Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Film merupakan gambar bergerak (visual) yang didukung dengan suara

(audio) termasuk didalamnya tokoh cerita, musik, sebagai pendukung kuat. Film

memiliki suatu pesan yang mampu mempersuasi penontonnya jika dikemas

dengan tepat, itupun tergantung pada tema yang diangkat untuk dipertontonkan

serta kepiawaian dan ketelitian sutradara untuk menggali tema dengan mendetail.

Film biasa dikategorikan menurut genrenya. Kata genre sendiri berasal dari

bahasa Perancis, yang berarti ‘macam’ atau ‘jenis’. Sebuah film bisa juga

memiliki lebih dari satu genre. Pada intinya, bukanlah hal yang mudah untuk

menentukan genre dari sebuah film. Genre film terkadang ditentukan dari subjek

atau temanya. Pada beberapa kasus, genre ditentukan oleh efek emosi yang

ditimbulkan oleh film tersebut. Namun tidak jarang, genre ditentukan dari

ikonografi sebuah film, dimana karakter-karakter atau simbol-simbol dalam film

tersebut memiliki makna-makna tertentu yang telah umum diketahui banyak

orang. Berbagai macam genre film telah diproduksi menjadi film layar lebar.

Salah satu genre film yang bisa membuat penontonnya menjadi ketakutan dan

terkadang menjadi paranoid adalah film “horor”.

Film horor merupakan salah satu genre film yang muncul di negara

penghasil film manapun juga, termasuk Indonesia. Sejak pertama kali diproduksi,

1
film horor selalu mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat. Film bertema

horor dipilih sebagai objek dalam penelitian ini karena banyak orang dari

berbagai belahan dunia menggemari cerita-cerita horor. Bahkan sebagian

beranggapan, bahwa semakin menyeramkan sebuah film, semakin bertambah pula

daya tariknya. Para penonton mungkin harus berteriak-teriak atau bahkan

mungkin bersembunyi di balik punggung rekannya sepanjang film diputar, namun

para penonton pun tetap bertahan di kursi masing-masing karena rasa penasaran

tumbuh seiring dengan rasa takut mereka.

Di dalam perkembangan film horor telah tercatat bahwa genre baru

muncul di dalam kancah film nasional di Indonesia seperti halnya horor komedi,

lalu disusul dengan genre Narrative horor dan visual horor. Horor komedi yang

intinya penampilan setan yang seram tetapi bertingkah laku aneh di hadapan

manusia sehingga menjadi biar tidak terlalu menakutkan, konyol, lucu, kaku,

mungkin menyedihkan, barangkali dimaksudkan agar aman bila dikonsumsi oleh

anak-anak dibawah umur (padahal tidak juga, anak kecil juga tetap takut). Film

berjenis Narrative horor di maksudkan untuk membangkitkan rasa takut para

penonton berdasarkan rumor-rumor atau mitos-mitos dari masyarakat seperi

kuntilanak, sundelbolong, tuyul, jin, leak, jelangkung, dan kawan-kawannya.

Konstruksi plot maupun premis ceritanya dapat di contohkan biasanya seperti

seorang gadis yang mati akibat “digilir” oleh beberapa pria, setelah itu roh sang

gadis tersebut “penasaran” lalu gentayangan menjadi kuntilanak dan membunuh

satu-persatu pria yang dirasa telah menggilir si gadis tadi. Sedangkan film horor

visual, yaitu horor yang bertumpu pada elemen-elemen visual (make-up atau

2
kostum) dalam menakuti para penontonnya. Seperti halnya setan itu mukanya

harus dibuat hancur-hancuran terkadang ada belatungnya, berpakaian lusuh kotor

berlumuran darah, baunya tidak sedap, rambutnya kusut panjang panjang tidak

beraturan, yang penting seram dan membuat takut penonton. Walaupun tidak tahu

ini setan jenis apa, pokoknya yang mukanya jelek suka mengganggu manusia

itulah setan.

Dari generasi ke generasi perfilman horor di Indonesia cenderung

membuat film-film horor yang menomorsatukan visualisasi dan menomorduakan

elemen lain seperti, cerita atau makna dibalik peristiwa, namun dalam film horor

lokal penyakit mengabaikan cerita dan makna ini tidak hanya terjadi pada film

horor zaman sekarang, tetapi dari dulu film horor lokal juga banyak terjangkit

penyakit ini. Film horor lokal selalu dianggap menjadi film yang tidak serius,

selalu menjadi diskusi di wilayah pinggiran dalam pikiran manusia, berbudaya

rendahan, mungkin dikarenakan mengutak-atik rasa takut manusia sebagai salah

satu insting purba yang dimiliki oleh manusia. Sehingga tidak pantas masuk ke

dalam wilayah seni tinggi dengan segala pretensi budaya. Tidak hanya itu saja,

horor lokal belakangan ini terkadang tampil garing, menyedihkan serta

menggelikan, menakutkan tidak lucu pun juga tidak. Walaupun terkadang jika

tidak di pikirkan secara kritis film horor dapat mengubah persepsi manusia akan

adanya sesuatu diluar nalar, seperti halnya jika manusia mati dibunuh atau mati

penasaran akan berubah menjadi setan. Dan tempat yang cocok bagi setan untuk

berkumpul tidak lain, tidak bukan yaitu kuburan, berarti kuburan adalah tempat

yang angker. Padahal jika dipikir-pikir kuburan adalah tempat yang kita hormati

3
karena kuburan tempat beristirahatnya orang yang kita cintai. Bahkan yang lebih

parah ketika setan membunuh manusia, dari sini sudah ketahuan bohongnya.

Seharusnya setan tidak memiliki kuasa atas nyawa manusia. Akan tetapi tetap saja

digambarkan bahwa setan seolah-olah memiliki hak yang sama seperti Tuhan

dalam mencabut nyawa manusia.

Semenjak Suzanna (pelaku dan penggiat film horor Indonesia) meninggal,

nyaris tak ada lagi film-film horor Indonesia yang bermutu. Hampir semua, film

horor Indonesia sekarang nyaris menceritakan adegan vulgar, dan bukan cerita

horor yang diangkat. Mungkin hanya ada segelintir film-film horor sekarang yang

benar-benar mengangkat tema horor. Itupun masih bisa kita hitung dengan

hitungan jari. Film horor yang lainnya bisa ditebak, pasti dibumbui dengan

adegan-adegan vulgar pemainnya. Bahkan film-film horor zaman sekarang pun,

banyak memilih mengambil judul yang kadang tidak masuk akal.

Banyaknya film horor, seharusnya bukan masalah. Apalagi ternyata genre

film yang muncul di Indonesia sejak tahun 1941 melalui Film Tengkorak Hidoep

ini juga diminati banyak penikmat film tanah air. Sebut saja film Sundel Bolong

yang menjadi Film Terlaris III di Jakarta di tahun 1981 setelah ditonton 301.280

orang. Di tahun 1982, film Nyi Blorong bahkan menjadi Film Terlaris I di Jakarta

di tahun 1982, dengan jumlah penonton 354.790 orang. Penonton sebanyak itu,

mampu membuat Nyi Blorong menggondol Piala Antemas FFI (Festival Film

Indonesia) untuk Film Terlaris 1982-1983. Di tahun-tahun lain, film-film horor

juga terus mampu meraup jumlah penonton yang besar. Kalaupun tidak menjadi

4
yang terlaris, pendapatan daripembeli tiket bioskop dapat memberikan

keuntungan yang tidak sedikit. Indonesia merupakan salah satu negara yang

‘aktif’ dalam memproduksi film horor. Tidak hanya itu, beberapa sutradara juga

melakukan beberapa adaptasi terhadap film horor luar negeri, baik dari sesama

negara Asia maupun dari negara-negara barat. Akan tetapi banyak pihak yang

menyatakan bahwa film horor Indonesia menurun secara kualitas. Masalahnya

adalah, bumbu adegan seks yang banyak ada di film-film horor Indonesia.

Malahan di sebagian film horor, unsur pornografi tidak lagi menjadi sekedar

bumbu. Unsur pornografi seakan menjadi bahan dasar dalam racikan film.

Seperti pada film “ Pacar Hantu Perawan” karya Yoyok Dumprink, film

ini menceritakan tentang Vicky (Vicky Vette), Mandy (Dewi Perssik), dan Misa

(Misa Campo), adalah kakak beradik sekandung. Suatu hari Mandy yang sedang

jenuh pergi berwisata dengan sahabat sekaligus managernya Joyce (Natha Narita),

dan pacarnya Alex (Rafi Cinoun), ke sebuah hutan yang asri. Tempat itu dijuluki

“Hutan Jodoh”, karena memiliki pancuran yang konon bisa memperekat jodoh.

Siapa yang pernah mandi di pancuran air itu akan cepat mendapat jodoh. Joyce

sendiri merasa menemukan Alex setelah melakukan ritual mandi di tempat itu.

Film ini menggunakan plot maju dengan awal cerita bersetting di sebuah

tempat tidur. Plot adalah jalan cerita atau alur cerita dari awal, tengah, dan akhir

(Sony S. & Sita Sidharta, 2004: 26). Dalam film ini terdapat komunikasi antara

tokoh utama dengan pemeran film lainnya yang mengandung unsur pornografi,

baik dari segi visual berupa akting, dan audio berupa dialog. Peneliti memilih film

5
Pacar Hantu Perawan untuk diteliti dengan alasan kisah dalam cerita ini

mengandung unsur pornografi. Beberapa unsur pornografi dalam film ini

menggunakan komunikasi verbal maupun komunikasi nonverbal membuat

peneliti tertarik untuk mengetahui bentuk - bentuk unsur pornografi dalam film ini

menggunakan analisis isi. Menurut Berelson dalam Analisis Isi (Krippendorf,

1991:16) mendefinisikan analisis isi sebagai “teknik penelitian untuk

mendeskripsikan secara objektif, sistematik, dan kuantitatif isi komunikasi yang

tampak”. Dengan menggunakan durasi, maka akan diketahui bentuk unsur

pornografi yang paling banyak muncul dalam film Pacar Hantu Perawan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penelitian

ini adalah seberapa banyak kemunculan unsur pornografi yang terdapat pada film

Pacar Hantu Perawan karya Yoyok Dumprink ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengukur porsi unsur pornografi dalam film Pacar Hantu Perawan

karya Yoyok Dumprink.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memberi beberapa manfaat, antara lain yaitu :

1. Secara Akademis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu wawasan atau

pengetahuan baru bagi pembaca tentang bahasan yang ada dan diharapkan

6
dapat bermanfaat sebagai bahan referensi, di Jurusan Ilmu Komunikasi

khususnya konsentrasi Audio Visual tentang kajian porno dalam film.

2. Secara Praktis

Dapat memberikan informasi tentang adanya unsur porno yang ada

dan cara penyampaiannya dalam film tersebut serta sebagai bahan

referensi bagi mahasiswa pecinta dunia film untuk menciptakan karya

yang sarat dengan nilai sosial kemasyarakatan yang nyata terjadi dalam

masyarakat.

E. TINJAUAN PUSTAKA

E.1. Komunikasi Sebagai Hiburan

Komunikasi merupakan sarana pelepas lelah baik bagi individu maupun

masyarakat. Sedangkan disfungsi dari fungsi hiburan bagi masyarakat adalah

public yang divert yaitu cenderung menghindari aksi-aksi sosial karena hiburan

yang disajikan media menyebabkan masyarakat menjadi lebih individualistik.

Sedangkan bagi individu disfungsi dari fungsi hiburan adalah meningkatkan

kepasifan karena hiburan yang disajikan media cenderung membuat orang terlena,

menurunkan selera akibat kecenderungan media massa menyajikan hal-hal yang

disukai banyak orang, memungkinkan terjadinya pelarian yaitu upaya untuk

melarikan diri dari kenyataan hidup.

Media massa sebagian besar melakukan fungsi sebagai media yang

memberikan penghiburan bagi khalayaknya. Hal ini terlihat pada acara-acara

7
humor, artikel humor, irama, musik, tarian, film komedi dan lain-lain. Dimana

pesan-pesan yang menghibur tersebut didesain sedemikian rupa sehingga menarik

dan menghibur khalayak.

E.2. Film Sebagai Media Komunikasi

Komunikasi tidak pernah terlepas dari kehidupan manusia. Adanya

komunikasi membuat kita mendapatkan segala kebutuhan yang kita inginkan.

Dalam komunikasi terdapat pesan yang dibutuhkan masyarakat luas. Pemenuhan

kebutuhan masyarakat akan informasi terpenuhi dengan adanya media cetak dan

elektronik yang termasuk dalam komunikasi massa. Dalam komunikasi massa

pesan adalah milik publik, artinya pesan diterima oleh banyak orang. Fungsi

komunikasi massa yang antara lain adalah memberikan informasi, mendidik,

mempersuasi, serta memuaskan kebutuhan komunikasi. Salah satu media

komunikasi massa adalah film.

Film adalah media hiburan yang mempunyai nilai persuasi yang cukup

besar. Film bisa diartikan sebagai sebuah gambar yang ditampilkan secara Audio

Visual, yaitu dengan gambar bergerak, suara dan mempunyai suatu pesan tertentu

didalamnya, banyak hal pesan positif yang terkandung dalam film, tujuan

khalayak menonton film adalah untuk mencari sebuah hiburan. Menurut Ron

Mottram (dalam Idi Subandi, 2007 : 172) didalam film terdapat tiga fungsi yang

penting, yakni fungsi artistik, industrial dan komunikatif. Fungsi Artistik diartikan

bahwa film mempunyai struktur narasi yang terdiri dari rangkaian peristiwa.

8
Fungsi Industrial diartikan bahwa film juga bagian dari produksi ekonomi

masyarakat. Fungsi Komunikatif diartikan bahwafilm adalah alat penyampaian

atau pengiriman pesan.

Gambar gerak pertama dihasilkan oleh tangkapan sebuah kamera yang

ditemukan tahun 1988 di laboratorium milik Thomas Alfa Edison. Kemudian

tahun 1985, dua bersaudara Lumiere menemukan proyektor di Paris, disusul

diputarnya gambar hidup yang pertama dalam teater Vaudeville. Menurut Phil

Astrid (1982 : 58) esensi film adalah gambar yang bergerak. Dalam bahasa

Indonesia, dahulu dikenal dengan istilah “ gambar hidup “, dan gerakan itulah

yang memberi kesan “ hidup “. Film diiringi dengan suara, bisa berupa dialog atau

musik sebagai pelengkap untuk meningkatkan kesan dari film. Dengan demikian,

film merupakan suatu sarana komunikasi yang mengaktualisasi suatu kejadian

untuk dinikmati pada saat tertentu oleh khalayak, seakan – akan sedang

mengalami apa yang dibawakan oleh film secara nyata.

Menurut Undang – Undang No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman, yang

dimaksud film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media

komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi

dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan/atau bahan hasil

penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses

kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang

dapat dipertunjukkan dan / atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik,

elektronik dan / atau lainnya. Sedangkan perfilman adalah seluruh kegiatan yang

9
yang berhubungan dengan pembuatan, jasa teknik, pengeksporan, pengimporan,

pengedaran, pertunjukan dan atau penayangan film (Abiyoga, 1997 : 3)

Ada beberapa jenis film untuk membedakan bentuk film, yaitu :

a. Film Dokumenter ( Documentary Film )

Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama

karya Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan ( travelogues ) yang

dibuat sekitar tahun 1890 – an. Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara

kreatif merepresentasikan realitas. Meskipun pendapatnya ini mendapat tantangan

dari banyak pihak, namun tetap relevan sampai sekarang karena dokumenter

menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan.

Kini dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman

dunia. Ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan

melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan Animal Planet.

b. Film Cerita Pendek ( Short Films )

Durasi film cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak

Negara seperti Jerman, Australia, Kanada dan Amerika Serikat, film cerita pendek

dijadikan laboratorium eksperimen dan dijadikan batu loncatan bagi seseorang /

sekelompok orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film

ini banyak dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang / kelompok

yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik.

Sekalipun demikian, ada juga yang memang mengkhususkan diri untuk

10
memproduksi film pendek, umumnya hasil produksi ini dipasok ke rumah –

rumah produksi atau saluran televisi.

c. Film Cerita Panjang ( Feature – Length Films )

Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90 –

100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini.

Beberapa film, misalnya Dances With Wolves, bahkan berdurasi lebih 120 menit.

Film – film produksi India rata – rata berdurasi hingga 180 menit.

d. Film – Film Jenis Lain

Film ini diproduksi untuk kepentingan institusi tertentu berkaitan

dengan kegiatan yang mereka lakukan, misal tayangan “ Usaha Anda “ di SCTV.

Film ini sendiri berfungsi sebagai alat bantu presentasi.

e. Iklan Televisi ( TV Commercial )

Film ini diproduksi untuk kepentingan penyebaran informasi, baik

tentang produk ( iklan produk ) maupun layanan masyarakat ( iklan layanan

masyarakat atau public service announcement / PSA ). Iklan produk biasanya

menampilkan produk yang diiklankan ‘ secara eksplisit ‘, artinya ada stimulus

audio – visual yang jelas tentang produk tersebut. Sedangkan iklan layanan

masyarakat menginformasikan kepedulian produsen suatu produk terhadap

fenomena sosial yang diangkat sebagai topik iklan tersebut. Dengan demikian,

iklan layanan masyarakat umumnya menampilkan produk secara implisit.

11
f. Program Televisi ( TV Programme )

Program ini diproduksi untuk konsumsi pemirsa televisi. Secara

umum, program televisi dibagi menjadi dua jenis yakni cerita dan noncerita. Jenis

cerita terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok fiksi dan kelompok

nonfiksi. Kelompok fiksi memproduksi film serial ( TV Series ), film televisi /

FTV ( populer lewat saluran televisi SCTV ) dan film cerita pendek. Kelompok

nonfiksi menggarap aneka program pendidikan, film dokumenter atau profil tokoh

dari daerah tertentu. Sedangkan program noncerita sendiri menggarap variety

show, TV quiz, talkshow, dan liputan / berita.

g. Video Klip ( Music Video )

Sejatinya video klip adalah sarana bagi para produser musik untuk

memasarkan produknya lewat medium televisi. Dipopulerkan pertama kali

lewat saluran televisi MTV tahun 1981. Di Indonesia, video klip ini sendiri

kemudian berkembang sebagai bisnis yang menggiurkan seiring dengan

pertumbuhan televisi swasta. Akhirnya video klip tumbuh sebagai aliran dan

industri tersendiri. Beberapa rumah produksi mantap memilih video klip menjadi

bisnis utama ( core business ) mereka. Di Indonesia, tak kurang dari 60 video klip

diproduksi tiap tahunnya (Effendy, 2004 : 11-14)

Dari jenis - jenis film diatas, film Pacar Hantu Perawan termasuk

dalam film cerita panjang (feature-length films) dengan durasi 67 menit dan

diputar di bioskop.

12
E.3. Pornografi

Pornografi pada dasarnya memberi ruang yang luas terhadap

penonjolan seksualitas dan unsur erotisme. Dan pada kenyataannya yang lebih

banyak menjadi objek eksploitasi dari kegiatan ini adalah perempuan. Tidak

memungkiri kenyataan bahwa ada juga pria yang dijadikan objek pornografi, tapi

dari presentasi dan lingkup pemasarannya tidaklah seluas dibandingkan

perempuan, sehingga dapat dikatakan bahwa pornografi adalah bentuk media

yang memang diciptakan dan diperuntukkan bagi kaum pria - walau tidak bisa

dikatakan juga bahwa pornografi tidak menarik perhatian perempuan. Seperti

yang sudah kita tahu, dimana dimana pornografi menjadi komoditas maka

perempuanlah yang sebenarnya telah menjadi korban. Film-film seksi semacam

ini tentunya membuka luka lama yang telah ada, dimana wajah perempuan

Indonesia tidak lagi dipandang sebagai subjek namun hanya sebatas obyek yang

bisa kita nikmati, penonton sudah tidak peduli dengan apa yang bisa diambil dari

film tersebut entah dari pembelajaran yang ingin disampaikan ataupun seni yang

hendak disalurkan pada kita, penonton seakan mulai bergeser dari motivasi

mendapatkan tontonan yang membangun menuju penonton yang sekedar ingin

mendapat hiburan yang dianggapnya ‘segar’ dan sayangnya kesegaran itu didapat

dari sebuah komoditas yang dinamakan pornografi. Dari melihat review diatas

bagaimanapun film ini seperti hendak membangkitkan kembali era ketika

perfilman Indonesia didominasi produksi dengan judul-judul menggunakan kata

“seks”, “gairah” dan “ranjang”, yaitu masa-masa menjelang kehancuran industri

film kita. Memang ceritanya ringan, alurnya longgar, tanpa akting yang menonjol

13
dari pemain-pemainnya, tapi sayangnya di semua frame yang ada yang penting

banyak adegan tubuh-tubuh mulus tergolek dengan hanya terbungkus pakaian

dalam hitam. Penokohan yang ada tidak harus bagus yang penting punya tubuh

yang indah, karakterisasinya absurd, dengan dialog yang asal-asalan. Pornografi

seakan menjadi daya tarik utama, bukan ceritayang ada di dalamnya. Dalam film

ini juga seakan pria digambarkan mempunyai power untuk mengatur perempuan,

dan tindakan represif juga dianjurkan supaya perempuan menurut apa yang

dikatakan laki-laki. Sayangnya perempuan menganggap hal ini wajar dan biasa,

dimana patriarkhi yang ada telah membentuk mind set perempuan bahwa tidak

ada kuasa untuk melawan atau sekedar untuk disetarakan yang membedakan di

sini adalah bahwa tingkat ketertarikan perempuan terhadap pornografi tetaplah

tidak sebesar ketertarikan kaum pria. Dan ketika perempuan kerapkali dan secara

intens ditampilkan sebagai objek seks, maka opini pria akan menganggap bahwa

perempuan pada dasarnya adalah kaum yang fungsi dan perannya semata hanya

sebagai pemuas nafsu pria sehingga mereka merasa sah dan wajar untuk terus

memperalat perempuan dan menjadikannya bagian dari imajinasi kaum pria. Cara

pandang yang demikian pada gilirannya akan mendorong kaum pria

memperlakukan perempuan sebagai kaum yang derajatnya lebih rendah dan ini

akan menyebabkan banyaknya praktek pelecehan seksual yang dilakukan dengan

rasa tidak bersalah dan tanpa beban. Kebanyakan pembicaraan masalah pornografi

adalah dalam kaitan dengan norma kesusilaan atau moral seksual. Selain itu,

dalam konteks sosial, pornografi dapat pula dibicarakan dalam tiga tataran, yaitu

pertama dari niai yang terkandung secara intrinsik dalam muatan informasi.

14
Untuk itu perhatian ditujukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam materi

komunikasi, nilai yang dipandang merendahkan posisi perempuan. Wacana yang

merendahkan posisi perempuan ini ada yang bersifat terbuka (overt) dan manifes,

sehingga mudah diidentifikasi, seperti eksploitasi bagian tubuh dalam konteks

seksual dan tujuan sensualitas. Sementara ada pula bersifat tertutup (covert) dan

tersembunyi (latent), seperti eksploitasi kualitas tubuh perempuan seperti

kecantikan, kerampingan, kulit lebih putih, dalam konteks komersialisme. Dengan

demikian pornografi khususnya yang berkaitan dengan perempuan dapat

diidentifikasi dari kecenderungan informasi, apakah menitik-beratkan pada bagian

atau kualitas fitur (feature) tubuh, bukan pada figur (figure) personafikasi dan

peran sosialnya.

Kedua, pornografi dipandang sebagai masalah sosial karena keberadaannya dalam

masyarakat. Keberadaan pornografi ikut sikap permissif dalam seks pada satu

pihak, dan pada pihak lain membentuk persepsi yang mendorong berkembangnya

agresi seksual. Perkosaan terhadap perempuan misalnya, meluas karena pengaruh

yang ditimbulkan oleh pornografi. Ekspos tubuh telanjang perempuan dianggap

telah membentuk persepsi tentang peluang yang ditawarkan oleh korban.

Pada tataran ketiga, pornografi membawa implikasi terhadap posisi

perempuan dalam kehidupan sosial, dimulai dari persepsi yang terbentuk dalam

diri perempuan sendiri terhadap seksualitasnya. Komodifikasi seksual yang

menjadi basis bagi pornografi pada umumnya menjadikan perempuan sebagai

obyek. Karenanya pornografi dipandang memiliki kekuatan politisasi dengan

15
membentuk cara pandang yang khas, yang menyebabkan perempuan menerima

posisinya yang termarginalisasi dalam kehidupan publik.

E.4. Pornografi Dalam Film

Memang tidak dipungkiri bahwa keberadaan pornografi dalam media

merupakan salah satu bumbu tayangan, tidak terkecuali pada film horor di

Indonesia. Genre-genre horor di tahun 2000-an dikenal sebagai “Horor Seksi”

karena banyak menampilkan adegan-adegan syur disamping meningkatkan

adrenalin penonton dengan keterkejutan dari genre horor tersebut.

Pornografi umumnya didefinisikan secara negatif, yaitu sebagai cara atau

tindakan seksual yang tidak memiliki makna spiritual dan tidak berdasarkan

perasaan halus, tidak memiliki konteks dengan masalah medis dan keilmuan

umumnya, atau lebih jauh merupakan penggambaran dorongan erotis tidak untuk

tujuan estetika. Dalam rumusan lain, pornografi dilihat sebagai obyek yang

menampilkan cara atau tindakan seksual secara terbuka yang dipandang

menyimpang oleh khalayak.

Pornografi dapat menggunakan dalam berbagai media, kata-kata

pornografi dalam media massa sudah terlalu sering kita dengar. Apalagi saat

maraknya kontroversi tentang nilai-nilai pornografi dalam media massa yang

bersifat media elektronik yaitu film. Kalau dilihat secara cermat banyak sekali

film-film Indonesia yang bersifat pornografi. Seperti gambar dalam film, wanita

yang berpakaian minim atau adegan-adegan yang mengisahkan hubungan seks.

16
Dengan semakin berkembangnya teknologi komunikasi, saat ini hampir tidak ada

yang bisa mengendalikan dan melakukan sensor terhadap film yang dikategorikan

pornografi.

Begitu banyak masyarakat yang pro dan kontra dengan adanya hal

tersebut. Semakin merajalela lah unsur pornografi dalam media film. Sebenarnya

hal tersebut sangatlah berdampak besar bagi masyarakat khususnya penonton

pecinta perfilman Indonesia. Mungkin satu-satunya yang bisa mengendalikan hal

tersebut agar tidak terjadi dan keadaannya tidak lebih buruk adalah masyarakat

atau penonton film itu sendiri yang kedepannya bisa lebih baik dan lebih berkarya

yang lebih berkualitas.

Struktur film seksi yang mengumbar pornografi dan pornoaksi dimana

perempuan di “benda” kan sudah ada sejak lama. Dekade tahun 90an menjadi

puncak kematian film Indonesia dimana banyak film erotis yang mengarah pada

unsur pornografi mulai banyak ditemukan. Memang agaknya para sineas

menggunakan unsur seks sebagai daya tarik dan tidak memperlihatkan wajah

langsung pornografi namun wajah pornografiyang disemukan. Film semacam ini

memang tidak secara terus terang memperlihatkan adegan seks, justru lebih

banyak menampilkan tubuh perempuan. Melalui cara ini, penonton dapat terus

melihat film untuk dapat tontonan “lebih”. Pada tahun 2011, perfilman Indonesia

tidak juga jera mengumbar pornografi dan erotisme sempait untuk ada dalam alur

ceritanya, sampai-sampai kita dibuat bingung ketika film horor yang seharusnya

menakutkan malah menjadi menggairahkan karena menghadirkan terlalu banyak

adegan setengah bugil dalam filmnya. Bukan soal banyak atau sedikit, tapi banyak

17
yang tidak relevan dengan alur cerita dan sengaja hanya dimaksudkan untuk

memanjakan penonton dari kalangan laki-laki. Memang ceritanya ringan, alurnya

longgar tanpa akting yang menonjol dari pemain-pemainnya, tapi sayangnya

seakan di semua frame yang ada yang penting banyak adegan tubuh-tubuh mulus

tergolek dengan hanya terbungkus pakaian dalam. Penokohan yang ada tidak

harus bagus yang penting punya tubuh yang indah, karakterisasinya absurd,

dengan dialog yang asal-asalan. Pornografi seakan menjadi daya tarik utama,

bukan cerita yang ada di dalamnya.

Kesenangan yang diterima penonton terjadi karena film horor Indonesia

menghadirkan citraan-citraan yang tidak pernah muncul dalam film-film di luar

horor. Seks atau unsur pornografi yang selama ini tidak ingin dilihat dan disajikan

oleh film-film selain film horor. Horor menjadi tempat bagi hal-hal yang bersifat

tabu dan terlarang yang muncul dan menjadi sesuatu yang penting. Dalam film

horor, hasrat-hasrat terpendam manusia seperti halnya hasrat seksual ditampilkan

secara langsung dan terbuka.

Pengkajian fenomena-fenomena yang mengandung pornografi tidak

terbatas pada perspektif moralis saja, masih banyak sudut pandang lain. Dalam

analisis unsur pornografi teori-teori yang melandasinya pun bermacam-macam.

Beberapa penjelasan teori dapat menggambarkan bagaimana khalayak

mengadopsi kepercayaan, sikap dan tindakan yang menggambarkan materi

pornografi. Peneliti akan mengungkap beberapa teori yang relevan terhadap

materi konten pornografi yang ada pada film Pacar Hantu Perawan.

18
a. Pembelajaran Sosial

Teori ini fokus pada pembelajaran sosial yang dipelajari dari media

dengan unsur pornografi. Khalayak cenderung belajar dan mengimitasi tindakan

tertentu yang digambarkan di media sebagai dampak yang dialaminya (Bandura

dalam Perse, 2008). Konten seksual merupakan hal yang relevan dan adaptif

dalam keseharian khalayaknya, oleh karena itu peniruan sangat mungkin terjadi

karena hal yang digambarkan merupakan sesuatu yang dekat dengan keseharian

mereka. Ketika peneliti akan melakukan analisis materi-materi yang mengandung

unsur pornografi yang ada di film Pacar Hantu Perawan, penggambaran cara

melakukan hubungan seksual, memperlakukan wanita dan hal-hal erotis lain

seperti berciuman tentu dapat merangsang penonton untuk mengadopsinya dalam

keseharian mereka.

b. Perubahan Sikap

Teori ini dapat dirujuk, jika khalayak mendapat adegan unsur pornografi

secara terus-menerus dan dalam jangka wajtu yang lama. Namun, tidak ada

salahnya mengetahui prinsip ini untuk melakukan analisis tentang unsur

pornografi terhadap khalayak. Ketika teori perubahan sikap dikaitkan dengan

fenomena di film Pacar Hantu Perawan, ini seperti diafirmasi dengan adanya

adegan-adegan yang mengobjektivikasi perempuan. Misalny, adegan Mandy dan

dua orang temannya sedang mandi, dan bertingkah seksi setiap saat. Ataupun

ketika adegan lain yang menggambarkan bahwa wanita menjadi objek seks

dengan berpakaian mini dan ada mata lelaki yang memandang mereka dengan

19
gairah. Jika tayangan seperti ini terus-menerus beredar dan ditonton dengan orang

yang sama, bisa jadi ia akan mengalami perubahan sikap dan menganggap bahwa

perempuan memang sudah semestinya diperlakukan seperti itu, dengan

mengesampingkan fungsi sosial perempuan tersebut.

c. Arousal

Arousal secara psikologis dan seksual adalah reaksi umum ketika

dihadapkan pada unsur pornografi di media. Arousal memfasilitasi efek dari

materi seksual, karena arousal diproduksi oleh materi seksual yang mengarah

pada respon intens lebih lanjut. Arousal yang dialami oleh beberapa penonton,

seperti yang diamati oleh peneliti, adalah ketika adegan Mandy sedang mandi dan

pakaian yang dikenakan akan menerawang jika terkena air, sehingga hampir

terlihat dadanya. Adegan-adegan semacam itu cukup membuat penonton

berkeringat dingin. Ada juga adegan pasangan yang sedang berciuman dengan

penuh gairah dan hal itu tentu saja meningkatkan sirkulasi darah dan denyut

jantung.

d. Habituation-Desensitization

Hanya karena khalayak dari konten media dapat kurang terbangkitkan

(aroused) dengan terpaan yang berulang, mereka menjadi terhabitualisasi. Mereka

tidak lagi merasakan sengatan-sengatan listrik dan kegelisahan ketika menonton

konten pornografi. Khalayak dengan terpaan konten pornografi yang lebih tinggi

akan cenderung mencari bentuk baru dari konten bermateri seksual, daripada

mereka yang tidak secara massif terterpa konten pornografi. Khalayak-khalayak

20
ini akan kehilangan sensitivitasnya untuk menolak dan risih dengan konten berbau

pornografi. Jika khalayak media menyaksikan film-film semacam Pacar Hantu

Perawan dan film-film sejenisnya yang muatan pornografinya cukup besar, maka

khalayak tersebut akan mati rasa (desensitization) terhadap konten pornografi

standar karena terlalu sering melihatnya (habituation). Inilah yang mendorong

mereka untuk bereksperimen dengan mencari film-film yang lebih menantang

sehingga menimbulkan arousal.

e. Katarsis

Teori katarsis dapat menjelaskan efek konten pornografi terhadap

khalayaknya. Khalayak dapat merasa terpuaskan hanya dengan menonton,

mendengar atau membaca konten pornografi di media. Biasanya, konten

pornografi digunakan khalayak utnuk memenuhi kepuasan seksual intovert

mereka, seperti membangkitkan gairah untuk masturbasi, fantasi seks, atau

meredakan kegelisahan seksual. Film Pacar Hantu Perawan bisa saja menjadi

katarsis orang-orang yang memiliki kegelisahan seksual sehingga sukar

terlampiaskan, atau justru sebaliknya, setelah menonton film tersebut, khalayak

justru memiliki kegelisahan seksual dan akhirnya masturbasi atau berfantasi

secara seksual. Dengan kata lain, film Pacar Hantu Perawan dapat digunakan

sebagai sarana berfantasi seksual lagi untuk mereka terhadap Dewi Persik yang

berperan sebagai Mandy melakukan aktivitas-aktivitas yang merangsang, begitu

jugaVicky Vette dan Misa Campo yang sering memamerkan buah dadanya dan

bertingkah seksi.

21
Pornografi dan media seakan menjadi senyawa baru yang sukar dipisahkan

dari industri. Hal ini karena begitu populernya muatan ini di benak penonton,

yang juga merupakan target pasar mereka. Peredaran film-film bermuatan

pornografi ini tidak dipungkiri, tentu menimbulkan dampak tersendiri bagi

khalayaknya. Ramainya frame dan adegan-adegan panas pada film Pacar Hantu

Perawan mengafirmasi bahwa unsur pornografi mejadi daya tarik tersendiri di

film tersebut.

F. METODE PENELITIAN

F.1. Metode dan Sifat Penelitian

Menurut Berelson dan Kerlinger, analisis isi merupakan suatu metode

untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematik, objektif dan

kuantitatif terhadap pesan yang tampak (Wimmer & Dominick, 2000: 135).

Sedangkan menurut Budd (1967), analisis isi adalah suatu teknik sistematis untuk

menganalisis isi pesan dan mengolah pesan atau suatu alat untuk mengobservasi

dan meganalisis isi perilaku komunikasi yang terbuka dari komunikator yang

dipilih.

Metode analisis isi yang paling awal dan yang paling sentral sering kali

disebut sebagai analisis isi “tradisional”. Analisis isi diyakini sebagai metode

analisis yang menguraikan objektivitas, sistematis dan kuantitatif dari perwujudan

isi komunikasi itu sendiri. Pendekatan dasar dalam menerapkan analisis isi adalah:

22
1. Memilih contoh (sample) atau keseluruhan isi.

2. Menetapkan kerangka teori.

3. Memilih satuan analisis.

4. Menentukan satuan ukur.

5. Mengungkap hasil sebagai distribusi menyeluruh atau percontoh dalam

hubungannya dengan frekuensi keterjadian (McQuail, 2000 : 179).

F.2. Tipe Penelitian

Berdasarkan tinjauan penelitian maka tipe dari penelitian ini menggunakan

metode analisis isi bersifat kuantitatif. Tipe kuantitatif yang bertujuan

mendeskripsikan secara objektif, sistematis dan kuantitatif isi komunikasi yang

tampak atau manifest. Mendeskripsikan secara objektif artinya cara pandang

pribadi dan bias yang mungkin ditimbulkan oleh peneliti tidak boleh masuk ke

dalam temuan penelitian. Mendeskripsikan secara sistematis artinya isi yang

hendak dianalisis hendaknya diseleksi secara gamblang dan sesuai dengan aturan

yang berlaku. Mendeskripsikan secara kuantitatif artinya tujuan dari analisis

adalah mempresentasikan kerangka pesan secara akurat. Untuk itu kuantitatif

menjadi penting untuk memperoleh objektifittas yang dimaksud’ dengan syarat

harus menggambarkan dengan tepat.

23
Dalam penelitian ini analisis isi diartikan sebagai prosedural pembagian

yang sistematik untuk memahami isi informasi yang tercatat (recorded

Krippendorf (1980) mendefinisikannya sebagai suatu teknik riset untuk

memetakan secara replikatif dan membuat referensi dan membuat referensi yang

sahih atas data ke dalam konteknya.

F.3. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah film Pacar Hantu Perawan karya

Yoyok Dumprink yang memiliki 76 scene dan durasi 67 menit 20 detik dengan

unit analisis setiap scene yang berupa dialog dan adegan yang hanya mengandung

unsur pornografi.

F.4. Struktur Kategori

Bernard Berelson mengatakan bahwa analisis isi tidak bisa lebih baik dari

pada kategori-kategorinya untuk menciptakan kategori-kategori tersebut.

Ada 3 hal yang perlu diperhatikan: 1) kategori harus relevan dengan tujuan

studinya, 2) kategori-kategori hendaknya fungsional, 3) harus dapat dikendalikan.

Dilihat dari rumusan masalah yang ingin diteliti, maka dibuat struktur

kategori berupa adegan seks dan sensualita yang termasuk unsur pornografi,

sebagai berikut:

24
1. Aktifitas Seksual

Yaitu segala tindakan yang dapat memuaskan hasrat birahi

indikatornya meliputi:

- Onani

Artinya pemuasan hasrat seksual yang dilakukan oleh pria dengan

melakukan gerakan-gerakan yang dapat merangsang alat vital.

- Berciuman, cium leher dan bibir

Artinya suatu tindakan saling menempelkan bibir ke bibir, sampai

saling menempelkan lidah sehingga dapat menimbulkan

rangsangan seksual antara keduanya.

- Bersetubuh

Artinya melakukan hubungan seksual antar lawan jenis layaknya

suami istri untuk menyalurkan hasrat seksualitas hingga mencapai

kepuasan.

2. Gaya Berbusana

Dari cara berbusana wanita yang sensual bisa membangkitkan nafsu

birahi seseorang. Indikatornya meliputi:

- Memakai pressbody

Artinya pakaian ketat atau tanktopsehingga membentuk dan

menonjolkan bagian tunuh wanita.

25
- Memperlihatkan bra

Artinya penutup payudara wanita, dalam film ini pemeran wanita

yang mengenakan tanpa dilapisi baju.

- Memakai hotpants

Artinya celana pendek wanita dan ketat.

F.5. Unit Analisis Dan Satuan Ukur Penelitian

Unit analisis penelitian ini adalah scene baik audio dan visual dalam film

yang berjudul Pacar Hantu Perawan. Dengan keseluruhan scene yang berjumlah

69 scene, dalam film yang berdurasi 67 menit, setiap scene akan dianalisis dari

sisi audio dan visual yang mengandung unsur pornografi.

Satuan ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah durasi dalam

satuan detik yang terdiri kategori yang terdapat dalam tiap scene.

F.6 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan dua cara yang

meliputi telaah dokumen, yaitu data primer dan data sekunder.

a. Data primer : diperoleh melalui VCD yang sudah ada, yaitu dengan

pengamatan langsung. Versi VCD ini rilis pada 6 Oktober 2011 yang

diproduksi untuk kategori dewasa.

26
b. Data sekunder : diperoleh melalui literature untuk menunjang

tinjauan teoritis dan internet untuk mendapatkan informasi mengenai

profil produsen film yang diteliti.

F.7 Teknik Perolehan Data Dan Analisis Data

Yang pertama dilakukan adalah melihat dan mengamati dari film Pacar

Hantu Perawan dan unrtuk memperoleh data berupa akting maupun dialog yang

terdapat dalam tiap scene yang mengandung unsur pornografi. Kemudian data

dimasukkan ke dalam kategorisasi yang telah ditetapkan. Selanjutnya untuk

mempermudah pengkategorian, maka dibuat lembar koding seperti contoh berikut

Tabel 1.1

Lembar Coding

Kategori

Scene Durasi Aktifitas Seksual Gaya Berbusana

A1 A2 A3 B1 B2 B3

A V A V A V A V A V A V

Jumlah

27
Keterangan :

A1: onani B1: pressbody A: Audio

A2: berciuman B2: bra V: Visual

A3: bersetubuh B3: hotpants

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipakai penulis adalah

dengan tipe statistik deskriptif menggunakan tabel frekuensi, yang tujuannya

untuk membantu peneliti mengetahui bagaimana distribusi frekuensi dari data

penelitian.

Setelah dilakukan pengamatan terhadap film dan memperoleh data per

scene tentang unsur pornografi, kemudian data tersebut dimasukkanke dalam

kategorisasi yang telah ditetapkan. Pada saat melakukan kategorisasi peneliti

membuat tabel frekuensi untuk mempermudah mempresentase kategori yang telah

diteliti, kemudian dihitung banyaknya frekuensi yang muncul.

28
F.8. Contoh Surat Pernyataan Koder

SURAT PERNYATAAN KODER

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama :

Alamat :

Pendidikan :

Menyatakan telah melakukan pengkoderan atau pengkategorisasian yang

digunakan untuk uji reliabilitas pada penelitian yang berjudul:

UNSUR PORNOGRAFI DALAM FILM HOROR INDONESIA

(Analisis Isi Pada Film”Pacar Hantu Perawan” Karya Yoyok Dumprink)

Oleh:

ANGGER TOFAN BELLIUNG

(08220201

Malang,

Yang menyatakan

29
G. Uji Reliabilitas

Kategori dalam analisis isi merupakan instrumen pengumpul data.

Fungsinya identik dengan kuesioner dalam survei. Supaya objektif, maka

kategorisasi harus dijaga reliabilitasnya. Terutama untuk kategorisasi yang dibuat

sendiri oleh peneliti sehingga belum memiliki standar yang telah teruji, maka

sebaliknya dilakukan uji reliablitas. Salah satu uji reliabilitas yang dapat

digunakan adalah berdasarkan rumus Ole R. Holsty. Di sini peneliti melakukan

pretest dengan cara mengkoding sampel ke dalam kategorisasi. Kegiatan ini selain

dilakukan peneliti juga dilakukan oleh seseorang yang lain yang ditunjuk peneliti

sebagai pembanding atau hakim. Uji ini dikenal dengan uji antarkode. Kemudian

hasil pengkodingan dibandingkan dengan menggunakan rumus Holsty, yaitu:

Reliabilitas CR  
2M
N1  N 2

Keterangan :

CR : Coefisien Reliability

M : Jumlah coding yang disepakati oleh peneliti dan dua (2) orang

coder.

N1, N2 : Total jumlah coding dari coder pertama dan coder kedua.

Hasil yang diperoleh dari rumus di atas disebut Observed Agreement (persetujuan

yang diperoleh dari penelitian). Selanjutnya untuk memperkuat hasil uji

reliabilitas di atas, digunakan rumus Scott sebagai berikut:

30
Pi = % observed agreement - % expected agreement

1 - % expected agreement

Keterangan :

Pi = nilai keterhandalan

Observed agreement = nilai pernyataan yang disetujui antar

pengkoder yaitu nilai CR

Expected agreement = persetujuan yang diharapkan dalam suatu

kategori yang sama nilai matematisnya,

dinyatakan dalam jumlah hasil pengukuran

dari proporsional seluruh tema.

Observed Agreement adalah persentase persetujuan yang ditemukan dari

pernyataaan yang disetujui antar pengkoder (yaitu nilai CR). Expected Agreement

adalah persentase persetujuan yang diharapkan, yaitu proporsi dari jumlah pesan

yang dikuadratkan.

Ambang penerimaan yang sering dipakai untuk uji reliabilitas kategorisasi

adalah 0,75. Jika persetujuan antara pengkoding tidak mencapai 0,75, maka

kategoriasasioperasional mungkin perlu dirumuskan lebih spesifik lagi. Artinya

kategorisasi yang dibuat belum mencapai tingkat keterandalan atau kepercayaan.

(Kriyantono, 2006:236).

31

Anda mungkin juga menyukai