Anda di halaman 1dari 10

I .

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Film merupakan dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas . Film mewakili


realitas kelompok masyarakat pendukungnya , baik realitas dalam imajinasi maupun
realitas dalam arti yang sesungguhnya .Film menjadi bagian yang sangat penting dalam
dalam disiplin ilmu sejarah dikaitkan dengan kemampuannya dalam mengungkap jejak
sejarah perkembangan peradaban suatu bangsa maupun dunia . Film mengungkapkan
pada jejak – jejak peninggalan masa lampau , cara menghadapi masa kini dan keinginan
manusia terhadap masa yang akan datang .Sehingga dalam perkembangannya film bukan
lagi sekedar usaha yang menampilkan “citra bergerak “ , namun juga telah diikuti muatan
– muatan kepentingan tertentu seperti politik , kapitalisme , hak asasi manusia , gaya
hidup bahkan sosial masyarakat .Oleh karena itu , munculnya film sebagai salah satu
cabang kesenian nampaknya makin meyakinkan banyak peneliti , bahwa ada banyak hal
yang mereka bisa lakukan dengan mempelajari film . 1
Film adalah sekedar gambar yang bergerak, adapun pergerakannya disebut
sebagai intermitten movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan
kemampuan mata dan otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam
sepersekian detik. Film menjadi media yang sangat berpengaruh, melebihi media - media
yang lain, karena secara audio dan visual dia bekerja sama dengan baik dalam membuat
penontonnya tidak bosan dan lebih mudah mengingat, karena formatnya yang menarik.
Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan Amerika Serikat penemu lampu
listrik dan fonograf (piringan hitam), pada tahun 1887 terinspirasi untuk membuat alat
untuk merekam dan membuat (memproduksi) gambar. Alat yang dirancang dan dibuat
oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang berbentuk kotak
berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan.
Lumiere Bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang
mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Lumiere
Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan “sinematograf”
(cinematographe).Peralatan sinematograf ini kemudian dipatenkan pada tahun 1895.

1
Said , 1991 : 44
1
Film pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar
berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines, Paris, Perancis pada 28 Desember
1895. Peristiwa ini sekaligus menandai lahirnya film dan bioskop di dunia. Meskipun
usaha untuk membuat "citra bergerak" atau film ini sendiri sudah dimulai jauh sebelum
tahun 1895 , namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di Grand Cafe inilah
yang menandai lahirnya film pertama di dunia.
Awalnya masyarakat Hindia Belanda pada tahun 1900 mengenal film yang
sekarang kita kenal dengan sebutan gambar idoep . Istilah gambar idoep mulai dikenal
saat surat kabar Bintang Betawi memuat iklan tentang pertunjukan itu . Iklan De
Nederlandsche Bioscope aatschappji di surat kabar Bintang Betawi menyatakan :
“….bahoewa lagi sedikit hari ija nanti kasi lihat tontonan amat bagoes gambar –
gambar idoep dari banyak hal . “2
Film – film yang diproduksi antara tahun 1926 samapai dengan tahun 1930
merupakan film bisu yang dibuat tanpa suara . Mulai tahun 1931 untuk kali pertama film
“ suara / bicara “ dibuat di Hindia Belanda. Film lokal ( Indonesia ) yang pertama kali
diproduksi adalah film yang berjudul Loetoeng Kasaroeng .
Produksi film Indonesia mencapai masa puncaknya pada tahun 1941 yaitu sebanyak 41 film , 30
film cerita dan 11 film dokumenter .Film – film yang diproduksi kebanyakan bertemakan romantisme
yang diselingi lagu , tarian , lawakan bahkan laga.
Malangnya pada tahun 1942 , jumlah film yang produksi mengalami penurunan drastic menjadi
hanya 3 film .Produksi film pada masa pendudukan Jepang produksi film dimonopoli oleh badan
bentukan khusus bernama Jawa Eiga Kosha ( Perusahaan Film Jawa ) . Distribusi filmnya diatur oleh
organisasi lain bernama Nippon Eiga Sha yang dikenal pula dengan Nichi’ei .3Pada masa ini film yang
beredar merupakan film merupakan film propaganda Jepang , film yang dimaksud berupa slide tentang

2
Bintang Betawi . Jumat , 30 November 1900 .
3
Haris Jauhari (edt.) . Op.Cit.hlm36.
2
tentara Nippon yang diputar sebelum pemutaran film cerita .4 Hal yang menarik disini adalah walaupun
Jepang terus memproduksi filmnya di Indonesia ,
Sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agusrus 1945 sampai tahun 1947
produksi dan distribusi film untuk sementara berhenti . Pada tahun 1948 baru produksi film kembali
dilakukan dan menghasilkan 3 judul film antara lain : Air Mata Mengalir di Tjitarum , Anggrek Bulan ,
dan Jauh Dimata .Indusrti film diawal kemerdekaan ditandai oleh semangat revolusi . Semangat
Nasionalismepun tercermin dalam sejumlah film tertang perjuangan bangsa Indonesia melawan
pemerintah Kolonial Belanda . Industri film berkembang pesat dari 8 film pada tahun 1949 menjadi 23
film pada tahun 1950 dan menjadi 65 film pada tahun 1955 . Kebangkitan film ditahun 1950-an
disebabkan oleh 2 faktor utama . Faktor pertama yaitu munculnya perusahaan – perusahaan film yang
didirikan oleh pribumi seperti Perusahaan Film Nasional Indonesia ( Perfini ) oleh Haji Usmar Ismail
dan Perseroan Artis Indonesia ( Persari) oleh Jamaludin Malik . Faktor kedua adalah lahirnya beberapa
persatuan distributor film , seperti Ikatan Pengedar Film Indonesia ( IPFI ) dan ditambah dengan
berdirinya organisasi impotir film yaitu Gabungan Importir Film Indonesia ( GIFI ) .
Pada tahun 1950 – an banyak film impor Amerika Serikat masuk ke Indonesia yang membuat
peningkatan film nasional seolah tidak berarti . Alasan utama yang membuat film impor lebih digemari
bukan hanya karena kualitas gambar dan penyajian alur cerita yang lebih baik , namun ternyata film
Indonesia kebanyakan diputar di bioskop kelas 2 dan 3 , sangat sedikit film nasional yang diputar di
bioskop kelas 1 , hal ini dikarenakan pengelola bioskop tidak mau penonton bioskop kelas 2 dan 3 ribut
dan menggangu penonton di bioskop kelas 1 yang membyar lebih mahal dan berasal dari kalangan elit .
Pada tahun 1960- an tepatnya pada tahun 1964 masalah di dunia perfilman berkembang menjadi
isu politik . Bebagai sektor industri , khusunya organisasi produser film ( PPFI ) dan pekerja film
( Sarfbufis ) saling berselisih bagaimana menghadapi arus film impor. 5Sarbufi ( Sarekat Buruh film
Indonesia ), yang kemudian berganti nama menjadi Sarfis , bergabung dengan SOBSI ( Sarekat
Organisasi Buruh Seluruh Indodnesia ) , organisasi buruh yang berhubungan dengan PKI .Sarbufis yang

4
Jepang mulai memproduksi film cerita di Indonesia pada akhir 1943. Propaganda Jepang juga
terlihat melalui film – film yang didatangkan langsung dari Jepang , yang penuh dengan
gambaran tentang keunggulan Jepang seperti : Nankai no Hanabata ( Bunga dari Selatan ) ,
Shogun to Sanbo to Hei ( Jenderal dan Prajurit ) , Singapore Soko Geki ( Serangan atas
Singapura ) , dan Eikoku Koezoeroeroe no Hi ( Saat Inggris Runtuh ) . Ibid . hlm.38
5
Budi Irawanto . Op . Cit . , hlm . 80
3
merupakan bawahan dari LEKRA mempunyai kebijakan yang mengacu pada nasionalisme ekonomi
yaitu berupaya mengembangkan film nasional dan membatasi impor film nasional .
Konsep “ Politiik adalah Panglima “ dalam bidang kebudayaan yang diserukan oleh PKI dan
diperjuangkan oleh LEKRA memicu ketegangan lain dalam perfilman Indonesia memasuci tahun 60 –
an Kedudukan PKI dan simpatisannya di tahun 1965 makin lama makin kuat . Keberhasilan ini
disebabkan oleh kecurangan di bidang film oleh orang mereka . Peristiwa G 30 S PKI dan naiknya
pemerintah Orde Baru pada tahun 1965 , pemerintah memberantas semua unsur Komunisme di segala
lapisan masyarakat termasuk di bidang film
Penelitian yang dilakukan oleh Khrishna Sen yang tertulis dalam bukunya yang
berjudul “Kuasa Dalam Sinema” menjelaskan bagaimana film-film tahun 1970-an
merepresentasikan masyarakat kelas bawah sebagai pihak yang minor dalam strata sosial
ekonomi. Seperti yang diketahui, pada dekade 1970-an memang sinema Indonesia cukup
akrab dengan eksploitasi kemiskinan, sebut saja Yatim(1974), Sebatang Kara (1974),
Jangan Biarkan Mereka Lapar (1975), Ratapan Si Miskin (1975), dan Nasib Si Miskin
(1977). Modus ceritanya adalah melodrama yang ditunjukkan hingga menguras air mata.
Protagonis dalam cerita adalah anak kecil atau remaja, yang di awal film kesulitan karena
kemiskinannya dan makin sulit karena pada satu titik mengalami suatu bencana yang
membuatnya yatim piatu. Protagonis pun merosot status kesulitannya dari kemiskinan
menjadi kesengsaraan.
Era 1980an seringkali disebut masa keemasan film Indonesia, sebagaimana yang terjadi dua
dekade setelahnya, penonton film Indonesia sebenarnya hanya menyesaki pemutaran beberapa film
unggulan. Atensi penonton terhadap film nasional tidak merata di setiap judul dan hanya berlaku
temporer dengan kata lain selera penonton Indonesia belumlah stabil. Pada masa ini disebut masa
keemasan film Indonesia dan pada masa ini tema percintaan masih menjadi yang utama.
Pada awal tahun 1990-an, Asrul Sani pernah mengatakan bahwa popularitas film Indonesia bisa
diumpamakan sama dengan popularitas petai. Jika petai dikenal karena bau busuknya, maka film di
Indonesia atau barangkali lebih tepat film Indonesia populer karena keburukan-keburukannya . 6Unsur
seksualitas mendominasi film – film yang di produksi .Unsur tersebut menjadi sebuah resep yang manjur
dalam dunia perfilman Indonesia . Pada dekade 1970 – an dan 1980 – an , film – film Indonesia yang
6
Periksa, Idi Subandy Ibrahim, “Film, Cermin Mentalitas Sebuah Bangsa: Narasi Visual Masyrakat yang Penuh
Luka” dalam Budaya Populer Sebagai Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia
Kontemporer (Yogyakarta: Jalasutra, 2007), hal. 171.
4
menggunakan seks sebagai unsur didalamnya tidak dapat hanya dilihat dari judulnya saja . Orang harus
menonton dulu , baru mereka akan mengetahuinya . Akan tetapi pada era tahun 1990 – an orang akan
mengetahui dengan melihat judulnya saja .
Unsur seks didalam film dapat dikatakan unsur yang selazimya menggambarkan sisi erotisme
dalam film . Unsur seks dalam film dapat digambarkan melalui adegan atau tutur kata yang menjurus
kepada persetubuhan , ciuman yang merangsang , ataupun peng - close u – an.
Keberanian film – film Indonesia dalam menampilkan seks memang tidak kalah dengan film-
film asing . Menurut beberapa sutradara , seks digunakan untuk menyampaikan ide atau gagasan pikiran
mereka . Akan tetapi , seks dalam film Indonesia tidak memiliki hubungan yang jelas . Seks hanya
digunakan sebagai bumbu , merupakan tempelan , sehingga walaupun dihilangkan tidak akan
menggangu jalan cerita . 7
Seks sebagai bumbu maksudnya adalah seks sebagai aspek dalam film bukanlah menjadi objek
atau bahasan utama yang ingin disampaikan oleh sebuah film , aspek tersebut hanya ditambahkan
sebagai penyedap agar menarik minat penonton . Contohnya adalah film – film dari Warkop DKI unsur
utamanya adalah komedi sedangkan seks hanya unsur tambahan , jika unsur seks dihilangkan maka alur
cetita film tersebut tidak akan terganggu .
Lihat contoh film lain yang muncul pada dekade 1990 – an , seperti Gairah Malam ( 1993 ) ,
Wanita Dalam Gairah , ( 1994) , Bebas Bercinta ( 1995) , Akibat Bebas Seks ( 1996) , Permainan
Erotik ( 1996) & Gairah Seksual ( 1997 ) . Dari judul filmnya saja , orang yang belum sempat menonton
film – film tersebut pasti akan langsung mengetahui bahwa unsur seks pasti terdapat dalam film – film
itu . Secara umum , film – film diatas adalah film bergere drama yang menceritakan kehidupan nyata di
dalam masyarakat .8 Adegan seks yang ditampilkan pada umumnya adalah adegan persetubuhan ( tidak
ditampilkan secara terang – terangan ) , cuiman panas , dan pakaian – pakaian yang ketat .
Pada masa ini juga mengasilkan artis – artis bintang film panas yang kerap disebut “bom sex”
yang dianggap sebagai spesialis pemeran film panas lokal . Artis – artis “bom sex” tersebut antara lain
Eva Arnaz yang kerap muncul di beberapa judul film Warkop DKI , Malvin Sayna yang membintangi
film Sentuhan Tabu , Wanita Berdarah Dingin & Gairah Malam , Ineke Koesherawati yang
membintangi Ranjang yang Ternoda , Suami Istri dan Kekasih & Setetes Noda Manis , Sally Marcelina

7
Marselli Sumarno , Suatu Sketsa Perfiman Indonesia ( Jakarta Lembaga Studi Film , 1994 ) .
hal . 54
8
Ibid, hal.14
5
yang membintangi Perjanjian Terlarang , Permainan Binal , Kiki Fatmala yang membintangi
Kenikmatan Tabu , Misteri di Malam Pengantin .
Bioskop merupakan sarana hiburan penting di Kota Surabaya , banyak bioskop
menjamur di seantero Kota Surabaya . Minat masyarakat Surabaya terhadap film nasional
terhitung tinggi . Tidak jarang, Surabaya Post dan Jawa Pos yang waktu itu terbit rata-rata
12 halaman tiap hari, iklan filem bioskopnya mencapai dua sampai tiga halaman. Sejak
1990-an, satu-persatu gedung bioskop tutup dan gedungnya berubah fungsi , karena
persaingan dengan saluran televisi swasta yang mulai bermunculan dan teknologi video
digeser oleh VCD (Video Compack Disc) dan DVD (Digital Video Disc). Banyak
bioskop di Surabaya menayangkan film yang mengandung unsur seks antara lain ,
Bioskop Arjuna, Delta , Surabaya , Ria , Atum , Oscar , President , Wijaya , dan masih
banyak lagi .

B. Batasan Masalah

Pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah Film Seks di Bioskop
Surabaya ( tahun 1990 - 1998) . Masa ini disebut sebagai masa suram dunia film
Indonesia . Terdapat hubungan yang saling memengaruhi anatara film dan masyarakat
yang menontonnya .
Mengenai batasan temporal , peneliti memilih dimulai tahun 1990-an dikarenakan
pada masa ini sudah mulai bermunculan film – film yang dibumbui adegan seks dan
mengakhiri pada tahun 1998 karena terjadinya krisis moneter sehingga bioskop – bioskop
banyak yang gulung tikar sebab sepi pengunjung . Film – film yang dihasilkan
mencerminkan bagaimana kondisi masyarakat Indonesia disetiap era kekuasaan .
Mengenai batasan spasial , penulis memilih untuk mengkaji film di Surabaya .

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah film seks yang pernah tayang di bioskop Kota Surabaya pada
tahun 1980 – 1998 ?

2. Bagaimana dampak penayangan film seks di bioskop Kota Surabaya pada tahun
1980 – 1998 ?

6
D. Tujuan Penelitian

1. Untuk menjelaskan film seks yang film seks yang pernah tayang di bioskop Kota
Srabaya pada tahun 1980 – 1998

2. Untuk menganalisis dampak penayangan film seks di bioskop Kota Surabaya


pada tahun 1980 – 1998

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dengan adanya penelitian ini , maka akan menambah wawasan


bagi peneliti untuk mengetahui perkembangan film seks di bioskop Surabaya dari
rentang tahun 19 – 19

2. Manfaat Praktis

Bagi para pembaca , diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
rujukan .

F. Tinjauan / Kajian Pustaka

Dalam penelitian ini digunakan beberapa judul buku ataupun sumber yang
digunakan penulis dalam menulis penelitian ini yang pertama adalah buku berjudull
Profil Dunia Film Indonesia karya Salim Said yang berisi tentang perjalanan dunia film
Indonesia dari masa ke masa.

Sumber yang kedua adalah jurnal penelitian Minat Masyarakat Surabaya


Terhadap Film Nasional Tahun 1987 , berisi tentang film yang digemari masyarakat
Surabaya , artis yang populer dikalangan masyarakat Surabaya , genre film yang digemari
masyarakat Surabaya .

Sumber ketiga adalah tesis berjudul Masa – Masa Suram Dunia Perfilman
Indonesia (Studi Periode 1957-1968 dan 1992-2000) yang berisi tentang sebab – sebab
penurunan kuantitas maupun kulitas film Indonesia kala itu .

G. Metode Penelitian

7
Dalam sistem keilmuan , metode merupakan seperangkat prosedur , alat atau
piranti yang dipakai ( sejarawan ) dalam meneliti dan menyusun sejarah . Dalam metode
penelitian sejarah ada beberapa pendapat ahli tentang pengertian metode sejarah .
Pertama , Gilbert J . Garraghan menyatakan bahwa yang dimaksud metode sejarah ialah
sekumpulan prinsip dan aturan yang sistematis , dimaksudkan untuk memberikan bantuan
secara efektif dalam pengumpulan sumber , penilaian secara kritis terhadapnya ,
kemudian menyajikan sebagai sintesis , biasanya dalam bentuk tertulis . Jadi Garraghan
menganggap metode sejarah sebagai seperangkat prinsip dan aturan yang harus dipatuhi
oleh sejarawan . Kedua , sejarawan lainnya Louis Gottschalk berpendapat bahwa metode
sejarah sebagai suatu proses , proses pengujian dan analisis sumber atau laporan dari
masa lampau secara kritis . Hasil rekonstruksi imajinatif masa lampau berdasarkan data
atau fakta yang diperoleh lewat proses itu disebut historiografi .9Di dalam metode sejarah
terdapat empat tahapan yaitu ; heuristik , kritik , interpretasi & historiografi .

1. Heuristik

Heuristik sendiri berasal dari bahasa Yunani : heureskein – to find . Proses ini
merupakan proses pertama dalam metode sejarah dimana peneliti mencari dan
menemukan sumber – sumber yang diperlukan .Metode yang digunakan untuk
mencari sumber adalah studi kepustakaan dan mencari informasi di internet . Studi
kepustakaan ini dilakukan dengan cara mencari buku dan arsip yang relevan dengan
masalah yang diteliti . Sedangkan melalui internet peneliti mencari jurnal online ,
poster , surat kabar yang relevan dengan masalah yang diteliti .

Dalam hal ini penulis mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan


Film seks di bioskop Surabaya. Sumber yang di kaji dalam permasalahan ini adalah
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer ini sepeti arsip,dan surat kabar.

Sumber primer yang di dapatkan di badan perpustakaan daerah Surabaya , Menur


Pumpungan.. Sedangkan mengenai sumber sekunder,peneliti banyak menemukanya

9
Aminuddin Kasdi . Memahami Sejarah .UNESA University Press . 2005 . halaman 10
Lihat juga Gilbert J. Garraghan , S.J. op. cit. , halaman 33 & Louis Gotschak . Mengerti
Sejarah. ( Jakarta : UI Press , 1981 ) , halaman 3
8
di perpustakaan daerah Surabaya , Menur Pumpungan, dan wawancara masyarakat
setempat.

Selain itu peneliti juga melakukan penelusuran sumber di internet mengenai film
seks di bioskop Surabaya. Selanjutnya sumber-sumber yang terkait akan di lakukan
telaah sumber serta penafsiran sumber yang di dapat sehingga menghasilkan sumber
yang relevan dengan permasalahan yang akan di kaji

2 .Kritik (Menguji Sumber)

Kritik artinya pengujian dari sebuah sumber yang akan digunakan. Kritik dalam
sebuah sumber harus dilakukan karena untuk mengetahui dari kevalitan sumber yang
akan di gunakan7. Kritik Intern di lakukan penulis untuk melakuakn penafsiran
tentang isi dari sumber yang di dapat agar mendapatkan kevalitan dari sumber yang
telahdi dapat yang kemudian dapat di jadikan untuk menganalisis sebuah penelitian.10

3. Interprestasi (Pendekatan)

Pada tahap ini penulis akan melakukan pencarian anatara fakta yang satu dengan
yang lainya yang di temukan di tafsirkan. Pada tahap penafsiran ini penulis saling
mengaitkan fakta-fakta ydan sumber-sumber yang di dapatkan yang sebelumnya
sudah melalui tahap kritik terlebih dahulu. Selanjutnya fakta-fakta yang telah di dapat
kemudian di kelompokan yang saling keterkaitan. Kemudian setiap kelompok
dilakukan sebuah penafsiran yang kemudian akan di peroleh kerangka berpikir.

4. Historiografi(Penulisan)

Tahap ini merupakan tahap akir dari penulisan sejarah. pada tahap ini fakta-fakta
yang telah di tafsirkan kemudian akan di sajikan secara tertulis. Penulisan ini di susun
secara kronologis dan analisis berdasarkan fakta yang telah di dapatkan dalam proses
penulisan. Proses penulisan ini membutuhkan sebuah pemikiran yang kritis agar
menjadi sebuah karya yang memiliki nilai yang baik. Tulisan yang di susun
berdasarkan pemikiran peneliti sendiri,jika menggunakan pemikiran orang lain harus
di sertai kutipan yang di gunakan.

10
Ibid. Hal 10-11
9
3 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai


penelitian yang akan di tulis,maka nantinya akan di tulis secara rinci dengan beberapa
bab. Sehingga dalam judul Film Seks di bioskop Surabaya tahun 1980 – 1998 ,secara
pokok akan di bagi menajdi lima bab pokok permasalahan.

Bab I berisi latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II
mengenai Film Seks di bioskop Surabaya yang berisikan a) film seks yang ditayangkan ,
b) artis film seks yang populer , c) minat masyarakat surabaya terhadap film seks d)
bioskop yang menayangkan film seks di Surabaya , e) sensor . Bab III berisi tentang
Dampak Penayangan Film Seks di bioskop Surabaya a) Dampak ekonomi b) Dampak
sosial, c) Damapak budaya .

10

Anda mungkin juga menyukai