Anda di halaman 1dari 2

Membuka Mata Terhadap Fenomena Film Horor (Devi Miranda) Judul Buku Pengarang Editor Penerbit Tahun Terbit

Tebal : Setan Bangku Kosong: Potret Remaja, Film, dan Horor : Laura Khalida : Nurul Hidayati : Penerbit Zikrul Hakim (Anggota IKAPI) : 2007 : 176 halaman

Horor merupakan tema yang amat kental dalam dunia perfilman Indonesia. Sebut saja beberapa judul seperti Kismis (Kisah Misteri), Dunia Lain, Di Sini Ada Setan, dan Pocong. Mulai dari horor asli yang membuat bulu kuduk terasa merinding seperti Pocong hingga horor sisipan dengan unsur komedi yang menjadi patokan seperti Tuyul dan Mbak Yul, semuanya merupakan hal yang sempat booming di televisi maupun di layar lebar. Bisa dikatakan, horor merupakan pembangkit gairah industri perfilman di Indonesia, yang memang sempat lesu di era 90-an. Dari sekitar 23 film yang diproduksi tahun 2003, sebagian besar bertemakan remaja dengan isi percintaan dan horor/misteri. Jelangkung yang dianggap sebagai pelopor majunya perfilman Indonesia berhasil meraup 11 milyar hanya dengan ongkos produksi film sebesar 400 juta, serta mampu bertahan selama tiga bulan di bioskop. Namun, dengan sekian banyaknya keuntungan yang diraup dari tema horor tersebut, banyak dampak negatif yang tak kalah merugikan. Buku hasil tulisan Laura Khalida ini memaparkan efek-efek negatif tersebut dengan lugas dan bahasa yang memang ditujukan untuk para remaja, sesuai judulnya. Penulis tampak sangat akrab dengan tema horor ini. Hal itu merupakan hasil dari banyaknya riset dan hasil wawancara yang ia lakukan dengan remaja sebagai sasarannya. Hampir semua yang dituliskan di dalam buku ini merupakan pengalaman pribadinya dan beberapa remaja lainnya, ditambah dengan fakta-fakta yang ia kumpulkan dari berbagai artikel serta ayat Al-Quran dan hadits sebagai pelengkap argumen. Penulis juga mengupas semuanya secara lengkap, mulai dari latar belakang pembuatan film horor, data-data film horor yang sempat populer di Indonesia, reaksi dari penonton, serta sisi negatifnya yang kemudian dikembangkan ke tema dunia klenik dan jin. Buku ini juga menjelaskan tentang apa itu hantu, apa itu jin, sifat-sifat jin, indikator gangguan jin pada manusia, dan saat-saat di mana jin akan mengganggu manusia. Di dalam buku ini bahkan terdapat cara untuk mengghindari jin dan menanggulangi efek negatif dari film horor tersebut, yakni melalui ruqyah. Horor, atau mungkin alam gaib, berhasil mengorek rasa penasaran khayalak terhadap hal yang tidak seharusnya mereka usik. Film-film dengan tema seperti ini seakan-akan membodohi publik dengan tayangan yang menyajikan pembantaian oleh makhluk halus dan kemudian diselesaikan oleh dukun atau polisi tanpa akhir yang jelas. Seperti pada film Lentera Merah, polisi dan ambulan datang di akhir film untuk membawa mayat-mayat hasil pembantaian hantu tersebut, tanpa memberitahu bagaimana sebenarnya penyelesaian yang akan diambil dari kasus itu. Apakah polisi menerima begitu saja bahwa banyak manusia terbunuh oleh kekuatan misterius?

Terlebih, di kebanyakan akhir di film horor, hantu itu masih ada. Terus menghantui. Oke, sebut saja ini kebebasan untuk berkreasi dan untuk mengikuti pola-pola film barat yang dianggap sebagai kiblat industri, tapi hal ini jelas berbeda dari film horor jaman dulu yang melibatkan ulama dalam penyelesaian kasus. Yang dilibatkan bisasanya dukun atau paranormal. Hal ini sudah jelas melenceng dan dapat merusak akidah seseorang. Memang benar, menggunakan ulama dalam penyelesaian film seakan mempersempit ruang lingkup penonton untuk agama tertentu saja. Tetapi, itu tidak berarti mereka dapat menggunakan paranormal. Penonton seakan diajak untuk berpikir serba instan, seolah mereka berkata: ada masalah, dukun menyelesaikan. Dunia perklenikan seakan-akan sudah akrab dengan kita. Belum lagi hasil wawancara yang mengungkapkan bahwa sebenarnya, banyak yang ketakutan setelah menonton film horor. Meski saat menonton film itu terasa asyik karena rasa penasaran terus muncul dan rasa tegang dimainkan naik-turun seperti saat naik roller coaster, efek setelah menonton bisa tidak hilang berhari-hari setelahnya. Banyak yang meminta tolong kepada teman atau saudara untuk ditemani ke kamar kecil pada malam hari setelah menonton film horor. Ada juga yang berhalusinasi melihat bayangan hantu, yang sebenarnya merupakan bayangan dari pikirannya sendiri atau hanya jin yang iseng mengganggunya. Hantu itu sebenarnya jin jahat (setan) yang menyamar untuk menggoyahkan iman manusia. Tidak ada arwah yang bisa kembali hanya untuk mengganggu makhluk yang masih hidup. Ada saat-saat di mana setan tersebut akan menyaru menjadi wujud menyeramkan atau bahkan merasuki tubuh manusia yang masih hidup sembari mengaku bahwa ia adalah arwah yang sudah lama meninggal. Tentu kita tidak boleh mempercayai kata-kata jin yang tidak bisa kita pegang kebenarannya. Kita bisa mencegahnya dengan mempertebal iman. Kita juga dapat mengobati dan mengghilangkan gangguan jin tersebut dengan membaca ruqyah. Ruqyah merupakan bacaan yang terdiri dari ayat AlQuran dan hadits yang sahih untuk memohon kesembuhan. Tentu saja, tidak sem barang orang bisa melakukan ruqyah ini. Laura berhasil memaparkan semuanya dengan jelas dan mudah dimengerti, melalui bahasa menarik yang tidak membosankan bagi pembaca remaja, serta tambahan ilustrasi komik sebagai pengantar cerita. Hanya saja, ia kurang berhasil dalam mengurutkan pembahasannya. Seringkali dalam satu pembahasan langsung dilompatkan ke pembahasan yang lain dan kemudian kembali membahas pembahasan di awal, sehingga muncul kesan bolak-balik dan terburu-buru. Terlebih, karena judulnya, banyak orang yang salah mengira bahwa buku ini adalah buku fiksi dengan tema horor, bukannya buku nonfiksi dengan tema jangan takut pada film horor. Buku ini layak untuk dibaca jika ingin menambah pengetahuan tentang fenomena film horor, jin, dan ruqyah. Membaca buku ini membuka mata dan pikiran kita bahwa hal-hal seperti itu tidak pantas untuk ditakuti, melainkan untuk dipahami. Bagi yang masih merasa takut kepada hal-hal berbau horor, silahkan coba buku ini. Bukalah pikiran kita.

Anda mungkin juga menyukai