Anda di halaman 1dari 4

Sam Ratulangi

Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob


Ratulangi (5 November 1890 – 30 Juni 1949),
atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi,
adalah seorang politikus, jurnalis, dan guru
dari Sulawesi Utara, Indonesia. Ia adalah
seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ratulangi
juga sering disebut sebagai tokoh
multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya:
"Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia
baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah
dapat memanusiakan manusia. Ratulangi
termasuk anggota Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yang
menghasilkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan merupakan
Gubernur Sulawesi pertama.
Ratulangi lahir pada tanggal 5 November 1890
di Tondano, Minahasa yang pada saat itu merupakan bagian dari Hindia
Belanda. Ia merupakan putra dari Jozias Ratulangi dan Augustina Gerungan.
[1]
Jozias adalah seorang guru di Hoofden School (sekolah menengah untuk anak-
anak dari kepala-kepala desa) di Tondano. Ia menerima pelatihan guru
di Haarlem, Belanda sekitar tahun 1880.[2] Augustina adalah putri dari Jacob
Gerungan, Kepala Distrik (Mayoor ) Tondano-Touliang.
Ratulangi mengawali pendidikannya di sekolah dasar Belanda
(Europeesche Lagere School), lalu ia melanjutkannya di Hoofden School,
keduanya di Tondano.[4] Pada tahun 1904, ia berangkat ke Jawa untuk masuk
Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) setelah menerima beasiswa dari
sekolah tersebut. Namun sesampainya di Batavia (sekarang Jakarta), ia berubah
pikiran dan memutuskan untuk belajar di sekolah menengah teknik Koningin
Wilhelmina.[5] Ratulangi lulus pada tahun 1908 dan mulai bekerja pada
konstruksi rel kereta api di daerah Priangan selatan di Jawa Barat. Di sana ia
mengalami perlakuan yang tidak adil dalam hal upah dan penginapan karyawan
dibandingkan dengan karyawan Indo (Eurasia).
Frans Kaisiepo
Frans Kaisiepo lahir di Pulau
Biak pada 10 Oktober 1921 dari pasangan
Albert Kaisiepo dan Albertina Maker. Dia
pernah mengenyam pendidikan di sebuah
sekolah guru agama Kristen
di Manokwari dan Sekolah kursus
Pegawai Papua (Papua Bestuur School) di
kota NICA, sekarang Kampung
Harapan, Distik Sentani
Timur, Kabupaten Jayapura.
Pada 1945, Frans bertemu Sugoro
Atmoprasodjo di Sekolah Kursus Pegawai.
Mereka dengan cepat menemukan titik
temu karena dukungan bersama mereka untuk kemerdekaan Indonesia.
Kaisiepo sering mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas
aneksasi Nugini Belanda oleh Republik Indonesia.
Pada 31 Agustus 1945, ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans
termasuk salah satu orang menegakkan eksistensi Republik Indonesia dan orang
pertama yang mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan
lagu Indonesia Raya di Papua.
Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nugini Belanda dan satu-satunya
orang asli Papua pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Sebagai Juru
Bicara, dia menyarankan wilayah itu disebut "Irian", menjelaskan kata itu
berarti "tempat yang panas" dalam bahasa aslinya, Biak. Pada bulan yang
sama, Partai Indonesia Merdeka didirikan oleh Frans di Biak, dengan Lukas
Rumkorem sebagai pemimpin terpilih partai tersebut.
Pada Agustus 1947, Silas Papare memimpin pengibaran bendera merah
putih Indonesia untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Tindakan
ini mengakibatkan penangkapan semua peserta oleh polisi Belanda. Mereka
dikurung selama lebih dari tiga bulan. Selama itu Frans dan Johans Ariks
mengambil peran Papare. Johans kemudian mengetahui rencana untuk
mengintegrasikan Irian Barat sebagai wilayah Indonesia, alih-alih
mengembangkan otonominya.
Frans terlibat dalam pemberontakan di Biak pada Maret 1948,
memprotes pemerintahan Belanda. Pada tahun 1949, ia menolak penunjukan
sebagai pemimpin delegasi Nugini Belanda dalam Konferensi Meja
Bundar Belanda-Indonesia, karena ia merasa Belanda berusaha mendikte dia.
Karena perlawanannya, dia dipenjarakan dari tahun 1954 hingga 1961.

Idham Chalid
Dr. (H.C.) K. H. Idham
Chalid (27 Agustus 1921 – 11 Juli
2010) adalah tokoh bangsa, tokoh
agama, tokoh organisasi besar
Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan juga
deklarator sekaligus pemimpin Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).
Bahkan KH. Idham Chalid
merupakan Ketua Tanfidziyah
Nahdlatul Ulama terlama dalam
sejarah NU dari periode 1956-1984.
KH Dr Idham Chalid
merupakan salah seorang tokoh yang
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mewakili pemerintah di Istana Negara, bersama dengan 6 tokoh
lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November
2011.
Ia merupakan putera Banjar ketiga yang diangkat sebagai Pahlawan
Nasional setelah Pangeran Antasari dan Hasan Basry. Cisarua. Mantan Ketua
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) dan Ketua MPR/DPR tersebut mendapat
gelar Pahlawan Nasional karena dianggap berjasa luar biasa bagi kepentingan
bangsa dan negara. Sebagai Ketua NU yang menjabat cukup lama, beliau bisa
menentramkan kegelisahan warga NU.
Selain untuk agama dan negara, beliau juga aktif dalam dunia pendidikan
dan mewariskan dua yayasan pendidikan agama Islam Darul Maarif di Jakarta
Selatan dan Darul Qur'an di Cisarua-Bogor, yang sekaligus juga menjadi tempat
peristirahatan terakhirnya. Komitmennya dalam bidang pendidikan adalah
dengan membuka yayasan pendidikan non-profit untuk orang yang susah atau
tidak mampu.
Atas jasa-jasanya selama hidup, Ketua Umum PBNU dari 1956 hingga
1984, KH Idham Chalid menghiasi mata uang Rupiah pecahan 5.000 yang
diluncurkan oleh Bank Indonesia dan ditetapkan atas Keputusan Presiden
Nomor 31 Tahun 2016 tentang Penetapan Gambar Pahlawan Nasional sebagai
Gambar Utama pada Bagian Depan Rupiah Kertas dan Rupiah Logam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Mohammad Hoesni
Thamrin
Mohammad Hoesni Thamrin, 16
Februari 1894 – 11 Januari 1941) adalah
seorang politisi era Hindia Belanda yang
kemudian dianugerahi gelar pahlawan
nasional Indonesia.
Ayahnya adalah seorang Belanda
dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia
dirawat oleh pamannya dari pihak ibu
karena ayahnya meninggal, sehingga ia
tidak menyandang nama Belanda.
Sementara itu kakeknya, Ort,
seorang Inggris, merupakan
pemilik hotel di bilangan Petojo, menikah dengan seorang Betawi yang bernama
Noeraini.
Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana di bawah gubernur
jenderal Johan Cornelis van der Wijck. Setelah lulus dari Gymnasium Koning
Willem III School te Batavia, Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum
bekerja di perusahaan perkapalan Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.
Munculnya Mohammad Husni Thamrin sebagai tokoh pergerakan yang
berkaliber nasional tidaklah mudah. Untuk mencapai tingkat itu ia memulai dari
bawah, dari tingkat lokal. Dia memulai geraknya sebagai seorang tokoh (lokal)
Betawi. Sebagaimana telah disinggung pada bab terdahulu, Mohammad Husni
Thamrin sejak muda telah memikirkan nasib masyarakat Betawi yang sehari-
hari dilihatnya. Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat jelata.
Malah, dia sangat dekat dengan mereka. Sebagaimana anak-anak sekelilingnya,
yang terdiri dari anak-anak rakyat jelata, dia pun tidak canggung-canggung
untuk mandi-mandi bersama di Sungai Ciliwung. Dia tidak canggung-canggung
untuk tidur bersama mereka, sebagaimana yang pernah disaksikan oleh
ayahnya sendiri. Kelincahannya sebagai pemimpin agaknya telah menampak
sejak ia masih berusia remaja.

Anda mungkin juga menyukai