Idham Chalid
Dr. (H.C.) K. H. Idham
Chalid (27 Agustus 1921 – 11 Juli
2010) adalah tokoh bangsa, tokoh
agama, tokoh organisasi besar
Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan juga
deklarator sekaligus pemimpin Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
Bahkan KH. Idham Chalid
merupakan Ketua Tanfidziyah
Nahdlatul Ulama terlama dalam
sejarah NU dari periode 1956-1984.
KH Dr Idham Chalid
merupakan salah seorang tokoh yang
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mewakili pemerintah di Istana Negara, bersama dengan 6 tokoh
lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November
2011.
Ia merupakan putera Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan
Nasional setelah Pangeran Antasari dan Hasan Basry. Cisarua. Mantan Ketua
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Ketua MPR/DPR tersebut mendapat
gelar Pahlawan Nasional karena dianggap berjasa luar biasa bagi kepentingan
bangsa dan negara. Sebagai Ketua NU yang menjabat cukup lama, beliau bisa
menentramkan kegelisahan warga NU.
Selain untuk agama dan negara, beliau juga aktif dalam dunia pendidikan
dan mewariskan dua yayasan pendidikan agama Islam Darul Maarif di Jakarta
Selatan dan Darul Qur'an di Cisarua-Bogor, yang sekaligus juga menjadi tempat
peristirahatan terakhirnya. Komitmennya dalam bidang pendidikan adalah
dengan membuka yayasan pendidikan non-profit untuk orang yang susah atau
tidak mampu.
Atas jasa-jasanya selama hidup, Ketua Umum PBNU dari 1956 hingga
1984, KH Idham Chalid menghiasi mata uang Rupiah pecahan 5.000 yang
diluncurkan oleh Bank Indonesia dan ditetapkan atas Keputusan Presiden
Nomor 31 Tahun 2016 tentang Penetapan Gambar Pahlawan Nasional sebagai
Gambar Utama pada Bagian Depan Rupiah Kertas dan Rupiah Logam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Mohammad Hoesni
Thamrin
Mohammad Hoesni Thamrin, 16
Februari 1894 – 11 Januari 1941) adalah
seorang politisi era Hindia Belanda yang
kemudian dianugerahi gelar pahlawan
nasional Indonesia.
Ayahnya adalah seorang Belanda
dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia
dirawat oleh pamannya dari pihak ibu
karena ayahnya meninggal, sehingga ia
tidak menyandang nama Belanda.
Sementara itu kakeknya, Ort,
seorang Inggris, merupakan
pemilik hotel di bilangan Petojo, menikah dengan seorang Betawi yang bernama
Noeraini.
Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana di bawah gubernur
jenderal Johan Cornelis van der Wijck. Setelah lulus dari Gymnasium Koning
Willem III School te Batavia, Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum
bekerja di perusahaan perkapalan Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.
Munculnya Mohammad Husni Thamrin sebagai tokoh pergerakan yang
berkaliber nasional tidaklah mudah. Untuk mencapai tingkat itu ia memulai dari
bawah, dari tingkat lokal. Dia memulai geraknya sebagai seorang tokoh (lokal)
Betawi. Sebagaimana telah disinggung pada bab terdahulu, Mohammad Husni
Thamrin sejak muda telah memikirkan nasib masyarakat Betawi yang sehari-
hari dilihatnya. Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat jelata.
Malah, dia sangat dekat dengan mereka. Sebagaimana anak-anak sekelilingnya,
yang terdiri dari anak-anak rakyat jelata, dia pun tidak canggung-canggung
untuk mandi-mandi bersama di Sungai Ciliwung. Dia tidak canggung-canggung
untuk tidur bersama mereka, sebagaimana yang pernah disaksikan oleh
ayahnya sendiri. Kelincahannya sebagai pemimpin agaknya telah menampak
sejak ia masih berusia remaja.