Anda di halaman 1dari 5

Resensi “Cinta dalam Belanga” di Koran Tuesday, 18 August 2009

Sindo Judul Buku : Cinta Dalam Belanga


25/12/09 Penulis : Ambhita Dhyaningrum
AMBHITA DHYANINGRUM Penerbit : Kakilangit Kencana
Kumpulan Kisah Cinta yang Pedih Tebal : 271 Halaman
Terbit : Juni 2009
CINTA lebih sering menawarkan
kesenangan,romantisme,dan membuat siapa pun yang
terjerat mabuk kepayang. Padahal, cinta pun memiliki
sisi gelap yang selalu mengikuti setiap saat.
Ada kesedihan, kepedihan, sampai sebuah akhir yang tragis. Jadi siapa pun yang berani
mengarungi cinta untuk mendapatkan kebahagiaan, juga harus bersedia menerima pedihnya
cinta. Karena kepedihan sering bersembunyi di dalam keceriaan,ada sembilu dalam senyuman,
dan ada tragedi dalam romantisme. Begitulah gambaran tentang cinta yang terangkum dalam
antologi Cerpen Cinta dalam Belanga karya Ambhita Dhyaningrum yang diterbitkan Kakilangit
Kencana.

Dalam buku setebal 271 halaman yang berisi sekitar 23 cerita pendek, digambarkan sisi lain
tentang cinta yang tragis. Ada seorang buruh yang cantik, lugu, dan cerdas sehingga mampu
menarik hati setiap lelaki.Ternyata senyumnya berbisa dan mampu menghancurkan hati siapa
saja yang mendekatinya. Ada pula perempuan yang merasa mampu mempermainkan hati setiap
lelaki hanya untuk mendapatkan kekayaannya.
Belakangan dia tersadar kalau dirinya yang selama ini sudah dipermainkan para lelaki yang
ingin mencicipi tubuhnya. Dikisahkan pula sosok lelaki yang begitu kuat fisiknya dan bersikap
tegar dalam menghadapi berbagai tantangan.Nyatanya, dia seorang lelaki yang rapuh dan tak
bisa mengontrol diri karena kehilangan istri tercinta akibat konspirasi.
Tak ketinggalan diceritakan tentang seorang pelukis renta yang tak pernah menikah seumur
hidupnya dan dianggap tak menyukai perempuan. Malah memiliki imajinasi liar dalam karya
lukisannya, bersanding dengan istri tetangga yang cantik dan sering mengirimkan makanan ke
rumahnya. Alhasil, antologi cerpen ini merupakan karya yang mampu mengangkat sisi gelap dari
berbagai kisah cinta.Semuanya diceritakan secara apik dan gaya bahasa yang lugas sehingga
mampu memacu adrenalin.
Apalagi di akhir kisah yang selalu tragis, ditampilkan berbagai ending yang tak lazim dan
mendebarkan. Buku ini akan mengajak Anda mengarungi betapa pedih, perih, dan tragisnya sisi
gelap sebuah cinta. Jangan pernah bermainmain dengan cinta karena bila tak mampu
mengendalikannya akan menjadi bumerang bagi siapa pun
Sumber: Kompas, 17 Juni 2011

Judul : Samuel Leibowitz: Pengacara Kaum Tertindas


Peresensi: Arif Syam
Pengarang : Fred D. Pasley
Penerjemah : Nisrina Lubis
Tahun : 2010
Penerbit : Navila Yogyakarta
Tebal : xvi + 292 halaman

Samuel Leibowitz, sang pengacara kaum tertindas ini, jelas memiliki nama yang
cukup tenar di kalangan pengacara di berbagai belahan dunia. Ia bahkan tercatat
sebagai salah satu pengacara yang turut serta menegakkan tonggak hukum di Amerika
Serikat.
Nama Leibowitz mulai mencuat di seantero Amerika setelah dia sukses
membebaskan sembilan pemuda kulit hitam dari kursi listrik. Kala itu, sembilan
pemuda kulit hitam tersebut divonis telah memperkosa dua orang perempuan kulit
putih dan harus dihukum mati, hanya dengan tiga hari masa proses persidangan. Tak
ayal keputusan ini pun menuai protes dari berbagai pihak, termasuk sebagian orang
kulit putih. Banyak tokoh nasional Amerika kala itu pun mengajukan petisi, salah
satunya Albert Einstein.
Sidang ulang pun digelar dan Leibowitz, diminta untuk membela sembilan
pemuda tadi. Leibowitz tidak langsung menerima tawaran tersebut. Dia masih
memeriksa terlebih dulu berkas-berkas persidangan, karena dia tidak mau membela
orang yang memang bersalah. Setelah mempelajari berkas-berkas tersebut dia pun
memutuskan untuk bersedia menjadi pembela tanpa meminta bayaran sedikitpun.

Sepak terjang Leibowitz tersebut secara gamblang mengatakan bahwa slogan


justice for all telah benar-benar dipraktikkan oleh pengacara keturunan Yahudi
tersebut. Sikap Leibowitz itu tentu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilaksanakan
di Amerika era tahun 1930-an, di mana sentimen rasial masih sangat kental. Tidak
berlebihan jika kemudian Fred D. Pasley, penulis buku-buku biografi di Amerika,
tergerak untuk meneliti pengacara kondang era 1930-an tersebut dan mengisahkannya
dalam buku setebal 292 halaman ini.
Dengan bahasa yang mengalir, buku yang berjudul Samuel Leibowitz: pengacara
kaum tertindas ini mengisahkan berbagai sepak terjang Leibowitz selama dia menjadi
pengacara. Dikisahkan bahwa Leibowitz bukan sekedar tenar dan kontroversial, tetapi
juga terbilang pengacara yang memiliki prestasi yang cukup memukau. Betapa tidak,
terhitung Leibowitz berhasil membebaskan 77 orang dari hukuman mati dari 78 orang
yang dibelanya. Tak ayal dia pun menjadi pengacara yang cukup mahal di New York
pada waktu itu, yaitu dengan tarif minimal US$ 10.000.

Namun, kenyataan tersebut bukan lantas berarti Leibowitz itu pengacara mata
duitan. Leibowitz pernah dihadapkan dengan dua kasus dalam waktu yang bersamaan,
yaitu Al Capone seorang gembong mafia yang berani membayar US$ 100.000 dan si
malang Herry Hoffman yang sama sekali tidak punya uang untuk membayar. Alhasil
Leibowitz ternyata lebih memilih untuk membela seorang Herry Hoffman. Sikap
Leibowitz tadi agaknya cukup sulit untuk dijumpai di bumi pertiwi ini. Akhirnya, di
tengah kondisi carut marut hukum di Indonesia—kasus Antasari Azhar yang masih
belum jelas sampai saat ini, nenek Minah yang dipenjara hanya karena mencuri tiga
buah kakau, koroptor yang bebas berkeliaran, dan lain sebagainya—kehadiran buku
ini telah memberi kontribusi yang besar. Semangat mempertahankan prinsip justice
for all oleh Leibowitz di sepanjang kisah hidupnya dalam buku ini tentu sangat cukup
untuk menginspirasi masyarakat Indonesia, khususnya kalangan pengacara.

Anda mungkin juga menyukai