Anda di halaman 1dari 9

ESSAY

ERA KEEMASAN KEDUA PERFILMAN INDONESIA


Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Akhir Semester
Mata Kuliah Sejarah Film Dunia dan Nusantara
Dosen Pengampu : S. Andre Triadiputra, S.Sn., M.Sn.

Disusun Oleh :
Suwandy Eko Saputra Sihombing
211481031

PROGRAM STUDI FILM DAN TELEVISI


JURUSAN SENI MEDIA REKAM FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2022
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Film adalah salah satu media yang menjadi penghubung dari


berbagai kalangan. Jika dilinik dari segi fungsi, maka film bukan hanya
berperan sebagai media untuk menghibur—namun, sebagai media
penyampaian sesuatu yang tidak dapat diutarakan secara verbal. Value
yang dimiliki di dalam sebuah film dapat menjembatani beberapa pihak
agar dapat menjangkau masyarakat. Aspek lain yang juga dapat menjadi
bagian dari film, yakni; Politik, Ekonomi, Budaya, dan Historis (Kurnia,
2006:272).

Meskipun industri film Indonesia masih harus bersaing dengan


pesatnya perkembangan film-film luar negeri, yakni: Hollywood---namun,
hingga hari ini, tercatat industri film sudah mulai berbenah(Kurnia,
2006:272).

Sejarah mencatat bahwa sejak diluncurkan film tanpa suara


pertama, yakni “Loetoeng Kasaroeng” tahun 1926 menjadi pencetus
lahirnya industri perfilman Indonesia karena proses produksi dilaksankan
di Indonesia(Kurnia, 2006:272). Kemudian perfilman Indonesia melewati
beberapa fase yang berbeda per tahunnya. Hal yang dimaksud adalah
perkembangan yang cukup berliku, mulai dari masa kolonial hingga masa
peralihan Orde baru ke Reformasi. Dalam hal ini, jenis film yang
ditampilkan pun menyesuaikan dengan siapa yang memegang peran
penting di balik industri perfilman.

Gambar 1. Salah Satu Film yang Dilarang Ditayangkan.


(Sumber: Filmindonesia.or.id)

Dibalik semua pencapaian yang sudah dialami industri perfilman,


adalah sebuah keniscayaan bahwa pasti ada saja batu kerikil yang menjadi
ujian dari perkembangan industri perfilman Indonesia. Dapat dilihat pada
gambar di atas bahwa ada film Indonesia yang dikecam peredarannya dan
dilarang untuk ditayangkan di salah satu negara. Contoh konkretnya
adalah film “Bumi Makin Panas” yang ditolak di Malaysia. Akan tetapi,
hal yang perlu digaris bawahi, film- film Indonesia juga menembus pasar
Internasional dan bahkan menjadi salah satu awardee di kancah perfilman
Internasional. Contoh rillnya adalah film garapan sutradara Mouly, yang
menyabet beberapa penghargaan di kancah Internasional. Film tersebut
adalah “Marlina: Si Pembunuh dalam Empat Babak”, yang tercatat
mendapat deretan perhargaan seperti; Tokyo FILMeX, Pacific Film
Festival, Five Flavours Asian Film Festival, dan QCinema International
Film Festival pada tahun 2017 lalu seperti yang dikutip oleh Wildan di
Kincir.com.

Meskipun industri perfilman dari tahun ke tahun mengalami


peningkatan dengan konsistensinya menyediakan nuansa baru dalam
menyajikan jenis film yang bervariasi---dengan didominasi oleh kehadiran
para sutradara muda, yang secara tidak langsung menjadi salah satu angin
hangat untuk industri perfilman dalam negeri---namun, masalah yang
timbul adalah ruang tayang yang masih terbatas seperti yang dikutip pada
Berita Satu oleh Dina.

Sebelum lebih lanjut membahas tentang bagaimana industri


perfilman Indonesia bertahan dan mencapai era keemasaannya pada tahun
2018, maka pada bab pembahasan---akan dijelaskan mengenai melihat
nilai sejarah dari proses perkembangan industri Indonesia, kebijakan
pemerintah dalam mendukung perkembangan industri perfilman di tahun
2018 dan bagaimana proses produksi dan industri perfilman memengaruhi
ekonomi masyarakat. Hal ini dibahas karena mengingat sebagai bentuk
catatan untuk nantinya menjadi batu loncatan perkembangan industri
perfilman ke depannya bagi para sineas, pemerintah dan pengusaha
bioskop khususnya untuk Indonesia---agar dapat bersaing memperbaiki
apa-apa saja yang tertinggal dan menjadi PR bagi industri perfilman
Indonesia.

PEMBAHASAN

1. Kajian Literatur

Jika dilihat dari perkembangan industri perfilman dari masa ke masa,


maka bisa ditarik kesimpulan---ada tiga hal yang menjadi sorotan khusus,
yaitu: sejarah bioskop sendiri; sejarah perkembangan industri perfilman;
dan sejarah kebijakan terhadap perfilman Indonesia (Ardiyanti, 2017).

a. Sejarah Bioskop

Sejarah bioskop atau tempat pemutaran film ini telah dimulai pada
masa Hindia Belanda. Saat itu awal 1900an, masyarakat Indonesia
disuguhkan oleh film tentang Ratu Belanda dengan Pangeran Hertog
Hendrick yang menceritakan tentang masuknya mereka ke ibukota
Belanda (Irwansyah, 2012). Penanyangan film ini pertama kali di rumah
seorang Belanda bernama Schwarz. Untuk tiketnya sendiri saat itu
memiliki tiga rentang harga yang mana sangat menunjukan bahwa mereka
sengaja menentukan harga yang cukup wah agar pribumi atau rakyat asli
Indonesia pada khusunya, tidak dapat membeli tiket dengan fasilitas yang
VIP atau salah satu deretan nomor duduk istimewa(Ardiyanti, 2017).

Pada awalnya, bioskop sendiri masih merupakan bagian dari


perkumpulan yang dibentuk oleh Hindia Belanda di bawah naungan sektor
pariwisata. Perkumpulan itu kemudian menjadi awal tongkat berdirinya
bioskop megah pertama di Indonesia, yaitu Metropole yang dibuka pada
tahun 1951. Sejalan dengan banyaknya bioskop yang mulai dibuka, maka
hadirlah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia atau GAPEBI
dan mengerucut menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia atau
GABSI(Ardiyanti, 2017).

Hingga saat ini, mulai dari orde lama hingga tahun 2018---banyak
kebijakan terhadap industri bioskop sendiri yang mana tidak jarang
bersinggungan dengan politik dan ekonomi. Contohnya saja pada masa
orde baru, proses pemutaran film dari luar negeri mengalami pembatasan.
Hal ini terjadi karena ada pihak yang melakukan boikot atas film dari
Amerika Serikat yang tergabung dalam Panitia Aksi Pemboikotan Film
Imperialis Amerika Serikat. Ditambahkan oleh Ardiyanti bahwa hal ini
berkaitan dengan gejolak politik saat itu. Akibatnya, minat masyarakat
terhadap industri perfilman mengalami penurunan.

Singkatnya, industri bioskop masih saja menjadi salah satu PR yang


masih perlu dibenahi oleh pemerintah karena ketidakmerataanya
pembangunan gedung bioskop di beberapa daerah di Indonesia.

b. Sejarah Perkembangan Industri Perfilman

Perkembangan industri perfilman di Indonesia cukup mengalami


naik turunnya proses produksi dari film. Hal ini sesuai dengan
kebijakan pada tahun – tahun tertentu yang mana mengacu pada
pemerintahan mana yang menangani industri ini. Tercatat mulai dari
rentang tahun 1900-1930 merupakan awal dari industri perfilman yang
disebut seni kaum urban. Kemudian berlanjut pada tahun 1930-1950
adalah angin segar sebagai hiburan masyarakat Indonesia dimana film
menjadi media hiburan untuk membasuh depresi ekonomi masyarakat.
Pada tahap ketiga, yakni sekitar tahun 1950-1970 ini masuk sebagai
salah satu rentang tahun yang berkaitan dengan tegangnya ideologi.
Masuk di tahun 1970-1985 adalah tahun menyambut sebuah
globalisme yang semu. Dilanjutkan pada tahun 1985-1998 yang
merupakan krisis pada globalisasi. Yang terakhir, 1998-2013 adalah
penandaan konsistensinya film – film yang lebih terlihat euforia
demokrasi (Ardiyanti, 2017).
Contoh rill dari pemerintah yang memegang kendali saat itu
memengaruhi dari proses perkembangan industri perfilman Indonesia
adalah saat pemerintahan Jepang. Saat pemerintahan Jepang, memang
proses produksi dari industri perfilman cukup signifikan namun, hal ini
hanya berkaitan dengan maksud agar menjadi alat persuasive bagi
rakyat Indonesia terhadap pemerintahan Jepang saat itu. Setelah
periode 1998-2013, generasi sutradara muda mengambil peran dalam
industri perfilman Indonesia. Tercatat mereka adalah Ernest Prakasa,
Angga Dwi mas Sasongko dan lain lain---yang menjadi peralihan
antara generasi tua sutradara Indonesia seperti Riri Riza dan Garin
Nugroho (Ardiyanti, 2017).

c. Sejarah Kebijakan Perfilman Indonesia

Berbicara tentang kebijakan perfilmana Indonesia maka kita


menarik rentang waktu dimulai pada zaman kolonial Hindia Belanda
hingga pada masa sekarang. Tercatat sudah di zaman kolonial belanda
terdapat dua kebijakan yang dikeluarkan yakni: Film Ordonnantie,
Staatblad van Nederlaandsch Indies No. 276 pada tanggal 18 Maret
1916 dan menyusul kebijakan berikutnya yaitu: Film ordonnantie 1940
(Staatsblad 1940 No. 597). Dilanjutkan kebijakan yang dilakukan oleh
pemerintahan Indonesia sendiri setelah kemerdekaan yakni: UU No. 1
Pnps/1964 mengenai Pembinaan Perfilman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1964 No. 11, Tambahan Lebaran Negara
Republik Indonesia No. 2622), era orde baru (UU No. 8 Tahun 1992
mengenai Perfilman (Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3473),
serta yang paling akhir dalam UU No. 33 Tahun 2009 tentang
Perfilman (UU Perfilman) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 No. 141, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
No. 5060).

Sejak diaturnya beberapa kebijakan tentang perfilman Indonesia,


dimulai dari orde baru---proses sensor film mengalami lika liku karena
bersinggungan dengan status gejolak politik saat itu. Akhirnya,
menyebabkan turunnya proses produksi film – film dalam negeri oleh
sineas generasi tua. Hal ini sangat berdampak selain karena mereka
(sineas generasi tua) harus memikirkan biaya proses produksi yang
tidak kecil namun, di sisi lain juga harus berdamai dengan kenyataan
bahwa kebijakan sensor film saat itu sangatlah tidak adil. Pada kasus
lain yang harus dihadapi adalah lewat proses distribusi film yang telah
lulus sensor. Saat itu, film – film import sangatlah menarik perhatian
masyarakat Indonesia. Alhasil, ini juga berimbas pada menumpuknya
jumlah film yang tak kunjung mendapat kesempatan untuk
ditayangkan di beberapa bioskop saat itu. Dalam hal ini, film – film
import yang menjadi primadona adalah film barat (Amerika Serikat),
film Vietnam, dan film Malaysia (Kurnia, 2006).
Beberapa hal yang menjadi sorotan adalah bioskop – bioskop kelas
1 hanya mau menayangkan film – film import. Oleh karena itu, mentri
penerangan, yang merupakan penanggung jawab kala itu, bagi
kepentigan industri perfilman mengeluarkan kebijakan untuk satu film
import yang patut membiayai sejumlah dana yang telah ditetapkan
dengan maksud untuk membantu sineas generasi tua saat itu
memproduksi film dalam negeri. Mengikuti kebijakan lain dari mentri
penerangan era berikutnya bahwa bioskop kelas 1 saat itu harus juga
memberikan ruang tayang bagi film – film dalam negeri agar
meminimalisir tertumpuknya film – film dalam negeri yang sudah
diproduksi--- namun, belum juga mendapat kesempatan tayang
(Ardiyanti, 2017).

2. Kajian Teori

Pada kajian teori ini, akan dibahas perkembangan industri


perfilman Indonesia pada tahun 2018 yang meliput: proses produksi
perfilman di Indonesia serta impact ekonomi masyarakat serta bagi sineas
generasi baru terhadap film yang diproduksi pada tahun 2018.

Perkembangan Industri Perfilman Indonesia serta


Permasalahan Industri Perfilman Indonesia Tahun 2018

Proses perkembangan industri perfilman berdasarkan yang telah


dipaparkan oleh beberapa sineas generasi baru atau muda seperti yang
telah dibahas pada pendahaluan, tercatat sangat membantu dalam
memengaruhi pertumbuhan dan proses produksi dari industri perfilman
Indonesia(Anisa, 2018). Hal ini dapat dilihat pada data yang dikeluarkan
oleh filmindonesia.or.id pada gambar yang disematkan di bawah ini.

Gambar II. Data Penonton Tahun 2018


(Sumber: Filmindonesia.or.id)
Jika diperhatikan sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh
filmindonesia.or.id, maka merujuk pada tahun dimana tabel ini dibuat---
Indonesia telah cukup berhasil dalam menarik minat masyarakat secara
khusus untuk menonton film - film garapan sutradara Indonesia. Entah
dari genre romansa hingga horror, terlihat pertumbuhan yang sangat
signifikan bagi daya beli masyarakat terhadap salah satu media hiburan ini.

Gambar III. Perbandingan dan Pra Kiraan Penonton dari Tahun ke Tahun.
(Sumber: Filmindonesia.or.id)

Penjualan tiket bioskop terhadap beberapa film yang tayang pada


tahun 2018, menunjukan bahwa film Indonesia telah mencapai salah satu
era keemasannya. Hal ini menjadi tolok ukur bahwa industri perfilman
Indonesia mulai dapat mengambil tempat di hati masyarakat yang
notabene selama ini sangat kalah saing dengan film garapan luar negeri.

Peminat yang mulai menyadari kualitas yang semakin diperbaiki


oleh sineas-sineas generasi baru dan juga pemilihan film yang realitanya
sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia---sangat
membuahkan hasil yang cukup baik dengan tercetaknya peningkatan
penonton dari tahun ke tahun di bioskop yang menyediakan dan
menanyangkan film – film garapan sutradara Indonesia ini.

Tercatat bahwa banyak tiket dari judul – judul film seperti “Dilan”
telah habis terjual pada saat penanyangan perdananya. Hal ini sangat
menjadi buah segar yang dipetik oleh jerih payah membangun secara
bertahap perfilman dalam negeri. Tak luput dari bantuan yang diberikan
oleh kebijakan pemerintah di era Jokowi tentang pencabutan anggapan
bahwa bioskop menjadi investasi negatif---maka,para investor berani
menanamkan modal pada bioskop Indonesia. Kebijakan itu pun
berdampak bagi pengusaha bioskop di tanah air sejalan juga membantu
untuk menambah ruang tayang bagi film Indonesia.

Proses produksi yang mengambil banyak biaya menjadi sebab


sineas muda mendorong perhatian dari kebijakan – kebijakan lanjutan
yang akan mungkin dilakukan oleh pemerintah di Era siapapun dalam
membantu satu kendala besar yang masih menjadi PR besar industri
perfilman tanah air. Hal ini dimaksudkan sejalan dengan sineas muda ini
memperbaiki kualitas film dan mencoba menarik kecintaan akan
masyarakat Indonesia terhadap film – film dalam negeri juga agar
perfilman dalam negeri mengalami pertumbuhan dan dapat bersaing sehat
di bioskop – bioskop yang masih memberikan ruang tayang yang lebih
besar kepada film – film import.

3. Penutup

a. Kesimpulan

Sejarah perkembangan industri perfilman mulai dari masa kolonial


Hindia belanda hingga sekarang menjadi satu titik besar yang telah dilalui
oleh para pegelut seni atau film secara khususnya menjadi media hiburan
sekaligus pembelajaran dan alat penyampaian pesan kepada
masyarakat.meski pada mulanya, film bisu pertama digarap oleh sineas
Belanda---namun, seluruh proses produksi filmnya dan film itu sendiri
mengangkat kehidupan masyarakat Indonesia, maka dari itu---“Loetoeng
Kasaroeng” menjadi penanda industri perfilman di Indonesia.

Lika liku membangun kualitas pefilman dari proses produksi serta


bersaing secara sehat dengan film – film garapan import masih menjadi
PR bagi sineas tanah air, pemerintah dan juga pengusaha bioskop. Proses
produksi saat masa orde baru hingga reformasi awal ditandai oleh
beberapa pembatasan karena ada isu politik yang memang menjadi momok
bagi kelangsungan industri perfilman saat itu. Mulai dari proses sensor
yang terlalu berlebihan, jumlah ruang tayang yang didominasi film import,
kebijakan pemerintah saat itu yang menjadi alasan utama---tema maupun
jenis perfilman Indonesia bervariasi.

Menarik minat masyarakat agar mulai menghargai film – film garapan


dalam negeri tidaklah mudah. Tantangan yang dihadapi selain masih
kurangnya ruang tayang bagi film Indonesia juga berbanding lurus dengan
kualitas film Indonesia. Namun, tahun 2018 tercatat sebagai salah satu era
keemasan industri perfilman Indonesia karena sesuai data dari
filmindonesia.or.id---daya beli masyarakat akan film – film yang
diprakarsai oleh sineas generasi muda dalam negeri cukup diminati.

b. Saran

Dengan banyaknya jenis film yang disediakan oleh para sutradara


muda ini, maka mau tidak mau---ruang tayang di bioskop – bioskop
Indonesia perlu ditambah agar film – film Indonesia pun bisa berkompetisi
dengan ruang tayang film luar negeri. Dalam hal ini, kebijakan yang
paling positif telah dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung bukan
hanya industri perfilman namun juga para pebisnis bioskop Indonesia,
yaitu mengijinkan para investor dari luar negeri untuk menanamkan modal
di bioskop – bioskop yang ada di Indonesia.
Hal lain yang masih menjadi PR adalah belum meratanya
pembukaan bioskop pada beberapa pulau di Indonesia. Yang menjadi
perhatian pemerintah karena dengan memberikan akses kepada pengusaha
bioskop Indonesia agar menjangkau wilayah – wilayah terpencil di
beberapa kota di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

1. Kurnia, Novi. 2006. Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman.


Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 9 (3) 271-296.
2. Ardiyanti, Handrini. 2018. Perfilman Indonesia: Perkembangan dan
Kebijakan, Sebuah Telaah dari Perspektif Industri Budaya. Pusat
Penelitian Badan Keahlian DPR RI, Nusantara . Research Gate.

Laman

1. Wildan, Muhammad. 2020. 6 Film Indonesia dengan Penghargaan


Internasional Terbanyak. https://www.kincir.com/movie/cinema/film-
indonesia-penghargaan-internasional-jBK2n4Cc9T Diakses pada 9
Januari 2022.
2. Annisa, Dina Fitri. 2018. 2018 Bisa Menjadi Tahunnya Film
Indonesia. https://www.beritasatu.com/hiburan/475493/2018-bisa-
menjadi-tahunnya-film-indonesia Diakses pada 8 Januari 2022.
3. N.N. Data Penonton.
http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2018#.YdrOJ5J00SW Diakses
pada 8 Januari 2022.

Anda mungkin juga menyukai