Anda di halaman 1dari 6

10 Pejuang HAM

1. Bunda Teresa
Agnes Gonxha Bojaxhiu lahir di Üsküb, Kerajaan Ottoman, 26 Agustus
1910 – meninggal di Kalkuta, India, 5 September 1997 pada umur 87
tahun adalah seorang biarawati Katolik Roma keturunan Albania dan
berkewarganegaraan India yang mendirikan Misionaris Cinta Kasih
(bahasa Inggris: Missionaries of Charity; M.C.) di Kalkuta, India, pada
tahun 1950. Selama lebih dari 47 tahun, ia melayani orang miskin, sakit,
yatim piatu dan sekarat, sementara membimbing ekspansi Misionaris
Cinta Kasih yang pertama di seluruh India dan selanjutnya di negara lain.
Setelah kematiannya, ia mendapat gelar beata (blessed dalam bahasa
Inggris) oleh Paus Yohanes Paulus II dan diberi gelar Beata. Pada 1970-
an, ia menjadi terkenal di dunia internasional untuk pekerjaan
kemanusiaan dan advokasi bagi hak-hak orang miskin dan tak berdaya.
Misionaris Cinta Kasih terus berkembang sepanjang hidupnya dan pada
saat kematiannya, ia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk
penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC,
program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah.
Pemerintah, organisasi sosial dan tokoh terkemuka telah terinspirasi dari
karyanya, namun tak sedikit filosofi dan implementasi Bunda Teresa yang
menghadapi banyak kritik. Ia menerima berbagai penghargaan, termasuk
penghargaan pemerintah India, Bharat Ratna (1980) dan Penghargaan
Perdamaian Nobel pada tahun 1979. Ia merupakan salah satu tokoh yang
paling dikagumi dalam sejarah. Saat peringatan kelahirannya yang ke-100
pada tahun 2010, seluruh dunia menghormatinya dan karyanya dipuji oleh
Presiden India, Pratibha Patil.
2. Mohandas Karamchand Gandhi
lahir di Porbandar, Gujarat, India Britania, 2 Oktober 1869 – meninggal
di New Delhi, India, 30 Januari 1948 pada umur 78 tahun adalah seorang
pemimpin spiritual dan politikus dari India. Pada masa kehidupan Gandhi,
banyak negara yang merupakan koloni Britania Raya. Penduduk di
koloni-koloni tersebut mendambakan kemerdekaan agar dapat
memerintah negaranya sendiri. Gandhi adalah salah seorang yang paling
penting yang terlibat dalam Gerakan Kemerdekaan India. Dia adalah
aktivis yang tidak menggunakan kekerasan, yang mengusung gerakan
kemerdekaan melalui aksi demonstrasi damai. Dia membantu dalam
proses kemerdekaan India dari jajahan Inggris; hal ini memberikan
inspirasi bagi rakyat di koloni-koloni lainnya agar berjuang mendapatkan
kemerdekaannya dan memecah Kemaharajaan Britania untuk kemudian
membentuk Persemakmuran.
3. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Pr.
lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di
Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun, dikenal sebagai
rohaniwan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik
(bahasa Jawa untuk "rakyat kecil"). Ia juga dikenal dengan panggilan
populernya, Rama Mangun (atau dibaca "Romo Mangun" dalam bahasa
Jawa). Romo Mangun adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan
suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah. Kekecewaan
Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-
gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi
Dasar.[5] Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif
pada penduduk korban proyek pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa
Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.
Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan
oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati
nurani" menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan
Presiden Soeharto.
4. Raden Adjeng Kartini
lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang,
Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun atau sebenarnya
lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh suku Jawa
dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor
kebangkitan perempuan pribumi. Berkat kegigihannya Kartini, kemudian
didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912,
dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini".
5. Nelson Rolihlahla Mandela
lahir di Mvezo, Afrika Selatan, 18 Juli 1918 – meninggal di
Johannesburg, Afrika Selatan, 5 Desember 2013 pada umur 95 tahun
adalah seorang revolusioner anti-apartheid dan politisi Afrika Selatan
yang menjabat sebagai Presiden Afrika Selatan sejak 1994 sampai 1999.
Ia adalah orang Afrika Selatan berkulit hitam pertama yang memegang
jabatan tersebut dan presiden pertama yang terpilih melalui keterwakilan
penuh, dalam sebuah pemilu multiras. Pemerintahannya berfokus pada
penghapusan pengaruh apartheid dengan memberantas rasisme,
kemiskinan dan kesenjangan, dan mendorong rekonsiliasi rasial. Selaku
nasionalis Afrika dan sosialis demokratik, ia menjabat sebagai Presiden
Kongres Nasional Afrika (ANC) pada 1991 sampai 1997. Selain itu,
Mandela pernah menjadi Sekretaris Jenderal Gerakan Non-Blok pada
1998 sampai 1999. Terlahir dari keluarga kerajaan Thembu dan bersuku
Xhosa, Mandela belajar hukum di Fort Hare University dan University of
Witwatersrand. Ketika menetap di Johannesburg, ia terlibat dalam politik
anti-kolonial, bergabung dengan ANC, dan menjadi anggota pendiri Liga
Pemuda ANC. Setelah kaum nasionalis Afrikaner dari Partai Nasional
berkuasa tahun 1948 dan menerapkan kebijakan apartheid, popularitas
Mandela melejit di Defiance Campaign ANC tahun 1952, terpilih menjadi
Presiden ANC Transvaal, dan menghadiri Congress of the People tahun
1955. Sebagai pengacara, ia berulang kali ditahan karena melakukan
aktivitas menghasut dan, sebagai ketua ANC, diadili di Pengadilan
Pengkhianatan pada 1956 sampai 1961, namun akhirnya divonis tidak
bersalah. Meski awalnya berunjuk rasa tanpa kekerasan, ia dan Partai
Komunis Afrika Selatan mendirikan militan Umkhonto we Sizwe (MK)
tahun 1961 dan memimpin kampanye pengeboman terhadap target-target
pemerintahan. Pada 1962, ia ditahan dan dituduh melakukan sabotase dan
bersekongkol menggulingkan pemerintahan, dan dihukum penjara seumur
hidup di Pengadilan Rivonia.
6. Munir Said Thalib
lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1964 – meninggal di Jakarta di
dalam pesawat jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 39
tahun adalah seorang aktivis HAM Indonesia keturunan Arab-Indonesia.
Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak
Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontras
namanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang
yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang
menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus. Setelah Soeharto
jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus
Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
7. Yap Thiam Hien
lahir di Koeta Radja, Aceh, 25 Mei 1913 – meninggal di Brusel, Belgia,
25 April 1989 pada umur 75 tahun adalah seorang pengacara Indonesia
keturunan Tionghoa. Ia mengabdikan seluruh hidupnya berjuang demi
menegakkan keadilan dan hak asasi manusia (HAM). Namanya
diabadikan sebagai nama sebuah penghargaan yang diberikan kepada
orang-orang yang berjasa besar bagi penegakan hak asasi manusia di
Indonesia. Selama menjadi pengacara, Yap pernah membela pedagang di
Pasar Senen yang tempat usahanya tergusur oleh pemilik gedung. Yap
juga menjadi salah seorang pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia (YLBHI).
8. Haji Johannes Cornelis (H.J.C.) Princen
lebih dikenal sebagai Poncke Princen lahir di Den Haag, Belanda, 21
November 1925 – meninggal di Jakarta, 22 Februari 2002 pada umur 76
tahun) adalah seorang oposan sejati berkebangsaan Belanda yang pada
1949 beralih menjadi warga negara Indonesia, sejak muda hingga tua,
melawan berbagai rezim yang melakukan penindasan dan
penyelewengan, mulai dari Nazi hingga Orde Baru, mulai dari rezim
sayap kanan hingga rezim yang cenderung ke-kiri-kiri-an. Dia hanya
hidup di Belanda sejak lahir hingga masa muda, selebihnya dia habiskan
di Indonesia. Nama “Poncke” konon diperolehnya dari roman yang
digemarinya tentang pastur jenaka di Belgia Utara yang bernama Pastoor
Poncke. Pada tahun 1994 perkumpulan penggemar roman tahun 1940-an
tersebut mengadakan rapat dan memutuskan untuk melarang H.J.C
Princen menggunakan nama Poncke. Siapalah yang peduli. Ia toh sudah
lama terbiasa tak punya apa-apa. Semua sudah diambil darinya, termasuk
kesehatannya. Di Indonesia, dia terutama dikenal sebagai pejuang Hak
Asasi Manusia. Princen menikah dengan Janneke Marckmann (ke 1971)
dan nanti dengan Sri Mulyati. Dia ada empat anak: Ratnawati H.E.
Marckmann, Iwan Hamid Marckmann, Nicolaas Hamid Marckmann dan
Wilanda Princen. Indonesia lewat proklamasi sudah memerdekakan diri
pada 17 Agustus 1945, tetapi perang antara penjajah dan negara bekas
jajahan masih terus menerus berkecamuk. Princen ditahan dan dipenjara
dari 1957 hingga 1958. setelah bebas pada awal tahun 1960an, dia mulai
lebih terfokus aktif dalam kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan
demokrasi di Indonesia dengan mendirikan Liga Demokrasi. karena
aktivitasnya yang kritis tersebut peraih bintang gerilya ini akhirnya
dipenjarakan pemerintah Soekarno(1962-1966). Semenjak akhir tahun
1965, kekuasaan Partai Komunis Indonesia (yang saat itu menjadi massa
utama pendukung Presiden Sukarno dan rival dari kekuatan militer),
mulai merosot karena dibabat habis oleh Angkatan Darat. sehingga pamor
kekuasaan Presiden Sukarno semenjak Maret 1966. Degradasi energi
kekuasaan ini kemudian dimanfaatkan oleh sekelompok faksi militer
dukungan CIA untuk melakukan "kudeta merayap" yang mengantarkan
Suharto menjadi presiden. Dan berdirilah rezim baru, Orde Baru,
menggantikan rezim yang lama - Orde Lama. Princen pun menikmati
kebebasan kembali setelah dipenjara selama 4 tahun.Pengalaman
hidupnya dari penjara ke penjara semakin mempertebal keyakinannya
untuk mendesak negara memberikan perlindungan dan penegakan HAM
dengan mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia LPHAM dan
sekaligus memimpin lembaga pembela HAM pertama di Indonesia
tersebut.
9. Yosepha Alomang atau Mama Yosepha
adalah seorang perempuan tokoh Amungme, Papua. Ia terkenal karena
perjuangannya membela hak-hak asasi manusia, khususnya masyarakat di
sekitar PT Freeport Indonesia.Mama Yosepha dilahirkan di Tsinga,
Papua, pada tahun 1940-an. Sejak bayi ia telah menjadi anak yatim-piatu.
Ia hidup bersama ayah tirinya. Pada masa kecilnya, ia hidup berpindah-
pindah, bersama dengan para penduduk desa lainnya, karena perintah
pemerintah Belanda, dan kemudian pemerintah Indonesia.Yosepha
menikah pada awal 1970-an, setelah beberapa tahun bersekolah. Saat itu,
ia telah bekerja sebagai bidan yang cekatan dan, berkat bantuan Gereja
Katolik, ia bekerja menolong orang-orang lain. Perjuangan melawan
Freeport telah mendominasi kehidupan dan pekerjaan Mama Yosepha.
Misalnya, anak sulung Yosepha, Johanna (lahir 1974), meninggal dunia
pada 1977 karena kelaparan, ketika Yosepha bersama seluruh keluarganya
bersembunyi di hutan-hutan dari pengejaran militer. Pada 2001, Yosepha
mendirikan YAHAMAK (Yayasan Hak Asasi Manusia Anti Kekerasan)
dengan uang yang diterimanya ketika ia memperoleh Penghargaan Yap
Thiam Hien pada 1999.
10. Abdul Hakim Garuda Nusantara
lahir di Pekalongan, 12 Desember 1954; umur 60 tahun adalah seorang
pengacara dan pejuang hak asasi manusia di Indonesia. Sejak di tingkat
empat Hakim sudah menjadi relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta, di Divisi Hak Asasi Manusia. Karena itu, setelah lulus pada 1978,
ia mengambil spesialisasi Hukum Perdata Internasional di Universitas
Washington. Selesai dari studinya, ia kembali ke LBH hingga diangkat
sebagai Direktur lembaga tersebut. Selain mengabdikan diri di Lembaga
Bantuan Hukum, Hakim juga pernah menjabat sebagai Ketua Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ketua pengarah International NGO
Forum on Indonesia Development (INFID), dan menjadi dosen luar biasa
untuk mata kuliah Hukum Ekonomi di Fakultas Ekonomi, UI. Ia juga ikut
mendirikan dan menjadi ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (Elsam). Sebagai pengacara, ia pernah menangani sejumlah
kasus besar seperti Kasus Tanjung Priok 1985 dan Peristiwa 27 Juli 1996.
Abdul Hakim juga mengabdikan diri sebagai Wakil Ketua Tim
Penyusunan Rancangan Undang-Undang Pengadilan HAM, Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (1999), Wakil Ketua Tim RUU
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia dan Anggota Tim Revisi RUU Penanggulangan Keadaan
Bahaya, Departemen Pertahanan (2000). Pada 2001, ia dicalonkan
menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
oleh PP Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia dan LSM. Semula ia
menolak pencalonan itu karena merasa ia sudah terlalu sibuk dengan
kegiatan-kegiatannya selama ini, namun akhirnya ia berhasil diyakinkan.

Anda mungkin juga menyukai