Anda di halaman 1dari 7

1.

Asmah syahruni

Asmah Syahruni merupakan putra dari pasangan Bahujar dan Imur


yang lahir pada 28 Februari 1927 di Rantau, Kalimantan Selatan. Ia
anak pertama dari sembilan bersaudara. Sebagai anak yang paling tua,
Asmah kerap menggantikan peran orang tua dalam hal tanggung jawab.

Asmah hidup di lingkungan keluarga Nahdatul Ulama. Asmah masuk ke


sekolah dasar dan diajar langsung oleh bibinya yang merupakan sosok
nasionalis tulen. Oleh bibinya tersebut, Asmah juga diajari tentang syair
yang mengandung makna perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Di
mana saat itu, tidak ada seorang pun yang berani melantunkan syair
tersebut. berjudul “Di Timur Matahari”yang berbunyi “di timur
matahari, mulai bercahya, bangun dan berdiri kawan semua, marilah
mengatur barisan kita, pemuda pemudi Indonesia.” Setelah menikah,
Asmah kemudian berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di
Sekolah Rakyat III. Sedangkan sang suami yaitu Syahruni, mengajar di
Sekolah Rakyat I. Pada tahun 1943 hingga 1954, Asmah menjadi guru dan
pernah menjadi guru di Futsu Tjo Gokko . Asmah mulai aktif di
Muslimat NU pada 1952 dan pernah diberi kepercayaan memimpin
Muslimat NU Kalimantan Selatan dan mendapat hak untuk
membentuk beberapa cabang.

Beliau juga pernah diangkat menjadi konsulat Muslimat NU


Kalimantan Selatan 1952-1956. Dari aktivitasnya dalam organisasi
perempuan tersebut, Asmah kemudian mengubah arah kehidupannya dari
dunia pendidikan ke dunia politik organisasi. Muktamar NU dan Kongres
Muslimat di Surabaya tahun 1954, adalah awal mula nama Asmah
Syahruni dikenal di kalangan luas NU. Ketika Pemilu 1955, Asmah
menjadi wakil NU di daerahnya dan beliau juga terpilih menjadi anggota
DPR yang membuatnya melenggang ke Senayan. Demi tercapainya cita-cita
besar dan pemenuhan tanggung jawab sebagai anggota DPR dan aktivis
Muslimat, Asmah Syahruni rela menjual rumahnya untuk ongkos berangkat
ke Jakarta bersama suaminya. Tahun 1965, NU menuntut pembubaran
PKI dan Asmah Syahruni pun ikut andil dalam merealisasikan
tuntutan tersebut.

2. Wawan wirawan

3. Anis hidayah

Anis Hidayah merupakan tokoh aktivis yang berdedikasi terhadap hak


asasi manusia buruh migran Indonesia di luar negeri dan merupakan salah
satu pendiri Migrant Care. Anis juga merupakan salah satu pendiri
komunitas Solidaritas Perempuan Jawa Timur pada tahun 1998. Wikipedia
Kelahiran: 7 November 1976 (usia 45 tahun), Kabupaten Bojonegoro
Pendidikan: Universitas Jember
Penghargaan: Penghargaan Yap Thiam Hien
Buku: Selusur kebijakan (minus) perlindungan buruh migran
Indonesia, LAINNYA

Perempuan kelahiran Bojonegoro ini telah memulai kiprahnya sebagai


aktivis semenjak masih berstatus mahasiswa. Kala itu Anis tergabung
dengan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember dan
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dia kerap berdiskusi
dengan LSM yang fokus terhadap masalah buruh migran. Selain itu, dia
juga aktif di SD Inpres dan LSM lokal di kota Jember.

Anis menyadari bahwa tempat kelahirannya merupakan salah satu


basis buruh migran Indonesia. Dari itulah timbul kesadaran dalam
dirinya bahwa penipuan dan penganiayaan terhadap para TKI di
luar negeri dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat. Hal
itu semakin mendorongnya dan rekan-rekan aktivis lainnya untuk
membela mereka yang tertindas. Mereka kemudian mendirikan Solidaritas
Perempuan Jawa Timur di tahun 1998. Melalui wadah itu para mantan
buruh migran dan aktivis mahasiswa aktif memberikan advokasi terhadap
kasus penganiayaan dan pemerkosaan.

Pada tahun 2001, Anis memutuskan untuk melanjutkan


pendidikannya di Universitas Gajah Mada (UGM) Program Pasca
Sarjana Hukum Internasional UGM. Ketika dalam proses menulis
tesisnya, Anis hijrah ke ibukota dan bergabung degan sebuah LSM. Saat
itu Anis kembali dihadapkan pada kenyataan miris, banyaknya TKI yang
diperlakukan semena-mena. Namun rencananya untuk memperdalam
kasus justru berubah di tengah jalan.

Profesinya sebagai aktivis yang tidak mengenal waktu, mau tak mau
memaksa Anis untuk merelakan 24 jam waktunya dalam seminggu untuk
mengurusi masalah yang dialami para buruh migran. Tidak jarang dia
bahkan harus menghabiskan waktunya hingga berhari-hari lamanya di
negeri orang.

4. Suciwati

Lahir 28 Maret 1968 (umur 53)

Malang

Kebangsaan Indonesia

Suami/istri Munir Said Thalib

Anak
Soultan Alif Allende

Diva Suukyi Larasati


lulusan IKIP Negeri Malang jurusan Sastra Indonesia. Mengajar di MIN Malang I
Jalan Bandung Malang serta setelah lulus kuliah mengajar di SMA swasta
Cokroaminoto Malang.
Suciwati merupakan istri dari seorang aktivis HAM, Munir Said Thalib, yang
tewas diracun pada pada tanggal 7 September 2004. saat melakukan perjalanan
dengan pesawat Garuda Indonesia nomor penerbangan GA 974
ke Amsterdam, Belanda untuk melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter
di Universitas Utrecht.[3] Sejak peristiwa tersebut, Suciwati terus berusaha untuk
mencari tahu pelaku pembunuhan Munir sebenarnya.[1][4]
Selama mengadvokasi dan pencarian keadilan Suciwati mendapatkan
penghargaan atas kegigihannya pada tahun 2005 dari Time Asia sebagai salah satu
Asia Heroes , tahun 2006 Human Rights First Gala Dinner US atas nama Suciwati
dan Munir, Suciwati dinilai bekerja tanpa lelah untuk membawa pembunuh Munir
kepengadilan sementara Munir sebagai pejuang HAM terdepan di Indonesia. [5] Th
2006 mendapat penghargaan dari Metro TV Award, Tahun 2008 dari Seputar
Indonesia People of the year kategori hukum.

5. Marsinah

Marsinah adalah seorang aktivis dan buruh pabrik pada masa Orde Baru, bekerja
pada PT. Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan
kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama tiga
hari. Wikipedia
Kelahiran: 10 April 1969, Kabupaten Nganjuk
Meninggal: 8 Mei 1993, Nganjuk
Penghargaan: Penghargaan Yap Thiam Hien (1993)
Lahir: 10 April 1969; Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur Indonesia
Orang tua: Sumini, Mastin

6. Soe hok gie

Soe Hok Gie adalah seorang aktivis keturunan Tionghoa-Indonesia yang


menentang kediktatoran berturut-turut dari Presiden Soekarno dan Soeharto. Ia
adalah mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun
1962–1969. Wikipedia
Kelahiran: 17 Desember 1942, Jakarta
Meninggal: 16 Desember 1969, Gunung Semeru
Tempat pemakaman: Museum Taman Prasasti, Jakarta
Saudara kandung: Arief Budiman
Orang tua: Soe Lie Piet, Nio Hoe An
Pada Januari 1966 hingga 1967, Gie ambil peran dalam memimpin
demonstrasi mahasiswa, jelang runtuhnya rezim Soekarno. Bahkan, setelah
kekuasaan berpindah tangan ke Soeharto, Gie tetap menulis kritik sosialnya. Gie
kerap menyampaikan pendapat dan pandangannya melalui koran, majalah,
pamflet, serta penerbitan lain baik di dalam maupun luar negeri. Sejarah
pergerakan mahasiswa Indonesia mencatat nama Soe Hok Gie sebagai simbol
idealisme dari kalangan intelektual.

7. Munir said thalib

Munir Said Thalib, S.H. adalah seorang aktivis hak asasi manusia Indonesia. Ia
merupakan salah satu pendiri lembaga swadaya masyarakat Komisi untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan dan Imparsial. 
Kelahiran: 8 Desember 1965, Malang
Dibunuh: 7 September 2004, Romania
Partner: Suciwati
Dimakamkan: 12 September 2004, Pemakaman Umum Sisir Batu, Batu
Anak: Soeltan Alif Allende, Diva Suukyi Larasathi
Buku: Gerakan perlawanan buruh: gagasan politik dan pengalaman
pemberdayaan buruh pra reformasi, LAINNYA
Saudara kandung: Anisa Said Thalib, Salim Said Thalib, LAINNYA

Munir Said Thalib lahir di Batu, Kabupaten Malang. Ia merupakan anak keenam


dari tujuh bersaudara dari Said Thalib dan Jamilah. Ia memiliki
keturunan Arab Hadhrami dan Jawa.[1]
Munir mengambil studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya di Malang. Di bangku kuliah, ia aktif di Asosiasi Mahasiswa Hukum
Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir,
serta Himpunan Mahasiswa Islam; selain menjabat sebagai Ketua Senat
Mahasiswa Fakultas Hukum. Ia lulus pada tahun 1989.

Selepas dari bangku kuliah, Munir memulai kariernya sebagai relawan di


Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya selama dua tahun, sebelum
pindah kembali ke Malang sebagai kepala pos LBH Surabaya di kota tersebut.
[4]
 dan menjadi Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga
Bantuan Hukum Indonesia).
Munir terlibat dalam menangani dan mengadvokasi beberapa kasus pelanggaran
HAM di Indonesia pada masa Orde Baru. Ia tercatat pernah menjadi penasihat
hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) di proyek Waduk Nipah di Banyuates, Sampang[5] dan keluarga
korban warga penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan.[6]

8. Widji tukul

Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo adalah penyair dan aktivis hak
asasi manusia berkebangsaan Indonesia. Thukul merupakan salah satu tokoh yang
ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang dia tidak
diketahui keberadaannya, dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh
militer. Wikipedia
Kelahiran: 26 Agustus 1963 (usia 58 tahun), Jagalan, Surakarta
Lahir: 26 Agustus 1963; Sorogenen, Solo, Indonesia
Pasangan: Siti Dyah Sujirah (m. 1988)
Anak: Fajar Merah, Fitri Nganthi Wani
Saudara kandung: Wahyu Susilo
Orang tua: Kemis Harjosuwito, Sayem

Kendati hidup sulit, ia aktif menyelenggarakan kegiatan teater dan melukis


dengan anak-anak kampung Jagalan, tempat ia dan anak istrinya tinggal. Pada
1994, terjadi aksi petani di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa
dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.

 Pada 1992 ia ikut demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh


pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo.
 Tahun-tahun berikutnya Thukul aktif di Jaringan Kerja Kesenian
Rakyat (Jakker)
 Tahun 1995 mengalami cedera mata kanan karena dibenturkan pada mobil
oleh aparat sewaktu ikut dalam aksi protes karyawan PT Sritex.
 Peristiwa 27 Juli 1998 menghilangkan jejaknya hingga saat ini. Ia salah
seorang dari belasan aktivis yang hilang.
 April 2000, istri Thukul, Sipon melaporkan suaminya yang hilang
ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
 Forum Sastra Surakarta (FSS) yang dimotori penyair Sosiawan Leak dan
Wowok Hesti Prabowo mengadakan sebuah forum solidaritas atas hilangnya
Thukul berjudul "Thukul, Pulanglah" yang diadakan di Surabaya, Mojokerto,
Solo, Semarang, Yogyakarta, dan Jakarta.

tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi
massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, serta Bunga dan Tembok

9. Soe hok djin

Arief Budiman dilahirkan dengan nama Soe Hok Djin, adalah seorang aktivis
demonstran Angkatan '66 bersama dengan adiknya, Soe Hok Gie ketika ia masih
menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Arief juga
pernah mengajar sebagai Guru Besar di Universitas Melbourne,
Australia. Wikipedia
Kelahiran: 3 Januari 1941, Jakarta
Meninggal: 23 April 2020, Rumah Sakit Ken Saras, Bergas
Pasangan: Leila Chairani Budiman
Anak: Santi Kusumasari Budiman, Adrian
Saudara kandung: Soe Hok Gie
Orang tua: Soe Lie Piet, Nio Hoe An

Sejak masa mahasiswa, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, karena
ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang
aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman.
Kendati ikut melahirkan Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap politik
pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan kemudian
diperparah dengan praktik-praktik korupsinya. Pada pemilu 1973, Arief dan
kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih,
sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru
untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Ia pernah ditahan karena terlibat dalam demonstrasi menentang pendirian Taman
Miniatur Indonesia Indah (1972).

10. Shalim kancil

Sebelum Salim Kancil dibungkam dengan dibunuh, dia dikenal sebagai sosok
yang keras dan tak kenal menyerah. Perjuangannya baru berhenti saat dia dibunuh
oleh sekelompok orang di Balai Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian,
Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, pada Sabtu, 26 September 2015. 
Salim Kancil

Lahir 22 April 1969


 Lumajang, Indonesia

Meninggal 26 September 2015 (umur 46)


 Selok Awar-awar, Pasirian,
Lumajang

 KRONOLOGI
 Atas nihilnya tanggapan dari aparat, Salim pun kemudian membentuk
Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Desa Selok Awar-awar (FORUM)
yang terdiri dari 12 warga, yakni Salim (Kancil), Tosan, Iksan Sumar, Ansori,
Sapari, Abdul Hamid, Turiman, Muhammad Hariyadi, Rosyid, Mohammad
Imam, Ridwan dan Cokrowidodo. Mereka mulai melakukan gerakan advokasi
protes perihal penambangan pasir yang mengakibatkan rusaknya lingkungan
di desa Selok Awar-awar, dengan cara bersurat kepada Pemerintahan Desa
Selok Awar-Awar, Pemerintahan Kecamatan Pasirian bahkan kepada
Pemerintahan Kabupaten Lumajang.
 Pada Juni, kelompok ini menyurati Bupati Lumajang As'at Malik untuk
meminta audiensi tentang penolakan tambang pasir, tapi tidak mendapatkan
tanggapan.
 Pada 9 September 2015, FORUM melakukan aksi damai dengan cara
memberhentikan aktivitas penambangan pasir dan truk muatan pasir di Balai
Desa Selok Awar-Awar yang menghasilkan surat pernyataan dari Kepala desa
Selok Awar-Awar untuk menghentikan penambangan pasir.
 Pada hari yang sama, Salim dan warga yang menolak tambang pasir
tersebut mengaku mendapat ancaman pembunuhan. Menurut mereka
pengirimnya adalah tim 12 yang diketuai Desir.
 Warga melaporkannya kepada aparat, tapi sekali lagi, tidak mendapatkan
tanggapan.
 25 September 2015, FORUM merencanakan aksi penolakan tambang pasir
pada Sabtu, 26 September pukul 07:30 pagi.
 26 September 2015, Tosan, rekan Salim, mulai aksi pada pukul 07:00
dengan menyebar selebaran aksi damai tolak tambang di depan rumahnya
bersama Imam. Kemudian ada satu orang yang melintas dan membaca
selebaran tersebut sambil memarahi Tosan dan Imam. Enam puluh menit
kemudian, Salim didatangi oleh puluhan orang di rumahnya. Ia diseret ke
Balai Desa dan dianiaya hingga meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai