org
Air Mata Surga, Gerakan Film Independen Indonesia memadukan seni, teknik, dan
mimpi
"Keluhan para filmmaker selama ini kan jelas, bikin film tapi tak
tahu harus diputar dimana, caranya seperti apa, perlu promosi atau
nggak dan seterusnya. Di samping itu, kebanyakan dari mereka tak
paham betul peta perfilman Indonesia," kata Mira.
Pemandangan seperti ini tentu takkan mudah kita temukan empat atau
lima tahun lalu. Kini, jangankan diskusi model begini, puluhan film
indie dapat kita saksikan melalui pelbagai festival. Salah satu arena
pemutaran yang paling hangat, Festival Film Video Independen
Indonesia (FFVII) ke-IV pada 17-20 Oktober lalu di Hotel Indonesia
yang digelar Komunitas Film Independen (Konfiden), sebuah yayasan
film di Jakarta yang berdiri pada 1999.
Dampak festival itu luar biasa. Kine klub bermunculan. Pemutaran film
secara reguler bergulir di mana-mana. Dari kampus ke kampus. Dari
kota ke kota. Uniknya, kine klub tak hanya jadi komunitas kampus. Tak
jarang anak sekolah menengah atas (SMA), bahkan sekolah menengah
pertama (SMP), memiliki kelompok sejenis. Bagi mereka, bikin film
jadi semacam kegemaran baru.
DULU Orde Baru represif memasung kreativitas anak muda. Bikin film
jadi pekerjaan mustahil bagi anak muda. Negara menetapkan pelbagai
syarat untuk memproduksi film. Mulai dari izin Departemen Penerangan,
aktor maupun aktris film harus ikut anggota Persatuan Artis Film
Indonesia (Parfi), awak film harus jadi anggota organisasi Karyawan
Film dan Televisi (KFT), pembuat film harus ikut Persatuan Perusahaan
Film Indonesia (PPFI) dan lainnya.
Lebih lucu lagi, sempat muncul aturan pada 1980-an bahwa bikin film
harus dapat izin dari Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, yang
waktu itu dipimpin Laksamana Soedomo –salah satu tukang pukulnya
Presiden Soeharto. Sedikitnya ada 38 lembar formulir yang harus diisi
untuk proses izin pembuatan dan penayangan film. Itulah kenapa hanya
orang-orang tertentu yang mampu bikin film.
Itu baru satu aspek. Di sisi lain, Gotot Prakoso, dosen matakuliah
film Institut Kesenian Jakarta, melihat dominannya peran negara dalam
menafsir fungsi film. Gotot mengatakan, "Kini negara memang tak lagi
mengambil keputusan terhadap film. Dulu, film nasional masih dikuasai
pemerintah, dengan dalih film semata-mata bukan sebagai barang
dagangan, negara menjadikan film sebagai media propaganda."
Secara umum, Katinka van Heeren, peneliti gerakan film Indonesia dari
Universitas Leiden Belanda, melihat ada tiga faktor yang melatari
mandeknya indutri film Indonesia, "Peraturan yang membatasi yang
cenderung jadi lebih mematikan. Kedua, monopoli bioskop oleh kelompok
bisnis Subentra Group dengan jaringan 21 Cineplex milik Sudwikatmono,
relasi Soeharto, yang merugikan film lokal dengan hanya memutar film
Hollywood yang eksklusif. Ketiga, sinetron atau opera sabun yang
ditayangkan TV swasta sejak awal 1990-an yang terbukti lebih populer
dibanding film."
WARNA baru film Indonesia justru muncul saat kelesuan produksi hampir
mencapai titik nadir, dibawa seorang anak muda lulusan sekolah film
Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1986. Ia Garin Nugroho, yang
gelisah atas kondisi anomali film Indonesia. Berbekal pengetahuan
film dan intuisi yang tajam, Garin mampu membaca kebutuhan apresiasi
masyarakat akan film nasional dengan baik.
Garin datang membawa angin perubahan. Dengan pilihan tema yang realis
dan kemampuan bertutur yang subtil, Garin mampu memukau penonton yang
tengah dilanda dahaga apresiasi. Jika dihitung, dari awal dekade 1990-
an hanya film-film Garin Nugroho yang dianggap mampu bertahan dengan
idealisme dan pasar tersendiri.
GARIN boleh saja jadi ikon, tapi pelatuk yang meledakkan genre sinema
independen tetap dipegang Kuldesak (1998) bikinan sekelompok anak
muda yang tergabung dalam komunitas Days For Night Films. Mereka,
Mira Lesmana, Riri Riza, Nan Triveni Achnas dan Rizal Mantovani.
Kecuali Rizal, anak-anak muda ini lulusan sekolah film IKJ, yang
tergila-gila untuk bisa bikin film sendiri. Sebelumnya mereka hanya
bikin iklan, film-film pendek untuk keperluan studi dan layanan
masyarakat, sesekali bikin video klip.
"Pokoknya repot deh. Masak bikin film harus pakai izin dari
Kompkamtib segala, gila kan. Karena persoalan-persoalan itulah
syuting Kuldesak lama, mana kita tak punya izin, belum ada yang punya
lisensi sutradara. Pokoknya Kuldesak butuh 2,5 tahun, sampai 1998
baru bisa tayang di bioskop," kata Mira.
Satu lagi pelopor indies film, Dennis Hopper, sutradara Easy Rider
(1969), yang dibintangi antara lain Peter Fonda, yang berhasil meraup
US$ 19 juta. Sejak itu, indies film, istilah film indie di Amerika,
tak lagi dipandang sebelah mata. Mau tak mau, Hollywood akhirnya
berpaling pada bakat-bakat, tema-tema dan cara pembuatan film yang
tak lazim dalam sejarah industri Amerika.
Tarantino hanya butuh dua tahun untuk bisa sejajar dengan sutradara
papan atas Hollywood. Dengan Pulp Fiction (1994) yang mampu menembus
angka US$ 108 juta, ia meraup 21 penghargaan, dari Best Director,
Best Screenplay hingga Best Motion Picture pada 16 ajang yang berbeda
di empat negara; Amerika, Inggris, Perancis, dan Swedia.
Kita tentu tahu, kebanyakan film indie dibikin oleh anak-anak muda
yang hanya bermodal handycam pinjaman. Dana seadanya, manajemen
sekedarnya dan kadang cenderung asal-asalan. Sumber dana biasanya
didapat dari patungan sesama mereka. Jelas sama sekali tak berbadan
hukum, apalagi mengantongi izin usaha perfilman. Ketergantungan
hampir tak ada, bahkan dalam urusan distribusi.
Dana alias modal jelas jadi varibel utama. Membuat film memang tak
murah. Sekadar gambaran, pita seluloid 35 mm yang 1 rollnya berharga
Rp 4 juta cuma mampu merekam selama empat menit. Sedang kamera
Betacam SP, kasetnya seharga Rp 110 ribu dengan kemampuan merekam
hingga 30 menit. Digital Video atau Digital Beta lebih murah lagi
dengan Rp 400 ribu bisa merekam gambar hingga 180 menit. Itu baru
kaset atau pita seluloid. Belum biaya pra-produksi, produksi dan
pascaproduksi.
Dari segi tema, film indie agaknya tengah menemukan bentuknya. Ismet
Fanany dari Yayasan Pop Corner yang getol memberikan workshop pada
anak-anak sekolah mengatakan, "Sangat luas ya, dalam satu workshop
yang sempat kami berikan, temanya yang diangkat macam-macam. Ada
kehidupan urban, horor, cinta-cintaan, kemiskinan dan cerita-cerita
seputar kehidupan mereka."
Kekayaan tema inilah yang jadi kebanggaan Aryo Danusiri dari Yayasan
Sains Estetika dan Teknologi (SET). "Temanya berkembang sekali,
banyak yang baru bahkan. Memang banyak juga yang masih melakukan
penjelajahan, tapi variasi temanya gila-gilaan. Lihat saja Air Mata
Surga, film pembuka FFVII kemarin, pencapaian teknis dan artistiknya
sempurna. Pilihan temanya pas, lokal dan biasa kita temui sehari-
hari."
SEBAGAI sebuah gerakan, film indie tentu punya banyak kendala. Dari
minusnya sumber daya manusia, kurangnya dukungan negara lewat LSF dan
BP2N terhadap gerakan ini. Serta sedikitnya dukungan infrastruktur
dari industri pertelevisian dan bioskop di Indonesia.
"Kalau film itu diputar untuk publik, apalagi menggunakan tiket, maka
sensor harus diberlakukan. Itu ada aturannya. Kecuali film tersebut
diputar di wilayah diplomatik atau di kedutaan yang mempunyai
kekebalan diplomatik, kita akan menghormati hal itu," kata Tati
Maliyati Wahyu Sihombing, ketua LSF. Tati Maliyati juga mengajar di
jurusan teater Institut Kesenian Jakarta, pernah pula menyutradarai
serial Losmen, tayangan drama terkenal TVRI pada paruh 1990-an.
Sudut padang orang pemerintah lain dengan pekerja film. Gotot Prakoso
tak sepakat jika mekanisme sensor masih dipertahankan. Ia menyarankan
untuk menyerahkan mekanisme apresiasi pada penonton.
Dyah Aryani dari Indonesia Media Law and Policy Centre (IMLPC)
mengatakan perlunya rekonstruksi fungsi lembaga sensor.
Menurutnya, "kriteria sensor LSF itu nggak jelas. Misalnya tentang
pornografi, tak ada batasan jelas. Kriteria penyensoran dalam pasal
19 ayat (1), film yang secara tematis ditolak secara utuh adalah yang
cerita dan penyajiannya mempertontonkan adegan seks lebih dari 50
persen. Bagaimana menentukan ukuran 50 persen ini? Jadi kalau sebatas
untuk keperluan festival itu tak perlu disensor," katanya.
Ada satu cara lagi selain menggunting film, yakni teknik bluring atau
pengaburan gambar. Namun Tati Maliyati jarang menggunakannya.
Salah satu yang bisa meningkatkan sumber daya manusia bidang film
apalagi kalau bukan sekolah film. Sayangnya, Indonesia hanya punya
dua nama untuk ini, IKJ dan Institut Seni Indonesia (ISI) di
Yogyakarta. Ada satu lagi, Pusat Pendidikan Film dan Televisi,
semacam lembaga kursus bikin film bersertifikat milik Perum Produksi
Film Negara (PPFN).
Menilik asumsi ini, Gotot Prakoso justru memandang keliru jika kampus
diminta bertanggung jawab atas peningkatan kualitas sumber daya film
di Indonesia. "Universitas kan hanya memiliki kapasitas yang
terbatas, paling hanya mampu menampung 150 mahasiswa per tahun.
Artinya hanya mampu mendidik sebanyak itu. Lulusan sekolah film IKJ
harus ada yang turun ke masyarakat, menularkan pengetahuannya pada
masyarakat, lewat workshop misalnya. Seperti yang dilakukan yayasan
Konfiden, SET dan Pop Corner," katanya.
Alex Luthfi R, pembantu dekan III Fakultas Seni Media Rekam dan
Televisi Institut Seni Indonesia, punya harapan yang tak jauh beda
dengan Gotot. "Kita mencoba untuk tak membuat jarak dengan mahasiswa,
kita mendorong mereka untuk diskusi, membuat kine klub dan mengadakan
workshop-worshop film hingga keluar kota. Kami tak mampu berbuat
banyak, fasilitas dan buku yang ada tak cukup memadai untuk
menularkan pengetahuan. Mungkin lewat interaksi mahasiswa kami dengan
masyarakat bisa membuat film makin membudaya," katanya.
"Kalau soal teknis, ada kawan lulusan dari Pusat Perfilman Haji Usmar
Ismail (PPHUI) yang bisa bantu. Meski begitu, peralatan sering
pinjam, kamera kami hanya pakai handycam analog. Yang sulit itu soal
editing, kami tidak tahu apa-apa, disamping karena peralatannya tidak
memadai," katanya.
SET didirikan 1987 lalu oleh Garin Nugroho dan Arturo GP, rekannya
dari IKJ. Tahun 1999 SET berubah jadi yayasan, berbadan hukum dengan
fokus kerja yang lebih jelas. SET terbagi dalam lima divisi. Ragam,
yang bergerak dalam ranah multikulturalisme, divisi desain informasi,
divisi pendidikan dan penerbitan, divisi televisi publik, dan divisi
produksi. Sampai akhir tahun ini SET telah memproduksi lebih dari 50
film, termasuk serial film pendidikan anak-anak, Visi Anak Bangsa dan
Pustaka Anak Nusantara.
"Jika dulunya mereka cuma konsumsi, kini kita ajak untuk berproduksi.
Anak-anak SMP SMA diajak untuk bisa bercerita lewat film," kata Ismet
Fanany, ketua Yayasan Pop Corner.
Hampir 70 komunitas film pemula yang mereka bina. Jika satu kine klub
menghasilkan satu saja karya film, maka kine klub binaan Pop Corner
sudah menghasilkan 70 film indie tiap sesi workshop sekali dalam
setahun.
"Kalau dilihat jam siar dari sisi content memang bisa, tapi bagaimana
dengan sisi format. Bagaimanapun film independen kan film pendek,
durasi dan formatnya terbatas. Padahal format televisi harus ada jeda
atau break untuk mengikat pemirsa agar tak pindah channel. Break
disini bukan semata-mata iklan komersial lho, tapi format bakunya
memang seperti itu. Jadi, belum tentu dengan jam tayang yang makin
banyak akan jadi media tayang yang baik bagi film indie," katanya.
Sayang memang, di Indonesia baru SCTV yang berani dan mau menayangkan
film indie. Itupun insidental, hanya sebatas menayangkan 10 film
pemenang dalam FFII. Padahal televisi bisa jadi lahan potensial
penayangan film indie.
Jumlah perusahaan importir film pun membengkak. Pada 1980 hingga 1990-
an kita hanya mengenal PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa
Esthetika Film, PT Amero Mitra Film, dan PT Ace Indonesia Film
sebagai importir film. Sejak tahun 2001 jumlahnya membengkak jadi 21
perusahaan importir film.
Jika dulu dana pajak tontonan menguap tak bermuara, kini malah tak
dibayar sama sekali. Bagaimana bisa perfilman nasional bisa tumbuh
dengan baik jika dukungan dari industri perfilman macam perusahaan
bioskop dan importir film tak memadai.
"Film Indonesia berada dalam sebuah fase rekonstruksi. Ada upaya dari
orang-orang yang peduli pada film Indonesia yang ingin membangun
kembali film Indonesia. Saya belum bisa mendeskripsikan film nasional
mengalami kemajuan. Kita masih harus menunggu 5-10 tahun lagi untuk
menyebut film Indonesia mengalami kemajuan," kata Victor C. Mambor.
Misalnya, untuk tak menyebut terlalu banyak; Di Antara Masa Lalu dan
Masa Sekarang (2001) karya Eddie Cahyono pemenang Konfiden Award pada
FFVII 2001. Topeng Kekasih (2001) karya Hanung Bramantyo dan Da Pupu
Project (2001) karya Wahyu Aditya bahkan sempat diputar pada suatu
seminar film di Leiden Belanda. Karya Hanung Bramantyo yang lain,
Gelas-Gelas Berdenting (2000) pernah meraih juara III Bronze 11th
Cairo International Film Festival kategori program televisi di Mesir.
Air Mata Surga karya Eddie Cahyono dan Ifa Ifansyah, yang jadi judul
naskah ini terpilih jadi film pembuka FFVII 2002. Karya yang
istimewa. Keceriaan anak-anak, persahabatan, layang-layang, sawah
desa, tarian tradisional, warna-warni syahdu, dan ketulusan dengan
teknik sinematografi yang nyaris sempurna.
GERAKAN film indie punya banyak pekerjaan rumah yang harus segera
dibenahi. Diantaranya persoalan transfer informasi dan pengetahuan
film dengan lebih merata ke seluruh pelosok nusantara. Membangun
jaringan komunikasi yang lebih kokoh sekaligus berfungsi menyiapkan
medium distribusi karya yang luas.
Pasar yang mandiri. Istilah ini sering dipakai untuk menilik betapa
lemahnya indie filmmaker berurusan dengan soal yang satu ini. Mungkin
karena dianggap terlalu pragmatis. Merasa tak menguasai bidang
manajeemen, bisnis dan pemasaran maka banyak indie filmmaker lebih
memilih menyerah.
Ifa Ifansyah lain lagi, soal kritik pada sinema independen, ia malah
balik bertanya, "Lho, bukannya saya yang butuh kritik." *
Tiga tahun terakhir… mungkin tepatnya dua tahun terakhir, para penikmat, pembuat,
pemerhati, kritikus atau sekedar penonton —tepatnya film-enthusiasts— di-‘hajar’ oleh
gelombang wacana sinema independen. Wacana yang dibawa dalam bentuk produksi dan
eksibisi karya sinema, diskusi, pengulasan maupun berbagai polemik di media massa
tidak hanya datang sekali, tetapi bertubi-tubi, simultan dan mulai merebak di berbagai
belahan pulau Jawa; bahkan telah mulai timbul di Lampung, Bali, Makassar dan berbagai
daerah lain di Indonesia.
Banyak sekali yang berharap bahwa keadaan ini bukanlah suatu euphoria maupun
fenomenal sifatnya. Mungkinkah hal ini sekedar fenomena? Ketakutan ini memiliki
alasan historis yang cukup kuat. Dalam catatan sejarah “film Indonesia”, sifat fenomenal
seakan lekat dengan perkembangannya. Seperti misalnya film-film karya Sjumandjaja
yang dianggap telah berhasil memberikan definisi “film Indonesia” ; lalu sesudah beliau
tidak membuat film lagi, tidak ada yang dapat meneruskan cara bertuturnya yang sangat
indigenous. Sjumandjaja adalah fenomena. Contoh lain adalah film Naga Bonar yang
juga sangat sarat muatan lokal, atau film Tjoet Nja Dhien yang begitu dramatik.
Keduanya adalah fenomena (bahkan Tjoet Nja Dhien adalah film pertama dan terakhir
Eros Djarot!). Dan mungkin yang paling fresh dalam ingatan kita adalah fenomena
penjualan film Petualangan Sherina; yang tidak bisa dipungkiri bahwa nilai penjualan
sebesar itu sulit untuk dapat ditandingi oleh film lokal berbentuk apapun untuk keadaan
Indonesia saat ini.
Apakah wacana sinema independen juga akan berakhir sebagai sebuah tonggak
fenomenal seperti beberapa contoh di atas? Apakah kemudian wacana ini hanya menjadi
catatan sejarah tanpa meninggalkan suatu sistem atau skema apapun untuk peningkatan
‘harkat perfilman’ Indonesia? Kita belum tahu…
Sebelum berbicara lebih jauh, saya sedikit memiliki kesulitan untuk dapat memberi
batasan yang jelas tentang apa itu ‘film Indonesia’. Mungkin yang bisa digunakan adalah
sebuah batasan luas yang berbunyi: “film yang dibuat oleh warga negara Indonesia.”
Tetapi pemberian batasan ini semata-mata untuk
mempermudah pembicaraan kita selanjutnya. Ingat, bahwa film Indonesia secara statistik
ber-genre misteri dan seks sebagai mayoritas! Jadi yang kita bicarakan dalam tulisan ini
hanyalah sebagian kecil dari film Indonesia.
Sebagian kecil dari film Indonesia (berdurasi panjang) yang muncul belakangan ini
diklaim sebagai ‘film independen’. Sebut saja mulai dari Kuldesak , lalu kemudian
Bintang Jatuh (Rudy Sudjarwo, 2000), Pachinko (Harry Suharyadi, 2000), Tragedy (Rudy
Sudjarwo, 2001), Video Cinta (Agus Chosu, 2001), Jakarta Project (Indra Yudhistira,
2001), dan yang terakhir ini Beth (Aria Kusumadewa, 2001). Sebenarnya apa itu ‘film
independen’? Sebuah pertanyaan besar yang menjadi polemik dalam hampir setiap
tulisan maupun diskusi film yang muncul akhir-akhir ini. Hampir semua pengamat
mempertanyakan definisi film independen yang dibuat oleh filmmaker dan terus berkutat
di masalah definisi.
Istilah ‘independent film’ dan ‘independent filmmaker’ memang muncul pertama kali dan
populer di Amerika sudah sejak jamannya Stanley Kubrick mulai menyutradarai film.
Definisi ‘independent film’ –pun masih terus menjadi polemik besar diantara mereka
masing-masing. Ada yang memberikan definisi yang sangat bersudut-pandang industri,
yaitu Gregory Goodell yang mengatakan:
“ … any film that is developed without ties to a major studio, regardless of where the
subsequent production and/or distribution financing comes from.”
(Goodell, 1998)
Definisi bersudut pandang industri seperti yang disebutkan Goodell (dan tentu saja
banyak praktisi perfilman Hollywood lainnya) terasa begitu ‘sempit’ untuk dapat
menggambarkan apa yang disebut sebagai film independen secara universal. Untuk
konteks Amerika Serikat —khususnya Hollywood— mungkin definisi ini sah-sah saja,
mengingat begitu mapannya industri perfilman di sana. Jadi, dalam konteks mereka,
semua film yang diproduksi diluar studio-studio milik Disney, MGM, Paramount, Sony,
20th Century-Fox, Universal dan Warner Bros. adalah film independen. Definisi ini
begitu dikotomis dan.. tentu saja praktis. Akan tetapi dari sudut pandang metodologi
ilmiah, jelas penarikan definisi ini tidak bijaksana.
Ada juga yang memberikan batasan yang sangat teknis, seperti Moran & Willis yang
menyatakan bahwa:
“Film independen, yang terpenting dan yang paling harus diutamakan adalah film yang
tidak melibatkan peran pemerintah didalamnya.”
Dalam konteks Amerika Utara, mereka menganggap bahwa pemerintah seringkali
bertujuan untuk mengangkat ‘kultur bangsa’-nya ke dunia internasional, yang hanya
sekedar kedok untuk memperlihatkan bahwa mereka telah menjalankan obligasi moral
mereka dalam memperhatikan kesenian negerinya.
Yang paling menarik adalah hasil dari sebuah diskusi dalam kuliah Ray Carner , dimana
didapatkan beberapa definisi pragmatis tentang film independen. Ada yang mengatakan
bahwa film independen adalah film yang dibuat dengan dana terbatas, ada juga yang
membatasinya sebagai film yang dibuat oleh sutradara muda yang belum terkenal. Dan
ada juga yang menyatakan dengan nada sinis bahwa film independen adalah film apapun
yang memiliki tata cahaya yang buruk dan gambar yang tidak fokus. Batasan-batasan
pragmatis ini mengingatkan saya akan pengalaman lucu teman saya di Malang beberapa
waktu lalu, ketika ada peserta diskusi film yang mengatakan, “ Lho mas, saya kira film
independen itu film-film seperti Independence Day, lho….” (Lalu saya terbayang bahwa
Janur Kuning dan Pengkhianatan G-30-S PKI adalah film independen… hi hi hi…)
Para pembuat film independen bermunculan di AS dengan latar belakang yang beragam.
Mereka tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa film ataupun sutradara teater
(seperti yang terjadi pada kondisi Hollywood klasik), tetapi menjadi sangat plural.
Misalnya saja Tarantino yang berasal dari penjaga sebuah rental video. Kemunculan
mereka ini tak bisa dipungkiri juga kemungkinan merupakan akibat dari maraknya
industri film porno AS di akhir dekade 70-an. Dunia industri film porno AS menjadi
ajang para filmmaker untuk mencari uang dan berlatih kemampuan kamera yang
kemudian ditabung untuk dapat membuat feature film-nya sendiri .
Dari pembahasan singkat diatas, dapat tergambar bahwa termin berpikir ‘film
independen’ memang tidak bisa lepas dari konteks Amerika Serikat, dan jelas tidak
bermakna universal. Jadi, sangatlah tidak bijaksana bila kita mengambil definisi-definisi
ala Amerika seperti yang telah disebutkan sebelumnya dan berusaha mengaplikasikannya
di Indonesia.
Walaupun film independen tidak dapat dipisahkan dengan konteks Amerika Serikat,
apakah kita (Indonesia) tidak boleh menggunakan kata-kata yang sama untuk
merepresentasikan definisi yang berbeda? Tetapi apakah menjadi tabu untuk
menggunakan kata independen di Indonesia? Lalu bagaimana dengan film independen
Indonesia?
Sangat tidak tepat bila kita menggunakan definisi ‘versi industri’ Hollywood terhadap
keadaan di Indonesia, karena jika begitu, maka semua film Indonesia yang diproduksi
sejak tahun 1926 sampai sekarang adalah film independen! Ingat, sebenarnya Indonesia
tidak pernah punya industri perfilman yang mantap, yang kita miliki hanyalah beberapa
buah ‘industri rumah tangga’. Maksudnya, seperti sebuah industri rumah tangga yang
menghasilkan tempe: seseorang membeli kedele, kemudian dia yang memberi ragi, dia
yang membuatnya jadi tempe, dia yang memotong-motong, dia juga yang menggoreng
dan kemudian anaknya yang berjualan tempe goreng di pasar. Jelas situasi ini adalah
situasi industri rumah tangga. Kita tidak pernah memiliki sistem produksi, distribusi dan
eksibisi yang berjalinan satu sama lain. Kita tidak pernah memiliki regulasi yang jelas
mengenai media film dan sensornya . Lalu apakah kemudian semua film Indonesia secara
otomatis disebut sebagai film independen?
Secara etimologis, kata independen merupakan hasil serapan dari bahasa Inggris
‘independent’ yang berakar dari kata ‘dependent’ dengan pemberian sufiks ‘in’ yang
bersifat negasi. ’Independent’ diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia sebagai
‘tidak bergantung’. Jadi kata ‘independent’ tidak pernah berdiri sendiri secara kontekstual
tanpa ada kausal ‘from’ (Bhs. Ind: ‘dari’). Berarti, dalam konteks bahasa Inggris, kata
‘independent’ harus dapat dipertanyakan lebih lanjut dengan kata-kata ‘independent from
what? ’
Peyorisme bahasa yang terjadi sebagai akibat serapan memungkinkan di Indonesia terjadi
pemahaman yang berkembang dari sekedar ‘independen dari’ menjadi ‘independen
untuk’ yang memiliki arti lebih dekat dengan kata ‘mandiri’ daripada kata-kata ‘tidak
bergantung’.
Pemahaman akan ‘kemandirian’ inilah yang agaknya menjadi dasar berpikirnya banyak
sutradara Indonesia sekarang ini untuk menyebut filmnya sebagai film independen.
Umumnya, beberapa sutradara melihat independensi mereka sebagai sebuah sikap ‘siap
berkarya’ tanpa tekanan dan tuntunan pihak manapun. Independen adalah ketika
seseorang membuat film karena keinginan yang besar untuk membuat film, bukan karena
ingin mendapatkan uang, prestasi ataupun popularitas. Keinginan untuk berkarya
haruslah menjadi penyebab utama, bukan yang lainnya. Film independen muncul melalui
suatu gagasan ideal dan diciptakan dengan kemandirian penggagasnya tanpa
memperhitungkan unsur komersialisasi.
Pernyataan yang ‘mirip’ batasan diatas, mungkin memang terlalu dini untuk disimpulkan
menjadi definisi. Tetapi hal tersebut yang mendasari semangat beberapa filmmaker
Indonesia saat ini, dan mungkin akan banyak lagi kedepannya.
Perdebatan tentang definisi tidak akan pernah habis. Lagipula, untuk apa terus
menggunakan pola pikir logika aristotelian yang mengharuskan terbentuknya definisi
sementara kita tidak pernah menghasilkan karya apapun? Sudah saatnya kita berhenti
menggunakan kata ‘apa’ dalam bertanya dan mulai menggunakan kata ‘bagaimana’ dan
‘kenapa’ untuk dapat menjawabnya. Positivistik bukanlah satu-satunya paradigma
berpikir yang dapat kita gunakan. Sudah saatnya berhenti berdebat tentang definisi dan
mulai melakukan sesuatu. Buatlah karya seperti yang anda inginkan, titik. Biarkan
penonton yang menilainya. Karena mungkin, kita dapat mengerti apa itu independensi
dalam karya sinema ketika kita melaluinya sendiri, seperti yang dikatakan Morpheus
kepada Neo:
“There’s a difference between knowing the path… and walking the path…”
(The Wachowski Brothers, The Matrix, 1999)
‘Semangat berkarya’ merupakan kata kunci dalam sinema independen. Semangat inilah
yang menjadi pembeda dengan bentuk sinema lainnya. Pembedaan bukan berkutat di
masalah durasi, masalah teknis sinematografi, pemilihan ide, cara penyampaian ide,
ataupun alur cerita. Sinema independen tidak dibatasi oleh pengkotak-kotakkan genre.
Semangat berkarya dari pembuat film independen-lah yang kemudian memberikan arti
berbeda bagi sang pembuat, meski kadang kurang dapat dirasakan oleh penontonnya.
Independensi adalah proses. Sinema independen tidak dapat dilihat dari seperti apa
bentuk jadi suatu karya. Sinema independen tidak dapat dinilai dari hasil akhir suatu
eksibisi karya sinema. Proses yang menjiwai lahirnya suatu karya, dari bagaimana ia
muncul sebagai semangat sampai pelaksanaan idea-idea inilah yang membuat suatu karya
menjadi independen.
Merujuk pada semangat berkarya sebagai sifat utama, sinema independen bergerak secara
gerilya dalam prosesnya. Seno Gumira Ajidarma pernah melontarkan idenya (atau
mungkin lebih terasa sebagai sebuah manifesto) tentang apa yang disebutnya sebagai
Sinema Gerilya:
Sinema Gerilya jauh dari sikap kompromistis, mudah menyerah, dan uzurisme. Sinema
Gerilya tidak mempertaruhkan dirinya diatas seluloid tok, ia juga menggebrak lewat
tulisan di koran maupun majalah, omong besar maupun omong kecil, berbisik-bisik dari
kuping ke kuping, dari sarasehan ke sarasehan, resmi maupun tidak resmi.
Satu-satunya pertaruhan sinema Indonesia adalah hati nuraninya sendiri. Sinema Gerilya
bersifat bersifat militan, absolut, dan anti pelacuran intelektual maupun pelacuran
ketrampilan. Namun Sinema Gerilya juga anti onani jiwa, anti eskapisme, anti egoisme,
anti frustasiisme, dan anti mimpi tanpa berkarya.
(Seno Gumira Ajidarma)
Film pendek merupakan primadona bagi para pembuat film indepeden. Selain dapat
diraih dengan biaya yang relatif lebih murah dari film cerita panjang, film pendek juga
memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa. Meski tidak sedikit juga pembuat
film yang hanya menganggapnya sebagai sebuah batu loncatan menuju film cerita
panjang.
Film pendek pada hakikatnya bukanlah sebuah reduksi dari film cerita panjang, ataupun
sekedar wahana pelatihan belaka. Film pendek memiliki karakteristiknya sendiri yang
berbeda dengan film cerita panjang, bukan lebih sempit dalam pemaknaan, atau bukan
lebih mudah. Sebagai analogi, dalam dunia sastra, seorang penulis cerpen yang baik
belum tentu dapat menulis cerpen dengan baik; begitu juga sebaliknya, seorang penulis
novel, belum tentu dapat memahami cara penuturan simpleks dari sebuah cerpen.
Sejalan dengan analogi tersebut, keadaan film pendek di Indonesia sekarang mirip
dengan keadaan yang dialami cerpen puluhan tahun yang lalu, ketika nilai estetik sebuah
novel selalu dianggap lebih tinggi dari sebuah cerpen. Akan tetapi, keadaan tersebut
terselamatkan oleh maraknya media massa cetak seperti koran dan majalah yang
kemudian menjadi media distribusi utama cerpen kepada pembacanya. Dalam kurun
waktu yang singkat, cerpen berhasil membentuk pasarnya sendiri, membentuk
definisinya sendiri, dan tentu saja mengangkat martabatnya sejajar dengan bentuk sastra
tulis lainnya.
Akan tetapi, keadaan tersebut tidak berlaku sama bagi film pendek dalam dunia film
Indonesia. Sebagai sebuah media ekspresi, film pendek selalu termarjinalisasi –dari sudut
pandang pemirsa- karena tidak mendapatkan media distribusi dan eksibisi yang pantas
seperti yang didapatkan cerpen di dunia sastra.
Secara teknis, film pendek merupakan film-film yang memiliki durasi dibawah 50 menit
(Derek Hill dalam Gotot Prakosa, 1997) . Meskipun banyak batasan lain yang muncul
dari berbagai pihak lain di dunia, akan tetapi batasan teknis ini lebih banyak dipegang
secara konvensi. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi
para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi. Film
pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media
komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik justru ketika variasi-
variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara
umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan
sinema.
Dalam sejarah film dunia, istilah ‘film pendek’ mulai populer sejak dekade 50-an. Alur
perkembangan terbesar film pendek memang dimulai dari Jerman dan Perancis; para
penggagas Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di Perancis. Di
kota Oberhausen sendiri, kemudian muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang saat ini
merupakan festival film pendek tertua di dunia; sementara saingannya adalah Festival du
Court Metrage de Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun di Paris. Sejak gerakan-
gerakan ini muncul, film pendek telah mendapatkan tempatnya di pemirsa film Eropa.
Festival-festival film pendek menjadi ajang eksibisi utama yang selalu sarat pengunjung,
apalagi kemudian didukung dengan banyak munculnya cinema house bervolume kecil
untuk dapat menonton karya-karya film pendek di hampirsetiap sudut kota di Eropa.
Di Indonesia, dimana film pendek sampai saat ini selalu menjadi pihak marjinal –sekali
lagi, dari sudut pandang pemirsa- film pendek memiliki sejarahnya sendiri yang sering
terlupakan. Film pendek Indonesia secara praktis mulai muncul di kalangan pembuat film
Indonesia sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-
enthusiasts pada era 70-an dapat dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer
positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta
mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya mulai 1974, dimana format film yang
diterima oleh festival tersebut hanyalah seluloid 8mm. Akan tetapi sangat disayangkan
kemudian Festival Film Mini ini berhenti pada tahun 1981 karena kekurangan Dana.
Pada 1975, muncul Kelompok Sinema delapan yang dimotori Johan Teranggi dan
Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus mengkampanyekan pada masyarakat
bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian .
Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis.
Film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara
luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negri. Akan tetapi di sisi lain, di dunia
internasional, film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-
karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke
generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi.
Kegairahan baru memang tampak muncul dalam “dunia perfilman” kita dalam tiga tahun
terakhir ini. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dimulai oleh Kuldesak pada tahun
1999 untuk karya film-nya, lalu Festival Fim-Video Independen Indonesia 1999 dan
Jiffest 1999 untuk ajang apresiasinya, dan berikutnya berderet sekian film baru dan
sekian ajang apresiasi yang bermunculan di pulau Jawa, dan beberapa di pulau besar
lainnya.
Hampir 200 judul film pendek muncul dalam berbagai format di tahun-tahun ini. Dengan
gaya berbicara yang sangat plural, mereka berusaha menyuguhkan idea-idea baru yang
seakan telah lama berkecamuk di kepala mereka masing-masing. Tidak sedikit dari film-
film pendek ini yang dapat perhatian internasional seperti film-film karya Nanang
Istiabudi, Asep Kusdinar, Lono Abdul Hamid, Hanny R. Syahputra, Eric Gunawan, serta
yang terbaru Hanung Bramantyo.
Jumlah produksi film cerita panjang pun meningkat, meskipun tidak dapat dikatakan
signifikan. Usaha untuk membawanya ke dunia internasional pun terasa juga bermain
gerilya. Bahkan dua film dari Aria Kusuma Dewa sempat diundang untuk dipresentasikan
di Rotterdam pada pertengahan tahun ini. Di genre dokumenter, filmnya Aryo Danusiri
dalam satu tahun ini bergiliran terus dari satu festival ke festival lainnya di Belanda,
Inggris, Australia dan Taiwan.
Ya, dunia sinema Indonesia sedang bergairah. Dan bukan hanya dari karyanya saja, tetapi
juga dalam berbagai aspek lain dalam dunia perfilman. Sebut saja festival film yang
makin banyak tumbuh dimana-mana, juga majalah-majalah tentang sinema –baik bersifat
industri maupun gerilya- yang mulai banyak muncul di banyak tempat
Seperti yang dikatakan oleh Seno Gumira tentang cara bergerak sinema gerilya, maka
kelompok-kelompok lepas yang diharapkan dapat menjadi basis pergerakan pembentukan
pluralisme bahasa tersebut. Kelompok-kelompok apresiasi film, yang saat ini mulai
menjelma satu persatu menjadi kelompok-kelompok yang lebih aktif dalam berproduksi
dan berinisiatif dalam bidangnya masing-masing ini yang diharapkan menjadi garda
depan perjuangan ini.
Tidak bisa dinafikan bahwa setiap kelompok memiliki dasar, pola pikir, cara pandang ,
bahkan selera yang sangat berbeda-beda. Akan tetapi, masing-masingnya memiliki
keinginan yang sama dalam mewujudkan dunia sinema Indonesia yang plural dan
demokratis.
Munculnya jalinan filmmaker dan komunitas independen yang dimulai sejak ajang
NIFVF 2001 di Yogya pada semester awal tahun ini adalah sebuah usaha yang brilyan.
Saling share pengalaman dan pengetahuan dalam suatu ajang pertemuan dua atau tiga
bulanan seperti yang telah dirumuskan bersama sebelumnya semoga dapat terus
dilanjutkan untuk lebih saling mengenal dan berinteraksi bersama satu sama lain. Entah
itu Konfiden, MAF, KBBF, Kine MM, INFIS, dan berbagai komunitas lainnya.
Sikap dan tujuan Konfiden sebagai bagian dari jalinan komunitas ini adalah seperti yang
tertuang dalam Kredo Konfiden berikut ini.
KREDO KONFIDEN
BERPIKIR MERDEKA
BERKARYA MANDIRI
MEMBANGUN SINEMA INDONESIA
Masyarakat adalah salah satu unsur penting bagi pembangunan proses berkarya.
Dibutuhkan kesadaran bersama dalam wadah aktif yang konsisten merangsang,
meningkatkan proses pelayanan dan mensosialisasikan keberagaman karya melalui
sinema.
Pusat D