi memanfaatkan teknologi video (proses elektronik) namun
keduanya tetap sama yaitu gambar hidup (Sumarno, 1994: 4).
Film merupakan rangkaian gambar yang diproyeksikan dengan kecepatan 24 bingkai
perdetik sehingga gambar tampak hidup. Setiap gambar dari rangkaian tersebut
dengan mudah dapat kita kenal dengan mata telanjang (Sutrisno, 1993: 1). Film
bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga memberikan visual yang kontinyu.
Kemampuan film melukiskan gambar hidup dan suara memberinya daya tarik
tersendiri. Media ini pada umumnya digunakan untuk tujuan-tujuan hiburan,
dokumentasi, dan pendidikan. Ia dapat menyajikan informasi, memaparkan proses,
menjelaskan konsep-konsep yang rumit, mengajarkan ketrampilan, menyingkat atau
memperpanjang waktu dan mempengaruhi sikap (Azhar Arsyad, 2003: 48).
Sedangkan yang dimaksud dengan film dalam penelitian ini adalah yang diproduksi
secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop. Film jenis ini juga
disebut dengan film teatrikal (threatical film) (Aep Kusnawan, Et,al : 98-99). Isi
dari film akan berkembang kalau sarat akan pengertian atau simbol-simbol, dan
berasosiasikan suatu pengertian serta mempunyai konteks dengan ligkungan yang

menerimanya. Film yang banyak mempergunakan simbol, tanda, ikon akan menantang
penerimanya untuk semakin berusaha mencerna makna dan hakekat dari film itu.
Sejarah Film / Sinematografi
Hubungan film dan masyarakat memiliki sejarah yang panjang. Seorang ahli
komunikasi Oey Hong Lee, menyatakan bahwa film sebagai alat komunikasi massa
yang muncul kedua di dunia setelah surat kabar, mempunyai masa pertumbuhannya
pada abad ke-19. Pada awal perkembagannya, film tidak seperti surat kabar yang
mengalami unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial, dan demografi yang
merintangi kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya padaabad ke-18 dan
permulaan abad ke-19. Oey Hong Lee menambahkan bahwa film mencapai puncaknya
diantara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun merosot tajam setelah tahun
1945, seiring muculya medium televisi (Sobur, 2003:126).
Para teoritikus film menyatakan, film yang dikenal dewasa ini merupakan
perkembangan lanjut dar fotografi yang ditemukan oleh Joseph Nicephore Niepce
dari Prancis. Pada tahun 1826 Ia berhasil membuat campuran logam dengan perak
untuk menciptakan gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal yang telah
disinari beberapa jam (Sumarno, 1996 : 2).
Penyempurnaan-penyempurnaan fotografi terus berlanjut yang kemudian mendorong
rintisan penciptaan film alias gambar hidup. Dua nama penting dalam rintisan
penciptaan film Thomas Alva Edison (1847-1931). Ilmuan Amerika Srika yang
terkenal dengan penemuan lampu listrik dan fonograf (phonograph) atau piringan
hitam. Pada tahun 1887 ia merancang alat untuk merekam dan memproduksi gambar
yang dinamakan Kinetoskop(kinetoskcope). Alat itu mirip dengan fungsi fonograf
untuk suara. Meskipun Edison menciptakan sebuah mekanisme, tetapi ia belum
menemukan bahan dasar untuk membuat gambar. Masalah ini terpecahkan berkat
bantuan George Eastmen yang menawarkan gulungan pita seluloid, memiliki plastik
tembus pandang yang cukup ulet sekaligus mudah digulung. Lumire bersaudara
(Auguste dan Louis Lumiere) dari Perancis mulai memikirkan kemungkinan untuk
membuat film-film mereka sendiri dengan alat kinetoskop. Bahkan mereka juga
merancang perkembangan kinetoskop menjadi piranti yang mengkombinasikan

kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Piranti ini disebut
sinematograf (cinematographe), yang dipatenkan Maret 1985.
Sinematograf digunakan untuk merekam adegan-adegan singkat, seperti para
pekerja yang pulang dari pabrik, kereta api memasuki stasiun, dan anak-anak kecil
yang bermain di pantai. Pada 28 desember 1895, disebuah ruang bawah tanah, di
sebuah kafe di Paris, Perancis, Lumiere bersaudara memproyeksikan hasil karya
mereka di depan public yang telah membeli karcis masuk. Bioskop pertama telah
lahir. Penayangan-penayangan rutin yang kemudian dilakukan Lumiere bersaudara itu
menjadi dasar bagi bisnis film yang sangat menguntungkan. Setelah film ditemukan
pada akhir abad ke-19, film mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
teknologi yang mendukung. Mula-mula hanya dikenal film Hitam-Putih dan tanpa
suara. Pada akhir tahun 1920-an mulai dikenal film bersuara, dan menyusul film
warna pada tahun 1930-an. Dalam hal ini, ketika film ditemukan ia tidak langsung
dianggap sebagai karya seni. Mula-mula film hanya dianggap sebagai tiruan mekanis
dari kenyataan. Atau paling-paling sebagai sarana untuk memproduksi karya-karya
seni yang telah ada sebelumnya seperti Teater.
Pengakuan film sebagai karya seni terjadi melalui pencapaian-pencapaian dalam
perjalanan sejarah film. Mula-mula dikenal pembuat-pembuat film awal, seperti
Georges Melies dari Perancis; Edwin S.Porter (Juru kamera Thomas Alva Edison)
dan DW Griffith dari AS, serta RW Paul dan GW Smith dari Inggris. Menyusul
dalam kurun waktu berlainan, lahirlah gerakan-gerakan film seni secara
Internasional, seperti di Jerman, Perancis, Rusia, Swedia, dan Italia. Pengakuan film
sebagai karya seni, selanjutnya diperkuat dengan lahirnya seniman-seniman film dari
berbagai Negara, seperti Akira kurosawa dari Jepang, Satyajit Ray dari India,
Federico Fellini dari Italia, John Ford dari Amerika Serikat, Ingmar Bergman dari
Swedia, dan Usman Ismail dari Indonesia (Sumarno,1996:3).
Menurut sejarah perfileman di Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul Lely
Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seorang yang bernama
David. Film ini disusun oleh Eulis Atjih produksi Kruenger Corporation pada tahun
1927/1928. Sampai pada tahun 1930 film yang disajikan masih merupakan film bisu,
dan yang mengusahakanya adalah orang-orang Belanda dan Cina (Effendy, 1981:201).

Sejarah Sinematografi
Sinematografi adalah salah satu upaya manusia untuk menggambarkan kepada orang
lain, melalui penggunaan teknik yang menggabungkan gambar gerak dan teks, dunia
dan pesan tersebut mengalihkan karena ini dipahami oleh seniman. Dengan
sinematografi panjang, satu hari ini menjelaskan disiplin membuat pilihan
pencahayaan dan kamera saat merekam gambar foto untuk digunakan bioskop.
Berdasarkan dua kata Yunani, sinematografi etimologis berarti "menulis dalam
gerakan" dan diperkenalkan sebagai teknik baru untuk merekam gambar orang dan
benda-benda saat mereka bergerak dan proyek mereka pada jenis layar.
Dikombinasikan dengan patung, lukisan, tari, arsitektur, musik, dan sastra,
sinematografi saat ini dianggap menjadi seni ketujuh.
Hal ini sangat sulit bagi seorang peneliti untuk menemukan dan menentukan individu
yang bisa diberi nama "bapak" sinematografi, menerima bahwa kata melambangkan
suatu teknik yang digunakan untuk pembuatan gambar gerak '. Tapi, jelas bahwa
manusia telah bereksperimen, sangat awal dalam sejarah manusia, dengan metode
yang berbeda yang akan memungkinkan dia untuk merekam gerakan gambar. Sangat
erat kaitannya dengan masih fotografi, yang telah menjadi katalis untuk
perkembangan sinematografi sejak pertengahan abad 19, teknik yang akan
memungkinkan gambar yang akan direkam sementara di gerak telah dipelajari
secara ekstensif. Salah satu upaya pertama untuk menganalisis unsur gerakan
dengan bantuan mesin foto dibuat oleh Edward Muybridge fotografer Inggris pada
tahun 1878. Setelah berhasil mengembangkan metode baru menghasilkan gambar
foto berturut-turut, ia mencatat gerakan kuda berjalan. Melalui film yang
diproduksi, ia berhasil membuktikan bahwa ada contoh ketika kuda sedang berjalan
yang tidak ada kakinya menyentuh tanah. Sekitar sama periode, fisikawan Perancis

Etienne Mare berhasil menangkap, juga dengan menggunakan mesin foto yang bisa
merekam 12 gambar per detik, gerakan burung terbang.
Berdasarkan perkembangan awal 1880-an dalam mengungkap gambar pada elemen
peka cahaya, dihubungkan dengan pionir seperti Thomas Edison dan Lumiere
bersaudara antara lain, bentuk seni baru film memperkenalkan jenis baru estetika
yang menangkap perhatian orang yang ingin mengeksplorasi aplikasi dan menciptakan
karya seni. Salah satu yang pertama cinematographers yang memutuskan untuk
memeriksa dimensi gambar bergerak adalah Maries-George-Perancis Jean Mlis yang
menjadi salah satu direktur bioskop pertama. Dengan, Trip filmnya ke Bulan (Le
pelayaran dans la lune) pada tahun 1901, ia menciptakan sebuah cerita fantastis
perjalanan ke bulan menggunakan gambar gerak. Dia juga salah satu yang
memperkenalkan teknik pewarnaan dalam film oleh setiap lukisan salah satu frame
dengan tangan.
Selama tahap bayi gambar gerak, sinematografer itu peran ganda, bertindak
sebagai direktur dan orang yang memegang dan memindahkan kamera. Seperti
tahun-tahun disisipkan, bentuk seni baru dikembangkan lebih lanjut oleh alat-alat
teknologi baru yang diperkenalkan. Baru-art terkait profesi muncul dan karena
kemampuannya bioskop untuk menangkap perhatian besar penonton di seluruh dunia,
dengan menarik lebih dari satu panca indera, sinematografi muncul untuk apa yang
dikenal hari ini sebagai industri multi-miliar dolar dan salah satu bentuk seni favorit
di dunia.
Pengertian Sinematografi
Sinematografi dari bukunya Blain Brown tentang sinematografi, yang berhubungan
dengan teori bahasa visual beliau menuliskan Dalam pembuatan film atau video,
bahkan animasi sekalipun, gambar tidak hanya sekedar gambar, tetapi gambar
adalah sebuah informasi. Jadi salah satu tugas sinematografer adalah menjadikan
gambar menjadi bahasa visual kepada audiens menjadi sebuah pesan yang berarti.
Hasil akhir dari tayangan video atau animasi secara materi adalah berbentuk dua
dimensi, tetapi sinematografer harus dapat memberikan panduan mata pemirsa
untuk melihat realitas. Untuk itu diperlukan pemahaman konsep terhadap dasar
pandangan 2D, 3D dan bahasa visual. Untuk itu perlu dipahami tentang prinsip-

prinsip desain. Dan juga elemen-elemen desain. Elemen desain merupakan unit dasar
pembentuk gambar visual. Dari beberapa buku dan sumber di internet ada beberapa
perbedaan yang menempatkan elemen desain dan prinsip desain. Apapun itu kembali
ke hakekat utama dari bahasa visual yang penting mengandung unsur-unsur
tersebut, menjadi dasar bagi seorang sinematografer dalam meramu visual film
menjadi menarik. Beberapa elemen desain itu antara lain:
Space (ruang)
Line (Garis)
Balance (keseimbangan)
Color (warna)
Shape (Bentuk
Tekture (tekstur)
Form (Bidang)
Value (Nilai/Tone)
Sedangkan beberapa prinsip desain yaitu:
Unity (kesatuan)
Balance (keseimbangan)
Visual Tension (Penekanan Visual)
Rythym (Perulangan)
Proportion (proporsi)
Contrast (kontras)
Texture (tekstur)
Directionality (arah)

Selain elemen dan prinsip-prinsip desain tersebut, menurut Blain Brown, yang
termasuk dalam bahasa visual yaitu area 3 dimensi. Yang dimaksud dengan are 3
dimensi disini ide dasarnya adalah memproyeksikan bentuk tiga dimensi ke dalam
area dua dimensi. Salah satu tugas dari sinematografer adalah mewujudkan 3D di
dunia nyata terlihat nyata di gambar dua dimensi.

Anda mungkin juga menyukai