Dalam buku setebal 271 halaman yang berisi sekitar 23 cerita pendek, digambarkan sisi lain
tentang cinta yang tragis. Ada seorang buruh yang cantik, lugu, dan cerdas sehingga mampu
menarik hati setiap lelaki.Ternyata senyumnya berbisa dan mampu menghancurkan hati siapa
saja yang mendekatinya. Ada pula perempuan yang merasa mampu mempermainkan hati setiap
lelaki hanya untuk mendapatkan kekayaannya.
Belakangan dia tersadar kalau dirinya yang selama ini sudah dipermainkan para lelaki yang
ingin mencicipi tubuhnya. Dikisahkan pula sosok lelaki yang begitu kuat fisiknya dan bersikap
tegar dalam menghadapi berbagai tantangan.Nyatanya, dia seorang lelaki yang rapuh dan tak
bisa mengontrol diri karena kehilangan istri tercinta akibat konspirasi.
Tak ketinggalan diceritakan tentang seorang pelukis renta yang tak pernah menikah seumur
hidupnya dan dianggap tak menyukai perempuan. Malah memiliki imajinasi liar dalam karya
lukisannya, bersanding dengan istri tetangga yang cantik dan sering mengirimkan makanan ke
rumahnya. Alhasil, antologi cerpen ini merupakan karya yang mampu mengangkat sisi gelap dari
berbagai kisah cinta.Semuanya diceritakan secara apik dan gaya bahasa yang lugas sehingga
mampu memacu adrenalin.
Apalagi di akhir kisah yang selalu tragis, ditampilkan berbagai ending yang tak lazim dan
mendebarkan. Buku ini akan mengajak Anda mengarungi betapa pedih, perih, dan tragisnya sisi
gelap sebuah cinta. Jangan pernah bermainmain dengan cinta karena bila tak mampu
mengendalikannya akan menjadi bumerang bagi siapa pun
Sumber: Kompas, 17 Juni 2011
Samuel Leibowitz, sang pengacara kaum tertindas ini, jelas memiliki nama yang
cukup tenar di kalangan pengacara di berbagai belahan dunia. Ia bahkan tercatat
sebagai salah satu pengacara yang turut serta menegakkan tonggak hukum di Amerika
Serikat.
Nama Leibowitz mulai mencuat di seantero Amerika setelah dia sukses
membebaskan sembilan pemuda kulit hitam dari kursi listrik. Kala itu, sembilan
pemuda kulit hitam tersebut divonis telah memperkosa dua orang perempuan kulit
putih dan harus dihukum mati, hanya dengan tiga hari masa proses persidangan. Tak
ayal keputusan ini pun menuai protes dari berbagai pihak, termasuk sebagian orang
kulit putih. Banyak tokoh nasional Amerika kala itu pun mengajukan petisi, salah
satunya Albert Einstein.
Sidang ulang pun digelar dan Leibowitz, diminta untuk membela sembilan
pemuda tadi. Leibowitz tidak langsung menerima tawaran tersebut. Dia masih
memeriksa terlebih dulu berkas-berkas persidangan, karena dia tidak mau membela
orang yang memang bersalah. Setelah mempelajari berkas-berkas tersebut dia pun
memutuskan untuk bersedia menjadi pembela tanpa meminta bayaran sedikitpun.
Namun, kenyataan tersebut bukan lantas berarti Leibowitz itu pengacara mata
duitan. Leibowitz pernah dihadapkan dengan dua kasus dalam waktu yang bersamaan,
yaitu Al Capone seorang gembong mafia yang berani membayar US$ 100.000 dan si
malang Herry Hoffman yang sama sekali tidak punya uang untuk membayar. Alhasil
Leibowitz ternyata lebih memilih untuk membela seorang Herry Hoffman. Sikap
Leibowitz tadi agaknya cukup sulit untuk dijumpai di bumi pertiwi ini. Akhirnya, di
tengah kondisi carut marut hukum di Indonesia—kasus Antasari Azhar yang masih
belum jelas sampai saat ini, nenek Minah yang dipenjara hanya karena mencuri tiga
buah kakau, koroptor yang bebas berkeliaran, dan lain sebagainya—kehadiran buku
ini telah memberi kontribusi yang besar. Semangat mempertahankan prinsip justice
for all oleh Leibowitz di sepanjang kisah hidupnya dalam buku ini tentu sangat cukup
untuk menginspirasi masyarakat Indonesia, khususnya kalangan pengacara.