NIM : 22201244055
Kelas : PBSI E
Kutipan :
“Aku mengenal Kasih Kinanti setahun lalu
di kios Mas Yunus, Langganan kami berbuat
dosa. Di sanalah kawan-kawan sesama pers
mahasiswa diam-diam menggandakan beberapa
bab novel Anak Semua Bangsadan berbagai
buku terlarang lainnya. Seingatku, Kinan tengah
membuat fotokopi buku-buku karya Ernesto
Laclau dan Ralph Miliband yang akan
menjadi bahan diskusi. Sebetulnya aku pernah
bertemu dengan Kinan sekilas di beberapa
acara pers mahasiswa di kampus, tapi aku hanya
mengenalnya sebagai Kasih Kinanti dan
ternyata dia juga sudah mengetahui namaku dari
beberapa tulisanku di koran mahasiswa
Aulagung.” (Chudori, 2017:17)
Kutipan :
Mungkin Aksi Payung Hitam setiap hari Kamis
bukan sekadar sebuah gugatan, tetapi sekaligus
sebuah terapi bagi kami dan warga negeri
ini; sebuah peringatan bahwa kami tak akan
membiarkan sebuah tindakan kekejian
dibiarkan lewat tanpa hukuman. Payung Hitam
akan terus-menerus berdiri di depan istana
negara. Jika bukan presiden yang kini menjabat
dan memberikan perhatian, mungkin yang
berikutanya, atau yang berikutny. (Chudori,
2017:373)
Kutipan di atas menggambarkan pelaksanaan
Aksi Kamisan oleh Asmara Jati. Aksi Kamisan
merupakan bentuk protes terhadap pemerintah
yang dinilai belum mengusut secara menyeluruh
kasus-kasus hilangnya para aktivis. Dalam aksi
ini, peserta menggunakan payung hitam dan
berpakaian serba hitam sebagai simbol duka.
Penggunaan payung hitam dan warna hitam
dianggap sebagai lambang kesedihan, sementara
payung tersebut juga mencerminkan ketekunan
keluarga yang terus menuntut pemerintah untuk
menyelesaikan tugasnya. Aksi Kamisan
dilakukan untuk memastikan bahwa pemerintah
tidak melupakan keberadaan tiga belas aktivis
yang hilang secara paksa, dan nasib mereka yang
masih belum diketahui.
Kutipan :
“Kenapa kalian berniat mengganti presiden?
Urusan apa kalian anak-anak kecil, kenapa
may mengganti presiden?” tiba-tiba saja aku
ingin sekali menjawab, “Kalau kami memang
hanya anak kecil, kenapa Bapak merasa
terancam?” Lelaki sebesarpohon di sebelah kiri
ku menggampar kepalaku dengan tangannya
yang sebesar tampah. aduh! aku merasa
wajahku pecah berkeping-keping. Bibir dan
hidungku penuh darah.” (Chudori, 2017:96)
Kutipan :
“Sementara aku bisa mendengar Rahmat,
salah seorang mahasiswa Jakarta, ditendang
agar tetap berjalan menuju ruang lain dan
dia terjatuh mengerang. Sekali lagi dia
terperosok. Tak tahan, aku berlari
menolongnya dan tiba-tiba saja dua orang
sudah mengokang pistol dan mengarahkannya
pada kami.” (Chudori, 2017: 166)
Kutipan :
“Itulah gunanya Kinan. Selain dia akan
menjadi penentu terakhir, kami semua
mengakui Kinan seringmemberikan argument
paling masuk akal dalam banyak hal. Yang lebih
penting lagi, Kinan berfungsi untuk menyetop
kerewelan Daniel.” (Chudori, 2017:11).
Kinan dalam kutipan tersebut mewakili
pandangan bahwa kaum perempuan memiliki
potensi untuk menjadi pemimpin karena
kecerdasan berpikir, kemampuan argumentasi,
dan kemampuan untuk meredakan pertikaian.
Penggambaran dan pengakuan tersebut oleh
tokoh laki-laki dalam novel "Laut Biru"
mencerminkan eksistensialisme feminisme, di
mana perempuan telah mampu menyamai bahkan
melampaui laki-laki dalam urusan yang
sebelumnya dianggap di luar wilayah
kemampuannya.
Kutipan :
“Aku rasa kita ambil saja, Laut. Enam juta rupiah
setahun. Jauh lebih murah daripada Palem
Kecut”, kata Kinan mengingat harga sewa
ditempat kami sebelumnya.” (Chudori,
2017:13).
Kutipan :
Keinginan Biru Laut untuk mendiskusikan buku-
buku sastra karya Pramoedya mendapat
larangan dari orang tuanya. Perjuangan Biru
Laut dan teman-temannya dalam Winatra
ternyata tidak hanya sekedar mendampingi petani
dan mengadakan lokakarya terhadap buruh-
buruh tetapi juga mendiskusikan buku-buku
sastra karya Pramoedya Ananta Toer yang saat
itu dilarang oleh pemerintah. Perhatikan kutipan
berikut ini: “Jadi, kalian mendiskusikan buku-
buku sastra?” tanya Ibu. “Ya, antara lain Bu,”
Jawabku berhati-hati. “Karya-karya sastra yang
dilarang pastinya.....”, Asmara menambahkan,
“Semua karya Pramoedya itu lo, Bu, buku yang
menyebabkan anakanak Yogya ditangkap. “Apa
ndak bisa mendiskusikan buku-buku yang tidak
terlarang? Kan banyak, Mas, buku-buku lain.....”
(Chudori, 2017:74-75)
Perwujudan identitas (id) dalam diri Biru Laut
termanifestasi ketika ia memutuskan untuk
melawan pemerintah Orde Baru dengan cara
mendiskusikan buku-buku karya sastra
Pramoedya yang pada saat itu dilarang. Ibu Biru
Laut merasa bangga memiliki anak yang memiliki
cita-cita nobel untuk memperbaiki kondisi
Indonesia. Namun, ketika Biru Laut menyatakan
niatnya untuk membahas buku-buku sastra karya
Pramoedya yang dilarang oleh pemerintah,
Ibunya melarangnya. Meskipun mendapat
larangan, Biru Laut tetap teguh pada pendiriannya
dan melanjutkan diskusi tentang karya-karya
sastra yang kritis terhadap pemerintah. Superego
Biru Laut mencoba menghibur Ibunya dengan
mengusap-usap bahunya karena Ibunya terlihat
semakin sedih.
Kutipan :
Sebuah tangan memegang bahuku,
memerintahkan aku berhenti berjalan. Dia
membuka borgolku. Lalu ikatan hitam yang
menutup mataku. Di hadapanku terbentang
sebuah balok es besar. Halo, Biru Laut....”Aku
menoleh..Gusti dengan kamera kesayangannya
berdiri di sampingku.Tersenyum. Dia
mengenakan kemeja batik berlengan pendek,
pantalon hitam, dan sepatu kets hitam. Sekali lagi
dia memotret dengan blitz: tap! (Chudori,
2017:193)
Identitas (id) dalam diri Biru Laut menolak untuk
percaya bahwa Gusti Suroso adalah seorang
pengkhianat. Dengan jelas, Gusti Suroso
menunjukkan sifat aslinya kepada Biru Laut. Ego
Biru Laut merealisasikan ketidakpercayaannya
dengan merasakan kemarahan dan kebencian
ketika Gusti Suroso terus merekamnya dan
berbicara dengan nada berbisik kepadanya.
Superego Biru Laut merealisasikan ego-nya yang
merasakan kemarahan dan kebencian terhadap
Gusti Suroso dengan meludahinya.